• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan diantara Reformasi Ekonomi dan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Perempuan diantara Reformasi Ekonomi dan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

Perempuan diantara Reformasi Politik dan Reformasi Ekonomi: Peluang Peningkatan Keterwakilan Politik Perempuan melalui Partisipasi Kerja12

Abstraksi

Banyak fenomena yang muncul dari konteks transisi demokrasi dimana perempuan ternyata tertinggal baik dalam sektor ekonomi maupun politik. Indikator kesejahteraan di beberapa negara memperlihatkan kondisi perempuan yang semakin terpuruk karena pilihan-pilihan reformasi politik dan ekonomi yang tidak berpihak pada perempuan. Dalam hal ketenaga kerjaan, ketidak setaraan gender juga sangat terlihat.. Untuk konteks transisi dan reformasi yang terjadi di Indonesia, bagaimanakah sebetulnya wacana perempuan berelasi terhadap reformasi ekonomi dan reformasi politik yang terjadi selama periode transisi? Apakah reformasi politik dan reformasi ekonomi yang mengarah pada kebebasan pasar sudah memberikan peluang emansipasi dan peningkatan kesejahteraan perempuan? Paper ini mencoba mengeksplorasi beberapa analisis atas sejumlah pertanyaan di atas. Penekanan utama dalam paper ini lebih diberikan dalam hal kerangka analisis, dengan konteks nasional ataupun lokal yang bisa dicoba aplikasikan. Lebih lanjut paper ini mengusulkan alternatif pandang bagi upaya peningkatan keterwakilan politik perempuan melalui peningkatan partisipasi kerja perempuan terutama di sektor formal. Dua variabel ini, keterwakilan politik dan partisipasi kerja perempuan, merupakan dua indikator yang paling umum dirujuk untuk mengukur sejauh mana kesejahteraan perempuan dan kesetaraan gender telah tercapai di suatu negara.

Pendahuluan

Dalam kajian tentang transisi demokrasi yang berkembang beberapa dekade terakhir, reformasi ekonomi dan reformasi politik demokratis merupakan dua hal yang dinilai berkontribusi terhadap transisi dari rezim otoritarian menuju demokrasi di sebuah negara. Persoalan peningkatan kehidupan perempuan di negara-negara bertransisi ini kemudian seringkali secara dikotomis ditempatkan dalam dua wilayah ini. Tidak heran jika kemudian ada pertanyaan: apakah kapitalisme atau demokrasi yang lebih penting bagi perempuan?

Michael D. Stroup (2008) mencoba menguji pertanyaan tersebut dengan mengukur beberapa indikator seperti kesehatan, pendidikan, pekerjaan, dan kesejahteraan perempuan beberapa negara di dunia. Stroup menggunakan indikator kebebasan ekonomi

dari Fraser Institute s Economic Freedom )ndex EF) di lebih dari negara di dunia

sejak tahun 1975, serta indeks hak-hak politik dari Freedom House (PRI),. Ia menyimpulkan bahwa reformasi institusional yang mengarahkan perekonomian ke arah kapitalisme memiliki pengaruh peningkatan kesejahteraan perempuan dibandingkan dengan reformasi politik yang meningkatkan partisipasi perempuan di posis pengambilan

(2)

keputusan.3 Hal itu menandakan bahwa kapitalisme lebih baik untuk perempuan daripada demokrasi.

Banyak fenomena yang muncul dari konteks transisi demokrasi dimana perempuan ternyata tertinggal baik dalam sektor ekonomi maupun politik. Misalnya saja negara-negara bekas komunis di Eropa Tengah dan Timur yang menjalankan transisi dan konsolidasi demokrasi dengan menyisakan sejumlah pertanyaan tentang kesetaraan dan keadilan bagi perempuan. Perempuan bukan saja dihadapkan pada kemunculan nasionalisme sempit, tetapi mereka juga dihadapkan pada persoalan globalisasi dan liberalisasi. Transisi memunculkan bentuk demokrasi yang maskulin, dimana sistem dan kebijakan yang dilahirkan tetap meninggalkan perempuan di lini terbelakang dari demokrasi.4 Hal yang terjadi adalah transisi dari rezim paternalistik kepada rejim baru yang bentuknya patriarkal.5

Indikator kesejahteraan di beberapa negara memperlihatkan kondisi perempuan yang semakin terpuruk karena pilihan-pilihan reformasi politik dan ekonomi yang tidak berpihak pada perempuan. Dalam hal ketenaga kerjaan, ketidak setaraan gender juga sangat terlihat. Di Rusia saat ini terjadi kecenderungan semakin menurunnya jumlah tenaga kerja perempuan di sektor publik. Tingginya angka perceraian mengakibatkan perempuan harus menjadi orang tua tunggal dan membatasi aksesnya terhadap pekerjaan. Hal itu terjadi karena negara tidak memberikan dukungan atau subsidi terhadap

pengasuhan anak dan keluarga seperti yang dilakukan di masa sosialisme/komunisme.6

Bidang-bidang pekerjaan yang di masa lalu didominasi oleh tenaga kerja perempuan diturunkan nilainya dalam masyarakat. Hal ini memberi dampak terjadinya feminisasi pada bidang pekerjaan tertentu, serta menjadikan gaji perempuan lebih rendah dibandingkan dengan gaji laki-laki, sebagaimana ini juga yang menjadi kecenderungan di China dan India.7

Dengan situasi demikian, tesis yang menyebutkan bahwa reformasi ekonomi berbasis pasar membawa kesejahteraan bagi perempuan perlu dipertanyakan ulang. Ini juga berlaku untuk melihat seberapa relevan tesis tersebut dengan situasi perempuan dan transisi demokrasi di Indonesia. Untuk konteks transisi dan reformasi yang terjadi di Indonesia, bagaimanakah sebetulnya wacana perempuan berelasi terhadap reformasi ekonomi dan reformasi politik yang terjadi selama periode transisi? Ketika gerakan

3Michael D. Stroup, “Separating the Influence of Capitalism and Democracy on Women’s Wellbeing”, dalam

Journal of Economic Behaviour and Organization, No 67 (2008), hal. 560-572

4

Lihat misalnya Ruth Rosen, "Male Democracies, Female Dissidents," dalam Tikkun 5, no. 6, Nov.-Dec, 1990, serta Zillah R. Eisenstein, The Color of Gender: Reimaging Democracy, (University of California Press), 1994.

5 Di negara-negara ini, akses perempuan terhadap kebijakan politik terbukti sangat terbatas. Beberapa kajian yang

dilakukan di kawasan ini menunjukkan menurun drastisnya angka keterwakilan perempuan di parlemen paska pemilu demokratis mereka yang pertama setelah keruntuhan komunisme, yakni dari sekitar 30%.menjadi rata-rata 10%. Keterwakilan perempuan beberapa negara seperti Rumania, Ukraina dan Macedonia bahkan kurang dari 5%. Lihat Richard E. Matland dan Kathleen A. Montgomery (ed), Women’s Access to Political Power, (Oxford University Press), 2003

6Mary I. Dakin, “Women and Employment Policy in Contemporary Russia”, p

aper presented in 1994 Annual Convention of the American Association for the Advancement of Slavic Studies,

http://www.demokratizatsiya.org/bin/pdf/DEM%2003-3%20Dakin.PDF

7Untuk konteks China, lihat misalnya Jing Lin, ”Chinese Women Under the Economic Reform, Gains and Loses”,

dalam Harvard Asia Pacific Review, summer 2003, hal. 88-90. Sedangkan untuk konteks India, lihat misalnya

Manoj Kumar Dash, Ajay Singh, dan Gaurav Kabra, ”Government Reform, Economic Restructuring and

(3)

perempuan berikut berbagai komponen yang mendukung pada akhirnya berhasil memasukkan ketentuan minimal kuota dalam kebijakan formal, apakah ini memiliki arti bagi pencapaian kehidupan yang lebih baik bagi perempuan? Ataukah sebetulnya reformasi sektor ekonomi di Indonesia yang mengarah pada kebebasan pasar sudah memberikan peluang emansipasi dan peningkatan kesejahteraan perempuan?

Paper ini akan menjadi yang pertama mencoba mengeksplorasi beberapa analisis atas sejumlah pertanyaan di atas. Selama ini belum ada kajian yang memberikan ruang cukup untuk menganalisis situasi perempuan dengan melihat hubungan antara reformasi ekonomi dan demokrasi, terutama menyoroti sejauh mana pemenuhan hak politik perempuan (termasuk keterwakilan politik perempuan) selama sepuluh tahun reformasi di Indonesia. Penekanan utama dalam paper ini lebih diberikan dalam hal kerangka analisis, dengan konteks nasional ataupun lokal yang bisa dicoba aplikasikan. Lebih lanjut paper ini mengusulkan alternatif pandang bagi upaya peningkatan keterwakilan politik perempuan melalui peningkatan partisipasi kerja perempuan terutama di sektor formal. Dua variabel ini, keterwakilan politik dan partisipasi kerja perempuan, merupakan dua indikator yang paling umum dirujuk untuk mengukur sejauh mana kesejahteraan perempuan dan kesetaraan gender telah tercapai di suatu negara. Lewat dua aspek ini pula terbuka peluang untuk upaya alternatif peningkatan kesejahteraan perempuan.

Perempuan dalam Kajian Transisi Demokrasi

Studi mengenai transisi dan demokratisasi yang menganalisis berakhirnya rejim otoritarian dalam suatu negara berkembang pesat dalam ilmu politik. Hal paling

kontemporer yang berkembang di era 70-an hingga awal 8 an adalah kajian yang

membahas seputar peralihan politik dari rezim yang otoriter kepada rezim yang demokratis berikut berbagai proses dan bentuk konsolidasi kekuatan politik yang menyertainya. Kajian-kajian demikian sering disebut sebagai kajian transitologi dan

konsolidologi.8 Umumnya kajian-kajian ini lebih menitik beratkan pada analisis sistem

politik seperti apa yang bisa dikonsolidasi dan apa yang bisa dilakukan untuk mendorong terjadinya konsolidasi. Mereka fokus terutama pada potensi-potensi yang menghambat konsolidasi, serta peran-peran strategis yang bisa dilakukan oleh partai politik dan masyarakat sipil. Hal yang juga terkait adalah bagaimana hubungan antara reformasi ekonomi dan reformasi politik. Kelompok cendekiawan yang memusatkan kajian pada kerangka teori modernisasi berargumentasi bahwa modernisasi ekonomi yang ditandakan dengan adanya beragam kebijakan dan implementasi reformasi ekonomi menjadi

8

Gelombang transisi politik yang luas sejak akhir 1970an dan awal 1980an terutama di Amerika Latin membuka kajian-kajian dalam ilmu politik, terutama perbandingan politik, tentang hal-hal yang terkait dengan demokratisasi, transisi dari rejim otoriter kepada demokrasi, serta dinamika konsolidasi politik yang menyertainya. Klaim utama yang dibangun dalam kajian-kajian ini adalah dengan formulasi dan penerapan seperangkat asumsi, konsep, dan hipótesis universal tentang perubahan politik menuju demokrasi, maka diharapkan universalisme ini akan menjelaskan serta memandu transisi yang sukses dari rejim otoriter kepada demokrasi. Beberapa literature awal yang penting dalam kajian ini termasuk karya Dankwart Rustow, “transition to Democracy: Toward a Dynamic

(4)

prasyarat bagi tumbuh sehatnya demokrasi.9 Ini menandakan bahwa menurut kelompok ini, reformasi ekonomi dan reformasi politik tidak dapat dilepaskan satu sama lain.

Salah satu kritik utama yang ditujukan pada kajian mainstream ilmu politik ini adalah

hilangnya dimensi gender dalam analisis-analisis tentang demokratisasi, konsolidasi demokrasi dan reformasi politik, maupun reformasi ekonomi. Pilihan transisi dititik beratkan pada elit, yang mayoritas adalah laki-laki, dan jarang dibahas bagaimana perempuan bisa terlibat atau dilibatkan dalam proses-proses transisi maupun konsolidasi

baik dalam konteks ekonomi maupun politik.Belakangan, literatur dan kajian-kajian mulai

mengangkat isu perempuan dan transisi demokrasi di dalamnya, untuk mengoreksi

kebutaan gender (gender blindness) yang terjadi dalam analisis-analisis malestream

politik.10 Namun demikian, kajian-kajian dan literatur perempuan dan transisi demokrasi

yang telah ada seringkali hanya fokus pada peran gerakan perempuan dan mobilisasi perempuan. Sementara itu, sedikit sekali kajian yang berfokus pada hubungan antara sektor ekonomi dan politik dengan pemenuhan hak politik perempuan. Hal ini juga tampak dalam konteks di Indonesia. Kebanyakan studi tentang demokratisasi dan konsolidasi demokrasi tidak menaruh perhatian pada aspek gender. Selain karena ilmu politik yang mainstream sudah terinstitusionalisasi secara mapan baik dalam hal pendekatan maupun praksis, juga karena kajian gender berkembang pesat secara eksklusif di luar kajian-kajian politik. Sementara itu, kajian-kajian tentang peran perempuan dalam demokrasi lebih banyak terpusat pada peran institusi partai politik dan kebijakan negara, gerakan

perempuan, terutama di tingkat masyarakat sipil, serta aktivitas mobilisasi perempuan.11

Di sisi lainnya, dalam kajian-kajian ekonomi, isu tentang peningkatan kesejahteraan dan

9 Kajian-kajian ini umumnya berujuk pada literatur awal tentang modernisasi oleh Martin Lipset, Some Social

Requisites of Democracy: Economic Development and Political Development”, dalam American Political Science Review 53, 1959, halaman 69-105. Literatur utama yang merujuk pada pendekatan ini termasuk Samuel P. Huntington, Political Order in Changing Societies, (Yale University Press), 1968, Guillermo A. O'Donnell, Modernization and Bureaucratic-Authoritarianism (University of California Press), 1973, Adam Przeworski dan Fernando Limongi, "Modernization: Theories and Facts." dalam World Politics 49 (January 1997): hal. 155-183, Dietrich Rueschemeyer, Evelyne Huber Stephens, dan John D. Stephens, Capitalist Development and Democracy, (University of Chicago Press), 1992, serta Ronald Inglehart dan Christian Welzel, Modernization, Cultural Change, and Democracy: The Human Development Sequence. (Cambridge University Press), 2005.

10 Lihat misalnya Georgina Waylen dan Vicky Randall (ed), Gender, Politics, and the State, (London: Routledge),

1998, untuk konteks Amerika Latin, Eropa Timur dan Tengah lihat Jane S. Jacquette dan Sharon L. Wolchik (ed), Women and Democracy, (John Hopkin University Press), 1998, serta buku terbitan IDEA International yang juga mengangkat konteks Indonesia, Julie Ballington dan Azza Karam (ed.), Women in Parliament, Beyond Numbers, (Stocholm: International IDEA), 2005

11Lihat misalnya penelitian yang dilakukan oleh Women’s Research Institute (WRI) di tahun 2004 tentang Dampak

Otonomi Daerah terhadap Partisipasi Politik Perempuan,

http://wri.or.id/id/laporan%20kegiatan/Laporan%20Tahunan%20Program%202004. Puskapol UI bekerjasama dengan the Asia Foundation juga pernah membuat database Profil Perempuan Potensial Partai Politik dan Masyarakat Sipil untuk Pencalonan Legislatif di tahun 2008 untuk mengidentifikasi sejumlah potensi pemimpin perempuan untuk dapat disertakan dalam Pemilu di Indonesia. Disamping itu, Puskapol juga melakukan kajian keterpilihan perempuan di DPR dan DPRD hasil Pemilu 2009 yang ringkasannya dapat diakses di

(5)

peran perempuan juga diseinggung terpisah dari konteks perubahan politik dan transisi demokrasi yang ada. Keterpisahan ini, antara reformasi ekonomi dan reformasi politik, atau kapitalisme dan demokrasi, menyebabkan absennya kajian yang mencoba melihat keterkaitan keduanya dengan upaya peningkatan kehidupan perempuan dan mencoba membuat terobosan pendekatan alternatif sebagai upaya mengubah ketidak adilan gender yang umumnya terjadi dalam transisi demokrasi.

Salah satu ruang yang bisa dioptimalkan dalam melihat keterkaitan antara reformasi ekonomi dan politik dalam meningkatkan kehidupan perempuan serta membangun kesetaraan gender adalah dengan melihat sejauh mana partisipasi perempuan dalam angkatan kerja berpengaruh terhadap peningkatan keterwakilan politik perempuan. Dua variabel ini merupakan indikator yang umumnya dilihat sebagai pencapaian sukses atau terpuruknya reformasi ekonomi dan reformasi politik. Di banyak negara, terutama Eropa, keterwakilan politik perempuan terutama di tingkatan legislatif meningkat seiring dengan

peningkatan jumlah tenaga kerja perempuan12. Beberapa alasan yang mendasari hal ini

dijelaskan dalam pendekatan demmand dan supply. Dari sisi demmand, pemilih (voters)

yang telah terbiasa dengan kehadiran perempuan dalam lingkungan kerja akan lebih

terbuka pada kepemimpinan perempuan. Sedangkan dari sisi supply, perempuan yang

bekerja profesional serta memiliki kemampuan manajerial yang baik lebih dianggap mampu dan tepat untuk dijadikan kandidat pemimpin. Sederhananya, adanya perubahan nilai sosial yang didapat dari lingkungan kerja akan mengurangi hambatan perempuan baik secara ekonomi maupun politik. Ini seiring dengan argumentasi yang menyebutkan bahwa sikap masyarakat terhadap peran perempuan menjadi lebih terbuka setelah perempuan

berpartisipasi dalam bidang-bidang pekerjaan.13

Tidak hanya itu, perempuan yang bekerja di luar rumah juga lebih cenderung memiliki kepentingan dan sikap politik yang berbeda dengan suami atau anggota keluarganya dikarenakan pengalamannya yang harus menyeimbangkan antara karir dan urusan rumah

tangganya.14 Implikasi politik yang lebih luas dari itu adalah kemungkinan besar

munculnya kepentingan partai politik untuk meningkatkan jumlah kandidat perempuan

manakala jumlah perempuan bekerja ini cukup besar dan membentuk massa tersendiri.15

Sementara itu Michael Ross (2006) berargumentasi bahwa perempuan pekerja umumnya

lebih terorganisir dalam menyuarakan kepentingan bersama mereka.16

Meski demikian, pada kenyataannya pendapat ini tidak bisa digeneralisasi untuk semua konteks bidang pekerjaan. Kensworthy (1999) misalnya, berpendapat bahwa bidang pekerjaan yang relevan untuk menunjang karir politik adalah yang tingkatannya

12 Lihat misalnya Raaum, Nina C., “Women in Parliamentary Politics: Historical lines of development.

Bergquist, Christina et al. (eds.), Equal Democracies? Gender and Politics in the Nordic Countries.( Scandinavian University Press, Oslo), 1999, hal 27-47, Holter, ibid

13Torben Iversen dan Frances Rosenbluth, “Work and Power: The Connection between Female Labour Force

Participation and Female Political Representation”, Annual Review of Political Science, 2007, http://www.annualreviews.org/doi/abs/10.1146/annurev.polisci.11.053106.151342

(6)

manajerial ataupun pekerjaan yang sifatnya profesional.17 Schlozman, Burns dan Verba (1999) juga melihat bahwa tingkat partisipasi kerja perempuan tidak berkorelasi langsung dengan partisipasi politik karena kebanyakan perempuan tidak bekerja penuh waktu yang umumnya difasilitasi dengan pelatihan dan pendidikan khusus yang relevan dengan karir

politik (misalnya kepemimpinan, manajemen, dan sebagainya).18 Sementara itu Oakes

(1993) serta Matland (1998) berpendapat bahwa di masyarakat ekonomi agrikultur, keterkaitan antara tenaga kerja perempuan yang umumnya bekerja di ladang tidak terlalu

berhubungan dengan keterwakilan politk perempuan.19

Meski ada korelasi antara peningkatan tingkat partisipasi bekerja perempuan dengan jumlah keterwakilan politik di beberapa negara, ternyata tidak semua negara memiliki hubungan positif antara keduanya. Misalnya saja di Amerika Serikat, dimana jumlah tenaga kerja perempuan yang tinggi ternyata tidak membuat jumlah keterwakilan politik perempuan meningkat. Iversen dan Rosenbluth mengajukan variable lain yang ikut menentukan hubungan antara tenaga kerja perempuan dan keterwakilan politik perempuan, yakni sistem pemilihan umum yang diterapkan di negara yang bersangkutan dan 'pasar politik' yang diciptakan. Dalam sistem Pemilu yang menekankan hubungan kedekatan antara wakil dan konstituen, misalnya dalam sistem single member district, wakil terpilih harus menunjukkan komitmen penuh, baik waktu maupun sumber daya, dengan menunjukkan pengalaman serta modal politiknya. Perempuan akan kesulitan menjalankan komitmen penuh ini karena peran gender yang menuntutnya untuk juga

bertanggung jawab terhadap peran caregiver. Dalam sistem demikian, kandidat atau wakil

terpilih tidak bisa mengandalkan partai politik untuk mendukung mobilisasi sumber daya serta jaringan politik yang dibutuhkan. Sementara itu, dalam sistem Pemilu proporsional, perempuan lebih bisa bersaing karena label atau eksistensi partai politik lebih menentukan preferensi pemilih daripada individu kandidatnya. Partai yang kuat dan memiliki basis massa besar akan lebih menjamin kandidat atau wakil terpilih perempuan menjalankan kebijakan partai yang sudah ditentukan. Meski begitu, partai politik bisa saja menjanjikan kesetaraan gender dan peningkatan keterwakilan politik perempuan, namun sebagaimana juga perusahaan atau korporasi, mereka harus bersaing dalam pasar politik untuk memenangkan suara dengan mengajukan kandidat yang dianggap lebih loyal dan berkomitmen terhadap partainya.

Perempuan Indonesia dalam Reformasi Ekonomi Berbasis Pasar

17Kenworthy L. “Gender Inequality in Political Representation: A Worldwide Comparative Study”, in

Social Forces, 78, 1999, hal. 235-269

18S. Verba, N. burns. KL Schlozman, “Knowing and Caring about Politics”, dalam journal of Politics i59, 1997,

hal. 10511-72

19

A. Oakes, “Women in National Legislatures: A Cross-National Test of Macrostructural Gender Theories”, dalam Population Research and Policy Review 12, 1993, hal. 71-81, dan Richard Matland, “Women’s Representation in

(7)

Apakah reformasi ekonomi berbasis pasar yang umumnya dijadikan pilihan dalam transisi demokrasi membebaskan atau menindas perempuan? Pertanyaan ini kerap kali muncul dalam berbagai wacana atau literatur feminisme. Mereka yang menjawab kapitalisme sebagai pembebasan, umumnya sangat optimis bahwa kapitalisme dan industrialisasi memberikan kesempatan pada perempuan agar keluar dari wilayah domestiknya untuk bekerja dan mendapat upah atas kerjanya. Hal ini menjadikan perempuan menjadi lebih independen dan tidak lagi tergantung pada suami atau pasangannya. Disisi lain, kelompok yang lebih pesimis selalu menaruh curiga terhadap praktek-praktek kapitalisme. Kapitalisme telah menggantikan peran perempuan dari fungsi produksi rumah tangga atau keluarga menjadi fungsi reproduksi semata. Fungsi kerja perempuan tersebut tidak dihargai sebagaimana kerja bentuk lainnya di dunia kapital. Sistem ini kemudian

memperkenalkan konsep breadwinner yang dilekatkan pada laki-laki, karena mereka

bekerja dan menafkahi keluarga. Sementara itu, perempuan didefinisikan sebagai

care-giver, yakni yang bertanggung jawab penuh dalam mengurusi dan melayani kebutuhan

anggota keluarganya, dari mulai suami, anak, bahkan orang tua dan yang sakit.Perempuan,

kalaupun pada akhirnya dibutuhkan untuk mengisi tenaga kerja, dibayar dengan sangat murah di bawah upah kerja laki-laki. Beban ganda kemudian dilakoni perempuan, yakni dengan menjalankan fungsinya sebagai caregiver di wilayah domestik serta perannya yang lebih otonom di wilayah publik. Kelompok yang optimis boleh saja berpikir bahwa kemunculan perjuangan emansipasi hak berhasil melumerkan patriarki karena memungkin perempuan juga ikut bekerja dan menjadi mandiri, tapi di saat yang lain

patriarki melakukan penyesuaian dan mengoraganisir ulang atau reorganizing dalam

istilah Holter, 2003)20

Tentu saja, karya tulis paling awal tentang isu ini dibangun dalam sebuah konteks sangat spesifik di negara-negara industri yang saat ini sudah mapan. Konteksnya menjadi sangat berbeda dengan negara yang bertransisi ataupun negara dunia ketiga. Di

negara-negara ini, kapitalisme hadir dalam konteks globalisasi. Pembangunan di negara ini

merubah fungsi reproduksi melalui ekonomi non-moneter seperti mengganti fungsi pertanian dengan perusahaan tani, impor pangan murah, ataupun deforestasi. Tuntutan penyesuaian struktural yang diajukan International Monetary Fund dan World Bank memaksa negara untuk mengurangi perlindungan sosial negara kesejahteraan sekaligus meningkatkan kemiskinan dan ketidak setaraan.

Di Indonesia, seperti juga di negara lain di dunia ketiga, krisis ekonomi yang

melanda memaksa kebijakan penyesuaian struktural atau structural adjustment policy

(SAP) diberlakukan. Latar belakang dibalik kebijakan ini adalah adanya persoalan ekonomi yang umumnya dihadapi negara dunia ketiga seperti inflasi dan defisit, yang disebabkan

oleh ketidakseimbangan struktural. Oleh karena dibutuhkan penyeimbangan , maka

distorsi perlu dihilangkan dengan liberalisasi ekonomi, membebaskan pasar ekonomi, mengurangi peran negara melalui privatisasi, serta meminimalkan subsidi dan deregulasi. Penyesuaian yang terjadi sejak reformasi lebih dari sepuluh tahun yang lalu di sektor ekonomi ternyata menghasilkan kesenjangan yang semakin lebar antara masyarakat menengah dan miskin, meningkatnya kemiskinan, serta menurunnya standar hidup masyarakat di Indonesia.

20 Holter, Øystein Gullvåg (ed.). 2003. Can men do it: men and gender equality. The Nordic

(8)

Kebijakan penyesuaian tersebut selama ini tidak membawa dampak positif yang signifikan buat perempuan. Beberapa indikator kesejahteraan perempuan memang menunjukkan arah yang positif, misalnya persentase angka melek huruf perempuan yang meningkat 86,8% di tahun 2004 menjadi 98,76% di tahun 2007, dan menunjukkan

kesenjangan yang semakin mengecil dengan persentase angka melek huruf laki-laki.21 Hal

positif lain dapat dilihat dari angka kematian Ibu melahirkan dari 334 per 100.000

kelahiran di tahun 1997 menjadi 228 per 100.000 kelahiran di tahun 2007.22 Namun secara

umum, dari angka Gender Development Index (GDI), Indonesia masih termasuk peringkat

bawah, yakni di urutan 94 dari total 157 negara di tahun 2005.23

Perkembangan negatif justru tampak pada indikator partisipasi kerja perempuan yang menunjukkan perkembangan statis, bahkan menurun, sejak dimulainya reformasi. Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2004 mencatat persentase angkatan kerja perempuan

sebesar 49,21% dan sedikit membaik di tahun 2007 menjadi 49,52%24 Sementara itu,

World Bank mencatat bahwa hanya 41 persen perempuan yang bekerja, jauh dibawah persentase laki-laki sebesar 73 persen. Perempuan, menurut data ini, banyak yang bekerja di sektor informal dan jenis pekerjaan yang tidak dibayar (unpaid dan low-paid jobs). Bahkan di sektor formal sekalipun, perempuan digaji lebih rendah 24% dibanding pekerja

laki-laki.25 Satu-satunya indikator partisipasi kerja yang meningkat adalah perempuan

yang bekerja sebagai pekerja migran di luar negeri, yang jumlahnya sebesar 80% dari total pekerja migran Indonesia di luar negeri.

Fakta ini menunjukkan karakteristik buta gender atau gender blind dari kebijakan

reformasi ekonomi di sektor ketenagakerjaan. Ekonomi reproduktif atau perempuan

sebagai tenaga kerja yang tidak dibayar sama sekali tidak dipertimbangkan dalam kebijakan tersebut. Disamping itu, pengambil kebijakan yang tidak membedakan pembagian kerja seksual berasumsi adanya mobilitas pekerja, misalnya pekerjaan industrial yang umumnya dikerjakan oleh laki-laki menjadi pekerjaan jasa yang umumnya dilakukan perempuan. Pemotongan jasa kesejahteraan memberikan dampak signifikan bagi perempuan sebagai penyedia dan konsumen jasa kesehatan dan sosial mengakibatkan hilangnya pekerjaan dan kesejahteraan perempuan yang bekerja di bidang ini seperti guru, perempuan, yang merupakan mayoritas pekerja. Tidak hanya itu, dampak tingginya tingkat pengangguran dan kemiskinan mengakibatkan perempuan dalam rumah tangga harus berpikir lebih keras untuk mendapatkan strategi dan solusi pertahanan hidup, termasuk melakukan pekerjaan di sektor non formal. Perempuan kepala rumah tangga, dan janda, menjadi semakin miskin,. banyak anak perempuan juga terpaksa harus putus sekolah. Hal yang terjadi kemudian adalah tingginya tingkat perdagangan manusia dengan korban umumnya perempuan, meningkatnya tingkat kekerasan serta pelanggaran hak asasi perempuan dan anak. KOMNAS Perempuan mencatat jumlah kekerasan terhadap perempuan yang tercatat tahun 2001 adalah 3,169 kasus, meningkat dramatis menjadi

143,586 di tahun 2009.26 Ini belum termasuk kekerasan yang terjadi karena aturan-aturan

diskriminatif baik di tingkatan nasional mauupun lokal (Perda) yang menjustifikasi

21 Susenas 2004/2007

22 Survei Demografi dan Kependudukan Indonesia, lihat juga data UN Human Development Report 2003. 23

UNDP Human Development Report 2007/2008

24 Biro Pusat Statistik (BPS), Sakernas 2007

(9)

kekerasan terhadap perempuan. Perda diskriminatif yang dicatat kelompok perempuan

sebanyak 25 Perda dari 16 Kabupaten/Kotamadya di Indonesia27

Dengan melihat pada sektor-sektor di atas, dapat disimpulkan kemudian bahwa liberalisasi ekonomi lewat program-program reformasi berbasis pasar bebas dalam konteks transisi di Indonesia, terbukti meruntuhkan tesis bahwa kapitalisme bisa memberdayakan perempuan dan membawa kesejahteraan bagi perempuan.

Perempuan dan Reformasi Politik di Indonesia

Seperti penjelasan sebelumnya, situasi perempuan dalam hal politik dan konsolidasi demokrasi di Indonesia tidak lebih baik. Konsolidasi demokrasi jelas sekali tidak menyertakan perempuan di dalamnya, Hal itu terlihat dari rendahnya keterlibatan perempuan dalam pengambilan keputusan. Patut dicatat bahwa jumlah keterwakilan perempuan di parlemen nasional (DPR RI) meningkat dari 9% pada periode 1999-2004 menjadi 18% pada periode 2009-2014. Indikasi positif juga terlihat dari meningkatnya akses dan partisipasi perempuan pada kehidupan publik sebagaimana yang disebutkan

dalam riset Demos.28 Meski demikian, secara umum keterlibatan dan keterwakilan

perempuan di lembaga-lembaga pengambilan keputusan masih jauh dari cukup. Di lembaga yudikatif, misalnya, perempuan masih minoritas sejumlah antara 9-25 persen menurut catatan komnas Perempuan (Catahu 2010). Termasuk juga jumlah perempuan di

posisi Exelon II pegawai Negeri yang hanya 6,71% dan 9,77% untuk posisi Exelon I.29

Ketika kita bicara dalam konteks konsolidasi demokrasi dan keterlibatan perempuan dalam transisi, maka tidak dapat disangkal bahwa partai politik memiliki peran yang signifikan. Dalam Pemilu, partai politik bukan hanya berperan sebagai aktor tetapi sekaligus merupakan penjaga gawang yang paling utama dalam memutuskan pengisian pos-pos representasi. Hal ini karena partai politik memiliki peran kontrol terhadap calon-calon kandidat yang akan dinominasikan. Oleh karena itu, hubungan antara jumlah keterwakilan perempuan di legislatif dan partai politik dalam konteks Pemilu menjadi sangat relevan. Sistem organisasi dan institusi partai politik juga terkait dengan soal keterwakilan perempuan, yakni dengan melihat pada struktur dan model pengambilan keputusan. Partai politik dengan pengambilan keputusan terpusat pada Dewan Pimpinan Pusat (DPP) biasanya akan lebih mudah mengontrol calon-calon kandidat yang akan dinominasikan dalam pemilu. Bagi Partai politik yang punya komitmen tinggi terhadap peningkatan keterwakilan perempuan, maka model seperti ini akan sangat efektif untuk melaksanakan komitmennya.

Hal lain yang juga menjadi kendala bagi perempuan untuk mencalonkan diri adalah keterbatasan perempuan terhadap akses finansial. Hal ini diakui banyak kandidat perempuan, baik untuk legislatif maupun eksekutif. Seorang kandidat perempuan untuk wakil walikota di Aceh mengakui bahwa dia diuntungkan oleh kemampuan finansial dari keluarganya. Ini berarti, politik menjadi dunia yang terbatas hanya untuk perempuan dengan akses ekonomi yang baik. Dalam konteks ini, Holter pernah berargumentasi bahwa tingginya tingkat partisipasi dan keterwakilan perempuan dalam politik di negara-negara Nordik (Norwegia, Finlandia, Swedia, Denmark, dan Islandia) tidak lepas dari terserapnya

27 Laporan Komnas Perempuan 2007

(10)

banyak tenaga kerja perempuan sehingga memungkinkan mereka menjadi independen secara ekonomi dan merasa berkepentingan untuk terlibat dalam politik.30 Di Indonesia, belum ada studi yang coba menelusuri kondisi tersebut sampai saat ini, tapi secara umum bisa dikatakan bahwa kemampuan keuangan seorang kandidat sangat menentukan terpilihnya seseorang masuk ke dalam daftar kandidat. Tidak banyak perempuan di Indonesia yang memiliki situasi demikian, dan mereka yang mendapat kesempatan demikian harus memikul tidak saja beban ganda tetapi beban triple antara peran mereka dalam rumah tangga dan pengasuhan, ekonomi, dan politik.

Partisipasi Kerja Perempuan sebagai Upaya Lain Meningkatkan Keterwakilan Perempuan

Upaya meningkatkan jumlah keterwakilan perempuan dalam pengambilan keputusan sudah sejak pasca reformasi dilakukan, baik di tingkat lokal maupun nasional. Tekanan terbesar berasal dari masyarakat sipil, termasuk aktivis, profesional maupun akademisi. Tujuannya tidak lain untuk memastikan demokratisasi inlusif terhadap kepentingan perempuan sebagai kelompok minoritas yang jumlahnya mayoritas. Perubahan mulai tampak tidak hanya di tingkat kebijakan tetapi juga di tingkatan program dan implementasi. Di tingkat kebijakan, misalnya, upaya pengarus utamaan gender pernah dilakukan sebagai inisiatif dari Kementrian Pemberdayaan Perempuan dalam Inpres no 9 tahun 1999 tentang Pengarus Utamaan Gender, yang seyogianya dilaksanakan di setiap institusi pemerintahan, terutama eksekutif. Dampak positif lain dari kerja keras dan advokasi isu ini oleh masyarakat sipil adalah diadopsinya mekanisme khusus (affirmative action) untuk perempuan dalam amandemen UU Pemilu dan UU Partai Politik, termasuk mengatur kuota perempuan dan sistem zipper.

Sayangnya, dalam beberapa waktu terakhir ini sepertinya ada beberapa hal yang

menunjukkan kemunduran (setback) dalam memikirkan serius soal perlunya peningkatan

keterwakilan perempuan. Putusan Mahkamah Konstitusi yang menetapkan perubahan formula calon terpilih dari 30% BPP dan nomor urut menjadi suara terbanyak, menjadikan

caleg perempuan sebagai korban persaingan bebas.31 Partai politik juga tidak

sungguh-sungguh menjalankan ketentuan minimal 30% bakal calon perempuan sebagaimana disebutkan dalam UU No. 10/2008, serta aturan yang menyatakan sekurang-kurangnya satu orang perempuan dari tiga bakal calon yang diajukan partai politik sebagaimana disebutkan di pasal 55 dalam UU tersebut. Hal ini berimplikasi terhadap peluang

terpilihnya perempuan dalam Pemilu.32

30

Lihat Holter, ibid.

31 Di tengah berjalannya tahapan pemilu, pascapengesahan daftar calon, Mahkamah Konstitusi melalui Putusan No.

22-24/PU-VI/2008 tertanggal 23 Desember 2008, menyatakan calon terpilih ditetapkan berdasar suara terbanyak. Putusan itu membatalkan Pasal 214 UU No. 10/2008 yang mengatur, bahwa calon terpilih ditetapkan berdasarkan perolehan suara 30% BPP atau berdasarkan nomor urut. Lihat analisis Puskapol oleh Ardiansyah Rudi, “Caleg Perempuan Pemilu 2009: korban Perubahan Sistem,

http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=176%3Acaleg-perempuan-pemilu-2009-korban-perubahan-sistem-&catid=45%3Aartikel&Itemid=96&lang=id

32 Puskapol menyebutkan beberapa implikasi yang terjadi akibat hal tersebut. Pertama, tidak semua partai memenuhi

(11)

Selain faktor eksternal perempuan, seperti partai politik dan sistem Pemilu, faktor internal juga menjadi faktor penting yang dapat menentukan peningkatan keterwakilan

perempuan. Faktor internal ini termasuk motivasi masing-masing individu, dukungan keluarga, serta kemampuan sumber daya terutama finansial. Dari sisi pemilih perempuan, persoalannya lebih kepada faktor-faktor sosial dan struktural yang mempengaruhi

preferensi mereka dalam memilih calon pemimpin perempuan. Faktor-faktor ini termasuk ketidak percayaan terhadap kemampuan perempuan, norma-norma konservatif yang

menempatkan perempuan sebagai ibu rumah tangga, serta kurangnya figur contoh (role

model) perempuan yang bisa menjadi panutan masyarakat terutama perempuan kebanyakan.

Di aspek khusus inilah, yakni calon perempuan dan pemilih perempuan, relevan untuk mengaitkan antara tingkat partisipasi kerja perempuan dan upaya meningkatkan

representasi politik perempuan. Hal ini didasarkan pada beberapa pertimbangan berikut.

Pertama, sebagaimana yang disebutkan oleh Holter (2003), ada hubungan yang kuat antara perempuan yang bekerja dengan kemandirian ekonomi serta kebutuhan mereka untuk terlibat dalam politik. Tidak hanya perempuan yang independen secara ekonomi memiliki kepercayaan diri dan kepentingan khusus untuk memenuhi kebutuhannya melalui

mekanisme politik, perempuan juga memiliki ketersediaan modal sosial, pengalaman keorganisasian dan manajemen, serta keuangan yang memadai sebagai modal politiknya.

Kedua, dari sisi demmand pemilih perempuan yang terbiasa bekerja akan lebih terbuka

terhadap calon perempuan dan membuka kemungkinan untuk menaruh kepercayaan terhadap calon perempuan karena dianggap memiliki pengalaman dan kebutuhan yang sama sehingga lebih bisa berpihak pada isu-isu kesejahteraan perempuan. Secara umum, bisa dikatakan bahwa perempuan yang bekerja di luar rumah cenderung mengalami perubahan nilai dan sangat mungkin memiliki preferensi politik yang berbeda dari suami atau anggota keluarganya yang lain. Implikasi yang lebih luas adalah tingkat partisipasi kerja perempuan yang tinggi sangat mungkin menjadi sebuah pasar politik baru bagi partai politik. Terutama sekali apabila isu perempuan dapat diorganisir dengan baik dan menjadi tawaran politik untuk partai-partai politik.

Dari dua penjelasan itu, sangat dimungkinkan untuk melihat bagaimana pengaruh

partisipasi kerja perempuan terhadap angka keterwakilan politik perempuan. Tentu saja catatan pentingnya adalah bahwa sistem Pemilu, sebagaimana yang dibuktikan Rosenbluth dan Iversen, juga berpengaruh penting dalam menjelaskan hubungan kausalitas antara dua

paling banyak (36.6%), disusul PDIP (35%), PKB (33.6%) dan PD (32.9%). Dari 9 partai politik peraih kursi DPR, tiga partai belum memenuhi ketentuan tersebut. Dari data tersebut, umumnya partai politik menempatkan calon perempuan tidak berdasarkan kapasitas individunya tapi lebih karena pertimbangan kedekatan atau hubungan saudara dengan pengambil keputusan di dalam partai. Juga partai memberi prioritas pada mereka yang memiliki popularitas tinggi atau sumber finansial yang kuat. Lihat Ardiansyah Rudi, “Pentingnya Afirmasi Internal Partai

Politik untuk Perempuan”,

(12)

varibel tersebut.33 Untuk konteks Indonesia misalnya, semakin perolehan kursi

terkonsentrasi, maka semakin banyak calon perempuan terpilih. Dalam hal ini, ketentuan

parliamentary treshold sangat menguntungkan perempuan.34 Puskapol melihat adanya fenomena piramida terbalik dimana di mana semakin ke bawah, semakin banyak jumlah

partai politik peraih kursi. Hal ini disebabkan: pertama, tiadanya ketentuan parliamentary

treshold 2,5% untuk pemilu DPRD provinsi dan kabupaten/kota; kedua, keterpilihan calon

di tingkat lokal lebih dipengaruhi figur calon darpiada partai35. Dengan demikian semakin

banyak jumlah partai memiliki kursi, maka semakin sedikit peluang perempuan terpilih karena partai politik akan cenderung memilih calon laki-laki daripada perempuan.

Kesimpulan

Dalam konteks transisi demokrasi di Indonesia, baik reformasi ekonomi maupun reformasi politik nampaknya tidak memberikan perubahan positif yang signifikan bagi perbaikan kondisi dan kehidupan perempuan. Dua indikator penting yang digunakan dalam tulisan ini adalah tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan yang cenderung statis bahkan menurun jumlahnya selama reformasi ekonomi diberlakukan, serta jumlah keterwakilan politik perempuan yang sedikit meningkat namun terjadi setback dalam komitmen negara menjamin kesetaraan gender dalam politik. Dua kondisi ini pada saat yang sama juga membuka ruang untuk menelaah lebih jauh keterkaitan keduanya sebagai hubungan kausalitas, dimana peningkatan jumlah perempuan yang bekerja akan dapat meningkatkan

jumlah keterwakilan politik perempuan dilihat dari kerangka supply dan demmand. Dalam

kerangka ini, perempuan bekerja akan cenderung memiliki modal politik (motivasi, kemampuan manajerial, sosial, dan ekonomi) yang cukup yang memungkinkannya untuk maju sebagai calon pemimpin. Dari sisi pemilih perempuan, pengalaman kerja akan membuat mereka lebih terbuka terhadap kepemimpinan perempuan, disamping adanya perubahan nilai yang membuat kepercayaan dan kepentingan untuk memiliki wakil perempuan juga menguat. Dalam konteks itu, pengorganisasian yang baik akan membuka potensi bagi partai politik untuk merengkuh mereka dengan memberikan janji politik yang akomodatif bagi keterwakilan perempuan.

33 Iversen dan Rosenbluth, ibid.

34 Sembilan partai politik lolos parliamentary threshold 2,5% (PT 2,5%) mendominasi perempuan terpilih dalam

Pemilu 2009. Sembilan partai itu menyumbangkan 90% perempuan di DPRD provinsi dan 80% di DPRD kabupaten/kota. Itu berarti, di luar partai lolos PT 2,5%, partai-partai yang meraih kursi di DPRD provinsi hanya menyumbangkan 10% perempuan terpilih, dan partai-partai yang meraih kursi di DPRD kabupaten/kota hanya berkontribusi 20% perempuan terpilih. Data lain menunjukkan, tidak semua partai politik peserta Pemilu 2009 berhasil meraih kursi di DPRD provinsi dan DPRD kabupaten/kota. Dari 44 partai politik peserta Pemilu 2009, 38 partai yang berhasil meraih kursi di seluruh DPRD provinsi. Dari 38 partai tersebut, hanya 21 partai

menyumbangkan perempuan terpilih. Sementara itu DPRD kabupaten/kota, jumlahnya lebih besar.Dari 44 partai politik pesertapemilu, sebanyak 43 partai berhasil meraih kursi dan. Dari jumlah itu, 40 partai di antaranya memiliki calon perempuan terpilih. Lihat Ardiansyah Rudi, « Ketentuan Parliamentary Treshold Menguntungkan

Perempuan », http://www.puskapol.ui.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=168%3Aketentuan-parliametary-treshold-menguntungkan-perempuan-&catid=45%3Aartikel&Itemid=96&lang=id

35

Jumlah partai politik yang memiliki kursi di DPRD provinsi dan kabupaten/kota, yang banya tersebut,

(13)

Referensi

Dokumen terkait

Tepat pukul 12.15 wib wakil Peserta Lelang tidak ada yang hadir, Panitia memutuskan menunjuk saksi dari staf Dinas Kesehatan Kab.. Kotak penawaran yang telah

Telah dijelaskan bahwa didalam jangka panjang perusahaan dalam persaingan sempurna akan mendapat untung normal, dan untung normal ini akan dicapai apabila biaya produksi adalah

Dengan mengucapkan Alhamdulillah, puji syukur atas, rahmat, ridho dan ijin Allah SWT yang selalu dilimpahkan kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan skripsi

Langkah awal yang harus dilakukan menurut saya adalah coba kita gali terlebih dahulu npotensi-potensi yang terdapat pada banga kita, masih banyak potensi yang belum kita gali,

Pertama yang perlu diperhatikan adalah jumlah orang yang terlibat dalam komunikasi antarpribadi selalu dua sampai empat orang (Liliweri, 1997: 16). Dalam adat istiadat

Struktur organisasi proyek secara umum dapat diartikan dua orang atau lebih yang melaksanakan suatu ruang lingkup pekerjaan secara bersama-sama dengan kemampuan

- Referensi Personil Tenaga Ahli dari Pengguna jasa (Team Leader/Ahli Sosial, Ahli Teknik Sipil, Ahli Ekonomi dan Ahli Lingkungan). 6 Bukti status

Dalam acara dimaksud harus membawa dokumen asli yang saudara upload pada Aplikasi LPSE Kabupaten Deli Serdang dan membawa Surat Keterangan Domisili Perusahaan dari