• Tidak ada hasil yang ditemukan

Manajemen Lanskap Riparian Sebagai Strategi Pengendalian Ruang Terbuka Biru Pada Sungai Ciliwung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Manajemen Lanskap Riparian Sebagai Strategi Pengendalian Ruang Terbuka Biru Pada Sungai Ciliwung"

Copied!
109
0
0

Teks penuh

(1)

MANAJEMEN LANSKAP RIPARIAN SEBAGAI STRATEGI

PENGENDALIAN RUANG TERBUKA BIRU

PADA SUNGAI CILIWUNG

TRI UTOMO ZELAN NOVIANDI

SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI USULAN PENELITIAN DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Manajemen Lanskap Riparian sebagai Strategi Pengendalian Ruang Terbuka Biru pada Sungai Ciliwung adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor.

Bogor, Mei 2016

Tri Utomo Zelan Noviandi

(4)

RINGKASAN

TRI UTOMO ZELAN NOVIANDI. Manajemen Lanskap Riparian sebagai Strategi Pengendalian Ruang Terbuka Biru pada Sungai Ciliwung. Dibimbing oleh HADI SUSILO ARIFIN dan KASWANTO.

Sungai Ciliwung merupakan sungai yang memiliki hulu di Kabupaten Bogor, mengalir melalui beberapa kota seperti Bogor, Depok, dan Jakarta, hingga akhirnya bermuara di Teluk Jakarta. Sungai ini menghadapi masalah perubahan penutupan lahan berupa okupasi lahan terbangun pada riparian sungainya, danakhirnya dapat memperparah dampak banjir di hilir. Sebagai zona transisi ekosistem terestrial dan akuatik, zona riparian yang terokupasi lahan terbangun akan kehilangan fungsi ekologisnya, terutama fungsi konservasi dari kenanekaragaman hayati, retensi air dan resapan air.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk merumuskan konsep manajemen lanskap riparian pada Sungai Ciliwung sebagai upaya untuk mengendalikan banjir di hilir. Riparian Sungai Ciliwung dibagi ke dalam tiga segmen, yaitu segmen hulu, tengah dan hilir. Metode yang digunakan dalam penelitian yaitu perbandingan standar lebar riparian untuk mendapatkan lebar ideal riparian, analisis karakteristik lanskap riparian, Analytical Hierarcy Process (AHP), dan pendekatan konsep restorasi sungai untuk mendapatkan konsep manajemen lanskap riparian yang sesuai pada Sungai Ciliwung.

Lebar ideal riparian hasil analisis adalah 50 m untuk riparian wilayah perkotaan dan 100 m untuk riparian di luar wilayah perkotaan. Analisis karakteristik lanskap riparian menunjukkan bahwa 40.7% zona riparian Sungai Ciliwung telah terokupasi oleh lahan terbangun. Okupasi lahan terbangun terbesar ditemukan pada segmen hilir. Indeks Sinuositas Sungai Ciliwung menunjukkan angka 1.24 (sinuous) pada segmen hulu, 1.88 (meandering) pada segmen tengah dan 1.62 (meandering) pada segmen hilir. Prioritas fungsi lanskap riparian Sungai Ciliwung adalah untuk manajemen sumber daya air. Sedangkan fungsi pada masing-masing segmen yaitu (1) fungsi konservasi biodiversitas pada segmen hulu, (2) fungsi produksi pada segmen tengah, dan (3) fungsi estetika lanskap pada segmen hilir. Konsep manajemen lanskap riparian pada segmen hulu diarahkan untuk resapan air dengan rencana penambahan Ruang Terbuka Biru (RTB) berupa kolam retensi. Sedangkan, konsep manajemen lanskap riparian pada segmen tengah dan hilir diarahkan untuk retensi atau tampungan air dengan rencana penambahan Ruang Terbuka Biru (RTB) berupa cekungan tepi sungai.

Kata kunci:

(5)

SUMMARY

TRI UTOMO ZELAN NOVIANDI. Riparian Landscape Management as Blue Open Space Control Strategy in Ciliwung River. Supervised by HADI SUSILO ARIFIN and KASWANTO.

Ciliwung River flows from Bogor District to the capital city of Jakarta. It’s facing problems of land cover changes, such as settlement occupation in riparian zones. This phenomenon caused disasters like annual flooding in Jakarta. As transitional ecosystems between terrestrial and aquatic ecosystems, riparian zones that were transformed into settlement will lose its ecological functions, such as biodiversity conservation, water catchment and water retention.

The purpose of this research is to develop riparian landscape management in Ciliwung River as an effort to control floods. Ciliwung River riparian is divided into three segments, that is the upstream, the midstream, and the downstream. Methods used were comparing standards to get the ideal riparian width of Ciliwung River, analyzing riparian landscape characteristic, Analytical Hierarcy Process (AHP), and approaches the concept of river restoration to arrange riparian lansdscape management of Ciliwung River.

The ideal riparian of Ciliwung riparian are 50 m in urban areas and 100 m in outside of urban areas. Riparian landscape analysis showed almost 40.7% of riparian zones in Ciliwung River had occupied by settlement. The largest of settlement occupation occur in the downstream. Sinuosity Index (SI) of Ciliwung River are 1.24 (sinuous) in the upstream, 1.88 (meandering) in the midstream, and 1.62 (meandering) in the downstream. Priority function of Ciliwung River riparian obtained from AHP in water resources management. While the function in each segment are biodiversity concervation in the upstream, production in the midstream, and landscape aesthetic in the downstream. Riparian landscape management in the upstream directed to water catchment (riparian forest) with addition of water retention pond. While, riparian landscape management in the midstream and downstream directed to water retention or water basin with addition of riverside pond.

Keywords:

(6)

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2016

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB

(7)

MANAJEMEN LANSKAP RIPARIAN SEBAGAI STRATEGI

PENGENDALIAN RUANG TERBUKA BIRU

PADA SUNGAI CILIWUNG

TRI UTOMO ZELAN NOVIANDI

Tesis

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains

pada

Program Studi Arsitektur Lanskap

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

(8)
(9)
(10)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ini adalah sungai, dengan judul Manajemen Lanskap Riparian sebagai Strategi Pengendalian Ruang Terbuka Biru pada Sungai Ciliwung. Hasil utama dari penelitian ini adalah konsep manajemen lanskap riparian yang sesuai untuk diterapkan pada sempadan Sungai Ciliwung. Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian RTH-RTB BOPTN yang berjudul “Analisis Ketersediaan Green Water

dan Blue Water dalam Manajemen Lanskap yang Berkelanjutan di Daerah Aliran Sungai Ciliwung”, kerja sama dengan Future Cities Lab. ETH Singapore. Selain itu, penelitian ini juga merupakan bagian dari penelitian Water Sensitive Cities, kerja sama antara Institut Pertanian Bogor dan Monash University, The Australian-Indonesia Centre (AIC).

Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr Ir Hadi Susilo Arifin, MS dan Dr Kaswanto, SP, MSi selaku pembimbing yang telah banyak memberi saran dan bimbingan dalam penyelesaian tesis ini. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada seluruh pihak yang telah membantu penulis selama pengumpulan data dan penyusunan karya ilmiah. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, seluruh keluarga, serta teman-teman atas segala doa dan kasih sayangnya.

Hasil penelitian ini akan diharapkan bermanfaat bagi pemerintah dan masyarakat yang dilalui Sungai Ciliwung maupun sungai lain yang memiliki permasalahan seperti Sungai Ciliwung, dalam menerapkan bentuk manajemen lanskap riparian sungainya. Dengan menerapkan bentuk manajemen lanskap riparian yang tepat, sungai sebagai badan air yang memiliki jasa lingkungan yang penting akan tetap terjaga dan bencana banjir pun dapat dikendalikan.

Bogor, Mei 2016

(11)

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL xiii

DAFTAR GAMBAR xiii

DAFTAR LAMPIRAN xv

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Perumusan Masalah 3

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

Ruang Lingkup Penelitian 4

TINJAUAN PUSTAKA 5

Riparian Sungai 5

Lebar Riparian Sungai Berdasarkan Studi Literatur 6 Penentuan Lebar Riparian Berdasarkan Morfologi Melintang

dan Hidraulik Banjir Sungai 7

Pengelolaan Riparian Sungai untuk Pengendalian Banjir 9

METODE 13

Lokasi dan Waktu Penelitian 13

Alat dan Bahan 15

Jenis dan Sumber Data 15

Metode Penelitian 15

Analisis Lebar dan Karakteristik Lanskap Riparian

Sungai Ciliwung 18

Analisis Fungsi dan Pemanfaatan Lanskap Riparian

Sungai Ciliwung 20

Penyusunan Manajemen Lanskap Riparian Sungai Ciliwung 23

HASIL DAN PEMBAHASAN 24

Analisis Situasional Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung 24

Topografi dan Iklim 24

Hidrogeologi 26

Jenis Tanah dan Geomorfologi 27

Penggunaan Lahan 28

Analisis Lanskap Riparian Sungai Ciliwung 31

Penentuan Lebar Riparian Sungai Ciliwung 31

Riparian Sungai Ciliwung Segmen Hulu 32

Riparian Sungai Ciliwung Segmen Tengah 34

Riparian Sungai Ciliwung Segmen Hilir 38

(12)

Analisis Fungsi dan Pemanfaatan Lanskap Riparian Sungai Ciliwung 41 Hasil AHP Pakar Teknik Sipil dan Sumber daya Air 41 Hasil AHP Pakar Sosial dan Pengelolaan Lanskap Riparian

Berbasis Masyarakat 42

Hasil AHP Pakar Daerah Aliran Sungai (DAS) 42 Hasil AHP Tergabung (Combined Synthesis) 43 Analisis Sensitivitas Fungsi Lanskap Riparian Sungai Ciliwung 46 Penentuan Fungsi dan Pemanfaatan Lanskap Riparian

Sungai Ciliwung 46

Manajemen Lanskap Riparian Sungai Ciliwung 48

Manajemen Riparian Sungai Ciliwung Segmen Hulu 51 Manajemen Riparian Sungai Ciliwung Segmen Tengah 54 Manajemen Riparian Sungai Ciliwung Segmen Hilir 58 Estimasi Jumlah Penambahan Ruang Terbuka Biru 62 Estimasi Volume Air Penambahan Ruang Terbuka Biru 63 Strategi Pembebasan Lahan untuk Aplikasi Konsep Manajemen

Lanskap Riparian pada Sungai Ciliwung 64

SIMPULAN DAN SARAN 66

Simpulan 66

Saran 66

DAFTAR PUSTAKA 67

LAMPIRAN 71

(13)

DAFTAR TABEL

1 Standar lebar riparian atau sempadan sungai di Indonesia 6 2 Standar lebar riparian sungai berdasarkan kajian dari berbagai literatur 7 3 Hasil kajian lebar riparian sungai tidak bertanggul 9

4 Pembagian segmen lokasi penelitian 13

5 Alat penelititan 15

6 Matriks tujuan penelitian, data, sumber data, metode dan keluaran atau

hasil dari penelitian 16

7 Perbandingan standar lebar riparian dari berbagai literatur 18 8 Daftar responden pakar untuk pengisian kuesioner AHP 21 9 Kelas kemiringan lereng dan luasannya di DAS Ciliwung 25

10 Geologi dan luasannya di DAS Ciliwung 27

11 Jenis tanah dan luasannya di DAS Ciliwung 27

12 Penggunaan lahan dan luasannya di DAS Ciliwung 29

13 Penentuan lebar riparian Sungai Ciliwung 32

14 Analisis penutupan lahan riparian Sungai Ciliwung segmen hulu 34 15 Analisis penutupan lahan riparian Sungai Ciliwung segmen tengah 37 16 Analisis penutupan lahan riparian Sungai Ciliwung segmen hilir 39 17 Penutupan lahan tergabung riparian Sungai Ciliwung 40 18 Ringkasan pembobotan prioritas fungsi dan sub-fungsi lanskap riparian

pada Sungai Ciliwung 45

19 Prioritas fungsi lanskap riparian Sungai Ciliwung per segmen 47 20 Prioritas pemanfaatan lanskap riparian Sungai Ciliwung per segmen 48 21 Konsep manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung per segmen 50 22 Estimasi jumlah penambahan RTB pada riparian Sungai Ciliwung 61 23 Estimasi volume penambahan RTB pada riparian Sungai Ciliwung 62

DAFTAR GAMBAR

1 Kerangka pikir penelitian 4

2 Ilustrasi zona riparian sungai 5

3 Pembagian zona riparian sungai 8

4 Penanaman di riparian sungai 10

5 Riparian sungai sebelum pelebaran (kiri) dan setelah pelebaran (kanan) 11

6 Konsep eco-engineering 11

7 Konsep inisiasi meander 12

8 Konsep river side polder 12

9 Lokasi penelitian lanskap riparian pada Sungai Ciliwung 14

10 Tahapan penelititan 17

11 Contoh klasifikasi penutupan lahan terbangun dan non-terbangun pada

(14)

12 Kegiatan observasi lapang riparian Sungai Ciliwung (kiri) dan penelusuran sungai dengan perahu karet (kanan) 19

13 Penghitungan nilai sinuositas sungai 20

14 Rancangan struktur AHP 22

15 Skema penyusunan manajemen lanskap riparian 23

16 Peta kelas kemiringan lereng DAS Ciliwung 24

17 Peta curah hujan DAS Ciliwung 26

18 Peta jenis tanah DAS Ciliwung 28

19 Peta penggunaan lahan DAS Ciliwung 30

20 Analisis penentuan lebar riparian Sungai Ciliwung 31 21 Lahan produksi berupa sawah (kiri) dan perkebunan (kanan) pada

riparian Sungai Ciliwung segmen hulu 32

22 Vegetasi alami berupa hutan (kiri) dan semak belukar (kanan) pada

riparian Sungai Ciliwung segmen hulu 33

23 Lahan terbangun berupa permukiman (kiri) dan restoran tepi sungai (kanan) pada riparian Sungai Ciliwung segmen hulu 33 24 Vegetasi alami berupa jajaran bambu di Kelurahan Waringin Jaya (kiri)

dan semak belukar di Kelurahan Karadenan (kanan) pada riparian

Sungai Ciliwung segmen tengah 34

25 Kebun campuran di Kelurahan Kedung Halang (kiri), Kelurahan Sukahati (kanan atas) dan Kelurahan Tirtajaya (kanan bawah) pada

riparian Sungai Ciliwung segmen tengah 35

26 Pemanfaatan riparian dalam bentuk keramba di Kota Bogor 35 27 Lahan terbangun berupa permukiman di Kelurahan Sempur, Bogor

(kiri) dan Kelurahan Pasir Gunung Selatan, Depok (kanan) pada

riparian Sungai Ciliwung segmen tengah 36

28 Longsor pada riparian Sungai Ciliwung Kelurahan Sempur 36 29 Lahan terbangun di Kelurahan Bukit Duri (kiri) dan Kelurahan

Kampung Melayu (kanan) pada riparian Sungai Ciliwung segmen hilir 38 30 Vegetasi riparian di Kelurahan Bukit Duri (kiri) dan Kelurahan

Kampung Melayu (kanan) pada riparian Sungai Ciliwung segmen hilir 39 31 Sintesis prioritas segmen (atas) serta fungsi lanskap riparian (bawah)

menurut pakar teknik sipil dan sumber daya air 41 32 Sintesis prioritas segmen (atas) serta fungsi lanskap riparian (bawah)

menurut pakar sosial dan pengelolaan lanskap riparian berbasis masyarakat 42 33 Sintesis prioritas segmen (atas) serta fungsi lanskap riparian (bawah)

menurut pakar Daerah Aliran Sungai (DAS) 43

34 Sintesis prioritas segmen berdasarkan hasil kombinasi AHP 43 35 Prioritas fungsi lanskap riparian Sungai Ciliwung berdasarkan hasil

kombinasi ketiga pakar 44

36 Diagram pohon prioritas fungsi lanskap riparian Sungai Ciliwung 44 37 Grafik sensitivitas prioritas fungsi lanskap riparian terhadap setiap

segmen Sungai Ciliwung 46

38 Konsep lanskap riparian berkelanjutan 49

39 Contoh rencana lanskap riparian Sungai Ciliwung segmen hulu 51 40 Potongan AA’ konsep manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung

segmen hulu 52

(15)

42 Inisiasi meander dan cekungan tepi sungai (riverside pond) 55 43 Contoh rencana lanskap riparian Sungai Ciliwung segmen tengah 56 44 Potongan AA’ konsep manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung

segmen tengah 57

45 Contoh rencana lanskap riparian Sungai Ciliwung segmen hilir 59 46 Potongan AA’ konsep manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung

segmen hilir 60

47 Potongan konsep kanal sisi sungai pada Sungai Ciliwung; alternatif 1

(atas) dan alternatif 2 (bawah) 61

48 Strategi aplikasi konsep manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung 64

DAFTAR LAMPIRAN

1 Koefisien run off 71

2 Jenis tumbuhan pada riparian Sungai Ciliwung 72

3 Format kuisioner Analytical Hierarchy Process (AHP) 76

(16)
(17)

1 PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sungai Ciliwung merupakan sungai yang memiliki hulu di Kabupaten Bogor, mengalir melalui beberapa kota seperti Bogor, Depok, dan Jakarta, hingga akhirnya bermuara di Teluk Jakarta. Sungai ini memiliki panjang kurang lebih 117 km dengan kedalaman rata-rata kurang dari 4 m. Sebagai sungai yang melalui ibukota, Sungai Ciliwung kerap kali dijadikan “kambing hitam” penyebab terjadinya bencana banjir di Jakarta. Hal ini disebabkan karena pada musim hujan debit Sungai Ciliwung meluap hingga dapat membanjiri beberapa kawasan dan jalan di Ibukota Jakarta.

Bencana banjir sebenarnya terjadi akibat berkurangnya daerah yang memiliki fungsi ekologis sebagai resapan air (water catchment) dan tampungan air (water basin). Fungsi resapan air dapat dicapai dengan adanya Ruang Terbuka Hijau (RTH), salah satunya dapat berupa riparian sungai (Schultz et al. 2000; Pusey dan Arthington 2003; Bertoldi et al. 2011; Stevaux et al. 2013). Riparian merupakan zona transisi antara ekosistem daratan dengan akuatik (Naiman et al.

2005; Arroyo et al. 2010; Clerici et al. 2014), yang dalam hal ini diartikan sebagai kawasan sempadan sungai. Riparian sungai memberikan fungsi ekologis antara lain, sebagai sumber air (mata air) dan nutrisi, penyaring polutan dan zat beracun, dan sebagai habitat vegetasi dan satwa (Naiman et al. 1993; Naiman dan Decamps 1997; Sabo et al. 2005; Negussie et al. 2011; Izydorczyk et al. 2013). Fungsi tampungan air, dapat dicapai dengan adanya Ruang Terbuka Biru (RTB). Menurut Arifin (2014), RTB merupakan cekungan-cekungan yang berpotensi sebagai tempat menampung atau mengalirkan air, seperti danau, waduk, kolam, atau bahkan sungai itu sendiri. Akan tetapi, RTH dalam bentuk sempadan sungai maupun RTB dalam bentuk badan-badan air, luasannya semakin berkurang akibat aktivitas pembangunan (BBWSCC 2012).

Pesatnya pembangunan yang mengokupasi kawasan riparian telah menyebabkan fungsi ekologis kawasan tersebut berkurang (Sliva dan Williams 2001; Li et al. 2009). Dalam Peraturan Menteri PUPR No. 28 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah RI No. 38 Tahun 2011, pemerintah telah menetapkan bahwa sempadan sungai merupakan kawasan lindung yang seharusnya bebas dari aktivitas pembangunan. Akan tetapi, peraturan yang sudah ada tersebut seolah diabaikan dan pembangunan tetap terjadi pada kawasan sempadan Sungai Ciliwung. Isu mengenai perubahan tutupan lahan akibat pembangunan merupakan faktor utama terjadinya degradasi lingkungan (DeFries et al. 2004). Pembangunan ini dapat menutup tanah dan menghancurkan formasi vegetasi riparian. Akibatnya, daya retensi air semakin berkurang sehingga volume air limpasan menuju hilir akan semakin besar dan dapat memperparah dampak banjir (Barbosa et al. 2012).

(18)

dekatnya tempat tinggal mereka terhadap lokasi untuk mencari nafkah juga menjadi alasan retorik yang selalu diutarakan untuk mempertahankan tempat tinggal ilegal ini.

Upaya untuk mengurangi dampak banjir juga sudah dilakukan pemerintah dengan teknik normalisasi Sungai Ciliwung. Teknik normalisasi bertujuan untuk memperkuat sempadan sungai dengan pembetonan dan diharapkan dapat mengalirkan air lebih cepat sehingga tidak membanjiri suatu kawasan. Akan tetapi, teknik ini sebenarnya justru dapat memperparah banjir di hilir, karena dengan pembetonan, daya retensi air pada sempadan sungai akan berkurang dan aliran debit menuju ke hilir akan semakin cepat. Akibatnya, banjir di kawasan hilir akan semakin cepat terjadi dengan volume banjir yang lebih besar.

Selain relokasi dan normalisasi, salah satu upaya yang akan dilakukan pemerintah dalam mengendalikan bencana banjir ini adalah dengan merencanakan pembuatan Waduk Ciawi. Waduk ini direncanakan dibangun dengan luas 107 ha dan dapat menampung 11.8 juta m3 air dari DAS Ciliwung (jakarta.go.id 2014). Akan tetapi, dalam realisasinya, pembangunan waduk ini menghadapi kendala yaitu besarnya dana yang diperlukan mencapai 3.1 triliun rupiah, terdiri dari dana untuk pembebasan lahan sebesar 1.2 triliun rupiah, dan dana untuk pembangunan fisik waduk sebesar 1.9 triliun rupiah. Selain dana yang besar, permasalahan lingkungan juga tidak lepas dari aktivitas pembangunan waduk tersebut. Perubahan tutupan lahan yang sebelumnya merupakan ekosistem terestrial menjadi badan air akan banyak merendam vegetasi dan menimbulkan pembusukan. Hal ini dapat meningkatkan jumlah CO2 dan gas metan (CH4) yang

merupakan salah satu gas penyebab efek rumah kaca (Karyono 2010). Selain itu, biodiversitas akan banyak berkurang akibat adanya perubahan ekosistem di kawasan pembangunan waduk baru. Interupsi ekologi seperti migrasi ikan (fish migration) dan sedimen yang lebih besar pada hilir sungai juga dapat terjadi akibat pembangunan waduk.

Meninjau dari permasalahan yang terjadi pada riparian Sungai Ciliwung, alternatif tindakan yang bertujuan untuk melindungi kawasan riparian ini sebagai kawasan resapan air sangat diperlukan. Beberapa bentuk strategi yang dapat diterapkan pada riparian atau sempadan Sungai Ciliwung yaitu restorasi kawasan sempadan sungai ataupun dengan rekayasa sempadan sungai yang bertujuan untuk mengkonservasi kawasan sempadan sungai. Dengan mengupayakan konservasi kawasan sempadan yang sudah dipadati oleh permukiman menjadi bentuk-bentuk riparian yang lebih berwawasan lingkungan, air limpasan penyebab banjir diharapkan dapat direduksi.

Untuk mencapai tujuan yaitu manajemen lanskap riparian yang sesuai pada Sungai Ciliwung, beberapa pendekatan perlu dilakukan. Analisis lebar riparian dan karakteristik lanskap riparian secara spasial perlu dilakukan untuk mengetahui kondisi umum riparian Sungai Ciliwung. Penentuan bentuk fungsi dan pemanfaatan lanskap riparian dilakukan dengan pendekatan kepada berbagai

(19)

Perumusan Masalah

Sungai Ciliwung, sebagai salah satu bentuk Ruang Terbuka Biru (RTB) yang bersifat lotik (dinamis), memiliki kawasan riparian yang berfungsi sebagai penyangga bagi badan air sungai itu sendiri dan retensi terhadap air limpasan menuju hilir. Akan tetapi, kondisi riparian Sungai Ciliwung saat ini cukup memprihatinkan. Okupasi lahan terbangun pada kawasan riparian menjadikan riparian atau sempadan Sungai Ciliwung tidak lagi dapat meresapkan air secara optimal. Badan air sungai pun semakin menyempit dan air hujan tidak lagi dapat meresap optimal ke dalam tanah. Hal ini menyebabkan semakin besarnya air limpasan yang terakumulasi pada debit sungai. Tidak heran, jika pada musim hujan, air Sungai Ciliwung meluap dan kerap dijadikan “kambing hitam” dari banjir yang terjadi di Jakarta.

Meninjau dari permasalahan kawasan riparian atau sempadan Sungai Ciliwung yang terjadi, manajemen terhadap kawasan riparian menjadi salah satu strategi yang penting untuk mengendalikan banjir di hilir. Oleh karena itu, kajian untuk menyusun manajemen lanskap riparian diperlukan guna memberikan solusi terbaik bagi keberlanjutan lingkungan dan kehidupan manusia. Berdasarkan hal tersebut, berikut merupakan pertanyaan yang dihadapi dalam penyusunan manajemen lanskap riparian sebagai strategi pengendalian ruang terbuka biru pada Sungai Ciliwung.

1. Bagamaina standar lebar sempadan atau riparian dan penutupan lahan terbangun pada riparian Sungai Ciliwung?

2. Bagaimana fungsi dan pemanfaatan lanskap riparian yang sesuai diterapkan pada setiap kawasan yang dilalui Sungai Ciliwung?

3. Bagaimana manajemen lanskap riparian yang sesuai untuk diterapkan pada Sungai Ciliwung?

Tujuan Penelitian

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk menyusun manajemen lanskap riparian sebagai strategi pengendalian Ruang Terbuka Biru (RTB) pada Sungai Ciliwung. Sementara tujuan khusus penelitian ini yaitu:

1. Menganalisis lebar dan karakteristik lanskap riparian Sungai Ciliwung.

2. Menganalisis alternatif fungsi dan pemanfaatan lanskap riparian yang sesuai untuk diterapkan pada setiap segmen Sungai Ciliwung.

3. Menyusun konsep manajemen lanskap riparian yang sesuai pada Sungai Ciliwung dalam bentuk model gambar.

Manfaat Penelitian

(20)

Ruang Lingkup Penelitian

Batasan penelitian meliputi lingkup area wilayah penelitian dan lingkup bahasan penelitian yang akan dikaji. Lingkup area wilayah penelitian adalah riparian Sungai Ciliwung. Lebar riparian yang digunakan sesuai dengan regulasi Peraturan Mentri (Permen) PUPR No 28 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) No 38 Tahun 2011, serta analisis dan kajian literatur lain mengenai penentuan standar lebar riparian sungai.

Lingkup bahasan penelitian ini didasari pada fenomena okupasi permukiman yang terus berkembang tanpa memperhatikan aspek lingkungan. Salah satu lahan yang telah terokupasi adalah kawasan riparian. Okupasi permukiman pada kawasan riparian akan berimbas pada menurunnya daya resap air ke dalam tanah, dan pada akhirnya akan meningkatkan debit air limpasan. Berbagai upaya untuk menanggulangi luapan air limpasan penyebab banjir dirasa belum cukup efektif. Oleh karena itu, analisis terhadap lebar riparian, karakteristik lanskap riparian, fungsi serta pemanfaatan lanskap riparian perlu dilakukan guna menyusun konsep manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung sebagai salah satu strategi untuk mengendalikan banjir di ibukota (Gambar 1).

Gambar 1 Kerangka pikir penelitian Alih Fungsi Lahan di Sempadan Sungai Ciliwung

akibat Okupasi Lahan Permukiman

Berkurangnya Luas RTH

Resapan air berkurang

Berkurangnya Luas RTB

Tampungan air berkurang

Bencana Banjir di Ibukota Jakarta

Analisis lebar riparian dan penutupan lahan riparian

Analisis bentuk pemanfaatan lanskap riparian Berbagai macam cara untuk mengendalikan banjir

Analisis konsep restorasi sungai pada riparian Sungai Ciliwung

Permasalahan

Analisis yang akan dilakukan

Produk Penelitian Konsep Manajemen Lanskap Riparian Sungai Ciliwung

Pemanfaatan lanskap riparian Fungsi lanskap

riparian

(21)

2 TINJAUAN PUSTAKA

Riparian Sungai

Riparian berasal dari bahasa latin “riparius” yang berarti “daerah milik tepi sungai” (Naiman dan Decamps 1997). Riparian merupakan ekosistem yang berada di tepi sungai atau badan air lainnya yang dipengaruhi oleh banjir periodik. Riparian juga dapat diartikan sebagai zona transisi ekositem (ecotones), yaitu transisi ekosistem akuatik dari sungai dan ekosistem terestrial (Gambar 2) yang kondisi biotik dan abiotiknya dipengaruhi oleh aliran air permukaan dan hidrologi di bawah permukaan (Verry et al. 2004). Sebagai zona transisi antara sungai dan daratannya, area ini mendukung tumbuhnya vegetasi yang lebih beragam (Elmore 1992; Osborne dan Kovacic 1993).

Gambar 2 Ilustrasi zona riparian sungai

Riparian pada umumnya diisi oleh kombinasi atau formasi tanaman dari penutup tanah, semak hingga pohon. Formasi yang paling dekat dengan badan air sungai diisi oleh semak atau tanaman rendah lain yang toleran terhadap genangan air. Hal ini disebabkan pada saat musim hujan, tinggi muka air akan naik dan menggenangi bantaran atau daerah dataran banjir. Riparian memiliki fungsi ekologis yaitu menjaga kualitas air sungai, mengurangi akumulasi sedimentasi, dan mencegah erosi (Dindaroglu et al. 2015). Selain itu, fungsi lain dari riparian antara lain sebagai berikut (Schultz et al. 2000; Pusey dan Arthington 2003; Bertoldi et al. 2011; Stevaux et al. 2013):

a. Memberikan naungan guna mengatur temperatur di sepanjang sungai. b. Menyerap air sehingga dapat mereduksi volume air limpasan.

c. Menyimpan air dan mengisi ulang air tanah dalam. d. Mereduksi zat-zat kimia yang dapat mencemari sungai.

e. Menyediakan habitat untuk bermacam-macam hewan dan tumbuhan baik terestrial maupun akuatik.

Riparian sungai dalam bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai bantaran atau sempadan dari suatu sungai. Lebar sempadan sungai yang berlaku di

(22)

Indonesia telah diatur oleh pemerintah dan tertulis dalam Peraturan Menteri (Permen) Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) No. 28 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia (PPRI) Nomor 38 Tahun 2011. Standar sempadan sungai ini bervariasi, tergantung pada tipe sungai, daerah yang dilalui oleh sungai, dan luas DAS serta kedalaman sungai tersebut (Tabel 1). Tabel 1 Standar lebar riparian atau sempadan sungai di Indonesia

Tipe sungai Luar wilayah perkotaan Dalam wilayah perkotaan

Kriteria Lebar riparian Kriteria Lebar riparian

Sungai bertanggul

Sumber: Peraturan Menteri PUPR Nomor 28 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 38 Tahun 2011

Kondisi sebenarnya di lapang mengenai lebar sempadan yang telah ditetapkan oleh pemerintah seolah diabaikan. Hal ini terbukti dari masih banyaknya bangunan yang berdiri pada zona riparian. Bangunan yang mengokupasi zona riparian ini dapat mengancam keberlangsungan hidup biota yang ada di dalamnya (Shochat et al. 2004; Magura et al. 2010). Lebar dari riparian seharusnya ditentukan berdasarkan kondisi daratan, jenis badan air, keberlangsungan hidup satwa akuatik dan pemanfaatannya (Akay et al. 2012). Menurut Maryono (2009), salah satu cara dalam menentukan lebar sempadan sungai yaitu dengan metode kajian ekologi, hidraulik banjir dan morfologi sungai.

Lebar Riparian Sungai Berdasarkan Studi Literatur

(23)

Tabel 2 Standar lebar riparian sungai berdasarkan kajian dari berbagai literatur Fungsi

riparian

Sumber Keterangan Lebar riparian

Konservasi habitat satwa

Fischer dan Fischenich (2000)

Memperbaiki habitat terestrial 30-500 m

Memperbaiki habitat akuatik 3-30.48 m

Stabilisasi lereng 9-30 m

Broadmeadow dan Nisbet (2004)

Menjaga temperatur sungai 15-70 m

Perbaikan

Divelbiss (1994) Memberikan ruang meander Dua kali lebar kanopi pohon tepi sungai

Perlindungan banjir 100 tahun 50-90 m

Lynch dan Corbett

Berdasarkan kajian literatur, standar lebar riparian sangat beragam sesuai fungsinya. Lebar riparian dengan fungsi konservasi habitat satwa memiliki rentang yang cukup besar, yaitu hingga 500 m. Fungsi untuk memperbaiki kualitas air dan memberikan perlindungan terhadap banjir memiliki rentang yang tidak jauh berbeda, dengan nilai terbesarnya yaitu 90-100 m. Jika dilihat secara spesifik dari fungsi untuk pengendalian banjir, lebar ripariannya yaitu 45-90 m (Smardon dan Felleman 1996; Bertulli 1981; Castelle et al. 1994).

Penentuan Lebar Riparian Sungai Berdasarkan Morfologi Melintang dan Hidraulik Banjir Sungai

Penentuan lebar riparian berikutnya didasarkan atas proses perubahan morfologi, hidraulik, ekologi dan keamanan masyarakat di sekitar sempadan. Dalam menentukan lebar riparian berdasarkan morfologi melintang dan hidraulik banjir sungai, Maryono (2009) membagi riparian sungai menjadi empat zona (Gambar 3), yaitu:

1. Bantaran banjir (flood plain)

(24)

2. Bantaran longsor (sliding plain)

Bantaran longsor merupakan zona di luar bantaran banjir yang memiliki resiko lebih untuk longsor. Hal ini disebabkan karena zona ini relatif lebih miring dari zona sempadan lainnya. Lebar dari bantaran longsor dapat ditentukan dari tinggi tebing sungai. Jika tinggi tebing sungai dinyatakan dalam H, maka lebar bantaran longsor minimal 1.5 H.

3. Bantaran ekologi penyangga

Bantaran ekologi penyangga adalah zona yang berfungsi menjaga kondisi ekologi pada bantaran longsor dan bantaran banjir. Lebar bantaran ekologi berkisar antara satu sampai dua kali tinggi tebing sungai (1H ≤ x ≤ 2H). Lebar bantaran ekologi juga dapat ditentukan berdasarkan diameter kanopi pohon (k), yaitu dua sampai empat kali lebar kanopi pohon pada bantaran ini (2k ≤ x ≤ 4k).

4. Bantaran keamanan

Bantaran keamanan merupakan batas antara zona riparian dengan kawasan yang menjadi kawasan sosial atau masyarakat. Zona ini menjadi ruang keamanan sungai dari okupasi kawasan terbangun. Lebar minimal dari bantaran keamanan ini adalah 1.5 H.

Gambar 3 Pembagian zona riparian sungai

(25)

Pada tipe sungai yang memiliki tanggul, standar lebar riparian sungainya pun masih mengacu pada aspek legal, yaitu Peraturan Menteri PU No 63 Tahun 1993 dan PPRI No 38 Tahun 2011. Penentuan tepi sungainya juga masih ditentukan berdasarkan pendekatan historis tebing sungai sebelum dibangun talud atau tanggul. Hal ini disebabkan karena aktivitas pembuatan tanggul dapat mengubah fisik alami dari riparian sungai, sehingga tepi sungai menjadi bias. Sama halnya untuk sungai yang terpengaruh oleh pasang surut air laut. Penentuan lebar riparian sungainya memerlukan kajian tersendiri, karena faktor yang mempengaruhi luapan airnya berbeda dengan sungai pada umumnya.

Tabel 3 Hasil kajian lebar riparian sungai tidak bertanggul Tipe

sungai

Wilayah perdesaan Wilayah urban fringe Wilayah perkotaan

Kriteria

Pengelolaan Riparian Sungai untuk Pengendalian Banjir

Permasalahan banjir, khususnya banjir di Ibukota Jakarta, merupakan bencana yang rutin datang terutama pada saat musim hujan. Banjir dapat terjadi karena beberapa faktor, antara lain; (1) curah hujan yang berlebih, (2) luapan air dari sungai atau waduk, (3) gelombang pasang air laut, ataupun (4) kombinasi dari beberapa faktor (Meesuk et al. 2015). Bencana banjir ini merupakan salah satu indikator kerusakan lingkungan (BPDAS Citarum-Ciliwung 2011; Rafiq dan Blasch 2012; Albano et al. 2014). Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk mengendalikan bencana banjir ini, salah satunya yaitu dengan melakukan perbaikan dan pengelolaan terhadap sungai.

Konsep pengelolaan sungai yang saat ini diterapkan di Indonesia masih berkiblat pada konsep konvensional atau konsep hidraulik murni yang mengupayakan agar air dibuang secepat-cepatnya menuju hilir. Beberapa upaya yang telah dilakukan dengan konsep hidraulik murni ini adalah normalisasi sungai, sudetan, pelurusan hingga pengerasan tebing sungai dengan beton. Akan tetapi, konsep hidraulik murni ini justru dapat memperparah dampak banjir. Air tidak lagi dapat ditahan secara maksimal oleh riparian sungai, arus air pun semakin cepat dan akhirnya terkumulasi menjadi banjir di hilir.

(26)

tercetus karena masyarakat, khususnya di Eropa, mulai menyadari bahwa rekayasa hidraulik murni terhadap sungai hanya berdampak pada makin memburuknya kualitas lingkungan. Konsep restorasi sungai juga dikenal dengan istilah lain seperti revitalisasi sungai, renovasi sungai dan renaturalisasi sungai. Restorasi sungai bertujuan untuk mengembalikan sungai dan zona ripariannya pada kondisi alami, meliputi kegiatan perlindungan sampai pemulihan ekologi pada kawasan yang sudah terganggu oleh kegiatan yang bersifat antropogenik (Helfield et al. 2012; Stella et al. 2013; Xia et al. 2014). Upaya restorasi ini harus mempertimbangkan berbagai hal seperti keberlanjutan lingkungan, keuntungan yang dapat diperoleh masyarakat serta kemudahan dalam penerapannya (Valero et al. 2014). Secara khusus, kesuksesan dalam kegiatan restorasi riparian sungai dapat dilihat dari status ekologi dan potensi ekologi yang baik (Morandi et al. 2014). Konsep restorasi riparian sungai ini dilakukan dengan dengan pendekatan ekologi dan hidraulik, yang dikenal dengan konsep eko-hidraulik.

Konsep eko-hidraulik merupakan konsep integral dalam pengelolaan sungai yang mempertimbangkan aspek ekologi dan hidrolika secara sinergis (Maryono 2014). Konsep ini memandang sungai sebagai suatu kesatuan ekosistem dengan komponen biotik dan abiotik di dalamnya yang saling terhubung. Penerapan konsep ini dapat dilakukan pada riparian atau sempadan sungai itu sendiri. Beberapa penerapan konsep eko-hidraulik pada riparian sungai misalnya:

1. Penanaman kembali (revegatation) kawasan riparian sungai

Penanaman pada riparian dilakukan dengan menggunakan tanaman lokal yang sesuai atau sudah ada sebelumnya pada kawasan riparian (Gambar 4). Penggunaan tanaman lokal sangat diutamakan karena sangat sesuai dengan lingkungan riparian sebagai habitatnya. Tumbuhan pada riparian dapat memperkuat lereng sehingga bahaya longsor dapat dikurangi.

Gambar 4 Penanaman di riparian sungai (anglingforconservation.org) 2. Pelebaran bantaran banjir (flood plain)

(27)

dapat direnaturalisasi dengan membuka kembali talud (tanggul) yang ada dan menggantinya dengan vegetasi atau tumbuhan alami riparian.

Gambar 5 Riparian sungai sebelum pelebaran (kiri) dan setelah pelebaran (kanan) (wiki.reformrivers.eu)

3. Pembuatan eco-engineering pada tebing sungai

Konsep eco-engineering merupakan konsep yang bertujuan untuk memperkuat tebing sungai dari ancaman erosi dengan menggunakan material alami. Beberapa alternatif material yang dapat digunakan seperti batang pohon, ranting, formasi batu kali (Gambar 6), ataupun ikatan batang pohon dan ranting yang dikombinasikan dengan batu dan tanah. Penggunaan material alami akan lebih ramah lingkungan sehingga tidak merusak ekosistem pada riparian.

Gambar 6 Konsep eco-engineering (Ebeling 2014)

Penguatan tebing sungai dengan formasi batu dan

tumbuhan Tumbuhan riparian

(28)

4. Inisiasi pembentukan meander sungai

Konsep pembentukan kelokan sungai atau meander ditujukan pada sungai-sungai yang telah mengalami pelurusan atau normalisasi. Teknik ini dapat dilakukan dengan penanaman tumbuhan riparian atau peletakan struktur (seperti bronjong) secara berselang-seling (Gambar 7), sehingga aliran air sungai akan mengalir secara berkelok kembali. Dengan mengembalikan bentuk sungai yang berkelok-kelok, daya retensi terhadap air akan meningkat sehingga kecepatan air limpasan menuju hilir dapat dikurangi.

Gambar 7 Konsep inisiasi meander (Maryono 2014) 5. Pembuatan river side polder

Pembuatan river side polder ini diawali dengan memperlebar bantaran sungai. Polder atau cekungan yang dapat menampung air dapat dibuat pada bantaran yang telah diperlebar (Gambar 8). Cekungan ini dapat terisi oleh air sehingga arus air dapat ditahan dan tidak mengalir begitu saja menuju hilir. Selain itu, polder ini juga berfungsi sebagai penampung air, sehingga pada fluktuasi debit air pada musim kemarau dan musim hujan tidak terlalu signifikan.

Gambar 8 Konsep river side polder (Maryono 2014) Polder

(29)

3 METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian dilakukan pada riparian atau sempadan Sungai Ciliwung dari bulan April sampai dengan bulan September 2015. Riparian Sungai Ciliwung yang diteliti adalah riparian sungai utama sepanjang 106.75 km, dari total panjang Sungai Ciliwung kurang lebih 117 km. Panjang 106.75 km ini diambil dari Desa Tugu Utara di hulu dimana okupasi lahan mulai terlihat. Sedangkan sisanya sepanjang 10.25 km masih merupakan hutan dengan topografi yang curam. Riparian Sungai Ciliwung dibagi ke dalam tiga segmen berdasarkan toposkuens DAS Ciliwung, yaitu segmen hulu, tengah dan hilir (Tabel 4 dan Gambar 9). Lebar riparian dalam penelitian ditentukan berdasarkan analisis berbagai literatur dan jurnal, serta regulasi mengenai garis sempadan sungai yang berlaku di Indonesia (Permen PUPR No 28 Tahun 2015 dan PPRI No 38 Tahun 2011). Tabel 4 Pembagian segmen lokasi penelitian

Segmen/ bagian

Batas desa/

kelurahan Koordinat

Panjang sungai

Jarak dua lembah sungai

Hulu Tugu Utara 6º 41' 20.88" LS 16.74 km 13.41 km

106º 57' 55.34" BT

Katulampa 6º 37' 28.22" LS

106º 50' 13.95" BT

Tengah Katulampa 6º 37' 28.22" LS 67.52 km 35.83 km

106º 50' 13.95" BT

Rawajati 6º 15' 27.33" LS

106º 51' 36.1" BT

Hilir Rawajati 6º 15' 27.33" LS 22.49 km 13.83 km 106º 51' 36.1" BT

Ancol 6º 7' 12.55" LS

106º 49' 42.17" BT

Riparian Sungai Ciliwung segmen hulu dibatasi dari Desa Tugu Utara di Kecamatan Cisarua sampai Bendung Katulampa di Kota Bogor yang merupakan perbatasan antara DAS Ciliwung hulu dan tengah. Riparian yang diteliti melintasi wilayah luar perkotaan di Kabupaten Bogor dan wilayah dalam perkotaan di Kota Bogor. Panjang sungai pada segmen ini 16.74 km dengan jarak antara kedua lembah sungai, yaitu 13.41 km.

(30)

Riparian Sungai Ciliwung segmen hilir dibatasi dari Kelurahan Rawajati di Jakarta Selatan sampai Kelurahan Ancol di Jakarta Utara yang merupakan muara Sungai Ciliwung di Teluk Jakarta. Riparian yang diteliti melintasi wilayah dalam perkotaan, yaitu Ibukota Jakarta. Panjang sungai pada segmen ini 22.49 km dengan jarak antara kedua lembah sungai, yaitu 13.83 km.

(31)

Alat dan Bahan

Penelitian untuk menentukan konsep manajemen lanskap riparian yang sesuai pada Sungai Ciliwung mengunakan peralatan berupa perangkat keras dan perangkat lunak. Peralatan tersebut meliputi kamera digital, perekam suara, perahu karet, Global Positioning System (GPS), alat tulis, software AutoCAD 2007, Microsoft Word 2010, Microsoft Excel 2010, Adobe Photoshop CS4, dan Expert Choice 11 (Tabel 5).

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah lembar kuesioner, peta DAS Ciliwung dan Citra Satelit Landsat serta citra yang didapat dari sumber lain seperti wikimapia dan Google Earth. Selain itu, data pendukung dari berbagai sumber dan laporan terdahulu juga menjadi referensi dan pertimbangan dalam melakukan penelitian ini.

Tabel 5 Alat penelititan

Alat penelitian Fungsi

Hardware

Perahu karet Kamera Digital Perekam suara

Observasi lapang.

Dokumentasi observasi lapang. Merekam suara saat wawancara.

Global Positioning System Mendapatkan titik koordinat sampel riparian Sungai Ciliwung Software

AutoCAD 2007, Microsoft Word 2010, Microsoft Excel 2010, Adobe Photoshop CS4, dan Expert Choice 11

Analisis penutupan lahan

terbangun dan non-terbangun pada riparian Sungai Ciliwung

Jenis dan Sumber Data

Jenis data penelitian yang dibutuhkan terdiri dari data yang didapat secara langsung melalui observasi lapang dan data yang didapatkan dari penelusuran literatur serta dari lembaga atau instansi yang terkait dengan Sungai Ciliwung. Data yang dibutuhkan dikelompokkan berdasarkan tujuan penelitian dan diperinci berdasarkan tujuan penelitian, jenis data, sumber, metode atau analisis data, dan hasil masing-masing atau keluaran yang diharapkan (Tabel 6).

Metode Penelitian

(32)

Tabel 6 Matriks tujuan penelitian, data, sumber data, metode dan keluaran atau hasil dari penelitian

Tujuan penelitian

Data Sumber Metode Keluaran

Analisis lebar

Citra Landsat (geotiff) LAPAN Analisis

spasial

Citra DAS Ciliwung Wikimapia dan

Google Earth

(33)

Gambar 10 Tahapan penelititan Kajian lebar riparian dengan

studi literatur

Pengisian kuisioner AHP oleh pakar

Pembuatan kuisioner Analytical Hierarchy Process (AHP) Studi literatur mmengenai

fungsi dan pemanfaatan lanskap riparian

Prioritas fungsi dan pemanfaatan lanskap riparian

Sungai Ciliwung

Tahap 1 Tahap 2

Konsep Manajemen Lanskap Riparian sebagai Strategi Pengendalian Ruang Terbuka Biru pada Sungai Ciliwung

Tahap 3

Analisis konsep restorasi sungai dan teknik eco-engineering

Produk Penelitian

Pengolahan data kuisioner AHP Penentuan lebar riparian Sungai

Ciliwung sebagai batasan penelitian

Analisis spasial dengan citra satelit

Klasifikasi penutupan lahan terbangun dan non-terbangun

Observasi lapang

Koreksi penutupan lahan dan analisis sinuositas

Karakteristik lanskap riparian Sungai Ciliwung (penutupan

lahan dan sinuositas sungai)

(34)

Analisis Lebar dan Karakteristik Lanskap Riparian Sungai Ciliwung

Analisis untuk menentukan lebar riparian yang sesuai pada Sungai Ciliwung dilakukan dengan membandingkan standar lebar riparian dari berbagai kajian yang telah dilakukan maupun regulasi yang telah diterapkan. Terdapat tiga standar lebar riparian yang dibandingkan (Tabel 7) dalam penelitian ini, yaitu (1) standar lebar riparian sungai dari berbagai literatur dan jurnal, (2) standar lebar riparian sungai berdasarkan Peraturan Mentri PUPR No 28 Tahun 2015 dan Peraturan Pemerintah (PP) RI No 38 Tahun 2011, serta (3) standar lebar riparian sungai berdasarkan morfologi dan hidraulik banjir sungai (Maryono 2009). Penentuan standar lebar riparian sungai menitikberatkan pada fungsi riparian sebagai perlindungan terhadap banjir, dengan mempertimbangkan wilayah yang dilaluinya, yaitu wilayah luar perkotaan dan dalam perkotaan. Hasil analisis lebar riparian akan digunakan sebagai batasan kawasan yang akan diteliti. Batasan penelitian hasil analisis akan tetap dibandingkan dengan standar riparian berdasarkan regulasi yang berlaku di Indonesia.

Tabel 7 Perbandingan standar lebar riparian

Fungsi Sumber Keterangan Lebar riparian

1. Kajian literatur dan jurnal Internasional

Konservasi habitat

Fischer dan Fischenich (2000)

Memperbaiki habitat terestrial 30 - 500 m

satwa Memperbaiki habitat akuatik 3 - 30.48 m

Stabilisasi lereng 9 - 30 m

Mengurangi polutan/sampah 25 - 100 m

Jacobs dan Gilliam

Dilvelbiss (1994) Memberikan ruang meander Lebar dua kanopi pohon Bertulli (1981); Castelle

et al. (1994)

Perlindungan banjir 100 tahun 50 - 90 m

Lynch dan Corbett (1990)

Mengurangi peningkatan tinggi muka air 30 m

2. Regulasi Nasional mengenai Garis Sempadan Sungai (GSS)

Perlindungan

Bertanggul; dalam perkotaan 3 m

Tidak bertanggul; dalam perkotaan 10 - 30 m

Bertanggul; luar perkotaan 5 m

Tidak bertanggul; luar perkotaan 50 - 100 m

3. Kajian lebar riparian sungai berdasarkan morfologi dan hidraulik banjir sungai

Perlndungan banjir

Maryono (2009) Dalam perkotaan 10 - 50 m

Urban fringe 30 - 75 m

Luar perkotaan 50 - 100 m

(35)

riparian. Riparian dengan lebar hasil analisis akan dibandingkan dengan standar sempadan sungai berdasarkan regulasi yang berlaku di Indonesia. Riparian Sungai Ciliwung diklasifikasikan ke dalam dua kategori penutupan lahan, yaitu lahan terbangun dan non-terbangun (Gambar 11). Lahan terbangun pada riparian meliputi bangunan dan ruang terbuka dengan dominasi perkerasan. Sedangkan lahan non-terbangun meliputi vegetasi dan ruang terbuka yang tidak didominasi perkerasan. Klasifikasi ke dalam dua kategori ini didasarkan atas perbedaan koefisien air limpasan (Bouman 2009), dimana untuk lahan terbangun berkisar antara 0.3-0.95, sedangkan untuk lahan non-terbangun berkisar antara 0.05-0.41 (Lampiran 1). Semakin besar koefisien air limpasan, maka kemampuan lahan untuk menyerap air (infiltrasi) semakin kecil, dan menyebabkan akumulasi volume air limpasan menuju hilir akan semakin besar.

Gambar 11 Contoh klasifikasi penutupan lahan terbangun dan non-terbangun pada riparian Sungai Ciliwung

Untuk mengetahui secara langsung penutupan lahan pada kawasan riparian Sungai Ciliwung, observasi lapang (ground truth check) dilakukan (Gambar 12). Observasi lapang dilakukan untuk memastikan penutupan lahan riparian beserta jenis tumbuhan yang terdapat pada riparian Sungai Ciliwung (Lampiran 2).

Sumber: Dokumentasi lapang (2015)

Gambar 12 Kegiatan observasi lapang riparian Sungai Ciliwung (kiri) dan penelusuran sungai dengan perahu karet (kanan)

Sungai Ciliwung Lahan terbangun

Lahan non-terbangun

(36)

Hasil dari observasi lapang selanjutnya akan dicocokan dengan hasil klasifikasi lahan yang sebelumnya dilakukan secara spasial dengan citra satelit. Hal ini bertujuan untuk memberikan koreksi terhadap data penutupan lahan riparian Sungai Ciliwung.

Sinuositas sungai dipertimbangkan untuk mengetahui karakterisik lanskap riparian Sungai Ciliwung. Menurut Begay (2012), indeks sinuositas (SI) sungai didapatkan dengan membandingkan panjang sungai yang berkelok dengan jarak lurus antara dua titik atau lembah sungai tersebut (Gambar 13). Jarak dua titik atau lembah yang akan digunakan adalah titik batas setiap segmen Sungai Ciliwung, yaitu segmen hulu, tengah dan hilir.

�� =

Keterangan:

SI = Indeks sinuositas sungai (sinuosity index) AB = Panjang sungai

CD = Jarak lurus dua lembah sungai

Gambar 13 Penghitungan nilai sinuositas sungai

Kategori setiap segmen dapat ditentukan berdasarkan nilai indeks sinuositas sungai (SI) yang telah didapatkan. Kategori ini dapat membantu mengetahui karakteristik sungai dan akan digunakan untuk pengambilan keputusan pengelolaan lanskap riparian Sungai Ciliwung. Kategori sungai berdasarkan indeks sinuositas (Morisawa, 1985; Ghosh dan Mistri, 2012), yaitu:

a. SI < 1.05 : straight

b. 1.05 ≤ SI < 1.30 : sinuous

c. 1.30 ≤ SI < 1.50 : braided

d. 1.50 ≤ SI < 2.00 : meandering

e. SI ≥ 2.00 : anastomosing

Analisis Fungsi dan Pemanfaatan Lanskap Riparian Sungai Ciliwung

Analisis untuk menentukan pemanfaatan lanskap riparian pada Sungai Ciliwung dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Metode AHP adalah suatu teknik terstruktur (hierarki) untuk menganalisis keputusan yang kompleks. Metode ini dikembangkan oleh Thomas L. Saaty sejak tahun 1970. Menurut Saaty (2008), proses pengambilan keputusan diuraikan menjadi:

1. Mendefinisikan permasalahan 2. Membuat rancangan struktur AHP

3. Membuat matriks perbandingan berpasangan (pairwise comparison) 4. Menimbang prioritas untuk mengambil keputusan

A

B

(37)

Permasalahan pada penelitian ini adalah berkurangnya fungsi ekologis riparian Sungai Ciliwung akibat okupasi lahan terbangun. Oleh karena itu, analisis AHP diperlukan untuk menentukan pemanfaatan riparian Sungai Ciliwung yang sesuai. Stuktur atau hierarki AHP (Gambar 14) untuk menentukan pemanfaatan lanskap riparian terdiri dari beberapa level, yaitu (1) sasaran yang ingin dicapai (Goal), (2) aktor atau stakeholder yang terkait dengan pengelolaan riparian (Actor), (3) faktor segmentasi Sungai Ciliwung (Factor), (4) pilihan fungsi riparian (Objective), dan (5) sub-fungsi riparian yang merupakan bentuk pemanfaatan lanskap riparian (Alternative).

Sasaran dari analisis ini adalah untuk mendapatkan prioritas fungsi lanskap riparian Sungai Ciliwung. Aktor merupakan stakeholder terkait pengelolaan riparian Sungai Ciliwung yang terdiri dari pemerintah, akademisi, swasta, masyarakat dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM). Perbandingan berpasangan dilakukan mulai dari level factor, objective dan alternative. Faktor dalam struktur AHP merupakan pembagian segmen dari Sungai Ciliwung, yaitu segmen hulu, tengah dan hilir. Tujuan yang ingin dicapai atau objective, berisi pilihan fungsi riparian yang dapat diterapkan pada Sungai Ciliwung. Fungsi riparian disesuaikan berdasarkan jasa ekosistem (ecosystem services) menurut Arifin dan Nakagoshi (2011), yaitu fungsi (1) manajemen sumber daya air (MSDA), (2) produksi (Pr), (3) konservasi biodiversitas (KB), (4) penyerap dan penyimpan karbon (PPK), serta (5) estetika lanskap (EL). Fungsi-fungsi ini kemudian diturunkan kembali menjadi 14 sub-fungsi riparian (pemanfaatan) yang menjadi alternatif dalam struktur AHP.

Pengisian pairwise comparison atau kuesioner AHP (Lampiran 3) dilakukan oleh responden, yaitu pakar terkait fungsi dan pemanfaatan lanskap riparian sungai ataupun pakar yang menguasai bidang pengelolaan sungai pada umumnya. Kriteria pemilihan pakar sebagai responden, antara lain:

a. Memiliki keahlian atau menguasai secara akademik bidang yang diteliti. b. Memiliki reputasi kedudukan dan sebagai ahli pada bidang yang diteliti. c. Memiliki pengalaman dalam bidang yang diteliti.

Berdasarkan kriteria di atas, maka ditentukan tiga responden pakar terpilih (Tabel 8) untuk mengisi kuesioner AHP. Ketiga responden pakar ini mewakili keahlian yang diperlukan dalam pengisian kuesioner AHP tentang pemanfaatan lanskap riparian Sungai Ciliwung.

Tabel 8 Daftar responden pakar untuk pengisian kuesioner AHP

Bidang keahlian Asal institusi/lembaga Jumlah

Pakar Manajemen Sumber Daya Air

Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan,

Institut Pertanian Bogor (IPB) 1

Pakar Sosial dan

Departemen Ilmu Tanah dan Sumber Daya

(38)

Ga

mbar

14 R

an

ca

n

g

an s

truktur A

(39)

Hasil pengisian kuesioner AHP oleh pakar ini kemudian diolah dengan menggunakan software Expert Choice 11. Prinsip kerja software Expert Choice 11 adalah menganalisis hasil penilaian AHP dengan matriks perbandingan berpasangan untuk membentuk hubungan di dalam struktur. Penilaian oleh pakar dilakukan dengan membandingkan antar komponen serta variabel ke dalam skala 1-9. Keluaran dari pengolahan data dengan menngunakan software ini adalah prioritas pemanfaatan lanskap riparian Sungai Ciliwung dalam bentuk diagram pohon (tree view), dangrafik sensitivitas (sensitivity graph).

Pada proses menentukan faktor penilaian fungsi lanskap riparian, uji konsistensi (Consistency Ratio/CR) harus dilakukan untuk mengetahui tingkat konsistensi preferensi dari pakar. Metode pengolahan data dengan software ini dapat mengetahui tingkat konsistensi tersebut, yaitu dengan menghitung konsistensi rationya. Jika tingkat inconsistency rationya ≤10%, maka preferensi

penilaian pakar termasuk dalam kategori konsisten (Saaty 2008). Sebaliknya, jika nilainya >10%, maka penilaian pakar termasuk dalam kategori tidak konsisten sehingga memerlukan perbaikan dalam penilaian.

Penyusunan Manajemen Lanskap Riparian Sungai Ciliwung

Proses penyusunan manajemen lanskap riparian sebagai strategi pengendalian ruang terbuka biru pada Sungai Ciliwung didasari dari hasil analisis tahap pertama dan kedua. Lebar riparian berdasarkan regulasi menjadi area kawasan lindung, sedangkan lebar riparian hasil analisis akan disesuaikan dengan fungsi dan pemanfaatan lanskap riparian berdasarkan hasil analisis tahap kedua. Penyusunan manajemen lanskap riparian ini dilanjutkan dengan perumusan konsep manajemen lanskap riparian dengan pendekatan konsep restorasi sungai. Konsep restorasi sungai merupakan upaya untuk mengembalikan sungai dan zona riparian pada kondisi alami. Untuk mewujudkan konsep restorasi sungai, teknik penguatan tebing sungai dari bahaya erosi pun harus disesuaikan, tidak lagi dengan tanggul masif (retaining wall), tetapi dengan teknik eco-engineering

(Maryono 2014). Teknik ini merupakan alternatif penguatan tebing sungai dengan material alami sehingga tidak merusak ekosistem riparian (Gambar 15).

Konsep ini selanjutnya diterjemahkan ke dalam produk manajemen lanskap riparian Sungai Ciliwung berupa gambar landscape plan (rencana lanskap), section plan (gambar potongan), fungsi dan pemanfaatan lanskap riparian yang sesuai. Lokasi yang dipilih dalam manajemen lanskap riparian merupakan perwakilan masing-masing segmen (hulu, tengah dan hilir) Sungai Ciliwung. Manajemen lanskap riparian ini diarahkan sebagai pengendalian ruang terbuka biru khususnya dalam mengendalikan air limpasan penyebab banjir. Selain itu, penghitungan estimasi jumlah dan volume tampungan air serta strategi dalam penambahan ruang terbuka biru juga dilakukan.

(40)

4 HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Situasional Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung

Topografi dan Iklim

Daerah Aliran Sungai (DAS) Ciliwung merupakan kawasan dengan luas 368.10 km² dan panjang sungai utamanya adalah 117 km. Secara geografis, kawasan ini terletak pada 106º47’43” - 107º0’15” BT dan 6º6’12” - 6º34’56” LS. Kawasan DAS Cliwung berbatasan dengan Laut Jawa di sebelah utara, dengan Kabupaten Cianjur dan Sukabumi di sebelah selatan, dengan DAS Krukut serta Grogol di sebelah barat, dan DAS Cipinang, Sunter, Buaran-Jatikramat, serta Cakung di sebelah timur. Sungai Ciliwung memiliki hulu di kawasan puncak Kabupaten Bogor, kemudian mengalir melalui beberapa kota seperti Bogor, Depok, Jakarta dan pada akhirnya bermuara di Teluk Jakarta. Berdasarkan toposekuensnya, DAS Ciliwung dibagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian hulu, tengah dan hilir (Gambar 9). Setiap kawasan yang dilalui Sungai Ciliwung memiliki karakteristik topografi yang berbeda-beda (Gambar 16 dan Tabel 9).

Gambar 16 Peta kelas kemiringan lereng DAS Ciliwung

(41)

Tabel 9 Kelas kemiringan lereng dan luasannya di DAS Ciliwung

Kelas Klasifikasi Kemiringan Luas

(%) ha %

I Datar 0 ≤ x ≤ 8 25 530.55 66.12

II Landai 8 < x ≤ 15 4 563.09 11.82

III Agak curam 15 < x ≤ 25 2 856.06 7.40

IV Curam 25 < x ≤ 45 3 599.29 9.32

V Sangat curam x > 45 2 060.73 5.34

Jumlah 38 609.72 100.00

Sumber: BPDAS Citarum – Ciliwung (2013)

Bagian hulu memiliki luas 152 km² atau 39% dari luas total DAS Ciliwung. Bagian ini terletak sebagian besar di Kabupaten Bogor, seperti Kecamatan Cisarua, Megamendung, Ciawi dan Sukaraja, serta sebagian kecil termasuk ke dalam wilayah Kota Bogor, seperti Kecamatan Bogor Timur dan Bogor Selatan. Bagian ini merupakan daerah pegunungan dan berada pada ketinggian 300-3000 m dpl dengan topografi yang agak curam (16-25%) sampai sangat curam (> 45%). Kecepatan aliran air pada bagian ini masih tergolong cepat yaitu mencapai 10 m/det. Stasiun pengamatan arus pada bagian ini terdapat di Bendung Katulampa, Kota Bogor. Bagian hulu DAS Ciliwung sampai bendung Katulampa berbentuk dendritik. Bentuk ini mengindikasikan daerah hulu memberikan kontribusi aliran permukaan yang cukup besar.

Bagian tengah memiliki luas 169 km² atau 44% dari luas total DAS Ciliwung. Bagian ini meliputi Kabupaten Bogor (Kecamatan Sukaraja, Cibinong, dan Bojonggede), Kota Bogor (Kecamatan Bogor Timur, Bogor Tengah, Bogor Utara, dan Tanah Sareal), Kota Depok (Kecamatan Pancoran Mas, Sukmajaya, Cimanggis dan Beji) dan sebagian wilayah Jakarta Selatan (Kecamatan Jagakarsa, Pasar Rebo, Pasar Minggu dan Kramat Jati). Bagian ini merupakan daerah bergelombang dan berbukit-bukit dengan variasi kemiringan 2-15%. Bagian ini berada pada ketinggian 100-300 m dpl. Kecepatan aliran air pada bagian ini yaitu 5 m/det. Stasiun pengamatan arus pada bagian DAS Ciliwung tengah terdapat di Kelurahan Ratujaya, Kecamatan Cipayung, Depok.

(42)

Gambar 17 Peta curah hujan DAS Ciliwung

Hidrogeologi

Bentuk DAS Ciliwung bagian hulu secara umum menyerupai kipas. Anak-anak sungai di bagian hulu mengalir ke sungai utama dari bagian kiri dan kanan yang mengalir terkonsentrasi ke satu titik di sekitar Katulampa, dengan bentuk

outlet menyerupai leher botol. Wilayah DAS bagian tengah memiliki bentuk seperti pipa. Berdasarkan data dari Direktorat Geologi dan Tata Lingkungan (1986), Daerah Aliran Sungai Ciliwung bagian tengah merupakan daerah terdapatnya air tanah dan akuifer produktif. Sedangkan untuk konfigurasi akuifer di bagian hilir, batuan-batuan sedimen membentuk sistem akuifer yang sangat heterogen dan kompleks.

Struktur geologi atau jenis batuan berkaitan erat dengan jenis tanah yang akan terbentuk di suatu kawasan. Berdasarkan geologinya, jenis formasi batuan yang paling dominan di DAS Ciliwung adalah Kipas Aluvial dan Endapan Batuan Gunung api tua (Tabel 10). Hal ini menandakan bahwa jenis batuan di DAS Ciliwung dominan adalah batuan beku yang berasal dari batuan gunung api tua dan aluvial.

(43)

Tabel 10 Geologi dan luasannya di DAS Ciliwung

Geologi Luas (ha) Luas (%)

Aliran lava basal G. Geger bentang 1 482.61 3.84

Aliran lava termuda 59.45 0.15

Aluvial 1 388.45 3.60

Batuan gunung api muda 186.58 0.48

Breksi & lava G.Kencana & G. Limo 1 907.71 4.94

Endapan batuan gunung api tua 13 246.55 34.31

Endapan breksi dan lahar Gunung Gede 159.77 0.41

Endapan dataran banjir 3 144.48 8.14

Endapan muda lahar andesit 470.14 1.22

Endapan punggungan pantai 181.29 0.47

Formasi serpong 44.28 0.11

Kipas aluvial 16 248.45 42.08

Lahar 90.49 0.23

Luas Total 38 610.25 100.00

Sumber: BPDAS Citarum – Ciliwung (2013)

Jenis Tanah dan Geomorfologi

Jenis tanah di DAS Ciliwung merupakan hasil dari rombakan batuan induk berupa tufa vulkanik. Jenis tanah yang paling banyak terdapat di DAS Ciliwung adalah asosiasi latosol merah, latosol coklat kemerahan, dan laterit air tanah dengan luas penyebaran sebesar 17 543.67 ha atau 45.44% dari total luasan DAS Ciliwung (Tabel 11 dan Gambar 18).

Tabel 11 Jenis tanah dan luasannya di DAS Ciliwung

Jenis Tanah Luas (ha) Luas (%)

Aluvial hidromorf 882.71 2.29

Aluvial kelabu tua 2 559.01 6.63

Andosol coklat kekuningan 246.04 0.64

As latosol merah, coklat dan laterit air tanah 17 543.67 45.44

As andosol coklat dan regosol coklat 5 209.12 13.49

As glei humus rendah dan Aluvial kelabu 3.30 0.01

As latosol coklat kemerahan dan latosol coklat 4 018.26 10.41

Latosol coklat tua kemerahan 2 681.50 6.95

Litosol coklat 5 466.66 14.16

Jumlah 38 610.26 100.00

Sumber: BPDAS Citarum – Ciliwung (2013)

(44)

berkelok atau meander. Pola meander ini berlanjut hingga ke bagian hilir dan memiliki tingkat kerawanan banjir yang lebih tinggi.

Gambar 18 Peta jenis tanah DAS Ciliwung

Penggunaan Lahan

(45)

lahan berupa permukiman banyak dijumpai pada bagian tengah dan hilir DAS Ciliwung yang termasuk dalam wilayah perkotaan.

Penggunaan lahan berupa hutan (hutan lahan kering primer, hutan lahan kering sekunder dan hutan tanaman) masih dapat ditemukan di bagian hulu dan sedikit di bagian tengah DAS Ciliwung. Akan tetapi, persentasenya semakin sedikit yaitu hanya tersisa 16.04%. Pembukaan lahan di bagian hulu, yang semula adalah hutan, berubah menjadi pertanian lahan kering, seperti perkebunan teh, juga mengakibatkan berkurangnya tingkat infiltrasi air ke dalam tanah. Pembangunan sudah banyak dilakukan pada bagian hulu, baik berupa pemukiman penduduk maupun fasilitas penunjang lainnya.

Penggunan lahan berupa badan air atau ruang terbuka biru (RTB), seperti danau, situ, embung, kolam, kanal dan sungai, hanya terhitung 581.78 ha atau sekitar 1.50% dari luas total DAS Ciliwung. Hal ini disebabkan oleh maraknya alih fungsi lahan yang mengorbankan lahan RTB untuk dikembangkan menjadi kawasan permukiman. Menurut Arifin et al. (2014), faktor pendorong yang menyebabkan perubahan atau alih fungsi lahan RTB menjadi kawasan terbangun, seperti permukiman, antara lain: (1) jarak dari pusat kota, (2) jarak dari jalan utama, (3) kemiringan lereng, (4) jenis tanah, dan (5) kepadatan penduduk.

Pertanian lahan kering campuran atau kebun campuran, masih dapat ditemui khususnya pada bagian tengah DAS Ciliwung seperti di Kecamatan Bojong Gede dan Kota Depok. Penggunaan lahan berupa sawah pun hanya tersisa sekitar 39.16 ha atau 0.26% dari luas total DAS Ciliwung. Sedangkan penggunaan lahan yang paling sedikit yaitu berupa tanah terbuka, luasnya hanya 20.31 ha atau 0.05% dari luas keseluruhan luas DAS Ciliwung.

Tabel 12 Penggunaan lahan dan luasannya di DAS Ciliwung

Penutupan Lahan Luas (ha) Luas (%)

Terbangun

Pemukiman 21 466.65 55.59

Bandara dan pelabuhan 38.26 0.10

Non-terbangun

Hutan lahan kering Primer 465.20 1.20

Hutan Lahan Kering Sekunder 1 555.34 4.03

Hutan Tanaman 4 174.62 10.81

Badan air 581.78 1.50

Perkebunan 544.45 1.41

Pertanian Lahan Kering 9 166.35 23.74

Pertanian Lahan Kering Campuran 456.79 1.18

Sawah 100.65 0.26

Semak Belukar 39.16 0.10

Tanah Terbuka 20.31 0.05

Luas Total 38 610.25 100.00

Sumber: BPDAS Citarum – Ciliwung (2013)

(46)

Besarnya koefisien limpasan dipengaruhi oleh tipe tanah dan pengelolaan atau manajemen lahan pada suatu kawasan.

Perbedaan manajemen lahan dan permukaan lahan, menyebabkan nilai koefisien limpasan di daerah permukiman juga berbeda-beda (Zaida 2012). Permukiman yang berada di pinggiran perkotaan dan perdesaan memiliki nilai koefisien limpasan 25-40%, permukiman di dalam kawasan perkotaan 35-70%, permukiman di dalam kawasan industri 50-90%, dan permukiman di dalam kawasan perkotaan dan perdagangan 50-95%. Untuk kawasan pertanian, besarnya koefisien limpasan berkisar 21-65%, dan di dalam kawasan penggembalaan 17-23%. Koefisien limpasan terkecil ditunjukkan oleh penggunaan lahan berupa hutan, yaitu koefisiennya hanya 2-15%. Oleh karena itu, kawasan hutan menjadi kawasan yang sangat efektif dalam menyerap air atau dengan kata lain sangat efektif dalam mengurangi volume air limpasan. Berdasarkan luas dan nilai koefisien limpasan, kawasan permukiman adalah kawasan yang terbesar dalam menyumbang air limpasan penyebab banjir, disusul oleh kawasan pertanian dalam bentuk tegalan dan kebun campuran.

(47)

Analisis Lanskap Riparian Sungai Ciliwung

Riparian atau sempadan Sungai Ciliwung dalam penelitian ini dibagi menjadi tiga segmen, yaitu riparian pada segmen hulu, tengah dan hilir. Setiap segmen riparian memiliki karakteristik lanskap serta penggunaan yang berbeda-beda. Penggunaan lanskap riparian ini sangat dipengaruhi oleh kebutuhan dan perilaku masyarakat yang tinggal di sekitar riparian sungai. Penggunaan lanskap serta fungsi riparian menjadi pertimbangan dalam penentuan lebar riparian serta analisis karakteristik lanskap riparian Sungai Ciliwung.

Penentuan Lebar Riparian Sungai Ciliwung

Berdasarkan kawasan yang dilaluinya, riparian Sungai Ciliwung dibagi menjadi dua macam, yaitu riparian yang terdapat di dalam wilayah perkotaan dan di luar wilayah perkotaan. Riparian pada wilayah perkotaan meliputi riparian Sungai Ciliwung yang melintasi Kota Bogor, Depok dan Jakarta. Sedangkan, riparian yang termasuk di luar wilayah perkotaan merupakan riparian Sungai Ciliwung yang melintasi Kabupaten Bogor. Riparian pada wilayah luar perkotaan umumnya memiliki standar yang lebih lebar daripada riparian pada wilayah dalam perkotaan. Hal ini disebabkan karena tuntutan lahan di luar perkotaan untuk pembangunan relatif lebih rendah daripada di wilayah dalam perkotaan.

Penentuan lebar riparian Sungai Ciliwung dilakukan dengan cara mempertimbangkan tiga standar penentuan lebar riparian sungai (Gambar 20 dan Tabel 13), yaitu (1) standar lebar riparian berdasarkan kajian literatur dan jurnal (Bertulli (1981), Castelle et al. (1994), serta Smardon dan Felleman (1996)), (2) standar lebar riparian sungai berdasarkan Permen PUPR No 28 Tahun 2015 dan PPRI No 38 Tahun 2011, serta (3) standar lebar riparian sungai menurut Maryono (2009). Lebar riparian sungai tidak bertanggul, berdasarkan Permen PUPR dan PPRI menunjukkan angka yang relatif kecil, yaitu 15 m (dalam perkotaan), dan 50 m (luar perkotaan). Sedangkan, menurut Maryono (2009), lebar riparian ideal sebuah sungai adalah 50 m (dalam perkotaan) dan 75-100 m (luar perkotaan). Hasil ini tidak jauh berbeda dengan lebar riparian menurut Bertulli (1981), Castelle et al. (1994), serta Smardon dan Felleman (1996), dimana riparian dengan fungsi perlindungan banjir setidaknya harus memiliki lebar 45-90 m. Dengan pertimbangan luapan air limpasan dan resiko erosi pada tebing sungai, keputusan lebar riparian mengacu pada hasil analisis, yaitu minimal 50 m untuk riparian dalam perkotaan dan minimal 100 m untuk riparian luar perkotaan.

Gambar 20 Analisis penentuan lebar riparian Sungai Ciliwung Hasil analisis

Literatur dan jurnal

Maryono (2009)

Gambar

Gambar 9  Lokasi penelitian lanskap riparian pada Sungai Ciliwung
Tabel 6  Matriks tujuan penelitian, data, sumber data, metode dan keluaran atau hasil dari penelitian
Gambar 10  Tahapan penelititan
Tabel 7  Perbandingan standar lebar riparian
+7

Referensi

Dokumen terkait

awareness tinggi, self awareness sedang, dan self awareness rendah. Pengumpulan data menggunakan tes, angket, wawancara, dan dokumentasi. Data penelitian dianalisis

Interaksi gajah sumatera (Elephas maximus sumatranus) dengan masyarakat Di Dusun Kuyung Arang terdapat dua lokasi yang ditemukan sebagai titik keluar gajah sumatera dari

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan di Desa Gebbang Dusun Lebbak Kabupaten Bangkalan diketahui bahwa pada kelompok perlakuan yang diberikan terapi Murotal

menjelaskan fungsi naik dan fungsi turun; menggunakan turunan untuk menentukan persamaan garis singgung dan garis normal suatu kurva; menentukan interval suatu fungsi naik atau

tegangan PLN ke busbar, selain itu juga sebagai pengaman jika terdapat hubung singkat atau arus lebih pada beban atau pada busbar , atau jika salah satu

Dengan demikian dapat disebutkan bahwa tepung daun jaloh kurang sesuai dijadikan bahan baku pakan ikan lele dumbo, karena menghasilkan laju pertumbuhan harian lebih

Berdasarkan hasil uji lanjut pengaruh interaksi persentase penambahan daun kelor dan proses penyaringan ekstrak terhadap nilai kesukaan tekstur, diperoleh bahwa

Bahasa kiasan adalah penggantian arti dari apa yang dipahami sebagai arti sebenarnya menjadi arti lain untuk mendapatkan arti tertentu menurut Abraham (Atmazaki,