• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI MELALUI ZAKAT

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PEMBANGUNAN SOSIAL EKONOMI MELALUI ZAKAT"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

PEMBANGUNAN SOSIAL-EKONOMI MELALUI

ZAKAT PENGHASILAN DI INDONESIA

Ahmad Asrof Fitri1

Abstrak

Kemiskinan masih menjadi persoalan serius yang dihadapi negara Indonesia. Sebagai negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia, Indonesia mempunyai potensi besar dalam hal pemberdayaan sosial dan ekonomi umat melalui zakat. Namun, pada faktanya, potensi itu tidak sebanding dengan realisasi pengumpulan zakat yang persentasenya tidak lebih dari 5%. Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan ulama, zakat penghasilan termasuk kategori jenis zakat yang cukup potensial, mengingat zakat ini meliputi seluruh bidang pekerjaan. Realisasi pembangunan sosial-ekonomi melalui zakat penghasilan ini dapat terwujud jika pemerintah memberikan dukungan secara yuridis dengan membuat undang-undang yang mensinergikan zakat dan pajak.

Kata kunci: zakat penghasilan, pembangunan, sosial, ekonomi

PENDAHULUAN

Salah satu permasalahan kronis yang dihadapi bangsa Indonesia adalah kemiskinan. Untuk mengatasi persoalan ini, pemerintah telah menciptakan banyak program pengentasan kemiskinan, salah satunya Bantuan Langsung Tunai (BLT). Akan tetapi, kenyataannya, program tersebut belum mampu menyelesaikan problem kemiskinan secara signifikan.

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia pada September 2013 telah mencapai 28,55 juta orang (11,47%) atau meningkat 0,48 juta orang dibandingkan dengan penduduk miskin pada Maret 2013 tercatat 28,07 juta orang (11,37%). Perinciannya, jumlah penduduk miskin di daerah perkotaan naik

1 Penulis adalah mahasiswa Pascasarjana pada Program Studi Manajemen

(2)

Ahmad Asrof Fitri

sebanyak 0,30 juta orang dari 10,33 juta orang pada Maret 2013 menjadi 10,63 juta orang pada September 2013. Selama periode Maret-September 2013 itu, persentase penduduk miskin di daerah perkotaan pada Maret 2013 sebesar 8,39%, lalu naik menjadi 8,52% pada September 2013. Sedangkan persentase penduduk miskin di daerah perdesaan meningkat dari 14,32% pada Maret 2013 menjadi 14,42% pada September 2013.2

Berbagai forum, mulai dari tingkat lokal hingga internasional, tentang kemiskinan pun digelar yang intinya untuk satu tujuan, yaitu bagaimana membebaskan manusia dari belenggu kemiskinan. Salah satu upaya penanggulangan kemiskinan adalah dengan memutus mata rantai kemiskinan melalui pemberdayaan kelompok melalui program pengembangan microfinance, yaitu model penyediaan jasa keuangan bagi masyarakat yang memiliki usaha pada sektor paling kecil yang tidak dapat mengakses bank karena berbagai keterbatasan.3

Sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia, bangsa Indonesia seharusnya mampu memanfaatkan keunggulan jumlah ini. Sebab, semakin besar angka populasi penduduk, maka semakin besar pula sumber daya manusia yang dapat diberdayakan, khususnya dalam aspek ekonomi. Hal ini dapat dilihat dari berbagai penelitian yang menghitung potensi zakat di negara-negara yang mayoritas warganya beragama Islam.

Salah satu penelitian penting tentang potensi zakat di negara Islam dilakukan oleh Monzer Kahf. Ia menghitung potensi zakat di 8 negara Islam (Mesir, Indonesia, Pakistan, Qatar, Arab Saudi, Sudan, Suriah, dan Turki) dengan menggunakan 3 pemahaman tentang zakat. Pendapat pertama adalah pemahaman yang lebih sempit bahwa zakat hanya meliputi hasil pertanian, peternakan, perdagangan, dan kas simpanan. Pendapat kedua meliputi aset tetap, gaji, dan upah yang ditambahkan ke dalam daftar item pada pendapat pertama. Pendapat ketiga sifatnya lebih luas yang mencakup nilai modal aset tetap yang ditambahkan ke daftar item dalam pendapat pertama dan kedua. Monzer Kahf menemukan, persentase potensi rata-rata hasil zakat di 8 negara ini mencapai 1,8%, 3,9%, dan 4,3% dari Gross Domestic Product

(GDP) untuk tiga kategori pendapat secara berurutan. Tetapi, realisasi

2 “Jumlah Penduduk Miskin Indonesia Bertambah”, Replubika, www. republika.co.id/berita/nasional/umum/14/01/03/mysfdt-jumlah-penduduk-miskin -indonesia-bertambah, diakses pada hari Senin (25 Agustus 2014), jam 16.12 WIB.

(3)

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

zakat yang disalurkan masih jauh di bawah angka potensialnya, yaitu hanya 0,02% untuk negara Mesir dan Jordania, 0,08% untuk Pakistan, dan 0,3% untuk Sudan pada tahun 1985.4

Temuan Kahf tersebut menjadi bukti nyata bahwa zakat belum mampu dioptimalkan untuk menjadi instrumen penting pembangunan ekonomi umat. Padahal, pada masa keemasan Islam seperti pada masa Umar bin Abdul Aziz, zakat menjadi “soko guru” perekonomian yang membantu mengatasi problem kemiskinan. Oleh karena itu, tulisan ini berusaha mengkaji prospek, pandangan ulama, beserta kemungkinan implementasi zakat penghasilan sebagai sarana pembangunan sosial-ekonomi umat Islam di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Data diperoleh dengan studi kepustakaan (library research).

PEMBANGUNAN SOSIAL-EKONOMI MENURUT ISLAM

Dalam International Conference on Islamic Economics and Finance ke-8, Mohammed R. Kroessin memaparkan, bahwa kata

“pembangunan” (dalam bahasa Arab: ةيمنت ) tidak disinggung dalam kajian fiqih maupun aqidah, pada masa-masa keemasan Islam di abad pertengahan. Kata ini baru dipakai pada periode modern oleh lembaga keuangan Islam yang secara genealogis berasal dari Timur Tengah, seperti Islamic Development Bank.5

Mengacu pada al-Qur’an, pada dasarnya konsep pembangunan di bidang sosial dan ekonomi sudah disinggung pada QS. At-Taubah: 60, Adz-Dzariyat: 19, Al-Baqarah: 184, dan Al-Hasyr: 7, meskipun tidak secara langsung menggunakan kata pembangunan. Di dalam ayat ini, pembangunan sosial-ekonomi diwujudkan melalui pengentasan kemiskinan, yang substansi aktivitasnya tidak jauh berbeda dengan konsep pembangunan masa kini.

Menurut Khurshid, pertumbuhan ekonomi tidak bisa terlepas dari keadilan distribusi pendapatan dan kekayaan bagi setiap individu,

4 Monzer Kahf, “Estimation of Zakah in a Few Muslim Countries”, 1987,

dalam Muhammad Ibrahim Abdullahi, Mohd Mahyudi Mohd Yusop, Syezlin Hasan, “Factors that Motivate Payments of Zakat on Income and Income Tax among IIUM Staff”, dalam Mohd Mahyudi Mohd Yusop & Naziruddin Abdullah (Eds.), Zakat and Its Poverty Alleviation Goal, (Selangor: IIUM Press, 2011), h. 9.

5 Mohammed R. Kroessin, “A Genealogy of the Islamic Development

(4)

Ahmad Asrof Fitri

dengan cara menghapus riba dan mewajibkan zakat.6 Cara ini tidak hanya bertujuan untuk melakukan pemerataan ekonomi, namun juga mempererat hubungan masyarakat kelas atas dengan kaum miskin.

Oleh sebab itu, tidak mengherankan apabila Ibrahim Yusuf berpendapat bahwa tujuan pembangunan ekonomi Islam adalah memajukan kehidupan yang baik (al-hayat al-thayyibah) di dunia dan berorientasi akhirat.7 Agar cita-cita ini dapat terwujud, maka manusia perlu mendayagunakan semua fasilitas yang Allah telah siapkan di bumi dengan cara dikelola secara baik.

Munculnya pemikiran ini kemungkinan diinisiasi oleh QS. Hud: 61 yang berarti, “Dan kepada Tsamud (kami utus) saudara mereka

Shalih. Shalih berkata, ‘Hai kaumku, sembahlah Allah, sekali-kali tidak ada bagimu Tuhan selain Dia. Dia telah menciptakan kamu dari bumi (tanah) dan menjadikan kamu pemakmurnya, maka mohonlah ampunan-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku amat dekat (rahmat-Nya) lagi

mengabulkan (doa hamba-Nya).”8

Para pemikir ekonomi Islam berpendapat bahwa ayat di atas mempunyai makna yang relevan dengan konsep pembangunan ekonomi. Makna ayat tersebut yaitu agar manusia memberdayakan bumi yang menjadi tempat tinggalnya. Oleh karena itu, kata al-isti’mar

(memakmurkan/memberdayakan) sangat identik dengan tanmiyah

iqtishodiyah (pembangunan ekonomi).9

Di samping QS. Hud: 61, masih ada banyak ayat yang bisa dijadikan dasar pembangunan Islam, yang secara umum menggunakan kata al-kasbu (usaha), al-sa’yu (upaya), al-infaq (pembelanjaan harta), dan

al-dharbu fi al-ardh (bepergian di muka bumi). Empat kata tersebut

menunjukkan makna aktivitas ekonomi.10

Aktivitas ekonomi yang dilakukan masyarakat dalam suatu negara secara tidak langsung akan berpengaruh pada pertumbuhan ekonomi. Pada tahap selanjutnya, pertumbuhan ekonomi tersebut

6 Khurshid Ahmad, Al-Tanmiyah Al-Iqtishodiyah fi Ithorin Islamiyin,

Majalah Abhas Al-Iqtishod Al-Islamiy, No. 2, 1985.

7 Muhammad Abdul Mannan, Al-Iqtishad Islamiy baina Nazhariyat wa

al-Tathbiq, (Al-Maktab al-Arabi al-Hadis, t.th.), h. 221.

8 Hal ini bisa dilihat dari pernyataan Asmuni Mth. yang menyatakan bahwa

mayoritas penulis ekonomi memahami konsep pembangunan ekonomi dari beberapa ayat al-Qur’an, salah satunya QS. Hud: 61, yang berisi perintah supaya manusia mengelola bumi. Lihat Asmuni Mth., “Konsep Pembangunan Islam”, Jurnal Al-Mawarid Edisi X Tahun 2003, h. 131.

(5)

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

dapat mendorong pemerataan kesejahteraan. Tolak ukur kesejahteraan masyarakat dapat dilihat dari terpenuhinya kebutuhan yang memadai

(had al-kifayah),11 meski antara satu orang dengan orang lain memiliki

jenis kebutuhan yang berbeda.

Menurut Joni Tamkin bin Borhan, pembangunan dalam perspektif Islam meliputi 6 aspek, antara lain pembangunan sumber daya insani (manusia), peningkatan kuantitas produksi masyarakat, perbaikan kualitas hidup, pembangunan yang seimbang (desentralisasi), penggunaan teknologi modern, dan pengurangan ketergantungan pada luar negeri.12

Untuk mencapai pembangunan yang berkualitas di segala aspek itu, maka diperlukan pembiayaan untuk proyek pembangunan. Mengenai sumber keuangan pembangunan dalam perspektif Islam, Joni Tamkin berpendapat, proyek pembangunan harus bersumber dari keuangan Islam yang terbebas dari prinsip riba. Sumber utama pembiayaan pembangunan seperti tabungan domestik, bantuan dan pinjaman dari luar negeri, harus bersih dari unsur ribawi.13

Karenanya, Abdurrahman Yasri Ahmad mengatakan bahwa, Islam tidaklah menolak konsep apapun yang berhubungan dengan pembangunan ekonomi selama tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam.14 Pernyataan Yasri itu mengandung makna bahwa konsep pembangunan ekonomi menurut Islam pada dasarnya tidak berbeda dengan konsep pembangunan konvensional asalkan konsep itu tidak menyalahi ajaran dan nilai Islam.

POTENSI ZAKAT DI INDONESIA

Indonesia merupakan negara dengan jumlah muslim terbanyak di dunia. Berdasarkan hasil sensus penduduk tahun 2010 yang dirilis Badan Pusat Statistik, jumlah rakyat Indonesia secara keseluruhan

11 Muhammad Syauqi al-Fanjari, Al-Islam wa al-Musykilah al-Iqtishodiyah, (Mesir: Maktabah al-Anglo al-Mishriyah, t.th.), h. 81.

12 Joni Tamkin bin Borhan, “Pemikiran Pembangunan Ekonomi Berteraskan Islam”, Jurnal Usuludin No. 27, Universiti Malaya, 2008, h. 98-101.

13Ibid., h. 102.

(6)

Ahmad Asrof Fitri

sebanyak 237.641.326 jiwa.15 Jumlah tersebut menjadi keempat yang terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika Serikat. Dari angka tersebut, masih menurut data BPS pada tahun 2010, sebanyak 87,18% menganut agama Islam, Kristen 6,96%, Katolik 2,91%, Hindu 1,69%, Budha 0,72%, Konghucu 0,05%, dan lainnya 0,13%. Selain itu, ada pula kelompok yang tidak terjawab 0,06% dan tidak ditanyakan 0,32%.16 Walau belum ada klasifikasi dan perhitungan yang jelas mengenai jumlah kalangan aghniya’ (orang yang mapan secara ekonomi) dan fuqara’ (kekurangan secara finansial), data di atas cukup dapat dijadikan sebagai gambaran atas besarnya potensi negara Indonesia dari aspek ekonomi, khususnya yang berasal dari kaum muslimin yang menjadi mayoritas.

Menurut data Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), jumlah harta yang masuk kategori zakat, infak, dan sedekah yang diserahkan ke lembaga ini terus mengalami peningkatan. Rincian nominal zakat, infak, dan sedekah yang telah diterima BAZNAS dalam kurun 2002-2008 adalah sebagai berikut:

Tahun Jumlah total (miliar rupiah) Peningkatan per tahun (%)

2002 68,39 (USD 7,20 juta) -

2003 85,28 (USD 8,98 juta) 24,70

2004 150,09 (USD 15,80 juta) 76,00

2005 295,52 (USD 31,11 juta) 96,90

2006 373,17 (USD 39,28 juta) 26,28

2007 740,00 (USD 77,89 juta) 98,30

2008 920,00 (USD 96,84 juta) 24,32

Sumber: BAZNAS (2009)

Data BAZNAS mulai tahun 2002 hingga 2008 di atas menjadi bukti bahwa potensi zakat di negara Indonesia sangat besar dan akan berkembang dari tahun ke tahun. Padahal, data itu belum mencakup hasil pengumpulan zakat, infak, dan sedekah di berbagai lembaga amil zakat di seluruh Indonesia.

15 Badan Pusat Statistik, “Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000, dan 2010”, www.bps.go.id, diakses pada Jumat (22 Agustus 2014), jam 10.32 WIB.

(7)

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

Meski data mengenai jumlah zakat, infak, dan sedekah di atas mengalami pertumbuhan yang continue dari tahun ke tahun, ternyata jumlah tersebut masih jauh dari potensi zakat sebenarnya yang dapat terkumpul. Ini berarti potensi zakat belum sepenuhnya tergali oleh lembaga-lembaga amil zakat (LAZ). Permasalahan yang hampir sama dan dialami oleh kebanyakan LAZ adalah adanya kesenjangan yang cukup besar antara potensi zakat yang semestinya bisa didapatkan dengan realisasi pengumpulan zakat.17

Untuk mengatasi problem ini, Ketua BAZNAS, Prof. Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa salah satu agenda penting BAZNAS adalah memperbaiki dan meningkatkan kualitas manajemen database

pengumpulan zakat pada skala nasional, termasuk data pengumpulan zakat dan jumlah muzakki serta mustahiq.18 Dengan perbaikan kualitas lembaga amil zakat, kepercayaan muzakki akan semakin meningkat.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Bahasa dan Kebudayaan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tahun 2005, potensi zakat di Indonesia yang dapat terkumpul mencapai Rp 19,3 triliun.19 Apabila dibandingkan dengan data realisasi hasil pengumpulan zakat BAZNAS pada tahun yang sama, yakni Rp 295,52 miliar, maka nilai perbandingan antara potensi zakat dengan realisasinya sangatlah jauh. Zakat yang terkumpul jumlahnya kurang dari 5% dari potensi yang sebenarnya.

ZAKAT PENGHASILAN DALAM PERSPEKTIF FIQIH

Terlepas dari keyakinan bahwa zakat merupakan sarana yang berpengaruh dalam pengentasan kemiskinan sekaligus menjembatani ketidakmerataan penghasilan di tengah masyarakat, tetap saja muncul penolakan-penolakan untuk membayar zakat di kalangan umat Islam yang sudah memenuhi syarat (mampu), tidak seperti halnya penarikan pajak yang lebih sedikit penolakannya.20 Menurut catatan sejarah, ada

17 Muhammad Firdaus, Irfan Syauqi Beik, Tonny Irawan, Bambang

Juanda, “Economic Estimation and Determinations of Zakat Potential in Indonesia”, IRTI Working Paper Series, 9 Oktober 2012, h. 2.

18 Didin Hafidhuddin, “Urgensi Membangun LAZ yang Amanah dan Profesional”, makalah dipresentasikan dalam pembukaan Unit Pelayanan Zakat di Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia pada 20 Mei 2007.

19 M. T. Ridlo, Zakat Profesi dan Perusahaan, (Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2007).

(8)

Ahmad Asrof Fitri

beberapa kalangan umat Islam yang menghindari pembayaran zakat, yang pada beberapa kasus telah menghambat bantuan sosial bagi masyarakat. Di antara kasus yang paling terkenal adalah kasus yang terjadi pada masa Abu Bakar al-Shiddiq, yang setelah wafatnya Nabi Muhammad SAW, menjadi khalifah. Saat itu, beberapa suku Arab menentang dan menolak membayar zakat meskipun mereka adalah muslim. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, setelah percakapan panjang antara Abu Bakar dan Umar tentang para penentang pembayaran zakat tersebut, Abu Bakar memutuskan untuk memerangi mereka.21

Meskipun revitalisasi lembaga zakat di negara-negara Islam pada zaman modern sudah dilakukan, masalah penolakan pembayaran zakat ini masih tetap ada. Terlebih lagi, sebagaimana tercermin dalam sistem fiskal mayoritas negara Islam, negara tersebut menganggap perpajakan konvensional lebih penting dibandingkan zakat. Sistem perpajakan berkembang menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari sistem fiskal, sementara zakat hanya menjadi instrumen lembaga sosial kerelawanan (sukarela). Praktik yang berlangsung di negara-negara Islam tersebut bisa jadi disebabkan oleh pengaruh kolonial atas sistem fiskal yang berlaku di negara-negara Islam.22

Salah satu praktik zakat yang masih menjadi perdebatan di kalangan ulama sejak zaman dahulu hingga sekarang adalah soal zakat penghasilan. Pada dasarnya, perbedaan tersebut muncul sebab selama Rasulullah SAW hidup tidak pernah ada persoalan tentang zakat penghasilan. Ini ditengarai karena struktur aktivitas ekonomi yang berjalan pada masa itu kebanyakan berasal dari hasil pertanian, peternakan, dan jual beli barang dagangan. Sebagaimana dikisahkan dalam kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik bin Anas, orang yang pertama kali mengumpulkan zakat penghasilan adalah Mu’awiyah bin

Abi Sufyan.23

Beberapa ulama mengemukakan pendapat bahwa tidak ada zakat pada penghasilan (gaji). Ulama tersebut antara lain Imam Abu Hanifah, Malik bin Anas, dan al-Syafi’i. Menurut Yusuf al-Qardawi,

21 Muhammad Ibrahim Abdullahi, Mohd Mahyudi Mohd Yusop, Syezlin

Hasan, op.cit., h. 8.

22 Nur Barizah & Abdul Rahim, “A Comparative Study of Zakah and Modern Taxation”, KAU Journal of Islamic Economics, 2007, h. 36.

(9)

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

pandangan para ulama ini berasal dari pemahaman bahwa zakat penghasilan tidak sesuai dengan salah satu syarat zakat: mencapai satu haul. Pandangan ini juga diutarakan oleh Abu Bakar al-Shiddiq dan

ummul mukminin Aisyah.24

Walaupun begitu, al-Qardawi menyampaikan pendapat yang berbeda yang mendukung pembayaran zakat penghasilan. Pendapat ini berasal dari sahabat Nabi Muhammad SAW, yaitu Abdullah bin

Mas’ud dan Mu’awiyah. Juga diikuti oleh beberapa tabi’in seperti

Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan, dan al-Zuhri.25 Di masa sekarang, beberapa ulama berpandangan bahwa gaji juga perlu dizakati. Yusuf al-Qardawi menukil ucapan al-Ghazali:

Kesimpulannya adalah, siapa pun yang memiliki penghasilan yang

senilai dengan hasil zakat pertanian, maka dia menjadi subjek (pembayar) pajak, terlepas dari modal yang dikeluarkan dan permasalahan yang berkaitan. Konsekuensinya, dokter, pengacara, serta tenaga profesional dan karyawan juga

termasuk subjek zakat…”26

Menurut al-Ghazali, pendapatnya didasarkan atas beberapa alasan, antara lain: Pertama, dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 267, Allah berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan

Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik.” Bagi al-Ghazali, ayat

ini menunjukkan kewajiban berzakat bagi semua pekerja secara umum, termasuk dari penghasilan atau gaji. Kedua, sangat tidak logis apabila Islam mewajibkan zakat bagi petani yang miskin dan membebaskan pemilik bangunan yang pemasukannya bisa berkali-kali lipat lebih besar daripada penghasilan petani, atau para dokter yang penghasilan tiap harinya setara dengan pendapatan petani selama setahun penuh.27 Pendapat ini diikuti pula oleh mayoritas ulama di masa sekarang, termasuk Dewan Fatwa Nasional Malaysia.28

Adapun mengenai nisab (syarat jumlah minimum atau ambang batas) gaji yang dapat dikategorikan sebagai harta wajib zakat adalah setara 522 kg beras dengan harga normal. Sebagai contoh, jika harga normal beras di pasaran sebesar Rp 6.500,00 per kilogram, maka nisab

24Ibid., h. 317.

25Ibid. 26Ibid., h. 325. 27Ibid., h. 325-326.

(10)

Ahmad Asrof Fitri

penghasilan yang wajib dizakati adalah Rp 3.393.000,00. Dengan kata lain, jika penghasilan seseorang lebih dari Rp 3.393.000,00, maka dia wajib mengeluarkan zakat penghasilan dengan waktu pembayaran zakat (haul) yaitu setiap kali menerima penghasilan (gaji).29

PEMBANGUNAN SOSIAL-EKONOMI MELALUI ZAKAT PENGHASILAN

Sebelum membahas mengenai implementasi pembangunan sosial dari perspektif ekonomi Islam, persoalan tujuan pembangunan ini penting untuk dibahas lebih dahulu. Menurut teori konvensional, ada 2 tujuan pembangunan. Pertama, memperbaiki pendapatan riil individu. Kedua, menegakkan keadilan distribusi pendapatan.30

Sebagai perbandingan, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, menurut Ibrahim Yusuf, tujuan pembangunan ekonomi menurut Islam adalah memajukan kehidupan yang baik (hayat

al-thayyibah). Pada dasarnya, teori konvensional dan teori Islam versi

Ibrahim ini dapat dipadukan menjadi sebuah pemikiran baru di mana teori konvensional tadi dipandang sebagai wasilah (perantara), sementara teori Ibrahim Yusuf menjadi ghayah (tujuan akhir). Artinya, dengan memperbaiki pendapatan riil individu dan menegakkan distribusi pendapatan, maka kehidupan yang baik (al-hayat al-thayyibah) akan bisa tercapai.

Dalam realitanya, untuk mengetahui apakah taraf hidup seseorang sudah mencapai tingkatan baik atau tidak, maka diperlukan sebuah tolak ukur. Dalam hal ini, kita dapat mengacu pada teori had

al-kifayah. Tetapi, permasalahan tidak selesai di sini. Sebab, teori ini

masih bersifat umum dan subjektif, sehingga berpotensi memunculkan perbedaan pendapat mengenai batasan kecukupan seseorang. Oleh karena itu, dibutuhkan batasan yang dapat terukur.

Menurut konsep maqashid syari’ah al-Syatibi, tingkat kebutuhan manusia dapat dikelompokkan ke dalam tiga tingkatan, yaitu dharuriyat

(kebutuhan primer), hajiyat (kebutuhan sekunder), dan tahsiniyat

(kebutuhan tersier).31 Apabila dihubungkan dengan teori

had al-kifayah,

29 Perhitungan zakat penghasilan dapat dilakukan dengan mudah lewat

program kalkulator zakat yang disediakan di berbagai situs lembaga amil zakat, salah satunya Lembaga Amil Zakat Dompet Dhuafa. Buka: http://zakat.or.id/layanan-zakat/kalkulator-zakat/#sthash.q8owPKsV.dpbs

30 Asmuni Mth., op.cit., h. 133.

(11)

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

maka seseorang dapat dikatakan sudah mencapai batas kecukupan jika kebutuhan primernya bisa terpenuhi.

Kebutuhan primer tersebut meliputi makanan, rumah, dan pakaian, atau yang dikenal dengan istilah pangan, papan, dan sandang. Selain itu, juga ditambah dengan akses pendidikan dan kesehatan yang mudah diperoleh. Kelima kebutuhan ini merupakan hal mendasar yang harus dipenuhi manusia agar dapat hidup layak dan sejahtera. Jika kebutuhan-kebutuhan tersebut bisa didapatkan, taraf hidupnya sudah bisa dianggap cukup baik dan berada di atas garis kemiskinan.

Dalam ilmu ekonomi konvensional, cara yang biasa digunakan untuk mengetahui taraf hidup atau tingkat kesejahteraan warga negara adalah dengan menghitung pendapatan per kapita. Caranya, Gross

National Product (GNP) selama satu tahun dibagi dengan jumlah

penduduk suatu negara pada tahun tersebut. Akan tetapi, cara tersebut dipandang kurang relevan karena tidak dapat merepresentasikan pemerataan kesejahteraan rakyat.

Ketimpangan pendapatan yang mengindikasikan kurangnya pemerataan kesejahteraan bisa dilihat dari koefisien gini atau ukuran ketimpangan distribusi. Koefisien gini dinyatakan dalam bentuk rasio yang nilainya antara 0 dan 1. Nilai 0 menunjukkan pemerataan yang sempurna, sedangkan angka 1 menunjukkan tidak adanya pemerataan atau ketimpangan tertinggi.32

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) sejak tahun 2008 hingga 2013, secara umum indeks gini di negara Indonesia terus mengalami peningkatan. Pada tahun 2008, indeks gini berada pada angka 0,35, sedangkan di tahun 2013 angkanya mencapai 0,41.33 Ini menunjukkan bahwa pemerataan kesejahteraan warga semakin turun dari tahun ke tahun.

Mengacu pada data tersebut, pendapat Khurshid Ahmad yang menyatakan bahwa kesejahteraan masyarakat tidak dapat dinilai dari pendapatan per kapita, sangat relevan. Sebab, perhitungan pendapatan per kapita juga menyertakan variabel jumlah penghasilan konglomerat berpenghasilan tinggi yang nilainya dapat melampaui gaji ratusan atau bahkan ribuan orang. Oleh sebab itu, tolak ukur yang digunakan oleh Khurshid dalam menilai taraf hidup warga adalah penghasilan riil tiap

32 Badan Pusat Statistik, “Koefisien Gini”, www.bps.go.id, diakses pada

hari Jumat (22 Agustus 2014), jam 22.47 WIB.

33 Badan Pusat Statistik, Gini Ratio Menurut Provinsi Tahun 1996, 1999,

(12)

Ahmad Asrof Fitri

individu, bukan pendapatan per kapita. Tolak ukur ini dapat dipakai untuk menilai taraf hidup (kesejahteraan materi) masyarakat.

Karena pembangunan sosial dalam perspektif ekonomi Islam tidak hanya mencakup peningkatan taraf hidup (materi) melainkan juga spiritual, maka diperlukan satu tolak ukur lagi untuk mengetahui kualitas religiositas umat. Seorang muslim dapat dikatakan telah berislam secara sempurna ketika dia mau menjalankan seluruh rukun Islam. Dari lima rukun Islam tersebut, yang dapat digunakan sebagai tolak ukur keimanan dan kesejahteraan hidup seseorang adalah zakat.

Orang yang mau membayar zakat berarti dia termasuk orang yang mampu secara finansial dan juga memiliki kesadaran untuk menjalankan ajaran agama Islam. Pada konteks ini, jenis zakat yang digunakan sebagai acuan yaitu zakat penghasilan karena zakat inilah yang secara rutin diberikan setiap kali seseorang memperoleh gaji atau penghasilan.

Pembayaran zakat penghasilan di atas perlu digalakkan secara massif oleh pemerintah sebagai penunjang ekonomi, dengan beberapa kebijakan perundang-undangan yang bisa mensinergikan zakat dengan pajak. Oleh karena itu, penulis mengajukan beberapa opsi pendapat:

Pertama, terkait Peraturan Menteri Keuangan RI Nomor 162/PMK.

011/2012 tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak yang mulai berlaku semenjak 1 Januari 2013 bahwa pemerintah menaikkan batasan jumlah Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP), dari Rp 15,8 juta menjadi Rp 24,3 juta per tahun. Konsekuensi dari aturan ini, setiap warga negara Indonesia yang jumlah penghasilannya tidak lebih dari Rp 24,3 juta per tahun tidak akan dikenakan pajak. Secara lengkap, ketentuan mengenai jumlah PTKP adalah sebagai berikut:34

1. Untuk diri wajib pajak orang pribadi: Rp 24.300.000,00 2. Tambahan untuk wajib pajak kawin: Rp 2.025.000,00

3. Tambahan untuk penghasilan istri yang digabung dengan penghasilan suami: Rp 24.300.000,00

4. Tambahan untuk anggota keluarga (maksimal 3 orang): @ Rp 2.025.000,00.

(13)

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

Dengan tetap mengacu pada nisab (uang yang setara dengan 522 kg beras) yang telah dijelaskan sebelumnya, maka pemerintah bisa mengenakan zakat penghasilan bagi warga negara dengan ketentuan PTKP sebagai berikut: jumlah total penghasilan (gaji) suami dan istri selama 1 tahun adalah Rp 50.625.000,00 (hasil penjumlahan dari Rp 24.300.000,00 + Rp 2.025.000,00 + Rp 24.300.000,00). Jika dihitung per bulan, maka gaji suami-istri tersebut yaitu Rp 4.218.750,00 (sudah melewati nisab Rp 3.393.000,00), sehingga keduanya wajib membayar zakat penghasilan tiap bulan.35 Dengan kata lain, selama gaji suami-istri per bulan lebih dari Rp 3.393.000,00, maka keduanya terkena kewajiban mengeluarkan zakat.

Kedua, bagi warga yang sudah tergolong kategori wajib pajak,

maka pemerintah dapat mengenakan pembayaran zakat penghasilan dengan tetap berpedoman pada ketentuan nisab seperti yang telah disampaikan sebelumnya.

Namun, perlu dipahami, kedua gagasan ini baru bisa terealisasi apabila pemerintah mau menciptakan undang-undang yang memiliki kekuatan hukum. Dengan kata lain, pembangunan sosial-ekonomi yang bersumber dari zakat penghasilan tidak akan dapat terwujud tanpa adanya legitimasi dari pihak pemerintah.

KESIMPULAN

1. Potensi zakat di Indonesia cukup besar, dan terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Tapi, terdapat kesenjangan yang besar antara potensi zakat yang semestinya bisa didapat dengan realisasi pengumpulan zakat (kurang dari 5%).

2. Meski terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama, jumhur ulama berpendapat bahwa penghasilan wajib dikeluarkan zakatnya. Para sahabat, tabi’in, dan ulama yang berpendapat demikian adalah Abdullah bin Mas’ud, Mu’awiyah, Umar bin Abdul Aziz, al-Hasan, dan al-Zuhri. Mayoritas ulama di masa sekarang juga sepakat dengan wajibnya zakat penghasilan. 3. Untuk merealisasikan pembangunan sosial-ekonomi melalui

zakat penghasilan, maka pemerintah perlu membuat undang-undang yang mensinergikan zakat dengan pajak.

(14)

Ahmad Asrof Fitri

DAFTAR PUSTAKA

Abdullahi, Muhammad Ibrahim, Mohd Mahyudi Mohd Yusop,

Syezlin Hasan, “Factors that Motivate Payments of Zakat on Income and Income Tax among IIUM Staff”, dalam Mohd Mahyudi Mohd Yusop & Naziruddin Abdullah (Eds.), Zakat

and Its Poverty Alleviation Goal, Selangor: IIUM Press, 2011.

Ahmad, Abdurrahman Yasri, Al-Alaqat Al-Iqtishodiyah baina Al-Buldan

Al-Islamiyah wa Dauruha fi Al-Tanmiyah Al-Iqtishodiyah, Jeddah:

Dirosat Al-Iqtishodiy Al-Islamiy, Markaz Abhas Al-Iqtishod Al-Islami, Jami’ah Al-Malik Abdul Aziz, 1985.

Ahmad, Khurshid, Al-Tanmiyah Al-Iqtishodiyah fi Ithorin Islamiyin, Majalah Abhas Al-Iqtishod Al-Islamiy, No. 2, 1985.

Amalia, Euis, Keadilan Distributif dalam Ekonomi Islam: Penguatan Peran

LKM dan UKM di Indonesia, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.

Badan Pusat Statistik, “Gini Ratio Menurut Provinsi Tahun 1996,

1999, 2002, 2005, 2007-2013”, www.bps.go.id, diakses pada hari Jumat (22 Agustus 2014), jam 22.37 WIB.

______________, “Koefisien Gini”, www.bps.go.id, diakses pada hari Jumat (22 Agustus 2014), jam 22.47 WIB.

______________, “Penduduk Indonesia menurut Provinsi 1971, 1980, 1990, 1995, 2000, dan 2010”, www.bps.go.id, diakses pada Jumat (22 Agustus 2014), jam 10.32 WIB.

Barizah, Nur & Abdul Rahim, “A Comparative Study of Zakah and

Modern Taxation”, KAU Journal of Islamic Economics, 2007.

Borhan, Joni Tamkin bin, “Pemikiran Pembangunan Ekonomi Berteraskan Islam”, Jurnal Usuludin No. 27, Universiti Malaya, 2008.

Dwiana, Ignatius, “Demografi Agama Menunjukkan Pluralitas Indonesia”, http://www.satuharapan.com/read-detail/read/ demografi-agama-menunjukkan-pluralitas-indonesia/, diakses pada hari Jumat (22 Agustus 2014), jam 17.13 WIB.

Fanjari, Muhammad Syauqi al-, Al-Islam wa al-Musykilah al-Iqtishodiyah, Mesir: Maktabah al-Anglo al-Mishriyah, t.th.

(15)

Pembangunan Sosial-Ekonomi melalui Zakat Penghasilan di Indonesia

Hafidhuddin, Didin, “Urgensi Membangun LAZ yang Amanah dan Profesional”, makalah dipresentasikan dalam pembukaan Unit

Pelayanan Zakat di Kedutaan Besar Indonesia di Malaysia pada 20 Mei 2007.

Kahf, Monzer, “Estimation of Zakah in a Few Muslim Countries”,

1987, dalam Muhammad Ibrahim Abdullahi, Mohd Mahyudi

Mohd Yusop, Syezlin Hasan, “Factors that Motivate

Payments of Zakat on Income and Income Tax among IIUM

Staff”, dalam Mohd Mahyudi Mohd Yusop & Naziruddin

Abdullah (Eds.), Zakat and Its Poverty Alleviation Goal, Selangor: IIUM Press, 2011.

Kementerian Keuangan Republik Indonesia Direktorat Jenderal

Pajak, “PTKP Baru Berlaku Mulai Tanggal 1 Januari 2013”,

www.pajak.go.id/ blog-entry/kp2kptrenggalek/ptkp-baru-berlaku-mulai-tgl-01-januari-2013, diakses pada Senin (25 Agustus 2014), jam 07.58 WIB.

Kroessin, Mohammed R., “A Genealogy of the Islamic Development Discourse: Underlying Assumptions and Policy Implications

from a Development Studies Perspective”, makalah 8th International Conference on Islamic Economics and Finance. Mannan, Muhammad Abdul, Al-Iqtishad al-Islamiy baina al-Nazhariyat

wa al-Tathbiq, Al-Maktab al-Arabi al-Hadis, t.th.

Mth., Asmuni, “Konsep Pembangunan Islam”, Jurnal Al-Mawarid

Edisi X Tahun 2003.

Muda, Muhamad, et. al., “Factors Influencing Individual Participation

in Zakat Contribution: Exploratory Investigation”, makalah

pada Seminar for Islamic Banking & Finance 2006 (iBAF 2006), 29-30 Agustus 2006, Kuala Lumpur.

Qardawi, Yusuf al-, Fiqh az-Zakat: a Comparative Study: The Rules,

Regulations, and Philosophy of Zakat in The Light of The Qur’an and

Sunnah, terj. Monzer Kahf, London: Dar al-Taqwa Ltd., 1999.

Replubika, www.republika.co.id/ berita/nasional/umum/14/01/03/

mysfdt-jumlah-penduduk-miskin-indonesia-bertambah diakses tanggal 20 Mei 2014.

Ridlo, M. T., Zakat Profesi dan Perusahaan, Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2007.

Referensi

Dokumen terkait

Total kunjungan kapal laut di 12 pelabuhan laut yang ada di Sulawesi Utara (Pelabuhan Labuhan Uki, Tahuna, Lirung, Likupang, Ulu-Siau, Pehe-Siau, Tagulandang, Biaro, Amurang,

Membaca risalah pemberitahuan pernyataan banding yang dibuat oleh Jurusita Pengganti pada Pengadilan Negeri Batam yang menyatakan bahwa permohonan banding tersebut

pasangannya mengena, ia akan dibayar 65 kali uang taruhannya. - Tekpo yaitu permainan dengan kartu domino, barang siapa mendapatkan sejumlah angka terbesar,

Dampak yang terjadi pada pasangan yang menikah pada usia dini yaitu pada saat pasangan pernikahan dini mempunyai anak, remaja kurang pengetahuan dalam mengasuh

Nilai kecernaan NDF dari ketiga ransum perlakuan memperlihatkan hasil yang berbeda nyata, namun terlihat bahwa nilai kecernaan ransum A2 B1 (penambahanmineral sulfur

bahwa untuk menindaklanjuti ketentuan Pasal 22 ayat (3) Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2008 tentang Kelurahan, serta dalam upaya percepatan dan kelancaran pelaksanaan

Bahwa Perkembangan paling awal yang terjadi pada medio awal abad ke-20 berkaitan dengan pengusahaan minyak kelapa di Kebumen dan di Jawa secara umum ialah munculnya

Tindakan yang melanggar kesusilaan yang oleh masyarakat telah diakui sebagai hukum tidak tertulis juga dianggap sebagai perbuatan melawan hukum, manakala tindakan