62 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76
PERANAN PEREMPUAN DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM
Eko Andy Saputro*
Abstract
The Qur'an recognizes the role of men and women as individuals and as members of society. The Emancipation of women is an affair always in the heart of the Prophet. The Qur'an gives the right of inheritance and divorce to women, centuries before Western women are declared eligible for that status. The Qur'an also establishes the social norms of the new community. A very basic revolutionary step. The women of the first people in Medina took full part in their public life, and some, according to Arab custom, fought on the side of men in battle. They do not feel Islam as a pressing religion. This article attempts to examine the role and position of women in Islam, judging by her position as an individual, a partner of her husband, and part of society.
Keywords: women’s role, emancipation, gender, shari’a.
Kedudukan Perempuan Dalam Syari’at Islam
Al-Qur’an mengakui perbedaan anatomis antara laki-laki dan perempuan. Ia juga mengakui bahwa anggota setiap
gender menjalankan fungsi yang
mencerminkan berbagai perbedaan yang telah dirumuskan dengan baik dan dipegangi oleh budaya tempat mereka
berada. Perbedaan-perbedaan ini
merupakan bagian penting dari
bagaimana budaya itu bekerja. Karena itu, tidaklah bijak jika Al-Qur’an tidak mengakui dan, bahkan, tidak bersimpati terhadap perbedaan-perbedan fungsi yang telah ditetapkan secara kultural tersebut.
Al-Qur’an tidak berusaha
menafikan perbedaan antara laki-laki dan
perempuan atau menghapuskan
signifikansi fungsional pembedaan
gender yang membantu masyarakat
berjalan lancar dan memenuhi
kebutuhannya. Bahkan,
hubungan-hubungan fungsional yang harmonis dan saling mendukung antara laki-laki dan perempuan dapat kita fahami sebagai bagian dari tujuan Al-Qur’an berkenaan dengan masyarakat. Namun Al-Qur’an tidak menganjurkan atau mendukung peran tunggal atau definisi tunggal
tentang seperangkat peran, yang
dikhususkan bagi laki-laki dan bagi perempuan di semua budaya.
Al-Qur’an mengakui peran laki-laki dan perempuan sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Namun, lebih lanjut seorang cendekiawan Muslimah bernama Amina Wadud dalam bukunya, “Quran Menurut Perempuan” menyatakan bahwa Al-Qur’an tidak memberikan petunjuk rinci tentang bagaimana peran-peran itu harus dimainkan. Spesifikasi semacam itu justru akan mereduksi Al-Qur’an dari sebuah teks universal menjadi sekadar ‘teks yang spesifik secara kultural’ –sebuah klaim yang secara salah telah dilontarkan oleh banyak orang. Apa yang ditawarkan
Al-Qur’an merupakan sesuatu yang
melampui ruang dan waktu.1
Pembedaan gender dan peran gender menunjukkan persepsi tentang perilaku yang secara moral dianggap tepat dalam suatu masyarakat. Karena Al-Qur’an adalah pedoman moral, maka ia harus berhubungan dengan berbagai persepsi tentang moralitas –terlepas dari
* Dosen Fakultas Syariah STAI-Badrus Sholeh
1Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan,
Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 63 seberapa kuat spesifikasi gendernya-
yang dipegangi oleh para individu dari beragam masyarakat. Tetapi kenyataan bahwa Al-Qur’an diturunkan di Jazirah Arab pada abad ke-7 adalah ketika bangsa Arab memiliki persepsi tertentu dan konsepsi yang salah tentang perempuan dan melakukan pelecehan seksual terhadap mereka, lalu kemudian
Al-Qur’an menghasilkan beberapa
keputusan yang spesifik bagi budaya bangsa Arab.
Dewasa ini, sejumlah aktivis perempuan secara terbuka menggugat kenetralan sikap Al-Qur’an yang tidak melarang praktik-praktik patriarki sosial, patriarki perkawinan, hierarki ekonomi dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga? Jawabannya menurut beliau (baca: Amina wadud) adalah jika evolusi teks Al-Qur’an dan tujuan Al-Qur’an yang menyeluruh diarahkan pada satu -meskipun penting- aspek interaksi sosial saja, katakanlah pada penguatan kesadaran mengenai kaum perempuan, maka Al-Qur’an hanya akan terpaku pada aspek itu saja, tanpa
meperhatikan aspek-aspek lainnya.
Memang, dalam Al-Qur’an, terdapat pengakuan esensial mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan peran mereka dalam masyarakat. Namun, hubungan itu bukanlah sasaran satu-satunya dan paling utama dari
Al-Qur’an.2
Syeikh Abdul Halim Abu Syuqqah menulis dalam bukunya, “Kebebasan Wanita. (judul asli: Tahrir al-Mar’ah fi
‘Ashri ar-Risalah)” bahwasannya
kezhaliman-kezhaliman yang menimpa perempuan kerap terjadi pada masa jahiliah, diantaranya adalah orang tua merasa susah dan murung jika yang dilahirkan adalah bayi perempuan, pemeliharaan perempuan sebagai mahluk yang hina, atau penguburan hidup-hidup bayi perempuan karena merasa malu dan
2Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan..., h.29
takut miskin,3 dalam hal ini, Allah swt
mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah mukanya, dan menjadi sangat marah. (Q.S. an-Nahl/16: 58)
Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu”
Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh
anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Q.S. al-Isrâ’/17:
Artinya: “Apabila bayi-bayi perempuan
yang dikubur hidup-hidup ditanya (8) karena dosa apakah mereka dibunuh?” (Q.S. at-Takwîr/81: 8-9).
Beberapa ayat di atas adalah pembelaan Allah terhadap suatu kaum yang memperlakukan kaum perempuan di antara mereka dengan kemungkaran dan kekejian. Di hampir setiap pojok dunia yang berpenghuni, masyarakat masa lampau menganggap status
3Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita,
64 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 perempuan lebih rendah daripada status
laki-laki. Di Athena, menurut
Encyclopaedia Britannica, status perempuan disamakan dengan status budak. Istri-istri dipingit di rumah mereka, tidak memiliki pendidikan dan tidak memiliki hak apa pun, dan oleh suami mereka dianggap tidak lebih baik dari harta kekayaan. Di Roma kuno, posisi hukum perempuan betul-betul rendah, pertama menjadi bawahan ayahnya atau saudara laki-lakinya, untuk kemudian menjadi bawahan suami yang memegang kendali atas istrinya. Di mata hukum, perempuan dianggap sebagai
orang-orang yang pandai.4
Alasan perlakuan buruk terhadap perempuan di masa lalu adalah karena
begitu menjamurnya takhayul.
Sebenarnya, hanya sedikit persoalan yang tidak dipandang dengan keyakinan irasional. Pemikiran sesat seperti itu dibesar-besarkan sampai pada status agama, dan pemikiran yang demikian
berpengaruh buruk pada semua
hubungan antar manusia.
Spekulasi adalah pola berfikir lain yang menciptakan hasil aneh dan sering kali merusak. Bertrand Russel, dengan mencemooh proses berfikir Yunani kuno,
mengatakan, “Aristoteles tetap
berpendapat bahwa perempuan
mempunyai gigi yang lebih sedikit daripada laki-laki; meskipun dia menikah dua kali, tidak pernah terfikir olehnya untuk membuktikan pernyataannya
dengan cara memeriksa mulut istrinya.”5
Agama Kristen hanya sedikit memperbaiki situasi ini karena ia terlanjur memberi nilai sangat agung kepada keyakinan keliru yang dinyatakan di dalam kitab Injil awal, yaitu bahwa karena pelanggaran Hawa-lah, Adam diusir dari taman Surga. Berbicara tentang perempuan pada umumnya
dalam konteks ini, Encyclopaedia
Britannica menyatakan, “Menurut Agama Kristen mereka dianggap sebagai
4Wahiduddin Khan, Antara Islam dan Barat..., h.51 5Wahiduddin Khan, Antara Islam dan Barat..., h.51
penggoda, bertanggung jawab atas kejatuhan Adam, dan sebagai manusia kelas dua.” Dengan munculnya mitos abadi semacam itu dalam kesadaran kolektif masyarakat, tidak terlalu
mengherankan jika perempuan
ditempatkan secara inferior, baik dalam masalah agama maupun duniawi. Barulah ketika Islam datang, untuk pertama kalinya di dalam sejarah umat manusia,
perempuan diberikan hak legal
semestinya. J.M. Roberts, sejarawan terkenal menulis:
Kedatangannya dalam banyak hal
revolusioner. Islam
memertahankan perempuan,
misalnya, pada posisi yang inferior, tetapi memberi mereka hak-hak legal atas harta benda yang tidak diberikan kepada perempuan di banyak negara Eropa sampai abad kesembilan
belas. Bahkan budak pun
mempunyai hak, dan di dalam jamaah kaum mukmin tidak terdapat kasta maupun status warisan. Revolusi ini berakar di dalam suatu agama yang— sebagaimana agama Yahudi—
tidak memisahkan sisi-sisi
kehidupan, melainkan mencakup
semuanya.6
Pendapat yang sama berkenaan dengan India kuno dikemukakan oleh
pensiunan Hakim Kepala Kantor
Pengadilan Delhi, Rajindar Sachar:
...Dari sudut sejarah, Islam sangat liberal dan progresif di dalam memberikan hak kepemilikan harta kepada perempuan. Adalah fakta bahwa tidak ada hak kepemilikan harta yang diberikan kepada perempuan Hindu sampai
tahun 1956, yaitu ketika
Rancangan Undang-Undang Hindu disahkan, padahal Islam telah menganugerahkan hak ini kepada
Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 65 perempuan muslim lebih dari
1400 tahun yang lalu.7
Namun demikian, hal ini bukanlah semata mana yang lebih dahulu. Yang
signifikan adalah bahwa dalam
memberikan status yang sama dan hak-hak selayaknya kepada perempuan. Islam telah menegakkan satu teladan penting yang berdampak luas pada peradaban masa itu, sama luasnya dengan dampak peradaban Barat terhadap dunia dewasa ini. Jika Islam berhasil mencapai revolusi
yang demikian dalam persoalan
kemanusiaan, itu lebih karena Islam tidak begitu saja berhenti sebagai kepercayaan filosofis, melainkan berlanjut dengan menaklukan mayoritas bagian dunia yang berpenduduk saat itu.
Ketika Nabi hijrah ke Yatsrib– kemudian dikenal sebagai Madinah, salah satu langkah yang diambil Muhammad saw setelah tiba di Madinah adalah membangun sebuah masjid sederhana.
Masjid tersebut mengungkapkan
keteguhan cita-cita Islam awal. Tiga tiang menyokong atap, sebuah batu menandai qiblah (arah shalat), dan Nabi berdiri pada batang pohon untuk berkhatbah. Semua masjid di masa depan, sejauh mungkin, dibangun menurut model ini. Terdapat juga halaman, tempat kaum Muslim bertemu untuk membahas segala hal mengenai umat-sosial, politik dan militer di samping juga keagamaan. Tidak seperti gereja Kristen, yang terpisah dari kegiatan orang awam dan hanya dipersembahkan untuk pemujaan, tidak ada aktivitas yang tidak tercakup dalam masjid tersebut. Dalam pandangan Al-Qur’an, tidak ada dikotomi antara yang sakral dan yang profan, keagamaan dan politik, seksualitas dan peribadatan. Seluruh kehidupan secara potensial bersifat suci dan harus dibawa ke dalam kehendak Allah. Maksudnya adalah tauhid, integrasi seluruh kehidupan dalam satu kesatuan yang akan
7Wahiduddin Khan, Antara Islam dan Barat..., h.52
memberikan keintiman bagi kaum
Muslim akan Kesatuan, yaitu Allah swt. 8
Emansipasi perempuan adalah suatu urusan yang selalu ada di hati Nabi. Al-Qur’an memberikan hak waris dan perceraian kepada perempuan, jauh berabad-abad sebelum perempuan Barat dinyatakan berhak atas status itu. Al-Qur’an juga menetapkan norma-norma sosial dari komunitas baru. Sebuah langkah revolusioner yang sangat mendasar. Perempuan dari umat pertama di Madinah mengambil bagian penuh
dalam kehidupan publiknya, dan
beberapa di antaranya, menurut adat Arab, berjuang di sisi laki-laki di dalam pertempuran. Mereka tidak merasakan Islam sebagai suatu agama yang
menekan. 9
Emansipasi Perempuan Dalam
Perspektif Islam
1. Al-Qur’an dan Kesetaraan Gender
Ciri khas kaum muslim yang sebenarnya, baik laki-laki maupun perempuan, digambarkan dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 35 dengan kata-kata sebagai berikut:
- Laki-laki dan perempuan yang telah
berserah diri,
- Laki-laki dan perempuan yang
beriman,
- Laki-laki dan perempuan yang taat,
- Laki-laki dan perempuan yang benar,
- Laki-laki dan perempuan yang sabar,
- Laki-laki dan perempuan yang
khusyuk,
- Laki-laki dan perempuan yang
bersedekah,
- Laki-laki dan perempuan yang
berpuasa,
- Laki-laki dan perempuan yang
memelihara kehormatannya,
- Laki-laki dan perempuan yang
banyak menyebut (asma) Allah, dan bagi mereka Allah telah menyediakan
8Karen Armstrong, Islam: Sejarah Singkat,
(selanjutnya ditulis Islam: Sejarah Singkat) (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2005), cet.ke-5, h.17
66 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 ampunan serta pahala yang sangat
besar.
Sifat-sifat ini kemudian menjadi sifat dasar yang harus digali, baik oleh laki-laki dan perempuan, jika mereka ingin disayang oleh Allah swt dan hamba pilihan-Nya.
Islam, Iman, Ketaatan, Kebenaran, Sabar, Khusyuk, Sedekah, Puasa, Ihsan, Dzikir, dan bertaubat. Sifat-sifat tersebut ketika disatukan akan membentuk satu keadaan yang ideal bagi kedua jenis kelamin. Lebih lanjut, Ali Hosein Hakeem merumuskan prinsip Qurani mengenai kesetaraan gender.
1. Kesetaraan Umum: Konsep
kesetaraan gender ini merupakan contoh terbaik dari interpretasi Al-Qur’an mengenai Adam dan Hawa. Telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa konsep Islam tentang perempuan secara radikal berbeda dengan konsep Kristen. Al-Qur’an juga menjelaskan kesetaraan gender ini juga berlaku pada tujuan
diciptakannya laki-laki dan
perempuan di dunia, keduanya adalah makhluk Allah swt yang tujuan utamanya eksis di muka bumi
adalah menyembah Tuhannya,
melakukan amal shaleh, dan
menghindari perilaku jahat dan keji (Q.S. Alu ‘Imrân/3: 195, Q.S. al-Mu’min: 40, Q.S. an-Nahl/16: 97).
2. Eksplisitasi Kesetaraan: Apa yang
secara jelas ditegaskan dalam Al-Qur’an adalah bahwa perempuan setara dengan laki-laki dalam
kewajiban-kewajiban agama.
Perempuan menanggung kewajiban yang sama dan akan memperoleh balasan atau hukuman yang sama
pula.10
Dengan memerhatikan analisis yang telah dilakukan, seseorang dapat menarik kesimpulan bahwa kedua gender
diserahi tanggung jawab untuk
berintegrasi dan membantu gender lain
10Ali Hosein Hakeem, et. al., Membela Perempuan...,
h.63-65
dalam meraih tingkat kesempurnaan tertinggi.
Perbedaan Konsep Islam dengan Teologi Feminisme
Teologi Feminisme bersumber
dari aliran pembebasan yang
dikembangkan oleh James Cone sekitar tahun 1960. Dalam konsep teologi
pembebasan, keberadaan agama
merupakan alat untuk membebaskan golongan yang tertindas. Konsep tersebut diadopsi oleh kaum teolog feminis, dengan mengasumsikan bahwa kelas tertindas yang harus diperjuangkan adalah perempuan. Perjuangan yang dilakukan oleh teologi feminisme adalah
dengan melakukan dekonstruksi
terhadap pemahaman keagamaan yang bias laki-laki. Pada budaya patriarki anggapan bahwa perempuan adalah warga dunia nomor dua, telah mendarah daging lebih lama sebelum agama-agama lahir, oleh karena itu tidak satupun agama
yang tidak bersifat patriarki.11
Menurut kaum teolog feminis dalam agama-agama (terutama dalam rumpun Semit, seperti Kristen, dan Yahudi) terdapat banyak sekali bias gender, baik kitab suci maupun penafsiran kitab suci itu sendiri. Bias
penafsiran tersebut tentu sangat
dimungkinkan karena diasumsikan
bahwa para Nabi adalah laki-laki, tokoh-tokoh teolog kebanyakan laki-laki, demikian juga dengan kecenderungan manusia yang terlalu condong pada pemujaan tuhan yang di-maskulinkan, terbukti pada penyebutan dalam kitab
suci dengan istilah The Father God, He,
Him. Sebagai akibat imajinasi bahwa
Tuhan maskulin membuat manusia menginternalisasikan sifat-sifat maskulin untuk laki-laki yaitu berkuasa, aktif, independen, dan dominan. Dari sinilah pandangan agama tentang relasi antar
laki-laki dan perempuan mulai
11Hastanty Widy N, Diskriminasi Gender: Potret
Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 67 mengalami bias, hingga menyudutkan dan
merugikan perempuan.
Kitab suci merupakan salah satu sasaran tembak kaum teolog feminis, karena dianggap paling banyak memuat pandangan bias gender. Kesalahan penafsiran tersebut menjadi semakin fatal, ketika umat suatu agama menganggap bahwa tradisi teologi merupakan legitimasi dari Tuhan, ‘inilah yang dikehendaki Tuhan padahal yang menghendaki sesungguhnya adalah laki-laki,’ demikian diungkap J.B.Banawratma, S.J. dalam makalah “Teologi Feminisme: Membuka Keterbatasan Simbol” Lebih lanjut ditegaskan bahwa para penulis kitab suci yang menuliskan kembali firman Tuhan seringkali terkungkung dalam pemikiran dan budaya masyarakat yaitu patriarki. Ayat-ayat tersebut seharusnya dapat disalahkan dengan
segala interpretasi yang tidak
membebaskan.12
Konsep para teolog feminis di atas jelas berbeda dengan apa yang
dicanangkan Al-Qur’an dalam
menetapkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Prinsip dasar teolog feminis bahwasanya individu-individu yang sama haruslah diperlakukan sama menurut karakteristik-karakteristik aktual mereka, bukan asumsi-asumsi stereotipe apapun yang dibuat mengenai mereka –termasuk yang berasal dari kitab suci dan penafsirannya. Mereka mengritik bentuk suatu aturan (syariat agama atau hukum negara), seraya menuntutnya agar memerlakukan perempuan dan laki-laki pada terminologi yang sama tanpa penghalang-penghalang atau simpati yang berkaitan dengan seks masing-masing (kesetaraan formal). Oleh karena itu, tidak jarang dari apa yang dilakukan teolog feminis di kalangan umat Islam mengundang sesuatu yang kontroversial, dan memupus segala yang tabu dalam memandang hubungan Islam dan perempuan, seperti gagasan mengenai tafsir feminis tentang ajaran-ajaran Islam,
12Hastanty Widy N, Diskriminasi Gender..., h.90-91
perempuan sebagai ulama, membaca Quran dalam sudut pandang perempuan
dan perempuan sebagai corrector misi
agamawan.
Namun demikian, jika teologi
feminis mengarah para truth claim, klaim
kebenaran secara emosional, maka justru akan menimbulkan banyak masalah. Artinya jika hasil interpretasi kaum feminis, kemudian dipahami secara idiologis, kaku dan tidak terbuka, maka akan mudah mengarah pada dogmatisme dan fanatisme sempit. Sebab, boleh jadi seorang teolog feminis yang tadinya mengkritik bahwa hasil penafsiran kitab suci selama ini mengandung bias laki-laki, pada akhirnya justru ia sendiri terjebak dan terjerat dalam bias-bias perempuan
yang cenderung bersifat chauvinistik.13
Memang jika truth claim itu hanya
terbatas pada aspek ontologis-metafisis, barang kali tidak perlu dirisaukan. Yang
menjadi masalah adalah jika truth claim
dan sikap chauvinistik yang berlebihan tersebut masuk ke dalam wilayah sosial politik yang praktis empiris. Sebab hal itu biasanya akan memicu kerawanan sosial,
bahkan menyebabkan chaos di
masyarakat sedemikian rupa, sehingga barangkali tidak selamanya keliru jika kadang ada kesan oleh sebagian orang bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan perempuan atas laki-laki,
menganggap laki-laki sebagai rival, dan
bukan sebagai mitra dalam merajut suatu sistem relasi yang lebih adil dan harmonis. Untuk itu sebaiknya ideologi feminisme juga harus bersifat inklusif, terbuka dan jangan dianggap sebagai
sesuatu yang final.14
Sementara Islam dengan sistem kesetaraan dominasi yang seimbang
mengubah fokus perhatian dari
perbedaan-perbedaan berdasarkan atas
13Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir
Patriarkis: Telaah Kritis Penafsiran Riffat Hassan, (selanjutnya ditulis Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarkis) (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), cet.ke-1, h.104
14Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir
68 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 gender pada pembagian kekuatan
dominasi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan melalui beberapa cara yang bergantung pada hak-hak khusus berdasarkan gender atau bonus ekstra. Hal ini dilakukan agar dapat tercipta pembagian kekuasaan yang objektif, meskipun pada saat yang sama
menampilkan beberapa ukuran
stereotipe klasik bagi kekuasaan. Teori
dalam kerangka kerja ini
mempertimbangkan
keuntungan-keuntungan kesetaraan yang bersifat substansial dan menghindari kritik kesetaraan formal yang diusung teolog feminis; sementara pada saat yang sama menggabungkan standar hidup praktis dan kebutuhan-kebutuhan manusia.
Makna kesetaraan ini adalah bahwa setiap orang harus diberikan hak-haknya dan ditempatkan pada tempat yang semestinya. Sebagai contoh, kesetaraan di antara individu-individu dan kelompok-kelompok dalam sebuah keluarga ini berimplikasi bahwa setiap orang mesti mendapatkan hak-haknya secara pantas tanpa penangguhan atau pembatasan; tak ada hak yang akan diambil alih atau diingkari secara tidak adil. Firman Allah swt berikut ini menyatakan hal tersebut:
...
mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.”(Q.S. al-Baqarah/2: 228).
Ayat di atas menetapkan
kesetaraan antara hak-hak kedua jenis kelamin, dan pada saat yang sama menunjukkan perbedaan-perbedaan di
antara keduanya.15
15Ali Hosein Hakeem, et. al., Membela Perempuan...,
h.67
Alokasi Hak dan Kewajiban Bukan Diskriminasi
Konsep persamaan mutlak yang diusung oleh negara-negara Barat dianggap sebagai satu fakta yang tidak dapat disangkal lagi. Namun jika diambil sebuah perumpamaan yang mengacu pada konsep kesetaraan yang tidak alami ini, maka seharusnya mereka bisa menempatkan seorang ilmuan dalam posisi seorang atlet yang mampu melakukan tugasnya dengan baik dan meraih gelar juara. Demikian sebaliknya atlet tersebut mampu melakoni tugasnya sebagai ilmuan yang berjasa pada dunia sains. Hal ini dikarenakan konsep mereka mengenai persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan seharusnya juga berlaku pada persamaan antara sesama jenis laki-laki atau jenis perempuan saja.
Ilustrasi ini mungkin tampak
menggelikan, tetapi itulah yang diartikan dengan persamaan mutlak. Seorang ilmuan yang berada di puncak daftar universitas atau konferensi sains akan terlihat sangat bermutu rendah dalam suatu pertandingan olahraga. Sedangkan atlet tersebut betul-betul menjadi orang pandir di meja presentasi seminar sains. Jelas bahwa penerapan aturan persamaan
ini menimbulkan bencana. 16
Persamaan yang sebenarnya
berarti persamaan bukan di tempat kerja, melainkan di dalam status. Persamaan manusia tidak berarti bahwa setiap manusia musti terlibat dalam pekerjaan yang sama sebagaimana orang lain. Maksudnya kurang lebih bahwa setiap
orang harus dipandang dengan
kehormatan yang sama, dan harus menerima perlakuan yang sama secara
legal dan moral. Upaya untuk
menegakkan persamaan yang tidak alamiah antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja, hasilnya mungkin seperti yang sudah diduga: ketidaksamaan terbesar dalam sejarah umat manusia telah terjadi di antara laki-laki dan perempuan.
Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 69 Perbedaan antara keduanya ada
karena diciptakan untuk mengabdi pada tujuan yang berbeda. Jika keduanya ditempatkan dalam bidangnya masing-masing, mereka akan sama-sama sukses, meskipun dalam hal yang berbeda. Sebaliknya jika laki-laki dan perempuan ditempatkan pada wilayah kerja yang sama, kemudian dimana salah satunya tidak lagi mampu bersaing dan mengungguli yang lainnya maka yang
terjadi adalah runtuhnya konsep
kesetaraan mutlak ini dan melahirkan paradigma golongan marjinal, kaum
subordinat, dan lain sebagainya.17
Diskriminasi Arus Feminisme Global Terhadap Islam
1. Salah Faham Terhadap Islam
Islam sebagai agama dan sebagai hukum, sering disalahfahami bukan hanya oleh orang-orang non-Muslim, tetapi juga oleh orang-orang Islam sendiri. Kesalahfahaman terhadap Islam disebabkan karena banyak hal, namun secara umum dibagi menjadi 3 pokok dasar. (a) Salah memahami ruang-lingkup ajaran Islam, (b) salah menggambarkan kerangka dasar ajaran Islam, dan (c) salah menggunakan metode dalam
memelajari Islam.18
a. Kesalahfahaman mengenai
ruang-lingkup ajaran Islam terjadi, misalnya, karena orang menganggap semua agama itu sama dan ruang lingkupnya sama juga. Dipengaruhi ajaran agama Nasrani yang ruang-lingkupnya hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja, orang menganggap agama Islam pun demikian juga halnya. Tetapi agama Islam itu tidaklah hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan belaka, seperti yang
dikandung oleh istilah religion, tetapi
juga mengatur hubungan manusia
17Wahiduddin Khan, Antara Islam dan Barat..., h.59 18Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar
Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (selanjutnya ditulis Hukum Islam) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), cet.ke-1, h.65
dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat dan dengan benda dan alam sekitarnya. Sebagai satu sistem, Islam mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai dimensi dan karena itu ruang lingkup ajarannya pun mencakup berbagai tata hubungan itu. Untuk menghindari salah faham, seharusnya dalam memelajari Islam dimulai dari dua sumber utamanya, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Jika kita pelajari agama Islam itu dari sumbernya yang asli, kita akan memeroleh gambaran yang jelas mengenai tata hubungan itu, sebab Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama agama Islam tidak hanya memuat ajaran tentang iman dan ibadah atau akidah dan syariah saja, tetapi memuat juga akhlak tentang bagaimana manusia harus bersikap dan berbuat dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini terhadap dirinya sendiri, manusia lain dan lingkungan hidupnya.
b. Kesalahfahaman terjadi karena orang
70 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 pemikiran para orientalis. Untuk
menghindari kesalahfahaman ini
hendaklah komponen-komponen
ajaran Islam yang menjadi kerangka dasar agama Islam itu digambarkan seluruhnya dalam satu kesatuan yang padu, dan pelajarilah Islam secara menyeluruh dalam satu kesatuan yang bulat.
c. Kesalahfahaman terjadi karena karena
salah memergunakan metode
mempelajari Islam. Metode yang digunakan oleh orientalis, adalah pendekatan yang tidak benar, karena mereka, pada umumnya menjadikan bagian-bagian bahkan seluruh ajaran (agama) Islam semata-mata sebagai objek studi dan analisis. Laksana seorang dokter bedah mayat, para orientalis itu meletakkan Islam di atas meja operasinya, memotongnya bagian demi bagian dan menganalisis bagian-bagian itu dengan menggunakan norma-norma atau ukuran-ukuran
mereka sendiri yang unIslamic.
Artinya, mereka menggunakan metode memelajari dan menganalisis ajaran (agama) Islam dengan metode dan analisis serta ukuran-ukuran yang bukan berasal dari studi keilmuan Islam, tidak sesuai dengan ajaran
agama Islam. Hasilnya tentu
menimbulkan salah faham terhadap
Islam.19
Dewasa ini banyak sekali metode
non-Muslin yang diadopsi oleh
sekelompok cendekiawan dan pemikir Muslim. Tujuannya adalah untuk merekonstruksi hukum Islam dan penafsiran dari ayat-ayat Al-Qur’an. Salah satunya dengan menggunakan metode Hermeneutika. Sebagian besar para feminis muslim menggunakan metode ini untuk dapat ‘membaca’ kembali Al-Qur’an, di mana menurut mereka, ilmu tafsir Al-Qur’an yang telah ada dan
terkodifikasi oleh mufassir-mufassir
terdahulu seringkali menimbulkan
penafsiran bias gender, itulah sebabnya
19Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h.65-69
diperlukan metode penafsiran baru agar dapat dijadikan rujukan di antara korpus tafsir Al-Qur’an yang telah ada.
Problem Hermeneutika dan Ayat Al-Qur’an
Hermeneutika adalah metode penafsiran yang menitikberatkan pada rasio yang diadopsi dari tradisi Yahudi. Hermeneutika adalah hasil derivasi
(berasal) Yunani, yang berarti
menafsirkan. Kata ini pertama kalinya digunakan oleh seorang dewa bernama Hermer anak dari Zeus dan Maia, dia bertugas sebagai penafsir teks-teks dari langit (yang masih menggunakan bahasa langit), kemudian dia terjemahkan ke
bahasa makhluk.20
Dari makna bahasa, hermeneutika mengalami perubahan cepat ke makna bahasa dan filsafat. Sehingga diadopsi oleh Yahudi-Nasrani dalam menafsirkan teks-teks Bible. Akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah timbulnya kerancuan di dalamnya. Sehingga klimaksnya adalah pecahnya Nasrani menjadi dua golongan, yaitu Protestan dan Katolik. Pihak Protestan memakai hermeneutikal literal (hakiki-secara harfiah) dan pihak Katolik yang cenderung memakai hermeneutika algoris (majazi/kiasan). Kemudian di tengah-tengah perseteruan dua kubu kristen tersebut datanglah pihak sekuler yang mentransformasikan (memasukkan) metode itu dalam kedua ajaran tersebut. Hingga akhirnya keduanya tunduk pada falsafah Kapitalis Barat yang sebenarnya anti agama alias sekuler.
Hermeneutika yang semula lahir akibat polemik teks Bible yang dianggap banyak masalah, kini, secara latah dicoba
untuk mengkritik Al-Qur’an dan
meragukan Mushaf Usmani. Pada dasarnya, hermeneutika adalah metode
tafsir Bible, yang kemudian
dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat menjadi metode interpretasi teks secara umum. Oleh
20Abdul Adhim, “Katakan tidak untuk
Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 71 sebagian cendekiawan Muslim, kemudian
metode ini diadopsi dan dikembangkan, untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman Al-Qur’an yang dikenal sebagai ilmu tafsir.
Adalah Schleiermacher, seorang teolog asal Jerman, yang konon pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik penafsiran kitab suci (Biblical Hermeneutics) menjadi
‘hermeneutika umum’ (General
Hermeneutics) yang mengkaji kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya pemahaman atau penafsiran yang betul terhadap suatu teks. Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha Semler dan Ernesti untuk ‘membebaskan tafsir dari dogma’, ia bahkan melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum, ‘semua teks diperlakukan sama’, tidak ada yang perlu di-istimewakan, apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks karya manusia biasa. Kemudian datang Dilthey yang menekankan ‘historisitas teks’ dan
pentingnya ‘kesadaran sejarah’
(Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca teks, menurut Dilthey, harus bersikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati jarak sejarah antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu teks ditentukan oleh kemampuan kita
mengalami kembali (Nacherleben) dan
menghayati isi teks tersebut.21
Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan
dalam interaksi tersebut adalah
terjadinya hermeneutic circle, semacam
proses tak berujung-pangkal antara teks,
praduga-praduga, interpretasi, dan
peninjauan kembali (revisi). Demikian
21 Redaksi, “Hermeneutika dan Infiltrasi Kristen.”,
Hidayatullah (Jakarta), 03 April 2004 http://hidayatullah.com
pula rumusan Gadamer, yang
membayangkan interaksi pembaca
dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesefahaman. “Interaksi tersebut tidak boleh berhenti”, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh. Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif
tersembunyi (hidden interests) yang
melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistorsi pesan atau
makna secara sistematis.22
Dengan latar belakang seperti itu, hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan
konsekuensi. Pertama, hermeneutika
menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada Al-Qur’an, hermeneutika otomatis akan menolak status Al-Qur’an
sebagai Kalamullah, memertanyakan
otentisitasnya, dan menggugat ke-mutawatir-an mushaf Usmani.
Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai ‘produk sejarah’ sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk Al-Qur’an, yang kebenarannya
22Redaksi, “Hermeneutika dan Infiltrasi Kristen.”,
72 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 melintasi batas-batas ruang dan waktu
(trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudâ li an-nâs).
Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai ‘lingkaran hermeneutis’, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk Al-Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman.
Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan
melahirkan mufassir-mufassir palsu dan
pemikir-pemikir yang tidak terkendali.23
Dampak penggunaan metode hermeneutika terhadap pemikiran Islam sudah sangat mencolok di kalangan cendekiawan dan pemikir Islam itu sendiri. Dalam ungkapan lain, telah terjadi pemutlakan atas nama filsafat hermeneutika. Penguat
kesimpulan-kesimpulan dari sebuah model
hermeneutik terkait dengan tiga aspek teks: (1) konteks saat teks ditulis (dalam kasus Al-Qur’an, konteks saat Al-Qur’an diwahyukan); (2) komposisi gramatikal
teks (bagaimana teks Al-Qur’an
menuturkan pesan yang dinyatakannya); (3) setiap ayat dianalisis dari sudut prinsip Al-Qur’an yang menolaknya dan
23Redaksi, “Hermeneutika dan Infiltrasi Kristen.”,
Hidayatullah (Jakarta), 03 April 2004 http://hidayatullah.com
(4) teks secara keseluruhan, yakni Weltanschauung atau pandangan
dunianya.24
Nash yang sering diangkat oleh
para feminis Muslim ketika menerapkan metode hermeneutika, antara lain adalah Al-Qur’an surat an-Nisâ’ ayat 34. Siti
Musdah Mulia, dalam bukunya,
“Muslimah Reformis”, mengajukan usul untuk mengganti makna pemimpin dari
kata qawwâm menjadi penopang atau
penguat (qâ’im). Ia mengatakan bahwa
kata qawâm ada yang bermakna
penopang atau penguat, seperti yang dipakai dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 8 dan surat an-Nisâ’ ayat 153. Menurutnya, makna ini lebih sesuai
dengan prinsip yang qath‘î (versi Musdah
Mulia) yaitu mu‘âsyarah bi al-ma‘rûf (Q.S.
an-Nisâ’/4: 19) dan prinsip saling melindungi (Q.S. al-Baqarah/2: 187). Dan
dilihat dari asbâb nuzûl, ayat tersebut
bukan berbicara tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai domestic violence, atau kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Dilihat dari sebab turunnya, konteks ayat itu
membincangkan masalah nusyûz atau
konflik atau percekcokan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal melakukan generalisasi terhadap maksud ayat tersebut, yang kemudian dipakai untuk menjustifikasi kapasitas kepemimpinan perempuan.
Laki-laki sebagai qawâm perempuan–
yang dalam ayat diterjemahkan sebagai pemimpin—telah dirasionalisasi sebagai
‘situasi ketergantungan perempuan
dalam bidang ekonomi dan keamanan’. Kalau ketergantungan itu tidak ada lagi,
maka posisi qawâm pun bisa ditawar.
Sekarang ini laki-laki dan prempuan memiliki kebebasan dan tanggung jawab yang sama di depan hukum, yang menjamin kesempatan ekonomi dan
Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 73
keamanan bagi segenap anggota
masyarakat.25
Nash lain yang juga sering disorot
adalah Al-Qur’an surat an-Nisâ’/4: 11-12. Di sana terdapat ungkapan (yang
artinya): “Bagian laki-laki sama dengan
bagian dua orang anak perempuan.” Berkenaan dengan ayat ini, Amina Wadud mengajukan bahwa ini adalah pembagian minimal, bukan maksimal. Yang penting adalah keadilan. Menurutnya, ayat ini sesuai dengan prinsip keadilan, karena sebelum ayat ini turun, perempuan tidak mendapatkan waris. Sesuai dengan kondisi dan struktur ekonomi keluarga saat itu, hak waris dipandang adil dengan rumusan 2:1. Selanjutnya, Amina menggunakan kaidah, ‘Batasan kuantitatif yang diberikan setelah minus, pada dasarnya bukan maksimal, melainkan minimal’. Artinya, dalam kasus-kasus lain, tuntutan keadilan bisa saja menghendaki pembagian laki-laki perempuan sama banyak, atau perempuan bahkan lebih banyak. Ayat tersebut di atas, hanyalah satu kemungkinan yang dapat dipilih dan
bukan keharusan.26
Selain contoh penafsiran ayat di atas, terdapat beberapa ayat Al-Qur’an lainnya yang dianggap sarat dengan diskriminasi gender, seperti larangan perempuan Muslim menikahi laki-laki non Muslim:
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
apabila datang berhijrah kepadamu
25Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis,
(selanjutnya ditulis Muslimah Reformis) (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 1425/2004), cet.ke-1, h.42
26Amina wadud, Quran Menurut Perempuan...,
h.149-151
perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Mumtahanah/60: 10)
74 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 itulah orang-orang yang zalim. (Q.S.
al-Baqarah/2: 229)
Contoh ayat persaksian:
ﻰﻤـَﺴﱡﻣ ٍﻞَﺟَأ َﱃِإ ٍﻦْﻳَﺪِﺑ ﻢُﺘﻨَﻳاَﺪَﺗ اَذِإ ْاﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَﺄَﻳ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi
keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Baqarah/2: 282)
Artinya: Hai orang-orang yang beriman,
apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (Q.S. al-Ahzâb/33: 49)
Ayat yang berhubungan dengan poligami meliputi:
Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 75 takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. an-Nisâ’/4: 3)
ْاﻮـُﻠﻴَِﲤ َﻼـَﻓ ْﻢُﺘـْﺻَﺮَﺣ ْﻮَﻟَو ءﺎَﺴِّﻨﻟا َْﲔَـﺑ ْاﻮُﻟِﺪْﻌَـﺗ نَأ ْاﻮُﻌﻴِﻄَﺘْﺴَﺗ ﻦَﻟَو
isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. an-Nisâ’/4: 129)Tidak sedikit umat Muslim yang menggunakan metode hermeneutika. Menurut Adian Husaini, fenomena tersebut disebabkan problem yang dihadapi umat Islam secara umum. Dilihat dari sekitar tahun 1683, setelah dinasti Usmani mengepung kota Wina untuk kali kedua dan gagal. Para ahli sejarah banyak menulis bahwa bertolak
dari peristiwa itulah mulainya
kecenderungan penurunan Islam dan
awal kebangkitan Barat -walau
kebangkitan Barat sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Renaissance. Tak sedikit kaum muslim yang melihat bahwa kemajuan berbagai bidang di Barat adalah
akibat dari penerapan ideologi
sekularisasi dan umat Islam mulai menerapkannya di sebagian wilayah
Muslim. Demikian pula dengan
hermeunetika. Hermeneutika yang kini dikembangkan sudah dilepaskan dari teks bibel, akan tetapi justru harmeunetika modern menjadi alat liberalisasi Nasrani. Ini juga yang sekarang dipakai untuk meliberalkan Islam.
“Di kalangan Barat muncul pertanyaan, 'Kan sekarang agama kita sudah begini,
mengapa Islam tidak kita beginikan juga? Nah untuk meliberalkan Islam hingga mengikuti jejak Barat, mau tidak mau harus memasukkan hermeneutika yang merupakan alat penting bagi liberalisasi. Hal tersebut jelas akan demikian kompleks selama Al-Qur’an difahami sebagai kalamullah. Orang Islam akan yakin kalau kalamullah yang paling faham adalah Allah. Dan tentu manusia yang faham adalah Rasul-Nya, sahabat dan mereka yang dekat dengan Rasul.”
“Jadi kalau mau menafsirkan Al-Qur’an, maka harus ditafsirkan sebagaimana ditafsirkan Rasulullah, generasi sahabat atau orang-orang terdekat. Itu logikanya, kan? Dan itu tidak terjadi pada Bibel. Pada dasarnya, teks harus bisa dianalisis secara histori dan manusiawi. Makanya nanti, orang-orang Islam yang memakai hermeneutika akan membawa istilah-istilah yang sama dengan bibel. Misalnya, Al-Qur’an jangan ditafsirkan secara literal sesuai otoritas nabi, zamannya sudah
berbeda dan sebagainya.”27
Kalau hermeunetika ini dikaji dengan tidak kritis dan diadopsi begitu saja untuk menggantikan tafsir Al-Qur’an, maka akan terjadi dekonstruksi besar-besaran terhadap kesucian Al-Qur’an dan tafsir-tafsirnya. Orang-orang ini memang belum menghasilkan tafsir baru sebab mereka tidak mengembangkan keilmuan sistematis namun hanya melakukan dekonstruksi. Publik Islam dibuat tidak percaya kepada Al-Qur’an lantaran ada campur tangan manusia. Dari sini selanjutnya juga akan lahir tafsir-tafsir yang 'tak terkendali'. Ketika mulai keluar
dari teks -orang-orang tersebut
sebenarnya tidak lagi percaya pada teks Al-Qur’an- maka yang terjadi siapa pun bisa menafsirkan Al-Qur’an sesuai cara pandangnya. Misalnya saja orang-orang feminis dan pluralis tentu akan mencari ayat-ayat yang dapat mendukung sikap feminisnya atau pluralisnya.
27Adian Husaini, Wawancara Republika Online,
76 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76
D. Kesimpulan
Jadi dapat disimpulkan bahwa
perempuan di dalam al-Quran
mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Al-Quran juga mengangkat derajat perempuan, dulu di zaman jahili seorang
perempuan tidak mendapatkan warisan, bayi perempuan di kubur hidup-hidup, dengan datang Islam maka derajat dan kedudukan mereka telah diangkat.
Bibliography
Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006. Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Karen Armstrong, Islam: Sejarah Singkat, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2005.
Hastanty Widy N, Diskriminasi Gender: Potret Perempuan dalam Hegemoni Laki-laki, (selanjutnya ditulis Diskriminasi Gender) (Yogyakarta: CV. Hanggar Kreator, 2004. Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarkis: Telaah Kritis Penafsiran Riffat
Hassan, Yogyakarta: Sabda Persada, 2003.
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.
Abdul Adhim, “Katakan tidak untuk Hermeneutika.”, al-Bashiroh (Surabaya), 02 Agustus 2004 http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com
Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 1425/2004.
Adian Husaini, Wawancara Republika Online, Jakarta, Jumat, 04 Juni 2004 http://www.republika.co.id