• Tidak ada hasil yang ditemukan

PERANAN PEREMPUAN DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM Eko Andy Saputro Abstract - PERANAN PEREMPUAN DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PERANAN PEREMPUAN DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM Eko Andy Saputro Abstract - PERANAN PEREMPUAN DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM"

Copied!
0
0
0

Teks penuh

(1)

62 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76

PERANAN PEREMPUAN DALAM PERPEKTIF HUKUM ISLAM

Eko Andy Saputro*

Abstract

The Qur'an recognizes the role of men and women as individuals and as members of society. The Emancipation of women is an affair always in the heart of the Prophet. The Qur'an gives the right of inheritance and divorce to women, centuries before Western women are declared eligible for that status. The Qur'an also establishes the social norms of the new community. A very basic revolutionary step. The women of the first people in Medina took full part in their public life, and some, according to Arab custom, fought on the side of men in battle. They do not feel Islam as a pressing religion. This article attempts to examine the role and position of women in Islam, judging by her position as an individual, a partner of her husband, and part of society.

Keywords: women’s role, emancipation, gender, shari’a.

Kedudukan Perempuan Dalam Syari’at Islam

Al-Qur’an mengakui perbedaan anatomis antara laki-laki dan perempuan. Ia juga mengakui bahwa anggota setiap

gender menjalankan fungsi yang

mencerminkan berbagai perbedaan yang telah dirumuskan dengan baik dan dipegangi oleh budaya tempat mereka

berada. Perbedaan-perbedaan ini

merupakan bagian penting dari

bagaimana budaya itu bekerja. Karena itu, tidaklah bijak jika Al-Qur’an tidak mengakui dan, bahkan, tidak bersimpati terhadap perbedaan-perbedan fungsi yang telah ditetapkan secara kultural tersebut.

Al-Qur’an tidak berusaha

menafikan perbedaan antara laki-laki dan

perempuan atau menghapuskan

signifikansi fungsional pembedaan

gender yang membantu masyarakat

berjalan lancar dan memenuhi

kebutuhannya. Bahkan,

hubungan-hubungan fungsional yang harmonis dan saling mendukung antara laki-laki dan perempuan dapat kita fahami sebagai bagian dari tujuan Al-Qur’an berkenaan dengan masyarakat. Namun Al-Qur’an tidak menganjurkan atau mendukung peran tunggal atau definisi tunggal

tentang seperangkat peran, yang

dikhususkan bagi laki-laki dan bagi perempuan di semua budaya.

Al-Qur’an mengakui peran laki-laki dan perempuan sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Namun, lebih lanjut seorang cendekiawan Muslimah bernama Amina Wadud dalam bukunya, “Quran Menurut Perempuan” menyatakan bahwa Al-Qur’an tidak memberikan petunjuk rinci tentang bagaimana peran-peran itu harus dimainkan. Spesifikasi semacam itu justru akan mereduksi Al-Qur’an dari sebuah teks universal menjadi sekadar ‘teks yang spesifik secara kultural’ –sebuah klaim yang secara salah telah dilontarkan oleh banyak orang. Apa yang ditawarkan

Al-Qur’an merupakan sesuatu yang

melampui ruang dan waktu.1

Pembedaan gender dan peran gender menunjukkan persepsi tentang perilaku yang secara moral dianggap tepat dalam suatu masyarakat. Karena Al-Qur’an adalah pedoman moral, maka ia harus berhubungan dengan berbagai persepsi tentang moralitas –terlepas dari

* Dosen Fakultas Syariah STAI-Badrus Sholeh

1Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan,

(2)

Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 63 seberapa kuat spesifikasi gendernya-

yang dipegangi oleh para individu dari beragam masyarakat. Tetapi kenyataan bahwa Al-Qur’an diturunkan di Jazirah Arab pada abad ke-7 adalah ketika bangsa Arab memiliki persepsi tertentu dan konsepsi yang salah tentang perempuan dan melakukan pelecehan seksual terhadap mereka, lalu kemudian

Al-Qur’an menghasilkan beberapa

keputusan yang spesifik bagi budaya bangsa Arab.

Dewasa ini, sejumlah aktivis perempuan secara terbuka menggugat kenetralan sikap Al-Qur’an yang tidak melarang praktik-praktik patriarki sosial, patriarki perkawinan, hierarki ekonomi dan pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan dalam keluarga? Jawabannya menurut beliau (baca: Amina wadud) adalah jika evolusi teks Al-Qur’an dan tujuan Al-Qur’an yang menyeluruh diarahkan pada satu -meskipun penting- aspek interaksi sosial saja, katakanlah pada penguatan kesadaran mengenai kaum perempuan, maka Al-Qur’an hanya akan terpaku pada aspek itu saja, tanpa

meperhatikan aspek-aspek lainnya.

Memang, dalam Al-Qur’an, terdapat pengakuan esensial mengenai hubungan antara laki-laki dan perempuan berkaitan dengan peran mereka dalam masyarakat. Namun, hubungan itu bukanlah sasaran satu-satunya dan paling utama dari

Al-Qur’an.2

Syeikh Abdul Halim Abu Syuqqah menulis dalam bukunya, “Kebebasan Wanita. (judul asli: Tahrir al-Mar’ah fi

‘Ashri ar-Risalah)” bahwasannya

kezhaliman-kezhaliman yang menimpa perempuan kerap terjadi pada masa jahiliah, diantaranya adalah orang tua merasa susah dan murung jika yang dilahirkan adalah bayi perempuan, pemeliharaan perempuan sebagai mahluk yang hina, atau penguburan hidup-hidup bayi perempuan karena merasa malu dan

2Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan..., h.29

takut miskin,3 dalam hal ini, Allah swt

mereka diberi kabar dengan kelahiran anak perempuan, hitamlah mukanya, dan menjadi sangat marah. (Q.S. an-Nahl/16: 58)

Ia menyembunyikan dirinya dari orang banyak disebabkan buruknya berita yang disampaikan kepadanya. Apakah dia akan memeliharanya dengan menanggung kehinaan ataukah akan menguburkannya ke dalam tanah? Ketahuilah, alangkah buruknya apa yang mereka tetapkan itu

Artinya: “Dan janganlah kamu membunuh

anak-anakmu karena takut kemiskinan. Kamilah yang akan memberi rezeki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.” (Q.S. al-Isrâ’/17:

Artinya: “Apabila bayi-bayi perempuan

yang dikubur hidup-hidup ditanya (8) karena dosa apakah mereka dibunuh?” (Q.S. at-Takwîr/81: 8-9).

Beberapa ayat di atas adalah pembelaan Allah terhadap suatu kaum yang memperlakukan kaum perempuan di antara mereka dengan kemungkaran dan kekejian. Di hampir setiap pojok dunia yang berpenghuni, masyarakat masa lampau menganggap status

3Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita,

(3)

64 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 perempuan lebih rendah daripada status

laki-laki. Di Athena, menurut

Encyclopaedia Britannica, status perempuan disamakan dengan status budak. Istri-istri dipingit di rumah mereka, tidak memiliki pendidikan dan tidak memiliki hak apa pun, dan oleh suami mereka dianggap tidak lebih baik dari harta kekayaan. Di Roma kuno, posisi hukum perempuan betul-betul rendah, pertama menjadi bawahan ayahnya atau saudara laki-lakinya, untuk kemudian menjadi bawahan suami yang memegang kendali atas istrinya. Di mata hukum, perempuan dianggap sebagai

orang-orang yang pandai.4

Alasan perlakuan buruk terhadap perempuan di masa lalu adalah karena

begitu menjamurnya takhayul.

Sebenarnya, hanya sedikit persoalan yang tidak dipandang dengan keyakinan irasional. Pemikiran sesat seperti itu dibesar-besarkan sampai pada status agama, dan pemikiran yang demikian

berpengaruh buruk pada semua

hubungan antar manusia.

Spekulasi adalah pola berfikir lain yang menciptakan hasil aneh dan sering kali merusak. Bertrand Russel, dengan mencemooh proses berfikir Yunani kuno,

mengatakan, “Aristoteles tetap

berpendapat bahwa perempuan

mempunyai gigi yang lebih sedikit daripada laki-laki; meskipun dia menikah dua kali, tidak pernah terfikir olehnya untuk membuktikan pernyataannya

dengan cara memeriksa mulut istrinya.”5

Agama Kristen hanya sedikit memperbaiki situasi ini karena ia terlanjur memberi nilai sangat agung kepada keyakinan keliru yang dinyatakan di dalam kitab Injil awal, yaitu bahwa karena pelanggaran Hawa-lah, Adam diusir dari taman Surga. Berbicara tentang perempuan pada umumnya

dalam konteks ini, Encyclopaedia

Britannica menyatakan, “Menurut Agama Kristen mereka dianggap sebagai

4Wahiduddin Khan, Antara Islam dan Barat..., h.51 5Wahiduddin Khan, Antara Islam dan Barat..., h.51

penggoda, bertanggung jawab atas kejatuhan Adam, dan sebagai manusia kelas dua.” Dengan munculnya mitos abadi semacam itu dalam kesadaran kolektif masyarakat, tidak terlalu

mengherankan jika perempuan

ditempatkan secara inferior, baik dalam masalah agama maupun duniawi. Barulah ketika Islam datang, untuk pertama kalinya di dalam sejarah umat manusia,

perempuan diberikan hak legal

semestinya. J.M. Roberts, sejarawan terkenal menulis:

Kedatangannya dalam banyak hal

revolusioner. Islam

memertahankan perempuan,

misalnya, pada posisi yang inferior, tetapi memberi mereka hak-hak legal atas harta benda yang tidak diberikan kepada perempuan di banyak negara Eropa sampai abad kesembilan

belas. Bahkan budak pun

mempunyai hak, dan di dalam jamaah kaum mukmin tidak terdapat kasta maupun status warisan. Revolusi ini berakar di dalam suatu agama yang— sebagaimana agama Yahudi—

tidak memisahkan sisi-sisi

kehidupan, melainkan mencakup

semuanya.6

Pendapat yang sama berkenaan dengan India kuno dikemukakan oleh

pensiunan Hakim Kepala Kantor

Pengadilan Delhi, Rajindar Sachar:

...Dari sudut sejarah, Islam sangat liberal dan progresif di dalam memberikan hak kepemilikan harta kepada perempuan. Adalah fakta bahwa tidak ada hak kepemilikan harta yang diberikan kepada perempuan Hindu sampai

tahun 1956, yaitu ketika

Rancangan Undang-Undang Hindu disahkan, padahal Islam telah menganugerahkan hak ini kepada

(4)

Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 65 perempuan muslim lebih dari

1400 tahun yang lalu.7

Namun demikian, hal ini bukanlah semata mana yang lebih dahulu. Yang

signifikan adalah bahwa dalam

memberikan status yang sama dan hak-hak selayaknya kepada perempuan. Islam telah menegakkan satu teladan penting yang berdampak luas pada peradaban masa itu, sama luasnya dengan dampak peradaban Barat terhadap dunia dewasa ini. Jika Islam berhasil mencapai revolusi

yang demikian dalam persoalan

kemanusiaan, itu lebih karena Islam tidak begitu saja berhenti sebagai kepercayaan filosofis, melainkan berlanjut dengan menaklukan mayoritas bagian dunia yang berpenduduk saat itu.

Ketika Nabi hijrah ke Yatsrib– kemudian dikenal sebagai Madinah, salah satu langkah yang diambil Muhammad saw setelah tiba di Madinah adalah membangun sebuah masjid sederhana.

Masjid tersebut mengungkapkan

keteguhan cita-cita Islam awal. Tiga tiang menyokong atap, sebuah batu menandai qiblah (arah shalat), dan Nabi berdiri pada batang pohon untuk berkhatbah. Semua masjid di masa depan, sejauh mungkin, dibangun menurut model ini. Terdapat juga halaman, tempat kaum Muslim bertemu untuk membahas segala hal mengenai umat-sosial, politik dan militer di samping juga keagamaan. Tidak seperti gereja Kristen, yang terpisah dari kegiatan orang awam dan hanya dipersembahkan untuk pemujaan, tidak ada aktivitas yang tidak tercakup dalam masjid tersebut. Dalam pandangan Al-Qur’an, tidak ada dikotomi antara yang sakral dan yang profan, keagamaan dan politik, seksualitas dan peribadatan. Seluruh kehidupan secara potensial bersifat suci dan harus dibawa ke dalam kehendak Allah. Maksudnya adalah tauhid, integrasi seluruh kehidupan dalam satu kesatuan yang akan

7Wahiduddin Khan, Antara Islam dan Barat..., h.52

memberikan keintiman bagi kaum

Muslim akan Kesatuan, yaitu Allah swt. 8

Emansipasi perempuan adalah suatu urusan yang selalu ada di hati Nabi. Al-Qur’an memberikan hak waris dan perceraian kepada perempuan, jauh berabad-abad sebelum perempuan Barat dinyatakan berhak atas status itu. Al-Qur’an juga menetapkan norma-norma sosial dari komunitas baru. Sebuah langkah revolusioner yang sangat mendasar. Perempuan dari umat pertama di Madinah mengambil bagian penuh

dalam kehidupan publiknya, dan

beberapa di antaranya, menurut adat Arab, berjuang di sisi laki-laki di dalam pertempuran. Mereka tidak merasakan Islam sebagai suatu agama yang

menekan. 9

Emansipasi Perempuan Dalam

Perspektif Islam

1. Al-Qur’an dan Kesetaraan Gender

Ciri khas kaum muslim yang sebenarnya, baik laki-laki maupun perempuan, digambarkan dalam Al-Qur’an surat al-Ahzab ayat 35 dengan kata-kata sebagai berikut:

- Laki-laki dan perempuan yang telah

berserah diri,

- Laki-laki dan perempuan yang

beriman,

- Laki-laki dan perempuan yang taat,

- Laki-laki dan perempuan yang benar,

- Laki-laki dan perempuan yang sabar,

- Laki-laki dan perempuan yang

khusyuk,

- Laki-laki dan perempuan yang

bersedekah,

- Laki-laki dan perempuan yang

berpuasa,

- Laki-laki dan perempuan yang

memelihara kehormatannya,

- Laki-laki dan perempuan yang

banyak menyebut (asma) Allah, dan bagi mereka Allah telah menyediakan

8Karen Armstrong, Islam: Sejarah Singkat,

(selanjutnya ditulis Islam: Sejarah Singkat) (Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2005), cet.ke-5, h.17

(5)

66 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 ampunan serta pahala yang sangat

besar.

Sifat-sifat ini kemudian menjadi sifat dasar yang harus digali, baik oleh laki-laki dan perempuan, jika mereka ingin disayang oleh Allah swt dan hamba pilihan-Nya.

Islam, Iman, Ketaatan, Kebenaran, Sabar, Khusyuk, Sedekah, Puasa, Ihsan, Dzikir, dan bertaubat. Sifat-sifat tersebut ketika disatukan akan membentuk satu keadaan yang ideal bagi kedua jenis kelamin. Lebih lanjut, Ali Hosein Hakeem merumuskan prinsip Qurani mengenai kesetaraan gender.

1. Kesetaraan Umum: Konsep

kesetaraan gender ini merupakan contoh terbaik dari interpretasi Al-Qur’an mengenai Adam dan Hawa. Telah dijelaskan pada pembahasan sebelumnya bahwa konsep Islam tentang perempuan secara radikal berbeda dengan konsep Kristen. Al-Qur’an juga menjelaskan kesetaraan gender ini juga berlaku pada tujuan

diciptakannya laki-laki dan

perempuan di dunia, keduanya adalah makhluk Allah swt yang tujuan utamanya eksis di muka bumi

adalah menyembah Tuhannya,

melakukan amal shaleh, dan

menghindari perilaku jahat dan keji (Q.S. Alu ‘Imrân/3: 195, Q.S. al-Mu’min: 40, Q.S. an-Nahl/16: 97).

2. Eksplisitasi Kesetaraan: Apa yang

secara jelas ditegaskan dalam Al-Qur’an adalah bahwa perempuan setara dengan laki-laki dalam

kewajiban-kewajiban agama.

Perempuan menanggung kewajiban yang sama dan akan memperoleh balasan atau hukuman yang sama

pula.10

Dengan memerhatikan analisis yang telah dilakukan, seseorang dapat menarik kesimpulan bahwa kedua gender

diserahi tanggung jawab untuk

berintegrasi dan membantu gender lain

10Ali Hosein Hakeem, et. al., Membela Perempuan...,

h.63-65

dalam meraih tingkat kesempurnaan tertinggi.

Perbedaan Konsep Islam dengan Teologi Feminisme

Teologi Feminisme bersumber

dari aliran pembebasan yang

dikembangkan oleh James Cone sekitar tahun 1960. Dalam konsep teologi

pembebasan, keberadaan agama

merupakan alat untuk membebaskan golongan yang tertindas. Konsep tersebut diadopsi oleh kaum teolog feminis, dengan mengasumsikan bahwa kelas tertindas yang harus diperjuangkan adalah perempuan. Perjuangan yang dilakukan oleh teologi feminisme adalah

dengan melakukan dekonstruksi

terhadap pemahaman keagamaan yang bias laki-laki. Pada budaya patriarki anggapan bahwa perempuan adalah warga dunia nomor dua, telah mendarah daging lebih lama sebelum agama-agama lahir, oleh karena itu tidak satupun agama

yang tidak bersifat patriarki.11

Menurut kaum teolog feminis dalam agama-agama (terutama dalam rumpun Semit, seperti Kristen, dan Yahudi) terdapat banyak sekali bias gender, baik kitab suci maupun penafsiran kitab suci itu sendiri. Bias

penafsiran tersebut tentu sangat

dimungkinkan karena diasumsikan

bahwa para Nabi adalah laki-laki, tokoh-tokoh teolog kebanyakan laki-laki, demikian juga dengan kecenderungan manusia yang terlalu condong pada pemujaan tuhan yang di-maskulinkan, terbukti pada penyebutan dalam kitab

suci dengan istilah The Father God, He,

Him. Sebagai akibat imajinasi bahwa

Tuhan maskulin membuat manusia menginternalisasikan sifat-sifat maskulin untuk laki-laki yaitu berkuasa, aktif, independen, dan dominan. Dari sinilah pandangan agama tentang relasi antar

laki-laki dan perempuan mulai

11Hastanty Widy N, Diskriminasi Gender: Potret

(6)

Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 67 mengalami bias, hingga menyudutkan dan

merugikan perempuan.

Kitab suci merupakan salah satu sasaran tembak kaum teolog feminis, karena dianggap paling banyak memuat pandangan bias gender. Kesalahan penafsiran tersebut menjadi semakin fatal, ketika umat suatu agama menganggap bahwa tradisi teologi merupakan legitimasi dari Tuhan, ‘inilah yang dikehendaki Tuhan padahal yang menghendaki sesungguhnya adalah laki-laki,’ demikian diungkap J.B.Banawratma, S.J. dalam makalah “Teologi Feminisme: Membuka Keterbatasan Simbol” Lebih lanjut ditegaskan bahwa para penulis kitab suci yang menuliskan kembali firman Tuhan seringkali terkungkung dalam pemikiran dan budaya masyarakat yaitu patriarki. Ayat-ayat tersebut seharusnya dapat disalahkan dengan

segala interpretasi yang tidak

membebaskan.12

Konsep para teolog feminis di atas jelas berbeda dengan apa yang

dicanangkan Al-Qur’an dalam

menetapkan kesetaraan laki-laki dan perempuan. Prinsip dasar teolog feminis bahwasanya individu-individu yang sama haruslah diperlakukan sama menurut karakteristik-karakteristik aktual mereka, bukan asumsi-asumsi stereotipe apapun yang dibuat mengenai mereka –termasuk yang berasal dari kitab suci dan penafsirannya. Mereka mengritik bentuk suatu aturan (syariat agama atau hukum negara), seraya menuntutnya agar memerlakukan perempuan dan laki-laki pada terminologi yang sama tanpa penghalang-penghalang atau simpati yang berkaitan dengan seks masing-masing (kesetaraan formal). Oleh karena itu, tidak jarang dari apa yang dilakukan teolog feminis di kalangan umat Islam mengundang sesuatu yang kontroversial, dan memupus segala yang tabu dalam memandang hubungan Islam dan perempuan, seperti gagasan mengenai tafsir feminis tentang ajaran-ajaran Islam,

12Hastanty Widy N, Diskriminasi Gender..., h.90-91

perempuan sebagai ulama, membaca Quran dalam sudut pandang perempuan

dan perempuan sebagai corrector misi

agamawan.

Namun demikian, jika teologi

feminis mengarah para truth claim, klaim

kebenaran secara emosional, maka justru akan menimbulkan banyak masalah. Artinya jika hasil interpretasi kaum feminis, kemudian dipahami secara idiologis, kaku dan tidak terbuka, maka akan mudah mengarah pada dogmatisme dan fanatisme sempit. Sebab, boleh jadi seorang teolog feminis yang tadinya mengkritik bahwa hasil penafsiran kitab suci selama ini mengandung bias laki-laki, pada akhirnya justru ia sendiri terjebak dan terjerat dalam bias-bias perempuan

yang cenderung bersifat chauvinistik.13

Memang jika truth claim itu hanya

terbatas pada aspek ontologis-metafisis, barang kali tidak perlu dirisaukan. Yang

menjadi masalah adalah jika truth claim

dan sikap chauvinistik yang berlebihan tersebut masuk ke dalam wilayah sosial politik yang praktis empiris. Sebab hal itu biasanya akan memicu kerawanan sosial,

bahkan menyebabkan chaos di

masyarakat sedemikian rupa, sehingga barangkali tidak selamanya keliru jika kadang ada kesan oleh sebagian orang bahwa feminisme adalah gerakan pemberontakan perempuan atas laki-laki,

menganggap laki-laki sebagai rival, dan

bukan sebagai mitra dalam merajut suatu sistem relasi yang lebih adil dan harmonis. Untuk itu sebaiknya ideologi feminisme juga harus bersifat inklusif, terbuka dan jangan dianggap sebagai

sesuatu yang final.14

Sementara Islam dengan sistem kesetaraan dominasi yang seimbang

mengubah fokus perhatian dari

perbedaan-perbedaan berdasarkan atas

13Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir

Patriarkis: Telaah Kritis Penafsiran Riffat Hassan, (selanjutnya ditulis Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarkis) (Yogyakarta: Sabda Persada, 2003), cet.ke-1, h.104

14Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir

(7)

68 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 gender pada pembagian kekuatan

dominasi yang seimbang antara laki-laki dan perempuan melalui beberapa cara yang bergantung pada hak-hak khusus berdasarkan gender atau bonus ekstra. Hal ini dilakukan agar dapat tercipta pembagian kekuasaan yang objektif, meskipun pada saat yang sama

menampilkan beberapa ukuran

stereotipe klasik bagi kekuasaan. Teori

dalam kerangka kerja ini

mempertimbangkan

keuntungan-keuntungan kesetaraan yang bersifat substansial dan menghindari kritik kesetaraan formal yang diusung teolog feminis; sementara pada saat yang sama menggabungkan standar hidup praktis dan kebutuhan-kebutuhan manusia.

Makna kesetaraan ini adalah bahwa setiap orang harus diberikan hak-haknya dan ditempatkan pada tempat yang semestinya. Sebagai contoh, kesetaraan di antara individu-individu dan kelompok-kelompok dalam sebuah keluarga ini berimplikasi bahwa setiap orang mesti mendapatkan hak-haknya secara pantas tanpa penangguhan atau pembatasan; tak ada hak yang akan diambil alih atau diingkari secara tidak adil. Firman Allah swt berikut ini menyatakan hal tersebut:

...

mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang makruf. Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana.”(Q.S. al-Baqarah/2: 228).

Ayat di atas menetapkan

kesetaraan antara hak-hak kedua jenis kelamin, dan pada saat yang sama menunjukkan perbedaan-perbedaan di

antara keduanya.15

15Ali Hosein Hakeem, et. al., Membela Perempuan...,

h.67

Alokasi Hak dan Kewajiban Bukan Diskriminasi

Konsep persamaan mutlak yang diusung oleh negara-negara Barat dianggap sebagai satu fakta yang tidak dapat disangkal lagi. Namun jika diambil sebuah perumpamaan yang mengacu pada konsep kesetaraan yang tidak alami ini, maka seharusnya mereka bisa menempatkan seorang ilmuan dalam posisi seorang atlet yang mampu melakukan tugasnya dengan baik dan meraih gelar juara. Demikian sebaliknya atlet tersebut mampu melakoni tugasnya sebagai ilmuan yang berjasa pada dunia sains. Hal ini dikarenakan konsep mereka mengenai persamaan mutlak antara laki-laki dan perempuan seharusnya juga berlaku pada persamaan antara sesama jenis laki-laki atau jenis perempuan saja.

Ilustrasi ini mungkin tampak

menggelikan, tetapi itulah yang diartikan dengan persamaan mutlak. Seorang ilmuan yang berada di puncak daftar universitas atau konferensi sains akan terlihat sangat bermutu rendah dalam suatu pertandingan olahraga. Sedangkan atlet tersebut betul-betul menjadi orang pandir di meja presentasi seminar sains. Jelas bahwa penerapan aturan persamaan

ini menimbulkan bencana. 16

Persamaan yang sebenarnya

berarti persamaan bukan di tempat kerja, melainkan di dalam status. Persamaan manusia tidak berarti bahwa setiap manusia musti terlibat dalam pekerjaan yang sama sebagaimana orang lain. Maksudnya kurang lebih bahwa setiap

orang harus dipandang dengan

kehormatan yang sama, dan harus menerima perlakuan yang sama secara

legal dan moral. Upaya untuk

menegakkan persamaan yang tidak alamiah antara laki-laki dan perempuan di tempat kerja, hasilnya mungkin seperti yang sudah diduga: ketidaksamaan terbesar dalam sejarah umat manusia telah terjadi di antara laki-laki dan perempuan.

(8)

Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 69 Perbedaan antara keduanya ada

karena diciptakan untuk mengabdi pada tujuan yang berbeda. Jika keduanya ditempatkan dalam bidangnya masing-masing, mereka akan sama-sama sukses, meskipun dalam hal yang berbeda. Sebaliknya jika laki-laki dan perempuan ditempatkan pada wilayah kerja yang sama, kemudian dimana salah satunya tidak lagi mampu bersaing dan mengungguli yang lainnya maka yang

terjadi adalah runtuhnya konsep

kesetaraan mutlak ini dan melahirkan paradigma golongan marjinal, kaum

subordinat, dan lain sebagainya.17

Diskriminasi Arus Feminisme Global Terhadap Islam

1. Salah Faham Terhadap Islam

Islam sebagai agama dan sebagai hukum, sering disalahfahami bukan hanya oleh orang-orang non-Muslim, tetapi juga oleh orang-orang Islam sendiri. Kesalahfahaman terhadap Islam disebabkan karena banyak hal, namun secara umum dibagi menjadi 3 pokok dasar. (a) Salah memahami ruang-lingkup ajaran Islam, (b) salah menggambarkan kerangka dasar ajaran Islam, dan (c) salah menggunakan metode dalam

memelajari Islam.18

a. Kesalahfahaman mengenai

ruang-lingkup ajaran Islam terjadi, misalnya, karena orang menganggap semua agama itu sama dan ruang lingkupnya sama juga. Dipengaruhi ajaran agama Nasrani yang ruang-lingkupnya hanya mengatur hubungan manusia dengan Tuhan saja, orang menganggap agama Islam pun demikian juga halnya. Tetapi agama Islam itu tidaklah hanya mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan belaka, seperti yang

dikandung oleh istilah religion, tetapi

juga mengatur hubungan manusia

17Wahiduddin Khan, Antara Islam dan Barat..., h.59 18Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar

Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, (selanjutnya ditulis Hukum Islam) (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005), cet.ke-1, h.65

dengan dirinya sendiri, dengan masyarakat dan dengan benda dan alam sekitarnya. Sebagai satu sistem, Islam mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai dimensi dan karena itu ruang lingkup ajarannya pun mencakup berbagai tata hubungan itu. Untuk menghindari salah faham, seharusnya dalam memelajari Islam dimulai dari dua sumber utamanya, yaitu Al-Qur’an dan Hadis. Jika kita pelajari agama Islam itu dari sumbernya yang asli, kita akan memeroleh gambaran yang jelas mengenai tata hubungan itu, sebab Al-Qur’an sebagai sumber pertama dan utama agama Islam tidak hanya memuat ajaran tentang iman dan ibadah atau akidah dan syariah saja, tetapi memuat juga akhlak tentang bagaimana manusia harus bersikap dan berbuat dalam hidup dan kehidupannya di dunia ini terhadap dirinya sendiri, manusia lain dan lingkungan hidupnya.

b. Kesalahfahaman terjadi karena orang

(9)

70 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 pemikiran para orientalis. Untuk

menghindari kesalahfahaman ini

hendaklah komponen-komponen

ajaran Islam yang menjadi kerangka dasar agama Islam itu digambarkan seluruhnya dalam satu kesatuan yang padu, dan pelajarilah Islam secara menyeluruh dalam satu kesatuan yang bulat.

c. Kesalahfahaman terjadi karena karena

salah memergunakan metode

mempelajari Islam. Metode yang digunakan oleh orientalis, adalah pendekatan yang tidak benar, karena mereka, pada umumnya menjadikan bagian-bagian bahkan seluruh ajaran (agama) Islam semata-mata sebagai objek studi dan analisis. Laksana seorang dokter bedah mayat, para orientalis itu meletakkan Islam di atas meja operasinya, memotongnya bagian demi bagian dan menganalisis bagian-bagian itu dengan menggunakan norma-norma atau ukuran-ukuran

mereka sendiri yang unIslamic.

Artinya, mereka menggunakan metode memelajari dan menganalisis ajaran (agama) Islam dengan metode dan analisis serta ukuran-ukuran yang bukan berasal dari studi keilmuan Islam, tidak sesuai dengan ajaran

agama Islam. Hasilnya tentu

menimbulkan salah faham terhadap

Islam.19

Dewasa ini banyak sekali metode

non-Muslin yang diadopsi oleh

sekelompok cendekiawan dan pemikir Muslim. Tujuannya adalah untuk merekonstruksi hukum Islam dan penafsiran dari ayat-ayat Al-Qur’an. Salah satunya dengan menggunakan metode Hermeneutika. Sebagian besar para feminis muslim menggunakan metode ini untuk dapat ‘membaca’ kembali Al-Qur’an, di mana menurut mereka, ilmu tafsir Al-Qur’an yang telah ada dan

terkodifikasi oleh mufassir-mufassir

terdahulu seringkali menimbulkan

penafsiran bias gender, itulah sebabnya

19Mohammad Daud Ali, Hukum Islam..., h.65-69

diperlukan metode penafsiran baru agar dapat dijadikan rujukan di antara korpus tafsir Al-Qur’an yang telah ada.

Problem Hermeneutika dan Ayat Al-Qur’an

Hermeneutika adalah metode penafsiran yang menitikberatkan pada rasio yang diadopsi dari tradisi Yahudi. Hermeneutika adalah hasil derivasi

(berasal) Yunani, yang berarti

menafsirkan. Kata ini pertama kalinya digunakan oleh seorang dewa bernama Hermer anak dari Zeus dan Maia, dia bertugas sebagai penafsir teks-teks dari langit (yang masih menggunakan bahasa langit), kemudian dia terjemahkan ke

bahasa makhluk.20

Dari makna bahasa, hermeneutika mengalami perubahan cepat ke makna bahasa dan filsafat. Sehingga diadopsi oleh Yahudi-Nasrani dalam menafsirkan teks-teks Bible. Akan tetapi kenyataan yang terjadi adalah timbulnya kerancuan di dalamnya. Sehingga klimaksnya adalah pecahnya Nasrani menjadi dua golongan, yaitu Protestan dan Katolik. Pihak Protestan memakai hermeneutikal literal (hakiki-secara harfiah) dan pihak Katolik yang cenderung memakai hermeneutika algoris (majazi/kiasan). Kemudian di tengah-tengah perseteruan dua kubu kristen tersebut datanglah pihak sekuler yang mentransformasikan (memasukkan) metode itu dalam kedua ajaran tersebut. Hingga akhirnya keduanya tunduk pada falsafah Kapitalis Barat yang sebenarnya anti agama alias sekuler.

Hermeneutika yang semula lahir akibat polemik teks Bible yang dianggap banyak masalah, kini, secara latah dicoba

untuk mengkritik Al-Qur’an dan

meragukan Mushaf Usmani. Pada dasarnya, hermeneutika adalah metode

tafsir Bible, yang kemudian

dikembangkan oleh para filosof dan pemikir Kristen di Barat menjadi metode interpretasi teks secara umum. Oleh

20Abdul Adhim, “Katakan tidak untuk

(10)

Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 71 sebagian cendekiawan Muslim, kemudian

metode ini diadopsi dan dikembangkan, untuk dijadikan sebagai alternatif dari metode pemahaman Al-Qur’an yang dikenal sebagai ilmu tafsir.

Adalah Schleiermacher, seorang teolog asal Jerman, yang konon pertama kali memperluas wilayah hermeneutika dari sebatas teknik penafsiran kitab suci (Biblical Hermeneutics) menjadi

‘hermeneutika umum’ (General

Hermeneutics) yang mengkaji kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan terwujudnya pemahaman atau penafsiran yang betul terhadap suatu teks. Schleiermacher bukan hanya meneruskan usaha Semler dan Ernesti untuk ‘membebaskan tafsir dari dogma’, ia bahkan melakukan desakralisasi teks. Dalam perspektif hermeneutika umum, ‘semua teks diperlakukan sama’, tidak ada yang perlu di-istimewakan, apakah itu kitab suci (Bible) ataupun teks karya manusia biasa. Kemudian datang Dilthey yang menekankan ‘historisitas teks’ dan

pentingnya ‘kesadaran sejarah’

(Geschichtliches Bewusstsein). Seorang pembaca teks, menurut Dilthey, harus bersikap kritis terhadap teks dan konteks sejarahnya, meskipun pada saat yang sama dituntut untuk berusaha melompati jarak sejarah antara masa-lalu teks dan dirinya. Pemahaman kita akan suatu teks ditentukan oleh kemampuan kita

mengalami kembali (Nacherleben) dan

menghayati isi teks tersebut.21

Di awal abad ke-20, hermeneutika menjadi sangat filosofis. Interpretasi merupakan interaksi keberadaan kita dengan wahana sang Wujud (Sein) yang memanifestasikan dirinya melalui bahasa, ungkap Heidegger. Yang tak terelakkan

dalam interaksi tersebut adalah

terjadinya hermeneutic circle, semacam

proses tak berujung-pangkal antara teks,

praduga-praduga, interpretasi, dan

peninjauan kembali (revisi). Demikian

21 Redaksi, “Hermeneutika dan Infiltrasi Kristen.”,

Hidayatullah (Jakarta), 03 April 2004 http://hidayatullah.com

pula rumusan Gadamer, yang

membayangkan interaksi pembaca

dengan teks sebagai sebuah dialog atau dialektika soal-jawab, dimana cakrawala kedua-belah pihak melebur jadi satu (Horizontverschmelzung), hingga terjadi kesepakatan dan kesefahaman. “Interaksi tersebut tidak boleh berhenti”, tegas Gadamer. Setiap jawaban adalah relatif dan tentatif kebenarannya, senantiasa boleh dikritik dan ditolak. Habermas pergi lebih jauh. Baginya, hermeneutika bertujuan membongkar motif-motif

tersembunyi (hidden interests) yang

melatarbelakangi lahirnya sebuah teks. Sebagai kritik ideologi, hermeneutika harus bisa mengungkapkan pelbagai manipulasi, dominasi, dan propaganda dibalik bahasa sebuah teks, segala yang mungkin telah mendistorsi pesan atau

makna secara sistematis.22

Dengan latar belakang seperti itu, hermeneutika jelas tidak bebas-nilai. Ia mengandung sejumlah asumsi dan

konsekuensi. Pertama, hermeneutika

menganggap semua teks adalah sama, semuanya merupakan karya manusia. Asumsi ini lahir dari kekecewaan mereka terhadap Bible. Teks yang semula dianggap suci itu belakangan diragukan keasliannya. Campur-tangan manusia dalam Perjanjian Lama (Torah) dan Perjanjian Baru (Gospels) ternyata didapati jauh lebih banyak ketimbang apa yang sebenarnya diwahyukan Allah kepada Nabi Musa dan Nabi Isa as. Bila diterapkan pada Al-Qur’an, hermeneutika otomatis akan menolak status Al-Qur’an

sebagai Kalamullah, memertanyakan

otentisitasnya, dan menggugat ke-mutawatir-an mushaf Usmani.

Kedua, hermeneutika menganggap setiap teks sebagai ‘produk sejarah’ sebuah asumsi yang sangat tepat dalam kasus Bible, mengingat sejarahnya yang amat problematik. Hal ini tidak berlaku untuk Al-Qur’an, yang kebenarannya

22Redaksi, “Hermeneutika dan Infiltrasi Kristen.”,

(11)

72 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 melintasi batas-batas ruang dan waktu

(trans-historical) dan pesan-pesannya ditujukan kepada seluruh umat manusia (hudâ li an-nâs).

Ketiga, praktisi hermeneutika dituntut untuk bersikap skeptis, selalu meragukan kebenaran dari manapun datangnya, dan terus terperangkap dalam apa yang disebut sebagai ‘lingkaran hermeneutis’, dimana makna senantiasa berubah. Sikap semacam ini hanya sesuai untuk Bibel, yang telah mengalami gonta-ganti bahasa (dari Hebrew dan Syriac ke Greek, lalu Latin) dan memuat banyak perubahan serta kesalahan redaksi (textual corruption and scribal errors). Tetapi tidak untuk Al-Qur’an yang jelas kesahihan proses transmisinya dari zaman ke zaman.

Keempat, hermeneutika menghendaki pelakunya untuk menganut relativisme epistemologis. Tidak ada tafsir yang mutlak benar, semuanya relatif. Yang benar menurut seseorang, boleh jadi salah menurut orang lain. Kebenaran terikat dan bergantung pada konteks (zaman dan tempat) tertentu. Selain mengaburkan dan menolak kebenaran, faham ini juga akan

melahirkan mufassir-mufassir palsu dan

pemikir-pemikir yang tidak terkendali.23

Dampak penggunaan metode hermeneutika terhadap pemikiran Islam sudah sangat mencolok di kalangan cendekiawan dan pemikir Islam itu sendiri. Dalam ungkapan lain, telah terjadi pemutlakan atas nama filsafat hermeneutika. Penguat

kesimpulan-kesimpulan dari sebuah model

hermeneutik terkait dengan tiga aspek teks: (1) konteks saat teks ditulis (dalam kasus Al-Qur’an, konteks saat Al-Qur’an diwahyukan); (2) komposisi gramatikal

teks (bagaimana teks Al-Qur’an

menuturkan pesan yang dinyatakannya); (3) setiap ayat dianalisis dari sudut prinsip Al-Qur’an yang menolaknya dan

23Redaksi, “Hermeneutika dan Infiltrasi Kristen.”,

Hidayatullah (Jakarta), 03 April 2004 http://hidayatullah.com

(4) teks secara keseluruhan, yakni Weltanschauung atau pandangan

dunianya.24

Nash yang sering diangkat oleh

para feminis Muslim ketika menerapkan metode hermeneutika, antara lain adalah Al-Qur’an surat an-Nisâ’ ayat 34. Siti

Musdah Mulia, dalam bukunya,

“Muslimah Reformis”, mengajukan usul untuk mengganti makna pemimpin dari

kata qawwâm menjadi penopang atau

penguat (qâ’im). Ia mengatakan bahwa

kata qawâm ada yang bermakna

penopang atau penguat, seperti yang dipakai dalam Al-Qur’an surat al-Maidah ayat 8 dan surat an-Nisâ’ ayat 153. Menurutnya, makna ini lebih sesuai

dengan prinsip yang qath‘î (versi Musdah

Mulia) yaitu mu‘âsyarah bi al-ma‘rûf (Q.S.

an-Nisâ’/4: 19) dan prinsip saling melindungi (Q.S. al-Baqarah/2: 187). Dan

dilihat dari asbâb nuzûl, ayat tersebut

bukan berbicara tentang masalah kepemimpinan, melainkan mengenai domestic violence, atau kekerasan dalam rumah tangga yang sering terjadi dalam masyarakat Arab sebelum Islam. Dilihat dari sebab turunnya, konteks ayat itu

membincangkan masalah nusyûz atau

konflik atau percekcokan dalam rumah tangga. Oleh karena itu, sangat tidak masuk akal melakukan generalisasi terhadap maksud ayat tersebut, yang kemudian dipakai untuk menjustifikasi kapasitas kepemimpinan perempuan.

Laki-laki sebagai qawâm perempuan–

yang dalam ayat diterjemahkan sebagai pemimpin—telah dirasionalisasi sebagai

‘situasi ketergantungan perempuan

dalam bidang ekonomi dan keamanan’. Kalau ketergantungan itu tidak ada lagi,

maka posisi qawâm pun bisa ditawar.

Sekarang ini laki-laki dan prempuan memiliki kebebasan dan tanggung jawab yang sama di depan hukum, yang menjamin kesempatan ekonomi dan

(12)

Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 73

keamanan bagi segenap anggota

masyarakat.25

Nash lain yang juga sering disorot

adalah Al-Qur’an surat an-Nisâ’/4: 11-12. Di sana terdapat ungkapan (yang

artinya): “Bagian laki-laki sama dengan

bagian dua orang anak perempuan.” Berkenaan dengan ayat ini, Amina Wadud mengajukan bahwa ini adalah pembagian minimal, bukan maksimal. Yang penting adalah keadilan. Menurutnya, ayat ini sesuai dengan prinsip keadilan, karena sebelum ayat ini turun, perempuan tidak mendapatkan waris. Sesuai dengan kondisi dan struktur ekonomi keluarga saat itu, hak waris dipandang adil dengan rumusan 2:1. Selanjutnya, Amina menggunakan kaidah, ‘Batasan kuantitatif yang diberikan setelah minus, pada dasarnya bukan maksimal, melainkan minimal’. Artinya, dalam kasus-kasus lain, tuntutan keadilan bisa saja menghendaki pembagian laki-laki perempuan sama banyak, atau perempuan bahkan lebih banyak. Ayat tersebut di atas, hanyalah satu kemungkinan yang dapat dipilih dan

bukan keharusan.26

Selain contoh penafsiran ayat di atas, terdapat beberapa ayat Al-Qur’an lainnya yang dianggap sarat dengan diskriminasi gender, seperti larangan perempuan Muslim menikahi laki-laki non Muslim:

Artinya: Hai orang-orang yang beriman,

apabila datang berhijrah kepadamu

25Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis,

(selanjutnya ditulis Muslimah Reformis) (Bandung: PT. Mizan Pustaka, 1425/2004), cet.ke-1, h.42

26Amina wadud, Quran Menurut Perempuan...,

h.149-151

perempuan-perempuan yang beriman, maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Mumtahanah/60: 10)

(13)

74 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76 itulah orang-orang yang zalim. (Q.S.

al-Baqarah/2: 229)

Contoh ayat persaksian:

ﻰﻤـَﺴﱡﻣ ٍﻞَﺟَأ َﱃِإ ٍﻦْﻳَﺪِﺑ ﻢُﺘﻨَﻳاَﺪَﺗ اَذِإ ْاﻮُﻨَﻣآ َﻦﻳِﺬﱠﻟا ﺎَﻬﱡـﻳَﺄَﻳ

Artinya: Hai orang-orang yang beriman,

apabila kamu bermu'amalah tidak secara tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya. Dan hendaklah seorang penulis di antara kamu menuliskannya dengan benar. Dan janganlah penulis enggan menuliskannya sebagaimana Allah mengajarkannya, meka hendaklah ia menulis, dan hendaklah orang yang berhutang itu mengimlakkan (apa yang akan ditulis itu), dan hendaklah ia bertakwa kepada Allah Tuhannya, dan janganlah ia mengurangi sedikitpun daripada hutangnya. Jika yang berhutang itu orang yang lemah akalnya atau lemah (keadaannya) atau dia sendiri tidak mampu mengimlakkan, maka hendaklah walinya mengimlakkan dengan jujur. Dan persaksikanlah dengan dua orang saksi dari orang-orang lelaki (di antaramu). Jika tak ada dua oang lelaki, maka (boleh) seorang lelaki dan dua orang perempuan dari saksi-saksi yang kamu ridhai, supaya jika seorang lupa maka yang seorang mengingatkannya. Janganlah saksi-saksi itu enggan (memberi

keterangan) apabila mereka dipanggil; dan janganlah kamu jemu menulis hutang itu, baik kecil maupun besar sampai batas waktu membayarnya. Yang demikian itu, lebih adil di sisi Allah dan lebih menguatkan persaksian dan lebih dekat kepada tidak (menimbulkan) keraguanmu. (Tulislah mu'amalahmu itu), kecuali jika mu'amalah itu perdagangan tunai yang kamu jalankan di antara kamu, maka tidak ada dosa bagi kamu, (jika) kamu tidak menulisnya. Dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli; dan janganlah penulis dan saksi saling sulit menyulitkan. Jika kamu lakukan (yang demikian), maka sesungguhnya hal itu adalah suatu kefasikan pada dirimu. Dan bertakwalah kepada Allah; Allah mengajarmu; dan Allah Maha Mengetahui segala sesuatu. (Q.S. al-Baqarah/2: 282)

Artinya: Hai orang-orang yang beriman,

apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu mencampurinya maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya. (Q.S. al-Ahzâb/33: 49)

Ayat yang berhubungan dengan poligami meliputi:

(14)

Eko Andi Saputro, Peranan Perempuan… 75 takut tidak akan dapat berlaku adil, maka

(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Q.S. an-Nisâ’/4: 3)

ْاﻮـُﻠﻴَِﲤ َﻼـَﻓ ْﻢُﺘـْﺻَﺮَﺣ ْﻮَﻟَو ءﺎَﺴِّﻨﻟا َْﲔَـﺑ ْاﻮُﻟِﺪْﻌَـﺗ نَأ ْاﻮُﻌﻴِﻄَﺘْﺴَﺗ ﻦَﻟَو

isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (Q.S. an-Nisâ’/4: 129)

Tidak sedikit umat Muslim yang menggunakan metode hermeneutika. Menurut Adian Husaini, fenomena tersebut disebabkan problem yang dihadapi umat Islam secara umum. Dilihat dari sekitar tahun 1683, setelah dinasti Usmani mengepung kota Wina untuk kali kedua dan gagal. Para ahli sejarah banyak menulis bahwa bertolak

dari peristiwa itulah mulainya

kecenderungan penurunan Islam dan

awal kebangkitan Barat -walau

kebangkitan Barat sebenarnya sudah dimulai sejak zaman Renaissance. Tak sedikit kaum muslim yang melihat bahwa kemajuan berbagai bidang di Barat adalah

akibat dari penerapan ideologi

sekularisasi dan umat Islam mulai menerapkannya di sebagian wilayah

Muslim. Demikian pula dengan

hermeunetika. Hermeneutika yang kini dikembangkan sudah dilepaskan dari teks bibel, akan tetapi justru harmeunetika modern menjadi alat liberalisasi Nasrani. Ini juga yang sekarang dipakai untuk meliberalkan Islam.

“Di kalangan Barat muncul pertanyaan, 'Kan sekarang agama kita sudah begini,

mengapa Islam tidak kita beginikan juga? Nah untuk meliberalkan Islam hingga mengikuti jejak Barat, mau tidak mau harus memasukkan hermeneutika yang merupakan alat penting bagi liberalisasi. Hal tersebut jelas akan demikian kompleks selama Al-Qur’an difahami sebagai kalamullah. Orang Islam akan yakin kalau kalamullah yang paling faham adalah Allah. Dan tentu manusia yang faham adalah Rasul-Nya, sahabat dan mereka yang dekat dengan Rasul.”

“Jadi kalau mau menafsirkan Al-Qur’an, maka harus ditafsirkan sebagaimana ditafsirkan Rasulullah, generasi sahabat atau orang-orang terdekat. Itu logikanya, kan? Dan itu tidak terjadi pada Bibel. Pada dasarnya, teks harus bisa dianalisis secara histori dan manusiawi. Makanya nanti, orang-orang Islam yang memakai hermeneutika akan membawa istilah-istilah yang sama dengan bibel. Misalnya, Al-Qur’an jangan ditafsirkan secara literal sesuai otoritas nabi, zamannya sudah

berbeda dan sebagainya.”27

Kalau hermeunetika ini dikaji dengan tidak kritis dan diadopsi begitu saja untuk menggantikan tafsir Al-Qur’an, maka akan terjadi dekonstruksi besar-besaran terhadap kesucian Al-Qur’an dan tafsir-tafsirnya. Orang-orang ini memang belum menghasilkan tafsir baru sebab mereka tidak mengembangkan keilmuan sistematis namun hanya melakukan dekonstruksi. Publik Islam dibuat tidak percaya kepada Al-Qur’an lantaran ada campur tangan manusia. Dari sini selanjutnya juga akan lahir tafsir-tafsir yang 'tak terkendali'. Ketika mulai keluar

dari teks -orang-orang tersebut

sebenarnya tidak lagi percaya pada teks Al-Qur’an- maka yang terjadi siapa pun bisa menafsirkan Al-Qur’an sesuai cara pandangnya. Misalnya saja orang-orang feminis dan pluralis tentu akan mencari ayat-ayat yang dapat mendukung sikap feminisnya atau pluralisnya.

27Adian Husaini, Wawancara Republika Online,

(15)

76 Jurnal al–Hikmah vol. 5 no. 1 Maret 2017 62~76

D. Kesimpulan

Jadi dapat disimpulkan bahwa

perempuan di dalam al-Quran

mempunyai kedudukan yang sangat tinggi. Al-Quran juga mengangkat derajat perempuan, dulu di zaman jahili seorang

perempuan tidak mendapatkan warisan, bayi perempuan di kubur hidup-hidup, dengan datang Islam maka derajat dan kedudukan mereka telah diangkat.

Bibliography

Amina Wadud, Quran Menurut Perempuan, Jakarta: PT Serambi Ilmu Semesta, 2006. Abdul Halim Abu Syuqqah, Kebebasan Wanita, Jakarta: Gema Insani Press, 1997. Karen Armstrong, Islam: Sejarah Singkat, Yogyakarta: Penerbit Jendela, 2005.

Hastanty Widy N, Diskriminasi Gender: Potret Perempuan dalam Hegemoni Laki-laki, (selanjutnya ditulis Diskriminasi Gender) (Yogyakarta: CV. Hanggar Kreator, 2004. Abdul Mustaqim, Tafsir Feminis Versus Tafsir Patriarkis: Telaah Kritis Penafsiran Riffat

Hassan, Yogyakarta: Sabda Persada, 2003.

Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2005.

Abdul Adhim, “Katakan tidak untuk Hermeneutika.”, al-Bashiroh (Surabaya), 02 Agustus 2004 http://pesantren.or.id.29.masterwebnet.com

Siti Musdah Mulia, Muslimah Reformis, Bandung: PT. Mizan Pustaka, 1425/2004.

Adian Husaini, Wawancara Republika Online, Jakarta, Jumat, 04 Juni 2004 http://www.republika.co.id

Referensi

Dokumen terkait

Setelah melihat beberapa definisi partisipasi politik tersebut maka dapat dikatakan bahwa anggota masyarakat yang partisipasi dalam proses politik , misalnya

K-means clustering dalam penelitian ini adalah metode yang digunakan untuk mengelompokkan mahasiswa pemohon beasiswa berprestasi ke dalam kelompok yang menerima, kelompok

Kompetensi yang akan dimiliki siswa setelah menyelesaikan  job sheet ini adalah bahwa siswa mampu melakukan manipulasi data pada sebuah tabel dengan menggunkan sintaks. SQL pada

Hình 17 Để đảm bảo AN TOÀN và TIN CẬY của sản phẩm, việc sửa chữa hoặc bất cứ thao tác bảo trì, điều chỉnh nào đều phải được thực hiện bởi các Trung tâm

Said Abdul Fattah Syukur, Perang Salib; “Adalah merupakan gerakan spectakuler dari pihak Eropa Barat dengan misi imperialisme murni, yang ditujukan kepada

Rekomendasi ITU-R P.525 dan rekomendasi ITU-R P.1546 memiliki hasil yang berbeda dalam perhitungan path loss spektrum frekuensi UHF untuk penyiaran TV terestrial Kota

Sedangkan menurut Darin-Drabkin (1977) nilai lahan atau land value adalah suatu penilaian atas lahan yang didasarkan atas kemampuan lahan secara ekonomis dalam hubungannya

Penelitian ini dilakukan pada siswa kelompok B di TK Al-Furqon Surabaya dengan latarbelakang Salah satu lembaga pendidikan anak usia dini yang menerapkan media