• Tidak ada hasil yang ditemukan

Librisida Pemurnian Masyarakat dan Demok (1)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Librisida Pemurnian Masyarakat dan Demok (1)"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

Librisida: Pemurnian Masyarakat dan Demokrasi yang Cacat

1

Robertus Robet

Pembunuhan terhadap buku –yang saya sebut sebagai “librisida” di tulisan ini, meski sebagian kalangan juga memakai istilah “bibliosida”—memiliki sejarah panjang di dunia.2 Ada beragam sebab dan latar belakang mengapa buku dilarang dan dihancurkan. Di dunia Barat, “tradisi” untuk melarang suatu penerbitan setidaknya bisa dirujuk kembali pada Indeks Buku-buku Terlarang yang rutin diterbitkan oleh Gereja Katolik. Indeks ini memuat daftar buku-buku yang “haram” dibaca dan dikeluarkan dengan tujuan melindungi umat dari paham-paham yang kontroversial.

Namun demikian, pelarangan rupanya boleh dibilang sebuah bentuk kekerasan yang relatif lembut dan termasuk “baru” dalam sejarah kebencian terhadap buku. Sejarah mencatat bahwa ketakutan dan kebencian terhadap buku lebih sering mengambil bentuk-bentuk penghancuran yang ekstrem, yakni pembakaran! Yang dihancurkan bukan hanya buku, tetapi juga perpustakaan dan bahkan manusia pemiliknya atau pengarangnya. Fernando Báez dalam buku yang Anda pegang ini – sebuah paparan sejarah yang amat lengkap—mengungkapkan bahwa praktik penghancuran buku sudah terjadi di Sumeria kuno (4100-3300 SM) sebagaimana temuan para arkeolog pada sebuah kuil di kota Uruk. Temuan itu, menurut Báez, mengungkap sisi paradoksal peradaban Barat: penemuan buku yang paling pertama sekaligus merupakan penemuan terjadinya penghancuran buku pertama kalinya.3

Kekejian terhadap buku yang paling mutakhir adalah penjarahan yang diikuti dengan pembakaran Perpustakaan Nasio-nal Bagdad, Irak, yang terjadi pada hari-hari penggulingan Saddam Hussein antara 9-10 April 2003. Lebih dari satu juta koleksi       

1 Tulisan ini adalah versi ringkas yang dimutakhirkan dari materi Kuliah Umum “Pelarangan

Buku dalam Politik Kebudayaan Indonesia”, kerjasama Lembaga Studi dan Advokasi

Masyarakat (ELSAM) dan Dewan Kesenian Jakarta, di Taman Ismail Marzuki, Rabu, 17

Maret 2010.

 

2

Saya memakai librisida dengan bersumber dari konsep libricide dalam kajian Rebbeca Knuth, Libricide: The Regime-sponsored Destruction of Books and Libraries in the Twentieth Century. Westport, Conn.: Preager, 2003. Di dalam Knuth, librisida menunjukkan adanya suatu praktik yang sistematis dari suatu rezim terhadap buku yang dilakukan demi pencapaian tujuan-tujuan ideologi jangka pendek maupun jangka panjang. Librisida juga mengindikasikan adanya kelompok di dalam masyarakatyang hendak mendominasi negara dan memiliki gagasan ekstrem mengenai masyarakat.

3

(2)

hilang dan dibakar. Ini belum termasuk koleksi-koleksi lain yang musnah terbakar di Museum Arkeologi, Arsip Nasional, dan kantor-kantor kementerian.4

Di Indonesia bentuk-bentuk librisida sudah terjadi semenjak masa kolonial. Banyak penulis menyebut beberapa kejadian penting seperti pelarangan buku Student Hidjo karya Mas Marco Kartodikromo dan penangkapan sejumlah aktivis pergerakan oleh karena tulisan-tulisan mereka yang menyerang pemerintah kolonial. Pasca 1945, pelarangan buku dipraktikkan dalam ma-sa Demokrasi Terpimpin, antara lain terhadap Hoa Kiau di Indonesia karya Pramoedya Ananta Toer dan Demokrasi Kita karya Mohammad Hatta. Selain itu hampir semua karya Sutan Takdir, Idrus, dan Mochtar Lubis dilarang. Setelah muncul Manifes Kebudayaaan, hampir semua karya penandatangan Manifes dilarang karena dicap “kontrarevolusioner”. Di saat yang bersamaan, militer juga melarang puisi penyair kiri Agam Wispi “Matinya Seorang Petani”.

Di masa Orde Baru, pelarangan buku mengambil bentuk yang sistematis akibat tersedianya argumen ideologis dan keperluan mempertahankan sebuah versi “kebenaran” politis. Orde Baru dan kekuasaan Soeharto berdiri di atas sebuah misteri tragedi pembunuhan massal terhadap mereka yang dituduh sebagai anggota dan simpatisan PKI. Kenyataan ini menjadi landasan bagi kebijakan pelarangan terhadap hampir seluruh buku-buku dari mereka yang diasosiasikan kiri.

Setelah kekuasaan Soeharto jatuh, Indonesia memasuki masa kebebasan, termasuk kebebasan dalam dunia penulisan dan penerbitan. Meski kita tidak bisa memastikan volume atau perbandingan jumlah peredaran buku di masa kini dengan di masa era Soeharto, namun suasana kebebasan itu jelas terasa. Toko-toko buku boleh dibilang bisa menjual karya penulis siapa saja: mulai dari versi bahasa Inggris Mein Kampf, terjemahan Das Kapital, hingga propaganda para teroris sekalipun. Di sini – pada mulanya—ada kepercayaan akan kemampuan berpikir publik dan kebebasan menikmati bacaan pun muncul. Akan tetapi, suasana kebebasan itu rupanya tidak bertahan lama.

Pada 19 April 2001 sebuah organisasi yang menamakan diri Aliansi Anti Komunis –sebelum menyatakan akan melakukan sweeping dan membakar semua buku-buku “kiri”—menyulut api dan membakar buku karangan Prof. Franz Magnis Suseno berjudul Pemikiran Karl Marx: dari Sosialisme Utopis ke Perselisihan

      

4

(3)

Revisionisme, yang andai benar-benar mereka baca, buku itu justru merupakan kritik tajam terhadap pemikiran Marx. Aliansi konyol tersebut merasa punya alasan untuk mengambil tindakan sendiri dengan alasan karena pemerintah saat itu tidak menjalankan TAP MPRS No. XXV Tahun 1966 yang menyatakan PKI sebagai organisasi terlarang dan melarang penyebarluasan Marxisme-Leninisme.

Keganjilan dan pesimisme terhadap kebebasan “membaca” kemudian juga makin dikokohkan pada 19 Juni tahun 2007 yakni ketika Kejaksaan Tinggi Semarang yang diikuti dengan Kejaksaan Tinggi di beberapa daerah menghancurkan ribuan buku Pelajaran Sejarah SMP dan SMA yang mengacu ke Kurikulum 2004.5 Penghancuran buku-buku sejarah ini dilandasi oleh Surat Keputusan Kejaksaan Agung Nomor 019/A-JA/10/2007 tanggal 5 Maret 2007. Surat Keputusan Kejaksaan itu sendiri keluar oleh karena adanya keberatan atas dihapuskannya kata PKI dari kebiasaan penyebutan Orde Baru: “G30S/PKI”.

Dari pelarangan dan pembakaran buku tahun 2007 ini, Kejaksaan Agung kemudian terus bergerak dengan terbitnya keputusan Jaksa Agung RI yang melarang peredaran lima judul buku, yakni: Dalih Pembunuhan Massal karya John Roosa,

Suara Gereja Umat Penderitaan: Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan

di Papua Barat Harus Diakhiri karya Socratez Sofyan Yoman, Lekra Tak Membakar Buku karya Rhoma Dwi Aria Yulianti dan Muhidin M Dahlan, Enam Jalan Menuju Tuhan karya Dharmawan, Mengungkap Misteri Keragaman Agama karya Syahruddin Ahmad. Selain itu, penghancuran dan kekejian paling mutakhir terhadap buku dilakukan pada September 2009 oleh mereka yang menamakan dirinya Front Anti Komunis di Surabaya. Kelompok ini membakar buku Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah karya Soemarsono.

Sebuah langkah maju diambil oleh Mahkamah Konstitusi pada 13 Oktober 2010 dengan memutuskan bahwa kewenangan pelarangan buku yang dimiliki oleh Kejaksaan Agung sesuai pasal 1 ayat (1) UU No. 4/PNPS/1963 bertentangan dengan konstitusi. Dengan keputusan MK ini, Kejaksaan Agung tidak bisa lagi secara sewenang-wenang memberangus buku, namun harus terlebih dulu melalui pembuktian di pengadilan.

      

5

(4)

Namun hal ini tidak membuat pemusnahan buku serta merta berhenti. Praktik pemberangusan dan pemusnahan tetap berjalan melalui tekanan ormas-ormas bahkan melalui ketakutan terpendam jaringan toko buku sendiri. Contoh gamblang bisa disebut di sini: sebuah penerbit terbesar di Indonesia membakar bukunya sendiri pada Juni 2012, pembakaran yang seolah-olah dilakukannya secara “sukarela”, padahal kita tahu disebabkan oleh tekanan ormas-ormas.

Insiden-insiden kebencian yang disertai pelarangan dan pemusnahan terhadap buku ini menandai sebuah pembalikan esensial dalam politik kebudayaan Indonesia karena ketiganya berlangsung dalam matriks demokrasi kontemporer. Dari sini kita bisa mengajukan pertanyaan bagaimana dan proses sosial apa yang mendasari praktik pembakaran buku dalam suatu masyarakat demokratis? Apakah pelarangan buku memang merupakan sebuah praktik “universal”, sebagai sejenis “kemalangan” yang memang bisa menimpa sebuah buku dalam konteks apa saja. Ataukah ia hanya sejenis penanda dari semacam masalah atau kekuarangan yang akarnya justru ada di dalam demokrasi sendiri?

Untuk menjawab pertanyaan ini, ada baiknya kita menelusuri secara ringkas beberapa kasus besar pelarangan dan penghancuran buku yang pernah terjadi di dunia untuk kemudian membandingkannya dengan ketiga insiden pelarangan dan perusakan buku yang terjadi di Indonesia pasca Orde Baru.

Momen-Momen Librisida

(5)

Dari segi konteks, pembakaran, penghancuran, dan pelarangan buku bisa dijumpai dalam zaman pergolakan seperti dalam situasi perang dan revolusi, sebagaimana juga bisa dijumpai dalam zaman normal. Pertama, perang. Perang biasanya merupakan kejadian pertama yang secara brutal bisa menjadikan buku sebagai korban. Sebagaimana berlangsung semenjak penghancuran Roma yang diikuti dengan pembakaran buku oleh kaum vandal pada 455 SM hingga penghancuran perpustakaan Bagdad di abad “kebebasan dan posmodernisme” ini.

Kedua, pembakaran buku juga seringkali menandai sebuah gerak kemunculan sebuah rezim baru. Pembakaran buku di era Pol Pot di Kamboja serta pelarangan dan pembakaran buku-buku yang berisi “adat dan paham tua” di masa Revolusi Kebudayaan Cina merupakan salah satu contohnya. Sementara itu, pembakaran buku dan penghancuran perpustakaan sebagaimana yang dilakukan oleh rezim fasis Hitler secara lebih masif melampaui kedua momen ini. Fasisme tidak hanya membakar buku-buku yang mereka benci sebagai penanda dari kemunculan kekuatan dan propaganda zaman baru yang mereka dengungkan, mereka juga secara sengaja menghancurkan perpustakaan semasa Perang Dunia II sebagaimana yang mereka lakukan terhadap Perpustakaan Inggris di London.

Ketiga adalah penghancuran dan kebencian terhadap buku selama masa Revolusi. Salah satu yang bisa kita ambil contoh adalah sensor yang terjadi selama dan sesudah Revolusi Perancis. Pada 1659 hingga 1789 sekitar seribu orang yang terkait dengan buku dan penerbitan dipenjarakan di Bastille. Beberapa karya Voltiare dibakar di Paris dan Jenewa, sementara karya Rousseau, Emile, dihujat dan diminta untuk dibakar. Pada puncaknya, di ujung Revolusi Perancis sendiri lebih dari empat juta buku termasuk 25 ribu manuskrip dimusnahkan sebagai bagian dari “penghapusan” kaum klerik pasca Revolusi.6

Keempat adalah biblioklasme modern dan kebencian atau penghancuran buku yang secara resmi disponsori oleh negara/ pemerintah dalam situasi normal. Sebagaimana kita ketahui, penghancuran dan pelarangan buku yang didasarkan atas argumen ortodoks dengan tuduhan suatu buku memuat ide-ide “murtad” merupakan praktik yang sering dilakukan. Istilah biblio-clasm merujuk pada apa yang disebut oleh Rebecca Knuth sebagai praktik penghancuran dan pelarangan buku yang

      

6

(6)

dida-sarkan atas sebuah argumen atau penilaian moral dari suatu otoritas moral tertentu.7

Pelaku: Kaum Intelektual dan Vandal

Sebagaimana dikemukakan oleh Fishburn, buku dan perpusta-kaan dihancurkan serta dilarang bukan semata-mata karena fungsinya di dalam masyarakat, akan tetapi buku, terutama yang muncul pada abad ke-20 dianggap musuh karena mengandung gagasan humanisme. Dengan penghancuran dan pela-rangannya, maka keterkaitan buku dengan produksi intelelektual dan kaum terpelajar termasuk sejarawan terputus.

Dari pandangan Fishburn ini, kita bisa menarik semacam kesimpulan bahwa pelarangan dan penghancuran buku men-cerminkan kerja dan pertarungan intelektual dalam masyarakat. Peran kaum intelektual demikian sentral bukan hanya karena posisi mereka yang memungkinkan suatu rezim politik melihat bahaya dari suatu buku terhadap kekuasaannya, akan tetapi, juga oleh karena biasanya setiap rezim yang memiliki niat untuk melarang atau menghancurkan buku memiliki semacam “cita-cita” atau fantasi mengenai suatu jenis masyarakat masa depan yang ditopang oleh para intelektualnya. Di Jerman, proyek “cuci ras” Nazi ditopang oleh intelektual macam Dr. Goebbels. Di Indonesia, pelarangan buku oleh Kejaksaan Agung diprovokasi oleh usulan sejumlah intelektual dan penyair pendukung Orde Baru.

Biasanya, para intelek berfungsi menyuguhkan argumen historis mengapa buku-buku tertentu harus dilarang dan dimusnahkan. Di sini pembakaran mendapatkan pembenarannya. Kemudian, intelek itu bertemu dengan kaum vandal, yang melanjutkan pembenaran intelektual tadi ke dalam aksi pembakaran.

Istilah vandal sendiri muncul dalam nuansa sebagaimana yang kita pahami saat ini semenjak Revolusi Perancis.8 Vandal pada mulanya merujuk pada sekelompok orang yang di dalam revolusi menghancurkan monumen-monumen, lukisan dan buku-buku serta berbagai dokumen publik sebagai ekspresi kegirangan atau perayaan akan kebebasan dari despotisme. Vandal pada awalnya adalah ampas dari sukses Revolusi. Istilah ini dipopulerkan oleh Abbé Grégoire, anggota Konvensi Nasional (badan yang memerintah selama Revolusi) yang menyamakan vandalisme dengan barbarisme. Ia

      

7

Lihat Rebbeca Knuth, Burning Books and Leveling Libraries: Extremist Violence and Cultural Destruction. Westport, Conn.: Praeger, 2006, hlm. 3.

8

(7)

mengingatkan bahwa vandalisme akan menenggelamkan Revolusi dalam kehancuran dan melahirkan kembali tirani.

Dari pengertian ini, vandal pada dasarnya adalah gejala destruksi yang didasari oleh suatu mental kemenangan dan kejayaan. Tidak ada komitmen sosial apapun di dalam vandalisme. Dalam konteks di luar revolusi, maka vandalisme tidak lebih dari pelecehan kepada lawan dengan “kekerasan telanjang” dan dominasi.

Keterkaitan kaum vandal, intelektual, dan mental dominasi ini secara pas terungkap dalam pikiran seorang profesor yang dengan arogan menyatakan bahwa “sejarah adalah sejarah mereka yang menang.” Pernyataan ini diungkapkannya setelah bersama Forum Anti Komunis Surabaya, ia ikut membakar buku karangan Soemarsono di depan kantor harian Jawa Pos.9

Api: dari Librisida ke Genosida

Selain keterkaitan intelektual dan vandal, yang selalu juga muncul dalam peristiwa penghancuran buku adalah api. Mengapa membakar? Seorang wartawan New York Times yang menjadi salah satu saksi upacara pembakaran buku Nazi mengutip sebuah pidato sebelum upacara pembakaran buku dimulai:

“Api tidak hanya menandai akhir dari suatu era lama namun juga menerangi era

yang baru. Belum pernah sebelumnya, orang-orang muda bertindak dalam

kebenaran dalam membersihkan kerikil di masa lalu…Yang lama hancur bersama

bara, yang baru akan muncul dari cahaya di dalam hati kami…”10

Ritual api sangat khas dalam sejarah librisida Nazi. Waktu favorit pembakaran biasanya dipilih pada masa pertengahan musim panas, di mana api menjadi unsur pokok ritual inisiasi untuk penerimaan anggota baru ormas “Pemuda Hitler”, di mana setiap peserta berbaris mengelilingi api unggun sambil secara bersama-sama merapalkan semacam ikrar.

Dengan demikian, api adalah lambang klasik yang khas yang mencerminkan instrumen atau jembatan kepada penghancuran untuk kemurnian. Apabila dalam

      

9

Lihat wawancaranya dengan kontributor situs Indonesia Buku, Eri Irawan

(http://indonesiabuku.com/?p=1597.) Perhatikan bagaimana pernyataan serupa diucapkan juga oleh seorang jagal 1965 yang tampil dalam film dokumenter Joshua Oppenheimer, The Act of Killing (2012).

10

(8)

tradisi agama-agama lama, api adalah jembatan antara dunia atau materi kini yang perlu disucikan dengan dunia sesudahnya, maka dalam librisida, api mengonfirmasi cita-cita suatu masyarakat higienis. Masyarakat yang bersih dari unsur-unsur yang tidak dikehendakinya. Api adalah lambang atau kobaran dari fantasi akan suatu masyarakat masa depan yang utuh.

Dalam praktik fasisme Jerman, fantasi masyarakat total higienis ini nampak dalam proses librisida sistematis yang biasanya dimulai terlebih dahulu terhadap buku-buku karya orang Jerman sendiri yang dianggap bisa menimbulkan “masalah”, baru sesudahnya dilanjutkan dengan buku-buku karya mereka yang berasal dari ras “menyimpang”, yakni Yahudi, diteruskan kepada buku dari “ras inferior” yakni orang Polandia, dan baru kemudian buku-buku dari “biang onar” yakni Inggris.11

Dengan demikian librisida adalah bagian dari proses homogenisasi masyarakat, pengahancuran hak-hak individual dan intelektual atas nama sejarah dominan dan fantasi akan masyarakat yang utuh serta higienis. Di titik ini, librisida mencerminkan bahaya atau ancaman kemanusiaan yang serius.

Fantasi akan masyarakat yang higinies dan total (dalam kasus Nazi, higienis artinya masyarakat dan Eropa hanya boleh diisi oleh bangsa Aria, masyarakat mesti steril dan bersih dari ras di luarnya) adalah jembatan ke arah pemusnahan manusia. Di titik ini pandangan lama yang menegaskan bahwa “kemampuan dan ketegaan manusia untuk memusnahkan sesamanya pertama-tama tidak disebabkan oleh suatu penyimpangan individual melainkan oleh karena sesuatu yang diyakininya”. Dengan demikian jelas ada hubungan timbal balik antara librisida dan genosida. Sejarah buku dengan segera dan secara mudah bisa dikonversi langsung kepada manusia; secara antropologis, esensi buku bisa secara langsung menunjuk kepada manusia. Konversi juga didukung dengan fakta-fakta sejarah mengenai kecenderungan manusia untuk memandang dan memperlakukan buku sebagai “makhluk”.12

Pelarangan Buku di Masa Demokrasi

Sebagai penutup, kembali kepada pertanyaan pada awal tulisan ini yakni apa yang bisa kita katakan mengenai pelarangan buku di sebuah rezim demokratis? Bagaimana kita memahami sebuah rezim yang di satu sisi mengakui demokrasi dan hak asasi tetapi di sisi lain mensponsori librisida?

      

11

Knuth, Libricide, hlm. 235-237. 12

(9)

Di negara demokratis, pelarangan dan pembakaran buku memang bisa dan tetap terjadi, akan tetapi dari kasus yang ada, ia biasanya dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat (misalnya pembakaran buku-buku Harry Potter oleh sekelompok fanatikus keagamaan di Amerika).13 Yang lebih “unik” adalah pelarangan Mein Kampf di Jerman dan beberapa negara bekas korban Nazi seperti Polandia, Perancis, dan Inggris. Dalam kasus Mein Kampf, pelarangan dilakukan dengan argumen bahwa buku itu mempropagandakan superioritas ras yang sama sekali tidak sesuai dengan prinsip-prinsip dasar sebuah masyarakat beradab.14

Dalam paham hak asasi, terutama prinsip Siracusa yang diacu oleh PBB, pelarangan buku “bisa” dilakukan sejauh tidak melanggar prinsip-prinsip demokrasi dan melanggar Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik. Inti dari sikap di atas adalah “pelarangan buku dibolehkan sejauh dalam rangka melindungi hak asasi” dan “dilakukan dalam kerangka negara hukum demokratis.” Artinya: Pertama, setiap pelarangan buku mesti diuji dengan pertanyaan apakah buku yang dimaksud memang berisi ancaman terhadap hak asasi (misalnya: menganjurkan penyiksaan, pembunuhan sektarian, kebencian ras, intoleransi, dan pelecehan terhadap perempuan). Kedua, pelarangan tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang, ia harus diputuskan di muka pengadilan. Ketiga, si penulis harus diberi hak jawab mengenai bukunya di muka pengadilan.

Dalam kasus pelarangan buku di Indonesia, yang kita saksikan adalah kebanyakan buku yang dilarang justru adalah buku-buku yang mempersoalkan praktik pelanggaran hak asasi di Indonesia (dalam hal ini termasuk buku-buku sejarah “alternatif” mengenai tragedi 1965), sementara buku-buku yang menyebarkan kebencian dan intoleransi justru bebas beredar. Ini menunjukkan semacam cacat atau kekonyolan dalam demokrasi di Indonesia.

Demokrasi mensyaratkan penerimaan akan pluralitas gagasan dan ideologi. Demokrasi hanya ada sebagai demokrasi apabila syarat ini dipenuhi. Di Indonesia, melalui api di tangan kaum vandal, demokrasi hendak ditawar dengan suatu praktik pengecualian yang membahayakan, yakni “demokrasi kami terima tapi pluralisme dan perbedaan ide kami tolak.” Pada hari-hari belakangan, pengecualian itu diberlakukan kepada buku-buku dan orang-orang “kiri”; di masa depan, daftar pengecualian ini bisa

      

13

Lihat buku ini hlm. 240. 14

(10)

terus bertambah. Hasil akhirnya adalah kita akan tiba di ujung menemui sebuah demokasi yang hanya dihuni oleh satu golongan ideologi dan dengan otoritas kebenaran tunggal; demokrasi tanpa demokrasi di dalamnya, persis seperti “demokrasinya Orde Baru.”

Selain itu, lebih jauh lagi, buku pada dasarnya adalah kumpulan teks, sementara teks selalu terikat pada konteks. Buku memang abadi, tetapi pemaknaan masyarakat terhadap isinya senantiasa bergeser dan berubah-ubah. Membaca Manifesto Komunis

di awal abad ke-20 saat gelora revolusi masih membara di Eropa tentu akan lain dengan membaca buku yang sama di sebuah kantin universitas pada tahun 2000-an. Pada yang pertama kita membaca dengan sebuah referensi dan cakrawala sebuah praktik perubahan langsung, pada yang kedua kita membaca lebih sebagai upaya untuk mencoba memahami teks dan konteks pemikiran seorang tokoh yang kaitannya dengan tema perubahan langsung di zaman kini menjadi jauh lebih rumit akibat berubahnya kondisi dan basis material yang melatarinya itu sendiri. Dengan kata lain, di hadapan konteks, pada hakikatnya kita tidak dapat melarang sebuah buku dengan alasan apapun.

Referensi

Dokumen terkait

Bimbingan kelompok adalah bimbingan yang diberikan kepada sejumlah individu melalui kelompok dengan memanfaatkan dinamika kelompok.Winkel (2004:565) berpendapat bahwa

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis dampak manajemen aset terhadap optimalitas aset tetap (tanah dan bangunan) di Pemerintah Daerah di Kabupaten Sorong. Dengan

Pajak tangguhan diakui atas perbedaan temporer antara nilai tercatat aset dan liabilitas untuk tujuan pelaporan keuangan, dan nilai yang digunakan untuk tujuan

Pada penelitian ini, penulis memfokuskan kepada ―Kebijakan Luar Negeri dengan Faktor Determinan Internasional dan Faktor Determinan Domestik yang Dalam

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah library research (studi kepustakaan). Hasil penelitian sebagai berikut; latarbelakang pengiriman surat sebagai media

Secara sosiologis, perilaku seseorang tidak lebih dari hasil pembiasaan saja. Seorang siswa laki-laki akan merasa tidak nyaman jika dipaksa harus mengenakan pakaian kakak

Pengaruh ekstrak etil asetat jahe merah terhadap pembentukan angka peroksida minyak kacang tanah yang terbentuk selama inkubasi dapat dilihat pada Tabel 2.. Pengaruh

Dari penelitian yang telah dilakukan menunjukkan bahwa sumber magnet permanen menghasilkan medan magnet yang lebih stabil yang dapat dilihat dari hasil pengukuran