• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PERJANJIAN MENURUT HUKUM PERDATA INDONESIA A. Pengertian Perjanjian - Tanggung Jawab Perdata Dokter Dalam Transaksi Terapeutik Antara Dokter Dengan Pasien (Studi Kasus RSUD.Dr.Djoelham Binjai)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II PERJANJIAN MENURUT HUKUM PERDATA INDONESIA A. Pengertian Perjanjian - Tanggung Jawab Perdata Dokter Dalam Transaksi Terapeutik Antara Dokter Dengan Pasien (Studi Kasus RSUD.Dr.Djoelham Binjai)"

Copied!
41
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PERJANJIAN MENURUT HUKUM PERDATA INDONESIA

A. Pengertian Perjanjian

Perjanjian atau verbintenis mengandung pengertian: Suatu hubungan

hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan

hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada

pihak lain untuk menunaikan prestasi. Perjanjian merupakan sumber terpenting

yang melahirkan perikatan. Perikatan yang berasal dari perjanjian dikehendaki

oleh dua orang atau satu pihak yang membuat perjanjian, sedangakan perikatan

yang lahir dari undang-undang di buat atas dasar kehendak yang saling

berhubungan dengan perbuatan manusia yang terdiri dari dua pihak.9 Dalam bahasa Belanda perjanjian disebut juga overeenkomstenrecht.10

Dari pengertian singkat diatas dijumpai didalamnya beberapa unsur yang

memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain, hubungan hukum

(rechtsbetreking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon)

atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain

tentang suatu prestasi. Kalau demikian, perjanjian/verbintenis adalah hubungan

hukum rechtsbetrekking yang oleh hukum itu sendiri diatur dan disahkan cara

perhubungannya. Oleh karena itu perjanjian yang mengandung hubungan hukum

antara perorangan/persoon adalah hal-hal yang terletak dan berada dalam

9

Suharnoko, Hukum Perjanjian, Prenada Media, Jakarta, 2004, hal 117.

10

(2)

lingkungan hukum . Itulah sebabnya hubungan hukum dalam perjanjian, bukan

suatu hubungan yang bisa timbul dengan sendirinya seperti yang kita jumpai

dalam harta benda kekeluargaan.11

Perjanjian adalah sumber perikatan, disampingnya sumber-sumber lain.

Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk

melakukan sesuatu. Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan

persetujuan) itu adalah sama artinya.12

Buku III KUHPerdata berjudul “Perihal Perikatan” Perkataan Perikatan

(verbintenis) mempunyai arti yang lebih luas dari perkataan “Perjanjian” sebab

dalam buku III itu, diatur juga prihal hubungan hukum yang sama sekali tidak

bersumber pada suatu persetujuan atau perjanjian, yaitu prihal perikatan yang

timbul dari perbuatan yang melanggar hukum (onrechtmatige daad) dan perikatan

yang timbul dari pengurusan kepentingan orang lain yang tidak berdasarkan

persetujuan (zaakwaarneming). Tetapi sebagian besar dari buku III ditujukan pada

perikatan-perikatan yang timbul dari persetujuan atau perjanjian. Jadi berisikan

hukum perjanjian. Adapun yang dimaksud dengan “perikatan” oleh buku III

KUHPerdata ialah: Suatu Hubungan hukum (mengenai kekayaan harta benda)

antara dua orang, yang memberi hak pada yang satu untuk menuntut barang

sesuatu dari yang lainnya, sedangkan orang yang lainnya ini diwajibkan

memenuhi tuntutan itu.13

Dalam undang-undang perjanjian diatur dalam Buku III KUHPerdata

yang mengatur tentang perikatan. Hal ini karena perjanjian merupakan salah satu

11

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung, 1986, hal 6-7.

12

Subekti, Hukum Perjanjian, Intermasa, Bandung, 2002, hal 1.

13

(3)

peristiwa yang melahirkan hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan

antara dua pihak yang disatu pihak ada hak dan dilain pihak ada kewajiban

(perikatan). Definisi perjanjian telah diatur dalam KUHPerdata Pasal 1313

KUHPerdata dinyatakan bahwa “Perjanjian atau persetujuan adalah suatu

perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu

orang lain atau lebih.”

Dengan pertimbangan agar perbuatan-perbuatan yang tidak mengandung

unsur kehendak atas akibatnya tidak masuk dalam cakupan perumusan, seperti

perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad), perwakilan sukarela

(zaakwarneming) dan agar perjanjian timbal balik bisa tercakup dalam perumusan

trsebut, J. Satrio mengatakan perjanjian adalah perbuatan hukum dengan mana

satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih atau

dimana satu orang lain atau lebih saling mengikatkan dirinya.”14

Menurut Subekti yang dimaksud dengan perjanjian adalah sebagai suatu

peristiwa dimana seorang berjanji kepada orang lain atau dimana dua orang itu

saling berjanji kepada orang lain untuk melaksanakan sesuatu hal.15

Menurut M. Yahya Harahap mengemukakan Perjanjian atau verbintenis

mengandung suatu hubungan hukum kekayaan atau harta benda antara dua orang

atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh

prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi.16 Menurut Wirjono Prodjodikoro, yang dimaksud dengan perjanjian adalah

sebagai suatu hubungan hukum mengenai harta benda antara dua pihak, dalam

14

J. Satrio, Hukum Perjanjian, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal 12.

15

Subekti, Op.cit., hal 9.

16

(4)

mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan sesuatu hal atau

tidak melakukan sesuatu hal, sedangkan pihak lain berhak menuntut pelaksanaan

janji itu.17

Suatu perjanjian tidak terjadi seketika atau serta merta dan perjanjian

dibuat untuk dilaksanakan, oleh karena itu dalam suatu perjanjian yang dibuat

selalu terdapat tahapan yaitu:

1. Pracontractual, yaitu perbuatan-perbuatan yang mencakup dalam

negosiasi dengan kajian tentang penawaran dan penerimaan;

2. Contractual, yaitu tentang bertemunya dua pernyataan kehendak yang

saling mengikat kedua belah pihak;

3. Post-contractual, yaitu tahap pada pelaksanaan hak-hak dan

kewajiban-kewajiban yang hendak diwujudkan melalui perjanjian tersebut.18

Didalam Perjanjian terdapat unsur janji, janji yang diberikan oleh pihak

yang satu kepada pihak yang lain. Kalau orang terikat pada suatu kewajiban, yang

diletakkan pada dirinya atas dasar, bahwa undang-undang menentukan demikian

seperti onrechtmatigedaad tidak dapat dikatakan, bahwa ia menjanjikan hal

seperti itu dan karenanya tak mungkin didasarkan atas suatu perjanjian. Dalam

perjanjian orang terikat kepada akibat hukum yang muncul karena kehendaknya

sendiri.19

17

Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Perjanjian, Sumur, Bandung, 1981, hal 9.

18

Salim HS, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta,2003, Hal. 16.

19Ibid

(5)

B. Asas-asas Perjanjian

Didalam kamus ilmiah asas diterjemahkan sebagai pokok, dasar, dan

pundamen.20 Sedangkan Solly Lubis menyatakan asas adalah dasar kehidupan yang merupakan pengembangan nilai-nilai yang disyaratkan menjadi landasan

antara hubungan sesama anggota masyarakat.21 Adapun Paul Scholten memberikan definisi mengenai asas ialah pikiran-pikiran dasar yang terdapat

didalam dan belakang sistem hukum masing-masing dirumuskan kedalam

aturan-aturan perundang-undangan dan putusan-putusan hukum yang berkenaan dengan

ketentuan-ketentuan dan keputusan-keputusan individual dapat dipandang sebagai

penjabarannya.22 Dengan demikian maka, setiap peraturan perundang-undangan diperlukan adanya suatu asas, karena asas ini yang melandasi atau menjiwai

ataupun menghidupi peraturan perundang-undangan dan dengan asas tersebut

dimaksud dan tujuan peraturan menjadi jelas.23 Selanjutnya Sri Sumantri Martosuwigjo berpendapat bahwa asas mempunyai padanan kata dengan

“beginsel” (Belanda) atau “principle” (Inggris) sebagai suatu kebenaran yang

menjadi pokok dasar atau tumpuan berpikir.24

20

Pius A Partono dan M Dahlan, Al-Berr, Kamus Ilmiah Favorit, Anka, Surabaya, 1994, hal 48.

Asas hukum adalah dasar normatif

untuk membedakan daya ikat normatif dan memaksa. Dengan demikian dalam

melakukan perjanjian selain memperhatikan ketentuan-ketentuan yang ada juga

harus memperhatikan asas-asas terdapat pada hukum perjanjian pada umumnya.

21

Solly Lubis, Perumusan dan Pembinaan Cita Hukum dan Penerapan Asas-Asas Hukum Nasional, BPHN, Depkeh, 1995, hal 29.

22

Paul Scholten di dalam JJ. H Bruggink, Refleksi Tentang Hukum, (alih bahasa oleh Arief Sidharta) Cipta Aditya Bhakti, Bandung, 1996, hal 119-120.

23

Rooseno Harjowidigji, Presfektif Peraturan Franchise, BPHN, Jakarta, 1993, hal 12.

24

(6)

KUHPerdata menentukan dengan jelas mengenai beberapa asas-asas

perjanjian, diantaranya dalam Pasal 1315 menentukan asas personalia perjanjian;

Pasal 1337 menntukan asas kesusilaan dan ketertiban umum; Pasal 1338 ayat (1)

menentukan asas mengikatnya perjanjian; Pasal 1338 ayat (3) menentukan asas

itikad baik; Pasal 1339 menentukan asas kepatutan dan kebiasaan. Namun

menurut Rutten hanya ada tiga asas yang sangat pokok dalam hukum perjanjian,

yaitu asas konsensualisme, asas kekuatan mengikatnya perjanjian, dan asas

kebebasan berkontrak.25

Adapun asas-asas hukum yang terdapat dalam hukum perjanjian adalah:

1. Asas Konsensualisme

Asas konsesualisme adalah asas yang menyatakan bahwa perjanjian telah

terjadi atau lahir sejak terciptanya sepakat para pihak, artinya suatu perjanjian

telah ada dan mempunyai akibat hukum dengan terciptanya kata sepakat dari para

pihak mengenai hal-hal pokok dan tidaklah diperlukan suatu formalitas.26

25

Purwahid Patrik, Asas Itikad Baik dan Kepatutan dalam Perjanjian, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 1962, Hal 3.

Asas

kesepakatan ini disimpulkan dari Pasal 1320 KUH Perdata dinyatakan bahwa,

untuk sahnya perjanjian diperlukan empat syarat yaitu: sepakat mereka yang

mengikatkan diri, kecakapan untuk membuat suatu perjanjian, suatu hal tertentu

dan suatu sebab yang halal. Pada saat ini ada kecendrungan mewujudkan

perjanjian konsensuil dalam bentuk perjanjian tertulis baik di bawah tangan

maupun dengan akta autentik. Hal ini dimaksudkan untuk mempermudah

pembuktian jika dalam pelaksanaannya nanti salah satu pihak melakukan

pelanggaran. Menurut asas ini perjanjian sudah lahir atau terbentuk ketika para

26

(7)

pihak mencapai kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Walaupun

undang-undang telah menetapkan bahwa sahnya suatau perjanjian harus dilakukan secara

tertulis (seperti perjanjian perdamaian) atau dibuat dengan akta oleh pejabat

berwenang seperti akta jual beli tanah) semua ini merupakan pengecualian.

Bentuk konsensualisme adalah suatu yang dibuat secara tertulis, salah

satunya dengan adanya pembubuhan tanda tangan dari para pihak yang

melakukan perjanjian tersebut. Tanda tangan berfungsi sebagai bentuk

kesepakatan dan bentuk persetujuan atas tempat, waktu dan isi perjanjian yang

dibuat. Tanda tangan juga berkaitan dengan kesengajaan para pihak untuk

membuat suatu perjanjian sebagai bukti atas suatu peristiwa.27 Adapun menurut A. Qirom Syamsudin, Asas konsensualisme mengandung arti bahwa dalam satu

perjanjian cukup ada kata sepakat dari mereka yang membuat perjanjian itu, tanpa

diikuti dengan perbuatan hukum lain kecuali perjanjian yang bersifat formal.28 Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, perjanjian itu sudah mengikat

sejak tercapainya kata sepakat mengenai pokok perjanjian. Dalam Pasal 1320

KUHPerdata ditentukan bahwa perjanjian tidaklah sah tanpa adanya kesepakatan

dari para pihak.

2. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak menurut KUHPerdata, menurut ketentuan

Pasal 1338 ayat 1 KUHPerata dinyatakan bahwa semua kontrak (perjanjian) yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

27

terakhir di akses 9 maret 2014, 14.01 WIB

28

(8)

Sumber dari asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan individu sehingga yang

merupakan titik tolaknya adalah kepentingan individu pula. Dengan demikian

dapat dipahami bahwa kebebasan individu memberikan kepadanya kebebasan

untuk berkontrak.

Berlakunya asas konsensualisme menurut hukum perjanjian Indonesia

menetapkan adanya asas kebebasan berkontrak. Tanpa sepakat dari salah satu

pihak yang membuat perjanjian, tanpa sepakat perjanjian yang dibuat dapat

dibatalkan. Menurut hukum perjanjian di Indonesia seseorang bebas untuk

membuat perjanjian dengan pihak yang di kehendaki nya. Undang-undang yang

mengatur orang-orang tertentu yang tidak cakap untuk membuat perjanjian,

pengaturan hal ini dapat dilihat dalam Pasal 1330 KUHPerdata. Dari ketentuan

ini dapat disimpulkan bahwa setiap orang bebas untuk memilih pihak yang ia

inginkan untuk membuat perjanjian, asalkan pihak tersebut bukan pihak yang

tidak cakap. Bahkan lebih lanjut dalam Pasal 1331 KUHPerdata tersebut, Maka

perjanjian itu tetap sah selama tidak dituntut pembatalannya oleh pihak yang

tidak cakap. 29

Asas kebebasan berkontrak ini mempunyai hubungan yang erat dengan

asas konsensualisme dan asas kekuatan mengikat yang terdapat dalam Pasal 1338

Ayat 1 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua persetujuan yang dibuat secara

sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. “Semua”

mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal ataupun

yang tidak dikenal oleh undang-undang. asas kebebasan berkontrak

29

(9)

(contractvrijheid) berhubungan dengan isi perjanjian yaitu kebebasan menentukan

“apa” dan dengan “siapa” perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang yang dibuat

sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata mempunyai kekuatan mengikat. Dengan

demikian maka asas kebebasan berkontrak adalah salah satu asas yang sangat

penting didalam hukum perjanjian. Kebebasan berkontrak ini adalah perwujudan

kehendak bebas, pancaran hak asasi manusia.30

Asas kebebasan berkontrak (contracts vrijheid atau partijautonomie)

adalah suatu asas yang menetapkan bahwa setiap orang bebas untuk mengadakan

perjanjian apa saja, bebas untuk menentukan isi, luas dan bentuk perjanjian. Asas

ini disimpulkan juga dari Pasal 1338 aayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi

mereka yang membuatnya.”Subektimengatakan, bahwa dengan menekankan kata

“semua”, maka ketentuan tersebut seolah-olah berisikan pernyataan pada

masyarakat bahwa, setiap orang diperbolehkan membuat perjanjian yang berupa

dan berisi apa saja baik yang sudah diatur maupun yang belum diatur dalam

undang-undang.31

Hukum benda menganut sistem tertutup, sedangkan hukum perjanjian

menganut sistem terbuka. Artinya macam- macam hak atas benda terbatas dan

peraturan mengenai hak-hak atas benda itu bersifat memaksa, sedangkan hukum

perjanjian memberikan kebebasan yang seluas-luasnya kepada masyarakat untuk

mengadakan perjanjian yang berisi apa saja, asalkan tidak melanggar ketertiban

30

Mariam Darus Badrulzaman dkk, Perjanjian Kredit Bank, Alumni, Bandung, 1993, Hal 84.

31

(10)

umum dan kesusilaan.32

3. Asas Mengikatnya Perjanjian (Pacta Sunt Servanda)

Pasal-pasal dari hukum perjanjian merupakan hukum

pelengkap (optimal law), yang berarti bahwa pasal-pasal itu boleh disingkirkan

manakala dikehendaki oleh pihak-pihak yang membuat suatu perjanjian. Mereka

di perbolehkan membuat ketentuan - ketentuan mereka sendiri yang menyimpang

dari pasal-pasal hukum perjanjian. Mereka diperbolehkan mengatur sendiri

kepentingan mereka dalam perjanjian-perjanjian yang mereka adakan itu. Asas ini

dalam hukum perjanjian di kenal dengan asas kebebasan berkontrak.

Asas mengikatnya perjanjian adalah asas yang menyatakan bahwa

perjanjian yang dibuat secara sah, mengikat mereka yang membuat sebagai

undang-undang. Dengan demikian para pihak terikat dan harus melaksanakan

perjanjian yang telah disepakati bersama, seperti hal keharusan untuk mentaati

undang-undang.33 Asas kekuatan mengikatnya perjanjian ini disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang

dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang

membuatnya.” Dijelaskan oleh Soedikno Mertokusumo, bahwa bunyi lengkap

adagium tersebut adalah Pacta sunt servanda , yang mempunyai arti bahwa kata

sepakat tidak perlu dirumuskan dalam bentuk sumpah, perbuatan atau formalitas

tertentu agar menjadi kewajiban yang mengikat.34

32Ibid

, hal 13.

33

J. Satrio, (1) Hukum Perikatan yang Lahir dari Perjanjian Buku I, Citra Aditya Bhakti, Bandung,1995, hal 142.

34

(11)

4. Asas Itikad Baik

Asas itikad baik diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata. Asas

itikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama dalam

membuat perjanjian, maksud itikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi

yang baik. Itikad baik dalam pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan

sebagai kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu

diadakan perbuatan hukum. Sedangkan itikad baik dalam perjanjian itu harus

didasarkan pada norma kepaturan atau apa-apa yang dirasa sesuai dengan patut

dalam masyarakat.35

Kemudian menurut Munir Fuady, rumusan dari Pasal 1338 ayat (3)

KUHPerdata tersebut mengidentifikasi bahwa sebenarnya itikad baik hanya

disyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “pembuatan”

suatu kontrak. Sebab unsur itikad baik dalam hal pembuatan suatu kontrak sudah

dapat dicakup oleh unsur “ causa yang legal” dari Pasal 1320 tersebut.36

5. Asas Kepercayaan

Seorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, membutuhkan

kepercayaan diantara kedua belah pihak bahwa satu sama lain akan memegang

janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa

adanya kepercayaan. Kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya

perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.37

35

A. Qiroom Syamsudin, Op.cit., hal 13.

36

Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung 2001, hal 81.

37

(12)

6. Asas Kesetaraan

Asas ini merupakan bahwa para pihak didalam persamaan derajat, tidak

ada perbedaan walaupun ada perbedaan warna kulit, bangsa, kekayaan,

kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya

persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain

sebagai manusia ciptaan Tuhan.38

Asas ini dimaksudkan agar program kemitraan dapat memberikan

hubungan yang asli bagi semua pihak. Karena kemitraan pada hakikatnya adalah

sebuah kerjasama bisnis untuk mendapatkan tujuan tertentu dan antara pihak yang

bermitra harus memiliki kepentingan dan posisi yang sejajar dengan ketentuan ini

maka antara pembuat perjanjian atau para pihak ditekankan pada adanya

kesetaraan dalam posisi tawar atau posisi tawar menawar yang seimbang.39 7. Asas Unconcionability

Menurut Sutan Remy Sjahdeini, unconcinability artinya bertentangan

dengan hati nurani. Perjanjian-perjanjian unconscionable seringkali digambarkan

sebagai perjanjian-perjanjian yang sedemikian tidak adil (unfair) sehingga dapat

mengguncangakan hati nurani Pengadilan (Hakim) atau shock the conscience the

court. Sebenarnya terhadap asas ini tidak mungkin diberikan arti yang tepat, yang

diketahui hanyalah tujuannya yaitu untuk mencegah penindasan dan kejutan yang

tidak adil.40

38Ibid,

hal 88.

39

9 Maret 2014, 17.00

Wib.

40

(13)

Adapun menurut Mariam Darus Badrulzaman, unconcionalbility atau

doktrin ketidakadilan adalah suatu doktrin dalam ilmu hukum kontrak yang

mengajarkan bahwa suatu kontrak batal atau dapat dibatalkan oleh pihak yang

dirugikan manakala dalam kontrak tersebut terdapat klausula yang tidak adil dan

sangat memberatkan salah satu pihak, sungguhpun kedua belah pihak telah

menandatangani kontrak yang bersangkutan. Biasanya doktrin ketidakadilan ini

mengacu pada posisi tawar menawar dalam kontrak yang sangat berat sebelah

karena tidak terdapat pilihan dari para pihak yang dirugikan disertai dengan

klausula dalam kontrak yang sangat tidak adil sehingga memberikan keuntungan

yang tidak wajar bagi pihak yang lain.41 8. Asas Subsidaritas

Asas subsidaritas mengandung pengertian bahwa pengusaha menengah

atau pengusaha besar merupakan salah satu faktor dalam rangka memberdayakan

usaha kecil tentunya sesuai dengan ketentuan kopetensi yang dimiliki dalam

mendukung mitra usahanya sehingga mampu dan dapat mengembangkan diri

menuju kemandirian.42

C. Jenis Perjajian

Dalam hukum perjanjian dibedakan dalam beberapa bagian kelompok

perbedaan berdasarkan kriteria-kriteria tertentu, beberapa perbedaan pembedaan

dimaksud akan diuraikan dalam uraian berikut.

1. Perjanjian Konsensuil dan Riil

41

Meriam Barus Bahrulzaman, Op.Cit., hal 52-53.

42

terakhir diakses 9

(14)

Berdasarkan cara lahirnya perjanjian akan di bedakan atas perjanjian

konsensuil dan perjanjian riil. Perjanjian konsensuil adalah perjanjian dimana

adanya kata sepakat antara para pihak saja sudah cukup untuk timbulnya

perjanjian yang bersangkutan, dan timbulnya perjanjian tersebut ditentukan sejak

detik tercapainya kesepakatan.43 Akibat hukum dan timbulnya perjanjian adalah lahirnya kewajiban bagi salah satu atau kedua belah pihak, oleh karena itu

perjanjian yang bersifat konsensuil juga merupakan perjanjian “obligatoir” (baru

melahirkan kewajiban), sehingga sering dikenal dengan perjanjian konsensuil

obligatoir. Perjanjian riil adalah perjanjian yang baru lahir kalau barang yang

menjadi pokok prestasi telah diserahkan,44

2. Perjanjian Sepihak dan Timbal Balik

artinya dengan tercapainya

kesepakatan para pihak saja belum cukup untuk melahirkan perjanjian riil,

sehingga untuk adanya perjanjian riil harus terpenuhi adanya dua unsur yaitu

sepakat dan penyerahan benda pokok perjanjian. Contohnya pinjam meminjam,

pinjam pakai dan penitipan barang. Pada umumnya, perjanjian-perjanjian khusus

yang diatur dalam Buku III KUHPerdata bersifat konsensuil obligatoir, kecuali

berapa perjanjian tertentu yang bersifat riil.

Berdasarkan perikatan yang timbul dari suatu perjanjian, mengikat satu

pihak saja ataukah mengikat kedua belah pihak, perjanjian dapat dibedakan atas

perjanjian sepihak dan perjanjian timbal balik , yakni perjanjian sepihak adalah

perjanjian yang menimbulkan kewajiban pada salah satu pihak saja sedangkan

pada pihak lain hanya ada hak saja, seperti: hibah, pinjam pakai, perjanjian pinjam

43

Subekti, Op cit., hal 48.

44Ibid

(15)

mengganti, penitipan barang cuma-cuma. Sedangkan perjanjian timbal balik

adalah perjanjian yang menimbulkan hak dan kewajiban terhadap kedua belah

pihak, dengan mana hak dan kewajiban itu mempunyai hubungan satu sama

lainnya, seperti: perjanjian jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan

lain-lain.45 Bentuk perikatan yang paling sederhana, ialah suatu perikatan yang masing-masing pihak hanya ada satu orang dan satu prestasi yang seketika jua

dapat ditagih pembayarannya. Disamping bentuk yang paling sederhana itu

terdapat berbagai macam perikatan lain yang akan diuraikan satu persatu dibawah

ini.46

a. Perikatan Bersyarat (Voorwaardelijk)

Perikatan bersyarat adalah perikatan yang digantungkan pada suatu

kejadian di kemudian hari, yang masih belum tentu akan atau tidak terjadi.

Pertama mungkin untuk memperjanjikan, bahwa perikatan itu barulah akan lahir,

apabila kejadian yang belum tentu itu akan timbul.47

45Ibid,

hal. 42.

Suatu perjanjian yang

demikian akan menggantungkan suatu perikatan pada suatu syarat yang menunda

atau menangguhkan (opschortende voorwaarde). Suatu contoh, apabila saya

berjanji pada seseorang akan membeli mobilnya kalau saya lulus dari ujian, disini

dapat dikatakan bahwa jual beli itu hanya dapat terjadi, kalau saya lulus dari ujian.

Kedua mungkin untuk memperjanjikan, bahwa suatu perikatan yang sudah akan

berlaku, akan dibatalkan apabila kejadian yang belum tentu itu timbul. Disini

46

Subekti, (1),Op.cit., hal 128.

47

(16)

dikatakan bahwa perikatan itu digantungkan pada suatu syarat pembatalan

(ontbidende voorwaarde).48

b. Perikatan yang Digantungkan pada Suatu Ketetapan Waktu

(Tijdsbepaling)

Pasal 1268 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Suatu ketetapan waktu tidak

menangguhkan perikatan, melainkan hanya menangguhkan pelaksanaan

nya.”Suatu perikatan dikatakan sebagai perikatan dengan ketetapan waktu jika

perikatan tersebut menetapkan suatu waktu dalam pelaksanaanny, tetapi

penetapan waktu tersebut tidaklah menunda eksistensi perikatan itu sendiri hingga

waktu yang telah ditentukan tersebut. Perikatan dengan ketetapan waktu adalah

perikatan sederhana yang berlaku seketika pada saat perikatan dibentuk, dengan

pengertian bahwa kewajiban debitor sudah ada semenjak perikatan dibuat, hanya

saja pelaksanaan kewajiban atau prestasi tersebut baru dilakukan pada suatu

waktu yang ditentukan dimasa yang akan datang.49

c. Perikatan yang Membolehkan Memilih (Alternatief)

Ini adalah suatu perikatan, dimana terdapat dua atau lebih macam prestasi,

sedangkan kepada siberhutang diserahkan yang mana ia akan lakukan. Misalnya,

ia boleh memilih apakah ia akan memberikan kuda atau mobilnya atau uang satu

juta rupiah.50

d. Perikatan Tanggung Menanggung (Hoofdelijk atau Solidair)

48

Abdulkadir Muhammad, Hukum Perdata Indonesia, Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2000, hal 52.

49

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Pada Umumnya, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 145.

50

(17)

Suatu perikatan dimana beberapa orang sama-sama sebagai pihak yang

berhutang berhadapan dengan satu orang yang menguntungkan, atau seebaliknya.

Beberapa orang berhak sama-sama menagih suatu piutang dari satu orang. Tetapi

perikatan yang semacam ini belakangan sedikit sekali terdapat dalam peraktek.51 e. Perikatan yang Dapat Dibagi atau yang Tidak Dapat Dibagi

Perikatan yang dapat dibagi-bagi terdapat lebih dari satu kali pelaksanaan

pokok perikatan dengan rumusan Pasal 1296 KUHPerdata dinyatakan bahwa “

Suatu perikatan dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi sekedar perikatan

tersebut mengenai suatu barang yang penyerahannya atau suatu perbuatan yang

pelaksanaannya dapat dibagi-bagi atau tak dapat dibagi-bagi, baik secara

nyata-nyata maupun secara perhitungan.” Perikatan dapat dibagi atau tidak, tergantung

pada kemungkinan tidaknya membagi prestasi. Pada hakekatnya tergantung pula

dari kehendak atau dimaksud kedua belah pihak yang membuat perjanjian.52 f. Perikatan Dengan Penetapan Hukuman (Strafbeding)

Untuk mencegah jangan sampai si berhutang dengan mudah saja

melalaikan kewajibannya, dalam peraktek banyak dipakai perjanjian dimana si

berhutang dikenakan suatu hukuman, apabila ia tidak menjalani kewajibannya.

Hukumhan ini ditetapkan dalam suatu jumlah uang tertentu yang sebenarnya

merupakan suatu pembayaran kerugian yang sejak semula sudah ditetapkan

sendiri oleh para pihak yang membuat perjanjian itu.53

51

Subekti, Op.cit. hal 6.

52

Kartini Muljadi, Op.cit. hal 177.

53

(18)

Menurut ilmu pengetahuan Hukum Perdata perikatan dapat dibedakan

atas beberapa macam, yaitu :54

1) Menurut isi dari pada prestasinya:

a) Perikatan positif dan negatif;

b) Perikatan sepintas lalu dan berkelanjutan;

c) Perikatan alternatif;

d) Perikatan fakultatif;

e) Perikatan generik dan spesifik;

f) Perikatan yang dapat dibagi dan tidak dapat dibagi;

2) Menurut subyeknya:

a) Perikatan tanggung menanggung;

b) Perikatan pokok dan tambahan

3) Menurut mulai berlakunya dan mulai berakhirnya:

a) Perikatan bersyarat;

b) Perikatan dengan ketetapan waktu;

c) Perikatan dengan ancaman hukuman;

Kalau dibandingkan anatara macam-macam perikatan menurut ilmu pengetahuan

dan menurut undang-undang, terdapat adanya beberapa perbedaan dimana

ternyata macam-macam perikatan menurut ilmu pengetahuan hukum perdata lebih

banyak jumlahnya daripada macam perikatan menurut undang-undang. Berikut ini

akan dijelaskan secara singkat tentang macam-macam perikatan menurut ilmu

pengetahuan, yaitu:55

(1) Perikatan Positif dan Negatif

Perikatan positif adalah perikatan dimna prestasinya berupa perbuatan

positif, dimana memberi sesuatu dan berbuat sesuatu. Sedangkan perikatan

54

Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-Asas Hukum Perdata, Alumni, Bandung, Jakarta, 2006, hal 213.

55Ibid,

(19)

negatif adalah perikatan yang prestasinya berupa suatu perbuatan yang

negatif yaitu tidak berbuat sesuatu.56 (2) Perikatan Sepintas lalu dan Berkelanjutan

Perikatan sepintas lalu adalah perikatan yang perbuatan prestasinya cukup

hanya dilakukan dengan satu perbuatan saja dan dalam waktu yang singkat

tujuan perikatan telah tercapai. Sedangkat perikatan berkelanjutan adalah

perikatan yang prestasinya berkelanjutan untuk beberapa waktu, misalnya

perikatan-perikatan yang timbul dari perjanjian sewa menyewa dan

perburuhan (perjanjian kerja).57 (3) Perikatan Alternatif

Perikatan alternatif adalah perikatan dimana debitur dibebaskan untuk

memenuhi satu dari dua atau lebih prestasi yang disebutkan dalam

perjanjian. Namun debitur tidak boleh memaksakan kreditur untuk

menerima sebagian dari barang yang satu dan sebagian dari barang lain.

Bahwa dengan pemenuhan salah satu prestasi tersebut perikatan

berakhir.58

(4)Perikatan Fakultatif

Perikatan fakultatif adalah perikatan yang mempunyai satu objek prestasi.

Dimana debitur mempunyai hak untuk mengganti dengan prestasi yang

lain, Bilamana debitur tidak mungkin memenuhi prestasi yang telah

ditentukan semula. Misalnya debitur diwajibkan untuk menyerahkan

sejumlah beras, bilamana tidak mungkin menyerahkan sejumlah beras

56Ibid,

hal 215.

57

Subekti, (1) Op.cit. hal 136.

58

(20)

maka diganti dengan sejumlah uang. Dengan demikian penyerahan uang

merupakan pengganti dari sejumlah beras, berarti debitur telah memenuhi

prestasi dengan sempurna.59 (5)Perikatan Generik dan Spesifik

Perikatan generik adalah dimana obyeknya hanya ditentukan jenis dan

jumlah barang yang harus diserahkan debitur kepada kreditur, misalnya

penyerahan beras sebanyak 10 ton ( bagaimana kualitas tidak disebutkan).

Sedangkan perikatan spesifik merupakan perikatan dimana obyeknya

ditentukan secara terinci sehingga tampak ciri khususnya. Misalnya

debitur diwajibkan menyerahkan beras sebanyak 10 ton dari cianjur

kualitas ekspor nomor satu.60

(6)Perikatan yang Dapat Dibagi danTtidak Dapat Dibagi

Perikatan yang dapat dibagi adalah perikatan dimana prestasinya dapat

dibagi, pembagian nama tidak boleh mengurangi hakikat prestasi itu.

Sedangkan perikatan yang tidak dapat dibagi adalah perikatan dimana

prestasinya tidak dapat dibagi. Soal dapat atau tidak dapat dibagi

tergantung dari jenis barang yang tersangkut jenis barang didalamnya dan

dapat pula disimpulkan dari maksudnya perikatan untuk menyerahkan 10

ton beras. Karena sifat beras menjadi obyek perikatan yang dapat dibagi.61 (7) Perikatan Tanggung Renteng

Perikatan tanggung menanggung dimana debitur dan/atau kreditur terdiri

beberapa orang. Jika debiturnya yang beberapa orang (dan ini yang paling

59

J.Satrio, (1) Op.cit. hal 132.

60

Subekti, (2) Op.cit. hal 152.

61

(21)

lazim), tiap-tiap debitur dapat dituntut untuk memenuhi seluruh prestasi.

Sedangkan jika kredirurnya yang beberapa orang, tiap-tiap kreditur berhak

menuntut pemenuhan seluruh prestasi. Dengan dipenuhinya seluruh

prestasi oleh salah seorang debitur kepada kreditur. Perikatan menjadi

hapus.62

(8) Perikatan Pokok dan Tambahan

Perikatan pokok dan tambahan adalah perikatan antara kreditur dan debitur

yang berdiri sendiri tanpa bergantung kepada adanya perikatan yang lain,

misalnya perjanjian peminjaman uang. Sedangkan perikatan tambahan

adalah peikatan antara debitur dan kreditur yang diadakan sebagai

perikatan tambahan daripada perikatan pokok, misalnya perjanjian gadai

dan hipotik. Perikatan tambahan ini tidak berdiri sendiri melainkan

bergantung kepaa perjanjian pokok. Sehingga apabila perikatan pokok

berakhir, maka perikatan tambahan juga berakhir.63 (9) Perikatan Bersyarat

Perikatan bersyarat adalah perikatan yang lahirnya maupun berakhirnya

digantungkan pada suatu peristiwa yang belum tentu akan terjadi. Apabi;la

suatu perikatan yang lahirnya digantungkan kepada peristiwa itu

dinamakan perikatan dengan syarat tangguh. Misalnya, A berjanjia akan

memberikan buku-bukunya kepada B apabila ia lulus ujian. Sedangkan

62

Abdulkadir Muhammad, Op.cit. hal 166.

63Ibid,

(22)

apabila suatu perikatan yang sudah ada yang berakhirnya digantungkan

kepada peristiwa itu dinamakan perikatan dengan syarat batal.64 (10) Perikatan Dengan Ketetapan Waktu

Perikatan denga ketetapan waktu adalah perikatan yang pelaksanaannya

ditangguhkan sampai pada suatu waktu ditentukan yang pelaksanaannya

pasti akan tiba, meskipun mungkin belum dapat dipastikan kapan waktu

yang dimaksudkan akan tiba. Misalnya A berjanji akan memberikan semua

buku-bukunya kepada B pada tanggal 1 januari tahun depan (waktunya

ditentukan). Perikatan dengan ketentuan waktu yang tidak dapat

ditentukan waktunya misalnya dalam perjanjian asuransi kematian

(matinya orang pasti tapi tidak dapat dipastikan kapan waktu nya).65

(11)Perikatan dengan Ancaman Hukuman

Pasal 1304 KUHPerdata member definisi perikatan dengan ancaman

hukuman sebagai suatu perikatan yang menempatkan seseorang, sebagai

jaminan pelaksanaan suatu perikatan yang menempatkan seseorang,

sebagai jaminan pelaksanaan suatu perikatan, diwajibkan untuk melakukan

sesuatu, manakala perikatan tersebut tidak dipenuhi olehnya. Dengan

rumusan tersebut, KUHPerdata tidak membatasi jenis hukuman yang dapat

dikenakan, melainkan hanya dengan menyatakan bahwa debitor yang lalai

64

Subekti, Op.cit. hal 45.

65Ibid,

(23)

dapat dikenakan, melainkan hanya dengan menyatakan bahwa debitor

yang lalai dapat dikenakan kewajiban untuk melakukan sesuatu.66

D. Syarat Sahnya Perjanjian

Setiap orang yang melakukan perjanjian selalu dimaksudkan untuk

menimbulkan akibat hukum yang dikehendaki atau yang dianggap dikehendaki.

Agar maksud itu tercapai bila perlu pelaksanaanya dapat di laksanakan melalui

pengadilan, maka perjanjian harus dibuat perjanjian yang memenuhi syarat sahnya

perjanjian. Melalui pasal 1320 KUHPerdata, pembuat undang-undang telah

menetapkan syarat-syarat pokok yang harus dipenuhi agar perjanjian perjanjian

yang mereka adakan menjadi perjanjian yang sah, yakni:67 1. Sepakat mereka yang mengikatkan diri,

2. Kecakapan untuk membuat perjanjian,

3. Suatu hal tertentu,

4. Suatu sebab yang halal,

Ad.1. Kata sepakat merupakan dasar lahirnya suatu perjanjian. Suatu

perjanjian dianggap lahir atau terjadi pada saat dicapainya kata sepakat antara para

pihak yang mengadakan perjanjian. Sepakat atau consensus mengandung

pengertian bahwa para pihak saling menyatakan kehendak masing-masing untuk

menutup sebuah perjanjian dan kehendak pihak yang satu sesuai secara timbal

balik dengan pihak yang lainnya. Pernyataan kehendak tersebut tidak harus

66

Kartini Muljadi, Op.cit. hal183.

67

(24)

dinyatakan secara tegas dengan kata-kata, tetapi dapat juga dilakukan dengan

perbuatan atau sikap yang mencerminkan adanya kehendak untuk mengadakan

perjanjian. Pertanyaannya kehendak yang menghasilkan kesepakatan dapat

dibedakan antara pernyataan kehendak untuk menawarkan dan pernyataan

kehendak untuk melakukan penerimaan.68 Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya mengandung makna bahwa para pihak yang membuat perjanjian telah

sepakat atau ada persesuaian kemauan atau saling menyetujui kehendang

masing-masing, yang di lahirkan oleh para pihak dengan tidak ada paksaan, kekeliruan

dan penipuan persetujuan mana dapat dinyatakan secara tegas maupun secara

diam-diam.69

Ad.2. Syarat kedua untuk sah perjanjian adalah cakap (bekwaam)

merupakan syarat umum untuk melakukan perbuatan hukum secara sah, yaitu

harus sudah dewasa, sehat akal pikiran dan tidak dilarang oleh suatu

perundang-undangan untuk melakukan suatu perbuatan tertentu.70

68

Ratih Kusuma Wardani, Tinjauan Yuridis Persetujuan Tindakan Medis (Informend Consent) diRSUP. Dr. Kariadi Semarang, Tesis Mkn, Universitas Diponegoro, Semarang, 2009, hal 37.

Menurut Pasal 1329

KUHPerdata dinyatakan bahwa “Setiap orang adalah cakap untuk membuat

perikatan-perikatan, jika isi undang-undang tidak dinyatakan tidak cakap”. Dan

ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa menurut undang-undang pada asasnya

setiap orang adalah cakap untuk membuat perjnjian. Dengan kata lain orang yang

tidak cakap, tidak memenuhi syarat untuk membuat suatu perjanjian.Adapun

orang yang tidak cakap menurut Pasal 1330 KUHPerdata dinyatakan bahwa

adapun orang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

69

Riduan Syahrani, Op.cit., hal 206.

70Ibid,

(25)

a. Orang-orang belum dewasa,

b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan,

c. Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang –

undang dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang

telah melarang membuat perjanjian tertentu. Peraturan ini telah dicabut

dengan terbitnya Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963

dan Undang-undang Nomor.1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan.

Ad.3. Syarat ketiga untuk sahnya perjanjian adalah adanya suatu hal

tertentu. Suatu hal tertentu harus ditafsirkan bahwa obyek perjanjian harus

“tertentu”. Sekalipun masing-masing obyek tidak harus individual tertentu,

menurut Pasal 1333 ayat (2) KUHPerdata dinyatakan bahwa semua jumlahnya

boleh tertentu asal kemudian hari dapat ditentukan. Tetapi jika pada saat

perjanjian ditutup obyek sama sekali tidak tertentu atau tidak ada adalah tidak

boleh. Jadi dimaksud dengan “suatu sebab tertentu” adalah paling tidak macam

atau jenis benda dalam perjanjian sudah ditentukan pada saat lahirnya

perjanjian.71

Ad.4. Syarat keempat untuk sahnya perjanjian adalah adanya suatu “sebab

(latin: causa) yang halal (geoorloofde arzaak). KUHPerdata tidak memberikan

rumusan mengenai apa yang dimaksud “suatu sebab yang halal”. Hanya dalam

Pasal 1337 KUH Perdata dinyatakan bahwa “Suatu sebab adalah terlarang

apabila, dilarang oleh undang-undang atau berlawanan dengan kesusilaan atau

ketertiban umum.”. Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa

71

(26)

untuk sahnya suatu perjanjian causa nya harus diperbolehkan, dan sebaliknya

causa yang tidak diperbolehkan adalah apabila dilarang oleh undang-undang atau

bertentangan dengan kesusilaan dan ketertiban umum.

Menurut pendapat Hamaker dan Hotman serta Hoge Raad dalam

Arrestnya tanggal 17 November 1922, yang dimaksud dengan causa perjanjian

adalah tujuan perjanjian, yakni apa yang menjadi tujuan bersama para pihak

dalam membuat perjanjian. Dengan demikian maka yang dimaksud dengan sebab

atau causa yang halal adalah bahwa tujuan perjanjian tidak bertentangan dengan

undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum.72

Dikatakan bertentangan dengan undanng-undang apabila tujuan para pihak

mengadakan perjanjian secara jelas melanggar ketentuan undang-undang, dan

dikatakan bertentangan dengan kesusilaan adalah apabila tujuan para pihak

mengadakan perjanjian bertentangan dengan nilai-nilai positif yang hidup dalam

masyarakat. Sedangkan yang dikatakan melawan ketertiban umum adalah apabila

tujuan dari para pihak mengadakan perjanjian bertentangan dengan hal-hal yang

berkaitan dengan masalah kepentingan umum yakni kedamaian, ketentraman dan

keamanan hidup bemasyarakat.73

Dua syarat yang pertama dinamakan syarat subyektif, karena mengenai

orang-oarang nya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian., sedangkan dua

syarat yang terakhir, dinamakan syarat-syarat obyektif, karena mengenai obyek

dari perbuatan hukum yang dilakukan itu. Tidak terpenuhinya syarat-syarat

tersebut atau salah satu syarat dari syarat tersebut adalah perjanjian tidak sah atau

72Ibid,

hal. 60-72.

73Ibid

(27)

batal. Dalam hal syarat obyektif tidak terpenuhi, perjanjian adalah batal demi

hukum: artinya sejak semula tidak pernah dilahirkan dari suatu perjanjian dan

tidak pernah ada perikatan,. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian

tersebut untuk melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Sedangkan dalam

hal syarat subyektif tidak terpenuhi dalam Pasal 1446 KUHPerdata dinyatakan

bahwa “Semua perikatan yang dibuat oleh anak yang belum dewasa, atau

orang-orang yang berada dibawah pengampuan adalah batal demi hukum dan atas

tuntutan yang diajukan oleh atau dan pihak mereka, harus dinyatakan batal,

semata-mata atas dasar kebelumdewasaan atau pengampuannya.” Perjanjian tidak

batal demi hukum, tetapi dapat dibatalkan, artinya perjanjian itu oleh hukum

dianggap ada sampai salah satu pihak yang tidak cakap atau yang memberikan

sepakat secara tidak bebas meminta pembatalan.74

Perjanjian dapat dibatalkan jika terjadi karena hal-hal sebagai berikut:

1) Kelalaian

Dikatakan lalai melaksanakan kewajibannya dalam sebuah perjanjian,

apabila debitur tersebut dinyatakan lalai dengan suatu surat perintah atau akta.

Dalam Pasal 1238 KUHPerdata dinyatakan bahwa “ Si berhutang adalah lalai,

apabila ia dengan surat perintah atau dengan sebuah akta sejenis itu telah

dinyatakan lalai, atau demi perikatannya sendiri, ialah jika ini menetapkan bahwa

si berhutang akan harus dianggap lalai dengan lewatnya waktu yang ditentukan.”

74

(28)

Surat perintah atau akta tersebut menyatakan secara tegas, bahwa debitur telah

lalai melaksanakan kewajibannya. Selain dengan surat perintah atau akta, lalainya

debitur melaksanakan kewajiban perjanjian juga dapat terjadi secara hukum

dengan lewatnya waktu, yaitu sampai batas waktu yang ditentukan dalam

perjanjian ternyata debitur tidak juga melaksanakan kewajibannya, maka ia

dinyatakan lalai.75 2) Adanya Paksaan

Dalam sebuah perjanjian dikatakan dapat dibatalkan apabila dalam

pembuatan perjanjian tersebut terdapat ancaman, hal tersebut terkait dengan syarat

pertama yaitu sepakat dari para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian

tersebut. Dalam Pasal 1321 KUHPerdata dinyatakan bahwa “ Tiada sepakat yang

sah jika sepakat itu diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan

atau karena penipuan.” Mengenai apa yang dimaksud dengan paksaan itu sendiri

dapat dilihat dalam Pasal 1324 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Paksaan terjadi,

bila tindakan itu sedemikian rupa sehingga member kesan dan dapat menimbulkan

ketakutan pada orang yang berakal sehat, bahwa dirinya, orang-orangnya, atau

kekayaannya, terancam rugi besar pada waktu dekat. Dalam mempertimbangkan

hal tersebut harus diperhatikan usia, jenis kelamin dan kedudukan orang yang

bersangkutan.” Dan dalam Pasal 1325 KUHPerdata dinyatakan bahwa Paksaan

menjadikan suatu perjanjian batal, bukan hanya dilakukan pada salah satu pihak

yang membuat perjanjian, melainkan juga dilakukan terhadap suami atau istri atau

75

(29)

keluarganya dalam garis keatas maupun kebawah. (KUHPerdata Pasal 290 dst,

Pasal 1323, Pasal 1449).

Menurut Elly Erawati dan Herlieno Budino, paksaan dalam KuhPerdata

adalah paksaan secara kejiwaan atau rohani, atau suatu situasi dan kondisi dimana

seseorang secara melawan hukum mengancam orang lain dengan ancaman yang

terlarang menurut hukum sehingga orang yang berada dibawah ancaman tersebut

berada dibawah ketakutan dan akhirnya memberikan persetujuannya dengan tidak

secara bebas.76

3) Adanya Penipuan

Maka jika terdapat unsur paksaan dalam kesepakatan perjanjian

maka perjanjian tersebut dapat dibatalkan.

Suatu perjanjian harus disertai dengan itikad baik goodfaith, (vide Pasal

1338 ayat (3) KUHPerdata). Apabila salah satu pihak mempunyai niat buruk atau

salah satu pihak mempunyai itikad buruk, maka pihak yang bersangkutan sejak

awal ada niat buruk untuk melakukan penipuan dalam suatu perjanjian, sehingga

tidak memenuhi syarat sahnya perjanjian . Artinya perjanjian yang mengandung

unsur penipuan yang dilakukan dan diniatkan oleh salah satu pihak, atau mungkin

kedua belah pihak dalam konteks sebaliknya, tentu tidak memenuhi syarat sah

perjanjian. Namun penipuan tersebut harus dapat dibuktikan unsur penipuannya

dan dapat dibuktikan secara jelas bentuk penipuannya.. Dengan kata lain bilamana

secara umum sepakat tersebut tidak terpenuhi dengan adanya penipuan, maka

perjanjian tersebut dapat dibatalkan (voidable). Namun karena syarat yang

diabaikan adalah syarat subyektif yakni unsur sepakat, maka apabila salah satu

76

Elly Erawati dan Herlien Budiono, Penjelasan Hukum tentang Kebatalan Perjanjian,

(30)

pihak tidak berkenaan dengan perjanjian yang mengandung unsur penipuan

dimaksud, pihak lainnya dapat membatalkan. Maksudnya pihak yang merasa

dirinya dirugikan atas penipuan tersebut dapat melakukan upaya pembatalan, dan

tidak batal dengan sendirinya (null and void).77

Perjanjian tersebut dikatakan sah apabila memenuhi syarat-syarat yang

termuat dalam pasal 1320 KUHPerdata dan dalam pelaksanaannya

memperhatikan pasal 1338 KUHPerdata yag mengandung asas pokok hukum

perjanjian.

E. Saat Lahirnya Perjanjian

Menurut ajaran yang paling tua, haruslah dipegang teguh tentang adanya

suatu persesuaian kehendak antara kedua belah pihak. Apabila kedua kehendak itu

berselisih tak dapatlah lahirnya suatu perjanjian.

Menurut asas konsensualisme, suatu perjanjian lahir pada detik tercapainya

kesepakatan atau persetujuan antara kedua belah pihak mengenai hal-hal yang

pokok dari apa yang menjadi obyek perjanjian. Sepakat adalah suatu persesuaian

paham dan kehendak antara dua pihak tersebut. Apa yang dikehendaki oleh pihak

yang satu, adalah juga yang dikehendaki oleh pihak yang lain, meskipun tidak

sejurusan tetapi secara timbal balik. Kedua kehendak itu bertemu satu sama lain.78 Terdapat beberapa teori mengenai waktu kapan terjadinya kesepakatan:79

1. Teori pernyataan (Uitingstheorie)

77

Abdulkadir Muhammad, Op.cit. hal 102.

78

Subekti, Op.cit., hal 26.

79

(31)

Menurut teori ini, perjanjian telah ada pada saat telah ditulis surat jawaban penerimaan/akseptasi. Pasa saat ini kehendak dari orang yang menawarkan dengan akseptor saling bertemu.

2. Teori Pengiriman (Verzendtheorie)

Teori ini menyatakan bahwa saat pengiriman jawaban akseptasi adalah saat lahirnya perjanjian. Tanggal cap pos dapat digunakan sebagai dasar, sebab sejak saat surat tersebut dikirimkan, akseptor tidak mempunyai kekuasaan lagi atas surat tersebut.

3. Teori Pengetahuan (Vememingsthorie)

Dalam teori ini disebutkan bahwa perjanjian timbul pasa saat jawaban akseptasi diketahui oleh orang yang menawarkan.

4. Teori Penerimaan (Ontavangstheorie)

Saat diterimanya jawaban menjadi patokan saat lahirnya kesepakatan Teori ini tidak mempersalahkan apakah surat tersebut dibuka atau dibiarkan tidak dibuka, namun yang terpenting adalah surat tersebut sampai pada alamat si penerima surat. Selanjutnya oleh Pitlo ditambahkan lagi teori yang lain yakni:80 5. Teori Pengetahuan yang Obyektif (Geobjectiveer Devemrmingsteorie)

Kesepakatan lahir saat yang menawarkan secara obyektif mengetahuai atau menurut akal sehat dapat menganggap bahwa akseptor telah mengetahui atau telah membaca surat penawaran.

6. Teori Kepercayaan (Vertrouwenstheorie)

Kesepakatan dianggap telah terjadi pada saat akseptor percaya bahwa tawarannya itu betul yang dimaksud.Apabila disimpulkan dari pasal 1320 KUHPerdata, yaitu pasal yang mengatur tentang syarat sahnya suatu perjanjian, maka dapat diketahui bahwa hukum perjanjian yang dianut dari BW adalah asas konsensualisme. Artinya bahwa untuk melahirkan suatu perjanjian cukup dengan kata sepakat saja, dan bahwa perjanjian itu sudah dilahirkan pada saat atau detik tercapainya consensus dimaksud. Pada detik tersebut sudah jadi dan mengikat, dan bukan pada detik-detik sesudah atau sebelum tercapainya consensus. Kehendak ini haruslah dinyatakan. Kehendak atau keinginan yang disimpan didalam hati tidak mungkin diketahui oleh pihak lain dank arena nya tidak mungkin melahirkan perjanjian.

80

(32)

Faktor atau unsur manakah dari suatu perjanjian yang menjadikan para

pihak terikat, apakah kehendak atau pernyataannya? Bila ditinjau dari sudut

pandang ini , beberapa teori yang berkaitan, yaitu:81 a. Teori Kehendak (Wilstheorie)

Menurut teori ini perjanjian mengikat apabila kedua belah pihak telah saling bertemu dan perjanjian mengikat atas dasar bahwa kehendak para pihak patut untuk dihormati. Sehingga pada prinsipnya suatu persetujuan yang tidak didasarkan atas suatu kehendak yang benar adalah tidak sah.

b. Teori Pernyataan

Dalam teori ini yang menjadi patokan adaah apa yang ditanyakan oleh seseorang. Bila pernyataan kedua belah pihak sudah saling bertemu, maka perjanjian sudah terjadi dan karenanya mengikat para pihak.

c. Teori Kepercayaan

Teori ini merupakan perbaikan dari teori kehendak dan teori kepercayaan. Dalam teori ini dinyatakan bahwa sepakat terjadi kalau pernyataan kedua belah pihak menurut ukuran normal saling membangkitkan kepercayaan bahwa antara mereka telah terjadi sepakat yang sesuai dengan kehendak para pihak. Pada prinsipnya yang menjadi patokan adalah kepercayaan yang dibangkitkan karena kepercayaan pihak lainnya.

Menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus dianggap

lahir pada saat pihak yang melakukan penawaran (offerte) menerima jawaban

yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah yang dapat dianggap

sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya ia tidak membaca isi surat

tersebut maka itu adalah tanggungannya sendiri.82

Menurut Wirjono Prodjodikoro Ontvangs theorie dan vernentings theorie

dapat dikawinkan demikian rupa, yaitu dalam keadaan biasa perjanjian harus

dianggap terjadi pada saat surat penerimaan sampai pada alamat penawar

81

J. Satrio. (2) Op.cit., hal 139.

82

(33)

(Ontvangs theorie), tetapi pada keadaan luar biasa kepada sipenawar mungkin

dapat mengetahui bentuk isi surat penerimaan pada sampai surat itu sampai pada

alamatnya, melainkan pada waktu beberapa hari kemudian, misalnya karena

berpergian atau karena sakit keras.83

F. Akibat Perjanjian

Semua perjanjian yang dibuat secara sah adalah mengikat para pihak yang

membuat kesepakatan. Hal ini merupakan inti dari Pasal 1338 KUHPerdata

dinyatakan bahwa “Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai

undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Kata ‘berlaku sebagai

Undang-Undang’ disini berarti mengikat para pihak yang menutup perjanjian;

sebagaimana halnya dengan Undang-Undang juga mengikat orang terhadap siapa

Undang-Undang berlaku. Sehingga dapat disimpulkan bahwa dengan membuat

perjanjian maka para pihak seakan-akan menetapkan Undang-Undang bagi

mereka sendiri.84

Salah satu aspek yang sangat penting dalam perjanjian adalah pelaksanaan

perjanjian sebagai salah satu akibat dari perjanjian. Dalam Pasal 1234

KUHPerdata dinyatakan bahwa “Perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu,

untuk berbuat sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu.” Bahkan dapat dikatakan

justru pelaksanaan perjanjian inilah yang menjadi tujuan orang-orang yang

83

Wirjono Prodjodikoro, Op.cit., hal 40.

84

(34)

mengadakan perjanjian, karena justru dengan pelaksanaan perjanjian itu,

pihak-pihak yang membuatnya akan dapat memenuhi kebutuhannya, kepentingannya

serta mengembangkan bakatnya.85

Perjanjian kalau dilihat dari wujudnya adalah merupakan rangkaian

kata-kata yang mengandung janji-janji atau kesanggupan-kesanggupan yang diucapkan

atau dituangkan dalam bentuk tulisan oleh pihak-pihak yang membuat perjanjian.

Dalam perjanjian tercantum hak-hak dan kewajiban para pihak yang

membuatnya.86

Melaksanakan perjanjian berarti melaksanakan sebagaimana mestinya apa

yang merupakan kewajiban terhadap suatu perjanjian itu di buat itu adalah bagian

dari akibat yang diterima dari pembuat perjanjian. Oleh karena itu, melaksanakan

perjanjian adala berbuat sesuatu atau tidak berbuat sesuatu untuk kepentingan

orang lain yakni pihak yang berhak atas pelaksanaan perjanjian tersebut.87

G. Saat Berakhirnya Perjanjian

Mengenai hapusnya perjanjian atau berakhirnya perjanjian di atur pada

Titel ke 4 Buku III KUHPerdata. Masalah ”hapusnya perjanjian” (tenietgaan van

verbintenis) bisa juga disebut “hapusnya persetujuan” (tenietgaan van

overeenkomst). Berarti, menghapuskan semua pernyataan kehendak yang telah

dituangkan dalam persetujuan bersama antara pihak kreditur dan debitur.

Sehubungan dengan hal ini perlu kiranya mendapat perhatian ditinjau dari segi

teoritis, hapusnya persetujuan sebagai hubungan hukum antara kreditur dan

85

Mariam Darus Badrulzaman, (1) Op.cit., hal 102.

86

Riduan Syahrani, Op.cit., hal 244.

87

(35)

debitur dengan sendirinya akan menghapuskan seluruh perjanjian. Akan tetapi

sebaliknya dengan hapusnya perjanjian belum tentu dengan sendirinya

mengakibatkan hapusnya persetujuan. Hanya saja dengan hapusnya

perjanjian,persetujuan yang bersangkutan tidak lagi mempunyai kekuatan

pelaksanaan. Sebab dengan hapusnya perjanjian berarti pelaksanaan persetujuan

telah dipenuhi debitur.88

Dinyatakan dalam Pasal 1381 KUHPerdata, suatu perjanjian berakhir

dikarenakan:

1. Adanya pembayaran;

2. Penawaran pembayaran dikuti dengan penitipan atau penyimpanan;

3. Pembaharuan utang (novasi);

4. Perjumpaan utang (kompensasi);

5. Pencampuran utang;

6. Pembebasan utang;

7. Musnahnya barang yang terutang;

8. Batal/Pembatalan;

9. Berlakunya suatu syarat batal;

10. Lewatnya waktu;

Perincian dalam Pasal 1381 KUHPerdata itu tidak lengkap, karena telah

dilupakan hapusnya suatu perikatan karena lewatnya suatu ketetapan waktu yang

dicantumkan dalam suatu perjanjian. Selanjutnya dapat di peringatkan dalam

beberapa cara yang khusus ditetapkan terhadap perikatan, misalnya ketentuan

88

(36)

bahwa suatu perjanjian “maatschap” atau perjanjian “lastgeving” hapus dengan

meninggalnya seorang anggota maatschap itu atau meninggalnya orang yang

memberikan perintah dan karena curatele pernyataan pailit mengakibatkan juga

hapusnya perjanjian maatschap itu.89 a. Pembayaran

Yang dimaksud dengan undang-undang dengan kata pembayaran ialah

pelaksanaan atau pemenuhan tiap perjanjian secara suka rela, artinya tidak dengan

paksaan atau eksekusi. Jadi perkataan itu oleh undang-undang tidak melulu

ditujukan pada penyerahan uang saja, tetapi penyerahan tiap barang menurut

perjanjian, dinamakan pembayaran, bahkan sipekerja yang melakukan

pekerjaannya untuk majikannya dikatakan “membayar”. Pada asasnya hanya

orang yang berkepentingan saja yang dapat melakukan pembayaran secara sah,

seperti orang yang turut berhutang atau si penanggung (borg). Barang yang

dibayarkan haruslah milik orang yang melakukan pembayaran dan orang itu juga

harus berhak untuk memindahkan barang-barang itu ketangan orang lain.

Pembayaran itu harus dibayarkan kepada si berpiutang atau seorang yang telah

dikuasakan olehnya atau undang-undang, misalnya seorang juru kuasa atau

seorang wali. 90

Mengenai pembayaran sebagai salah satu alasan yang menyebabkan

hapusnya perikatan dapat diketahui dalam Bagian I Bab IV Buku III KUHPerdata,

mulai dari pasal 1328 KUHPedata hingga pasal 1403 KUHPerdata. Diawali

dengan ketentuan Pasal 1382 KUHPerdata dinyatakan bahwa “Tiap-tiap perikatan

89

Subekti, (1) Op.cit., hal 152.

90Ibid,

(37)

dapat dipenuhi oleh siapa saja yangberkrpentingan, seperti orang yang berpiutang

atau orang yang turut menanggung hutang.

Suatu perikatan bahkan dapat dipenuhi juga oleh seorang pihak ketiga

yang tidak mempunyai kepentingan, asal saja pihak orang ketiga itu bertindak atas

nama dan untuk melunasi utang debitor, atau jika ia bertindak atas namanya

sendiri, asal ia tidak menggantikan hak-hak kreditor”. Dengan demikian yang

dimaksud dengan pembayaran adalah pemenuhan perikatan, kewajiban atau utang

debitor kepada kreditor. 91

b. Penawaran Pembayaran Tunai Diikuti oleh Penyimpanan

Ini, suatu cara untuk menolong si berhutang dalam hal si berpiutang tidak

suka menerima pembayaran. Barang yang hendak dibayarkan itu diantarkan pada

si berpiutang atau ia diperingatkan untuk mengambil barang itu dari suatu tempat.

Jikalau ia tetap menolaknya, maka barang itu disimpan disuatu tempat atas

tanggungan si berpiutang. Penawaran dan peringatan tersebut harus dilakukan

secara resmi, misalnya oleh seorang jurusita yang membuat proses verbal dari

perbuatannya itu sedangkan penyimpanan dapat dilakukan di Kepaniteraan

Pengadilan Negeri, dengan diberitahukan kepada si berpiutang. Jika cara-cara

yang ditetapkan oleh undang-undang dipenuhi, dengan disimpannya barang

tersebut, si berhutang telah dibebaskan dari hutangnya. Artinya ia dianggap telah

membayar secara sah.92 c. Pembaruan Hutang

91

Gunawan Widjaja, Hapusnya Perikatan, Grafindo Persada, Jakarta, 2003, hal 13.

92

(38)

Suatu pembuatan baru yang menghapuskan suatu perikatan lama, sambil

sambil meletakkan suatu perikatan baru. Menurut Pasal 1415 KUHPerdata

dinyatakan bahwa, kehendak untuk melakukan suatu pembarun hutang itu,

harus ternyata secara jelas dari pembuatan para pihak (dalam Pasal ini

perikatan akte berarti pembuatan). Suatu pembaharuan hutang misalnya, akan

terjadi jika seseorang penjual barang membebaskan si pembeli dari

pembayaran harga barang, tetapi si pembeli itu disuruh menandatangani suatu

perjanjian pinjaman uang yang jumlahnya sama dengan harga barang itu,

pembaharuan hutang dapat juga terjadi, jika si berhutang dengan persetujuan

si berpiutang diganti oleh seorang lain yang menyyanggupi akan membayar

hutang itu. Disini juga ada perjanjian baru yang membebaskan si berpiutang

yang lama dengan timbulnya perikatan baru antara si berpiutang dengan

orang yang baru itu.93

d. Kompensasi atau Perhitungan Hutang Timbal Balik

Jika seorang yang berhutang, mempunyai suatu piutang pada si berpiutang,

sehingga dua orang itu sama-sama berhak untuk menagih piutang satu kepada

si berpiutang yang lainnya, maka hutang piutang antara kedua orang itu dapat

di perhitungkan untuk suatu jumlah yang sama. Menurut Pasal 1426

KUHPerdata perhitungan itu terjadi dengan sendirinya. Artinya tidak perlu

para pihak menuntut diadakannya perhitungan itu. Untuk perhitungan itu

tidak diperlukan bantuan dari siapapun. Untuk dapat diperhitungkan satu

93

(39)

sama lain, kedua berpiutang itu harus mengenai uang atau mengenai sejumlah

uang yang semacam, misalnya beras atau hasil bumi lainnya dari satu

kwalitet. Lagi pula kedua piutang harus dapat dengan seketika ditetapkan

jumlahnya dan seketika dapat ditagih.94

e. Pencampuran Hutang

Ini, terjadi jika si berhutang kawin dalam pencampuran harta kekayaan

dengan si berpiutang atau dengan si berhutang menggantikan hak-hak si

berpiutang karena menjadi warisnya ataupun sebaliknya.95

f. Pembebasan Hutang

Suatu perjanjian baru dimana si berpiutang dengan sukarela membebaskan si

berhutang dari segala kewajibannya. Pembebasan itu diterima baik oleh si

berhutang. Sebab ada juga kemungkinan seseorang yang berhutang tidak suka

dibebaskan dari hutangnya. Dalam Pasal 1439 KUHPerdata dihnyatakan

bahwa jika si berpiutang dengan sukarela memberikan surat perjanjian hutang

dengan si berhutang, itu dapat dianggap suatu pembuktian tentang adanya

suatu pembebasan hutang. Dalam Pasal 1441 KUHPerdata dinyatakan bahwa

Jika suatu barang tanggungan dikembalikan, itu belum dianggap

menimbulkan persangkaan tentang adanya pembebasan hutang. 96

g. Hapusnya Barang yang Dimaksudkan dalam Perjanjian

94Ibid,

hal 81.

95

J.Satrio, (1) Op.cit.hal 146.

96Ibid,

(40)

Dalam Pasal 1444 KUHPerdatadinyatakan bahwa, Jika suatu barang tertentu

yang dimaksudkan dalam perjanjian hapus atau karena suatu larangan yang

dikeluarkan oleh pemerintah, tidak boleh di perdagangkan atau hilang sampai

tidak terang keadaannya, maka perikatan menjadi hapus, asal saja hapus atau

hilangnya barang tersebut sama sekali di luar kesalahan si berhutang dan

sebelumnya ia lalai menyerahkannya. Bahkan meskipun ia lalai menyerahkan

barang itu, ia pun akan bebas dari perikaan apabila ia dapat membuktikan

bahwa hapusnya barang itu disebabkan karena suatu kejadian diluar

kekuasaannya.97

h. Pembatalan Perjanjian

Kalau yang dimaksudkan oleh undang-undang itu untuk melindungi suatu

pihak yang membuat perjanjian sebagaimana halnya dengan orang-orang

yang masih dibawah umur atau dalam hal terjadi suatu paksaan, kekhilafan

atau penipuan, maka pembatalan itu hanya dpat dituntut oleh orang yang

hendak dilindungi oleh undang-undang itu. Akan tetapi dalam hal yang

dimaksudkan oleh undang-undang itu untuk menjaga ketertiban umum,

sebagaimana hal nya dengan perjanjian-perjanjian yang mempunyai sebab

yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan atau ketertiban umum,

maka pembatalan itu dapat dimintakan oleh siapa saja asal mempunyai

kepentingan. Penuntutan pembatalan yang dapat diajukan oleh salah satu

pihak yang merasa dirugikan, karena perjanjian itu harus dilakukan dalam

97

(41)

waktu lima tahun, waktu mana yang diperoleh seseorang dalam membuat

perjanjian yang dibuat oleh seorang yang belum dewasa dihitung dari orang

itu menjadi dewasa dan dalam hal suatu perjanjian yang dibuat karena

kekhilafan ataupun penipuan ini diketahui nya. Penuntutan pembatalan akan

tidak diterima oleh hakim, jika ternyata sudah ada penerimaan baik dari pihak

yang dirugikan. Karena orang yang telah menerima baik sutu kekurangan atau

suatu perbuatan yang merugikan padanya, dapat dianggap telah melepaskan

haknya untuk meminta pembatalan.98

Selain cara-cara diatas, ada cara-cara lain yang tidak disebutkan, misalnya:

berakhirnya suatu ketetapan waktu dalam suatu perjanjian atau meninggalnya

salah satu pihak dalam beberapa macam perjanjian, seperti meninggalnya seorang

persero dalam suatu perjanjian firma dan pada umumnya dalam perjanjian dimana

prestasi hanya dapat dilaksanakan oleh si debitur sendiri dan tidak oleh seorang

lain.99

98

Subekti, (1) Op.cit., hal 161.

99

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan perumusan strategi yang telah dilakukan menggunakan tiga alat bantu (matriks SWOT, matriks IE, matriks grand strategy ), maka alternatif strategi yang

Berdasarkan analisa AHP yaitu dengan menyatukan persepsi beberapa pihak terkait pengelolaan pulau lumpur Sarinah Kabupaten Sidoarjo, urutan prioritas yang dapat

Pendekatan konseptual digunakan peneliti untuk dapat menemukan serta memberi jawaban atas permasalahan- permasalahan hukum, terutama yang terkait dengan akibat hukum

Berdasarkan putusan majelis hakim di Pengadilan Militer (DILMIL) II-09 Bandung Nomor 63-K/PM.II-09/AD/III/2013 Tahun 2013 mengenai dijatuhkannya hukuman pidana mati

Bank adalah lembaga intermediasi keuangan yang menghubungkan pihak yang kelebihan dana (surplus) dengan pihak yang kekurangan dana (minus) dan menyediakan jasa-jasa keuangan

subset of the features that we’d typi- cally find in coalition communication environments—for example, variable levels of interagent trust, differential access to specific bodies

Proses pemasukan data berhasil, kliksimpan, data yang tersimpandalam database Pengamat an Data berhasiltersimpandalam database Kesimpul an Sukses Ubah Data Data

Bentuk semantik dalam novel dapat dipahami melalui penggunaan majas oleh pengarang. Penggunaan majas telah memperkuat makna pesan yang hendak disampaikan oleh Tere