• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEMASUKI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015: KEKUATAN DAN PELUANG BAGI KEBERAGAMAN AGAMA DI ASIA TENGGARA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "MEMASUKI MASYARAKAT EKONOMI ASEAN 2015: KEKUATAN DAN PELUANG BAGI KEBERAGAMAN AGAMA DI ASIA TENGGARA"

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

Edisi Juli-Desember 2015

1

Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia

MEMASUKI MASYARAKAT

EKONOMI ASEAN 2015:

KEKUATAN DAN PELUANG

BAGI KEBERAGAMAN

AGAMA

DI ASIA TENGGARA

K

omunitas Ekonomi ASEAN, atau lebih di kenal de ngan sebutan Masyarakat Eko­ no mi ASEAN (MEA) yang me­ rupakan salah satu dari tiga pilar Ko munitas ASEAN, telah digulir­ kan akhir tahun ini. Dua pilar lain­ nya, yakni Komunitas Keamanan ASEAN dan Komunitas Sosial Bu daya ASEAN, tentu saja sangat ber kaitan erat dengan MEA. Indo­ nesia, mau atau tidak mau, siapa tau tidak siap, harus menerima dan ha­ rus siap menjadi bagian dari realitas ini. Karena, pada dasarnya tujuan dari MEA adalah mulia, yakni demi meningkatkan stabilitas perekono­ mian di kawasan ASEAN.

Di tengah kelemahan, keku­ rangan dan tantangan yang diha­ dapi, seperti sebagian sudah di­

bahas dalam Newsletter Interfidei

edisi pertama tahun ini, kita harus tetap optimis karena Indonesia punya kekuatan dan peluang yang besar, bahkan paling besar di antara negara­negara lain di kawasan Asia Tenggara.

Kekuatan dan peluang yang jelas­jelas dimiliki Indonesia ada­ lah kekayaan sumber daya alam yang melimpah ruah, sumber daya manusia yang juga melimpah dan

ENTERING THE 2015

ASEAN ECONOMIC

COMMUNITY:

STRENGTHS AND

OPPORTUNITIES FOR

RELIGIOUS DIVERSITY IN

SOUTHEAST ASIA

T

he ASEAN Economic Com­ mu nity, better known in Indo­ nesia as Masyarakat Eko ­ nomi ASEAN (MEA) makes up one of the three pillars of the ASEAN Community that was rolled out at the end of this year. The two other pillars, namely the ASEAN Security Community and the ASEAN Socio­ Cultural Com munity, are of course closely associated with the MEA. Whether Indonesia is ready and willing or not, it must accept this new found reality and be fully pre­ pared to be a part of it. MEA pur­ pose’s is indeed a noble one, i.e. to in crease economic stability in the ASEAN region.

In the depths of the weaknesses, shortcomings and challenges faced, such as those previously discussed

in the first edition of Interfidei’s

Newsletter, we must remain opti­ mistic. Indonesia is fortunate in that it possesses great strength and opportunity, possibly some of the greatest compared to its Southeast Asian neighbors.

These strengths and opportu­ nities come in the form of Indone­ sia’s abundant rich natural resourc­ es, abundant human resources and

EDITORIAL

Otto Adi Yulianto Elga Sarapung

Eko Putro Mardianto Fita Andriani

Diterbitkan oleh

Institut DIAN/Interfidei

Jl. Banteng Utama 59 Perum Banteng Baru Yogyakarta, 55581, Indonesia

Phone: 0274­880149

Newsletter Interfidei No. 2/XXIV Juli - Desember 2015

(2)

Interfidei newsletter

Editorial

its cultural, religious and social diversity. With a total population of over 250 million and a market share of over 625 million people, it is clear that Indonesia pos­ sesses a wider opportunity to enter into the ASEAN or even the global market. Additionally, socio­reli­ gious life in Indonesia is relatively stable, although it must be acknowledged that there remained many cas­ es of intolerance and violence carried out in the name of religion during 2015 (see for example the Wahid Institute’s Annual Report ­ http://www.wahidinsti­ tute.org/wi­id/laporan­dan­publikasi/laporan­tahu­ nan­kebebasan­beragama­dan­berkeyakinan.html), that can strengthen the security and stability of the Southeast Asian region, one the requirements for in­ creased economic stability in the region.In this con­ text, Indonesia also has the opportunity to become a model for inter­religious tolerance and peace in the midst of increasing radicalism and violence in the name of religion, as seen in many parts of the world.

The question remains, how can these strengths and opportunities be best managed and utilized so that

the MEA can be realized and its benefits felt by the

people of Indonesia as well as the people of ASEAN more broadly? This second edition of our Newsletter for this year attempts to peel back the layers on this issue, with a focus piece by Dedi Dinarto. We will

also provide a snapshot profile of PELITA, a small

interfaith youth community from Cirebon. Meanwhile the chronicals will present the various activities of

Interfidei across the July-December period 2015.

Happy reading! kemajemukan masyarakat, buda ya dan agama. Jum­

lah penduduk Indonesia yang lebih dari 250 juta den­ gan pangsa pasar ASEAN sekitar 625 juta orang, jelas menjadikan Indonesia memiliki kesempatan yang lebih luas untuk memasuki pasar ASEAN, bahkan pasar global. Selain itu, kehidupan sosial­keagamaan masyarakat Indonesia yang relative stabil, meskipun tetap harus menjadi catatan akan realitas masih ban­ yaknya kasus into leransi dan kekerasan atas nama ag­

ama sepanjang tahun 2015 (lihat misalnya Laporan

Tahunan dari The Wahid Institute ­ http://www.wa­ hidinstitute.org/wi­id/la poran­dan­publikasi/lapo­ ran­tahunan­kebebasan­beragama­dan­berkeyak­ inan.html) yang dapat memperkuat stabilitas keaman­ an di wilayah Asia Tenggara, dimana ia merupakan salah satu syarat agar stabilitas ekonomi meningkat. Dalam konteks ini, Indonesia juga berpeluang men­ jadi model bagi toleransi dan perdamaian antar umat beragama di tengah semakin meningkatnya radika­ lisme dan kekerasan atas nama agama di berbagai belahan di dunia.

Pertanyaannya,bagaimana kekuatan dan peluang tersebut dikelola dan dimanfaatkan semaksimal mung­ kin sehingga MEA dapat terwujud dan manfaat nya dirasakan oleh rakyat Indonesia khususnya dan rakyat di negara­negara ASEAN umumnya? Newsletter Edisi Kedua tahun 2005 ini coba mengupas soal ini, khususnya dalam rubrik Fokus dengan menampilkan

artikel dari Dedi Dinarto. Rubrik Profil menampilkan PELITA, sebuah komunitas pemuda antariman

di Cirebon. Rubrik Kronik menyajikan beragam

kegiatan Interfidei sepanjang Juli-Desember 2015.

Selamat membaca!

“Buku saku ini memuat uraian singkat mengenai bagaimana

aga ma ­agama memandang keberagaman (diversity) dan pluralisme, apa landasan teologis dan praksisnya, bagaimana landasan tersebut dimaknai dan diimplementasikan dalam konteks kekinian.”

Judul : Pluralisme dalam Perspektif Agama­Agama dan Keyakinan

Jumlah hlm. : ix + 166 halaman

Bahasa : Indonesia

Penulis : Riaz Muzaffar, dkk.

Editor : Elga Sarapung & Wiwin Siti Aminah R

Penerbit : Interfidei

Tahun terbit : 2015

Cetakan ke­ : 1

(3)

Edisi Juli-Desember 2015

Interfidei newsletter

3

Focus

ASEAN SOCIO-CULTURAL COMMUNITY

(ASCC) DAN DIALOG ANTAR-AGAMA:

SEBUAH TINJAUAN KRITIS

Oleh : Dedi Dinarto1

Pengantar

B

erakhirnya tahun 2015 menja­ di titik awal bagi integrasi masyarakat ASEAN yang me­ nekankan aspek ‘people­centered’ se­ bagai fokus baru di kawasan. Beberapa dokumen ASEAN telah memasukkan istilah ini dengan tujuan agar pro­ gram­program yang diimplementasikan tidak hanya berorientasi pada pem ba­ ngunan negara, akan tetapi juga melibat­ kan masya rakat dalam proses integrasi. Merespon hal tersebut, ASCC dibentuk guna memberi celah partisipasi dan

manfaat bagi masyarakat, berkelanjutan, kuat, dan di­ namis. Namun, hingga saat ini, terminologi ‘komuni­ tas’ ini tidak diletakkan senyatanya untuk mengatasi permasalahan sosial. Di sisi yang lain, ASCC hanya merupakan pelengkap untuk meningkatkan sentimen dan mobilisasi tenaga kerja di kawasan. Maka dari itu, perlu ada kajian untuk melihat sejauh mana ASCC be­ nar­benar merangkul konteks ‘komunitas’.

Berhubungan dengan isu sosial, artikel ini akan mengangkat pentingnya dialog antar­agama dalam menciptakan masyarakat ASEAN yang harmonis dan rukun. Kondisi nyata menggambarkan bahwa

konflik antar-agama kerap terjadi di Asia Tenggara. Misalnya, konflik antara umat Islam dan Kristen di

Indonesia, umat Buddha dan Islam Patani di Thailand, umat Buddha dan Islam Rohingya di Myanmar, umat Islam Mindanao dan Kristen Katolik di Filipina, dan sebagainya. Untuk itu, keberadaan ini tidak se­ ha rusnya dipandang hanya sebagai keberagaman semata, akan tetapi perlu untuk disusun dalam kon­ teks pluralistik yang mengakomodasi eksistensi dari seluruh agama.

Kendati demikian, pembahasan ini perlu untuk digiring pada beberapa pertanyaan lanjutan, yakni se­ jauhmana ASCC telah menjamin toleransi antar­aga­ ma, dan bagaimana seharusnya masyarakat berperan dalam memperkuat agenda dialog antar­agama?

1 Asisten Peneliti pada ASEAN Study Centre (ASC), Fakultas Sosial dan

Ilmu Politik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.

ASEAN SOCIO-CULTURAL COMMUNITY

(ASCC) AND INTER-RELIGIOUS DIALOGUE:

A CRITICAL REVIEW

By : Dedi Dinarto1

Introduction

T

he end of 2015 was the starting point for the integration of an ASEAN community that empha­ sizes a ‘people­centered’ approach as the new focus in the region. A number of ASEAN documents have utilized this term in order to implement programs that not only focus on the develop­ ment of a country, but also involve the community in this integration process. In response to these issues, the ASCC was formed to provide a space for par­ ticipation and its consequential bene­

fits for society, sustainability, strength and dynamism.

However, up until now, the terminology of ‘communi­ ty’ has not been properly applied to overcome social problems. The ASCC is only an additional method to enhance community sentiment for the mobilization of manpower in the region, it is not a solution in itself. As such, research is required to see how well the ASCC can truly embrace the terminology of ‘community’.

In relation social issues, this article will focus on the importance of inter­religious dialogue to create a harmonious society and a harmonious ASEAN. Real world conditions demonstrate that inter­religious

conflicts frequently occur in Southeast Asia. For example, the conflict between Muslims and Christians

in Indonesia, Buddhists and Pattani Muslims in Thailand, Buddhists and Rohingya Muslims in Myanmar, Mindanao Muslims and Catholic Christians in the Philippines, and so on. The presence of such

conflicts should not only be understood as the effects

of diversity alone, but also needs to be arranged or analyzed in a pluralistic context that accommodates the existence of all religions.

Nevertheless, a discussion is necessary for dis­ covering some follow­up questions, namely how well has the ASCC been able to guarantee inter­religious tolerance, and what role the community should play in strengthening the inter­religious dialogue agenda?

1 Assistant Researcher at the ASEAN Study Centre (ASC), Faculty of So­

(4)

Interfidei newsletter

Fokus

Membaca Relevansi AsCC

Pembentukan ASEAN Socio­Cultural Commu­ nity (ASCC) diinisiasi sebagai upaya untuk men­ cip takan suasana bagi setiap orang, agar merasa sebagai bagian dari masyarakat ASEAN, dan mencari jalan keluar atas permasalahan sosial yang cukup kompleks di kawasan. Turunan dari dua tujuan ini telah dijabarkan di dalam Cetak Biru ASCC 2025 secara detail guna menciptakan masyarakat ASEAN yang inklusif, berkelanjutan, kuat, dan dinamis.

ASCC juga secara spesifik menaruh perhatian pada

isu toleransi, pemahaman, dan penghormatan sebagai bentuk penyesuaian terhadap multikulturalisme dalam salah satu tolak ukur strategis, yakni ‘Menuju ASEAN yang Adaptif dan Terbuka’. Dengan kata lain, ASCC berupaya untuk menjamin adanya keharmonisan dalam masyarakat ASEAN.

Di dalam Cetak Biru ASCC 2025, salah satu isu yang dianggap penting guna menciptakan masyarakat ASEAN yang terbuka dan adaptif adalah isu antar­ agama. Isu ini dianggap penting guna mendorong adanya budaya toleransi, pemahaman, penghormatan terhadap agama, dan dialog antar­agama. Menurut David Burrell, dialog antar­agama adalah sebuah upaya menciptakan jalan baru untuk memahami diri sendiri dan orang lain sehingga dapat menciptakan jalur persahabatan dan apresiasi antar umat beragama (Burrell, 2004:196). Sebagai salah satu ikhtiar un­ tuk saling bertukar pengetahuan dan pemahaman an tara agama yang satu dengan yang lainnya, dialog antar­agama kerap diselenggarakan dengan melibat­ kan berbagai tokoh agama guna menghindari mis­ interpretasi. Dengan kata lain, upaya pluralistik ini

diadakan untuk mereduksi konflik antar agama.

Pa-da titik ini, ASCC telah menjamin aPa-danya peluang untuk memperkuat isu antar agama sebagai salah satu penyokong terciptanya keharmonisan di ASEAN.

Dalam segi implementasi, poin mengenai isu antar­ agama telah diupayakan jauh sebelum dipublikasinya Cetak Biru ASCC oleh Indonesia. Wujud komitmen Indonesia untuk melaksanakan poin dalam ASCC tersebut adalah dengan menjadi tuan rumah pertama penyelenggara Bali Interfaith Dialogue di bawah Asia­Europe Meeting (ASEM). Tidak hanya itu, pas ca penyelenggaraan, Indonesia menetapkan ini­ siatif untuk membangun International Center for Religious and Cultural Cooperation (The Jogja Center). Di sisi yang lain, Filipina juga menunjukkan komitmennya dengan menjadi tuan rumah ketujuh untuk forum internasional yang sama. Kelebihan dari

Understanding the Relevance of the AsCC

The ASEAN Socio­Cultural Community (ASCC) was initiated as part of attempts to create an inclusive culture for all people such that all people could feel

part of the ASEAN community and to find a way

out of the fairly complex social problems existent within the region. By­products or results from these two goals have been outlined in detail in the ASCC 2025 Blueprint, in an attempt to create an ASEAN community that is inclusive, sustainable, strong and

dynamic. The ASCC is specifically concerned with

issues of tolerance, understanding, and respect as part of its promotion of multiculturalism and one of its strategic benchmarks, namely ‘Towards an Adaptive and Open ASEAN’. Put simply, the ASCC seeks to ensure harmony within the ASEAN community.

In the ASCC 2025 Blueprint, one of the key issues

identified in the creation of an ASEAN community

that is open and adaptive ASEAN is inter­religious issues. The handling of these issues is considered important in order to encourage a culture of tolerance, understanding and respect towards religion and inter­ religious dialogue. According to David Burrell, interreligious dialogue is a means to create a new way to understand ourselves and others so as to create a path of friendship and appreciation among religions (Burrell, 2004:196). As part of an initiative to share knowledge and understanding among religions, inter­ religious dialogue is often conducted with religious leaders in order to avoid misinterpretation. In other words, a pluralistic approach is taken in order to

reduce any conflict between religions. At this point,

the ASCC has, at the very least, guaranteed an opportunity for the strengthening of inter­religious issues as one of the proponents in the creation of harmony in the ASEAN region.

In terms of the implementation, issues of inter­ religious matters have been pursued long before their publication in the ASCC Blueprint, one behalf of Indonesia. One way Indonesia has shown its commitment to implement the points made in the

ASCC Blueprint is to become the first host organizer

(5)

Edisi Juli-Desember 2015

Interfidei newsletter

5

Focus

penyelenggaraan di Manila adalah adanya rancangan pra­acara yang melibatkan tokoh agama berusia muda untuk berdiskusi dan berdialog. Melalui dua penyelenggaraan ini, Manila lebih menunjukkan adanya keterlibatan masyarakat secara komprehensif dalam isu dialog antar­agama, sedangkan Indonesia hanya diwakili oleh representasi negara.

Namun, dalam konteks ini, persoalan isu antar­ agama masih berada dalam penanganan pemerintah. Pengadaan fora dialog antar­agama cenderung ber­ kesan eksklusif dan tidak melibatkan kelompok­ kelompok lain yang tergolong ‘radikal’. Padahal, di sisi yang lain, isu sosial semacam ini juga menjadi tanggung jawab masyarakat sebagai komunitas ASEAN. Masyarakat sebagai elemen terdekat yang me lingkupi hubungan antar­agama dapat diman fa­ at kan sebagai jalur untuk tidak hanya sekadar mem­ bangun, namun juga memperkuat agenda dialog antar­agama. Di tingkat yang berbeda, hal ini juga dapat mendorong pemaknaan terhadap terminologi ‘komunitas’ dalam ASCC 2025.

Mematahkan Paradigma ‘Elite-Driven’

Dalam teori hegemoni kultural, Antonio Gram­ sci menjelaskan bahwa dalam sebuah struktur ma ­ syarakat, terdapat dua golongan yang dibagi se­ suai tingkatannya, yakni elite dan massa. Gramsci membangun konsep masyarakat modern, dimana elit ditempatkan pada bagian atas sementara massa pada bagian bawah, yang sarat dengan dominasi kelas atas terhadap kelas bawah. Ia mengatakan hal itu sebagai hegemoni. Namun, menurutnya, tatanan semacam ini seharusnya dapat dilawan dengan melihat pada potensi massa sebagai intelektual organik. Dengan

begitu, konfigurasi hubungan antara elit dan massa

dapat diubah melalui dekonstruksi tatanan tersebut.

Demikian pula, dalam beragam diskursus, inte grasi ASEAN cenderung dipandang sebagai sebuah proses penyatuan negara­negara yang berbasis pada intervensi elit. Dirunut dari visi dan misinya, rancangan integrasi ASEAN yang meletakkan kerjasama ekonomi sebagai tujuan utama harus diikuti oleh situasi politik yang stabil di tingkat nasional maupun regional. Dengan begitu, kontrol politik dan dominasi pemerintah adalah konsekuensi logis, dimana pemerintahan yang otoriter mulai berkuasa pasca Perang Dingin.

Namun, implementasi agenda Komunitas ASEAN 2015 di kawasan, dan relevansi mengenai domi nasi pemerintah mulai dipertanyakan ketika krisis ekonomi melanda wilayah Asia Tenggara. Di

the Manila hosted event was the pre­event involving young religious leaders engaging in discussion and dialogue. Through their implementation of these two events, Manila has showed a greater inclination to comprehensively involving the public in issues of inter­religious dialogue, while Indonesia has only ever been represented by state representatives.

In the current context inter­religious issues remain in the hands of the government. Procurement of inter­religious dialogue tends to be exclusive and does not involve other groups that are categorized as ‘radical’. However these kind of social issues are also the responsibility of the people, as members of the ASEAN community. Society, as the closest element that encompasses and experiences interfaith relationships, can be utilized as a pathway to not only build, but also strengthen the agenda of inter­ religious dialogue. It may also encourage a greater meaning to the term ‘community’ in the 2025 ASCC Blueprint.

Breaking the ‘Elite-Driven’ Paradigm

In the theory of cultural hegemony, Antonio Gramsci explains that in the structure of society there are two groups, divided according to level, i.e. the elite and the masses. Gramsci established this concept of a modern society, in which the elite are located on the top while the masses are located at the bottom, is full of high class domination over the lower class. He says, this is like a hegemony. According to him, such a system should be combated by looking at the potential of the masses as organic intellectuals. By doing so, the configuration of the relationship between the elite and the masses can be changed through the deconstruction of social order.

Similarly, in various discourses, ASEAN inte­

gration tends to be seen as a process of unification of

states based on elite intervention. Stemming from its vision and mission, the projected ASEAN integration places economic cooperation as the main objective, to be followed by stable political regimes at the national and regional levels. In doing so, political control and government domination is a logical consequence, such as that seen post Cold War when authoritarian governments came to power.

(6)

Interfidei newsletter

Fokus

saat yang sama, perluasan jaringan masyarakat dalam bentuk kerjasama antar lembaga swadaya masyarakat

(LSM), aktivis, dan stakeholders lainnya mulai intensif

dikerjakan oleh masyarakat. Beberapa LSM yang aktif dalam isu antar-agama, antara lain Asia Pacific Interfaith

Network yang menaruh perhatian pada isu antar­agama di kawasan ASEAN, Asian Resource Foundation yang mendirikan kantor di wilayah Myanmar dan Thailand,

dan International Center for Law and Religion Studies

yang bekerja sama secara intensif dengan Human Rights Working Group (HRWG) dan Coalition of Indonesian NGOs for International Human Rights Advocacy di Asia Tenggara. Paling tidak, hal ini menunjukkan tum buhnya kesadaran kelas di tingkat massa ter hadap kegagalan pemerintah negara ASEAN dalam menangani persoalan antar­agama. Maka dari itu, momentum ini patut dilihat sebagai modal untuk menginisiasi dekonstruksi tatanan pemerintahan yang cenderung solid dan kaku.

Pentingnya Kebebasan Berpendapat

Dalam tataran linguistik, untuk membangun sebuah wacana yang berkaitan dengan isu­isu sosial, tidak terkecuali isu antar­agama, maka setiap individu atau kelompok perlu berdialog guna membaca ulang titik singgung di antara perbedaan yang ada. Upaya dialektis ini cenderung dikemas dalam bentuk dis­ kusi guna mencapai inter­subjektivitas (kese pakatan antara subjek­subjek terhadap nilai tertentu). Namun, ji ka berbincang soal kebebasan berpendapat di ASEAN, maka sesungguhnya kebebasan berpen da­ pat merupakan persoalan krusial untuk dibahas.

Untuk mendorong adanya dialog antar­agama yang intensif di wilayah Asia Tenggara adalah tan­ tangan besar bagi masyarakat di negara­negara semi­ demokratis atau monarki, seperti Malaysia, Myanmar,

Laos, Thailand, Singapura, Brunei Darussalam,

Kam-boja, dan Vietnam. Kekuasaan mutlak yang dipegang oleh pemerintah cenderung membatasi ruang gerak masyarakat, sehingga kesadaran intelektual yang muncul pun tidak dapat berkembang menjadi suatu

political force yang memadai. Tanpa adanya political force, maka pewacanaan mengenai pentingnya dialog

antar-agama guna mencegah terjadinya konflik di

tingkat nasional akan sangat sulit diadvokasikan.

Namun, di sisi yang lain, sebagai salah satu negara yang telah menaruh perhatian besar pada isu antar­agama, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi promotor penguatan dialog antar­agama di tingkat regional. Diwakili oleh AM Fachir, sebagai Wakil Menteri

social networks in the form of cooperation between non­governmental organizations (NGOs), activists, and other stakeholders has begun to be realized by communities. A number of NGOs are active on inter­

religious issues, including the Asia Pacific Interfaith

Network that pays close attention to inter­religious issues in the ASEAN region, the Asian Resource

Foundation that has established offices in the territory

of Myanmar and Thailand, and the International

Center for Law and Religion Studies that works

closely with the Human Rights Working Group (HRWG) and the Coalition of Indonesian NGOs for International Human Rights Advocacy in South­East Asia. At the very least, this shows how the masses are becoming aware of the failures of the ASEAN governments in addressing inter­religious issues. In this context, the momentum observed should be seen as an asset or a tool to initiate the deconstruction of a solid and rigid system of government.

The Importance of freedom of Opinion

From a linguistic level, to build a discourse related to social issues, including inter­religious issues, every individual or group needs to engage in dialogue in order to reinterpret the signs of the existing diversity. This dialectical effort tends to come in the form of discussion, for the achievement of inter­subjectivity (agreement between subjects regarding certain values). Indeed freedom of speech in ASEAN is a crucial issue to be discussed.

Encouraging the presence of intensive inter­ religious dialogue in the Southeast Asian region is a major challenge for societies in these semi­democratic or monarchial countries, such as Malaysia, Myanmar,

Laos, Thailand, Singapore, Brunei Darussalam,

Cambodia, and Vietnam. The absolute power held by the government tends to limit the space for the public, so that the emerging intellectual consciousness of the

people is not able to develop into a sufficient political

force. Without this political force, the discourse on the importance of inter­religious dialogue for the

prevention of conflict is very hard to advocate at the

national level.

Conversely however, as one of the countries that has paid great attention to inter­religious issues, Indonesia has the potential to become a promoter of strengthening inter­religious dialogue at the regional level. Represented by AM Fachir, Indonesian Deputy Minister of Foreign Affairs, it is argued

(7)

Edisi Juli-Desember 2015

Interfidei newsletter

7

Focus

Luar Negeri Indonesia, ia berpendapat bahwa dialog

antar­agama perlu diintensifkan untuk menghindarkan

munculnya berbagai konflik yang bersinggungan erat dengan agama. Tidak hanya itu, munculnya LSM yang

bergerak di bidang antar­agama, seperti Institute for

Interfaith Dialogue in Indonesia (Interfidei) menjadi

bukti kuatnya komitmen untuk mencari solusi atas permasalahan isu agama di Indonesia. Meskipun demikian, hal ini tidak secara keseluruhan meniadakan

konflik antar-agama di Indonesia.

Pada titik ini, perlu adanya kesadaran untuk memanfaatkan jaringan­jaringan antar­agama yang telah terbentuk sebagai titik awal. Keterlibatan dalam fora semacam ini dapat memberi kontribusi ide kepada masyarakat di negara semi­demokratis atau absolut mengenai kebebasan berpendapat. Dengan kata lain, masyarakat tidak lagi mengandalkan pemerintah untuk belajar memahami ide­ide menge nai kebebasan dan toleransi yang relevan dengan tujuan menciptakan keharmonisan di tingkat negara dan regional. Di saat

yang bersamaan, LSM dan aktivis dapat me man faatkan

kondisi ini untuk memperluas jaringan kerjasama.

Kesimpulan

Maka dari itu, dapat disimpulkan bahwa ASCC telah memberikan fondasi bagi pengupayaan toleransi antar­agama di dalam Cetak Biru ASCC 2025. Namun, hal ini masih berada dalam kendali pemerintah, dimana tidak ada penjaminan secara mutlak atas solusi terhadap permasalahan antar­agama yang ada. Di sisi yang lain, masyarakat perlu untuk membangun kesadaran agar tidak terjebak dalam kondisi ‘elite­driven’ dengan cara membentuk dan atau memanfaatkan jaringan antar­ agama yang telah bekerja. Dengan begitu, penguatan masyarakat untuk mendorong upaya dialog antar­ agama di kawasan dapat tercapai. ***

in order to avoid the emergence of conflicts closely

linked to religion. Not only that, the emergence of

NGOs working in the inter-religious field, such as

the Institute for Interfaith Dialogue in Indonesia

(Interfidei) is proof of the strong commitment to finding solutions to religious problems in Indonesia.

Although these are positive steps in the right

direction, the issue of inter-religious conflict in

Indonesia remains.

At this point, we need to be aware that our starting point should be to utilize inter­religious networks that already exist. Involvement in areas such as these can contribute ideas to society in a semi or absolute democratic state regarding freedom of speech. In other words, people no longer need rely on the government to learn and understand ideas of freedom and tolerance, ideas that are highly relevant to the goal of creating harmony at the national and regional level. At the same time, NGOs and activists can take advantage of these conditions to expand their collaboration networks.

Conclusion

Therefore, it can be concluded that the ASCC has provided a foundation for the insistence on inter religious tolerance in the form of the ASCC 2025 Blueprint. However, the issue is still under the control of government, where there is no absolute guarantee

of finding a solution to existing inter-religions

problems. Rather the community needs to build awareness so as not to get stuck in an ‘elite ­driven’ culture by establishing and or taking advantage of inter­religious networks that have already proved fruitful. By doing so, the strengthening of societies to encourage inter­religious dialogue efforts in the region, can be achieved. ***

Judul : Soal-Soal Teologis dalam Pertemuan antar Agama Jumlah hlm. : xi + 92 halaman

(8)

Interfidei newsletter

Profil

PEMUDA LINTAS IMAN (PELITA),

CIREBON

PELITA adalah organisasi kepemudaan,

yang anggotanya terdiri dari berbagai agama dan kepercayaan. Dirumuskan di GKI Rahmani, Cirebon, pada 17 Oktober 2011 bersama dengan

para Tokoh Agama dan Penghayat, Pemuda Lintas Iman (PELITA) Cirebon, lahir. Kami mempunyai

mimpi besar untuk menjalin hubungan lebih luas dan hangat, saling memahami dan bahu­ membahu dalam membangun bangsa, terutama di Cirebon. Kami selalu melakukan kegiatan bersama­sama tanpa memandang agama dan keyakinan. Dengan ini, kami berharap akan terbangun toleransi dan kebersamaan.

Hari sumpah Pemuda: Titik Pijakan Awal

Inisiasi bermula saat kami menerima pesan singkat dari KH. Marzuki Wahid. Redaksi dari pesan tersebut berisi ajakan, sekaligus tawaran untuk mengadakan

kegiatan peringatan Hari Sumpah Pemuda ‘Lintas

Iman’. Pasalnya, organisasi kepemudaan yang ber­ basis lintas iman di Wilayah III Cirebon belum per­ nah ada, dan gerakan­gerakan pemuda yang meng­ usung toleransi dan perdamaian masih terasa sunyi­ senyap. Alhasil, proses urun­rembug berjalan lancar. Pemilihan tanggal 28 Oktober 2011 menjadi titik

awal deklarasi PELITA.

Tak semudah membalikkan telapak tangan, saat proses awal mula merumuskan gagasan tersebut. Pertemuan pertama, hanya perwakilan pemuda Islam yang hadir, sehingga disepakati membuat pertemuan yang kedua di tempat yang sama, yakni di GKI (Gereja Kristen Indonesia) Rahmani Kota Cirebon tanggal 18 Oktober 2011. 22 nama tercatat dalam pertemuan yang kedua, terdiri dari pemuda lintas agama, yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu dan Buddha.

Pertemuan tersebut menghasilkan kesepakatan secara aklamasi terpilihnya Devida sebagai ketua

Umum PELITA, YB. Sugianto sebagai wakil ketua,

Bendahara dipegang oleh Maria dan Muhammad Rifqi menjadi Sekertaris. Selama berproses, atas

nama keberagaman, PELITA terlahir. Demi kesadaran toleransi dan perdamaian, PELITA mengabdi untuk

bangsa. Perbedaan adalah Rahmat Tuhan, bukanlah penghalang, apalagi menjadi lawan. Kerukunan antarumat beragama dan keyakinan menjadi kesa­ daran yang senantiasa mengalir di saraf nadi kami: pemuda­pemudi ibu pertiwi. Saling berbagi rasa, tiada prasangka dan curiga, di bawah matahari yang sama, Indonesia tercinta.

INTERFAITH YOUTH (PELITA),

CIREBON

PELITA is a youth organization comprising of

members from various religions and beliefs. With

the help key religious figures and Penghayat, The

Interfaith Youth (PELITA) Cirebon was born on the

17th of October 2011 in the Indonesian Christian

Church (GKI) Rahmani, Cirebon. Our dream is to establish broader and warmer relationships, create a sense of mutual understanding and to work together to help develop this nation, particularly in Cirebon. Our activities are always undertaken together regardless of one’s religion or belief. It is through this approach that we hope to build tolerance and unity.

Youth Pledge Day: The starting Point

The PELITA initiation began after we received

a short message from KH. Marzuki Wahid. The message contained an invitation and an offer to create an ‘interfaith’ tribute for National Youth Pledge Day. The initiative was based on the provision that there had yet to be an interfaith youth organization in the third district of Cirebon and because youth movements promoting tolerance and peace remained voiceless. As a result of this absence, the community

discussion process in the establishment of PELITA

ran smoothly. The 2011, October 28 election marked

the deceleration of PELITA.

It was not easy to formulate the aforementioned concept of an interfaith tribute to Youth Pledge

Day. At the first meeting, only Muslim youth

representatives attended. As such we decided to keep the location for the second meeting the same, namely at the GKI Rahmani Church Cirebon. 22 names of interfaith youth were recorded at the second meeting from various religious groups, including Islam, Protestantism, Catholicism, Hinduism and Buddhism.

The meeting resulted in the unanimous selection

of Devida as the chairman of PELITA, YB Sugianto

as vice chairman, Maria as treasurer and Muhammad

Rifqi as secretary. The creation of PELITA was born in the name of diversity. PELITA is dedicated to serving

the nation in order to achieve tolerance and peace. Diversity is part of God’s grace, not a hindrance nor something to be opposed. The realization of harmony

of religion and belief constantly flows through our

(9)

Edisi Juli-Desember 2015

Interfidei newsletter

9

Profile

Agama diciptakan Tuhan semata­mata karena cinta. Manusia mesti menyemai kasih­sayang, me na­ nam persatuan dan merawat kerukunan. Aga ma untuk kemanusiaan, bukan untuk nyala api permusuhan.

Begitulah semangat PELITA. Seperti cahaya, PELITA hadir demi menyinari kegelapan. Kegelapan

yang timbul dari sikap fanatik dan tindak kekerasan.

Bertepatan dengan Hari Sumpah Pemuda, PELITA

dideklarasikan. Ini sebuah keniscayaan sejarah, bahwa kemudian tonggak penerus bangsa ada di tangan

pemuda. Cita-cita PELITA hari ini, esok dan nanti

adalah demi keutuhan bangsa. Ragam perbedaan ras, suku dan agama semakin mengukuhkan pertalian­erat dan menandaskan bahwa kita semua adalah saudara.

VIsI

Gerakan pemuda independen untuk membangun toleransi dan perdamaian

MIsI

1. Menggali dan melestarikan khazanah spiritual serta kearifan lokal yang mendukung toleransi antar umat beragama dan berkeyakinan;

2. Mensosialisasikan nilai­nilai toleransi dan keberagaman melalui berbagai media;

3. Mempererat persaudaraaan antar umat beragama dan berkeyakinan.

falsafah Logo PELITA1

Logo Utama adalah sebuah obor (Pelita)

1. Dibuat oleh Mursid setiadi dari GKP Cirebon dan Mas Winta dari Penghayat.

Religion was created by God purely out of love. Humans have to grow love, sow unity and protect diversity. Religion is for humanity, not for igniting the

flames of hostility. This is the spirit of PELITA. Like a light, PELITA brightens the darkness, a darkness

that springs from bigotry and violence.

PELITA was formed coinciding with National

Youth Pledge Day. As a historical inevitability, the nation’s successors are the youth. As such, the

purpose of PELITA today, tomorrow and in the future

is national integrity and unity. The diversity of race, ethnicity and religion further strengthens our strong human bonds and stresses that we are all brothers and sisters in humanity.

VIsION

To be an independent youth movement for the development of tolerance and peace

MIsION

1. To explore and preserve the spiritual treasures and local wisdoms which support the tolerance of religion and belief;

2. To spread the values of tolerance and diversity through various media outlets;

3. To strengthen the sense of brotherhood between followers of different religions and beliefs.

The Philosophy behind the PELITA Logo1

(10)

Interfidei newsletter

Profil

yang sedang menyala, memancarkan sinarnya

diselimuti oleh bendera merah­putih. Ujungnya

diikat oleh Pin yang bergambar gapura khas

Cirebon.

Arti lambang :

OBOR/PELITA yang menyala

Sebuah obor/pelita yang sedang menyala, terbagi atas tiga makna lambang

1.1 Api yang menyala

Melambangkan semangat, jiwa yang menyala untuk melaksanakan visi dan misi organisasi. Api kecil yang memancarkan cahaya sehingga pada akhirnya mampu menerangi lingkungan sekitarnya, yaitu sebuah komunitas kecil yang visi dan misinya ingin menyatukan sebuah tatanan hidup terutama di kalangan anak muda, sesama anak bangsa yang dapat hidup rukun, aman dan damai tanpa memandang dari mana dia berasal, dan kepercayaan atau agama yang dianutnya sesuai dengan semangat sumpah pemuda 1928. Api yang menyala digambarkan oleh sebuah ornamen khas batik Cirebonan (mega mendung) beserta warna dasarnya, yakni biru, hal ini

menunjukkan identitas dari “PELITA” yang berasal dari wilayah Cirebon. Lingkaran berwarna kuning

adalah sebuah harapan kemakmuran bagi lingkungan disekitarnya.

The main logo is that of a burning torch whose

light is enclosed by a red and white flag. The base

of this flag is tied together with a pin containing a

picture of the unique Cirebon gateway.

Meaning of the symbols:

Burning torch/light (In Indonesian this translates as

PELITA)

The burning torch/light is symbolic for three reasons:

1.1 The burning flame

This symbolizes the spirit, the souls that burn for the realisation of the vision and mission of the

organization. It is a small flame that emits a light, encompassing its surroundings. This flame represents

the small community with its vision and mission to unite peaceful guidelines among youth and fellow children of the nation so they can live in a state of harmony, security and peace regardless of where they came from, and to unite their beliefs and religions to be in line with the spirit of the 1928 Youth Pledge.

This flame is illustrated by the typical Cierbonian

batik ornament (mega mendung) and its basic blue

colour, indicating “PELITA’s” Cierbonian roots.

(11)

Edisi Juli-Desember 2015

Interfidei newsletter

11

Profile

1.2 Wadah atau dasar dari api

Sebuah tatakan berwarna merah melambangkan, sebuah api semangat sesuai visi dan misi, harus didasari dengan sebuah keberanian, serta didasari oleh jiwa Pancasila yang dilambangkan oleh lima garis putih dibawah wadah api.

1.3 Pegangan Pelita/Obor berwarna hitam.

Adalah sebuah gambar mata pena yang me lam­ bang kan ilmu pengetahuan dan kerja keras. Me nya ta­

kan bahwa “PELITA” selalu mengedepankan pikir an

dalam melaksanakan visi dan misinya lalu dilan jut­ kan dengan bekerja.

1.4 Tulisan “PEMUDA LINTAS IMAN”

Di dalam lingkaran warna kuning adalah nama

organisasi, yang disingkat “PELITA”. “PELITA”

ber makna sebuah alat penerang. Buah karya orga­ ni sasi dapat bermanfaat untuk banyak orang. Ben­ de ra Merah Putih melingkar diikat pin bergambar gapura khas Cirebon. Bendera merah putih yang

1.2 The tip of the torch or flame holder

The red tip of torch or flame holder symbolizes the bravery required to light a flame in accordance with

the vision and mission of the organization, as well as its grounding in the spirit of Pancasila, as indicated by

the five white lines just below the flame holder.

1.3 The black base of the torch

The black base of the torch symbolizes knowledge

and hard work. It suggests that “PELITA” will always put forward thoughts and ideas first in upholding its

vision and mission, and then proceed with the task of implementing these ideas.

1.4 The words “PEMUDA LINTAS IMAN” or “INTERFAITH YOUTH”

In the middle of the yellow circle is the name of the

organization, which can be abbreviated as “PELITA”. “PELITA” often means oil lamp or light. The work done by the organization may be beneficial to a great

(12)

Interfidei newsletter

Profil

melingkupi lambang utama, berarti PELITA berdiri

dan mendasari diri dalam lingkup Negara Kesatuan Republik Indonesia serta falsafah hidup Pancasila dalam melaksanakan visi dan misinya. GAPURA me lambangkan keterbukaan dan persahabatan.

1.5 Tulisan “CIREBON”

Tulisan “CIREBON” berwarna biru adalah tem­ pat di mana organisasi ini dilahirkan. Warna biru me­ lambangkan bahwa Cirebon merupakan kota pantai.

PENGORGANIsAsIAN

Untuk mewujudkan visi dan misi-nya, PELITA

membentuk basis kerja berdasarkan kebutuhan ma­ syarakat dewasa ini:

Pertama, poros Civil-Society

Program dan kegiatan di poros ini memfokuskan diri pada wilayah akar rumput di masyarakat. Fokus poros ini mencakup relasi agama dengan masyarakat dan relasi masyarakat dengan masyarakat. Tujuannya untuk merekatkan jalinan persatuan di antara masing­ masing pemeluk agama dan keyakinan. Untuk po ros ini, tugas diemban oleh dua departemen, yaitu Departemen Bulanan dan Departemen Sosial-Kemasyarakatan

Kedua, PorosPolitical Society

Program dan kegiatan di poros ini memfokuskan diri pada wilayah kebijakan publik dan regulasi hu­ kum di Indonesia. Poros ini fokus pada relasi antara negara­masyarakat­agama, dengan kinerja men­ ca kup dokumentasi dan advokasi dalam konteks Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan. Departemen Parelegal dan Departemen Riset-Kajian Ilmiah me ru­ pakan dua bidang yang bertanggungjawab untuk isu­ isu toleransi dan perdamaian secara kolektif. ***

flag is tied together with a pin containing an image

of the special Cirebon gateway. The red and white

flag that encompasses the main emblem represents the fact that PELITA is based in the United Republic

of Indonesia as well as the fact that it is based on the philosophy of Pancasila in the implementation of its vision and mission. The open gateway (GAPURA) symbolizes openness and friendship.

1.5 The words “CIREBON”

The blue word “CIREBON” is used as it is the birth place of the organization. The blue symbolizes the fact that Cirebon is a city of beaches.

THE sYsTEM:

To realize its vision and mission, PELITA bases

its work on the following needs of society today:

Firstly, the Civil-Society sphere

Programs and activities in this sphere focus on the grass roots level of society and include the relationship between religion and society, as well as people to people relationships. The aim is to glue a fabric of unity among adherents and their respective religions and beliefs. For this sphere, the tasks are to be performed by two departments in the Monthly Departmentand the Community-Social Department.

Secondly, the Political Society sphere

(13)

Edisi Juli-Desember 2015

Interfidei newsletter

13

Chronicle

TRAINING SESSION ON JOURNALISTIC WRITING

“RELIGIOUS PLURALISM AND ISSUES OF FREEDOM OF RELIGION AND BELIEF

IN INDONESIA”

I

n the year 2014 and 2015, Institute DIAN/Interfidei with OASE INTIM Makassar and LAPAR

Makassar hosted a 2 staged workshop to improve the capacity of interfaith networks in South Sulawesi. As part of these aforementioned workshops, participants were invited to visit one of the local media outlets in Makassar, namely Tribun Makassar. The visit was conducted as part of the effort to develop links with the media as well as to encourage the participants to write about their experiences in managing diversity.

Using quality and sharp critical reflection, the hope

was that the participants’ writings would later be widely publicized.

As part of thefollow up on these activities, the 9­11th of August 2015, Institute DIAN/Interfidei create

a journalistic writing training session in Makassar. The session was attended by 20 alumni from the previous workshops. The training is considered important as a number of issues remain relating to religious pluralism whereby freedom of religion and belief continues to bea prominent issue.

PELATIHAN MENULIS JURNALISTIK “PLURALISME AGAMA DAN PERSOALAN

KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN

DI INDONESIA”

T

ahun 2014 dan 2015, Institut DIAN/Interfidei bersama­sama dengan OASE INTIM Makassar

dan LAPAR Makassar mengadakan 2 tahap

loka-karya dalam rangka peningkatan kapasitas jaringan antariman di Sulawesi Selatan. Dalam rangkaian kegiatan tersebut, di antaranya peserta diajak untuk mengunjungi salah satu media cetak di Makassar, yaitu Tribun Makassar. Kunjungan ini dilakukan sebagai upaya untuk membangun jaringan dengan media sekaligus mendorong para peserta untuk menulis pengalaman mereka dalam mengelola

perbedaan dengan refleksi kritis yang baik dan tajam

agar dapat dipublikasikan secara luas.

Sebagai tindak lanjut dari kegiatan tersebut, maka

pada 9-11 Agustus 2015, Institut DIAN/Interfidei

(14)

Interfidei newsletter

Kronik

Hari pertama pelatihan diisi oleh A.S. Kambie dari Tribun Makassar yang membawakan materi tentang apa dan bagaimana peran media dalam persoalan­ persoalan pluralisme agama dan kebebasan beragama dan berkeyakinan di Indonesia. Hari kedua, Redaktur Harian Fajar, M. Basri, memberikan materi mengenai teknik menulis di media massa. Pada sesi ini peserta dilatih untuk menuliskan berita terkait dengan isu kebebasan beragama dan berkeyakinan yang terjadi di Makassar. Hari ketiga, peserta diajak berkunjung ke kantor Harian Tribun Makassar dan Fajar. Metode pelatihan ini diharapkan dapat menjembatani peserta untuk membangun jaringan dengan media yang ada di Makassar. (ME)

The first day was filled by A.S. Kambie from

Tribun Makassar who brought material on how and what the role of the media is on issues of religious pluralism and freedom of religion and belief in Indonesia. On the second day, editor of Harian Fajar (daily newspaper), M. Basri, provided material concerning writing techniques used by the mass media. During this session, participants practiced how to write news stories relating to issues of freedom of religion and beliefs that occurred in Makassar. On the third

day, the participants were invited to visit the office of

Harian Tribun Makassar and Harian Fajar. It is hoped this training method will encourage the participants to build stronger links with the media in Makassar. (ME)

SEMINAR GURU-GURU AGAMA SMA/K SE-KABUPATEN GUNUNG KIDUL

P

ada Rabu, 19 Agustus 2015 Institut DIAN/

Interfidei bekerjasama dengan Kementerian

Agama Kabupaten Gunung Kidul mengadakan Seminar Guru­Guru Agama SMA/K Se­Kabupaten Gunung Kidul dengan tema “Memahami Pendidikan Plu ralisme di Tengah Kemajemukan Bangsa”. Ke­ giatan ini dimulai dengan seminar yang menghadirkan tiga pembicara antara lain Drs. Nur Abadi, MA (Kepala

SEMINAR FOR HIGH SCHOOL TEACHERS OF RELIGION IN GUNUNG KIDUL REGENCY

O

n Wednesday, the 19th of August 2015,

Institute DIAN/Interfidei collaborated with the

(15)

Edisi Juli-Desember 2015

Interfidei newsletter

15

Chronicle

Kementerian Agama Kabupaten Gunung Kidul), Nur Khalik Ridwan (Intelektual muda NU), dan Elga

Sarapung (Direktur Institut DIAN/Interfidei).

Dalam seminar pagi itu Nur Abadi menjelaskan kondisi masyarakat Gunung Kidul yang beragam. Keberagaman tersebut jika tidak dikelola dengan baik

dapat menimbulkan konflik. Maka dari itu menurut

Nur Abadi guru­guru harus bisa mengajarkan toleransi kepada anak didiknya di sekolah.

Selanjutnya Elga Sarapung memberikan penje­ lasan tentang pluralisme dan tantangan yang dihadapi di masyarakat terkait kemajemukan agama, budaya, suku, dan etnis. Elga berharap guru­guru agama mampu menyikapi tantangan yang ada dengan mengem bangkan metode belajar yang kreatif.

Sementara itu, Nur Khalik Ridwan menyoroti bagaimana pendidikan agama juga seharusnya berorientasi pada persoalan kemasyarakatan. Nur Khalik juga berpendapat perlunya pendidikan agama dengan tema­tema yang menjembatani antara hubungan agama dan Pancasila. Menurut Nur Khalik, kedua hal tersebut, saat ini justru berjalan terpisah bahkan kadang bertentangan. Nur Khalik mencontohkan sebuah sekolah di Jawa Tengah yang tidak mau melaksanakan

of Religious Affairs Gunung Kidul Regency), Nur Khalik Ridwan (NU young Intellectual), and Elga

Sarapung (Director of Institute DIAN/Interfidei).

During the morning seminar, Nur Abadi discussed the conditions in Gunung Kidul’s diverse society. This

diversity, if not well managed, can lead to conflict.

Accordingly, Nur Abadi concludes that teachers must teach their students tolerance.

Following the morning session, Elga Sarapung provided an explanation of pluralism and the challenges faced by society in relation to the diversity of religion, culture, race, and ethnicity. Elga hopes teachers of religion are able address these challenges by developing creative learning methods.

(16)

Interfidei newsletter

Kronik

RELIGIOUS LEADERS CONFERENCE AND STRATEGIC MEETING IN PAPUA

F

rom the 6th­9th of September 2015, Institute

DIAN/Interfidei, in cooperation with the Papua Re li gious Leaders Joint Forum (FKPPA),ILALANG

PAPUA and Jayapura City Government, organized

a Religious Leadership Conference in Papua. The

conference involved participants who previously

attended the Religious Leadership Conference in 2014

from 8 Regencies/Cities in the province of Papua, plus one new district, namely Nabire. Besides acting as a follow up to the 2014 Conference, this year’s Conference also intended to provide reinforcement to the participants involved with the Strategic Planning conducted togetherin 2014.The question we must upacara bendera saat hari kemerdekaan dengan alasan

yang bersumber dari agama.

Kegiatan seminar ini dilanjutkan dengan diskusi kelompok bersama fasilitator. Dalam diskusi tersebut ada beberapa hal penting yang dirumuskan oleh guru­guru, antara lain: perlu mengembangkan pendidikan agama yang berorientasi pada nilai­nilai humanisme dengan mencakup pada aspek afektif dan psikomotorik siswa. Selain itu hasil diskusi kelompok juga memunculkan gagasan pentingnya menjalin jejaring guru­guru agama lintas iman untuk meningkatkan interaksi antar guru yang berbeda keyakinan. (WF)

Day flag ceremony, providing an excuse derived from

religious understandings.

The seminar was followed by a group discussion between participants and facilitators. Throughout this discussion a number of important points were formulated by the teachers including the need to develop a religious education orientated towards humanistic values by including the affective and psychomotor aspects of the students. The results of the group discussion also helped to uncover the new idea of establishing a network of interfaith religious teachers in order to improve interaction between teachers of different beliefs. (WF)

KONFERENSI PIMPINAN AGAMA-AGAMA DI PAPUA

T

anggal 6­9 September 2015, Institut DIAN/Inter­

fidei bekerjasama dengan Forum Komunikasi

Para Pimpinan Agama­Agama di Papua (FKPPA),

ILALANG PAPUA dan Pemerintah Daerah Kota

(17)

Edisi Juli-Desember 2015

Interfidei newsletter

17

Chronicle

Strategis yang dilakukan bersama tahun 2014. Apakah kegiatan yang diusulkan waktu itu sudah dilakukan? Bagaimana perkembangannya?.

Selain itu, dalam Konferensi ini peserta diperkaya dengan beberapa materi, yaitu : Keynote Speech dari Kementerian Agama Republik Indonesia, khusus tentang “Tantangan dan Peluang Rancangan UU Perlindungan Umat Beragama”, yang disampaikan oleh Prof. Machasin; “Keprihatinan dan Usaha Agama­Agama untuk Mencapai Papua Tanah Damai” dengan melihat secara khusus beberapa persoalan:

“HIV/AIDS” oleh Dr. Gunawan, “Lingkungan dan

sumber daya alam” oleh Ida Bagus Suta Kertya, “Tantangan, ancaman dan tindakan menghadapi masuknya gerakan radikalisme agama di Tanah Pa­ pua” oleh Toni Wanggay dan “Pendidikan sebagai

fondasi kuat bagi Masyarakat” oleh Uskup Leo Laba Ladjar.

Sesi lain terkait dengan “Menuju Papua Tanah Damai dengan Membangun Masyarakat Indonesia Majemuk Tanpa Kekerasan”, yang di dalamnya juga

membahas tentang perubahan demografi masyarakat

di Tanah Papua serta “Makna Kehadiran Agama­ Agama di Tanah Papua”, yang diisi oleh Sidney Jones, Theo van den Broek dan Neles Kebadabi Tebay.

Yang diharapkan dari kegiatan ini adalah peserta menjadi aktor­aktor yang mampu melaksanakan panggilan agama­agama untuk kemanusiaan dan perdamaian demi terwujudnya Papua menjadi Tanah Damai. (ES)

now ask is, have the activities proposed in 2014 been implemented? What is their progress?

In addition, the participants from the conference wereprovided with various materials including the Keynote Speech from the Ministry of Religious

Affairs of the Republic of Indonesia, specifically

on “The Challenges and Opportunities for the Draft Religious Protection Bill”, which was presented by Prof. Machasin. Participants also received information on “Concerns and Religions Efforts to

Achieve a Peaceful Papua” by looking specifically at

some of the issues including “HIV/AIDS” presented by Dr. Gunawan, “The Environment and Natural Resources” presented by Ida Bagus Suta Kertya,

“Challenges, threats and actions in facing the influx of

radical religious movements in Papua” presented by Toni Wanggay and “Education as a strong foundation

for the People”presented by Bishop Leo Laba Ladjar.

A separate session was focused on the topic,

“TowardsPapua, a Land of Peace, by Building a

Pluralistic Indonesian Society Free of Violence”. The session also looked at the changing demographics

of Papuan society as well as the “Significance of the

Appearance of Different Religions in Papua”, which comprised of contributions by Sidney Jones, Theo van den Broek and Neles Kebadabi Tebay.

(18)

Interfidei newsletter

Kronik

LOKAKARYA PENGEMBANGAN KAPASITAS TAHAP 2

JARINGAN ANTARIMAN DI GORONTALO & KOTAMOBAGU

S

etelah pada bulan Mei lalu diadakan lokakarya pengembangan kapasitas jaringan antariman ta­ hap I di Gorontalo, pada tanggal 14­20 September 2015 diselenggarakan lokakarya tahap 2 di lokasi yang berbeda, yaitu di Kotamobagu, Sulawesi Utara.

Lokakarya diadakan selama 7 hari, lebih singkat dari

lokakarya tahap I, yaitu 10 hari. Karena telah terjalin komunikasi intensif selama 10 hari di Gorontalo, maka para peserta tidak lagi punya halangan untuk menjalin komunikasi yang lebih intens dan tetap fokus pada materi.

Kegiatan tersebut diselenggarakan berkat kerja­

sama antara Institut DIAN/Interfidei Yogyakarta

dengan FIS­Universitas Negeri Gorontalo, Univer­ sitas Dumoga Kotamobagu, Sinode GMIBM, Kota ­

mobagu. Lokakarya ini melibatkan berbagai

stake-holder berpengaruh di Kotamobagu dan di Gorontalo, antara lain dari kalangan FKUB yang diwakili lang­ sung oleh ketua, perwakilan Kementerian Agama dari agama Kristen, Aliansi Masyarakat Adat

CAPACITY BUILDING WORKSHOP STAGE 2

INTERFAITH NETWORK GORONTALO & KOTAMOBAGU

F

ollowing last May’s stage 1 workshop on interfaith

network capacity building in Gorontalo, Interfidei

hosted the second stage between the 14th and 20th of

September 2015 in a different location, namely in Kotamobagu, North Sulawesi. The workshop ran for a total of 7 days, shorter than that of stage 1 which lasted for 10 days. Since intensive communication had already been established during the 10 day period in Gorontalo, the participants no longer faced the hindrance of needing to establish more intense communication links and could thus focus on the material.

This workshop on capacity building was orga­ nized in collaboration between the Institute DIAN/

Interfidei Yogyakarta with the Faculty of Social

Sciences at Gorontalo State University, University Dumoga Kotamobagu and the Clergy of GMIBM (a local Christian Church), Kotamobagu. The workshop

involved various influential stakeholders from

(19)

Edisi Juli-Desember 2015

Interfidei newsletter

19

Chronicle

Bolaangmongondow dan dari Universitas Negeri Gorontalo.

Peserta berasal dari berbagai komunitas, antara lain pemuda gereja GMIBM, Mahasiswa Universitas Dumoga Kotamobagu (UDK), Himpunan Mahasiswa islam (HMI), IAIN Gorontalo dan Universitas Negeri

Gorontalo. Lokakarya kali ini lebih menekankan

pada pendalaman dan penajaman materi yang sudah diperoleh sebelumnya, diantaranya materi Analisis Jaringan dan Stakeholder, HAM, investigasi dan advokasi. Diskusi yang cair dengan dipandu oleh pemateri yang mampu mengarahkan diskusi tak lagi di wilayah permukaan, namun sudah mengarah pada aplikasi nyata sesuai dengan konteks Gorontalo dan Kotamobagu.

Dari lokakarya tahap 2 ini diharapkan peserta memiliki kemampuan kritis­konstruktif dalam meng implementasikan pengetahuan yang sudah di­

per oleh. Lebih jauh diharapkan kelompok pemuda

berbasis antariman yang sudah ada di Gorontalo dan Kotamobagu (sebagai hasil dari lokakarya ta­ hap 1) mampu menjadi penggerak, inisiator dan orga nizer dalam melakukan berbagai aktivitas untuk mengantisipasi, mencegah, menghadapi dan mengatasi berbagai persoalan terkait dengan isu

Christian representative from the Ministry of Reli­ gious Affairs, as well as representatives from the Indi­ genous Peoples Alliance of Bolaangmongondow and the State University of Gorontalo.

Participants were from a number of different communities, including from the GMIBM Church youth, the University of Dumoga Kotamobagu student group (UDK), the Islamic Students Association (HMI), the State Islamic Institute (IAIN) Gorontalo and the State University of Gorontalo. The focus of this workshop was on deepening the understanding of material previously provided to the participants in stage 1. Such material included information on network and stakeholder analysis, human rights, investigation and

advocacy. A fluid discussion was lead by the speaker

who was able to lead the discussion beyond simply scratching the surface, to real world applications of the material in the context of Gorontalo and Kotamobagu.

(20)

Interfidei newsletter

Kronik

pluralisme agama, termasuk di dalamnya soal ke be­ bas an beragama dan berkeyakinan, isu kekerasan atas nama agama, juga aktivitas yang mengedepankan kepedulian agama­agama terhadap persoalan­perso­ alan sosial­kemasyarakatan dan kebangsaan.

Pemateri pertama adalah Francis Wahono, yang berbicara tentang dasar­dasar pembentukan jaringan dan analisis sosial. Dasar falsafah dan pengalaman empiris yang kuat membuat materi yang disampaikan terasa lebih nyata. Kemudian diintegrasikan dengan

materi dari Muhammad Isnur, staf LBH Jakarta,

yang juga memiliki pengalaman banyak di bidang advokasi, mengorganisir massa dan pemberian dasar materi mengenai HAM. Terbukti para peserta mampu mengkontekstualisasikannya ke dalam dua kasus riel, yaitu kasus Ahmadiyah untuk kelompok Gorontalo, dan kasus pembangunan gereja untuk kelompok Kotamobagu. Keduanya didorong untuk membuat peta permasalahan, sebab akibat, manajemen kon­

flik dan akhirnya mampu membuat “solusi” bagi

per-masalahan bersama tersebut. (MF)

various activities to anticipate, prevent, confront and overcome the various problems associated with the issue of religious pluralism, including the matter of freedom of religion and belief, the issue of violence in the name of religion, as well as activities that promote religious awareness on social, civic and national issues.

The first speaker was Francis Wahono who spoke

more to the basics of networking and social analysis. Basic philosophical reasoning and strong empirical evidence made this material feel more relevant in a real world context. Next was Muhammad Isnur,

a staff member from the Foundation of Legal Aid (LBH) Jakarta, who also possessed experience in the field of advocacy, organizing the masses and the

provision of basic material on human rights. The participants proved to be capable of contextualizing two real world cases in the Ahmadiyah case for the Gorontalo group, and the case of the construction of a Church for the Kotamobagu group. Both groups

were encouraged to create a problem map, find the cause and effect, engage with conflict management and finally have the ability to find a “solution” to the specific problem. (MF)

DIALOG ANTARIMAN KE-3

“AGAMA, NEGARA DAN MEDIA DALAM DIALOG: PERSPEKTIF

INDONESIA-BELANDA”

P

ada 26 September 2016 Interfidei menghadiri Dialog Lintas Agama bertajuk “Religion, State,

and Media in Dialogue: Indonesia­Netherlands Perspective’. Kegiatan yang dilaksanakan di Den Haag, Belanda, ini merupakan kerjasama antara Kedu taan Indonesia di Belanda dengan Konsorsium Belanda­Indonesia untuk Relasi Muslim­Kristen dan

didukung oleh Kementerian Luar Negeri,

Kemen-terian Agama, dan Initiative of Change.

Dalam sambutannya, Duta Besar Esti Andayani

menyampaikan bahwa kegiatan Dialog Lintas

Agama tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman publik Belanda mengenai Islam di Indonesia yang moderat, memperkuat status Indonesia se bagai negara yang mengedepankan dia log, meningkatkan hubungan antar pihak, serta memperkuat citra Indonesia seba gai salah satu negara pe lopor dialog antar iman.

THE 3RD INTERFAITH DIALOGUE

“RELIGION, STATE, AND MEDIA IN DIALOGUE: INDONESIA-NETHERLANDS

PERSPECTIVE”

O

n the 26th of September 2015 Interfidei attended

an Interfaith Dialogue event entitled “Religion, State, and Media in Dialogue: Indonesia­Netherlands Perspective”. These dialogue activities were under­ taken in Den Haag, the Netherlands, as part of a colla­ boration effort between the Indonesian Embassy in the Netherlands and the Netherlands­Indonesian Con sor­ tium for Muslim­Christian Relations. The event was also supported by the Ministry of Foreign Affairs, Ministry of Religious Affairs, and the Initiative of Change.

(21)

Edisi Juli-Desember 2015

Interfidei newsletter

21

Chronicle

Kegiatan DLA dan

Dialog Media diisi de­ ngan pertemuan, diskusi dan dialog dengan ka­ lang an akademisi, to­ koh agama, media dan kalangan masyarakat ma dani lainnya. Dalam dialog tersebut dipandu oleh Jan Passchier se­ ba gai moderator dan menghadirkan enam na­ ra sumber anta ra lain; Bahrul Hayat (Perwa­ kil an dari Kemen te­

ri an Agama), Manuela Kalsky (Internet Network Nieuwwij!), Yosep Adi Prasetyo (Dewan Pers Indonesia), Endy Bayuni (Jakarta Post), Augustinus Ulahyanan (KWI) dan Miranda Klaver (VU University).

Dalam dialog tersebut disampaikan beberapa hal terkait dengan pentingnya peran media dalam mendorong dialog antaragama. Sayangnya beberapa media justru lebih banyak menampilkan kekerasan

dan konflik daripada upaya positif yang dibangun

untuk mewujudkan kerukunan antar umat beragama. Endy Bayuni dalam kesempatan tersebut juga menambahkan kurangnya perspektif dan kualitas jurnalistik pada diri wartawan membuat media justru menjadi pihak yang memicu kebencian.

Selain peran media arus utama, peran penggunaan media oleh masyarakat juga dianggap penting. Manuela Kalsky dalam pemaparannya memberikan contoh bagaimana masyarakat bisa membuat media sendiri seperti website, video, dan artikel, sebagai upaya membangun dialog dan mengurangi prasangka pada orang yang berbeda agama. (WF)

and to strengthen the image of Indonesia as one of the pioneers in­ terfaith dialogue.

DLA activities and

the Dialogue on Media consisted of meetings, discussions and dia­ logue sessions with aca demics, religious lead ers, the media and other civil society actors. The dialogue was guided by Jan Passchier as moderator and was attended by six guest speakers, including; Bahr Hayat (Representative for the Ministry of Religious Affairs), Manuela Kalsky (Internet Network Nieuwwij) , Yosep Adi Prasetyo (Indonesian Press Council), Endy Bayuni (Jakarta Post), Augustinus Ulahyanan (The Indonesian Bishops Conference­KWI) and Miranda Klaver (VU University).

Within this dialogue event, a number of issues emerged in relation to the importance of the media’s role in encouraging interfaith dialogue. Unfortunately some media outlets are more inclined to present to

the public cases of violence and conflict rather than

looking at the positive efforts being created in order to realize the goal of interreligious harmony. Endy Bayuni also took this opportunity to add that the lack of perspective and the quality of journalism on behalf of journalists themselves results in the media becoming a mechanism to incite hatred.

(22)

Interfidei newsletter

Kronik

KONFERENSI KEBEBASAN BERAGAMA DAN BERKEYAKINAN DI ASIA TENGGARA

T

anggal 29 September – 1 Oktober 2015, the International Commission of Jurists (ICJ), the Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM­ASIA), dan Boat People SOS (BPSOS), menyelenggarakan Konferensi di Bangkok. Tujuan yang mau dicapai adalah: 1) membangun pemahaman bersama di antara para pengampu yang ada di wilayah Asia Tenggara, tentang mandat yang diberikan oleh Pelapor Khusus PBB untuk isu Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB); 2) Menyiapkan sebuah pijakan

Asia Tenggara, termasuk mengindentifikasi dan

meng eksplorasi isu­isu kunci yang penting; 3)

Mengidentifikasi strategi-strategi advokasi dan

praktek­praktek yang paling baik yang terjadi dalam rangka menghadapi tantangan KBB dan proses mitigasi penganiayaan terhadap agama, dan menguatkan kerjasama di antara berbagai pengampu, demi mempromosikan KBB di Asia Tenggara.

Konferensi ini dihadiri oleh Pelapor Khusus PBB, Dr. Heiner Bielefeldt. Dari Indonesia, hadir dari

beberapa perwakilan lembaga, umumnya Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), termasuk Institut DIAN/Interfidei. Sayang bahwa dari pemerintah

Indonesia akhirnya batal hadir sekalipun sudah diberikan kesempatan untuk presentasi, dikarenakan peristiwa “Mina”. (ES)

CONFERENCE ON FREEDOM OF RELIGION AND BELIEFIN SOUTHEAST ASIA

F

romSeptember 29th to October 1st2015, the

Inter national Commission of Jurists (ICJ), the Asian Forum for Human Rights and Development (FORUM­ASIA), and Boat People SOS (BPSOS) hosted the Conference on Freedom of Religion and Belief in Southeast Asia.

This conference was held in Bangkok, Thailand. The aims of this gathering were: (1) To build understanding among stakeholders in the region concerning the mandate of the UN Special Rapporteur

on freedom free dom to dis­ cuss and bett­ and exploration of key emerging issues; and (3) To identify advocacy strategies and best practices that work in overcoming the challenges of religious freedom or mitigating religious persecution and to strengthen the cooperation among multi­stakeholders in promoting freedom of religion and belief in Southeast Asia.

This conference was attended by special UN Rapporteur of Freedom of Religion and Belief, Dr. Heiner Bielefeldt. From Indonesia, a number of re pre­ sentatives from different institutions attended, mainly from Non Government Organizations (NGOs),

including Institute DIAN/Interfidei. Unfortunately

(23)

Edisi Juli-Desember 2015

Interfidei newsletter

23

Chronicle

LOKAKARYA GURU AGAMA DAN PKN SE-SULAWESI TENGAH

“MERANCANG RPP – KURIKULUM 2006 PENDIDIKAN PLURALISME

DI SULAWESI TENGAH”

P

ada 1 – 3 Oktober 2015, Institut DIAN/Interfidei, bekerjasama dengan Institut Mosintuwu, Gereja Protestan Indonesia di Donggala (GPID), dan Yayasan Al­Khairaat, Palu, telah berhasil

menyelenggarakan Lokakarya guru-guru lintas

agama dan guru PKN se­Sulawesi Tengah di Hotel

Golden, Palu. Lokakarya kali ini merupakan lanjutan

dari beberapa lokakarya sebelumnya dan mengambil tema “Merancang RPP­Kurikulum 2006 Pendidikan Pluralisme di Sulawesi Tengah”.

Kegiatan ini diikuti oleh 31 orang guru (guru agama dan guru PKN) yang pernah mengikuti lokakarya di Palu (dua tahap) dan Poso (satu ta­

hap). Lokakarya ini difokuskan pada praktek

mem buat Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) dan praktek di dalam kelas berdasarkan

RPP yang telah dibuat. Lokakarya kali ini

di-maksudkan agar para guru dapat mendalami pe­ ma haman mereka mengenai apa dan bagaimana materi pendidikan pluralisme yang dibutuhkan oleh siswa yang beragam dari sisi etnis dan agama dan bagaimana menyajikan materi tersebut agar dapat dipahami dan diamalkan oleh siswa. Selain itu, lokakarya kali ini juga salah satunya bertujuan untuk melakukan pre­monitoring dan evaluasi atas kegiatan sebelumnya.

WORKSHOP FOR TEACHERS OF RELIGION AND CIVIC EDUCATION

ACROSS CENTRAL SULAWESI “FORMULATING THE 2006 LESSON PLAN-CURRICULUM FOR A PLURALISTIC

EDUCATION IN CENTRAL SULAWESI”

F

rom the 1st­3rd of October 2015, Institute DIAN/

Interfidei, in collaboration with the Mosintuwu

Institute, the Donggala Indonesian Protestant Church (GPID), and the Al­Khairaat Foundation, Palu, successfully organized a workshop for interfaith and civic education teachers from across Central Sulawesi. The workshop was held in the Golden Hotel, Palu. As

a continuation on previous workshops by Interfidei,

this workshop took the theme of “Formulating

the 2006 Lesson Plan-Curriculum for a Pluralistic

Education in Central Sulawesi”.

Referensi

Dokumen terkait

Berdasarkan data pada Tabel 3.16 (lihat lampiran 7) dapat dijelaskan bahwa hasil uji heteroskedastisitas dengan menggunakan bantuan SPSS for windows dengan uji spearman

Model baru pengesahan ini dapat diterapkan secara online sehingga dalam pelaksanaanya pihak dosen yang mengajukan proposal Hibah Dikti tidak perlu bertemu pihak

Astawan (2008) menyatakan bahwa pada tempe, selain terdapat ketiga jenis isoflavon tersebut, terdapat juga antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai

Pada proses pembacaan 10 email dalam skenario 2, Yahoo memberi beban tambahan terhadap jaringan sebesar lebih dari 1 MB, yang berbeda sangat signifikan dengan Zimbra dan

Prennial (ryegrass, Lucerne, Grazing bromes, Tall Fescue) Annual (ryegrass, ryecorn, oats, clovRed Clover. Chicory Old pasture

Dengan kuatnya nalar dan keyakinan terhadap nilai-nilai yang terkandung –laku prihatin, brèh, dan narima —dalam ceritera, kentrung dapat bertahan dan masih

Hasil penelitian menunjukan bahwa semakin tinggi padat tebar pemeliharaan benih ikan sidat akan semakin baik pertumbuhannya, hal ini karena kebiasaan hidup benih ikan