• Tidak ada hasil yang ditemukan

2 TINJAUAN PUSTAKA. Perumusan dan Pendekatan Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "2 TINJAUAN PUSTAKA. Perumusan dan Pendekatan Masalah"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

Perumusan dan Pendekatan Masalah

Berdasarkan permasalahan yang telah diuraikan di atas, terlihat bahwa ada berbagai jenis kedelai yang digunakan dalam pembuatan tempe di Indonesia. Akan tetapi, data tentang keseragaman kandungan gizi dari berbagai tepung tempe sampai sekarang masih belum ada. Oleh karena itu, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang analisis kandungan zat gizi dan non gizi, nilai gizi protein tepung tempe dari kedelai lokal (grobogan) dan impor (PRG dan non PRG), serta aktivitas antioksidan yang dimiliki oleh tepung tempe tersebut terhadap radikal DPPH dan pengukuran kadar malonaldehida (MDA) hati tikus percobaan.

Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi kesepadanan tepung tempe kedelai lokal (grobogan) dan impor (PRG dan non PRG). Tujuan khusus dari penelitian ini adalah :

a. Membandingkan kandungan zat gizi dan non gizi tepung tempe kedelai lokal (grobogan) dan impor (PRG dan non PRG).

b. Mengukur nilai gizi protein tepung tempe kedelai lokal (grobogan) dan impor (PRG dan non PRG).

c. Mengukur aktivitas antioksidan tepung tempe terhadap radikal DPPH dan pengukuran kadar MDA hati tikus percobaan.

Hipotesis Hipotesis yang diajukan adalah :

a. Tepung tempe kedelai lokal (grobogan) dan impor (PRG dan non PRG) memiliki kesamaan dalam hal kandungan zat gizi dan non gizi, maupun nilai gizi protein.

b. Ketiga jenis tepung tempe memiliki aktivitas antioksidan yang sepadan, ditinjau dari aktivitas antioksidan metode DPPH maupun pengukuran kadar MDA hati.

2

TINJAUAN PUSTAKA

Kedelai

Kedelai merupakan tanaman pangan berupa semak yang tumbuh tegak. Kedelai berasal dari daerah Manshukuo (Cina Utara). Di Indonesia, kedelai mulai dibudidayakan pada abad ke-17 sebagai tanaman pangan dan pupuk hijau (Menegristek 2000). Tanaman kedelai termasuk phylum Magnoliophyta, kelas

Magnoliopsida, ordo Fabales, famili Fabaceae, subfamili Faboideae, genus Glycine dan spesies G. max.

Di Indonesia, beberapa sebutan lokal untuk kedelai adalah : kacang bulu, gadela, kacang jepung, atau kedele. Kedelai dibedakan atas dasar umur panen dan

(2)

warna biji. Berdasarkan umur panen, kedelai dibedakan atas tiga jenis golongan, yaitu kedelai genjah (umur 78-85 hari), kedelai tengahan (umur 85-95 hari), serta kedelai dalam (umur lebih dari 95 hari). Berdasarkan warna kulit biji, kedelai dibedakan atas kedelai kuning, hitam dan hijau. Secara kimia, umumnya tidak ada perbedaan di antara ke tiga jenis kedelai tersebut (Astawan 2008).

Komposisi kimia kedelai bervariasi tergatung pada varietas dan kondisi pertumbuhannya. Muchtadi (2010a) menjelaskan bahwa melalui pemuliaan tanaman, sangat mungkin akan diperoleh biji kedelai dengan kadar protein sekitar 40-45 % dan kadar lemak sekitar 18-20 %. Umumnya untuk setiap 1 % kenaikan kadar protein, akan diikuti dengan penurunan sekitar 0.5 % kadar lemak. Tabel 1 menunjukkan komposisi kimia kedelai dalam 100 gram bahan.

Tabel 1 Komposisi kimia kedelai (per 100 g)

Komponen Jumlah Mineral Jumlah Vitamin Jumlah

Energi, Kkal 446 Kalsium, mg 277 Vitamin C, mg 6

Air, g 8.54 Besi, mg 15.70 Tiamin, mg 0.87

Protein, g 36.49 Magnesium, mg 280 Riboflavin, mg 0.87

Lemak, g 19.94 Fosfor, mg 704 Niasin, mg 1.62

Abu, g 4.87 Kalium, mg 1797 Asam

pantotenat, mg 0.79

Serat, g 9.3 Natrium, mg 2 Vitamin

B6,mg 0.37

Asam lemak

jenuh, g 2.88 Seng, mg 4.89 Total folat, 0

Asam lemak tidak jenuh tunggal, g 4.40 Tembaga, mg 1.65 Vitamin B12,µg 0 Asam lemak tidak jenuh jamak, g

11.25 Mangan, mg 2.51 Vitamin A,IU 1

Sumber : USDA Nutrient Database for Standard Reference.

Muchtadi (2010a) menyatakan bahwa kedelai merupakan salah satu komoditi pangan utama setelah padi dan jagung. Kedelai merupakan bahan pangan sumber protein nabati utama bagi masyarakat. Sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, maka permintaan akan kedelai juga semakin meningkat. Menurut Badan Pusat Statistik (2013), produksi kedelai pada tahun 2012 sebesar 843.15 ribu ton biji kering atau mengalami penurunan sebesar 8.13 ribu ton (0.96 persen) dibandingkan tahun 2011 yaitu sebesar 851.29 ribu ton biji kering. Kebutuhan akan kedelai secara nasional selama lima tahun ini (tahun 2010-2014) sebesar 2.3 juta ton biji kering (Kementerian Pertanian 2013).

Masalah kekurangan bahan pangan tidak hanya dialami oleh Indonesia, akan tetapi juga merupakan masalah bagi seluruh negara di dunia. Hal ini disebabkan laju pertumbuhan manusia di dunia meningkat dengan tajam. Akan tetapi, kemampuan petani dalam menghasilkan bahan pangan semakin lama semakin menurun. Salah satu upaya untuk mengatasi permasalahan pangan tersebut adalah dengan menerapkan bioteknologi pertanian (Karmana 2009).

Teknik bioteknologi pertanian yang sedang berkembang saat ini adalah teknologi rekayasa genetik atau dikenal dengan istilah Genetically Modified

(3)

adalah organisme dimana materi genetiknya (DNA) telah mengalami perubahan yang tidak terjadi secara alami. Celec et al. (2005) menyatakan bahwa jenis organisme yang bisa dimodifikasi genetiknya dapat berupa mikroorganisme, tanaman, maupun hewan. Isu tentang transgenik dewasa ini sedang menarik perhatian banyak pihak di dunia, dimana transgenik diyakini dapat memecahkan masalah gizi. Halford dan Shewry, (2000) menyatakan modifikasi tanaman bertujuan untuk membuat tanaman tahan terhadap hama atau pestisida sehingga mengurangi kerugian panen.

Klasifikasi pangan transgenik menurut Celec et al. (2005) dibagi menjadi dua generasi, yaitu pertama berorientasi pada produser (Producer Oriented) yang menawarkan keuntungan bagi petani seperti dapat menurunkan penggunaan bahan kimia sehingga dapat menurunkan biaya produksi. Selain bermanfaat bagi tanaman, hasil dari tanaman transgenik ini juga bermanfaat bagi lingkungan karena dipercaya dapat mengurangi penggunaan pestisida. Generasi kedua, dibuat berorietasi pada konsumen (Consumer Oriented). Generasi kedua lebih bertujuan agar bahan pangan transgenik dapat bermanfaat bagi konsumen, seperti dapat meningkatkan kadar protein, memodifikasi lemak menjadi lebih sehat, modifikasi karbohidrat, meningkatkan karakteristik flavor, dan meningkatkan kadar fitokimia yang diinginkan.

Azeez dan Nunan (2008) menjelaskan bahwa teknik modifikasi genetik biasanya dilakukan dengan cara memasukkan DNA asing ke dalam DNA tanaman, baik dengan cara proses infeksi bakteri atau dengan cara pengikatan dengan DNA asing. Teknik penyisipan DNA buatan ini dapat menggangu mekanisme biologis alami tanaman tersebut. Gen yang biasanya dimasukkan dari organisme lain seperti bakteri atau produk sintetik, akan menghasilkan protein jenis baru bagi manusia atau hewan. Produksi protein baru tersebut dapat juga menyebabkan jalur biokimia baru pada tanaman itu sendiri.

Proses modifikasi genetik pada kedelai yaitu dengan memasukkan gen

Agrobacterium sp strain CP4 ke dalam kedelai yang berikatan dengan 5-enol pyruvylshikimate-3-phosphate synthase (EPSPS) membentuk gen CP4-EPSPS

(Chang et al. 2002 dan Wu et al. 2012). Enzim EPSPS merupakan enzim yang terdapat pada tanaman, alga, bakteri, dan fungi yang berfungsi mensintesis asam amino aromatik (Schonbrunn et al. 2001). Nandula et al. (2005) menyatakan bahwa asam amino aromatik merupakan jenis asam amino yang penting untuk pertumbuhan tanaman.

Gliposat merupakan jenis bahan aktif yang terdapat pada herbisida roundup (Schonbrunn et al. 2001). Kemampuan gliposat dalam menghambat sintesis enzim EPSPS sehingga proses pembentukan asam amino aromatik menjadi terhambat telah dimanfaatkan pada proses modifikasi genetik. Nandula et al. (2005) menyatakan bahwa ketika metabolisme asam amino aromatik dihambat, akan menyebabkan gangguan pada beberapa sistem metabolik termasuk juga penghambatan biosintesis protein dan biosintesis produk sekunder sehingga menyebabkan tanaman tersebut mati. Modifikasi genetik pada kedelai membentuk CP4-EPSPS menyebabkan kedelai menjadi resisten terhadap gliposat sehingga ketika terpapar oleh herbisida roundup, tanaman kedelai tersebut tetap mampu menghasilkan asam amino aromatik yang penting untuk pertumbuhan tanaman kedelai, sedangkan gulma yang berada disekitar tanaman kedelai tersebut akan mati.

(4)

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Padgette et al. (1996) yang melakukan penelitian tentang uji kesepadanan kandungan gizi kedelai transgenik dengan kedelai non transgenik memperlihatkan bahwa secara umum kandungan gizi yang terkandung dalam kedelai transgenik tersebut tidak berbeda secara signifikan dibandingkan kedelai non transgenik. Kedelai transgenik yang digunakan adalah kedelai transgenik lines 40-3-2 dan lines 61-67-1. Kedelai transgenik lines 61-67-1 mendapat tambahan gen pengkodean dari protein

β-glucuroni-dase yang berasal dari Escherichia coli, sedangkan kedelai transgenik lines 40-4-2 tidak mendapat tambahan gen pengkodean tersebut. Hasil penelitian

tersebut memperlihatkan bahwa berdasarkan hasil analisis proksimat diketahui bahwa terdapat perbedaan yang nyata dari kedelai yang ditanam secara tradisional dibandingkan kedelai transgenik. Kedelai transgenik lines 40-3-2 mengandung kadar abu 5.24 g/100 g, sedangkan kontrol 5.04 g/100 g, kadar lemak 16.28 g/100 g, sedangkan kontrol yaitu 15.52 g/100g dan karbohidrat 37.1 g/100 g, sedangkan kontrol 38.1 g/100g. Analisis proksimat pada kedelai transgenik lines 61-67-1 menunjukkan perbedaan secara nyata hanyalah pada kadar abu yaitu 5.17 g/100 g, sedangkan kontrol 5.04 g /100g.

Hasil pengukuran kadar asam amino dari kedua sampel tersebut menunjukkan bahwa tidak terdapat perbedaan yang nyata dibandingkan kontrol. Hasil pengukuran kadar asam lemak pada kedua jenis kedelai tersebut menunjukkan bahwa kadar asam lemak kedelai transgenik lines 40-3-2 yaitu asam lemak 22:0 (0.53 %) berbeda nyata dibandingkan kontrol (0.50%). Hasil pengukuran kandungan tripsin inhibitor, aktivitas urease, dan kadar isoflavon memperlihatkan tidak terdapat perbedaan yang nyata antar kedelai transgenik tersebut dibandingkan kedelai non transgenik. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa kandungan gizi kedelai transgenik memiliki kesepadanan dibandingkan kedelai non transgenik.

Tempe

Di Indonesia, kedelai biasanya diolah menjadi tempe, tauco, tahu, kecap, kembang tahu, dan susu kedelai. Dari semua jenis pangan olahan tersebut, tempe merupakan jenis pangan fermentasi kedelai yang berasal dari Indonesia. Secara umum, tempe diartikan sebagai bahan pangan yang dihasilkan melalui proses fermentasi kedelai rebus, dalam waktu tertentu menggunakan kapang (jamur)

Rhizopus sp. Pada proses pertumbuhannya, kapang tersebut menghasilkan

beberapa enzim yang mampu menghidrolisis senyawa-senyawa kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana, sehingga lebih mudah dicerna dan diserap tubuh. Proses hidrolisis tersebut juga menghasilkan senyawa-senyawa tertentu, penimbul cita rasa tempe yang sangat enak (Astawan 2008).

Selama proses fermentasi, kapang akan tumbuh membentuk miselium berwarna putih yang menutupi permukaan kedelai. Miselium tersebut menghubungkan antar biji kedelai, membentuk massa yang padat, kompak, dan bertekstur lembut. Kondisi lingkungan Indonesia dengan suhu rata-rata 30oC dan kelembaban relatif sekitar 75 persen sepanjang tahun, memungkinkan untuk pembuatan tempe setiap saat tanpa membutuhkan ruang dan peralatan khusus (Astawan 2008).

(5)

Telah diketahui bahwa nilai gizi protein kedelai mentah sangat rendah yang disebabkan adanya antitripsin, antikimotripsin dan hemaglutinin. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kedelai yang diolah dengan cara fermentasi menjadi lebih tinggi nilai gizinya karena daya cerna protein dan ketersediaan dari semua zat gizi dalam kedelai menjadi lebih baik. Selama proses fermentasi, sebagian dari karbohidrat dan protein dipecah menjadi fragmen-fragmen yang lebih mudah dicerna dan diserap oleh usus, sedangkan faktor antitripsin aktivitasnya menjadi hilang (Muchtadi 2010a). Tabel 2 menunjukkan komposisi kimia tempe dalam 100 gram bahan.

Tabel 2 Komposisi kimia tempe (per 100 g)

Komponen Jumlah Mineral Jumlah Vitamin Jumlah

Energi, Kkal 193 Kalsium, mg 111 Vitamin C, mg 0

Air, g 59.65 Besi, mg 2.70 Tiamin, mg 0.07

Protein, g 18.54 Magnesium,

mg 81

Riboflavin,

mg 0.35

Lemak, g 10.80 Fosfor, mg 266 Niasin, mg 2.64

Abu, g 1.62 Kalium, mg 412 Asam

pantotenat, mg 0.27 Karbohhidrat, g 9.39 Natrium, mg 9 Vitamin B6,mg 0.21 Asam lemak

jenuh, g 2.22 Seng, mg 1.14 Total folat, 24

Asam lemak tidak jenuh tunggal, g 3.00 Tembaga, mg 0.56 Vitamin B12,µg 0.08 Asam lemak tidak jenuh jamak, g

3.82 Mangan,mg 1.3 Vitamin A,IU 0

Sumber : USDA Nutrient Database for Standard Reference.

Nout dan Kiers (2005) juga menjelaskan bahwa keberadaan asam lemak dalam gliserida menurun selama proses fermentasi. Produksi asam lemak bebas terjadi dari awal proses fermentasi. Jika produksi gliserol bebas hanya sedikit, ini mengindikasikan bahwa trigliserida telah terhidrolisis secara parsial menjadi gliserida. Selain itu pula, selama proses fermentasi, jumlah kandungan vitamin E tetap konstan, namun kandungan tokoferol bebas mengalami penurunan. Kandungan vitamin K pada kedelai tidak mengalami perubahan selama proses fermentasi tempe oleh Rhizopus sp.

Handoyo dan Morita (2006) menjelaskan bahwa lamanya waktu fermentasi akan menyebabkan terjadinya peningkatan kadar asam amino bebas yang terdapat pada tempe. Peningkatan kadar asam amino bebas tersebut disebabkan aktivitas kapang yang terus menghidrolisis protein hingga membentuk asam amino dan peptida-peptida kecil. Tabel 3 menunjukkan pengaruh lamanya proses fermentasi terhadap kadar asam amino yang terdapat pada tempe dalam 100 gram bahan.

(6)

Tabel 3 Jumlah asam amino bebas (mg/100 g) pada proses fermentasi kedelai menggunakan R.oligosporus

Asam amino Waktu Fermentasi (Jam)

0 24 48 72 Isoleusin 4.6 5.2 9.5 55 Leusin 4.2 6.6 10.1 81.7 Lisin 5.1 52.6 3.3 194.9 Metionin 2.1 0.7 1.3 6.3 Fenilalanin 1.4 5.6 6.2 63.4 Treonin 0.2 0.2 0.4 0.1 Valin 3.8 2.8 6.1 59.7 Arginin 26.7 32.4 7.6 21.5 Glisin 2.7 5.2 21.4 61.3 Histidin 1.7 26.4 2.0 50.6 Tirosin 1.3 13.1 4.6 38.1 Alanin 11.2 104.2 229.7 229.8 Asparagin 1.5 22.5 20.1 54.6 Aspartat 3.6 5.4 17.1 28.9 Sistein 0.9 4.5 6.4 15 Glutamat 42.1 16.7 140 147 Prolin 1.0 6.8 20.7 63 Serin 0.1 1.5 3.6 11.2 Ornitin 1.4 5.1 0.0 8.9

Handoyo dan Morita (2006)

Menurut Cahyadi (2007), kandungan vitamin pada tempe khususnya vitamin B komplek seperti riboflavin, niasin, biotin, asam pantotenat, dan vitamin B6 meningkat jumlahnya selama fermentasi, kecuali vitamin B1 karena digunakan oleh kapang tempe sebagai sumber nutrisi pertumbuhan. Kandungan vitamin B12 di dalam tempe berkisar antara 1.5-6.3 mikrogram per 100 gram tempe kering yang dapat mencukupi kebutuhan harian seseorang. Dibandingkan kedelai mentah, nilai gizi tempe lebih baik karena pada kedelai mentah, nilai gizi tempe lebih baik karena pada kedelai mentah terdapat zat-zat antinutrisi seperti antitripsin dan oligosakarida penyebab kelebihan gas dalam lambung (flatulensi). Fermentasi kapang menghilangkan kedua senyawa tersebut dan meningkatkan daya cerna kedelai. Di samping itu, terjadi pula perbaikan tekstur dan flavor sehingga menjadi lebih disukai.

Selain meningkatkan nilai gizi, proses fermentasi kedelai menjadi tempe juga mengubah aroma kedelai yang berbau langu menjadi beraroma khas tempe. Tempe segar memiliki aroma lembut seperti jamur. Aroma ini berasal dari aroma miselium kapang yang bercampur dengan aroma lezat dari asam amino bebas, serta aroma yang timbul akibat penguraian lemak. Semakin lama proses fermentasinya, maka aroma lembut akan berubah jadi tajam karena terjadi pelepasan amoniak (Astawan 2008). Hal senada juga diutarakan oleh Nout dan Kiers (2005) yang menyatakan bahwa manfaat utama dari proses fermentasi kedelai adalah meningkatnya kualitas organoleptik dan kandungan gizi dibandingkan bahan mentah.

(7)

Radikal Bebas dan Spesies Oksigen Reaktif

Radikal bebas didefinisikan sebagai suatu molekul, atom atau beberapa grup atom yang mempunyai satu atau lebih elektron tidak berpasangan pada orbital terluarnya. Molekul atau atom tersebut sangat labil dan mudah membentuk senyawa baru. Radikal bebas yang terdapat dalam tubuh dapat berasal dari dalam (endogen) atau dari luar tubuh (eksogen). Secara endogen, radikal bebas terbentuk sebagai respon normal dari rantai peristiwa biokimia dalam tubuh (Muchtadi 2013).

Zadak et al. (2009) menyatakan bahwa target utama serangan radikal di dalam tubuh dapat berupa lipid, protein, karbohidrat, dan DNA sehingga dapat menyebabkan gangguan pada berbagai bagian tubuh. Selain radikal bebas, dikenal juga dengan istilah spesies oksigen reaktif (Reactive Oxygen Species, ROS). Muchtadi (2013) menyatakan bahwa ROS adalah sebutan bagi bermacam-macam molekul dan radikal bebas yang berasal dari molekul oksigen. Lee et al. (2004) menyatakan bahwa baik radikal bebas maupun senyawa ROS di dalam tubuh dapat menyebabkan oksidasi lipid, oksidasi protein, DNA strand break, modifikasi basa DNA, dan modulasi ekspresi genetik.

Devasagayam et al. (2004) menjelaskan bahwa aktivitas antioksidan dalam menetralkan radikal bebas dalam tubuh dapat berupa pencegahan terbentuknya ROS, penangkapan radikal bebas yang masuk ke dalam tubuh, serta perbaikan akibat kerusakan tersebut. Mekanisme pencegahan ini melibatkan enzim superoksida dismutase (SOD) yang dapat mengkatalisis dismutasi (proses oksidasi sekaligus reduksi) superoksida menjadi H2O2 serta dapat mengkatalisis dan juga

dapat melarutkannya ke dalam air sehingga dapat dikeluarkan dari tubuh.

Siswonoto (2008) dan Asni et al. (2009) menyatakan bahwa pengukuran radikal bebas secara langsung sangat sulit dilakukan, oleh karena radikal bebas tidak menetap lama, mempunyai waktu paruh yang pendek dan menghilang dalam hitungan detik. Berbagai substansi biologis dikembangkan sebagai penanda biologis (biomarker) stres oksidatif. Substansi yang sudah dikenal dan banyak dipakai sebagai penanda biologis peroksidasi lipid dan stres oksidatif adalah malonaldehid (MDA).

Malonaldehid (MDA) merupakan salah satu produk akhir peroksidasi lipid yang terbentuk setelah aksi senyawa radikal, sehingga digunakan sebagai indikator keberadaan radikal bebas dalam tubuh dan juga indikator kerusakan oksidatif membran sel (Astuti 2009). MDA banyak didapatkan dalam sirkulasi dan merupakan produk utama hasil reaksi radikal bebas dengan fosfolipid, diproduksi secara konstan sesuai dengan proporsi peroksidasi lipid yang terjadi, sehingga merupakan indikator yang baik untuk melihat kecepatan (rate) peroksidasi lipid in vivo (Asni, et al 2009). Vizuet et al. (2009) menyatakan bahwa lipid merupakan biomolekuler yang paling rentan terhadap serangan ROS dan akibat proses lipoperoksidasi akan dihasilkan pembentukan melonaldehida (MDA).

Isoflavon

Flavonoid adalah suatu golongan metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tanaman. Isoflavon termasuk dalam golongan flavonoid dan merupakan bagian

(8)

dari kelompok terbesar dalam golongan tersebut. Muchtadi (2012) menyatakan bahwa isoflavon merupakan senyawa polifenol yang dapat memperlihatkan peranan seperti estrogen, sehingga seringkali disebut sebagai “fitoestrogen”, yaitu senyawa yang mempunyai aktivitas estrogenik tetapi berasal dari tanaman. Isoflavon juga mempunyai kemampuan sebagai antioksidan. Kacang-kacangan, khususnya kedelai, merupakan sumber utama isoflavon bagi manusia. Kedelai mengandung 12 macam isoflavon, yang terdapat dalam bentuk glukosida (terikat pada molekul gula) dan bentuk aglikon (tidak mengikat gula). Proses pencernaan atau fermentasi kedelai atau hidrolisis enzimatis akan melepaskan molekul gula dari isoflavon glukosida, menghasilkan isoflavon aglikon.

Muchtadi (2012) menjelaskan bahwa kedelai mengandung dua jenis isoflavon utama yaitu genistein dan daidzein, ditambah satu jenis isoflavon minor yaitu glisitein. Kandungan isoflavon produk olahan kedelai bervariasi dan dipengaruhi bukan saja oleh jenis (kultivar) kedelai yang digunakan, tetapi juga oleh proses pengolahannya. Kemungkinan selama pengolahan kedelai ada beberapa bagian isoflavon yang hilang (terbuang) atau rusak akibat proses pemanasan.

Astawan (2008) menyatakan bahwa pada tempe, selain terdapat ketiga jenis isoflavon tersebut, terdapat juga antioksidan faktor II (6,7,4-trihidroksi isoflavon) yang mempunyai aktivitas antioksidan yang kuat dibandingkan isoflavon lain dalam kedelai. Antioksidan ini disintesis pada saat terjadinya proses fermentasi kedelai menjadi tempe oleh bakteri Micrococcus luteus dan Coreyne bacterium. Isoflavon pada olahan kedelai non fermentasi umumnya berada dalam bentuk glikosida, yaitu 64 persen genistin, 23 persen daidzin, dan 13 persen glisetin. Pada produk fermentasi kedelai, seperti tempe dan miso, isoflavon umumnya berbentuk bebas (aglikon), yaitu genistein, daidzein, dan glisetein.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Astuti (1999) dan Unitly (2008), kandungan isoflavon tepung tempe lebih tinggi dibandingkan tepung kedelai. Isoflavon yang dominan yang terdapat pada tepung kedelai dan tepung tempe adalah jenis daidzein dan genistein. Terjadinya proses hidrolisis enzimatis pada saat perendaman kedelai dan hidrolisis enzimatik pada saat perendaman dan fermentasi kedelai dalam proses pembuatan tempe diduga mengubah distribusi isomer aglikon daidzein dan genistein, sehingga menyebabkan perbedaan kandungan isoflavon aglikon yang terdapat di dalamnya.

Astawan (2008) menyatakan bahwa berdasarkan data penelitian pada hewan coba menunjukkan bahwa konsumsi isoflavon yang berlebihan juga tidak disarankan pada manusia, karena berpengaruh negatif terhadap kesuburan. Kelebihan konsumsi umumnya akan terjadi ketika mengonsumsi isolat isoflavon murni. Jika konsumsi isoflavon dilakukan secara alami, maka kecil kemungkinan untuk terjadi kelebihan konsumsi. Oleh karena itu tidak ada yang perlu dikhawatirkan dari konsumsi kedelai dan produk olahannya. Data konsumsi isoflavon untuk penduduk indonesia belum pernah dipublikasi. Beberapa ahli menyarankan agar konsumsi isoflavon per hari adalah 30 – 40 mg/hari.

Vitamin E

Vitamin E adalah salah satu vitamin larut lemak yang memiliki kemampuan sebagai antioksidan. Devasagayam et al. (2004) menyatakan bahwa peranan

(9)

antioksidan vitamin E dalam tubuh dapat bertindak sebagai pencegah reaksi pembentukan radikal bebas pada semua membran sel pada tubuh manusia. Vizuet

et al. (2009) menyatakan peranan utama antioksidan vitamin E pada membran

yaitu sebagai antioksidan larut lemak yang dapat mencegah kerusakan ROS pada asam lemak tidak jenuh ganda (PUFA), dan juga sebagai agen penstabil membran yang berperan dalam pencegahan kerusakan yang disebabkan oleh fosfolipid.

Keberadaan radikal bebas di dalam tubuh dapat dinetralkan oleh berbagai sistem. Zadak et al. (2009) menjelaskan bahwa ada berbagai jenis enzim yang dapat menurunkan konsentrasi oksidan yang berbahaya pada jaringan tubuh seperti glutathione peroxidase, superoxide dismutases dan catalase. Ada pula beberapa jenis mineral esensial seperti selenium, tembaga, mangan dan zinc dibutuhkan untuk pembentukan atau aktivitas enzim tersebut. Selain itu pula, ada beberapa unsur dari sistem pertahanan yang merupakan antioksidan seperti glutation, ubiquinon dan asam urat yang diproduksi selama proses metabolisme normal dalam tubuh. Ada juga antioksidan yang terdapat dari bahan makanan.

Vitamin E bukan merupakan senyawa tunggal, melainkan campuran dari sediktinya delapan macam tokoferol dan tokotrienol. Terdapat empat jenis tokoferol, yaitu α-, β-, γ-, dan δ tokoferol, tetapi yang paling aktif secara biologis adalah alfa-tokoferol. Demikian juga dengan empat macam tokotrienol, dan seperti halnya tokoferol, yang paling aktif secara biologis adalah alfa-tokotrienol (Muchtadi 2013). Devasagayam et al. (2004) menyatakan bahwa asupan harian vitamin E yang dianjurkan adalah sekitar 400-800 IU.

Teknik Evaluasi Nilai Biologis Protein

Nilai gizi protein ditentukan oleh jenis dan proporsi asam amino yang dikandungnya. Almatsier (2004) menjelaskan bahwa protein dengan nilai biologis tinggi atau bermutu tinggi adalah protein yang mengandung semua jenis asam amino esensial dalam proporsi yang sesuai untuk keperluan pertumbuhan. Ada beberapa jenis protein mengandung semua jenis asam amino esensial, tetapi dalam jumlah terbatas yang hanya cukup untuk perbaikan jaringan tubuh, akan tetapi tidak cukup untuk pertumbuhan.

Winarno (2002) menyatakan bahwa asam-asam amino yang biasanya sangat kurang dalam bahan makanan disebut dengan asam amino pembatas. Kalau protein dengan mutu rendah terlalu banyak dikonsumsi dan menunya tidak beraneka ragam, akan berakibat kurangnya asam amino pembatas dan orang akan menderita gejala-gejala yang tidak dikehendaki. Ada banyak sekali cara yang dapat digunakan untuk mengukur mutu protein secara kualitatif, tetapi nampaknya tidak satupun sepenuhnya yang memuaskan. Cara analisis ini dapat dilakukan secara biologis maupun secara kimia.

Suatu cara penilaian untuk mengetahui ketersediaan protein dalam tubuh disebut teknik evaluasi protein. Secara garis besar, metode evaluasi nilai gizi protein digolongkan menjadi dua macam, yaitu metode in vitro (secara kimia, mikrobiologis, atau enzimatis) dan in vivo (secara biologis menggunakan hewan percobaan secara utuh, termasuk manusia) (Muchtadi 2010b). Teknik evaluasi yang mendekati pada keadaan yang sebenarnya dilakukan secara in vivo dengan menggunakan hewan percobaan, yang pada penelitian ini menggunakan tikus putih. Metode yang digunakan tentu harus dapat mengevaluasi kemampuan

Gambar

Tabel 1   Komposisi kimia kedelai (per 100 g)
Tabel 2   Komposisi kimia tempe (per 100 g)
Tabel  3      Jumlah  asam  amino  bebas  (mg/100  g)  pada  proses  fermentasi  kedelai  menggunakan R.oligosporus

Referensi

Dokumen terkait

Sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Febrina (2011) dapat dikatakan bahwa leverage tidak berpengaruh signifikan terhadap kebijakan pengungkapan

Untuk membuat sebuah aplikasi MVC, sebenarnya sama dengan yang dijelaskan pada bab 2, tetapi yang membedakan adalah adanya implementasi PersistenceAware, yang merupakan sebuah

Pelatihan analisis tes menggunakan software ITEMAN bagi guru Madrasah Ibtidaiyah Muhammadiyah dalam lingkup Cabang Muhammadiyah Karanglewas Banyumas berjalan dengan

Oleh karena itu pelaksanaan pengadaan barang dan jasa Pemerintah dalam rangka penanganan pandemi COVID-19 dilakukan sesuai prosedur keadaan darurat yang secara rinci diatur

MENGHITUNG TAMBAHAN LUAS SETIAP STATION DARI SARAT KAPAL SAMPAI UPPER DECK DAN MENGAKUMULASIKAN DENGAN LUAS TIAP STATION SAMPAI SARAT KAPAL SEBELUMNYA PADA TABEL 2 PERHITUNGAN

Selain itu, konseling mengenai ASI eksklusif juga dapat dilakukan pada kunjungan K1 dan K4 karena dari data kunjungan ibu hamil pada K1 dan K4 jumlah yang

[r]