• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN (FRAUD) DALAM TRANSAKSI PERBANKAN

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN (FRAUD) DALAM TRANSAKSI PERBANKAN"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN (FRAUD) DALAM TRANSAKSI PERBANKAN

(Jurnal)

Oleh

M. Ferryzal Pratama NPM: 1412011223

FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(2)

ABSTRAK

PENEGAKAN HUKUM TERHADAP TINDAK PIDANA PENYIMPANGAN (FRAUD) DALAM TRANSAKSI PERBANKAN

Oleh

M Ferryzal Pratama, Firganefi, Dona Raisa Monica Email : ferryzmuhammad@gmail.com

Pelaksanaan perjanjian antara pihak bank dengan pihak nasabah dapat memicu suatu tindakan fraud, baik yang dilakukan oleh pihak internal bank maupun yang dilakukan oleh pihak luar bank. Fraud sendiri adalah sebuah perbuatan kecurangan yang melanggar hukum yang dilakukan secara sengajadan sifatnya dapat merugikan pihak lain. Permasalahan dalam penelitian ini adalahbagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan (fraud) dalam transaksi perbankan dan apakah faktor yang menjadi penghambat dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan (fraud) dalam transaksi perbankan. Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, diketahui bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan adalah melalui upaya dengan diterapkannya tahap-tahap penegakan hukum yaitu tahap formulasi, aplikasi dan eksekusi. Sedangkan faktor dominan yang menjadi penghambat yaitu faktor masyarakat, kurangnya kesadaran masyarakat terhadap hukum khususnya di bidang tindak pidana perbankan serta faktor kebudayaan, siapapun dapat melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain, baik materi maupun bukan materi, dikarenakan faktor kesempatan serta kehidupan glamour dari pelaku tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan dikalangan pergaulan teman-temannya. Saran dalam penelitian ini adalah Bank diharapkan agar lebih terbuka dan dapat bekerja sama dengan aparat penegak hukum terhadap kasus-kasus tindak pidana perbankan agar kasus tersebut dapat diproses hingga ke ranah pengadilan, karena banyaknya kasus yang tidak sampai pada ranah pengadilan.

(3)

ABSTRACT

THE LAW ENFORCEMENT ON CRIMINAL DEVIATION (FRAUD) IN BANKING TRANSACTIONS

By

M Ferryzal Pratama, Firganefi, Dona Raisa Monica Email : ferryzmuhammad@gmail.com

The implementation of the agreement between the bank and the customers can trigger an act of fraud, whether done by the internal bank or by an outsider of the bank. Fraud itself is an act of cheating in violation of the law that is done deliberately and it can harm other parties. The problem in this research is The law enforcement on criminal deviation (fraud) In banking transactions and what are the inhibiting factorsenforcement on criminal deviation (fraud) in banking transactionsBased on the results and the discussion of the research, it revealed that the law enforcement against criminal fraud in banking transactions has been done through the implementation of the stages of law enforcement: stage of formulation, application and execution. The dominant factors that inhibit the case was the factor of society who have lack of public awareness about the law, especially in the field of banking crime and also cultural factor where anyone can do the crime that can harm others, both material and non-material, due to the opportunity factor and the glamor life style of the perpetrator of criminal deviation in banking transactions. The suggested this research that the Bank is expected to be more open and to cooperate with the law enforcement officers on banking crime cases so that the case can be processed up to the court, since there are many cases that do not reach the court.

(4)

I. PENDAHULUAN

Penegakan hukum pada hakikatnya merupakan penegakan ide-ide atau konsep-konsep tentang keadilan, kebenaran, kemanfaatan sosial, dan sebagainya.Penegakan hukum merupakan usaha untuk mewujudkan ide dan konsep-konsep tersebut menjadi kenyataan. Hakikatnya penegakan hukum mewujudkan nilai-nilai atau kaedah-kaedah yang memuat keadilan dan kebenaran, penegakan hukum bukan hanya menjadi tugas dari para penegak hukum yang sudah di kenal secara konvensional, tetapi menjadi tugas dari setiap orang. Meskipun demikian, dalam kaitannya dengan hukum publik pemerintahlah yang bertanggung jawab.1

Usaha dan jenis kegiatan yang dilakukan oleh bank, akan membuka kesempatan bagi pihak yang tidak bertanggung jawab atau oknum-oknum tertentu untuk memetik keuntungan pribadi, yakni dengan melakukan kecurangan-kecurangan yang merugikan pihak lain atau bahkan melakukan suatu tindak pidana. Pihak atau oknum yang melakukan suatu tindak pidana tersebut adalah mereka yang dalam pekerjaan sehari-harinya mengguna-kan bank sebagai sarana untuk melakukan tindak pidana baik yang meliputi pihak eksternal bank maupun yang meliputi pihak internal bank, misalnya pegawai bank, anggota direksi bank, nasabah bank, anggota dewan komisaris bank, pemegang saham bank, maupun pejabat negara yang berwenang dalam mengawasi bank.

1Siswanto Sunarso, Wawasan Penegakan

Hukum Di Indonesia, PT Citra Aditya Bakti: Bandung, 2005.

Transaksi adalah suatu kejadian ekonomi atau keuangan yang melibatkan paling tidak dua pihak (seseorang dengan seseorang atau beberapa orang lainnya) yang saling melakukan pertukaran, melibatkan diri dalam perserikatan usaha pinjam meminjam dan lain-lain atas dasar suka sama suka ataupun atas dasar suatu ketetapan hukum atau syariat yang berlaku.2

Perbankan menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.3

Kegiatan transaksi keuangan biasanya pihak nasabah dengan bank mengadakan suatu perjanjian yang berisi kesepakatan antara bank dengan nasabah di dalam melakukan suatu transaksi perbankan. Perjanjian tersebut dapat berupa antara pihak bank dengan nasabah penyimpan dana (kreditur) ataupun dengan nasabah peminjam dana (debitur). Di dalam pelaksanaan perjanjian antara pihak bank dengan pihak nasabah dapat memicu suatu tindakan fraud, baik yang dilakukan oleh pihak internal bank maupun yang dilakukan oleh pihak luar bank.

2Slamet Wiyono, Cara Mudah Memahami

Akutansi Perbankan Syariah Berdasarkan

PSAK dan PAPSI, PT Gramedia

Widiasarana Indonesia: Jakarta, 2005. 3Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998

(5)

Fraudsendiri adalah sebuah istilah di bidang IT yang artinya sebuah perbuatan kecurangan yang melanggar hukum (illegal acts)yang dilakukan secara sengajadan sifatnya dapatmerugikan pihak lain. Istilah keseharian adalah kecurangan diberi nama yang berlainan seperti pencurian, penyerobotan, pemerasan, penjiplakan, penggelapan, dan lain-lain.4 Dasar hukum fraudterdapat didalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan terbagi menjadi tiga belas macam tindak pidana yang diatur mulai dari Pasal 46 sampai dengan Pasal 50A.

Salah satu contoh kasus fraudyang terjadi adalah masalah yang melibatkan salah satu bank BUMN dengan pejabat publik di Lampung. Kasus dengan modus yang terjadi di Bank Rakyat Indonesia (BRI) Kantor Cabang Utama Teluk Betung, Bandar Lampung oleh Natar Perdana Group (NPG), perusahaan milik Wakil Bupati Lampung Selatan Eky Setyanto (ES).Saat mengajukan kredit, tercatat Direktur PT NPM dan CV NPA adalah Eky Setyanto, NPG berperan sebagai avalis (lembaga pembiayaan) dan mengajukan kredit kendaraan bermotor/KKB kepada PT BRI KCU Telukbetung Bandar Lampung, Diduga NPG menyalah-gunakan kesepakatan dengan memalsukan dokumen kredit, dari jumlah kreditor tersebut sebanyak 10.795 kreditor atau senilai Rp81,2 miliar dinyatakan fiktif. Kredit macet tersebut terjadi disinyalir atau diduga karena dana KKB dipergunakan untuk keperluan ES dalam proses

4https://arezky125.wordpress.com/

pencalonannya sebagai wakil bupati pada Pilkada Kabupaten Lampung Selatan 2010. CV NPA pada tahun 2011 secara bertahap mengembali-kan seluruh tunggamengembali-kan dana, berikut bunga ke BRI dalam tempo yang cukup singkat, sekitar empat bulan, NPA mengembalikan seluruh pinjaman ke BRI pada pertengahan tahun 2011.5

Kasus fraud lainnya yang terjadi adalah kasus pencairan deposito dan melarikan pembobolan tabungan nasabah Bank Mandiri yang melibatkan lima tersangka dimana salah satu pelakunya Customer Service bank tersebut. Modusnya memalsukan tanda tangan di slip penarikan, kemudian ditransfer ke rekening tersangka. Kasus yang juga terjadi pada tahun 2011 ini menyebabkan kerugian Rp.18 miliar.6

Berdasarkan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 13/28/DPNP tanggal 9 Desember 2011,fraud merupakan tindakan penyimpangan atau pembiaran yang sengaja dilakukan untuk mengelabui, menipu, atau memanipulasi bank, nasabah, atau pihak lain, yang terjadi di lingkungan bank dan atau menggunakan saranabank sehingga mengakibatkan bank, nasabah, atau pihak lain menderita kerugian dan atau pelaku fraud memperoleh keuntungan keuangan baik secara langsung maupun tidak langsung.7

7Surat Edaran Nomor 15/15/DPNP/2013

(6)

Tindakan fraud dapat dipicu oleh beberapa faktor yang dapat berasal dari dalam diri ataupun yang berasal dari luar dirinya. Secara umum penyebab seseorang melakukan tindakan fraud, yaitu tekanan, kesempatan, dan rasionalisasi.Fraud sendiri dilihat sangat merugikan dalam sektor perbankan karena dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan dari masyarakat atau nasabah kepada bank yang berdampak buruk bagi keberlangsungan kegiatan bank.

Berdasarkan uraian latar belakang diatas penegakan hukum terhadap tindak pidana fraud itu sendiri belum maksimal di dalam proses penyelesaiannya, bahkan dari kasus-kasus yang sudah terjadi di Indonesia masih mengalami ketidakjelasan dalam proses penyelesaiannya, baik proses penyeselesaian melalui pengadilan maupun proses secara intern antara pihak bank itu sendiri maupun dari pihak nasabah.

Sepatutnya diberlakukan pening-katan dalam penegakan hukum terhadap pelaku atau oknum-oknum tertentu yang melakukan tindak pidanafraud dalam transaksi perbankan agar bagi pelaku atau oknum-oknum yang melakukan perbuatan tersebut dapat dikenakan hukuman pidana. Oleh karena itu maka penulis menganggap bahwa perlunya penulis memilih judul ini. Dalam skripsi yang dibahas, penulis mengangkat sebuah judul yaitu:

“Penegakan Hukum Terhadap

Tindak Pidana Penyimpangan (Fraud) Dalam Transaksi Perbankan”

Berdasarkan uraian latar belakang dan memperhatikan pokok-pokok pikiran di atas, maka yang menjadi

pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah:

a. Bagaimanakah penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan (fraud) dalam transaksi perbankan ?

b. Apakah faktor yangmenghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan (fraud) dalam transaksi perbankan ?

II. METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif dan pendekatan yuridis empiris. Sedangkan berdasarkan sifat, bentuk, dan tujuannya adalah penelitian deskriptif dan problem identification, yaitu mengidentifikasi masalah yang muncul kemudian dijelaskan berdasarkan peraturan-peraturan atau perundang-undangan yang berlaku serta ditunjang dengan landasan teori yang berhubungan dengan penelitian. Metode analisis data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif, dan prosedur pengumpulan data dalam penulisan penelitian ini dengan cara studi kepustakaan dan lapangan.

III. PEMBAHASAN

A. Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyimpangan (Fraud) Dalam Transaksi Perbankan

(7)

penyidikan. Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan fraud yang dilakukan oleh pihak Satreskrim Polresta Bandar Lampung sudah maksimal, tetapi dalam kenyataannya penegakan hukum terhadap para pelaku tindak pidana penyimpangan fraud kebanyakan hanya sampai pada tahap pelaporan dan penyidikan. Pihak Satreskrim Polresta Bandar Lampung sudah melengkapi berkas penyidikan atau P21, namun tidak pernah mendapat informasi lebih lanjut mengenai proses peradilan.8

Erna Dewi menyatakan Penegakan Hukum yang dipakai adalah menggunakan sistem peradilan pidana terpadu atau sistem penegakan hukum pidana yang integral, yaitu sistem kekuasaan atau kewenangan menegakan hukum pidana yang diwujudkan atau diimplementasikan dalam 4 (empat) sub-sistem dalam proses peradilan pidana, yaitu:9

a. Kekuasaan penyidikan oleh badan atau lembaga penyidik.

b. Kekuasaan penuntutan oleh badan atau lembaga penuntut umum c. Kekuasaan mengadili dan

menjatuhkan putusan atau pidana oleh badan atau lembaga pengadilan

d. Kekuasaan pelaksana putusan atau pidana oleh badan atau aparat pelaksana atau ekseskusi.

Penyidikan terhadap tindak pidana penyimpangan fraud sendiri menurut

8Hasil wawancara dengan Rinaldy Sucipno,

Penyidik Satreskrim Polresta Bandar Lampung, 12 Oktober 2017.

9Hasil wawancara dengan Erna Dewi,

akademisi Fakultas Hukum Bagian Pidana Universitas Lampung, 19 Oktober 2017.

M Rama Erfan sama halnya dengan proses penyidikan didalam ketentuan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).10 Penyidikan sendiri adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam Undang-Undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Hal ini ditandai dengan adanya suatu laporan atau pengaduan masyarakat yang mengalami, melihat, menyaksikan dan atau menjadi korban peristiwa yang merupakan tindak pidana.

Fitria Agustina menyatakan apabila kasus tindakan fraud itu merugikan pihak nasabah dengan jumlah yang cukup besar dan apabila oknum pegawai bank sendiri tidak dapat mengembalikannya maka pihak bank baru mengajukan kasus tersebut kepada pihak kepolisian. Namun apabila pelaku oknum pegawai bank tersebut bisa mengembalikan jumlah yang diambil dari pihak nasabah maka dapat diselesaikan secara intern oleh pihak bank, namun tetap pelaku oknum pegawai tersebut diberhentikan oleh pihak bank secara tidak hormat. Fitria Agustina menyatakan di dalam bank terdapat team khusus yaitu team audit dimana team tersebut merupakan team yang tugasnya untuk memonitor apakah transaksi perbankan yang dilakukan oleh pegawai-pegawai bank sudah berjalan dengan baik atau belum, apabila ditemukan suatu indikasi kasus seperti halnya fraud maka pihak bank dapat menarik atau memanggil oknum pegawai bank tersebut untuk memeriksa atau

10Hasil wawancara dengan M Rama Erfan,

(8)

menginterogasi oknum pegawai bank apakah benar terjadi suatu tindakan fraud atau tidak sebelum kasus tersebut tersebar ke luar lingkungan bank. Karena seperti dikatakan sebelumnya tindakan fraud merupakan tindakan yang mempengaruhi reputasi bank itu sendiri.11

Kemudian Fitria Agustina menambahkan bahwa sebenarnya pihak bank sendiri sudah mengupayakan untuk mencegah terjadinya tindakan fraud sendiri dengan mengeluarkan Surat Edaran Nomor 13/28/DPNP/2013 tentang Penerapan Strategi Anti Fraud bagi Bank Umum.12Strategi anti Fraud yang dalam penerapannya berupa sistem pengendalian Fraud, memiliki 4 (empat) pilar sebagai berikut: a. Pencegahan

b. Deteksi

c. Investigasi, Pelaporan, dan Sanksi

d. Pemantauan, Evaluasi, dan Tindak Lanjut

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dilakukan dengan cara full enforcement atau lebih dikenal dengan penegakan secara penuh, karena penegak hukum diharapkan mampu menegakan hukum secara maksimal.

11Ibid.

12Hasil wawancara dengan Fitria Agustina,

Pegawai Bank Mandiri Cabang Kartini Bandar Lampung, 20 Oktober 2017.

Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dapat dilakukan dengan melalui dua jalur yaitu dengan jalur non penal yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif atau pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dengan lebih mengarahkan kepada sosialisasi peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang yang mengantur tentang tindak pidana perbankan. Selanjutnya melalui jalur penal yang menitikberatkan pada sifat refresif atau pemberantasan setelah terjadinya kejahatan dengan dilakukannya penyidikan untuk selanjutnya dapat di proses melalui pengadilan.

Penulis menganalisis berdasarkan hasil dari wawancara yang dilakukan terhadap lembaga penegak hukum di Bandar Lampung, dalam tahap formulasi telah memiliki landasan dalam menegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan walaupun mengingat, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan bahwa aturan perbuatan tindak pidana tersebut memiliki kelemahan dalam pelaksanaan hukum pidana itu sendiri.

(9)

transaksi perbankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, seharusnya walaupun kasus yang diangkat oleh penulis bukan merupakan kasus delik aduan apabila pihak pelapor mencabut laporannya dari kepolisian, kasus tersebut harus tetap jalan sampai ke Pengadilan, dikarenakan kasus tersebut tidak dapat menghapus perbuatan tindak pidana dimana perbuatan tersebut melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dan walaupun pelaku oknum pegawai bank tersebut sudah mengembalikan kerugian kepada pihak korban, pelaku tetap dapat di adili dalam Pengadilan dengan mengembalikan kerugian kepada pihak korban, pelaku dapat keringanan hukuman atau sanksi dari tuntutan oleh Penuntut Umum dan dipertimbangkan kembali oleh Hakim pada saat putusan akhir.13

Penulis menganalisis bahwa penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, dalam tahap eksekusi nyatanya dilapangan belum sejalan dengan teori dan pendapat para

13Hasil wawancara dengan Hasmy, Hakim

Pengadilan Negeri Tanjung Karang, 10 Oktober 2017.

sarjana hukum sebagaimana yang digunakan untuk menemukan permasalahan antar teori dengan pelaksanaan penegakan hukum tersebut baik itu terhadap Undang-Undang, Aparat Penegak Hukum, dan faktor dari kesadaran masyarakatnya sendiri.

Berdasarkan uraian diatas penulis berpendapat jika dikaitkan dengan kasus yang diangkat oleh penulis, kasus tersebut diproses hanya sampai pada tahap formulasi dimana sesuai dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dan tahap aplikasi dimana hanya sampai pada tahap penyidikan oleh pihak kepolisian, namun pada tahap eksekusinya tidak diterapkan dimana seharusnya kasus tersebut diproses sampai pada tahap penuntutan hingga tahap pemutusan oleh Hakim, dikarenakan kasus tersebut sebelum masuk tahap eksekusi sudah dicabut dari pihak pelapor, seharusnya kasus tersebut harus sampai dalam tahap eksekusi, karena kasus tersebut bukan merupakan delik aduan dimana tidak dapat menghapuskan perbuatan tindak pidana walaupun dari pihak pelapor sudah mencabutnya.

(10)

B. Faktor Penghambat Penegakan Hukum Terhadap Tindak Pidana Penyimpangan (Fraud) Dalam Transaksi Perbankan

Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan narasumber yang menjadi penghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan adalah sebagai berikut:

1. Faktor Undang-Undang

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, ditemukan faktor penghambat dari Undang-Undang, artinya dalam substansi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan memiliki kelemahan-kelemahan diantaranya: a. Undang-Undang memiliki

sanksi pidana yang berat tetapi pada penerapannya masih belum maksimal.14

b. Batasan masih sarat dengan muatan standar yang tidak jelas, misalnya standar mengaburkan, interpretasi suatu mengaburkan. Dalam hal ini kita tidak mengetahui siapa yang berhak menilai standarnya.15

c. Penjelasan dari Pasal 49 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan sebenarnya

14Hasil wawancara dengan Erna Dewi,

akademisi Fakultas Hukum Bagian Pidana Universitas Lampung, 19 Oktober 2017. 15Hasil wawancara dengan Hasmy, Hakim

Pengadilan Negeri Tanjung Karang, 10 Oktober 2017.

sudah sangat jelas, namun didalam lapangan nyatanya tidak diterapkan.16

2. Faktor Penegak Hukum

Terbatasnya pemahaman aparat penegak hukum terhadap tindak pidana penyimpangan fraud tentu akan bermuara pada kualitas penanganannya terhadap kasus tindak pidana penyimpangan fraud mengingat kasus jenis tersebut merupakan kasus yang memerlukan pengetahuan khusus, terlebih kasus tindak pidana penyimpangan fraud pada zaman ini sudah banyak terjadi walaupun kasusnya tidak pernah sampai pada ranah pengadilan atau bahkan kasus tersebut tidak tercuat kedalam ranah lingkungan publik, karena pada dasarnya kasus tindak pidana penyimpangan fraud sangat sensitif terhadap reputasi suatu bank. Oleh karena itu jumlah aparat hukum dan unit yang terkait akan sangat berpengaruh terhadap kecepatan penanganan kasus.

3. Faktor Sarana dan Fasilitas Berdasarkan pada kenyataanya dilapangan, penulis berpendapat faktor yang menghambat penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan adalah tingginya biaya yang harus dikeluarkan untuk melaksanakan kegiatan penyelidikan dan kegiatan penyuluhan yang dilakukan oleh aparat penegak hukum pada perguruan tinggi serta informasi publik tentang tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan terlebih tindak pidana ini merupakan hal yang

16Hasil wawancara dengan M Rama Erfan,

(11)

sensitif terhadap reputasi suatu bank. Dilihat dari jumlah personil kepolisian, sesuatu yang tidak mungkin untuk melakukan pengawasan khusus agar kasus tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan dapat ditekankan.

4. Faktor Masyarakat

Masyarakat turut mempengaruhi dalam halnya penegakan hukum pidana di Indonesia. Dalam hal ini, masyarakat harus sadar hukum dan menjaga moral serta meningkatkan keimanan dengan cara meyakini bahwa apa yang telah dilakukannya terhadap orang lain dapat merugikan orang lain dan tempat ia bekerja karena itu sudah ada hukum yang mengaturnya. Sehingga masyarakat tidak melakukan hal-hal yang dilarang yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan. Begitu pula pada korban yang dirugikan atas tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan agar melaporkan kepada pihak yang berwajib dan tidak mencabut lagi laporannya apabila dirasa pelaku mengembalikan hak dari korban agar kasus tersebut tetap berjalan sampai pada ranah pengadilan.

5. Faktor Kebudayaan

Menurut pendapat penulis kebudayaan yang berada pada masyarakat sekarang tidak hanya kebudayaan tradisional saja, melainkan sudah tercampur dengan budaya-budaya luar yang masuk ke Indonesia. Budaya-budaya luar yang

tidak sesuai dengan budaya Indonesia tidak dapat disaring terlebih dahulu oleh orang Indonesia, mereka cenderung akan menelannya bulat-bulat. Tayangan televisi yang memperkenalkan budaya tidak menyayangi antar sesama seperti korupsi, penggelapan, mengancam, serta meretas, sudah masuk ke dalam pikiran orang yang menonton tayangan televisi dan kurangnya bijaksana dalam menyaring hal-hal baru, sehingga kasus tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan dianggap lumrah dan menjadi suatu budaya yang akan semakin menjamur khususnya dibidang perbankan sendiri pada saat ini.

(12)

teman-temannya. Dengan masuknya kebudayaan pribadi sipelaku yang seperti ini, tidak tutup kemungkinan masyarakat akan membawa kebiasaan-kebiasaan atau membawa perilaku yang mereka dapat dari kehidupan glamour dari pelaku tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan dikalangan pergaulan teman-temannya.

Perlu disadari, bahwa penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan kejahatan hanya bersifat Kurieren am Symptom dan bukan sebagai faktor yang menghilangkan sebab-sebab terjadi-nya kejahatan. Adaterjadi-nya sanksi pidana hanyalah berusaha mengatasi gejala atau akibat dari penyakit dan bukan sebagai obat (ultimum remidium) untuk mengatasi sebab-sebab terjadinya penyakit. Hukum pidana memiliki kemampuan yang terbatas dalam upaya penanggulangan kejahatan yang begitu beragam dan kompleks. Oleh sebab itu, perlu adanya pendekatan non penal yang berkaitan dengan kelemahan penegakan hukum pidana terhadap tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan.

IV. PENUTUP A. Simpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan dan diuraikan oleh penulis, maka dapat disimpulkan yaitu:

1. Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan berdasarkan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Pokok-Pokok Perbankan, sebagaimana telah diubah

dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dapat dilakukan dengan melalui dua jalur yaitu dengan jalur non penal yang lebih menitikberatkan pada sifat preventif atau pencegahan sebelum terjadinya kejahatan dengan lebih mengarahkan kepada sosialisasi peraturan perundang-undangan khususnya Undang-Undang yang mengantur tentang tindak pidana perbankan. Selanjutnya melalui jalur penal yang menitikberatkan pada sifat refresif atau pemberantasan setelah terjadinya kejahatan dengan dilakukannya penyidikan untuk selanjutnya dapat di proses melalui pengadilan.

Pada proses tersebut termasuk pada tahap formulasi, dimana tahap formulasi merupakan tahap penetapan sanksi oleh pihak yang berwenang. Agar penegakan hukum pidana terhadap pelaku tindak pidana penyimpangan frauddalam transaksi perbankan lebih maksimal, penerapan tahap penegakan hukum harus berlanjut hingga ke tahap aplikasi yang merupakan tahap pemberian sanksi oleh pihak yang berwenang serta tahap eksekusi yang merupakan tahap dimana pelaksanaan sanksi dilakukan oleh pihak yang berwenang.

2. Faktor Penghambat Penegakan hukum terhadap tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan, antara lain: a. Masyarakat, dimana para

(13)

tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan agar melaporkan kepada pihak yang berwajib dan tidak mencabut lagi laporannya apabila dirasa pelaku mengembalikan hak dari korban agar kasus tersebut tetap berjalan sampai pada ranah pengadilan.

b. Kebudayaan, pada era modern seperti ini, siapapun dapat melakukan perbuatan yang dapat merugikan orang lain, baik materi maupun bukan materi, dikarenakan kesempatan serta kehidupan glamour dari pelaku tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan dikalangan pergaulan teman-temannya. Dengan masuknya kebudayaan pribadi sipelaku yang seperti ini, tidak tutup kemungkinan masyarakat akan membawa kebiasaan-kebiasaan atau membawa perilaku yang mereka dapat dari kehidupan glamour dari pelaku tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan dikalangan pergaulan teman-temannya.

B. Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas maka dalam hal ini penulis dapat memberikan saran:

1. Bank diharapkan agar lebih terbuka dan dapat bekerja sama dengan aparat penegak hukum terhadap kasus-kasus tindak pidana perbankan agar kasus tersebut dapat diproses hingga ke ranah pengadilan sehingga kasus-kasus tersebut dapat

diselesaikan dan memberikan efek jera terhadap pelaku oknum-oknum pegawai bank, dengan begitu tujuan akhir penegakan hukum dapat tercapai.

2. Perlunya peningkatan kualitas dari aparat penegak hukum dengan cara diberikannya pemahaman yang mendalam tentang tindak pidana penyimpangan fraud dalam transaksi perbankan.

DAFTAR PUSTAKA

Nawawi Arief, Barda. 2008. Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Hukum Pidana dalam Penanggulangan Kejahatan, Kencana: Jakarta.

Sunarso, Siswanto. 2005.Wawasan

Penegakan Hukum Di

Indonesia, PT Citra Aditya Bakti: Bandung.

Surat Edaran Nomor 15/15/DPNP/2013 tentang Pelaksanaan Good Corporate Governance bagi Bank Umum,hlm.2 Poin (1) Bag. A.

Wiyono, Slamet.2005. Cara Mudah Memahami Akutansi Perbankan Syariah Berdasarkan PSAK dan

PAPSI, PT Gramedia

Widiasarana Indonesia: Jakarta.

http://tekno.kompas.com/read/2011/0 5/03/09441743/inilah.9.kasus.ke jahatan.perbankan

http://www.gresnews.com/berita/anal isis_hukum/0282-analisis- dugaan-kredit-fiktif-bri-teluk-betung/0/

Referensi

Dokumen terkait

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank Perkreditan Rakyat

Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 10 Tahun 1998. Republik Indonesia, Undang-Undang Nomor

39 Pasal 1 angka 13 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Peraturan Bank Indonesia Nomor

Bank Umum adalah Bank Umum sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 10 Tahun

Pengertian bank didalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 jo Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) adalah lembaga

Sesuai dengan Undang ‐ Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan Undang ‐ undang Nomor 10 Tahun 1998, Bank diwajibkan untuk

Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, yang selanjutnya diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas