• Tidak ada hasil yang ditemukan

EVOLUSI GERAKAN HTI DAN ANCAMAN TERHADAP GENERASI MUDA ISLAM

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "EVOLUSI GERAKAN HTI DAN ANCAMAN TERHADAP GENERASI MUDA ISLAM"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

EVOLUSI GERAKAN HTI DAN ANCAMAN

TERHADAP GENERASI MUDA ISLAM

Libasut Taqwa

Universitas Indonesia

libasuttaqwa@gmail.com

Abstract

After the fall of Soeharto‟s regime, Indonesia has experienced changes

in many aspects of such social life as politics, economy, and education. Soon, transnational-religious party has emerged. Hizbut-Tahrir Indo-nesia (HTI) has started its new agenda and mission, namely enforcing

the Islamic Caliphate and Shari'a and changing the Indonesia‟s

Consti-tution with the new constiConsti-tution they propose. This article a conceptual writing which deals with three objectives, are: analyzing the extent of the movement, the evolution of transnational Islamic religion, and how HTI has successfully gained sympathy and support from the Indone-sian young Muslims who subsequently become it loyal followers with strong militancy. The writer concludes that HTI along with its

propaganda has, in fact, threatened national concept of Indonesia‟s

constitution. Therefore, it is important to protect the young generation from such ideological propaganda as discussion, organization, mass media, and other means employed by HTI in order to influence them.

Key Words: Young generation, HTI, movement

Abstrak

Setelah jatuhnya rezim Soeharto, banyak perubahan di beberapa area kehidupan. Seperti politik, ekonomi, dan lain sebagainya. Setelah itu, muncul partai agama yang bersifat transnasional. Hizbut Tahrir memulai agenda baru atau misi untuk menegakkan Khilafah dan syariat Islam, dan mengubah konstitusi negara. Tulisan ini menyang-kut tiga tujuan khusus; menganalisis sejauh mana gerakan, serta evolusi agama Islam transnasional, bagaimana HTI memenangkan simpatisan dan pengikut terutama di kalangan generasi muda dengan militansi yang kuat. Juga, bagaimana organisasi ini melancarkan propaganda politik atas dasar gerakan sosial. Artikel ini menyim-pulkan bahwa HTI dengan semua derivasi propaganda, telah meng-ancam konsep nasional konstitusi Indonesia. Dengan demikian, generasi muda harus dilindungi dari propaganda ideologi baik lewat diskusi, organisasi, media massa, dan perangkat lainnya.

(2)

Pendahuluan

Setelah Soeharto lengser, pergeseran peta demokratisasi di Indonesia terus berkembang ke arah tak menentu. Alih-alih mencapai cita-cita reformasi, bangsa Indonesia kian terpuruk dengan ragam permasalahan yang hingga kini belum menemukan solusi bagi terselesainya konsolidasi demokrasi. Meskipun usaha-usaha telah dilakukan oleh berbagai kalangan demi perbaikan sektor-sektor penting yang ada di seluruh pranata masyarakat dan negara. Permasalahan-permasalahan seperti korupsi, penegakkan hukum, isu mayoritas-minoritas, atau bahkan konflik politik-agama seakan tak menghasilkan jalan temu.

Di tengah ketidakmenentuan itu, situasi perkembangan negara bahkan tergerus dengan munculnya berbagai kelompok keagamaan baru yang mengancam stabilitas negara. Sebagai justifikasi gerakan demokratisasi, kelompok-kelompok keaga-maan yang bermunculan sebenarnya tidak memberikan dampak negatif terhadap keadaan negara, namun persoalan-nya menjadi lain ketika yang menjadi basis propaganda gerakan adalah perubahan total konstitusi yang bahkan sudah selesai saat sebelum negara ini berwujud Negara Kesatuan Republik Indonesia.

(3)

Setelah sekian lama diresmikan, HTI melangsungkan Konferensi Internasional pertamanya di Indonesia pada 28 Mei 2000 di lapangan Tenis Indoor Senayan Jakarta dengan ratusan pendukung dan simpatisan. Tujuh tahun setelah itu, Konferensi Internasional kedua terselenggara dengan kurang lebih 100.000 peserta pendukung dan simpatisan HTI. Melihat modus perjalanannya, Gerakan HTI bukan saja gerakan revolusioner, akan tetapi gerakan evolutif yang terus bergerak lamban tapi pasti mengembangkan doktrin kekhilafahan transnasional yang mengancam keutuhan NKRI. Apabila diperhatikan, ini menjadi sangat riskan terhadap pertumbuhan generasi masa depan Indonesia karena akan mencipta generasi yang meragukan konsensus yang dibuat bersama oleh para pendiri bangsa. Bukannya melahirkan kesejahteraan nasional, malah semakin memperkeruh persemaian ikatan kebhinekaan di Indonesia.

Dalam hal ini, penulis secara khusus membatasi penulisan dengan menganalisis sejauh mana perangkat gerakan, serta evolusi transnasional keagamaan Islam seperti HTI meraih simpatisan dan pengikut yang semakin banyak khususnya di kalangan generasi muda dengan militansi yang kukuh. Demikian pula, bagaimana organisasi ini melancarkan propaganda politik dengan basis gerakan sosial.

Embrio Awal Gerakan

(4)

Masdar Hilmy, bertransformasi pada tiga unsur utama, yaitu: pergerakan demografis, lembaga keagamaan transnasional, serta perpindahan gagasan atau ide. Jika pada gerakan pertama gerakan terfokus pada gerakan orang per orang, atau kelompok tertentu dari suatu negara ke negara lainnya, maka gerakan kedua lebih merupakan perangkat jejaring antar negara atau tempat tertentu, sedang pada gerakan ketiga, merupakan transformasi ide antar kelompok atau individu dan negara tertentu dan sebaliknya. Pergerakan ini, lanjut Hilmy, merupakan perangkat globalisasi yang tak terbendung, dengan meningkatnya teknologi komunikasi dan informasi era modern.

Gerakan ini menuai simpati masyarakat muslim, disebab-kan pandangan bahwa kemunduran masyarakat muslim dalam bernegara disebabkan mereka meninggalkan sistem kekha-lifahan universal yang mampu mengatur ruang hidup masya-rakat sehingga sejahtera dan makmur seperti masa lalu. Konsep politik ini diklaim didasarkan pada al-Qur‟an, sunnah, dan telah diwujudkan dalam sejarah kerajaan Islam yang panjang, sejak Nabi Muhammad hingga kejatuhan imperium Utsmani (Mujani, 2007: 78).

Di Indonesia sendiri, sebelum meraih momentum dengan konferensi umat di tahun 2000, embrio gerakan HTI telah mulai muncul sejak awal 80-an. Abdurrahman al-Baghdadi yang membangun bibit gerakan sejak awal 1982. Al-Baghdadi, seorang Lebanon yang berimigrasi ke Australia sejak muda, diundang oleh Abdullah bin Nuh, salah seorang petinggi agama di Bogor, Jawa Barat yang juga salah seorang dosen sastra di Universitas Indonesia. Inilah cikal-bakal basis gerakan di mana al-Baghdadi mendapat kesempatan merekrut mereka yang mayoritas mahasiswa IPB (Institut Pertanian Bogor) sebagai penyebar paham gerakannya (Fahlesa, 2010: 177).

(5)

lembaga dakwah ini bergerak secara klandestin dan memilih untuk tidak menampakkan diri dalam ranah sirkulasi politik nasional. momentum ini menjadikannya relatif aman dari tindakan represif penguasa waktu itu, dibanding beberapa ormas Islam lain yang secara vis a vis berhadapan dengan pemerintah.

Dengan gencarnya demokratisasi pasca kejatuhan Soeharto, HTI perlahan tapi pasti muncul meramaikan kebebasan pembentukan partai politik dengan menyelenggarakan konfe-rensi pertama sebagai introduksi awal di tahun 2000 kepada seluruh masyarakat Indonesia. HTI menandaskan, solusi satu-satunya dari krisis multidimensi di Indonesia adalah mengembalikan kekhalifahan yang sempat ditinggalkan umat Islam. Walaupun HTI hanya cabang dari Hizbut Tahrir pusat, dan masih sangat baru jika dibandingkan misalnya dengan Muhammadiyah dan NU, namun gerakannya cukup memikat bagi para pengikutnya di Indonesia, mengingat Indonesia adalah penduduk muslim terbesar di dunia dengan muslim “KTP” yang signifikan. Ini membuat perangkat propaganda HTI meraup banyak simpatisan hingga ke pelosok negeri.

(6)

Dalam konstitusinya, Khilafah didirikan atas empat hal: 1)kekuasaan adalah milik hukum Allah dan bukan milik rakyat; 2) otoritas dalah milik rakyat, yakni umat; 3) penun-jukan khalifah sebagai pejabat adalah kewajiban bagi setiap muslim; 4) hanya Khalifah yang mempunyai hak untuk meng-adopsi hukum-hukum syariah dan dengan demikian menjalan-kan undang-undang dasar dan berbagai hukum. Keempat hal di atas, menjadi common goals bagi partisipan dan anggota HTI dalam mewujudkan khilafah universal di dunia tanpa sekat kebangsaan atau negara.

Pendapat berlawanan datang dari Syafi‟i Ma‟arif yang meyakini, bahwa gagasan Islam sebagai din wa dawlah (agama dan negara) mengaburkan esensi kenabian Muhammad (Abdillah, 1999: 65). Gagasan tentang negara Islam sebenarnya didasarkan pada keyakinan bahwa kekuasaan hanya di tangan Allah, dan kekuasaan ini (Allah) dibandingkan dengan kekua-saan rakyat. Menurut Ma‟arif, penafsiran ini meredusir kekuasaan Allah, karena kedua kekuasaan tersebut tidak dapat dibandingkan. Politik di dunia ini, lanjut Ma‟arif, adalah urusan manusia karena Allah telah memberi mereka tanggung jawab politik dengan memilih atau dipilih untuk jabatan politik (Ma‟arif, 1985: 169).

Perdebatan sejak kemunculan HTI sampai menjadi salah satu organisasi besar di Indonesia kian memperbaharui perdebatan dasar dan bentuk negara yang dianggap final di Indonesia. Ini juga antara lain disebabkan tidak mampunya unsur-unsur kenegaraan dalam hal ini pemerintah mewujudkan kesejahteraan bagi warga negaranya karena banyak sekali kasus sebagai penyakit demokrasi mencuat ke permukaan seakan tak menemukan solusi.

Gerakan Politik HTI

(7)

tidak mengikuti kontestasi politik nasional dengan ikut andil dalam pemilihan umum. Model gerakan semacam ini, menurut Tony Fitzpatrick sebagai kegiatan ekstra-parlementer, yang menekankan politik sebagai medan perjuangan estetika, yakni kultur tandingan parlementer karena mengarah penuh pada masyarakat (centrifugal process) (Fitzpatrick, 1995).1

Gerakan seperti ini tidak akan terjun dalam pemilihan umum, karena menganggap sistem sekarang telah melakukan deviasi dari yang benar. Selaras dengan pengertian Fitzpatrick, gerakan HTI secara nyata telah mengakomodir isu-isu tunggal serta memobilisasi massa untuk mendirikan negara khilafah. Di sini terlihat bahwa aktivis HTI memandang terjun dalam ranah politik sepenuhnya mulia dan wajib, sebagai lawan dari muslim kontemporer yang cenderung menganggap politik sebagai kotor, dan karenanya perlu dihindari.

Sikap ini juga sama halnya terhadap partai politik kebanyakan, HTI keluar menentang aktifitas politik mainstream dengan menjalankan aktifitas politik nonrutin, yaitu aktifitas politik yang mengekspresikan keyakinan bahwa ada sesuatu yang salah dalam struktur politik dan kondisi sosial-ekonomi yang ada, dan/atau dalam kebijakan, dan/atau dalam diri para pejabat dan perilaku mereka. Aktifitas politik ini, sebagai rival dari aktifitas politik rutin -sebagaimana umum di Indonesia- bertujuan melakukan perubahan dengan mengecilkan arti penting aktifitas politik rutin karena anggapan tidak banyak merubah keadaan dan situasi politik dalam suatu masyarakat secara signifikan (Wasburn, 1982: 195-204).

1 Tony Fitzpatrick membagi kehidupan dunia politik menjadi dua proses

(8)

Secara umum, keberadaan HTI sebagai sebuah partai dapat diuraikan sebagai berikut (Abdullah, 2005: 134-136): Pertama,

tidak seperti lazimnya partai politik yang ada, kepemimpinan dan struktur partai dalam HTI bersifat tertutup untuk publik karena hanya bisa diketahui dan diakses oleh anggota. Ketertutupan ini dinyatakan secara tegas dengan fakta bahwa seluruh pengurus HTI baik tingkat pusat, wilayah, maupun daerah-tidak memilik kantor atau sekretariat (namun, sekarang telah mengalami banyak perubahan).

Kedua, HTI tidak menjalankan fungsi penyediaan calon-calon pemimpin atau wakil rakyat karena ia menolak berpartisipasi dalam pemilu. HTI juga tidak melakukan koalisi dengan kekuatan politik manapun, melainkan hanya mela-kukan pendekatan dan komunikasi dakwah agar kekuatan-kekuatan politik tersebut menerima dan memasukkan gaga-san-gagasannya dalam program politik mereka. Selain itu, HTI juga mengeluarkan pernyataan sikap, terkait isu-isu lokal, nasional, bahkan internasional terutama apabila terkait dengan kepentingan Islam dan kaum muslim.

Ketiga, meski pada awalnya didominasi kaum muda dan mahasiswa dari kampus sekuler, tetapi basis HTI kini semakin beragam, baik dari sisi usia, profesi, maupun latar-belakang sosial ekonomi. Upaya untuk memperluas basis dukungan dari beragam lingkungan kesibukan kini terus dilakukan HTI. Walaupun ada beberapa hal yang masih tidak jelas, seperti bagaimana menentukan taraf keislaman seorang pengikut, lingkungan profesi yang tidak sesuai dengan syariat Islam, serta lainnya.

(9)

Melihat keempat ciri HTI di atas, dapat disampaikan bahwa posisi HTI mengalami ambiguitas.Di satu sisi mengaku sebagai partai politik, namun di sisi lain menafikan segala bentuk sistem partai politik modern. Padahal, dengan segala perangkatnya, HTI merupakan entitas modern yang juga turut memberdayakan beragam bentuk dan upaya yang muncul dalam realitas hidup modern seperti media massa, media elektronik, dan sebagainya. Tampaklah bahwa HTI lebih merupakan sesuatu gerakan dan organisasi sosial, dan bukan merupakan sebuah partai politik.2

Perangkat Propaganda Gerakan

Lazim diketahui, HTI merupakan organisasi massa Islam yang sangat memahami manfaat dan fungsi berbagai perangkat komunikasi dan teknologi modern dalam menjaring dan menyebarkan dakwahnya ke seluruh Indonesia. Sejak merambah ke berbagai kalangan di Indonesia, media pertama yang digunakan HTI untuk menyosialisasikan pemikiran dan gerakannya adalah buletin Jumat al-Islam, buletin ini diterbitkan sejak 1994 dan disebarkan setiap Jumat di berbagai kota besar di Indonesia. Hingga Desember 2004, memasuki edisi ke-231 (Tahun XI) al-Islam telah meraih oplah sebesar 200.000 eksemplar. Selain dalam bentuk cetak, buletin ini juga ditampilkan pada situs www.al-islam.or.id.

Selain buletin, HTI juga mengeluarkan majalah bulanan

al-Wa’ie yang hingga tahun 2004 meraup oplah 15.000 eksemplar. Peluang mengkampanyekan gagasan mendapat respon bak gayung bersambut bagi sebagian masyarakat menengah perkotaan. Sejak November 2008, HTI kembali mengeluarkan media tabloid dwi-mingguan dengan nama “Media Umat” yang merupakan media lanjutan dari buletin al-Misykah di Jawa

2 Menurut Heberle, perbedaan paling tegas dari partai politik dan gerakan

(10)

Tengah, juga al-Miqyas di Yogyakarta. Ketiga media ini tidak hanya menjadi corong utama penyebaran isu khilafah dan syariat Islam, akan tetapi juga getol mengampanyekan berbagai macam isu-isu yang sedang hangat terjadi dalam negara.

Perkembangan beberapa media ini semakin mengemuka seperti diutarakan juru bicara HTI bahwa HTI memiliki sarana membina umat dengan buletin mingguan Al Islam dengan tiras 1,3 juta exemplar dan Media Umat dengan oplah 30 ribu exemplar, juga dengan media online yang link up ke Hizbut Tahrir di seluruh dunia. Tentu dengan cabang yang tersebar di 30 propinsi dan proses pembinaan umat yang dilakukan tiap minggu dan tiap bulan sekali yang jumlahnya ribuan oleh kader-kader Hizbut Tahrir (khabarislam.wordpress.com, 2009).

Di luar dua media rutin tersebut, sejauh ini HTI telah mengeluarkan kurang lebih 23 jenis buku yang harus menjadi pegangan setiap anggota dengan tiga buku pokok yang harus mereka kaji serius, yaitu Nidzam al-Islam (peraturan hidup dalam Islam), Mafahim Hizb al-Tahrir (Pokok-pokok Pikiran Hizbut Tahrir), dan al-Takatul Hizbi (Pembentukan Partai Politik) dan lain-lain (http://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_ Tahrir.or.id).

Di samping beragam media cetak yang dihasilkan, HTI juga secara rutin meng-update berita di website al-Islam.or.id yang merupakan situs pertama sejak 2002. Fungsinya menampilkan tulisan-tulisan yang termuat dalam buletin al-Islam yang disebar setiap hari Jumat. Seiring dengan berkembang pesatnya akses internet pasca 2000-an, pada maret 2004, HTI kembali meluncurkan situs keduanya dan yang paling terkenal, hizbut-tahrir.or.id. Selain sebagai masterpiece media, situs kedua ini juga menampilkan ragam tulisan dan laporan internasional tentang pelbagai usaha-usaha Hizbut Tahrir Internasional lainnya.

(11)

sampai dengan perguruan tinggi untuk mengikuti kegiatan kerohanian baik tingkat lokal hingga Internasional. Dari hasil pelatihan yang diadakan, jaringan radio juga berkembang di beberapa pusat Islam di Indonesia, seperti Oz FM, Real FM, dan Indralaya FM di Sumatera Selatan, yang memberikan slot khusus kepada HTI Sumatera Selatan untuk mengisi kajian keagamaan. Di Yogyakarta, Unisi FM memberikan kesempatan setiap Sabtu sore kepada HTI untuk mengisi program “Tanya Ustadz” yang dikhususkan bagi masyarakat guna konsultasi keislaman. Walaupun berakhir di tahun 2005, tetapi jejak HTI di Jogja sudah tidak bisa dianggap sebelah mata karena juga kembali lagi dengan radio Stasiun Arma 11 sebagaimana diungkap Tindiyo, Jubir HTI untuk Yogyakarta (Fahlesa, 2010: 190).

Evolusi Dukungan Generasi Muda

Melihat bonus demografi Indonesia pada tahun 2020-an nanti, diakui bahwa Indonesia akan menjelma menjadi negara dengan tingkat produktifitas luar biasa, khususnya di Asia Tenggara. Ini tidak hanya karena membludaknya angkatan muda produktif, tetapi juga sebagai konsekuensi logis tingkat

melek pendidikan yang terus berkembang.

Tentu saja melihat perkembangan tersebut, sebagai bangsa akan merasa bangga melihat masa depan generasi muda mendatang karena mampu mengemban misi kemajuan bangsa yang hingga sekarang belum dirasakan. Namun, melihat perkembangan pasca reformasi, pemuda seakan dihinggapi disorientasi kebangsaan dengan berbagai derivasinya yang dikhawatirkan, dan malah bisa menimbulkan disintegrasi bangsa di masa depan. Disorientasi ini terlihat seperti tidak ada keseimbangan antara pengetahuan keislaman dan keindonesiaan. Bagi yang memperdalam Islam secara rigid, mengetahui Indonesia sebagai realitas kebangsaan, harus diakui menjadi sangat longgar untuk ditekuni.

(12)

di perguruan tinggi yang notabene “sekuler” menjadi terkupas nilai-nilai keindonesiaannya, ketika dibenturkan dengan gaga-san serba “ideal”. Hal ini menjadi momok menakutkan apabila ditambah dengan beberapa fakta terkait bangsa yang belum mampu keluar dari keterpurukan ekonomi dan politik. Jaringan kampus yang dikenal sebagai LDK (Lembaga Dakwah Kampus) di beberapa Universitas “sekuler” seperti UNPAD Bandung, UI Jakarta, UGM Yogyakarta, UNAIR Surabaya, atau UNHAS Makassar (Elizabeth Fuller Collins, dalam Hilmy, 2014: 38) dengan cepat dicapai oleh HTI. Mengenai pengaruh dari masuknya HTI ini misalnya, terlihat dari pandangan salah satu mahasiswa universitas terkenal di Yogyakarta yang meragukan Pancasila dengan mengatakan bahwa kalau ada orang Islam yang tidak sepakat dengan Khilafah, maka Islamnya harus dipertanyakan (Wahid, 2009: 161).

Memang belum terdapat penelitian secara pasti mengenai sejauhmana tergerusnya semangat kepemudaan dalam meng-ejawantahkan Pancasila dalam kehidupannya. Namun fakta di lapangan menunjukkan bahwa semakin banyak saja aktifis pemuda yang kian meragukan eksistensi Pancasila sebagai konsensus terbaik dalam negara Indonesia. Kristalisasi dari pandangan tersebut terwakilkan oleh organisasi kemahasis-waan Gerakan Mahasiswa Pembebasan (Gema Pembebasan). Didirikan 28 Pebruari 2004 di Auditorium Pusat Studi Jepang Universitas Indonesia, Gema Pembebasan menjelma sebagai basis kampus sayap politik HTI yang cukup menjanjikan untuk memobilisasi massa mahasiswa atau mahasiswi. Walaupun ini kemudian dibantah, seperti ditulis dalam sejarah singkatnya.

“Mahasiswa dengan idealismenya memiliki potensi yang cukup

(13)

serta untuk melahirkan kader-kader dakwah mahasiswa yang

suatu saat akan terjun ke masyarakat.”(gemapembebasan.or.id)

Selain menjalankan beberapa kegiatan dan diskusi, Gema Pembebasan telah meluas di Indonesia hingga ke tingkat komisariat kampus dengan format pendaftaran sangat mudah, yang menjadi salah satu poin penting menyebarnya organisasi ini. Disebutkan dalam websitenya, bahwa pendaftaran cukup dengan mengisi formulir secara online dan pihak Gema Pembebasan akan menghubungi secara langsung pihak pendaftar. Ini berbeda misalnya dengan organisasi Mahasiswa seperti HMI atau PMII sebagai Organisasi Mahasiswa Islam terbesar yang cenderung memilih perekrutan internal lokal, dibanding pendaftaran anggota secara nasional seperti di atas.

Dalam perjalanannya, sebagai organisasi kemahasiswaan baru yang menentang Ideologi Pancasila dan menggantinya dengan khilafah internasional, Gema Pembebasan tak ayal mengalami resistensi di beberapa kampus Islam yang berhadapan dengan organisasi kemahasiswaan yang lebih dulu eksis seperti HMI atau PMII. Seringkali diskusi-diskusi yang diadakan dibubarkan paksa oleh aktivis nasionalis-religius di atas, keadaan yang kemudian jarang ditemukan dikampus-kampus sekuler.

Namun, dengan berbagai resistensi tersebut, Gema pembebasan seolah tidak jera karena terus menggelar diskusi rutin dalam tubuh anggota. Diskusi-diskusi ini disebut dengan istilah halaqah dan menjadi ajang diskusi dan pembacaan buku-buku utama HTI. Dalam diskusi-diskusi yang digelar, demi pendalaman indoktrinasi kekhalifahan, setiap anggota yang memiliki kecenderungan vokal dalam diskusi, akan diundang ke dalam diskusi kecil yang lebih intens di sebuah lokasi pelatihan privat dengan bimbingan langsung seorang

musyrif, mentor yang mendoktrin prinsip-prinsip utama HTI. Terkhusus buku-buku seperti nidzam al-Islam, mafahim, atau

(14)

Proses doktrinasi memakan waktu sekitar lima tahun, hingga seseorang yang telah terdidik secara khusus menjadi

musyrif yang menguasai betul prinsip-prinsip utama HTI. Propaganda ini, tidak hanya berhenti di kampus sebagai pusat berkembangnya intelektualisme kritis, tetapi juga merambah, para siswa-siswi sekolah dengan mengadakan berbagai kegiatan. Salah satu contohnya adalah muslim youth movement

dengan kedok memberdayakan siswa-siswi Islam. Mereka terus merasuki pikiran para siswa dengan doktrinasi Khilafah Islam. Kegiatan ini dilaksanakan secara kontinu di hampir 43 kota seluruh Indonesia (http://hizbut-tahrir.or.id).3

Kader yang kemudian dibekali, dididik dalam suatu suasana yang intensif, karena menerapkan sistem sel dalam pembinaanya. Selain itu, pengkaderan menggunakan sistem hierarki di mana posisi anggota dan calon anggota memiliki rasio antara 1: 10. Hierarki ini kemudian terbagi menjadi beberapa aktifitas penting; seorang calon anggota (daris) yang telah diangkat menjadi anggota (hizbiyyun) akan memainkan peranan internal sebagai musyrif pembimbing calon anggota, dan peranan eksternal sebagai propagandis dalam masyarakat, karib-kerabat, teman, atau publik melalui media dakwah HTI.

Proses panjang ini menjadi penting dalam pengkaderan HTI karena menjadi tumpuan dakwah khilafah wa syari’ah

masyarakat khususnya generasi muda. Walaupun sekarang sistem ini lebih terbuka bagi publik dan jarang dirahasiakan karena kebebasan demokrasi, ternyata dalam perjalanannya,

3Pertama, menjadi muslim sejati yang giat menuntut ilmu, belajar sepanjang

(15)

ini pernah berhasil di zaman Orde Baru sebagai taktik agar terbebas dari represi berlebihan oleh pemerintah.

Dari ulasan di atas, jelas bahwa HTI memiliki sistem perekrutan dan pengkaderan sistematis yang membuat organisasi ini sulit dilacak dan diberantas. Di sinilah diperlukannya peran pemuda-pemudi nasionalis guna

meng-counter segala bentuk gerakan yang mengancam keutuhan kebangsaan di masa depan.

Ancamannya terhadap Masa Depan NKRI

Ada beberapa alasan mengapa gerakan transnasional seperti HT semakin diminati (highly interested) dan mampu menjaring jumlah partisipan yang tidak sedikit. Pertama, sejak awal kemunculannya, HTI dengan mantap mengaktifkan demonstrasi massa damai dengan concern utama problem kenegaraan seperti kesenjangan ekonomi, kenaikan harga bahan bakar minyak dan komoditas ekonomi yang melambung tinggi, atau privatisasi aset-aset nasional yang dikuasai asing. Jadi, pada tahapan ini, selain gerakan politik keagamaan, kemampuan meraih simpati rakyat dengan isu-isu nasional juga menjadi agenda utama.

Kedua, HTI mengklaim bahwa gerakan keagamaannya terikat antara satu sama lain dengan gerakan serupa di berbagai belahan dunia. Konsekuensinya, bagi partisipan, gerakan yang dibangun tidak monoton dan berjalan sendiri, tapi dibumbui klaim mendapatkan dukungan umat Islam internasional yang kuat dengan total 27 negara di dunia.

(16)

sejak era reformasi, gerakan HTI memang dirasa unik, karena tidak seperti organisasi sosial lain seperti Nasdem, atau Perindo yang pada akhirnya bertransformasi menjadi partai politik, HTI cenderung konsisten, dengan menggaet dukungan unsur-unsur kelompok masyarakat dari berbagai segi demi mendukung gagasan politiknya dan telah menjadi ciri khas utama dari gerakan Hizbut Tahrir hampir di seluruh dunia. Perbedaan ini juga menjadi platform HTI karena lebih mengedepankan gerakan radikal baru yang terbatas pada tuntutan dipenuhinya aspirasi Islam, seperti pemberlakuan syariat Islam, dan belum sampai pada tataran menumbangkan rezim penguasa (Zada: 2002).

Apabila dicermati, tuntutan HTI selalu terfokus pada pelaksanaan khilafah dan pemberlakuan syariah Islam secara

kaffah di Indonesia dengan menafikan segala demokrasi dan derivasinya. Pancasila, konstitusi, bahkan segala hal yang terkait dengan sistem Indonesia. Menurut HTI, negara haruslah dipimpin seorang khalifah yang memberlakukan hukum dan perundangan Islam. Negara Islam tidak menoleransi konsep demokrasi, misalnya untuk diadopsi dalam pemerintahannya. Karena konsep demokrasi tidak berasal dari Islam dan, bahkan bertentangan dengan akidah Islam. Negara Islam harus memenuhi empat kriteria: 1) kedaulatan ada di tangan Tuhan sebagai pemberi hukum; 2) kekuasaan adalah milik umat; 3) hanya ada satu khalifah yang memimpin kaum muslim di seluruh dunia; 4) hanya Khalifah yang berhak memberlakukan hukum dan menyusun perundang-undangan berdasarkan syariat yang telah diturunkan Tuhan (Abdullah, 2005: 127).

(17)

dipatuhi selain dari yang telah digariskan Tuhan. Hukum yang ditetapkan Tuhan inilah yang menjadi metode untuk menerapkan Islam secara keseluruhan, untuk itu, sebagai misal, kaum muslim tidak boleh merubah hukum potong tangan menjadi hukum penjara atau yang lainnya (Hasan, 2003: 12-16).

Hal yang tidak dapat dipungkiri adalah terbentuknya negara sebagai sebuah konsensus manusia yang hidup secara bersama, dan berkelompok dalam suatu wilayah. Ini menjadi hal yang alamiah agar setiap kepentingan individu maupun kelompok dapat terjamin dalam kehidupan bersama tersebut. Ibnu Khaldun misalnya, membagi tipologi negara menjadi dua jenis, yang salah satunya adalah negara nomokrasi Islam, yang selain menggunakan hukum-hukum Tuhan juga menerapkan hukum yang bersumber dari kaidah-kaidah hukum yang ditetapkan manusia (Nafis, 2015, 138). Jadi, akan sangat sulit menetapkan hukum Tuhan secara mutlak dari Tuhan sendiri tanpa kemampuan manusia untuk mengejawantahkan hukum tersebut ke dalam sisi kemanusiaan. Dalam sebuah negara dan kehidupan modern, segala hukum yang bersumber dari Tuhan memerlukan penafsiran bagi manusia, dengan penafsiran bermacam ragamnya, karena harus pula disadari tidak ada penafsiran tunggal lagi semenjak Rasulullah meninggal dunia, sehingga sulit, untuk tidak mengatakan mustahil, menyimpulkan satu macam penafsiran dalam hukum itu sendiri apatah lagi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara paling majemuk di dunia seperti Indonesia.

(18)

penafsiran perbedaan yang dianjurkan sebagai rahmat. Islam masuk ke Indonesia sebagai akulturasi antara keislaman dan keindonesiaan yang harus diakui berlaku bagi setiap tata kehidupan keagamaan dan kebangsaan Indonesia.

Pancasila sebagai konsensus terbaik yang pernah dihasilkan bangsa ini merupakan hal yang harus diakui ikut mempersatukan beragam suku, budaya, dan agama di Indonesia.Tanpa itu semua, dirasakan sangat sulit membangun sebuah negara besar yang makmur dan bertahan hingga sekarang. Indonesia juga sama sekali tidak sama dengan Arab, atau negara-negara Timur Tengah lainnya, apalagi Eropa atau Amerika. Indonesia dibentuk dengan memperhatikan per-bedaan agama, suku, kebudayaan yang terpisah dari beragam pulau dari Sabang sampai Merauke. Untuk itulah sebenarnya gagasan HTI sangat bertentangan dengan semangat Pancasila dan nilai luhur keindonesiaan, karena menjadi Indonesia sejalan dengan menjadi seorang muslim. Umat muslim seharusnya mencari titik temu dan bukan kesenjangan antara keindonesiaan dan keislaman. Karena sebagai pendukung nilai-keindonesiaan, umat Islam semakin diharapkan tampil dengan tawaran kultural yang produktif dan konstruktif, terkhusus dalam mengisi nilai-nilai keindonesiaan dalam kerangka Pancasila dan UUD 1945 (Mas‟udi, 2010: VII).

(19)

Penutup

Indonesia sebagai negara dengan jumlah muslim terbesar di dunia memang menjadi salah satu destinasi berbagai aliran dan paham keislaman mulai dari asal muasal Islam di Timur Tengah, sampai negeri-negeri Barat seperti Amerika atau Eropa. Tak ayal, dinamika perkembangan pemikiran di Indonesia menjadi sangat unik dan beranekaragam apabila dibandingkan dengan beberapa negara dengan penduduk mayoritas muslim lainnya. Ini menjadi salah satu ciri khas tersendiri bagi Islam Indonesia. Akan tetapi menjadi hal lain apabila semua aliran-paham kepercayaan dalam Islam tersebut masuk ke Indonesia dengan memaksakan kehendak dan menunggalkan tafsir kebenaran bernegara yang seharusnya dapat diklaim oleh yang lain, termasuk HTI sebagaimana konsep kekhilafahan universalnya.

Dengan semakin majunya masyarakat modern, sehingga bermacam aliran dan paham kebangsaan tumbuh tak terbendung, harus diakui bahwa gerakan HTI telah merambah jauh ke ulu hati kepemudaan generasi Indonesia, sehingga berakibat pada melunturnya nilai-nilai kebangsaan dalam diri dan pribadi pemuda. Bagi mayoritas masyarakat, memang ini tidak berdampak singkat pada proses pengungkapan diri maupun pikiran pemuda, karena proses ini memakan waktu yang cukup lama, arah kepastian sistem yang terstruktur dan teragendakan menjadi hal yang tidak bisa dielakkan oleh siapapun di Indonesia. Perlahan namun pasti, HT akan terus berusaha mengikis jiwa nasionalisme Islam bangsa Indonesia yang majemuk. Untuk itulah kita harus mewaspadai evolusi gerakan HTI yang semakin hari -dengan memanfaatkan segala perangkat modern- semakin membahayakan cita-cita nasional-isme Indonesia.

(20)

dalam kehidupan majemuk kebangsaan. Lebih dari itu semua, gerakan HTI patut selalu diwaspadai oleh para aktivis Islam, khususnya oleh para aktivis ormas keagamaan yang “murni” Indonesia, karena berkehendak mengganggu dan merubah nilai-nilai kebangsaan Indonesia menjadi hal yang sama sekali lain. Usaha-usaha ke arah demikian, semestinya menjadi perhatian yang sangat jeli bagi para pemangku kekuasaan maupun warga masyarakat di Indonesia, khususnya para pemuda generasi bangsa agar tidak mudah terpengaruh oleh gerakan-gerakan impor dari luar Indonesia, baik dari Timur maupun Barat yang dapat mengancam eksistensi keindonesia-an dkeindonesia-an keislamkeindonesia-an, karena telah lama tersemai damai di bumi Indonesia.

Adapun ketika terjadi beragam hal dan belum sesuai dengan cita-cita nasional kebangsaan seperti korupsi, kolusi, nepotisme, kekerasan, diskriminasi, kejahatan, dan lain seba-gainya di negara ini, bukanlah cara yang arif dengan mengganti dasar dan konstitusi negara, tetapi dengan mena-namkan sublimasi nilai-nilai keislaman sebagai prinsip-prinsip dasar bernegara karena para founding fathers, telah menguras keringat memperdebatkan masalah-masalah keislaman dan kebangsaan sebagai puncak dari konsensus yang melahirkan Pancasila, NKRI, UUD 1945, dan lainnya yang memang sesuai dan patut untuk diperjuangkan dalam masyarakat Indonesia yang majemuk.

Daftar Rujukan

Abdullah, Kurniawan. 2005. Hizbut Tahrir Indonesia (Gerakan Politik Islam EkstraParlementer)”. Dalam Gerakan Keislaman Pasca Orde Baru: Upaya Merambah Dimensi Baru Islam. Ed. Tholkhah, Imam. Et al. Jakarta:Badan Litbang dan Diklat Keagamaan Departemen Agama RI

Abdillah, Masykuri. 1999. Demokrasi di Persimpangan Makna: Respon Intelektual Muslim Indonesia Terhadap Demokrasi (1966-1993).

Yogyakarta: Tiara Wacana

(21)

Hasan, Mahmud Abdul Karim. 1993. Metode Perubahan Sosial Politik dengan Pertarungan Pemikiran dan Perjuangan Politik Menurut Sunnah Rasulullah SAW. Jakarta: PSKII

Hilmy, Masdar. 2014. Islam, Politik, & Demokrasi; Pergulatan antara Agama, Negara, dan Kekuasaan. Surabaya: Imtiyaz

Ma’arif, Ahmad Syafi’i. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan. Jakarta: LP3ES

Mas’udi, Masdar Farid. 2010. Syarah Konstitusi UUD 1945 dalam Perspektif Islam. Jakarta: Pustaka Alvabet

Mujani, Saiful. 2007. Muslim Demokrat: Islam, Budaya Demokrasi, dan Partisipasi Politik di Indonesia Pasca-Orde Baru. Jakarta: Gramedia Pustak Utama

Munabari, Fahlesa. 2010. “Hizbut Tahrir Indonesia: The Rhetorical Struggle for Survival”. Dalam Islam in Contention: Rethinking Islam and State In Indonesia. Ed. Atsushi, Ota. Et al. First Edition. Jakarta-Kyoto-Taiwan: Wahid Institute-CSEAS-CAPAS

Nafis, Cholil M. Fikih Kebangsaan; Studi Historis dan Konseptual Perlindungan Kehidupan Beragama dalam Negara Bangsa. Jakarta: Mitra Abadi Press

Wahid, Abdurrahman, Ed. 2009. Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Desantara Utama Media

Wasburn, Philo C. 1982. Political Sociology: Approaches, Concepts and Hypotheses. New Jersey: Prentice-Hall

Zada, Khamami, 2002. Islam Radikal; Pergulatan Ormas-Ormas Islam Garis Keras di Indonesia. Jakarta: Teraju

https://khabarislam.wordpress.com/2009/05/29/29-05-09-video-manifes- to-hizbut-tahrir-untuk-indonesia-tyasno-sudarto-manifesto-hti-layak-untuk-indonesia/, diakses pada 25/02/15, pukul 08:56 http://id.wikipedia.org/wiki/Hizbut_Tahrir.or.id)., diakses pada 23/02/15,

pukul 09:45

http://hizbut-tahrir.or.id/2015/02/23/sekitar-600-siswa-siswi-tegal-ber-tekad-jadi-muslim-sejati/, diakses pada 25/02/15, pukul 20:18 http://www.gemapembebasan.or.id/, diakses pada 22/02/15, Pukul 09.35

Fitzpatrick, Tony. “Seeming Contradiction: Pariamentary and Extra

-Parliamentary Politics of Opposition”,

Referensi

Dokumen terkait

Jawab : Suatu senyawa ion larut dalam air jika energi hidrasi lebih besar daripada energi kisi. Energi kisi semua ion garam sulfat alkali tanah hampir

 Pada kotak ‘Link’, Anda bisa memilih ‘Parent’ untuk membuat sub menu pada kanal, klik ‘Add URL’ untuk menghubungkan menu utama dengan halaman atau website tertentu..

Tujuan dalam perancangan game ‘Bumi’ diharapkan dapat menaggulangi dan mengurangi pencemaran sampah di Indonesia dengan memuculkan dampak yang terjadi karena

Pada penelitian ini dilakukan 5 percobaan yang meliputi 1) cuci tangan dengan menggunakan sabun padat baru yang mengandung antiseptic Triclosan, 2) sabun padat lama yang

Sebenarnya yang dimaksud dengan asam urat adalah asam yang berbentuk  Kristal  –  Kristal yang merupakan hasil akhir dari metabolisme purin (bentuk  turunan nukleoprotein),

Artinya adalah bahwa presentase sumbangan pengaruh variabel independen (kreativitas iklan, daya tarik iklan, kualitas pesan iklan) terhadap variabel dependen (brand

Terkait alur atau prosedur pelayanan, berhubung tidak ada papan informasi yang disediakan pada ruang tunggu pelayanan maka BPPT Kota Semarang dapat mencantumkan

ANGGOTA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT DAERAH PROVINSI DALAM PEMILIHAN UMUM TAHUN 2014.. PROVINSI :