• Tidak ada hasil yang ditemukan

Keywords : Supporting Information, Accuracy, Fracture humerus Bibliography : 14 (2006 - 2015)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "Keywords : Supporting Information, Accuracy, Fracture humerus Bibliography : 14 (2006 - 2015)"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

KELENGKAPAN INFORMASI PENUNJANG DALAM PENENTUAN

KEAKURATAN KODE DIAGNOSIS FRACTURE HUMERUS PASIEN

RAWAT INAP DI RSUD Dr. MOEWARDI

Yenny Astuti Dian Rahayu1, Ninawati2, Bambang Widjokongko3,

STIKes Mitra Husada Karanganyar

yenny.adinda@yahoo.com1, nina_kiyut@yahoo.com2, budi_asri@yahoo.com3

ABSTRACT

Supporting information is information that is very important to determine the accuracy of the code, the complete information that can be read by the coder, the more precise and accurate code generated. Based on the results of a preliminary survey of the 10 document medical records with a diagnosis of fracture of the humerus in dr. Moewardi years 2013-2015 showed that 30% complete and 70% incomplete at 40% there is no description of open / closed fracture and 30% there are no sheets anamnesa. The porpose this study was to determine the completeness of supporting information in determining the accuracy of diagnosis codes facture humerus. This type of research is descriptive retrospective study. Population is a document medical records of patients hospitalized with a diagnosis of fracture of the humerus in 2013-2015 with a sample size of 71 documents with the technique of sampling using saturated sample, the research instruments using checklists and interview guides, observation data collection and interviews, while for the data processing that is by way of collection (collecting), editing (editing), classification (classification), tabulation, data presentation and analysis of descriptive data. The results showed that completeness of the information supporting there are 54 DRM (85.72%) and incomplete documents as much as 17 DRM (23.94%), the highest completeness of the information on multiple fracture of 70 DRM (98.59%) and the lowest in the description of the type of fracture, namely 61 DRM (85.92%). As for accuracy, accurate code as much as 24 DRM (33.80%) and the code is not accurate 47 DRM (66.20%). Conclusions from this research is the completeness of the information supporting the highest supporting information regarding multiple fracture and low of supporting information regarding the type of fracture. Suggested medics fill out a form complete physical examination to help the coder to determine an accurate code.

Keywords : Supporting Information, Accuracy, Fracture humerus Bibliography : 14 (2006 - 2015)

ABSTRAK

(2)

tertinggi pada keterangan multiple fracture yaitu 70 DRM (98,59%) dan terendah pada keterangan jenis fracture yaitu 61 DRM (85,92%). Sedangkan untuk keakuratan, kode akurat sebanyak 24 DRM (33,80%) dan kode tidak akurat 47 DRM (66,20%). Simpulan dari penelitian ini adalah kelengkapan informasi penunjang tertinggi yaitu informasi penunjang mengenai multiple fracture dan terendah yaitu informasi penunjang mengenai jenis fracture. Disarankan petugas medis mengisi formulir pemeriksaan fisik secara lengkap guna membantu koder dalam menentukan kode yang akurat.

Kata kunci : Informasi penunjang, Keakuratan, Fracture Humerus

Kepustakaan : 14 ( 2006 – 2015)

PENDAHULUAN

Rekam medis merupakan salah satu bagian yang penting di rumah sakit dalam membantu pelaksanaan pemberian pelayanan kepada pasien. Hal ini berkaitan dengan isi rekam medis yang mencakup riwayat penyakit pasien, yang meliputi beberapa hal untuk digunakan sebagai dasar pemberian pelayanan selanjutnya dan dasar penentuan diagnosis. Salah satu kegiatan yang dilakukan dibagian rekam medis adalah koding. Koding adalah kegiatan mengklasifikasikan dan memberikan kode terhadap diagnosis penyakit. Pemberian kode harus menggunakan standar identifikasi dan klasifikasi penyakit yang sesuai dengan International Statistical Classification of Diseases and Related Health Problem Tenth Revision (ICD-10), serta harus tepat dan akurat. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi ketepatan kode diagnosis ada 3 yaitu, Tenaga Medis (Dokter pemberi diagnosa), Tenaga Rekam Medis (Coder), dan Tenaga kesehatan lainnya (Depkes, 2006).

Menurut De Jong (2010) Fraktur humerus adalah fraktur pada tulang humerus yang disebabkan oleh benturan atau trauma langsung maupun tidak langsung. Pada kasus fracture humerus kelengkapan informasi penunjang juga dapat mempengaruhi tingkat keakuratan kode diagnosis karena dalam penetapan kode akhir coder harus mengetahui informasi tentang letak (site), jenis fracture (open, close), dan jumlah fracture. Informasi penunjang yang dibutuhkan antara lain terdapat pada lembar RM1, anamnesa, radiologi (rontgen), dll.

Berdasarkan survei pendahuluan yang dilakukan di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dari 10 dokumen yang diteliti dengan diagnosis Fractur Humerus terdapat 7 dokumen (70%) yang belum lengkap dan 3 dokumen

(30%) yang sudah lengkap informasi penunjang diagnosisnya. Ketidaklengkapan tersebut dikarenakan 4 dokumen tidak terdapat informasi penunjang mengenai jenis fracture, sedangkan 3 dokumen yang lain dikarenakan tidak ada informasi pada lembar anamnesa (kosong). Hal tersebut dapat berpengaruh pada hasil pengkodean diagnosis berdasarkan ICD- 10 sehingga mempengaruhi tingkat keakuratan kode diagnosis di RSUD Dr. Moewardi Surakarta, maka dari itu peneliti ingin menarik judul penelitian “Kelengkapan Informasi Penunjang Dalam Penentuan Keakuratan Kode Diagnosis Fracture Humerus Pasien Rawat Inap Di RSUD Dr. Moewardi Surakarta”.

METODE

Jenis penelitian ini adalah deskriptif dengan pendekatan retrospektif. Populasi adalah dokumen rekam medis rawat inap pasien Fracture humerus di Rumah Sakit Umum Daerah dr. Moewardi Surakarta dengan besar sampel 71 dokumen. Teknik pengambilan sampel yaitu sampling total. Instrumen yang digunakan adalah checklist dan daftar pertanyaan. Cara pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan wawancara. Analisis data secara deskriptif.

HASIL

1. Gambaran umum

(3)

Kelengkapan Informasi

Penunjang Diagnosis N Prosentase

Lengkap 54 76,06%

Tidak Lengkap 17 23,94%

Rumah Sakit tipe A pendidikan. Rumah sakit Dr. Moewardi juga menjadi Rumah Sakit Pendidikan (Teaching Hospital) bagi calon dokter Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret Surakarta dan Program Pendidikan Dokter Spesialis I (PPDS I).

Tabel 4.2

Rekapitulasi item kelengkapan informasi penunjang diagnosis fracture humerus pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

tahun 2013-2015

2. Tingkat kelengkapan informasi penunjang pada dokumen rekam medis pasien rawat inap dengan diagnosis fracture humerus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta.

Informasi Penunjang

Diagnosis

Lembar

Lengkap Tidak Lengkap N

N % N %

Dokumen rekam medis dapat dikatakan lengkap apabila mencantumkan informasi penunjang yang

anamnesa 71 65 91,55 6 8,45

dapat menegakkan diagnosis dan juga menunjang keakuratan kode. Informasi yang harus tercantum pada dokumen rekam medis pasien rawat inap dengan diagnosis fracture humerus antara lain informasi tentang site/lokasi, jenis fracture, dan keterangan multiple fracture jika ada. Informasi tersebut dapat

Keterangan open/closed

Keterangan multiple fracture

71 61 85,92 10 14,08

71 70 98,59 1 1,41

diketahui dari lembar ringkasan masuk dan keluar, lembar anamnesa dan pemeriksaan fisik, dan lembar hasil pemeriksaan penunjang.

Tabel 4.1

Kelengkapan informasi penunjang diagnosis fracture humerus pasien rawat inap di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta tahun 2013-2015

Jumlah 71 100%

Dari tabel diatas menunjukan bahwa tingkat kelengkapan informasi penunjang diagnosis fracture humerus pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi tahun 2013-2015 terdapat 76,06% lengkap yaitu sebanyak 54 dokumen rekam medis dan 23,94% tidak lengkap yaitu sebanyak 17 dokumen rekam medis.

Presentase kelengkapan informasi penunjang pada kasus fracture humerus yang tertinggi adalah mengenai keterangan multiple fracture sebanyak 98,59% (70 dokumen) lengkap hal ini dikarekan petugas medis selalu menuliskan keterangan multiple fracture jika terdapat lebih dari satu fracture. Sedangkan presentase terendah terdapat pada keterangan jenis fracture yaitu sebanyak 85,92% (61 dokumen) lengkap, hal ini dikarenakan diagnosis yang ditulis dokter pada lembar RM 1 masih ada yang tidak tertulis keterangan mengenai jenis fracture (open/closed).

3. Tingkat keakuratan kode pada dokumen rekam medis pasien rawat inap dengan diagnosis fracture humerus di RSUD Dr. Moewardi Surakarta

(4)

No Keakuratan Berdasarkan tabel di atas menunjukan bahwa tingkat keakuratan kode diagnosis fracture humerus pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi tahun 2013-2015 terdapat 33,80% akurat yaitu sebanyak 24 dokumen rekam medis dan 66,20% tidak akurat yaitu sebanyak 47 dokumen rekam medis.

Tabel 4.4

Rekapitulasi item keakuratan kode diagnosis fracture humerus pasien rawat inap di RSUD Dr.

Moewardi Surakarta tahun 2013-2015

Tidak

b. Pada kasus fracture berdasarkan multiple fracture Dari 15 dokumen rekam medis dengan kasus fracture berdasarkan multiple fracture terdapat 33,33% (5 dokumen) akurat dan 66,67% (10 dokumen) tidak akurat.

c. Pada kasus fracture berdasarkan penyebab yang lain

Dari 8 dokumen rekam medis dengan kasus fracture berdasarkan fracture yang lain terdapat 62,5% (5 dokumen) akurat dan 37,5% (3

Berdasarkan tabel 4.1 dapat kita ketahui bahwa dari 71 sampel terdapat 76,06% (54 dokumen) lengkap

No Keakuratan Kode Penyakit

Akurat

akurat dan 23,94% (17 dokumen) tidak lengkap, alasan

ketidak lengkapan tersebut antara lain :

1. Jenis fracture

Berdasarkan 71 sampel yang diteliti terdapat berbagai kasus fracture diantaranya adalah kasus fracture berdasarkan jenis fracture (open/close) sebanyak 48 dokumen, multiple fracture sebanyak 15, dan penyebab yang lainnya misalnya ORIF sebanyak 8 dokumen. Menurut tabel diatas dapat diketahui bahwa keakuratan kode diagnosis fracture humerus pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi Surakarta dibagi menjadi 3 kasus:

a. Pada kasus fracture berdasarkan jenis fracture

a. Tidak ada lembar anamnesa (kosong)

Dari 71 dokumen yang diteliti terdapat 8,45% (6 dokumen) diantaranya tidak ada informasi pada lembar anamnesa (kosong), informasi yang ada pada lembar anamnesa dapat membantu koder dalam melakukan pengkodean yaitu tentang letak/site fracture yang dapat dilihat dari gambar anatomi dan juga dari keterangan yang tertera pada kolom ekstremitas. Menurut PERMENKES RI No. 269/MENKES/III/2008 pada Bab II pasal 3 ayat 2 tentang jenis dan isi rekam medis disebutkan bahwa formulir yang harus ada dalam dokumen rekam medis pasien rawat inap salah satunya adalah lembar hasil anamnesis, pada lembar tersebut sekurang- kurangnya harus mencangkup keluhan utama dan riwayat penyakit, maka dari itu lembar anamnesis dianggap penting.

(5)

akan memeriksa keadaan pasien secara objektif dan ditulis pada formulir pemeriksaan fisik. Tanpa pemeriksaan fisik proses pembedahan tidak dapat terlaksana. Oleh karena itu lembar anamnesa dan pemeriksaan fisik harus ada dalam setiap dokumen rekam medis dan juga harus terisi informasi penunjang yang informatif untuk menunjang keakuratan kode diagnosis.

b. Keterangan tentang jenis fracture

Dari 71 dokumen yang diteliti terdapat 14,08% (10 dokumen) tidak ada keterangan tentang jenis fracture (open/closed), dimana keterangan jenis fracture juga dapat membantu koder dalam menentukan kode yang akurat karena kode tambahan untuk jenis fracture (additional code) merupakan kode digit ke-5 pada pengkodean kasus fracture. Menurut ICD-10 kode tambahan untuk keterangan open/closed terdapat dibawah sub blok yaitu kode .0 untuk kode jenis fracture tertutup (closed) sedangkan kode .1 untuk kode jenis fracture terbuka (open).

c. Keterangan tentang multiple fracture

Dari 71 dokumen yang diteliti terdapat 1,41% (1 dokumen) tidak ada informasi tentang multiple fracture yaitu informasi yang dapat mengubah kode akhir pada kasus fracture humerus.

Kelengkapan informasi penunjang sangat penting dalam proses penentuan kode diagnosis yang akurat, maka dari itu seorang koder tidak hanya melihat informasi penunjang pada salah satu lembar rekam medis saja melainkan harus mereview semua informasi pada lembar yang ada dalam dokumen rekam medis, seperti teori dari Kasim dan Erkadius (2013) yang menyatakan bahwa pengodean harus selalu dimulai dari pengkajian (review) teliti rekam medis pasien. Hal ini dilakukan guna memperoleh gambaran jelas secara menyeluruh dari dokumentasi rekam medis tentang masalah dan asuhan yang diterima pasienya.

Menurut hasil wawancara dengan petugas koder kelengkapan informasi penunjang pada kasus fracture humerus harus ada informasi tentang letak/ site, jenis fracture (open/closed), dan multiple

fracture (jika ada). Informasi tersebut bisa dilihat pada formulir anamnesa, ringkasan masuk dan keluar (RM1), resume medis, lembar operasi, dan lembar pemeriksaan penunjang (rontgen). Dari lembar anamnesa pada kasus fracture humerus kita dapat memperoleh informasi tentang letak, jenis dan multiple fracture melalui gambar anatomi tubuh dan keterangan pada kolom ekstremitas pada lembar pemeriksaan fisik. Dari lembar ringkasan masuk dan keluar (RM1) kita dapat memperoleh informasi tentang letak, jenis dan multiple fracture melalui diagnosis yang ditulis dokter pada kolom diagnosis. Dari lembar resume medis kita dapat memperoleh informasi tentang letak, jenis dan multiple fracture melalui keterangan yang tertulis pada kolom keluhan utama, riwayat sekarang dan dignosis utama.

Menurut Kresnowati dan Dyah (2013) ketidaklengkapan informasi penunjang pada dokumen rekam medis dipengaruhi oleh kelengkapan pencatatan yang dilakukan tenaga medis yang terkait seperti dokter penanggungjawab pasien dan perawat. Terkadang dalam penulisan diagnosis yang perlu dikode (misalnya pada lembar RM1) tenaga medis terkait hanya mencantumkan kondisi utamanya saja, tanpa rincian yang cukup untuk penentuan kode yang tepat. Akan tetapi hal ini dapat diatasi oleh seorang koder yang handal dengan cara mencari keterangan tambahan yang mungkin dicantumkan dalam lembar-lembar lain. Kresnowati dan Dyah (2013) juga menyatakan bahwa kualitas kode ditentukan oleh data dasar yang ditulis tenaga medis. Hal ini dapat diketahi bahwa yang berperan dalam kelengkapan dokumen rekam medis tidak hanya petugas rekam medis, melainkan dokter penanggungjawab pasien dan perawat juga berperan penting terutama pada kelengkapan informasi penunjang yang ditulis oleh petugas medis, karena informasi penunjang dapat digunakan koder sebagai penentuan dalam pemilihan kode ICD-10 sehingga dapat menghasilkan kode yang akurat.

(6)

ini tertulis pada Perpres No. 12 tahun 2013 pasal 38 yaitu BPJS wajib membayar fasilitas kesehatan atas pelayanan yang diberikan kepada peserta (pasien) paling lambat 15 hari sejak dokumen klaim diterima lengkap. Dari peraturan tersebut dapat diketahui bahwa dokumen rekam medis yang digunakan untuk pengajuan klaim BPJS harus lengkap. Apabila dokumen rekam medis belum lengkap dan pihak BPJS tidak bisa mencairkan pembayaran pengajuan klaim maka akan merugikan pihak peserta (pasien), maka dokumen akan dikembalikan kepada pihak rumah sakit bagian rekam medis dan petugas rekam medis harus kembali mereview kelengkapan informasi serta keakuratan kode diagnosis.

Kerugian yang harus ditanggung pasien apabila pihak BPJS tidak bisa mencairkan klaim yaitu peserta (pasien) akan dikenakan biaya perawatan yang lebih mahal karena biaya tidak ditanggung oleh jaminan kesehatan. Sedangkan dampak lain yang munkin bisa terjadi yaitu saat pasien mengajukan tuntutan kepada pihak rumah sakit misalnya terjadi kesalahan pemberian prosedur perawatan maka salah satu sarana yang dimiliki rumah sakit adalah dokumen rekam medis, karena informasi yang tertulis pada dokumen rekam medis sangat bernilai dimata hukum sebagai bukti telah dilakukan perawatan kepada pasien, maka dibutuhkan dokumen rekam medis yang lengkap agar dapat meminimalisir kerugian pihak rumah sakit.

2. Tingkat keakuratan kode pada dokumen rekam medis pasien rawat inap dengan diagnosis fracture humerus di RSUD Dr. Moewardi.

Berdasarkan tabel 4.2 dapat kita ketahui bahwa tingkat keakuratan kode diagnosis fracture humerus adalah 39,44% akurat yaitu sebanyak 28 dokumen rekam medis dan 60,56% tidak akurat yaitu sebanyak 43 dokumen rekam medis. Menurut hasil wawancara dengan petugas koder proses pengkodean pada kasus fracture humerus petugas dalam menentukan kode mengacu pada diagnosis yang ada pada lembar resume medis, selain itu petugas juga harus mereview terlebih dahulu dokumen rekam medis pasien dengan melihat informasi yang ada pada

formulir rekam medis yang lain seperti pada lembar anamnesa, ringkasan masuk dan keluar (RM1), lembar operasi, dan lembar rontgen. Hal ini sesuai dengan teori Kasim dan Erkadius (2014) yang menyatakan bahwa pengodean harus selalu dimulai dari pengkajian (review) teliti rekam medis pasien. Hal ini dilakukan guna memperoleh gambaran jelas secara menyeluruh dari dokumentasi rekam medis tentang masalah dan asuhan yang diterima pasienya.

Kata kunci (leadterm) yang digunakan koder dalam proses pengkodean adalah diagnosis yang tertera pada lembar resume medis dan ringkasan masuk dan keluar, setelah koder menemukan kode yang dianggap tepat koder menuliskan pada lembar ringkasan masuk keluar (RM1) dan resume medis, akan tetapi peneliti masih menjumpai pada lembar resume medis koder tidak selalu menuliskan kode pada kolom kode diagnosis. Menurut wawancara dengan petugas koder hal ini dikarenakan apabila pasien yang dirawat merupakan pasien BPJS kode yang ada di resume medis sudah ter-include pada SIMRS maka koder tidak perlu menuliskan kembali pada lembar resume medis.

Hal ini belum sesuai dengan PMK No.36 tahun 2012 tentang rahasia kedokteran yang menyatakan bahwa pengertian rekam medis adalah berkas yang berisikan catatan dan dokumen tentang identitas pasien, pemeriksaan, pengobatan, tindakan, dan pelayanan lain yang diberikan kepada pasien, termasuk dalam bentuk elektronik, dari peraturan ini dapat kita ketahui bahwa meskipun pendokumentasian rekam medis sudah berbasis elektronik akan tetapi pendokumentasian dalam bentuk catatan harus tetap dilakukan. Keakuratan kode diagnosis tersebut dibagi menjadi 3 antara lain:

a. Keakuratan kode diagnosis fracture humerus berdasarkan jenis fracture

(7)

Contoh : fracture (open/closed) yaitu .0 untuk kode closed fracture dan .1 untuk kode open fracture dan

S42.0

S42.70

Berdasarkan WHO dalam ICD-10 dimana dalam mengkode kasus fracture yang ada pada bagian tubuh yang sama maka kode yang tepat adalah apabila ada

maka diberi

fracture yang tidak teridentifikasi kode .0 sebagai fracture tertutup

kode .7 pada karakter ke-4 disetiap sub blok, dan untuk pengkodean multiple fracture pada bagian (closed fracture). Menurut wawancara dengan tubuh yang berbeda maka kode yang tepat adalah petugas coding dapat diketahui bahwa koder antara T00-T05. Berdasarkan hasil wawancara, sudah menggunakan additional code pada saat

mengkode diagnosis kasus fracture, akan tetapi peneliti masih banyak menjumpai kode diagnosis kasus fracture yang belum akurat dikarenakan

koder sudah mengetahui aturan dan tata cara pengkodean untuk kasus multiple fracture alangkah lebih baiknya apabila teori yang sudah dikuasai koder tersebut dapat diterapkan pada tidak adanya kode tambahan mengenai jenis saat melakukan pengkodean pada kasus multiple fracture. Hal ini dikarenakan petugas coding yang

melakukan pengkodean tidak hanya satu orang saja melainkan ada beberapa petugas sehingga

fracture seperti pada contoh nomor sampel 34 diatas, maka kode yang lebih tepat untuk CF. Humerus 1/3 medial dan CF. Clavicula (d) 1/3 kesalahan yang terjadi pada hasil pengkodean medial bukan lagi S42.3 dan S42.0 tetapi berubah tidak hanya disebabkan oleh satu orang coder

saja, maka dari itu diperlukan komunikasi antar

menjadi S42.70 Multiple fracture of clavicle, scapula, and humerus (closed).

petugas coding dan juga kekonsistenan dalam penentuan kode diagnosis fracture agar dapat meminimalisasi kesalahan pengkodean.

b. Keakuratan kode diagnosis fracture humerus berdasarkan multiple fracture

c. Keakuratan kode diagnosis karena penyebab yang lainnya

Penyebab yang lainnya yaitu ketidak akuratan kode karena faktor yang lain, Dari 8 dokumen rekam medis dengan kasus fracture berdasarkan Kode multiple fracture yaitu kode dua atau fracture yang lain terdapat 62,5% (5 dokumen) lebih fracture pada kolom diagnosis utama yang

seharusnya bisa digabung menjadi satu kode

akurat dan 37,5% (3 dokumen) tidak akurat. Misalnya pada kasus fracture humerus diagnosis tetapi masih dikode sendiri-sendiri, dari 15 yang tertulis pada kolom diagnosa utama adalah dokumen rekam medis dengan kasus fracture

berdasarkan multiple fracture terdapat 33,33% (5 dokumen) akurat dan 66,67% (10 dokumen) tidak akurat, dikarenakan pada kasus fracture multiple kode yang tertera pada dokumen rekam medis belum digabung menjadi satu kode melainkan masih dikode sendiri-sendiri.

Contoh:

Pada sampel nomor 34

Diagnosis Utama : Contusional Hemoragic

post ORIF yang merupakan kelanjutan prosedur yang telah dilakukan pada perawatan sebelumnya.

(8)

Berdasarkan contoh diatas kode yang dihasilkan koder belum akurat karena pertama untuk kode OF. Humeri 1/3 distal kode yang dihasilkan koder S42.40 padahal terdapat informasi penunjang tentang jenis fracture yaitu open fracture, hal ini belum sesuai dengan aturan pada ICD-10 volume 1 bahwa kode untuk open fracture adalah .1 sedangkan .0 digunakan untuk kode closed fracture seharusnya kode yang dihasilkan S42.41. Kedua, kode yang tertulis pada kolom diagnosis adalah S42.40 sedangkan pada kolom diagnosis utama tertulis post ORIF maka kode yang lebih tepat adalah Z47.0.

Menurut WHO dalam ICD-10 volume 1, kode Z47.0 Follow-up care involving removal of fracture plate and other internal fixation device digunakan jika pasien yang datang kerumah sakit hanya untuk melepas pen atau menindaklanjuti prosedur perawatan yang telah dilakukan sebelumnya, maka kode yang dihasilkan tidak lagi S42.41 Fracture of lower end of humerus (open) tetapi berubah menjadi Z47.0 Follow- up care involving removal of fracture plate and other internal fixation device karena pasien datang tidak lagi menderita patah tulang tetapi menindaklanjuti prosedur yang telah diberikan pada saat pasien dirawat inap sebelumnya yaitu pada saat pasien mengalami patah tulang.

SIMPULAN

1. Tingkat kelengkapan informasi penunjang pada kasus fracture humerus di RSUD Dr. Moewardi tahun 2013-2015 terdapat 76.06% (54 dokumen) lengkap dan 23.94% (17 dokumen) tidak lengkap. Presentase kelengkapan informasi penunjang pada kasus fracture humerus yang tertinggi adalah mengenai keterangan multiple fracture sebanyak 98,59% (70 dokumen) lengkap, sedangkan presentase terendah terdapat pada keterangan jenis fracture yaitu sebanyak 85,92% (61 dokumen) lengkap.

2. Tingkat keakuratan diagnosis fracture humerus pasien rawat inap di RSUD Dr. Moewardi tahun

2013-2015 terdapat 33,80% (24 dokumen) akurat dan 66,20% (47 dokumen) tidak akurat.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik, Edisi Revisi VI. Jakarta: PT Rineka cipta.

De Jong. 2010. Buku Ajar Ilmu Bedah. Editor : Sjamsuhidajat. Jakarta : EGC.

Departemen Kesehatan RI. 2006. Pedoman Penyelenggaraan dan Prosedur Rekam Medis Rumah Sakit di Indonesia. Revisi II. Jakarta : Direktorat Jenderal Bina Pelayanan Medik.

. 2008. Permenkes Nomor 269/MENKES/PER/III tentang Rekam Medis. Jakarta: Kemenkes RI.

Hatta GR. 2014. Pedoman Manjemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: UI-Press.

Hoppenfield, Stanley. 2011.Treatment and Rehabilitation of Fractures. Jakarta : EGC.

Kasim F dan Erkadius. 2013. Sistem Klasifikasi Utama Morbiditas dan Mortalitas yang Digunakan di Indonesia. Dalam Hatta Gemala R (ed.). Pedoman Manjemen Informasi Kesehatan di Sarana Pelayanan Kesehatan. Jakarta: UI- Press.

Kresnowati L dan Ernawati D.2013.Analisis Faktor- Faktor Yang Mempengaruhi Akurasi Koding Diagnosis Dan Prosedur Medis Pada Dokumen Rekam Medis Di Rumah Sakit Kota Semarang. Semarang: LPPM Udinus.

(9)

Kelengkapan Informasi Penunjang dalam Penentuan Keakuratan 88 Pasien Rawat Inap Di RSUD Kabupaten Sukoharjo

Tahun 2014. [Karya Tulis Ilmiah]. Karanganyar : STIKes Mitra Husada

Machfoedz, I. 2013. Metodologi Penelitian (Kuantitatif dan Kualitatif). Yogyakarta: Fitramaya.

Presiden Republik Indonesia. 2013. Perpres RI No. 12 tentang Jaminan Kesehatan. Jakarta : Presiden RI

Reksoprodjo, S. 2010. Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Bagian Ilmu Bedah. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta.

Sugiyono, 2015. Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D. Bandung: Alfa Beta.

World Heath Organization. 2010. International Statistical Classification Of Diseases And Related Health Problems(ICD-10, Volume

Referensi

Dokumen terkait

Dengan menggunakan Bagi Unsur Langsung (BUL) masyarakat akan lebih gampang memahami kalimat-kalimat dalam poster tersebut dan tidak bias dipahami atau bahkan

Yogyakarta Parameter gempabumi : episenter, magnitude dan kedalaman Akusisi Mikrotremor 192 Lokasi Datapro Format data MSD (miniseed) Sesarray - geopsy FFT dan HVSR Frekuensi

Subyek penelitian adalah orang tua (ayah atau ibu) dan anak keluarga nelayan. Peneliti membatasi keluarga nelayan yang memiliki anak usia 6-15 tahun yaitu anak usia

Untuk mengetahui kesesuaian penggunaan antibiotik yang meliputi ketepatan indikasi, ketepatan obat, ketepatan pasien dan ketepatan dosis pada pasien anak infeksi saluran

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan, dapat disimpulkan telah didapatkan profil detergensi Natrium Dodesilbenzen Sulfonat dengan hasil optimum pada penambahan 70%

Dengan demikian, hipotesis dari penelitaian yang berbunyi “jika diterapkan metode pembelajaran Fun Learning maka dapat meningkatkan hasil belajar siswa kelas IB SD Negeri 017

Pada analisis regresi dimensi-dimensi kepuasan kerja terhadap civic virtue, hasil analisis menunjukkan bahwa dimensi kepuasan promosi dan dimensi pekerjaan itu sendiri