• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mencatat Jejak Pengetahuan dalam Praktik

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Mencatat Jejak Pengetahuan dalam Praktik"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 9

Mencatat Jejak Pengetahuan dalam

Praktik dan Produk Pemuliaan Tanaman

Yunita T. Winarto dan Imam Ardhianto

Mendokumentasi Pemuliaan Tanaman: Suatu Pengantar

Potongan-potongan seng/aluminium atau bambu berukuran kecil yang ditancapkan di batang-batang bambu/kayu berjajar di tepi dan di tengah lahan merupakan pemandangan yang lazim dijumpai di lahan-lahan petani-pemulia tanaman. Ada papan yang bertuliskan nama benih seperti: Longong, Marong, Bor Dagol, atau Tkyo; ada pula yang bertuliskan kode-kode. Misalnya: F4 di bagian atas, 03 di bagian bawahnya, dan nama petani; atau F5 di bagian atas, dan di bagian bawah: 02-01-20.1.A. Tidak hanya itu. Beragam tulisan pun dijumpai di secarik kertas yang dikalungkan di ujung untaian gabah yang digantung-gantung di teras rumah atau dibungkus kantong plastik dan disimpan di dalam kotak. Misalnya untuk untaian gabah benih lokal, tercantum No.1 Marong Beras Putih, No.7 Jalawara Beras M. (Merah), No.9 Sriputih. Catatan-catatan dalam kolom-kolom, diagram persilangan di dalam buku catatan atau kertas plano pun ditemui di sejumlah petani-pemulia tanaman.

Itulah sekelumit kegiatan mencatat yang dilakukan petani-pemulia tanamandalam mendokumentasikan kegiatan persilangannya. Papan-papan kecil dengan kode-kode khusus yang terdapat di berbagai tempat di sebidang lahan dan disiapkan oleh petani sendiri, merupakan suatu hal yang tidak lazim. Begitu pula pencatatan secara rinci tentang berbagai karakteristik benih, macam persilangan benih, dan data hasil persilangan. Tulis-menulis itu bertumbuh kembang semenjak mereka mempraktikkan sendiri kegiatan pemuliaan tanaman yang dipelajarinya di Sekolah-sekolah Lapangan Pemuliaan Tanaman.

Menulis, menurut Rapport dan Overing (2007:442) adalah:

“...’the orderly use of symbolic forms (that is, forms which carry meaning for their user) for the making of orderly worlds’; writing conceived of not as a technique of communication but as a ‘mode of cognition which makes experience meaningful’.

(2)

melalui imitasi dan demonstrasi, serta praktik sehari-hari yang diperkaya dan diperkuat oleh pengalaman dan kesalahan yang dilakukannya, dan perbandingan atas apa yang dilakukan sesama petani (lihat Winarto, 1999, 2004; Ellen, 2004). Jika demikian, fenomena apakah yang kini tengah terjadi di kalangan sejumlah petani-pemulia di Indramayu itu?

Suatu perubahan tengah terjadi. Ellen (2004:437—8) menyatakan bahwa pengetahuan lokal atau tradisional itu lazim dikodifikasi dalam bahasa dan karena itu, bersifat “leksikal”. Bila muncul keteraturan dalam cara pandang penduduk terhadap hubungan-hubungan antarberbagai makhluk hidup yang lain, berkembanglah pengetahuan klasifikatoris atau yang dikenal juga dengan “taksonomi”. Tetapi, pengetahuan klasifikatoris itu dapat diekspresikan tidak dalam bahasa. Ellen (2004:438) menyebutnya sebagai “pengetahuan substantif” (substantive knowledge), atau “embodied knowledge”, pengetahuan yang terekspresikan dalam perilaku misalnya. Tanpa adanya kegiatan menulis, pengetahuan itu pun tersimpan dalam leksikon, dalam ingatan, dan dalam perilaku. Apa yang kini dilakukan sejumlah petani-pemulia dalam mencatat, mengodifikasi, dan mendokumentasi pengetahuan, praktik, dan produk pemuliaan tanaman itu menunjukkan suatu perkembangan yang disebut oleh Ellen (2004:438) sebagai “tekstualisasi dari pengetahuan leksikal” (the textualization of lexical knowledge) melalui tulisan. Melalui tulisan dengan menggunakan simbol-simbol itulah petani-pemulia mengekspresikan pengalaman dan pengetahuannya.

Tesktualisasi pengetahuan serta upaya meresmikan dan menginstitusionalkan pengetahuan tekstual itu mendasari perkembangan pengetahuan ilmiah asal dari Barat. Upaya memformalisasi pengetahuan tekstual secara sistematis itu memungkinkan ilmuwan untuk mengumpulkan data, memanipulasi informasi, dan menjamin penggunaan tata-cara, prosedur, dan langkah-langkah yang sama, di mana saja, dalam melaksanakan karya ilmiahnya (Ellen, 2004:439). Apa yang dialami petani-pemulia di Indramayu dalam menekstualisasi pengetahuan leksikal itu pun memungkinkan mereka melaksanakan kegiatan “ilmiah” yang lebih terkontrol dalam uji-coba dan dalam melakukan perbandingan. Ellen (2004:439) menyatakan,

Thus, while illiterate farmers may year-on-year conduct experiments regarding the utility of different landrace seeds, proper recording on paper and analysis using abstract conventions permits a greater degree of experimental control and comparison.

(3)

dilatih untuk melakukan analisis dan menarik kesimpulan tentang kondisi agroekosistem di lahannya (lihat Pontius dkk, 2002; Gallagher, 2003; Winarto, 2004). Kemampuan melakukan pengamatan secara lebih cermat itu menjadi cikal-bakal beragam temuan petani dan upaya menekstualisasikan hasil-hasil temuan itu. Istilah “Sains Petani” pun dimunculkan oleh para alumni sekolah-sekolah lapangan itu.

Istilah “Sains” yang digandengkan dengan istilah “Petani” menunjukkan tata cara formal yang melandasi kegiatan ilmiah melalui uji coba secara lebih terkendali dan tersistematisasi dalam kegiatan-kegiatan yang dilakukan petani sendiri dalam lingkup habitatnya (lihat Suprapto, 2007; Untung, 2007; Winarto, 2007). Salah satu kegiatan semacam itu di Indramayu ditumbuhkembangkan melalui program Aksi Riset Fasilitasi (ARF) guna menemukan strategi pengendalian penggerek batang padi putih yang tepat dan efektif. (lihat Busyairi dkk, 2000).1 Kini, semenjak kegiatan Pemuliaan Tanaman Partisipatoris (Participatory Plant Breeding) diperkenalkan oleh program PEDIGREA di tahun 2002, upaya untuk melakukan tekstualisasi dari beragam benih tetua, benih hasil persilangan, atau morfologi, dan karakteristik pertumbuhan tanaman itu pun bertumbuh kembang di antara petani-pemulia tanaman.

Pendokumentasian kegiatan pemuliaan tanaman itu memiliki tingkat kompleksitas dan kerincian yang lebih tinggi dibandingkan pencatatan dalam SLPHT misalnya. Sejalan dengan rentang waktu kegiatan seleksi hasil persilangan selama minimal delapan musim tanam, kegiatan pencatatan itu pun perlu dilakukan petani-pemulia tanaman dalam jangka waktu yang jauh lebih lama alih-alih hasil pengamatan mingguan atau satu-dua musim tanam. Oleh karena itu, merupakan hal yang menarik untuk dicermati dan dikaji bagaimanakah petani— yang sebelumnya tidak memiliki “budaya menekstualisasikan pengalaman bercocok tanam”—menumbuhkembangkan “budaya menekstualisasi pengalaman memuliakan tanaman” yang kompleks, menuntut kecermatan, dan memakan waktu yang lama?

Sejauh ini, perubahan kemampuan petani dari leksikalisasi menjadi tekstualisasi pengalaman melalui beragam simbol itu belum diulas secara khusus oleh para ilmuwan yang mengaji kegiatan pemuliaan tanaman. Beberapa tulisan dalam buku yang disunting Prain dan Bagalanon (1994) mengulas sejumlah aspek berkaitan dengan pengetahuan lokal tentang diversitas plasma nutfah dan kolaborasi antara ilmuwan dan petani dalam hal penelitian dan konservasi plasma nutfah itu (Sandoval, 1994a, 1994b; Lleva, 1994; Il-Gin Mok dan Schneider, 1994; Sawor dkk, 1994, Prain dkk, 1994, Amante dan Rasco, 1994). Namun, mereka tidak menyajikan dokumentasi yang dilakukan oleh penduduk setempat dalam hal kajian dan konservasi plasma nutfah. Almekinders dan Louwaars (1999) menyajikan secara rinci penuntun untuk melakukan survei tentang sistem perbenihan oleh petani, tetapi tidak memberikan sejumlah contoh kegiatan dokumentasi yang dilakukan mereka. Dalam buku yang disunting oleh Cleveland dan Soleri (2002) terdapat sejumlah artikel mengenai kegiatan

1

(4)

pemuliaan tanaman oleh petani, atau berdasarkan kolaborasi antara ilmuwan dan petani di sejumlah negara, tetapi tidak terdapat ulasan hal tekstualisasi dan dokumentasi itu (lihat misalnya Zimmerer, McGuire, Frossard, Joshi dkk, 2002). Oleh karena itu, tulisan dalam bab ini diharapkan dapat memperkaya khazanah pustaka mengenai penumbuhkembangan “kegiatan tekstualisasi” dalam komuniti yang mengembangkan budi daya cocok tanam melalui “budaya leksikal dan praktik”. Dalam penumbuhkembangan itu, sejauhmanakah terdapat keragaman dan kesepakatan di antara para petani-pemulia di Indramayu? Siapakah yang berperan sebagai agen yang melalui keputusan dan perilakunya dapat menyebabkan adanya variasi, perubahan, atau penyeragaman dalam proses kodifikasi yang tengah berlangsung? (lihat tentang agent dan agency dalam Sewell, 1992; Ahearn, 2001; dan Ortner, 2006). Bab ini akan mengulas hal itu dengan mengacu pada sejumlah kegiatan, yakni pencatatan tetua; pengodifikasian persilangan; pendokumentasian karakteristik morfologi, penampilan tanaman, dan genealogi persilangan; serta pemetaan lahan benih tetua dan hasil persilangan.

Mencatat Benih Tetua Persilangan: Dari Ingatan ke Tulisan

Benih-benih yang dijadikan tetua atau bahan baku persilangan tidak selalu berasal dari benih yang telah dikenali dan dibudidayakan petani di lahannya. Asal benih pun beragam, dari dalam dan luar negeri (lihat Winarto, Bab 8). Oleh karena itu, salah satu hal yang menjadi bagian dari upaya “pencarian” atau “penelitian” oleh petani adalah identitas dari benih yang diperoleh. Memberi “nama” pada benih yang diperoleh untuk dijadikan tetua itu menjadi salah satu hal penting, termasuk pula asal muasal benih itu (lihat Winarto, Bab 8). Gabah telah di tangan, tetapi gabah dari varietas apakah itu? Karakteristik dari varietas apakah yang akan dijadikan acuan untuk menjadi bahan baku persilangan? Sejumlah petani dari generasi yang masih mengalami cocok tanam padi jaman bengèn mengaktifkan kembali ingatannya yang tidak teraktifkan selama periode Revolusi Hijau. Merekalah yang menjadi agen-agen yang memungkinkan “munculnya kembali ingatan masa lalu dalam konteks pemuliaan tanaman masa kini” melalui identifikasi benih (lihat Dove, 1999; lihat Winarto, Bab 8). Akan tetapi, tidak seluruh benih yang berhasil dihimpun petani berasal dari padi jaman bengèn. Petani generasi muda tidak pula dapat mengandalkan ingatan dalam wujud leksikal saja tanpa memiliki visualisasi atas bentuk gabah senyatanya. Kegiatan mencatat pun menjadi suatu kebutuhan. Keragaman bentuk dan cara dalam mengembangkan kegiatan itu merupakan suatu hal yang lazim kami jumpai.

Ada kalanya gabah diperoleh disertai namanya, sehingga petani tidak perlu bersusah payah lagi mengenalinya.

(5)

Manakah nama yang asli dan manakah hasil kreativitas petani, tidak lagi menjadi penting bila nama itu telah di’kena’kan pada salah satu benih, dan disebarluaskan melalui penyebaran benih antarpetani-pemulia. Bila benih berasal dari galur-galur pembudidayaan varietas lokal atau hasil rekayasa genetika dalam lingkup Balai Penelitian Tanaman Pangan, misalnya, nama itu diperoleh dari papan yang terpampang di setiap galur. Melalui tulisan itulah petani yang berkesempatan mendapatkan benih di galur-galur itu mengetahui nama dan asalnya, seperti yang dilakukan petani dari Kecamatan Anjatan dan Sukra.

(6)

Peristiwa di atas menunjukkan bahwa catatan nama varietas benih yang baru diperoleh dan belum pernah dibudidayakan petani-pemulia tanaman, tidaklah membawa makna apa-apa tanpa adanya pengetahuan mengenai morfologi varietas baru itu. Hanya dari bentuk atau warna gabah, ada tidak adanya bulu, tidaklah memadai, demikian ungkap Oki. Tulisan tentang nama-nama dan asal lokasi benih sekedar menjadi penuntun awal untuk membedakan satu wujud benih dari yang lain. Oleh karena itu, penamaan perlu disertai dengan penanaman benih itu agar dapat diamati pertumbuhan, penampilan, dan karakteristiknya. Sebaliknya, pengetahuan sang kakek yang teraktifkan kembali mengenai beragam varietas jaman bengèn itu menandakan masih tersimpannya peta “kategorisasi” benih sekalipun tidak tertekstualisasi. Ingatan itulah yang memungkinkan sang anak dan cucu memberi “identitas” pada benih-benih tak bernama itu yang dituangkan dalam wujud tulisan. Dari leksikal menjadi tekstual, itulah yang terjadi pada identitas varietas padi, terutama yang berasal dari jaman bengèn. Dalam konteks pemuliaan tanaman, penamaan itu memang menjadi penting untuk dapat dirujuk sebagai satu varietas dengan karakteristik morfologi tertentu guna dipertimbangkan menjadi tetua atau tidak.

Dalam upaya mengumpulkan berbagai varietas sebagai tetua disertai aktivitas mengenali kembali, memperkaya, dan memantabkan pengetahuan mengenai karakteristik berbagai varietas itulah pencantuman nama benih secara tertulis menjadi penting, apakah di runggaian padi (lihat Gambar 9.1), ataukah di papan yang ditancapkan di depan galur-galur masing-masing varietas (lihat Gambar 9.2). Pencatatan juga dilakukan pada tempat disimpannya bulir-bulir padi itu, misalnya pada botol-botol penyimpanan bulir-bulir padi lokal, atau pada kuali tempat menyimpan botol-botol itu seperti yang dilakukan Dar. (lihat Gambar 9.3).

(7)

Gambar 9.2. Penulisan nama varietas benih di di papan seng (Foto oleh Winarto)

Gambar 9.3. Penulisan nama-nama varietas lokal di kuali tempat menyimpan botol-botol terisi gabah padi lokal (Foto oleh Winarto)

.

(8)

pendingin. Di dalam botol itu, ditulisnya lagi nama-nama varietas di secarik kertas yang diletakkan di dalam plastik-plastik tempat menyimpan gabah. Tidak demikian halnya dengan gabah yang tidak disimpan dalam plastik, karena langsung diletakkan dalam botol dan ditumpuki bongkahan es dari air yang membeku. Petani-pemulia tanaman yang lain, Kar, menuliskan nama varietas benih itu di sebuah kertas yang dimasukkan ke dalam kantong plastik terisi benih. Dicantumkannya pula tanggal dipanennya gabah tersebut agar bisa diketahui seberapa lama gabah masih bisa tumbuh bila ditanam kembali (Lihat Gambar 9.4) Satu lemari pendingin lain yang ditempatkan di rumah War, belum difungsikan hingga akhir tahun 2008. Namun, persiapan tengah dilakukan War dengan menyiapkan kantong-kantong plastik pembungkus yang digunakan sebagai kantong wadah kopi beragam merk untuk tempat meletakkan gabah yang akan disimpannya dalam lemari pendingin. Alasan War, pembungkus kopi itu dapat menahan dingin dan pengembunan yang bisa memengaruhi benih yang disimpan (lihat gambar 9.5).

(9)

Gambar 9.5 Kantong-kantong plastik pembungkus kopi yang disiapkan War untuk tempat meletakkan gabah (Foto oleh Winarto, 2009)

Bila identifikasi dan tekstualisasi varietas baru merupakan hal yang lazim dijumpai pada petani-petani-pemulia tanaman, sejauhmanakah pencatatan secara rinci tentang karakteristik benih-benih itu dilakukan? War adalah salah satu di antara mereka yang melaksanakan hal itu. Dalam buku besar berukuran folio, disediakannya lembar khusus untuk mencatat beragam varietas dan karakteristiknya. Di bagian atas halaman tertulis: “Analisa Parietas yang Ada”. Dengan menggunakan dua lembar sisi ganjil dan genap, dibuatnya kolom-kolom dengan kolom terkiri untuk nama varietas. Kolom-kolom yang tersebar di sisa halaman (ke arah kanan) itu diperuntukkan macam-macam data yang memadai dan informatif tentang varietas-varietas tersebut. Dari kiri ke kanan, kolom-kolom itu ditulisi tema-tema sebagai berikut:

No. Nama Varietas, Tinggi tanaman (cm), Bentuk daun bendera, Lebar daun (cm), Warna daun, rata-rata anakan produktif, rata-rata bulir per malai, ketahanan rebah (tahan/tidak tahan), bentuk bulir, warna beras, rasa nasi, ketahanan rebah (tahan/tidak tahan), umur SS (hari), produkci per ha (kg.), warna batang bawah, jenis varietas lokal/baru, dan asal varietas.

(10)

pada tiap filial (F), War juga perlu merujuk ke catatan itu untuk mengetahui sejauhmanakah penampilan tertentu dari hasil persilangan itu mengikuti ‘induk’nya atau ‘bapak’nya, atau tidak keduanya (lihat pula Film Bisa Dèwèk,2007, dalam buku ini). Karena War menyimpan keinginan untuk kelak ‘mendaftarkan varietas hasil persilangannya’ ke lembaga pemerintah, ia menganggap penting adanya dokumentasi yang lengkap tentang karakteristik tetua yang digunakan dalam persilangannya. Lihat Gambar 9.6.

.

Gambar 9.6. War menunjukkan Buku “Analisa Parietas yang Ada” (sumber: foto oleh Adityasari)

Bertolak dari inisiatif dan kreativitas masing-masing petani-pemulia, serta tujuan akhir yang ingin dicapai, terdapat variasi antara satu petani-pemulia dengan yang lain dalam mendokumentasi karakteristik benih tetua, dan cara melakukan dokumentasi itu. Bahkan, ada yang tidak melakukannya. Yus dari Kecamatan Bangodua, misalnya, tidak membuat catatan apa pun di papan-papan kecil di lahan seperti yang dilakukan petani-pemulia yang lain. “Enggak, pusing nulis itu,” ujar Yus. Walau demikian, ia juga membuat catatan di dalam buku tulisnya beberapa benih induk yang berasal dari varietas lokal yang dulu dicatatnya ketika mengikuti SLPT. Variasi itu terjadi karena tidak ada panduan khusus yang diinformasikan pada peserta SLPT tentang catatan yang sepatutnya dilakukan untuk benih tetua, bukan tentang karakteristik hasil persilangan. Oleh karena itu, masing-masing petani-pemulia mengembangkan gagasan dan caranya sendiri dalam melakukan pencatatan. Variasi itu dijumpai misalnya di antara War dan Mitro, petani-pemulia dari Kalensari.

(11)

Yayasan FIELD untuk memproses melalui komputer sejumlah tulisan hasil catatan tentang karakteristik beberapa benih tetua. Ia juga meminta bantuan Hendrik, salah satu staf peneliti tim UI di awal tahun 2007 untuk mencetak sebuah daftar isian yang telah disiapkannya (Lihat Kotak 9.1). Daftar isian itu ditujukan untuk mendokumentasikan karakteristik benih ‘betina’ (induk) dan benih ‘jantan’ dalam suatu persilangan dilengkapi dengan karakteristik idaman atau harapannya, serta tanggal dan tempat dilakukannya penyilangan. Berbeda dari catatan War khusus tentang karakteristik benih tetua, Mitro mengintegrasikan hal itu dengan kegiatan penyilangan benih yang dilakukannya. Lihat Kotak 9.1 tentang Daftar Isian Data Penyilangan Mitro.

(12)

Seperti halnya War, Mitro menyadari pentingnya melakukan pencatatan yang rinci tentang karakteristik benih tetua. Untuk membantunya mengukur secara tepat dan cermat tinggi tanaman, lebar daun bendera, panjang daun bendera, dan lebar daun dari tanaman bahan induk itu di lahan, ia menciptakan alat pengukur dari batang bambu. Pada batang bambu itu ada alat pengukur dengan ukuran centimeter dan ada pula pengukur panjang malai. Di batang bambu itu dipasangnya tali-tali untuk mengikat malai-malai padi dari satu rumpun tanaman. Perubahan kemudian terjadi pada musim gadu 2008, Mitro tidak lagi menuliskan satuan pengukur di batang kayu/papan. Alih-alih, ia menggunakan tali untuk mengukur tinggi batang, dan juga untuk panjang malai (lihat Gambar 9.7 tentang alat ukur yang diciptakan Mitro). Dijelaskannya bahwa:

...iya, bahan baku penyilangan kan mesti diukur, tingginya berapa, lebar daun bendera, panjang daun bendera berapa. Kalo kita pake meteran kan jongkok-jongkok. Kalau ini kan tinggal pegang (Pak Mitro memeragakan cara memakai meteran itu pada Ardhianto). Ini kan batas ini kan 125 (ketinggian). 125(cm) ditambah, berarti 135(cm) tinggi tanaman. Jadi, lebih praktis. Baru dicatetin nomor berapa, umpamanya, nomor 8 tinggi 135(cm), lebar daun bendera berapa, panjang daun bendera berapa, terus lebar daun berapa, nanti ditulis. Kalo buat bahan penyilangan secara rinci ditulis.

Hasil pengukuran itulah yang kemudian dialihkan pendokumentasiannya dalam catatan yang disiapkan oleh staf Yayasan FIELD atas permintaan Mitro.

(13)

Dar pun mengembangkan sendiri catatan tentang karakteristik benih tetua padi lokal yang selama ini dikumpulkannya. Pada tahun 2008, didokumentasikannya karakteristik itu dalam formulir tentang “Ciri-ciri Padi Lokal” yang disiapkan dalam komputer berisi kolom-kolom tentang:

No. Nama Padi Hari Kulit Cm Biji Jumlah Ditanam Bulu/Angkup Warna Beras

Dalam dokumentasi itu Dar merinci padi lokal manakah yang tumbuh di habitat sawah dan lahan darat dalam kolom ”Ditanam”, dan manakah yang berbulu dan tidak dalam kolom Bulu/Angkup. Kata angkup mengacu pada warna hitam yang terdapat pada ujung gabah.

Beberapa kasus pencatatan benih tetua oleh sejumlah petani-pemulia tanamanmenunjukkan bahwa pada masa kini, pengetahuan mengenai hal itu tidak lagi dapat bertumpu pada ingatan dan bahasa semata sebagaimana dilakukan petani di jaman bengèn. Hal itu terkait tidak hanya dengan upaya mengaktifkan kembali ingatan atas varietas-varietas benih lokal oleh petani yang pernah membudidayakannya, tetapi juga dengan tujuan melakukan dokumentasi atas kegiatan pemuliaan yang dilakukan masing-masing petani-pemulia tanaman. Kegiatan mencatat ini menunjukkan adanya perubahan dalam memaknai dan menggunakan benih. Benih itu tidak lagi ditanam untuk keperluan produksi semata, tetapi juga untuk bahan baku persilangan. Unsur-unsur tanaman atau bagian dari morfologi tanaman yang perlu dikenali karakteristiknya pun semakin kompleks. Oleh karena itu, mereka perlu mengenali secara cermat karakteristik masing-masing tetua yang berhasil dihimpunnya sebagai acuan dalam menentukan varietas idaman, serta menetapkan varietas yang akan dijadikan bahan tetua “induk” dan tetua “jantan”. Namun, dengan adanya sejumlah petani-pemulia yang tidak melakukan pencatatan atas karakteristik penampilan tanaman tetua itu menandakan pula bahwa mereka masih mengandalkan pada ”ingatan”. Bagi generasi muda, pengetahuan tentang hal itu diacunya pada petani-pemulia yang berusia lebih tua dan pada hasil pengamatan atas pertumbuhan tanaman. Akankah hal itu terjadi pula untuk data terkait dengan persilangan itu sendiri?

Membuat Kodifikasi Persilangan: Suatu Dinamika

Suatu jajaran penggunaan simbol yang beragam oleh petani-pemulia di berbagai tempat di Indramayu, kami jumpai dari satu tempat ke tempat lain dalam kurun waktu 2006—08.

(14)

penyilang, misalnya: F5-02-01-14-1A (lihat Gambar 9.10). Namun, ada pula yang hanya menuliskan nama benih hasil persilangan itu sesuai dengan pilihan sang petani-pemulia seperti: Rangbo (lihat Gambar 9.11). Itulah nama untuk hasil persilangan yang sudah ditanam secara luas dan terbuka tanpa kode-kode huruf dan angka.

(15)

Gambar 9.9. Pencatatan Kar di papan, tanpa tanda silang dengan nama penyilang (Foto oleh Tim Bisa Dèwèk)

(16)

Gambar 9.11. Nama kultivar saja yang tertulis di bagian pot tanaman persilangan (Foto oleh Winarto, 2008)

Namun, di balik keragaman yang besar itu, terdapat pula kesamaan untuk penggunaan sejumlah kode. Bagaimanakah keragaman dan kesamaan itu terjadi?

Melalui Sekolah-sekolah Lapangan Pemuliaan Tanaman yang diperkenalkan semenjak tahun 2002, petani tidak hanya belajar tentang pengetahuan dan praktik persilangan, tetapi juga perlunya melakukan pencatatan yang rinci untuk kegiatan persilangan yang dilakukan beserta nama benih tetua, penyilang dan alamatnya, tanggal persilangan, dan hasil persilangan. Di atas setiap kertas minyak pembungkus malai padi “calon bastar” itulah petani-pemulia tanaman diharapkan menuliskan data tersebut yang kemudian dipindahkan dalam buku catatan masing-masing. Informasi tentang benih tetua apa yang disilangkan, siapa penyilangnya, di mana dan kapan dilakukan menjadi data dasar yang amat penting. Tanggal penyilangan merujuk pada musim tanam dan tanggal-bulan saat si penyilang melakukan persilangan. Hal itu akan membantu petani-pemulia tanaman dalam menghitung secara tepat umur padi hasil persilangan itu setelah panen. War, misalnya, mencatat di buku tulisnya data persilangan yang terdiri dari:

Kode-kode baru pun diperkenalkan melalui SLPT, terutama kode untuk mengidentifikasi jenis persilangan yang dilakukan. Dengan kode-kode itu diharapkan agar petani-pemulia tanamanmampu membedakan satu jenis persilangan dari jenis yang lain, dan melakukan pencatatan dalam buku tulis dengan kode itu (lihat Kotak 9.3 tentang kode-kode dan pencatatan jenis-jenis persilangan). Diinformasikan pula pada petani-pemulia tanamanagar mereka menggunakan nomor-nomor untuk menandai persilangan yang

(17)

dilakukan. Misalnya: Nomor 1 untuk persilangan Cibadak x Jonggol, nomor 2 untuk Kebo x Ciherang, dan seterusnya. Selain itu, cara menuliskan nama-nama benih yang dipersilangkan itu pun perlu diperhatikan oleh petani-pemulia tanamanagar dapat membedakan manakah benih induk (betina), dan manakah benih jantan. Perbedaan ditentukan oleh cara meletakkan nama benih tersebut. Bila menyamping, nama benih betina diletakkan di depan. Bila berurutan dari atas ke bawah, nama benih betina diletakkan di bagian atas dan nama benih jantan di bagian bawah (lihat Kotak 9.4). Dengan diperkenalkannya istilah baru: Filial dengan singkatan F untuk generasi tanaman hasil persilangan, kode huruf F pun menjadi bagian integral dalam setiap pencantuman kode hasil-hasil persilangan. F5 menandakan bahwa padi atau gabah itu merupakan hasil penanaman generasi kelima setelah bastar.

Kotak 9.2. Kode-kode untuk ragam jenis persilangan 1. Silang biasa : x

2. Silang paksa : x [beri O melingkari x] 3. Silang tunggal : Sriputih x Longong

4. Silang puncak : Gundil Beras Putih x Sriputih

Bastar atau F2 x Longong

Kotak 9.3 Cara meletakkan nama benih betina dan jantan

Menyamping : Sriputih (betina) x Longong (jantan) Atas-bawah : Sriputih (betina)

Longong (jantan)

(18)

Penggunaan nomor urut persilangan dan Filial (F) memang tersebar melalui pelatihan dalam SLPT dan dipahami setiap petani-pemulia tanaman. Akan tetapi, nomor urut dari persilangan benih-benih tetua apakah itu? Hanya sang petani-pemulia tanaman yang mengetahui jawabannya: merujuk ke persilangan benih-benih tetua apakah nomor urut tertentu itu. Dengan cara inilah masing-masing petani “menyembunyikan” data tentang benih-benih tetua yang disilangkannya. Misalnya, persilangan oleh Mitro berurut dari 01 sampai 54 di tahun 2007 dan mencapai lebih dari 100 di tahun 2008. War memiliki nomor urut persilangan hingga no.21 di tahun 2008. Hanya Mitro dan War yang mengetahui apa makna 01, 02, dan seterusnya itu bagi diri mereka masing-masing. Informasi tentang persilangan benih-benih tetua tertentu pilihan Mitro dan War itulah yang merupakan pengetahuan-tak-terbagikan (unshared knowledge). Bahkan, pengetahuan itu menjadi “rahasia” masing-masing petani-pemulia tanaman. Mengapa demikian?

Pilihan dalam menyilangkan benih-benih tetua terpulang pada masing-masing individu petani. Hasil persilangan itu pun masih dalam proses seleksi. Pengecualian terdapat pada sejumlah persilangan yang menurut pemulianya, telah menunjukkan penampilan yang “sudah rata” atau seragam. Sejauhmanakah keberhasilan, atau sebaliknya, kegagalan, dan/atau kekurangsempurnaan hasil persilangan dan seleksi, merupakan hal yang dinanti petani melalui praktik seleksi dari musim ke musim. Suatu keberhasilan dalam penampilan sesuai dengan “impian atau idaman” mereka, menjadi salah satu kebanggaan diri, hasil dari jerih payahnya selama ini. Namun, di balik itu, terbersit kekhawatiran bila kultivar baru yang mereka hasilkan itu diketahui oleh pihak-pihak luar, khususnya “perusahaan penghasil benih”. Petani mengkhawatirkan bahwa perusahaan itulah yang akhirnya dapat menengguk keuntungan. Padahal, petani yang bersusah-payah menyilang dan menyeleksinya sekian musim dan sekian tahun. Oleh karena itu, petani-pemulia tanaman pun tidak rela bila hasil karyanya ditiru orang lain. Mitro secara kukuh bermaksud merahasiakan karyanya: “Karena rahasia besar itu, nggak saya buka antara apa dengan apa...” Dipaparkannya lebih lanjut, dapat terjadi pihak lain itu,

...karena udah tahu persilangan antara Ciherang dan Kebo, kalau uji gen ya lulus. Oh ini ada gen Ciherang, oh bener. Ini ada gen Kebo, oh bener, lulus. Orang lain yang dapat hasil. Makanya saya gak pernah tulis, jadi orang lain bingung nanti...

Selain kekhawatiran bahwa pihak lain dapat mengetahui ‘rahasia’ persilangannya, ia juga bermaksud mendaftarkan hasil persilangannya ke pihak pemerintah. “Induk-induk persilangan disembunyikan dulu karena nanti mau didaftar,” kisah Mitro. War pun memiliki minat dan tujuan yang sama. Sebelum tahap akhir mencapai penampilan yang memenuhi kriteria untuk didaftarkan secara resmi ke pemerintah, ia tidak mau membuka ‘rahasia’ persilangan antara tetua apakah yang diwakili dengan kode nomor tertentu itu. Pada saat menjelang pendaftaran itu nanti akan dipikirkannya nama bagi varietas baru yang telah ‘rata’, dinilai ‘layak’, dan ‘memenuhi kriteria pemerintah’.

(19)

pelatihan dan satu musim penanaman hasil-hasil persilangan (bastar) di tahun 2008 itu, mencantumkan nomor urut yang besar, yakni 69, 68 di bawah kode simbol betina x simbol jantan (lihat Gambar 9.12). Ternyata, nomor itu bukan melulu merujuk pada nomor urut persilangan, tetapi juga nomor urut beragam benih tetua yang ditanam petani di lahan kelompok. Sang ketua kelompok berinisiatif mendokumentasikan semua benih bakal tetua dan benih persilangan anggota dalam satu buku catatan. Oki, sang ketua kelompok, mengakui bahwa dokumentasi itu merupakan langkah awal melakukan pencatatan di buku milik kelompok. Pendokumentasian secara kolektif itu terjadi dalam konteks terlaksananya kegiatan persilangan selama kegiatan Sekolah Lapangan. Penanaman bastar persilangan di lahan kelompok pada musim berikutnya (musim ketiga 2008) itulah yang ditandai dengan kode tersebut, yang juga tidak mencantumkan kode F (filial). Berarti, kodifikasi seperti itu terjadi pada kasus khusus kelompok tani yang bersangkutan pada tahap awal pembelajaran dalam lingkup kelompoknya, belum secara individual seperti yang dilakukan oleh Mitro dan War.

Gambar 9.12 Papan persilangan yang dipamerkan pada acara Field Day, di Kecamatan Anjatan (Foto oleh Winarto, 2008)

(20)

persilangannya itu Dalam kasus lain, terpampanglah nama yang telah diberikan oleh sang petani-pemulia tanamanpada persilangannya. Rangbo, itulah tulisan yang tertera di papan itu yang merupakan nama pilihan sang petani-pemulia tanamandan merupakan hasil persilangan Ciherang x Kebo (lihat Gambar 9.11). Variasi itu menunjukkan beragamnya kebutuhan individual dalam mengidentifikasi benih-benih yang disilangkan, dan sejauhmanakah masing-masing individu merasa perlu menjaga “kerahasiaan” persilangan yang dilakukannya.

Berbeda dari Mitro dan War, penyilang-penyilang itu tidak merisaukan hal “pencurian” informasi tentang bahan baku yang digunakan (tetua) oleh pihak lain. Kasus penyilang dari Bangodua yang menuliskan nama benih tetua menunjukkan bahwa orientasi mereka adalah pada kepentingan diri sendiri agar mudah mengingat benih-benih tetua yang digunakan dalam persilangannya. Kasus petani yang menuliskan nama baru pada kultivar ciptaannya menunjukkan bahwa tekstualisasi pengetahuan leksikal memang terjadi. Namun, acuan yang digunakan dalam mengidentifikasi suatu varietas adalah skema “penamaan secara leksikal” yang memang telah terwujud dalam alam pikirnya, dan bukan kode yang tidak lazim digunakan untuk menamai suatu varietas. Hal terakhir itu dianggap merepotkan. Bagi sejumlah petani-pemulia tanaman, minat seperti yang dimiliki Mitro dan War untuk mendaftarkan benih hasil persilangannya di lembaga pemerintah, tidak menjadi bagian dari tujuan melakukan persilangan. Mereka tengah mengupayakan pendaftaran di tingkat desa dengan sasaran pengakuan atas benih hasil persilangan oleh petani untuk kepentingan petani yang disebut mereka dengan community registry (Lihat Ardhianto, Bab. 11). Bagi mereka, penggunaan kode dalam bentuk angka (latin atau romawi) dan huruf untuk mengidentifikasi hasil persilangan sekaligus “merahasiakan” benih-benih tetua yang digunakan dalam persilangannya itu, tidak menjadi bahan pertimbangan seperti halnya Mitro dan War.

(21)

dengan maksud yang sama seperti Mitro, yakni menghindari “pencurian” oleh pihak perusahaan, ia tidak akan memberikan kode yang sama seperti halnya Rangbo pada persilangan yang lain. Untuk sejumlah hasil persilangannya, tetap digunakan simbol berupa angka. Jika pun kelak ia memberi nama pada salah satu hasil persilangannya, ia akan memilih nama yang sama sekali berbeda dari nama benih tetuanya. Ia menyebutkan Organ Tani sebagai contoh yang menurutnya, akan membuat para “insinyur” tidak secara mudah mengenali benih-benih tetuanya. “...Induk sama jantannya gak dimasukkan ke situ,...kan otomatis mumet tuh insinyur tuh...,” demikian penjelasan Dar.

Jika untuk bastar digunakan simbol beragam, bagaimanakah simbol untuk segregasi hasil persilangan yang kompleks pada tahap seleksi dari F1 hingga F8? Penggunaan simbol-simbol tertentu untuk menunjukkan segregasi gen, tidak diajarkan di SLPT. Padahal, setiap penyilang menemukan variasi segregasi yang besar dalam karakteristik pertumbuhan tanaman, termasuk kondisi malai, dan bulir padi. Keragaman itulah yang mendorong masing-masing penyilang untuk mengembangkan penggunaan simbol-simbol guna menandai segregasi gen yang terjadi pada setiap generasi (filial). Alhasil, beragam pulalah kodifikasi yang dilakukan para penyilang yang tersebar di berbagai lokasi. Ada sejumlah penyilang yang menggunakan simbol huruf untuk membedakan segregasi yang satu dari yang lainnya; ada pula yang menggunakan simbol angka. Arifin misalnya, menemukan empat macam segregasi pada F1 dari bastar hasil persilangan Kebo dan Longong yang diberinya kode masing-masing A, B, C, D (lihat film Bisa Dèwèk, 2007, dalam buku ini). Begitu juga dengan Mitro yang menggunakan simbol huruf. Dengan ditemukannya ragam bentuk dan/atau warna gabah serta bulu yang disebut petani dengan songot, Mitro pun mengembangkan kode berupa dua huruf konsonan:

BP = biji panjang; BM = biji merah; BB = biji berbulu.

Simbol itu diletakkannya di belakang kode segregasi yang menggunakan huruf, misalnya: F6 30a BP; F6 30a BM; F6 30 a BB.

(22)

Sebaliknya, Mitro yang menggunakan simbol angka untuk segregasi tahap awal, mengombinasikannya dengan simbol huruf untuk segregasi kedua, dan kembali lagi menggunakan simbol angka untuk segregasi ketiga.

Itulah contoh variasi yang terjadi di antara para penyilang. Masing-masing menyatakan bahwa diri mereka sendirilah yang paling mengetahui arti simbol-simbol itu yang mengacu pada karakteristik morfologi tanaman padi tertentu. Selama penyilang tidak mengedarkan gabahnya ke petani lain, selama itu pula kode-kode itu menjadi milik dirinya sendiri. Mitro mengumpamakannya sebagai motor: “...umpama motor pakai kunci ganda. Kalau di parkir di tempat parkir, gak ada kunci ganda kan sulit. Bisa kecurian.”

Bila kode-kode itu “milik diri individu penyilang”, mengapa benih dengan kode-kode yang sama tersebar di sejumlah lokasi tempat dilaksanakannya SLPT tahun 2008 dengan peserta yang baru pertama kali itu belajar menyilangkan benih?

Di salah satu kelompok SLPT di Desa Gadingan, Kecamatan Sliyeg, penyilang menanam benih dengan kode:

Benih-benih itu ternyata dibawa oleh Mitro secara sengaja untuk dibudidayakan oleh peserta SLPT di bawah tanggung jawabnya. Mitro ditunjuk sebagai salah seorang Korwil (Koordinator Wilayah) bagian Timur yang membawahi 3 SLPT (Gadingan, Sukagemiwang, dan Cantigi). Bagi Mitro, penanaman di tiga lokasi berbeda itu dianggapnya sebagai ‘uji adaptasi’ benih-benih hasil persilangan dan seleksinya. Ia mengacu pada tahap akhir dari proses seleksi yang dilakukan pemulia tanaman di Balai Penelitian Tanaman Pangan, yakni uji adaptasi di sejumlah lahan petani yang tersebar di berbagai provinsi di Indonesia. Dipilihnya benih dari F5 yang menurutnya sudah ”hampir rata”.

(23)

Hal yang sama juga terjadi di Kecamatan Anjatan, Sukra, dan Haurgeulis. Berbeda dari Gadingan, petani peserta SLPT di kedua kecamatan itu menanam benih dari Dar dengan kode-kode yang dikembangkan Dar. Dar juga menjabat sebagai Korwil (Koordinator Wilayah) bagian Barat yang membawahi tiga SLPHT di tiga kecamatan di atas (Anjatan, Sukra, dan Haurgeulis). Selain padi lokal sebagai benih tetua, terdapat sejumlah galur dengan benih hasil persilangan Dar dengan kode yang bervariasi seperti:

Dari keempat kode tersebut, nomor-nomor 11 dan 16 menunjukkan nomor urut persilangan yang dilakukan Dar. F6 merujuk pada Filial keenam, sekalipun meletakkannya berbeda-beda di keempat kode itu. Huruf SP, tulisan gènjah, dan angka 8 dari nomor urut yang sama 16 mengidentifikasikan adanya varian atau segregasi yang oleh penyilangnya diberi simbol berbeda-beda. Istilah gènjah merujuk pada usia tanaman yang gènjah atau muda, sedangkan nomor 8 mengacu pada segregasi kedelapan. Mengidentifikasikan apakah dua huruf konsonan SP itu? SP ternyata merupakan singkatan dari Super. Di antara keempat kode itu, ada tiga di antaranya yang diawali dengan kode 06, sedangkan satu di antaranya tidak. Yang teraakhir mungkin terlupakan. Apakah makna 06 itu?

Pada saat peneliti mengawali kegiatan penelitian di tahun 2006, kode dua digit dengan urutan 01, 02, 03, 04, dan seterusnya itu belumlah terpampang di bagian awal penulisan label persilangan. Kode angka di depan nomor urut persilangan memang belum terwujud. Bilamanakah kode angka dua digit itu mulai digunakan penyilang? Beberapa penyilang menyebut tahun 2007, saat dilaksanakan lokakarya di Cangkingan oleh Yayasan FIELD Indonesia. Namun, ide untuk memunculkan kode itu sudah bergulir sebelumnya. Adalah War yang mencetuskan ide itu, hasil dari diskusinya dengan pemandu di awal program PEDIGREA. War mengisahkan bahwa dia tidak sepakat dengan staf program PEDIGREA dari Filipina yang menyatakan agar para penyilang tidak melakukan persilangan yang sama seperti yang telah dilakukan sesamanya. Yang bersangkutan mempertanyakan perihal silsilah persilangan itu nantinya bila lebih dari satu orang melakukan persilangan yang sama. War berpendapat bahwa kegiatan menyilangkan dan menyeleksi itu merupakan ‘seni’. Dalam melakukan seleksi atas segregasi yang amat beragam, tidak mungkin terjadi persamaan di antara sesama penyilang. “Jika dari satu persilangan keluar 15 macam, pilihan penyilang itu sesuka-sukanya,” ujar War. Hasil penyeleksian itu pun akan berbeda sekalipun benih tetuanya sama. Mempertimbangkan hal itu, dan menyimak pula semakin meluasnya kegiatan persilangan dan penyeleksian yang dilakukan oleh semakin banyak petani di berbagai kecamatan di Indramayu, War berpikir bahwa sudah saatnyalah dilakukan kodifikasi di antara sesama penyilang. Kodifikasi itu memungkinkan dilakukan pembedaan atas ‘kepemilikan’ suatu hasil persilangan, sekalipun terjadi persilangan dengan benih tetua yang sama. “Karena beda orang yang nyeleksi...nah, yang harus disepakati bersama itu kode-kode pencatatan hasil seleksinya itu. Ini milik siapa? Nomor berapa, milik siapa, penyilangnya siapa?” ujar War.

$$ % $ , %

(24)

Perspektif yang digunakan oleh War tidak lagi kepentingan diri sendiri dalam menggunakan simbol sebagai alat bantu mengenali persilangan yang dilakukannya, tetapi kepentingan identifikasi itu bagi seluruh penyilang di Indramayu. Tersirat di dalamnya adalah keinginan War untuk mengaitkan perbedaan penampilan tanaman hasil persilangan itu dengan penyilangnya. Digunakannya istilah ‘milik’: “Ini ‘milik’ siapa?” War menjelaskan lebih lanjut:

Induknya sama, enggak masalah karena orangnya yang menyilangkan beda. Nah itu kan harus disepakati bersama dari orang yang menyilangkan di Indramayu... Kamu kodenya apa, dari wilayah mana...supaya dengan melihat catatan aja sudah tahu...Oh ini punya Dar. Ini mah punya Gabus Wetan. Oh, ini punya Patrol. Oh, ini punya Widasari umpamanya. Jadi, dengan melihat pencatatan udah tahu. Itu kode-kode pencatatan. Nah, itu kan perlu diketahui bersama dan disepakati bersama.

Saat ia mencetuskan ide itu di tahun 2006, kesepakatan belum dicapai. Mengupayakan terjadinya kesepakatan, itulah yang diupayakan War selanjutnya. Apa yang dicetuskan War menunjukkan daya nalar dan kreativitasnya. Merefleksikan apa yang dialami, mengamati apa yang terjadi, memikirkan strategi yang jitu, itulah yang dilakukan War dari hari ke hari. Namun, War menyadari bahwa interaksi dengan sesama penyilang diperlukan untuk mencapai kesepakatan perihal kodifikasi itu. Untuk mewujudkan gagasan yang diinginkan dan diharapkannya itu serta menimbulkan perubahan berupa kesepakatan atas kodifikasi hasil persilangan, War mengetahui bahwa diperlukan suatu forum untuk menyampaikan gagasan itu pada sesama pemulia. Forum lokakarya—yang telah lazim dilakukan petani semenjak tahun 1990-an—dianggapnya tepat. Di saat Yayasan FIELD Indonesia masih mendampingi kesebelas kelompok pemulia tanaman di tahun 2006, War mengemukakan gagasannya dan meminta dukungan dana dari yayasan itu. Lokakarya di Cangkingan di awal 2007 merupakan perwujudan dari upaya War dengan hasil kesepakatan atas kodifikasi yang digagasnya. Olah pikir yang kemudian diupayakan untuk diwujudkan itulah yang dapat menimbulkan suatu perubahan. Dalam hal ini terlihat kemampuan War sebagai agen yang—atas pemikiran dan prakarsanya—mewujudkan ke-agency-annya (lihat Ahearn, 2006).

(25)

Kotak 9.4. Nomor Urut Kode Wilayah

02. Kalensari,Widasari 07. Sukra Wetan, Sukra 12. Malangsari, Bangodua 03. Segeran Kidul, Jutinyuat 08. Jengkok,

Kerrtasemaya

13. Sliyeglor,Sliyeg

04. Cangkingan, Kedokan Bunder

09. Mulyasari, Bangodua

05. Jenguk, Gabuswetan 10. Sidamulya,Bongas

Dengan menggunakan nomor urut wilayah dan penyilang, War misalnya, mencantumkan: F8 02-01-05-B2.

F8 mengacu ke Filial kedelapan, 02 kode wilayah Kalensari-Widasari, 01 nomor urutnya sebagai penyilang pertama di Kalensari, 05 untuk nomor urut persilangan, dan B2 untuk nomor segregasi hasil persilangan. Mitro yang berasal dari Kalensari-Widasari dengan kode yang sama (02) memperoleh nomor urut 02 sebagai penyilang kedua.

Kode-kode lain berkaitan dengan nomor urut persilangan, nomor atau huruf menandai segregasi diserahkan pada masing-masing penyilang karena merekalah yang paling tahu apa yang disilangkan, dan segregasi dari penampilan tanaman macam apakah yang dipilih dalam proses seleksinya. Mengapa hanya pembedaan wilayah dan penyilang dalam bentuk kode (wilayah dan penyilang) itu yang disepakati? Nampaknya hal itu terkait dengan tujuan untuk menghindarkan kerancuan atas hasil-hasil seleksi yang berbeda dari persilangan tetua yang sama. Menarik pula kiranya disimak bahwa pada tahun 2008 dengan terlaksananya SLPT di enam kecamatan yang baru, kode-kode itu pun tersebar bersama dengan benih-benih yang tidak menyebutkan kode wilayah dan penyilangnya. Atau, penyilang di Anjatan berujar bahwa kini di lahan kelompoknya ditanam: “F6 16 06.” Angka 06 yang mengacu ke kode wilayah (Gabus Wetan) itu disebutkannya terakhir dan tidak di depan. “Kami menanam benih dari Dar: F6 06 01 P... Dari Mitro: IM 02 02 50 B BM,” demikian ujar Abi dari Sukra.

(26)

enam SLPT itu pun bervariasi. Abi dari Sukra, misalnya, menginterpretasikan kode 02-02 (kode wilayah dan penyilang) itu sebagai angka-angka yang menunjukkan tanggal penyilangan, sekalipun secara benar ia mengatakan bahwa kode huruf IM mengacu pada Indramayu. “...IM berarti Indramayu. 02 itu berarti ketika dibuat itu benih itu disilangkan dengan itu tanggal 2 bulan 2. Nah di sini tahun berapa.” Untuk nama wilayah, diacunya pada singkatan dua huruf konsonan seperti KL. “...Kalo KL-nya itu Kalensari. Jadi, padi itu ditanamnya di Kalensari, lab-nya,” ujar Abi sambil menyebutkan pula singkatan huruf yang sama untuk desanya: KL yang berarti Karang Layung. Penjelasan Abi itu menunjukkan bahwa kodifikasi itu masih dalam upaya penyebarluasan, dan berlangsunglah interpretasi masing-masing individu dalam upaya menjadikannya bagian dari skema pengetahuan mereka.

Kesamaan dan keragaman, dinamika dan pemantaban, itulah yang terjadi dalam kegiatan melakukan tekstualisasi dengan menggunakan simbol angka dan huruf untuk nama-nama kultivar baru yang dihasilkan petani penyilang. Tekstualisasi itu tidak hanya ditujukan untuk mengidentifikasi tanaman, tetapi juga penyilang dan tempat persilangan dalam rangka menunjukkan identitas masing-masing penyilang dan hasil karyanya. Dengan beragamnya karakteristik tanaman yang dihasilkan dari penanaman bastar dalam setiap filial, bagaimanakah para penyilang itu mendokumentasikannya?

Mencatat Morfologi dan Penampilan Tanaman

Pada waktu Haji Roni mengunjungi Kecamatan Sukra di musim kemarau 2008, ia menanyakan hal pengamatan mingguan yang dilakukan oleh peserta tentang pertumbuhan tanaman, dan sejauhmanakah pencatatan dilaksanakan. Abi yang ikut memandu SLPT menjelaskan bahwa pengamatan dan pencatatan secara rinci oleh peserta tentang karakteristik pertumbuhan tanaman belum dilakukan. Haji Roni menjelaskan bahwa pengamatan dan pencatatan setiap minggu itu penting. Sambil menggambarkan denah lahan di secarik kertas, Haji Roni menganjurkan agar di masing-masing kotak diletakkan ajir (batang bambu atau kayu) yang ditancapkan secara diagonal sebagai ‘wakil’ pengamatan. Lalu, hasil pengamatan pada rumpun padi di dekat ajir itu ditulis: apa nama varietas atau kode persilangannya, jumlah anakan, umur, tinggi tanaman, dan lain-lain. Berdasarkan pengamatan mingguan itu apa hasilnya? “Deskripsi varietas,” ujar Haji Roni. Masing-masing varietas akan berbeda karakteristiknya. Justru tujuan dari pemuliaan itu—yang disebut Haji Roni sebagai breeding objective—didasarkan pada “deskripsi varietas”.

(27)

Pada suatu sesi pelatihan di awal bulan Agustus 2008, sepulang peserta dari lahan kelompok dan mendiskusikan sejumlah hal, Oki, sang pemandu, mencatat di papan tulis sederetan istilah yang ternyata berupa hal-hal yang perlu dicatat oleh peserta berkenaan dengan karakteristik penampilan tanaman. Terdapat 16 butir karakteristik di samping umur tanaman, yakni:

7. Jumlah biji per malai 15. Ketahanan hama penyakit. 8. Kerontokan 16. Anjuran tanam.

Ketika peserta mengetahui bahwa mereka harus mencatat keenambelas butir karakteristik itu, bukan hanya untuk tinggi tanaman, jumlah anakan, dan banyaknya bulir dalam malai padi, sejumlah peserta mengeluh perihal tidak diberitahukannya hal itu terlebih dahulu sebelum mereka melakukan pengamatan di lahan. Oleh karena itu, tidak ada seorang pun peserta yang melakukan pencatatan berbagai hal itu saat di sawah.

Mengamati secara rinci berbagai karakteristik sekaligus mencatatnya merupakan hal baru yang mereka pelajari, sekalipun hal-hal itu terekam pula dalam ingatan mereka saat berada di sawah. Pada saat melakukan diskusi kelompok untuk mencatat ke-16 butir karakteristik itulah, masing-masing petani mencoba mengingat-ingat apa yang sebenarnya telah diamati, kemudian mendiskusikan, dan mencurahkannya dalam wujud tulisan. Saling bertanya, saling mengingat, saling bertukar informasi, itulah yang terjadi. Saat setiap kelompok diminta melakukan presentasi, berhasil terisilah seluruh butir itu kecuali butir terakhir: anjuran tanaman yang dikosongkan oleh semua kelompok.

Petani yang semula pergi ke sawah tanpa membawa alat tulis apa pun, kini dituntut untuk merekam hasil pengamatannya selama di sawah. Bagaimanakah hal itu dilakukan petani? Itulah praktik yang perlu disiasati. Bagaimanakah mendokumentasikan hasil pencatatan setiba di rumah? Menuliskan hasil pengamatan yang semula tidak merupakan bagian dari budaya cocok tanam padi itu pun berkembang secara beragam di antara sejumlah penyilang sekalipun terdapat kesamaan dalam butir-butir karakteristik yang sepatutnya diperhatikan dan dicatat. Terdapat pula dinamika dalam proses pengembangan dokumentasi itu oleh masing-masing penyilang.

(28)

No. Data Persilangan No. Diambil Umur ss Tinggi Cocok organik

Ternyata, lembaran kertas A4 itu menjadi lusuh dan robek di bagian lipatan, tidak tahan lama. Oleh karena itu, War menggantikan lembaran kertas A4 itu dengan guntingan kertas yang disiapkannya berukuran ¼ dari kertas A4. Ukuran kertas yang lebih kecil memudahkannya untuk membawa kertas itu ke sawah dan menuliskan catatan sambil melakukan pengamatan. Dalam kertas berbentuk ‘notes’ itu ditulisnya data tentang:

No. urut persilangan Kode segregasi Umur (U) Tinggi (T)

Untuk mengukur tinggi tanaman War juga menggunakan tongkat yang diberi ukuran centimeter. Data dari “notes” itulah yang kemudian dipindahkannya ke formulir data hasil seleksi yang disiapkannya di komputer. Dalam formulir itu tercantum isian-isian kolom-kolom tentang:

No. Data persilangan No. Seleksi Umur ss hari Tinggi tanaman Panjang malai Kecocokan organik

Selain data hasil seleksi untuk masing-masing persilangan, War juga menyiapkan dokumen tentang karakteristik berdasarkan morfologi tanaman yang lengkap dengan mengacu pada buku Deskripsi Varietas Padi yang dikeluarkan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Subang, 2006. Dalam lembar data yang diberinya judul Sekripsi Varietas, ada tambahan dan pengurangan dari rincian karateristik dalam buku Deskripsi Varietas Padi itu. Misalnya:

(29)

Gambar 9.13 War membandingkan deskripsi varietas padi Balitpa dan deskripsi varietas padi hasil

karyanya.(Foto oleh Tim Bisa Dewek)

Apa yang dilakukan War menunjukkan bahwa sekalipun kegiatan pemuliaan tanaman itu telah ditekuninya semenjak tahun 2002, perubahan dan pengembangan dilakukan dalam hal mencari cara yang lebih mendukung sesuai dengan kondisi yang dihadapi, dan dalam mencapai tujuan yang diinginkan, yakni menghasilkan varietas baru dengan data yang rinci dan lengkap tentang karakteristik morfologinya. Dalam hal inilah, terdapat keragaman di antara sejumlah penyilang seperti yang kami simak dari sejumlah kasus petani-pemulia tanaman.

Mitro juga melakukan proses yang hampir serupa, akan tetapi perbedaannya terletak pada urut-urutan pencatatan. Jika War membawa catatan langsung ke lahan, Mitro tidak membawa catatan dalam kertas terpisah. Ia hanya memilah berdasarkan ciri-ciri dari galur tertentu dengan sebuah tali rapia. Mitro mencatat perkembangan morfologi di rumah sesudah selesai memilah-memilah galur-galur tersebut. Sewaktu Ardhianto mengikuti Mitro menyeleksi di lahan praktiknya, ia menunjukkan beberapa detail morfologi yang jarang sekali dicatat oleh petani-pemulia tanamantanaman lain. Ciri morfologis itu adalah jantung gabah, yaitu sebuah ciri di dalam bulir padi yang bisa berwarna putih ataupun merah. Jumlah penambahan kriteria morfologi dalam menyeleksi ini tentunya dipengaruhi oleh praktik seleksi petani yang memungkinkan munculnya diversitas morfologi dari masing-masing segregasi genetik yang muncul dari satu persilangan.

(30)

lazimnya dilakukan petani dalam mengamati dan mengingat karakteristik pertumbuhan padi varietas tertentu. Hal itu jelas berbeda dari praktik yang dilakukan oleh War atau Mitro yang telah mengembangkan sistem pencatatan atas hasil pengamatan empiris mereka tentang ciri morfologis suatu galur hasil persilangan. Walau demikian, tidak berarti bahwa Yus tidak menggunakan leksikon-leksikon yang digunakan sesama petani-pemulia tanamandalam melihat bagian-bagian morfologi padi. Kembali merujuk pada tulisan Ellen (2004), Yus merupakan kasus yang menunjukkan keengganannya untuk menekstualisasi pengetahuan empirisnya mengenai karakteristik penampilan tanaman padi. Perbedaan motivasi individual, misalnya keinginan mendaftarkan hasil pemuliaan dan mencari keragaman dalam seleksi, atau sebaliknya, keinginan memperoleh hasil yang cepat ‘merata’ untuk kepentingan produksi memengaruhi perbedaan dalam praktik tekstualisasi pengetahuan antara Mitro/War dengan Yus.

Penyiapan dokumen karakteristik tanaman hasil persilangan itu juga secara serius disiapkan oleh Dar, terutama terkait dengan salah satu hasil persilangan yang pada musim gaduh (kemarau) 2008 telah mencapai F12 dan telah ditanam secara luas. Penanaman secara luas itu dilaksanakan di hamparan sawah di Kecamatan Anjatan, tidak di lokasinya sendiri, Kecamatan Gabus Wetan (Lihat Ansori, Bab 10). Kini, Rangbo, nama yang diberikan pada hasil persilangan itu telah mencapai F12 dan telah ditanam oleh sekitar 28 petani. Dar pun menyiapkan dokumen pencatatan karakteristik benih hasil persilangannya itu untuk diisi oleh sang penyeleksi: Oki. Ia pun menyiapkan dokumen untuk mencatat nama-nama penyeleksi dan penanam benih Rangbo itu. Dokumen pertama dinamainya: Pemuliaan Tanaman Padi, sedangkan dokumen terakhir diberinya judul: Uji Coba Adaptasi Tanah 20 Wilayah Hasil Persilangan F12 Rangbo 2009. Sekalipun butir-butir karakteristik yang dicantumkan dalam dokumen Pemuliaan Tanaman Padi itu tidak berbeda jauh dari War, terdapat perbedaan dalam hal penataan halaman depan (cover), pencantuman data penyilang dan persilangan, serta sejumlah butir karakteristik. Untuk data penyilang dan persilangan dicantumkannya:

(31)

(kelompok tani, blok, desa, kecamatan); Kg; Luas (ha); Tanggal; MT; Hasil (ton); Tanda Tangan. Di bagian bawah lembar dokumentasi tertera di bagian kanan: Nama Penyilang, dan di bagian kiri: Mengetahui, KCD Kecamatan Gabus Wetan. Itulah inisiatif dan kreativitas Dar dan sejumlah penyilang sebagai contoh dari praktik-praktik penekstualisasian data tentang persilangan dan hasil pengamatan tentang karakteristik pertumbuhan tanaman, bahkan juga catatan tentang persebaran benih yang dihasilkan dari persilangan.

Gambar 9.14 Lembar pencatatan pemuliaan tanaman padi Dar (Foto oleh Winarto, 2008)

(32)

hanya mencatat perkembangan seleksi yang dilakukannya sendiri. Ia menuliskan beberapa ciri morfologis yang mendetail dalam diagram genealogi dari hasil persilangan yang dilakukannya. (lihat Gambar 9.15)

Gambar 9.15 Daftar Morfologi yang ditulis Kamad, (Sumber: Ardhianto, 2008)

Satu hal yang juga menjadi pemikiran petani-pemulia tanaman adalah mencatat asal-usul persilangan benih yang dilakukannya.

Menggambar Diagram Genealogi Persilangan Benih

(33)

Petani-pemulia tanaman menyadari pentingnya dimensi waktu dari perkembangan seleksi hasil persilangan. Mencatat tanggal semai, tanam, dan panen pada setiap generasi (F) hasil seleksi dalam diagram genealogi pun dilakukan sejumlah petani-pemulia tanaman. Hal itu signifikan bagi upaya mereka memahami situasi agroekosistem pada setiap tahapan generasi. Selain itu, mereka juga menggunakan kode-kode dalam bagan-bagan kotak yang merepresentasikan salah satu galur perpecahan genetika. Namun, tidak semua petani-pemulia melakukan hal itu, dan tidak semua yang menggambarkan silsilah benih persilangannya melakukan hal yang sama. Diagram genealogi itu merupakan hasil karya masing-masing petani-pemulia yang dilandasi oleh kreativitas dan daya abstraksinya. Oleh karena itu, variasi diagram genealogi pun dijumpai dari satu petani ke petani yang lain.

Dokumentasi genealogi yang dilakukan seorang petani-pemulia tanaman, Kamad, menunjukkan kemampuannya menghubungkan berbagai unsur dalam skema pengetahuannya yang dituangkan dalam sebuah catatan di selembar karton. Catatan itu meliputi ciri-ciri nama benih tetua induk dan jantan dari varietas persilangan yang telah dikembangkannya, morfologi tanaman, kodifikasi atas persilangan, dan sekaligus juga silsilahnya. Semuanya itu dituangkan oleh Kamad dalam sebuah karton besar. Untuk beberapa segregasi yang unggul dari hasil persilangannya, dituliskan secara rinci ciri-ciri morfologinya. Lihat gambar 9.16 untuk genealogi benih yang dinamai Gading Surya.

(34)

Dalam gambar 9.16 itu terlihat cara Kamad menjelaskan keseluruhan detail perkembangan pemuliaan tanaman dalam bentuk diagram lengkap dengan morfologi tiap segregasi yang muncul di tahap F2 dan F3. Dengan mengacu pada satu buah diagram itu, Kamad dapat menceritakan secara lisan dan lengkap berbagai catatan sebelumnya dalam mendeskripsikan ciri morfologi setiap segregasi. Melalui cara itu pula, Kamad mampu mengingat dan mengaktifkan pengetahuan/pengalamannya mengenai perkembangan tanaman dalam setiap generasi. Diungkapnya salah satu contoh kasus dari manfaat yang dipetiknya dalam memahami perpecahan genetik dan asal usul benih Gading Surya dengan menunjukkan alur terciptanya segregasi.

(35)

Gambar 9.17. Genealogi Persilangan War (Foto oleh Tim Bisa Dewek)

(36)

Gambar 9.18 Genealogi Persilangan Arifin (Foto oleh Ardhianto, 2008)

Hal menarik dari dokumentasi Arifin adalah pencantuman nama penyeleksi pada kode-kode galur hasil segregasi. Perbedaan antara seleksi secara individual dan secara kolektif tercermin dalam perbedaan genealogi yang dihasilkan. Dalam lingkup kelompoknya, proses seleksi dilakukan lebih dari satu orang untuk satu buah hasil persilangan yang diciptakan seseorang. Oleh karena itu, identitas penyeleksinya dapat dijumpai dalam genealogi yang diciptakan Arifin. Pencatatan genealogi benih tidak hanya menunjukkan sejarah perkembangan perpecahan genetika suatu hasil persilangan, tetapi juga konteks dari praktik seleksi yang dilakukan. Dari suatu galur pada generasi tertentu, dapat dilacak siapakah individu yang menyeleksinya. Diagram genealogi semacam itu dapat merepresentasikan keterhubungan berbagai agen dalam penciptaan suatu hasil persilangan tertentu serta kolektivitas dari kegiatan seleksi yang dilakukan.

Memetakan Lahan Persilangan dan Hasil Seleksi Benih

(37)

mengalihkan pengalaman empiris ke dalam catatan. Segregasi hasil seleksi ternyata memunculkan galur-galur yang sangat besar jumlahnya. Hal itu mendorong beberapa petani-pemulia untuk memetakan penanaman hasil persilangan dan variasi genetika hasil segregasi di lahan praktiknya. Pengetahuan membuat peta lahan itu pertama kali diperkenalkan di TOT (Training of Trainee) pemuliaan tanaman. Istilah yang digunakan adalah menggambar Setting lahan (lihat Wartono 2004). Kegiatan memetakan lahan persilangan dan galur-galur hasil persilangan merupakan salah satu urutan penting dalam kegiatan pemuliaan tanaman. Petani perlu melacak perkembangan galur persilangan yang mengalami banyak perubahan dalam proses seleksi. Terutama, bila sang petani tidak menandai galur-galur di lahan dengan kode-kode masing-masing galur yang merujuk pada: ”hasil-seleksi segregasi/penyimpangan-yang-mana-untuk-hasil-persilangan-apa-dalam-filial-ke-berapa”. Dari sejumlah petani-pemulia yang tidak menggunakan plang-plang kodifikasi galur-galur tanaman di lahan, kami memperoleh jawaban bahwa mereka mampu mengingat: “galur-mana-ditanami-hasil-seleksi-yang-mana-dari-hasil-persilangan-apa-pada-filial-ke-berapa”. Namun, ingatan itu tetap perlu didukung oleh pencatatan peta lahan yang dibuat dan disimpannya di rumah. Sekalipun petani-pemulia tanaman telah memasang plang-plang yang memuat kode-kode galur, pembuatan denah lahan tetap dilakukan. Pemetaan itu merupakan salah satu wujud tekstualisasi dari ingatan yang digunakan petani sebagai referensi atas keragaman yang muncul dalam segregasi gen antargalur di lahan praktik.

(38)

Gambar 9.19 Pencatatan peta lahan oleh Mitro (Foto oleh Tim Bisa Dewek)

Gambar 9.20 Pencatatan peta lahan oleh Yus (Foto oleh Ardhianto, 2008)

(39)

bentuk dokumen komputer. Perpindahan pencatatan ini dilakukan secara bersama: Kar memberitahu Tono wujud Setting Lahan yang dibuatnya dalam buku, dan Tono pun menggambarkan peta lahan tersebut dengan menggunakan komputer. Berbeda dengan yang dilakukan oleh Mitro dan Yus, pencatatan peta lahan ini menjelaskan dengan detail jumlah rumpun dari masing-masing varietas persilangan, varietas lokal, serta hasil segregasi hasil persilangan yang dilakukan Kar.

Kegiatan membuat peta lahan ini tidaklah dipraktikkan oleh semua petani-pemulia tanaman. Pengategorian yang dilakukan hanya sebatas penomoran kodifikasi persilangan tertentu, atau hanya mengandalkan diri pada ingatan tentang macam-macam galur beserta informasi tentang: ‘segregasi apa, dari filial keberapa, hasil persilangan apa yang ditanam dalam galur mana’. Tumpuan pada ingatan semata, itu pulalah yang merupakan kelaziman petani dalam melakukan budi daya tanaman. Kemampuan mengingat itu merupakan kekuatan petani dalam konteks tidak dikembangkannya kegiatan tekstualisasi atas praktik persilangan dan seleksi benih.

Mengembangkan Ketrampilan Tekstualisasi dan Kodifikasi: Suatu Penutup

Suatu perubahan tengah terjadi di antara petani-pemulia tanaman di Indramayu dalam hal kemampuan melakukan dokumentasi atas kegiatan pemuliaan tanaman. Inilah suatu kemampuan baru yang signifikan dalam perkembangan kebudayaan bercocok tanam di kalangan petani, yakni dari pengetahuan yang tersimpan dalam ingatan, ujaran, dan praktik ke pengetahuan yang juga tersimpan dalam wujud tulisan. Perubahan yang terjadi mencerminkan apa yang dikemukakan oleh Ellen (2004) sebagai upaya menekstualisasikan pengetahuan leksikal melalui tulisan. Sekalipun sejumlah petani telah terlatih untuk menuliskan hasil pengamatannya melalui pelatihan-pelatihan dalam Sekolah Lapangan Pengendalian Hama Terpadu dan berbagai kegiatan lainnya semenjak awal tahun 1990-an, melakukan kodifikasi atas hasil karya mereka sendiri secara khusus dengan menggunakan simbol-simbol barulah terwujud semenjak sejumlah petani belajar melakukan pemuliaan tanaman di tahun 2002.

(40)

Jajaran variasi itu meliputi beragam aktivitas mendokumentasikan kegiatan, yakni: menandai galur-galur tanaman padi di lahan praktik, pada gabah-gabah tetua, bastar, atau hasil seleksi saat dilakukan penyimpanan di rumah-rumah petani; serta melakukan pencatatan atas karakteristik tanaman tetua, hasil persilangan (bastar), dan hasil seleksi. Variasi itu sendiri mencerminkan beragamnya respons petani atas kebutuhan untuk melakukan pencatatan, dan tujuan yang ingin dicapai masing-masing. Di satu sisi, terdapat sejumlah petani-pemulia yang tidak menganggap penting melakukan kodifikasi dan pencatatan. Orientasi mereka dalam melakukan pemuliaan adalah perolehan hasil yang memiliki kelebihan dalam produksi gabah alih-alih varietas benih unggul yang tengah populer ditanam petani. Selama mereka mampu menyimpan semua informasi persilangan, seleksi, dan karakteristik morfologi tanaman dalam ingatan, cukuplah hal itu bagi kebutuhan mereka. Kebutuhan diri sendiri, itulah yang menjadi rujukan. Tekstualisasi hal-hal empiris dan verbal tetap dilakukan sebagai penunjang ingatan mereka. Di sisi lain, terdapat sejumlah petani-pemulia tanamanyang memiliki minat dan harapan besar untuk menghasilkan varietas baru. Untuk itu, kaidah-kaidah dan aturan-aturan yang diberlakukan pemerintah dipandang perlu untuk dirujuk agar varietas baru hasil karyanya nanti juga dapat memenuhi standar dan kriteria pemerintah. Oleh karena itu, pencatatan secara rinci dari setiap persilangan, metode seleksi yang digunakan, pemilihan galur segregasi, pencatatan karakteristik tanaman, genealogi persilangan, dan pemetaan lahan praktik amat diperhatikan.

(41)

Daftar Referensi:

Ahearn, L. M. (2001). Language and Agency. Annual Reviews Anthropology, 30, 109-137. Almenkinder, C., & Luowaars, N. (1999). Farmer's Seeds Production: New Approach and

Practices. London: Intermediate Technology Publication.

Amante, V. d. R., & Jr, E. T. R. (1994). Farmers as Partners in Cultivar Assessment. In G. D. Prain & C. P. Bagalanon (Peny.), Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources (pp. 282-285). Los Baños, Laguna: UPWARD.

Cleveland, D. A., & Soleri, D. (2002). Farmers, Scientists and Plant Breeding: Integrating Knowledge and Practice. Oxon and New York: CABI Publishing.

Ellen, R. F. (2004). From Ethno-Science to Science, or “What the Indigenous Knowledge Debate Tells Us about How Scientists Define Their Project. Journal of Cognition and Culture 4(3), 409-450.

Frossard, D. (2002). How Farmer-Scientist Cooperation is Devalued and Revalued: A Philippine Example. In D. A. Cleveland & D. Soleri (Peny.), Farmers, Scientists and Plant Breeding: Integrating Knowledge and Practice (pp. 137-159). New York: Cabi Publishing.

Gallagher, K. (2003). Fundamental elements of a Farmer Field School. Low External Input Sustainable Agriculture (LEISA) Magazine, 19, 5-6.

Joshi, K. D., Sthapit, B., Subedi, M., & Witcombe, J. R. (2002). Participatory Plant Breeding in Rice in Nepal. In D. A. Cleveland & D. Soleri (Peny.), Farmers, Scientists and Plant Breeding: Integrating Knowledge and Practice (pp. 239-267). Oxon and New York: CABI Publishing.

Lleva, E. M. (1994). Collection of Germplasm and Associated Indigenous Knowledge in Ifugao, Philippines. In G. D. Prain & C. P. Bagalanon (Peny.), Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources (pp. 123-140). Los Banos, Laguna: UPWARD.

McGuire, S. J. (2002). Farmers Views and Management of Sorghum Diversity in Western Harerghe, Ethiopia: Implications for Collaboration with Formal Breeding. In D. A. Cleveland & D. Soleri (Peny.), Farmers, Scientists and Plant Breeding: Integrating Knowledge and Practice (pp. 107-135). Oxon

New York: CABI Publishing.

Mok, I. G., & Schneider, J. (1994). Collection and Documentation of Sweet Potato Germplasm in Indonesia. In G. D. Prain & C. P. Bagalanon (Peny.), Local

Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources (pp. 141-158). Los Baños, Laguna: UPWARD.

Ortner, S. B. (2006). Anthropology and Social Theory: Culture, Power, and The Acting Subject. Durham, London: Duke University Press.

Prain, G. D., & Bagalanon, C. P. (Peny.). (1994). Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources. Los Baños, Laguna: UPWARD.

Rapport, N., & Overing, J. (2007). Social and Cultural Anthropology: The Key Concepts (Second ed.). Oxon: Routledge.

Sandoval, V. N. (1994). ‘Memory Banking Protocol: A Guide for Documenting Indigenous Knowledge Associated with Traditional Crop Varieties. In G. D. Prain & C. P. Bagalanon (Peny.), Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources (pp. 102-122). Los Baños, Laguna: UPWARD.

(42)

Sawor, T., Chadikun, P., Atmodjo, E., Sitmorong, E. R., Prain, G., & Mok, I.-G. (1994). Methods for Interdisciplinary Collection of Ipomea batatas Germplasm and

Associated Indigenous Knowledge in Anggi, Irian Jaya, Indonesia. In G. D. Prain & C. P. Bagalanon (Peny.), Local Knowledge, Global Science and Plant Genetic Resources (pp. 159-186). Oxon dan New York: CABI Publishing.

Suprapto, T. (2007). Pemberdayaan dan Sains Petani: Suatu Jalan Alternatif menuju Pertanian yang Tangguh. Paper presented at the Seminar dan Lokakarya: Pemberdayaan dan Sains Petani: Suatu Jalan Alternatif menuju Pertanian yang Tangguh? , Yogyakarta: Academy Professorship Indonesia bidang Ilmu Sosial-Humaniora, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Untung, K. (2007). Sains Petani sebagai Kontribusi SLPHT untuk Pemberdayaan Petani. Paper presented at the Seminar dan Lokakarya: Pemberdayaan dan Sains Petani: Suatu Jalan Alternatif menuju Pertanian yang Tangguh? , Yogyakarta: Academy Professorship Indonesia bidang Ilmu Sosial-Humaniora, Sekolah Pascasarjana Universitas Gadjah Mada.

Winarto, Y. T. (1997). Managing Seed Diversity During the Green Revolution Era. Knowledge and Development Monitor, 5, 3-6.

Winarto, Y. T. (2004). Seeds of Knowledge: The Beginning of Integrated Pest Management in Java. New Haven: Yale Southeast Asia Council.

Winarto, Y. T. (2007). Sang Petani-Ilmuwan, Sang Ilmuwan-Pro-Petani: Penyangga Ketangguhan dan Kedaulatan Pangan. Depok: Program Sarjana Antropologi FISIP-Universitas Indonesia, Academy Professorship Indonesia bidang Ilmu Sosial-Humaniora (KNAW-AIPI), dan Institut Global Justice.

Gambar

Gambar 9.3).
Gambar 9.3. Penulisan nama-nama varietas lokal di kuali tempat menyimpan botol-botol terisi gabah padi lokal (Foto oleh Winarto)
Gambar 9.4. Bulir-bulir padi yang disimpan di dalam lemari pendingin di rumah Kar.  (Foto oleh Winarto,2009)
Gambar 9.5 Kantong-kantong plastik pembungkus kopi yang disiapkan War untuk  tempat meletakkan gabah (Foto oleh Winarto, 2009)
+7

Referensi

Dokumen terkait

Variabel konsumsi karbohidrat, protein, dan lemak adalah zat gizi makro yang dikonsumsi rumah tangga dalam satu hari dengan satuan gram.. Analisa data dilakukan secara

GEDUNG OFFICE HOLLAND PARK CONDOTEL - BATU.. GEDUNG OFFICE HOLLAND PARK CONDOTEL

The following review attempts to give a different perspective to the published information on skin and leather tear repairs using BEVA 371 by presenting the treatment variables

Inspirasi dari kutipan ilmiah Ilmu Lingkungan yang dituangkan ke dalam suatu kreasi, disusun.. dan digunakan sebagai referensi pribadi di dalam mendukung kegiatan kerja

maculatus dan curah hujan (Gambar 7) di Desa Simpang Tiga memperlihatkan pola yang relatif sama yaitu adanya peningkatan jumlah nyamuk An.. maculatus dengan

Proporsi kasus Leptospirosis berdasarkan kecamatan dan wilayah Puskesmas di Gresik menunjukkan lebih banyak ditemukan di Kecamatan Duduk.. Sampeyan (24%) sedangkan

Dapat disimpulkan tidak ada hubungan yang signifikan antara pendidikan ibu dan Sosial ekonomi dengan infeksi STH sedangkan pengetahuan ibu mempunyai pengaruh terhadap

(Malekat penjaga firdaus wajahnya jahat dan dengki dengan pedang yang menyala tak bisa apa-apa. Dengan kaku ia beku. Tak berani lagi menuding kepadaku. Aku tak takut lagi. Sepi