54 PENGENDALIAN GULMA TANPA BAHAN KIMIA DENGAN MODIFIKASI
POLA PENANAMAN DAN PENGATURAN WAKTU TANAM TANAMAN JAGUNG
(No-Chemical Weed Controlling by Using Crop Planting Patterns and Sowing Days of Corn)
Ikhsan Hasibuan, Eka Suzanna dan Andri Syaputra
Jurusan Agroteknologi Fakultas Pertanian Universitas Prof. Dr. Hazairin, SH Bengkulu
Koresponden: [email protected]
ABSTRACT
Traditionally, corns are growth in row planting pattern, However, this pattern accidentally gives free space for weeds to growth between rows. In addition, the pattern also increases intra specific competition among corn plants. To solve this problems, the row planting pattern could be modified to square planting pattern. This research aimed to evaluate the effectiveness of square planting pattern and corn sowing days on weed suppression and corn yield. A split plot research was design to reach the aim. The main result of this research showed that the square planting pattern reduced weed biomass to 15% at 30 days after planting (DAP) and 27% at DAP relative to the row one. So that the corn yield in square planting pattern increased by 14% compared to the other pattern. Sowing corn seed at 0 days after soil cultivation (DASC) successfully controlled weeds by 44% compared to sowing at 15 DASC. The highest corn yield 12,29 ton per hectar was reached at 5 DASC or 35% higher than at 15 DASC.
Keywords: planting pattern, square, row, sowing time, corn, weed.
ABSTRAK
Penanaman jagung dengan pola penanaman barisan secara tidak sengaja telah memberikan ruang tumbuh yang cukup luas bagi gulma diantara barisan tanaman. Selain itu pola ini juga menyebabkan kompetisi sesama tanaman jagung menjadi tinggi karena jarak yang dekat antar sesama tanaman dalam barisan. Pola penanaman segiempat diyakini bisa mengatasi kelemahan tersebut. Disamping itu mengatur waktu tanam juga dipercaya akan meningkatkan efektifitas pola penanaman segiempat dalam mengendalikan gulma. Penelitian ini bertujuan untuk melihat kemampuan pola penanaman segiempat dan waktu tanam dalam mengendalikan gulma dan meningkatkan produksi tanaman. Untuk itu, rancangan split plot dan uji lanjut DMRT telah digunakan untuk mengevaluasi kedua faktor tersebut. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pola penanaman segiempat mampu menekan biomassa gulma sebesar 15% pada 30 HST dan 27% pada saat panen dibandingkan dengan pola penanaman barisan. Akibatnya, pola penanaman segi empat meningkatkan produksi jagung 14% lebih tinggi dibanding pola penanaman barisan. Selanjutnya, waktu penanaman O HSOT mampu mengendalikan gulma sebesar 44% dibanding waktu penanaman 15 HSOT. Selain itu, waktu penanaman 5 HSOT memberikan produksi jagung tertinggi yaitu 12,29 ton per hektar atau 35% lebih tinggi dibanding penanaman pada 15 HSOT.
55 PENDAHULUAN
Gulma merupakan salah satu kendala utama dalam produksi pertanian. Kehadiran gulma tidak hanya berdampak mengurangi kuantitas produksi tanaman, tetapi juga berpengaruh negatif terhadap kualitas tanaman, dan dapat menjadi inang hama dan
penyakit. Pengendalian gulma
membutuhkan biaya yang tidak sedikit baik dari segi jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan maupun dana untuk membeli herbisida kimia.
Pada saat ini, pengendalian gulma
secara kimia merupakan metode
pengendalian yang paling populer bagi petani. Metode ini memberikan kemudahan bagi petani dalam aplikasinya dan memberikan hasil efikasi yang sangat baik. Namun seiring dengan meningkatnya kesadaran masyarakat terhadap makanan sehat dan lingkungan bersih yang ditandai dengan makin berkembangnya pertanian organik, penggunaan herbisida kimia tidak bisa dipergunakan sehingga perlu dikaji alternatif pengendalian gulma yang efektif dan efisin mengendalikan gulma.
Kristensen et al. (2008) menyatakan bahwa salah satu alternatif untuk mengendalikan gulma secara non-kimia adalah dengan memodifikasi pola penanaman. Jagung biasanya ditanam dengan jarak tanam 75 x 25 cm, dimana jagung ditanam secara berbaris dengan jarak antar barisan 75 cm dan jarak tanam dalam barisan 25 cm. Dengan pola penanaman barisan ini, terdapat ruang kosong di antara barisan tanaman yang cukup luas yaitu 75 cm yang dapat menjadi ruang tumbuh bagi gulma sehingga memacu terjadinya persaingan antara jagung dan gulma
(interspesific competition). Sedangkan di dalam barisan dimana jagung ditanam dengan jarak 25 cm memberikan ruang tumbuh yang sempit bagi tanaman jagung
untuk tumbuh dan berkembang sehingga akan terjadi persaingan antar sesama tanaman jagung (intraspesifik competition).
Mempertimbangkan kelemahan-kelemahan dari pola penanaman barisan diatas, maka perlu diuji pola penanaman yang mempersempit ruang di antara barisan tanaman dan memperluas ruang di dalam barisan tanaman.
Pola penanaman yang layak diuji dan memenuhi kriteria diatas adalah pola penanaman segiempat. Menurut Mohler (2001), pola penanaman segiempat dapat
meningkatkan kemampuan tanaman
berkompetisi dengan gulma dan dapat diandalkan untuk mengendalikan gulma dalam sistem pertanian tanpa bahan kimia. Hasil penelitian Weiner et al. (2001), menyimpulkan bahwa penggunaan pola penanaman segiempat mampu mengurangi biomassa gulma hingga 30% dibandingkan dengan pola penanaman barisan.
Faktor lain yang diyakini dapat digunakan dalam pengendalian gulma tanpa bahan kimia adalah dengan mengatur waktu penanaman jagung. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa gulma memiliki kecepatan tumbuh lebih baik daripada tanaman. Bila tanaman dan gulma ditanam pada saat yang bersamaan, maka gulma akan tumbuh lebih baik daripada tanaman. Tetapi bila tanaman ditanam lebih awal daripada waktu tumbuhnya gulma, maka
tanaman akan mampu menekan
pertumbuhan gulma dan memenangkan persaingan. Sebaliknya bila gulma tumbuh lebih awal daripada tanaman, maka hampir dapat dipastikan tanaman akan mengalami tekanan pertumbuhan karena kalah bersaing dengan gulma (Weiner, 1985; Blackshaw et al. 2007; van Baalen et al. 1984; Ibrahim et al. 1986).
56
tanaman gandum membuktikan bahwa biomassa gulma berhasil ditekan hingga 25% dengan menanam tanaman satu minggu lebih awal daripada waktu tumbuhnya gulma.
Berdasarkan uraian diatas perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui efektifitas pola penanaman segiempat dan pengaturan waktu tanam dalam menekan biomassa gulma.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian telah dilaksanakan di Kota Bengkulu dengan menggunakan Rancangan Petak Terbagi (split plot) dalam 4 ulangan. Uji lanjut menggunakan DMRT. Sebagai petak utama adalah pola penanaman dan sebagai anak petak adalah waktu penanaman. Petak Utama terdiri dari 2 taraf yaitu Pola Penanaman Barisan dan Pola Penanaman Segiempat.. Sedangkan anak petak terdiri dari 4 taraf yaitu Penanaman Jagung pada 0 Hari Setelah Olah Tanah/HSOT, Penanaman Jagung pada 5 HSOT, Penanaman Jagung pada 10 HSOT, dan Penanaman Jagung pada 15 HSOT.
Benih jagung yang digunakan adalah varietas hibrida Pioneer P21. Tiap plot berukur 1.5x1.5 m. Jarak tanam disesuaikan dengan perlakuan pola penanaman. Untuk
perlakuan pola penanaman barisan menggunakan jarak tanam 70x20 cm dan jarak tanam pada pola penanaman segiempat adalah 35x35 cm. Pemupukan diberikan sesuai anjuran dengan dosis urea 200 kg/ha, SP36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Pengendalian gulma dilakukan secara manual pada 30 hari setelah tanam (HST) yaitu sesudah dilakukan pengambilan sample gulma yang pertama.
Parameter yang diamati adalah biomassa gulma (g/petak contoh) dan berat kering pipilan per hektar. Pengambilan sample gulma dilakukan pada 30 HST dan saat panen dengan mengambil semua gulma yang berada dalam petak contoh 50x50 cm sebanyak 2 petak contoh per petak, kemudian diambil rata-ratanya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola penanaman berpengaruh nyata terhadap biomassa gulma pada 30 HST tetapi tidak berpengaruh nyata terhadap biomassa gulma pada saat panen. Sedangkan faktor waktu penanaman berpengaruh sangat nyata terhadap biomassa gulma baik pada umur jagung 30 HST dan saat panen. Namun tidak ditemukan interaksi dari kedua perlakuan yang diuji (tabel 1).
Tabel 1. Analisis sidik ragam pengaruh pola penanaman dan waktu penanaman terhadap biomassa gulma (g/petak contoh).
Parameter Pola Penanaman Waktu tanam Interaksi
Biomassa gulma 30 HST 23,63 n 66,06 sn 1,00 tn
Biomassa gulma saat panen 0,30 n 7,84 sn 1,87 tn
Berat kering pipilan per hektar 3,91 tn 5,31 sn 2,61 tn
Keterangan:
57
Hasil uji lanjut DMRT terhadap faktor pola penanaman pada parameter biomassa gulma 30 HST menunjukkan bahwa Pola penanaman segiempat lebih baik daripada pola penanaman barisan dimana biomassa gulma lebih rendah dibanding pola penanaman barisan (gambar 1). Pola penanaman segiempat mampu menekan biomassa gulma hingga 15% pada umur jagung 30 HST dan mencapai 27% pada saat panen dibandingkan dengan pola penanaman barisan. Hasil ini menunjukkan bahwa pola penanaman segiempat lebih efektif dalam pengendalian gulma dan berpotensi diterapkan untuk pengendalian dalam sistem pertanian organik. Temuan ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hasibuan (2011) dan Weiner et al. (2001).
Para ahli berpendapat bahwa dengan mengatur tanaman dalam pola segiempat akan mengurangi ruang tumbuh bagi gulma yang biasanya tumbuh pada ruang kosong diantara barisan tanaman. Selain itu juga membuat tanaman jagung tumbuh lebih kuat karena persaingan antar sesama tanaman jagung menjadi lebih rendah karena jarak tanam dalam barisan menjadi jauh lebih lebar dibanding pada pola tanam barisan. Penekanan terhadap gulma akan berdampak positif bagi tanaman. Gambar 2. Memperlihatkan dengan jelas bahwa pola penanaman segiempat mampu menghasilkan produksi jagung pipilan kering yang lebih tinggi dibanding pola penanaman barisan. Peningkatan produksi mencapai 14%. Hal ini membuktikan bahwa dengan mengatur jarak tanam menjadi pola tanam segiempat, tanaman memiliki ruang yang lebih luas dalam mengeksplorasi sumberdaya yang ada disekitarnya termasuk unsur hara, air dan
Gambar 2. Berat kering pipilan jagung pada 2 pola penanaman
Penelitian ini juga membuktikan bahwa biomassa gulma dapat ditekan secara signifikan dengan mengatur waktu penanaman (Gambar 3). Penanaman jagung pada hari yang sama dengan pengolahan tanah (0 HSOT) ternyata mampu menekan biomassa gulma hingga 44%. Sedangkan penanaman jagung pada 5 dan 10 HSOT berturut-turut mampu menekan biomassa gulma sebesar 30% dan 21%. Penelitian ini senada dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Hasibuan (2011), Hasibuan (2012), Weiner (1985), Van Baalen et al.
(1984), Ross and Harper (1972) dan Ibrahim et al. (1986).
Kesuksesan manajemen waktu
58
akan tumbuh dalam waktu 3-4 hari setelah tanam, sedangkan gulma akan tumbuh dalam waktu 2-5 hari setelah olah tanah. Dengan menanam tanaman pada saat pengolahan tanah maka tanaman memiliki kesempatan untuk tumbuh lebih dulu atau serentak dengan tumbuhnya gulma. Hal ini berdampak positif bagi tanaman karena tanaman jagung memiliki ukuran biji yang lebih besar dibanding gulma sehingga pertumbuhan awalnya menjadi lebih cepat. Pertumbuhan awal tanaman yang cepat merupakan kunci keberhasilan dalam kompetisi antara tanaman dan gulma. Hasil penelitian sebelumnya yang dilakukan Hasibuan (2011) membuktikan bahwa menanam tanaman pada hari yang sama dengan menanam gulma (penelitian modelling) menunjukkan bahwa biomassa gulma mampu ditekan hingga 17% dibandingkan ketika tanaman ditanam 7 hari lebih lambat dibanding gulma. Penelitian inipun menghasilkan temuan serupa dimana bila tanaman ditanam serentak dengan gulma (0 HSOT) mampu menekan gulma sebesar 20% dibanding bila tanaman ditanam lebih lambat 5 hari dibanding gulma (5 HSOT). Penelitian ini menekankan kembali pentingya manajemen waktu penanaman tanaman dalam hubungannya dengan kompetisi dengan gulma.
Dampak positif dari kemampuan penekanan gulma dengan mengatur waktu penanaman adalah meningkatnya produksi jagung. Gambar 4 menunjukkan bahwa produksi jagung meningkat seiring dengan semakin cepat waktu penanaman terhadap pengolahan tanah. Penanaman pada 5 HSOT mencapai produksi tertinggi yaitu 12,29 ton per hektar atau 35% lebih tinggi dibanding ketika jagung ditanam pada 15 HSOT.
Gambar 3. Biomassa gulma akibat waktu penanaman yang berbeda.
Gambar 4. Produksi jagung dengan waktu penanaman yang berbeda.
Temuan penting dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Pola penanaman segiempat mampu menekan biomassa gulma sebesar 15% pada 30 HST dan 27% pada saat panen dibandingkan dengan pola penanaman barisan.
2. Pola penanaman segi empat
meningkatkan produksi jagung 14% lebih tinggi dibanding pola penanaman barisan.
3. Waktu penanaman O HSOT mampu mengendalikan gulma sebesar 44% dibanding waktu penanaman 15 HSOT.
4. Waktu penanaman 5 HSOT
59 DAFTAR PUSTAKA
Hasibuan, I. 2011. Weed Suppression Ability of Crop as Influenced by Uniform Crop Spatial Arrangement.
Jurnal Gulma dan Tumbuhan Invasif Tropika Vol. 2 No.1, Januari 2011. Hasibuan, I. 2012. Strategies to Reducing
Herbicide Use by Increasing Crop Competitive Ability Against Weed. Prosiding of the 3rd International Seminar, Regional Network on Poverty Eradication in Conjunction with UNESCO International Days, Years, Decades. University of Bengkulu, Indonesia. October 15-17 2012.
Ibrahim, A.F., Kandil, A.A., El-Hattab, A.H., dan Eissa, A.K. 1986. Effect of sowing date and weed control on grain yield and its components in some wheat cultivars. Agronomy and Crop Science. Vol 157.
Kristiensen, L., Olsen, J., and Weiner, J. 2008. Crop Density, Sowing Pattern, and Nitrogen Fertilisation Effects on
Weed Suppression and Yield in Spring Wheat. Weed Science Vol. 56 No. 1. Mohler, C. L. 2001. Enhancing the
Competitive Ability of Crops. Dalam
Libman, M., Mohler, C.L. and Staper, C.P. 2002. Ecological Management of Agricultural Weeds. Cambridge University Press. Cambridge. London. Ross, M.A. dan Harper, J.L. 1972.
Occupation of biological space during seedling establishment. Journal of Ecology Vol. 60.
Van Baalen, J., Kuiter, A.T. dan Van Der Woude, C.S.C. 1984. Interference of Scrophularia nodosa and Digitalis purpurea in mixed seedling cultures, as affected by the specific emergence date. Acta Oecologia. Vol. 5.
Weiner, J. 1985. Size hierarchies in experimental populations of annual plants. Ecology. Vol. 66.
Weiner, J., Griepentrog, H.W. dan Kristensen, L. 2001. Suppression of Weeds by Spring Wheat Increases with Crop Density and Spatial Uniformity.