• Tidak ada hasil yang ditemukan

MODEL DAN METODE BELAJAR SISWA AKTIF

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "MODEL DAN METODE BELAJAR SISWA AKTIF"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN DAN METODE BELAJAR SISWA AKTIF

(Learning Experiential, Cooperative Learning, Problem Based Learning, Colleborative Learning )

MAKALAH

Tugas disusun untuk memenuhi matakuliah Landasan Pembelajaran Yang dibina oleh Dr. Sulthon, M. Pd

dan Dr. Sulthoni, M. Pd

Oleh

Gisella Rahmadhani Ichwan Mahara Meike Verawati

UNIVERSITAS NEGERI MALANG PASCASARJANA

(2)

MODEL-MODEL PEMBELAJARAN DAN METODE BELAJAR SISWA AKTIF

(Learning Experiential, Cooperative Learning, Problem Based Learning, Colleborative Learning )

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Aktivitas yang dilakukan siswa bukan hanya terbatas dengan fasilitas pembelajaran tetapi harus mampu menjadikan siswa berperan aktif sehingga untuk memenuhi harapan dibutuhkan model pembelajaran aktif (active learning) untuk menunjang keberhasilan belajar. Maksud dari pembelajaran aktif yaitu untuk mengoptimalkan penggunaan semua potensi yang dimiliki oleh anak didik, sehingga semua siswa dapat mencapai hasil belajar yang memuaskan sesuai dengan karakteristik pribadi yang mereka miliki. Di samping itu pembelajaran aktif (active learning) juga dimaksudkan untuk menjaga perhatian siswa atau siswa agar tetap tertuju pada proses pembelajaran berlangsung. Beberapa penelitian membuktikan bahwa perhatian siswa berkurang bersamaan dengan berlalunya waktu. Penelitian Pollio (1984) menunjukkan bahwa: siswa dalam ruang kelas hanya memperhatikan pelajaran sekitar 40% dari waktu pembelajaran yang tersedia. Sementara penelitian Keachie (1986) menyebutkan bahwa: Dalam sepuluh menit pertama perhatian siswadapat mencapai 70%, dan berkurang sampai menjadi 20% pada waktu 20 menit terakhir. Kondisi tersebut merupakan kondisi umum yang terjadi di lingkungan sekolah dimana siswa diruang kelas lebih banyak menggunakan indera pendengarannya dibandingkan visual, sehingga apa yang dipelajari di kelas tersebut cenderung untuk dilupakan. Ungkapan tersebut didukung dengan penelitian Pollio (1984, hlm. 232) yang menyatakan bahwa:

Adanya perbedaan antara kecepatan bicara guru dengan tingkat kemampuan siswa mendengarkan apa yang disampaikan guru. Kebanyakan guru berbicara sekitar 100-200 kata permenit,

(3)

Efektifitas pembelajaran bukan hanya sebatas kemampuan guru mengendalikan siswa untuk memenuhi apa yang menjadi tujuan dalam pembelajaran tetapi lebih mengendepankan keberhasilan dalam

penyampaian tujuan pembelajaran sesuai dengan waktu yang disediakan. Pembelajaran yang berhasil juga bergantung pada metode dan model belajar yang diterapkan didalam kelas.

B. Tujuan

1. Memahami dasar teori konstruktivisme sebagai landasan belajar, dengan memaksimalkan pemahaman pebelajar.

2.

Memahami Model Pembelajaran Experiential Learning 3. Memahami model pembelajaran cooperative learning

(4)

PEMBAHASAN

A. Dasar Teori Konstruktivisme Sebagai Landasan Belajar, Dengan

Memaksimalkan Pemahaman Pebelajar

Teori Konstruktivisme didefinisikan sebagai pembelajaran yang bersifat generatif, yaitu tindakan mencipta sesuatu makna dari apa yang dipelajari. Beda dengan aliran behavioristik yang memahami hakikat belajar sebagai kegiatan yang bersifat mekanistik antara stimulus respon, kontruktivisme lebih memahami belajar sebagai kegiatan manusia membangun atau menciptakan pengetahuan dengan memberi makna pada pengetahuannya sesuai dengan pengalamanya. Konstruktivisme sebenarnya bukan merupakan gagasan yang baru, yang dilalui dalam kehidupan kita selama ini merupakan himpunan dan pembinaan pengalaman demi pengalaman. Ini menyebabkan seseorang mempunyai pengetahuan dan menjadi lebih dinamis.

Kontruktivisme di definisikan sebagai pengajaran yang menekankan aturan pebelajar dalam membangun dan memahami pengetahuan (Woolfolk, 2003). Pebelajar membangun pengetahuan yang mereka buat untuk membuat pengertian pengetahuan di lingkungannya (McGow, Drisscoll, Roop, 1995) dan belajar terjadi ketika pebelajar secara aktif dalam situasi yang ditujukan permasalahannya secara kompleks atau menyelesaikan masalah. (Gagnon & Collay, 2001)

Konstruktivisme dalam prinsip pembelajaran terlibat seperti yang diteliti oleh laboratorium utara pendidikan pusat dan daerah (NCRL, 1999) meliputi banyak komponen konstruktivisme dalam pembelajaran sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Deskripsi pembelajaran terlibat meliputi; siswa mengekplorasi, prosedur pengetahuan, direksi dan manajer dari pembelajaran mereka sendiri. Guru adalah fasilitator, mereka mencari

Kurikulum desain pertumbuhan profesional, dan melakukan penelitian. Tugas belajar otentik, menantang, dan multidisiplin. penilaian otentik, berdasarkan kinerja, dan berkelanjutan dan jenderal baru belajar. Keterlibatan

(5)

char

act

eri

sti

c

active learning

aunhentic and situated learning

bridging

scafolding

comunities of learners

reflection

pengembangan staf, dan pendidikan penataran untuk merencanakan kegiatan mahasiswa yang mewakili belajar terlibat otentik, berharga dan melibatkan prinsip-prinsip konstruktivis sementara menggunakan teknologi pendidikan sebagai alat untuk belajar.

Karakteristik Pembelajaran Konstruktivist

1. Active Learning (ketika murid ditujukan mencari sesuatu untuk diri mereka sendiri) berbeda dengan passice learning (ketika murid sebagai penerima onformasi yang ditujukan)

2. Kegiatan pembelajaran harus menarik dan menantang

3. Pebelajar harus merelasikan informasi yang lama dengan informasi baru (saling berkaitan dan menjebatani)

4. Pebelajar harus merefleksikan atau memikirkan tentang apa yang dipelajari

5. Belajar yang terbaik dilakukan pada tempat community of learners baik secara regu atau situasi sosial

(6)

Perbedaan Pembelajaran Yang Terpusat Pada Guru Dan Murid

B. Model Pembelajaran Yang Terpusat Pada Siswa

1. Model Pembelajaran Experiental Learning

Experiential learning adalah model belajar melalui pengalaman yang konkrit, dengan cara bermain, bermain peran, simulasi, dan diskusi kelompok. Dimana terjadi kombinasi antara “mendengar, melihat dan mengalami”. Model pembelajaran ini sangat sesuai digunakan pada usia anak-anak dan remaja pada masa “the concrete learner” karena berada pada taraf pemahaman konkrit -operasional. Mereka cenderung belajar sesuatu yang berasal dari pengalaman nyata. Mereka masih sulit memahami hal-hal yang disampaikan secara abstrak. Eksperiential learning mempengaruhi pembelajar dengan tiga cara, yakni; pengubahan struktur kognitif, sikap dimodifikasi dan perangkat

keterampilan diperluas. Strategi ini dipilih dengan berdasar dari pendapat para ahli antara lain;

1) Jacob Bronowski (1973) bahwa untuk memahami suatu konsep peserta didik harus melakukan, pemahaman yang sebenarnya adalah hasil dari melakukan.

2) Pakar teori kognitif Rusia Lev. S.Vygostsky bahwa belajar dari pengalaman adalah proses yang menyebabkan terjadinya perkembangan manusia. Perkembangan seseorang dan peningkatan ketrampilan yang berkelanjutan bergantung pada partisipasi orang itu dalam latihan- latihan membangun

Berpusat Pada Teacher Centered

Berpusat Pada Learner Centered

Pengetahuan dipindahkan dari pengajar ke peserta didik

Peserta didik membangun pengetahuan

Pesera didik menerima informasi secara pasif

Peserta didik terlibat secara aktif Belajar dan penilaian

adalah hal yang terpisah

Belajar dan penilaian adalah hal sangat terkait,

Budaya belajar adalah kooperatif, kolaboratif dan saling mendukung Penekanan pada

pengetahuan di luar konteks aplikasinya

Penekanan pada penguasaan dan penggunaan pengetahuan yang merefleksikan isu baru dan lama serta menyelesaikan masalah konteks kehidupan nyata

Pengajar perannya sebagai pemberi informasi dan penilaian

Pengajar sebagai pendorong dan pemberi fasilitas pembelajran

Fokus pada satu bidang disiplin

(7)

ketrampilan tersebut. Didasarkan pada sejumlah prinsip dalam teori Kurt Lewin (Lewin,1935,

Lewin dan Grabbe, 1945) sebagai berikut ; Belajar melalui pengalaman

(experiential learning) yang efektif akan mempengaruhi teori tindakan (struktur kognitif), sikap dan pembentukan nilai (value building), persepsi, dan pola- pola tingkah laku (behavioral). Manusia akan lebih percaya pada pengetahuan yang dialaminya sendiri ketimbang pengetahuan yang disajikan orang lain. Pendekatan inkuiri dan penemuan (discovery) meningkatkan motivasi siswa untuk belajar dan mendorong siswa komit untuk melaksanakan hasil

kesimpulan yang dari inkuiri dan discovery di waktu depan; Belajar akan lebih efektif dalam keadaan aktif dibanding dalam keadaan pasif. Penerimaan akan teori tindakan, sikap- sikap dan pola-pola behavioral yang baru tidak dapat dilakukan dengan pendekatan sepotong- sepotong, tapi secara keseluruhan

behavioral-afeksi-kognitif orang tersebut harus berubah Belajar melalui pengalaman secara efektif akan lebih banyak informasi untuk merubah tindakan, sikap dan pola tingkah laku. Belajar melalui pengalaman lebih banyak mendapatkan pengalaman untuk menyatukan pengetahuan yang valid (benar dan dapat dipertanggung jawabkan).

Proses Experiential Learning

Menurut Meetu, proses “experiential learning” itu dapat dibagi menjadi tiga bagian, yaitu

Mengalami (“experiencing”). Mengalami itu sendiri merupakan suatu proses. Dalam contoh murid

“pemalu dan penakut” (yang “diajari”) untuk melakukan kegiatan menyeberang

jalan untuk mencapai toko kelontong, bicara kepada penjaga toko menanyakan barang dan harganya, dan menghitung berapa uang kembalian yang harus diterima, semua kegiatan yang dilakukannya itu merupakan bagian dari pengalaman.

Menganalisis dan merespon (“analyzing & responding”). Dengan contoh diatas, murid tersebut di atas harus menganalisis

(8)

apa yang harus dilakukannya jika uang yang dibawanya tidak cukup untuk membayar barang yang harus dibeli, itu semua merupakan bagian dari yang disebut menganalisis. Jangan lupa pula bahwa merespon (menanggapi), yaitu menanggapi pertanyaan-pertanyaan atau tawaran dari penjaga toko, misalnya, juga merupakan bagian penting dari “berpengalaman” itu. Mengaplikasikan (“applying”).

Menerapkan apayang sudah dialami (diketahui dari pengamalammnya sendiri) ke dalam situasi atau keadaaan yang baru merupakan tahap berikut yang dilakukan murid. Setiap pengalaman yang pernah dialami murid (yang “sukses”) akan membuat anak punya rasa percaya diri dan keberanian untuk bertindak atau melakukan hal yang sama (jika sudah berhasil menyebrang jalan dengan selamat, akan tak takut lagi menyeberang jalan. Jika sudah bisa berbicara lancar dengan penjaga toko, akan tak takut lagi untuk datang ke toko dan berbelanja.

2. Model Pembelajaran Problem Based Learning

Smith et.al (2004) berpendapat bahwa model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain.

Problem based learning merupakan pembelajaran berdasarkan masalah, telah dikenal sejak zaman Jonh Dewey. Dewey mendeskripsikan pandangan tentang pendidikan dengan sekolah sebagai cermin masyarakat yang lebih besar dan kelas akan menjadi laboratorium untuk penyelidikan dan penuntasan masalah kehidupan nyata (Smith et.al, 2004).

Howard Barrows dan Kelson mengungkapkan bahwa problem based learning (PBL) adalah kurikulum dan proses pembelajaran. Dalam

kurikulumnya, dirancang masalah-masalah yang menuntut siswa mendapatkan pengetahuan yang penting, membuat mereka mahir dalam memecahkan

(9)

berdasarkan masalah merupakan suatu pendekatan dalam pembelajaran dimana siswa mengerjakan permasalahan yang otentik dengan maksud untuk menyusun pengetahuan mereka sendiri, mengembangkan inkuiri dan keterampilan

berpikir tingkat lebih tinggi,

Karakteristik Model Problem Based Learning

Berdasarkan teori yang dikembangkan Barrow, Min Liu (2005) menjelaskan karakteristik dari PBM, yaitu :

1. Learning is student-centered

Proses pembelajaran dalam PBL lebih menitikberatkan kepada siswa sebagai orang belajar. Oleh karena itu, PBL didukung juga oleh teori konstruktivisme dimana siswa didorong untuk dapat mengembangkan pengetahuannya sendiri.

2. Authentic problems form the organizing focus for learning

Masalah yang disajikan kepada siswa adalah masalah yang otentik sehingga siswa mampu dengan mudah memahami masalah tersebut serta dapat menerapkannya dalam kehidupan profesionalnya nanti.

3. New information is acquired through self-directed learning

Dalam proses pemecahan masalah mungkin saja siswa belum mengetahui dan memahami semua pengetahuan prasyaratnya, sehingga siswa berusaha untuk mencari sendiri melalui sumbernya, baik dari buku atau informasi lainnya.

4. Learning occurs in small groups

Agar terjadi interaksi ilmiah dan tukar pemikiran dalam usaha membangun pengetahuan secara kolaborative, maka PBM dilaksakan dalam kelompok kecil. elompok yang dibuat menuntut pembagian tugas yang jelas dan penetapan tujuan yang jelas.

5. Teachers act as facilitators.

(10)

Pelaksanaan PBM memiliki ciri tersendiri berkaitan dengan langkah

pembelajarannya. Barret (2005) menjelaskan langkah-langkah pelaksanaan PBM sebagai berikut :

1. Siswa diberi permasalahan oleh guru (atau permasalahan diungkap dari pengalaman siswa)

2. Siswa melakukan diskusi dalam kelompok kecil dan melakukan hal-hal berikut

a. Mengklarifikasi permasalahan yang diberikan b. Mendefinisisikan masalah

c. Melakukan tukar pikiran berdasarkan pengetahuan yang mereka miliki d. Menetapkan hal-hal yang diperlukan untuk menyelesaikan masalah e. Menetapkan ha;-hal yang harus dilakukan untuk menyelesaikan

masalah

3. Siswa melakukan kajian secara independen berkaitan dengan masalah yang harus diselesaikan. Mereka dapat melakukannya dengan cara mencari sumber di perpustakaan, database, internet, sumber personal atau

melakukan observasi.

4. Siswa kembali kepada kelompok PBM semula untuk melakukan tukar informasi, pembelajaran teman sejawat, dan bekerjasama dalam menyelesaikan masalah.

5. Siswa menyajikan solusi yang mereka temukan

6. Siswa dibantu oleh guru melakukan evaluasi berkaitan dengan seluruh kegiatan pembelajaran. Hal ini meliputi sejauh mana pengetahuan yang sudah diperoleh oleh siswa serta bagaimana peran masing-masing siswa dalam kelompok.

3. Model Pembelajaran Cooperative Learning

(11)

kontruktivisme yaitu keberhasilan belajar tidak hanya bergantung pada

lingkungan atau kondisi belajar, tetapi juga pada pengetahuan awal siswa. Belajar

melibatkan pembentukan “makna” oleh siswa dari apa yang mereka lakukan,

lihat, dan dengar. Pembelajaran kooperatif merupakan salah satu pembelajaran yang dikembangkan dari teori kontruktivisme karena mengembangkan struktur kognitif untuk membangun pengetahuan sendiri melalui berpikir rasional (Rustaman et al., 2003: 206)

Pengertian Pembelajaran Kooperatif

Cooperative Learning mengandung pengertian bekerja bersama dalam mencapai tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya terdiri dari dua sampai enam orang dengan struktur kelompok yang bersifat heterogen. Keberhasilan belajar dan kelompok tergantung pada kemampuan dan aktivitas anggota kelompok, baik secara individual maupun secara kelompok. (Rusman, 2011: 202). Kemudian Sharon (1990) mengemukakan, siswa yang belajar menggunakan metode pembelajaran kooperatif akan memiliki motivasi yang tinggi karena didorong dan didukung dari rekan sebaya.

Sistem pembelajaran bekerjasama atau cooperative learning merupakan sistem pengajaran yang memberi kesempatan kepada anak didik untuk bekerja sama dengan sesama siswa dalam tugas-tugas yang terstruktur. Hubungan kerja seperti itu memungkinkan timbulnya persepsi yang positif tentang apa yang dapat dilakukan siswa untuk mencapai keberhasilan belajar berdasarkan kemampuan dirinya secara individu dan andil dari anggota kelompok lain selama belajar bersama dalam kelompok. Untuk mencapai hasil yang maksimal, maka harus diterapkan lima unsur model pembelajaran gotong royong, yaitu: a. Saling ketergantungan positif. b. Tanggung jawab perseorangan. c. Tatap muka. d. Komunikasi antar anggota. e. Evaluasi proses kelompok

(12)

Selain itu, terdapat empat tahapan keterampilan kooperatif yang harus ada dalam model pembelajaran kooperatif yaitu:

1. Forming (pembentukan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk membentuk kelompok dan membentuk sikap yang sesuai dengan norma. 2. Functioniong (pengaturan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk

mengatur aktivitas kelompok dalam menyelesaikan tugas dan membina hubungan kerja sama diantara anggota kelompok.

3. Formating (perumusan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk pembentukan pemahaman yang lebih dalam terhadap bahan-bahan yang dipelajari, merangsang penggunaan tingkat berpikir yang lebih tinggi, dan menekankan penguasaan serta pemahaman dari materi yang diberikan. 4. Fermenting (penyerapan) yaitu keterampilan yang dibutuhkan untuk

merangsang pemahaman konsep sebelum pembelajaran, konflik kognitif, mencari lebih banyak

informasi, dan mengkomunikasikan pemikiran untuk memperoleh kesimpulan.

Langkah-langkah pembelajaran cooperative learning

Untuk mewujudkan proses pembelajaran yang sesuai dengan prinsip cooperative learning, maka dibutuhkan suatu langkah untuk mewujudkan hasil pembelajaran yang efektif. Adapun langkah-langkah cooperative

Cooperative Learning

penekanan: kerjasama murid dalam satu tim untuk sesama individu dan tujuan bersama

heterogrnrous (mixed) groups

group task, ussually either mastery or project work

role of behavior is all for one, one for all. member

help each other

(13)

learning yang dijelaskan oleh Stahl, 1994 dan Slavin, 1983 (dalam Etin solihatin dan Raharjo) sebagai berikut:

“1) Langkah pertama, yang dilakukan oleh guru adalah merancang program pembelajaran; 2) langkah kedua, dalam aplikasi pembelajaran di kelas guru merancang lembar observasi yang akan digunakan untuk mengobservasi kegiatan siswa dalam belajar secara bersama dalam kelompok-kelompok kecil; 3) langkah ketiga, dalam melakukan observasi terhadap kegiataan siswa guru mengarahkan dan membimbing siswa, baik secara individual maupun kelompok, baik dalam memahami materi maupun mengenai sikap dan perilaku siswa selama kegiatan belajar berlangsung; 4) langkah keempat, guru memberikan kesempatan kepada siswa dari

masing-masing kelompok untuk mempresentasikan hasil kerjanya”.

Dari keempat langkah yang telah dijelaskan, dapat disimpulkan untuk mewujudkan proses pembelajaran cooperative learning secara maksimal, peran guru sangat menentukan terutama dalam menetapkan sebuah target. Menyusun langkah-langkah dalam sebuah sistem pembelajaran disampaikan guru. Setelah itu guru melakukan pengamatan terhadap hasil kerja dari para siswa. Kemudian melakukan pengarahan dan bimbingan baik secara individual maupun kelompok. Untuk melihat hasil kinerja para siswa, guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk

menyampaikan hasil diskusi kelompok yang telah mereka lakukan. Langkah-langkah tersebut harus dijalankan dengan baik, guna mencapai motivasi belajar yang efektif dan memuaskan sesuai dengan yang diharapkan.

Ada beberapa variasi jenis model dalam pembelajaran kooperatif, walaupun prinsip dasar dari pembelajaran kooperatif ini tidak berubah.

1.

STAD (Student Teams Achievement Division)

Pada model pembelajaran kooperatif tipe STAD ini siswa

(14)

pertama kali digunakan di kelas anda, maka ada baiknya guru terlebih dahulu memperkenalkan model pembelajaran kooperatif STAD ini kepada siswa. 2.

TAI (Team Assisted Individualization atau Team Accelerated

Instruction)

Tipe model pembelajaran kooperatif yang satu ini sebenarnya adalah penggabungan dari pembelajaran kooperatif dengan pembelajaran individual. Pada model pembelajaran kooperatif tipe TAI, siswa mengikuti tingkatan yang bersifat individual berdasarkan tes penempatan, dan

kemudian dapat maju ke tahapan selanjutnya berdasarkan tingkat kecepatannya belajar. Jadi, setiap anggota kelompok sebenarnya belajar unit-unit materi pelajaran yang berbeda. Rekan sekelompok akan memeriksa hasil pekerjaan rekan sekelompok lainnya dan memberikan bantuan jika diperlukan. Tes kemudian diberikan diakhir unit tanpa bantuan teman sekelompoknya dan diberikan skor. Lalu setiap minggu guru akan menjumlahkan total unit materi yang diselesaikan suatu kelompok dan memberikan sertifikat atau penghargaan bila mereka berhasil melampaui kriteria yang telah ditetapkan, dan beberapa poin tambahan untuk kelompok yang anggotanya mendapat nilai sempurna. Kelebihan model pembelajaran kooperatif tipe TAI ini adalah karena siswa bertanggungjawab untuk memeriksa pekerjaan rekannya yang lain, maka guru mempunyai waktu yang lebih banyak untuk membantu kelompok-kelompok kecil yang menemuai banyak hambatan dalam belajar yang merupakan kumpulan dari anggota-anggota kelompok yang berada pada tingkatan unit materi pelajaran yang sama. Banyak penelitian melaporkan bahwa model pembelajaran kooperatif tipe TAI ini sangat efektif untuk digunakan dalam pembelajaran.

3.

TGT (Team Game Tournament)

Model pembelajaran kooperatif tipe TGT mirip dengan model pembelajaran kooperatif tipe STAD, tetapi bedanya hanya pada kuis yang digantikan dengan turnamen mingguan (Slavin, 1994). Pada model

(15)

kelompoknya. Suatu prosedur tertentu digunakan untuk membuat permainan atau turnamen berjalan secara adil.

TGT (Teams Games Tournament) Penerapan model ini dengan cara mengelompokkan siswa heterogen, tugas tiap kelompok bisa sama bisa berbeda. Setelah memperoleh tugas, setiap kelompok bekerja sama dalam bentuk kerja individual dan diskusi. Usahakan dinamika kelompok kohesif dan kompak serta tumbuh rasa kompetisi antar kelompok, suasana diskusi nyaman dan menyenangkan sepeti dalam kondisi permainan (games) yaitu dengan cara guru bersikap terbuka, ramah, lembut, santun, dan ada sajian bodoran. Setelah selesai kerja kelompok sajikan hasil kelompok sehingga terjadi diskusi kelas.

4.

Jigsaw

(16)

mereka masing-masing dan saling mengajarkan topik yang menjadi tanggungjawab mereka ke anggota kelompok lainnya secara bergantian.

5.

CIRC (Cooperative Integrated Reading Composition)

Model pembelajaran kooperatif tipe CIRC (cooperative integrated reading composition) adalah sebuah model pembelajaran yang sengaja dirancang untuk mengembangkan kemampuan membaca, menulis, dan keterampilan-keterampilan berbahasa lainnya baik pada jenjang pendidikan tinggi maupun jenjang dasar. CIRC dikembangkan untuk menyokong pendekatan pembelajaran tradisional pada mata pelajaran bahasa yang disebut

“kelompok membaca berbasis keterampilan”. Pada model pembelajaran CIRC ini siswa berpasang-pasangan di dalam kelompoknya. Ketika guru sedang membantu sebuah kelompok-membaca (reading group),

pasangan-pasangan saling mengajari satu sama lain bagaimana “membaca-bermakna” dan keterampilan menulis melalui teknik reciprocal (timbal balik). Mereka diminta untuk saling bantu untuk menunjukkan aktivitas pengembangan keterampilan dasar berbahasa (misalnya membaca bersuara (oral reading), menebak konteks bacaan, mengemukakan pertanyaan terkait bacaan, menyimpulkan, meringkas, menulis sebuah komposisi berdasarkan sebuah cerita, hingga merevisi sebuah komposisi). Setelah itu, buku kumpulan komposisi hasil kelompok dipublikasikan pada akhir proses pembelajaran. Semua kelompok (tim) kemudian diberikan penghargaan atas upaya mereka dalam belajar dan menyelesaikan tugas membaca dan menulis.

(17)

Rekognisi Rekognisi Rekognisi Rekognisi Rekognisi

Langkah-Langkah pembelajaran metode Cooperative learning

Langkah Indikator

Langkah 1 Menyampaikan tujuan (set the team goals)

Langkah 2 Menyiapkan siswa untuk kerja tim (prepare students for teamwork)

Langkah 3 Menyajikan aturan dalam permainan (give the terms the assignment)

Langkah 4 Memonitor tim (monitor the teams) Langkah 5 Memberika kuis (quiz the students) Langkah 6 Evaluasi (score quizez)

Langkah 7 Memberikan penghargaan (recognize teams accomplishment)

4. Memahami Model Pembelajaran Collaborative Learning

Prinsip kedua Driscoll (2005), negosiasi sosial diwakili dalam

pembelajaran kolaboratif, yang didirikan di sebagian besar strategi pembelajaran konstruktivis dibahas sebelumnya. Penggunaan komputer yang didukung

pembelajaran kolaboratif adalah format yang paling menonjol saat ini. Roschelle dan Pea (2002) berspekulasi bahwa perangkat genggam nirkabel akan

memungkinkan CSCL berkembang arah baru dari orang-orang yang mungkin di laboratorium komputer tradisional.

Pembelajaran kolaboratif tidak tercapai hanya melalui CSCL, tentu saja Pendidik dan guru di semua tingkatan telah menggunakan dan terus menggunakan kolaborasi sebagai strategi untuk peserta didik. guru kelas khususnya telah

didesak untuk menggunakan kegiatan belajar terlibat, berdasarkan prinsip-prinsip konstruktivis, dalam kelompok kecil pertanyaan berbasis otentik, dalam rangka meningkatkan kemampuan komunikasi, pemecahan masalah dan keterampilan berpikir kreatif dan kerjasama dan tim belajar kemampuan siswa.

Metode collaborative learning atau disebut dengan pembelajaran kolaborasi dengan keadaan dimana dua atau lebih peserta didik belajar sesuaru bersama-sama.Metode collaborative learning adalah proses belajar kelompok yang setiap anggota menyumbangkan informasi, pengalaman, ide, sikap, pendapat,

(18)

saling meningkarkan pemahaman seluruh anggota. Tujuan mereka adalah untuk menemukan solusi, pemahaman, dan menyelesaikan tugas bersama-sama. Pembelajaran kolaboratif dapat menyediakan peluang untuk menuju pada

kesuksesan praktek-praktek pembelajaran. Sebagai teknologi untuk pembelajaran (technology for instruction), pembelajaran kolaboratif melibatkan partisipasi aktif para siswa dan meminimisasi perbedaan-perbedaan antar individu. Pembelajaran kolaboratif telah menambah momentum pendidikan formal dan informal dari dua kekuatan yang bertemu, yaitu:

1. Realisasi praktek, bahwa hidup di luar kelas memerlukan aktivitas kolaboratif dalam kehidupan di dunia nyata;

2. Menumbuhkan kesadaran berinteraksi sosial dalam upaya mewujudkan pembelajaran bermakna.

Ide pembelajaran kolaboratif bermula dari perpsektif filosofis terhadap konsep belajar. Untuk dapat belajar, seseorang harus memiliki pasangan. Pada tahun 1916, John Dewey, menulis sebuah buku “Democracy and Education” yang isinya bahwa kelas merupakan cermin masyarakat dan berfungsi sebagai laboratorium untuk belajar tentang kehidupan nyata. Pemikiran Dewey yang utama tentang pendidikan (Jacob et al., 1996), adalah:

1. Siswa hendaknya aktif, learning by doing

2. Belajar hendaknya didasari motivasi intrinsik

3. Pengetahuan adalah berkembang, tidak bersifat tetap

4. Kegiatan belajar hendaknya sesuai dengan kebutuhan dan minat siswa 5. Pendidikan harus mencakup kegiatan belajar dengan prinsip saling

memahami dan saling menghormati satu sama lain, artinya prosedur demokratis sangat penting.

6. Kegiatan belajar hendaknya berhubungan dengan dunia nyata dan bertujuan mengembangkan dunia tersebut.

Metode kolaboratif didasarkan pada asumsi-asumsi mengenai siswa proses belajar sebagai berikut (Smith & MacGregor, 1992):

1. Belajar itu aktif dan konstruktif

(19)

penekanan

to get learners think for

themselves

to help learners discover

how knowledgeis

formulated

to promote higher-order

thinking skills

telah dimiliki sebelumnya. Siswa membangun makna atau mencipta sesuatu yang baru yang terkait dengan bahan pelajaran.

2. Belajar itu bergantung konteks

Kegiatan pembelajaran menghadapkan siswa pada tugas atau masalah menantang yang terkait dengan konteks yang sudah dikenal siswa. Siswa terlibat langsung dalam penyelesaian tugas atau pemecahan masalah itu.

3. Siswa itu beraneka latar belakang

Para siswa mempunyai perbedaan dalam banyak hal, seperti latarbelakang, gaya belajar, pengalaman, dan aspirasi. Perbedaan-perbedaan itu diakui dan diterima dalam kegiatan kerjasama, dan bahkan diperlukan untuk meningkatkan mutu pencapaian hasil bersama dalam proses belajar.

4. Belajar itu bersifat sosial

Proses belajar merupakan proses interaksi sosial yang di dalamnya siswa membangun makna yang diterima bersama.

(20)

KESIMPULAN

Konstruktivisme dalam prinsip pembelajaran terlibat seperti yang diteliti oleh laboratorium utara pendidikan pusat dan daerah (NCRL, 1999) meliputi banyak komponen konstruktivisme dalam pembelajaran sebagai alat untuk mencapai tujuan pembelajaran. Deskripsi pembelajaran terlibat meliputi; siswa mengekplorasi, prosedur pengetahuan, direksi dan manajer dari pembelajaran mereka sendiri. Guru adalah fasilitator, mereka mencari Kurikulum desain pertumbuhan profesional, dan melakukan penelitian. Tugas belajar otentik, menantang, dan multidisiplin. penilaian otentik, berdasarkan kinerja, dan berkelanjutan.

Terdapat model-model pembelajaran yang didasari oleh teori

konstruktivistik dimana menekankan kepada model pembelajaran siswa aktif. Model-model tersebut diantaranya adalah, experiental learning, problem based learning, cooperative learning, dan collaborative learning.

Experiential learning adalah model belajar melalui pengalaman yang konkrit, dengan cara bermain, bermain peran, simulasi, dan diskusi kelompok.

Dimana terjadi kombinasi antara “mendengar, melihat dan mengalami”. Smith et.al (2004) berpendapat bahwa model pembelajaran merupakan suatu rencana atau pola yang dapat digunakan untuk membentuk kurikulum (rencana

pembelajaran jangka panjang), merancang bahan-bahan pembelajaran dan membimbing pembelajaran di kelas atau yang lain. Pembelajaran kooperatif (cooperative learning) merupakan bentuk pembelajaran dengan cara siswa belajar dan bekerja dalam kelompok-kelompok kecil secara kolaboratif yang

(21)

Daftar Rujukan

Bartlett, F. C. (1932). Remembering: A study in experimental psychology. Cambridge: Cambridge University Press.

Cruickshanks, Jenkins, and Metcalf. 1999. The Act Of Teaching Fourth Edition. Mc Graw Hill.

Dale, Edgar. (1969). Audio-Visual Methods in Teaching, 3rd ed., Holt, Rinehart & Winston, New York: p. 108

Deshler, J.D. & Kiely, E. (1995). Facilitating Adult Learning Sourcebook. Cornell.

Dewey, J. (1916). Democracy and Education. MacMillan. Available on-line at http://www.gutenberg.org/files/852/852-h/852-h.htm

Lie, A. 2002. Cooperative Learning Mempraktikan Cooperative Learning di Ruang-ruang Kelas. Jakarta: Grasindo.

Parwoto. 2007. Strategi Pembelajaran Anak Berkebutuhan Khusus. Jakarta : Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Direktorat Ketenagaan.

Pew Research Center (2012). Global Digital Communication: Texting, Social Networking Popular

Pinto, J.K. & Parente, D.H. (2003). Introduction to Information Systems Project management. 2nd edition. McGraw-Hill.

Sugandi, A.I. 2002. Pembelajaran Pemecahan Masala Matmatika Melalui Model Belajar Kooperatif Tope Jigsaw. (Studi Eksperimen terhadap Siswa Kelas Satu SMU Negeri di Tasikmalaya). Tesis PPS UPI: Tidak diterbitkan. Soefijanto, Totok. 2008. Learning Project Management in A Simulation: A Case

Study of the SIMproject. Jurnal Universitas Paramadina Vol. 5 No. 3, Desember 2008: p. 253-266.

Smith, MacGregor, Mattehwsm, and Galbenick. 2004. Learning Communities: Reforming Undergraduate Education. Springer

Wang, J., Yu, W.C.W., and Wu, E. (2013). Empowering Mobile Assisted expectations and perceptions. World Journal of Education, Vol. 3, No. 2, 2013: p. 59-70.

Referensi

Dokumen terkait

Peraturan Kepala Lembaga Administrasi Negara 43 Tahun 2015 tentang Pedoman Penetapan Pembayaran Honorarium Yang Diberikan Atas Kelebihan Jumlah Minimal Jam Tatap Muka Bagi

Berdasarkan ketentuan Peraturan Presiden Nomor 4 Tahun 2015 tentang Perubahan Keempat atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2010 tentang Pengadaan Barang/Jasa

Dalam hal terjadi pelanggaran yang dilakukan pekerja, dalam hal ini tidak ada kewenangan dari perusahaan pengguna jasa pekerja untuk melakukan penyelesaian

Dengan demikian hipotesis yang menduga bahwa r esponsiveness merupakan faktor yang paling dominan dari service quality yang mempengaruhi kepuasan konsumen pada

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui peningkatan self-efficacy siswa, peningkatan hasil belajar siswa, dan hubungan antara self-efficacy dan hasil belajar

[r]

a) Peneliti selanjutnya disarankan untuk melihat pengaruh beberapa perilaku keuangan lainnya serta pengaruh informasi dan hal-hal yang perlu dipertimbangkan dalam

ASAL SLTA GENAP DAN ALIH KREDIT.. DAFTAR MATA KULIAH PILIHAN**).. NO MATA KULIAH PILIHAN KODE HARI