PENEGAKAN HAK ADAT MASYARAKAT BANTIK DALAM PENGELOLAAN LINGKUNGAN PESISIR
(STUDI KASUS DI KELURAHAN MERAS KECAMATAN BUNAKEN)
Hendrik Willem Pongoh, 2013, Penegakan Hak Adat Masyarakat Bantik Dalam Pengelolaan lingkungan Pesisir (Studi Kasus di Kelurahan Meras Kecamatan Bunaken (Di bawah bimbingan Dr. Denny B.A. Karwur, SH. M.Si sebagai Ketua Komisi, Prof. Dr. Ir. Bobby Polii, MS. dan Dr. Ir. Julius Sampekalo. MS. masing-masing sebagai Anggota).
RINGKASAN
Untuk menjaga kelestarian ekosistem diwilayah pesisir khususnya di Kelurahan Meras diperlukan penegakan hak adat masyarakat, yakni yang berkaitan dengan hak menjaga dan melestarikan lingkungan, hak mengurus dan mengelola lingkungan secara baik dan lestari, hak memelihara lingkungan dengan meningkatkan fungsi kelembagaan adat dan hak masyarakat untuk dapat berpartisipasi dalam pengelolaan wilayah pesisir. Penegakan hak-hak masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir akan sangat terkait dengan bagaimana masyarakat mampu menegakkan haknya sebagai hak yang dilindungi. Namun secara faktual penegakan hak-hak masyarakat dalam pelestarian ekosistem serta pengelolaannya hanya dimanifestasikan kedalam kepentingan publik semata, sedangkan masyarakat adat yang merasa memiliki kepentingan dengan hak-haknya justru diabaikan oleh pemerintah.
sebanyak 7 orang informan yakni Lurah, Tokoh Adat, pemimpin informal dan 10 orang anggota masyarakat yang bermukim diwilayah tersebut. Disamping ditetapkan informan kunci maka dapat dipilih informan pelengkap untuk memperkuat serta menggali data-data yang relevan dengan hasil penelitian ini.
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pendekatan budaya dalam pengelolaan lingkungan pesisir kini sangat penting dalam meningkatkan kelestarian. Banyak program yang coba dikembangkan dalam pelestarian lingkungan pesisir seringkali tidak berhasil dan mengalami kegagalan karena mengabaikan budaya masyarakat lokal. Budaya masyarakat lokal merupakan suatu bentuk kearifan yang perlu dijaga, oleh karena berkaitan dengan norma dan adat istiadat, nilai-nilai, agama, yang merupakan potensi meningkatkan kelestarian ekosistem wilayah pesisir. Dibeberapa daerah pantai nilai budaya menentukan kesinambungan ekosistem seperti merawat hutan, memelihara, dan mengawasi, serta meningkatkan populasi hutan. Banyak manfaat kebudayaan masyarakat lokal telah melahirkan konsep-konsep pembangunan berwawasan lingkungan secara berkelanjutan. Jadi proses penegakan hak adat masyarakat dalam pengelolaan ekosistem lingkungan pesisir saat ini tidak jelas batasannya maupun pemanfaatannya mana yang termasuk dalam kepentingan negara dan yang mana kepentingan masyarakat adat yang sesuai dengan koridor hukum. Masyarakat adat/nelayan tradisional telah melakukan konservasi sesuai kearifan lokal mereka sehingga diperlukan adanya keberpihakan Negara untuk memperjelas hak-hak masyarakat adat/nelayan tradisional terhadap suatu kepastian hukum seperti hak-hak untuk memperoleh hidup yang layak sesuai dengan koridor hukum, dan menjamin kepastian hak terhadap tanah-tanah mereka.
Kesimpulan penelitian menunjukkan bahwa : 1) Budaya masyarakat lokal merupakan suatu bentuk kearifan yang perlu dijaga, karena berkaitan dengan norma, adat istiadat, nilai-nilai, yang merupakan salah satu potensi untuk meningkatkan kelestarian ekosistim wilayah pesisir. 2) Penegakan hak adat masyarakat Bantik dalam pengelolaan wilayah pesisir, belumlah optimal pada hal masyarakat adat Suku bantik memiliki suatu kearifan lokal dalam menjaga lingkungan wilayah pesisir. 3) perlu dilakukan berbagai upaya perbaikan antara
lain : a). Pentingnya pemberdayaan masyarakat Adat b). Perlunya perbaikan taraf hidup, c). Pentingnya mengaktifkan aktivitas kelembagaan lokal, d). Pentingnya memanfaatkan peranan pemerintah kelurahan dalam memfasilitasi berbagai kebijakan dan program pembangunan wilayah pesisir, e). Perlunya penegakan aturan adat yang dapat disosialisasikan kepada masyarakat khususnya masyarakat adat Bantik.
Hendrik Willem Pongoh, 2013. The Adat Rights Enforcement of Bantik indigeneous community in managing coastal area (Case Study in Kelurahan Meras Kecamatan Bunaken). (Under the supervision of Dr. Denny B.A. Karwur, SH, M.Si as the Chairman of the Commission, Prof. Dr. Ir. Bobby Polii, MS. and Dr, Ir. Julius Sampekalo, MS. respectively as Members).
SUMMARY
To conserve ecosystem sustainability of coastal area of Meras it is necessary to enforce community rights that related to: conserve and sustain environment by empowering adat institution and partictipatory methods. Community rights enforcement related to how the commmunity able to enforce its rights as rights that must be guarded. In fact, however, community rigths enforcement in the conservation of ecosystem and its management more represent state interest but indegeneous community rights underrepresented. This research focused on the rights enforcement of Bantik indigenous community in managing coastal area in Meras.
This research applied qualitative method research by using data collecting techniques such as observation, questioners, secondary data, and document analysis. The conclusion show that: (1) local culture represent wisdom that is necessary to be maintained because theculture consists of norms, values that are potentials to raise coastal ecosystem sustainability; (2) although Bantik indegeneous community has local wisdom for sustain coastal area environment but Bantik indegeneous rights of Bantik community in managing coastal area is not optimum.
This research show that cultural-based management of coastal area is important to raise sustainability. Many programs that has been developed in conservating coastal area failed because disrespect to culture of local community. Community local culture is a form of wisdom that is important to be maintained. Local community culture is important because of its potential in raising ecosystem sustainability of coastal areas. The culture consists of norms and religious values. In some coastal areas cultural values contribute to ecosystem sustainability such as forestry conservation. The advantage of local community culture has generated development concepts of sustainable environment-based development. To date cultural values development and introduction of values and norms in local community is maintained. Existence of indigenous people is a historical reality that can not be..by government and the indigenous people become real segment of Indonesia people.
To sustain the coastal area of the Bantik community it is nessessary to: (a) empower the indigeneous community. (b) raise the level of living. (c) activate functions of local institution. (d) make use of the role of kelurahan government in facilitating some policies and coastal area development program. (e) enforce indigeneous norms by socializing the rules among Bantik indigeneous community.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... ii
BAB I PENDAHULUAN A Latar Belakang ... 1
B Perumusan Masalah ... 6
C Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA A Konsep Penegakan Hak Lingkungan ... 8
B Konsep Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 11
1. Pengertian Wilayah Pesisir ... 12
2. Arti Pentingnya Wilayah Pesisir ... 15
3. Manfaat Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu ... 18
C Potensi dan Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir ... 19
1. Potensi Pembangunan Wilayah Pesisir ... 20
2. Beberapa Permasalahan Wilayah Pesisir ... 27
D Masyarakat Adat dan Kearifan Sosial ... 30
1. Konsep Masyarakat Adat ... 30
2. Konsep Kearifan Lokal ... 34
BAB III METODOLOGI PENELITIAN A Metode Penelitian ... 39
B Fokus Penelitian dan Penentuan Informan ... 39
C Teknik Pengumpulan dan Pengolahan Data ... ... 41
D Teknik Analisis Data ... 42
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A Peran Masyarakat Adat dalam pengelolaan Wilayah Pesisir 1. Kondisi dan Permasalahan wilayah Pesisir... 45
2. Faktor Sosial Budaya dan Ekonomi………... 55
a. Karakteristik Pendidikan………... 55
b.Faktor Ekonomi…………... 57
c. Faktor Budaya………... 62
B Penegakan Hak masyarakat adat dalam pelestarian Ekosistem wilayah pesisir ... 68
C Peningkatan Partisipasi Masyarakat Adat Melalui Kearifan Lokal Dalam Pelestarian Ekosistem Lingkungan Pesisir ... 85
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN A Kesimpulan ... 113
B Saran ... 114
DAFTAR PUSTAKA ... 116 LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN A. Latar Belakang Pemikiran
Tantangan paling mendasar bagi Bangsa Indonesia memasuki Era tinggal
landas dan program Jangka Panjang Tahap II adalah bagaimana mempertahankan
atau meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara berkesinambungan tanpa
merusak daya dukung lingkungan alamnya. Oleh karena itu setiap sektor
pembangunan diharapkan dapat meningkatkan efesiensi dan daya saingnya, atau
mengembangkan sumber-sumber pertumbuhan baru. (Dahuri, 2008). Wilayah
pesisir dan lautan beserta sumberdaya yang terkandung di dalamnya merupakan
tumpuan dan harapan bagi bangsa Indonesia dimasa depan, Hal ini disebabkan
karena wilayah pesisir dan lautan memiliki luas yang cukup besar yakni sekitar
63 % dari wilayah territorial Indonesia. Wilayah pesisir dan lautan masih sangat
potensial untuk dikembangkan karena didalamnya terkandung kekayaan
sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan yang sangat kaya dan beragam, seperti
perikanan, terumbu karang, hutan mangrove, minyak dan gas, bahan tambang
dan mineral, serta menjadi kawasan Pariwisata. Sementara itu sumberdaya
didaratan mulai terkikis habis karena akibat dari pelaksanaan pembangunan
kawasan, sehingga sebagian masyarakat yang dulunya menjadi nelayan berhenti
menjadi pelaut dan berpindah kemata pencaharian lainnya, mereka merambah
hutan, melaksanakan aktivitas kegiatan perladangan berpindah menyebabkan
lahan wilayah pesisir menjadi tandus, menurunnya produktivitas hasil tangkapan
ikan, karena kawasan wilayah pesisir serta hutan mangrove sebagai media dan
tempat pemijahan atau pembenihan ikan mulai rusak sehingga mengakibatkan
menurunnya kualitas ekosistem serta makhluk hidup dan biota-biota yang ada
pesisir dan lautan berdampak serius terhadap turunannya kualitas lingkungan serta
kualitas hidup masyarakat pesisir. Banyak masyarakat pesisir mulai meninggalkan
pekerjaan melaut dan beralih ke pekerjaan di darat, karena hasil melaut sudah
tidak lagi memberi kontribusi terhadap peningkatan taraf hidup bagi masyarakat
diwilayah pesisir.
Kota Manado merupakan kota di gugusan kepulauan nusantara yang memiliki
karakteristik kawasan berbentang garis pantai. Dalam pelaksanaan pembangunan
kawasan wilayah pesisir cukup berkembang pesat sehingga menjadi urat nadi dan
tulang punggung perekonomian di Propinsi Sulawesi Utara, secara faktual tujuan
dari pembangunan di wilayah pesisir adalah mempercepat proses pertumbuhan
ekonomi yang diharapkan memberi keuntungan bagi peningkatan pendapatan
daerah dan kesejahteraan masyarakat. Secara fisik pembangunan kawasan
lingkungan pesisir berkembang menjadi kawasan investasi yang mampu
menggerakan perubahan sosial dan ekonomi, hal ini dilihat pada aktivitas jasa,
perdagangan, perbelanjaan, hiburan dan Pariwisata. Kini gedung-gedung besar
dan tinggi menjulang berupa Mall, Hypermart, Supermarket, Perhotelan, gerai (outlet) fast food, perawatan kecantikan, dan kesehatan. Dari kacamata Sosiologi
ekonomi, perkembangan ini memberi dampak pada dua hal yaitu menciptakan
serta memperluas hasrat konsumsi dari seluruh lapisan masyarakat, dan
menguatkan peran kelompok investor yang menjadi pelaku usaha yang dominan.
Salah satu fokus perhatian pembangunan kawasan pesisir di Kota Manado
adalah reklamasi pantai untuk pembangunan kawasan bisnis dan perbelanjaan.
menjadi sebuah kawasan daratan yang telah direklamasi. Proses pembangunan
kawasan ini dilaksanakan dalam dua tahap yang pertama adalah yang terletak
disebelah Barat yakni mulai dari kawasan pelabuhan Manado sampai ke wilayah
Malalayang yang dikenal dengan Boulevard pertama, kemudian pembangunan
kawasan wilayah pesisir tahap kedua dikenal dengan Boulevard dua yakni
diperuntukan mulai dari kawasan pelabuhan Manado sebelah Utara sampai
kewilayah Kecamatan Tuminting dan Bunaken. Pembangunan di wilayah pesisir
dari kawasan Boulevard I dan Boulevard II terus berlangsung dan pembangunan
sarana jalan yang berlangsung secara terus menerus dapat menguras sumberdaya
wilayah pesisir dan lautan, dampak dari pembangunan kawasan tersebut tidak saja
dirasakan oleh masyarakat nelayan tetapi juga masyarakat lainnya, seperti
pedagang sektor informal (pedagang kaki lima) yang kian hari makin terjepit
usahanya serta kehilangan konsumennya dengan kehadiran bangunan-bangunan
besar pertokoan kemudian yang tergolong pemilik tanah mesti melepaskan
tanahnya kepada pengusaha dan mencari pemukiman baru sebagai tempat
bermukim. Sebagai akibat dari pembangunan di kawasan wilayah pesisir, banyak
masyarakat kehilangan mata pencaharian dan mulai dirasakan oleh masyarakat
pesisir Kelurahan Meras.
Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir tidak saja berhenti sampai di
Kecamatan Tuminting dan Bunaken tetapi dalam program Pembangunan jangka
panjang melalui perencanaan tata ruang diperkirakan akan merambah wilayah
Utara sampai ke wilayah Bitung (Jalan Lingkar Likupang) yakni akan terus ke
wilayah pesisir Batu Putih (Kota Bitung). Dalam tafsir sosiologis proses
pembangunan kawasan seperti ini dapat direfleksikan akan terjadi reaksi sosial
dalam konteks akses serta kontrol terhadap ruang sosial, politik, ekonomi, hukum
maupun budaya terhadap dinamika pembangunan perkotaan. Pada situasi
asimetris seperti ini, maka gejala umum yang sering berlaku adalah hukum
Darwinisme Sosial, yang kuatlah mampu mengendalikan sedangkan yang lemah
akan termarginalisasikan lalu punah secara perlahan. Dalam konteks yang
demikian, maka eksistensi kelompok masyarakat bawah (masyarakat nelayan,
sektor informal dan masyarakat lainnya) akan mewakili kelompok yang teraniaya
(kelompok sosial yang lemah), pola pemahaman kelompok sosial yang lemah
disini dapat direfleksikan dalam dua bagian yaitu lemah secara politik dan lemah
secara ekonomi. Secara politik akan berkaitan dengan posisi tawar-menawar
kepentingan, otoritas, maupun akses terhadap kebijakan, sedangkan secara
ekonomi yakni berkaitan dengan kekuatan ekonomi mereka seperti alat produksi,
permodalan, akses pasar, (konsumen), akumulasi keuntungan (profit) akses hubungan kekerabatan, yang memungkinkan mereka terus bertahan.
Sebagai imbas dari pembangunan di wilayah pesisir akan berpengaruh pada
kehidupan masyarakat yang ada dipinggiran karena terkena dampak pembangunan
tersebut antara lain sebagaimana yang disebutkan diatas adalah masyarakat di
Kelurahan Meras yang secara umum memiliki kolektifitas kehidupan sosial yang
berhubungan langsung dengan lingkungan pesisir, dan masyarakat di wilayah ini
memiliki kearifan lokal, mereka memiliki adat, budaya, norma, tata krama yang
sampai saat ini masih tetap dilestarikan. Masyarakat yang bermukim di desa ini
khususnya masyarakat Suku Bantik memiliki kepedulian dalam menjaga dan
melestarikan lingkungan. Pandangan penulis pemenuhan hak-hak masyarakat adat
dalam menjaga kelestarian wilayah pesisir belum dilakukan secara baik, hal ini
mangrove, rusaknya terumbu karang. Selain menurunnya kualitas lingkungan wilayah pesisir disebabkan pula karena faktor pendidikan masyarakat yang
rendah, fungsi kelembagaan adat tidak berjalan seperti yang dulu , norma-norma
dan tata krama dalam menjaga lingkungan belum difungsikan secara baik, Oleh
karena itu untuk menjaga kelestarian ekosistem diwilayah pesisir khususnya di
Kelurahan Meras diperlukan penegakan hak adat masyarakat Bantik, yakni yang
berkaitan dengan hak menjaga dan melestarikan lingkungan, hak mengurus dan
mengelola lingkungan secara baik dan lestari, hak memelihara lingkungan dengan
meningkatkan fungsi kelembagaan adat dan hak masyarakat untuk dapat
berpartisipasi dalam pengelolaan wilayah pesisir. Penegakan hak-hak masyarakat
dalam pengelolaan wilayah pesisir akan sangat berkaitan dengan bagaimana
masyarakat adat mengenal potensi wilayah mereka sebagai bagian dari kebutuhan,
serta bagaimana masyarakat adat mampu menegakan hak-haknya yang dilindungi.
Pada kenyataannya penegakan hak-hak masyarakat adat dalam pengelolaan
ekosistem serta pelestarian hanya diperuntukkan demi kepentingan publik semata,
sedangkan masyarakat adat yang merasa memiliki kepentingan dengan
hak-haknya diabaikan oleh pemerintah, di pihak lain terjadi penurunan tingkat
partisipasi masyarakat dalam pengelolaan wilayah pesisir karena masyarakat adat
tidak dilibatkan dalam proses pengelolaan wilayah pesisir.
Berdasarkan latar belakang pemikiran tersebut diatas maka penulis merasa
tertarik mengambil pokok bahasan penelitian ini dengan menitik beratkan pada
“ Penegakan Hak Adat Masyarakat Bantik dalam Pengelolaan Lingkungan
Pesisir (Studi Kasus di Kelurahan Meras Kecamatan Bunaken)”. B. Perumusan Masalah
Adapun perumusan masalah yang diuraikan dalam penelitian ini adalah
sebagai berikut :
1. Bagaimana Peran Masyarakat Adat dalam pengelolaan Wilayah Pesisir ?
2. Apakah penegakan hak adat masyarakat dapat meningkatkan pengelolaaan dan
pelestarian Ekosistem Wilayah Pesisir ?
3. Apakah partisipasi masyarakat adat dapat meningkatkan kelestarian ekosistem
wilayah Pesisir ?
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian 1. Tujuan Penelitian
Adapun yang menjadi tujuan dalam penelitian ini adalah : a. Peran Masyarakat Adat dalam pengelolaan Wilayah Pesisir
b. Pentingnya penegakan hak masyarakat adat Bantik dalam pengelolaan dan
pelestarian ekosistem wilayah pesisir
c. pentingnya partisipasi masyarakat melalui kearifan lokal dalam pelestarian
ekosistem wilayah pesisir
2. Manfaat Penelitian a. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan akan dapat memberikan masukan dan
informasi bagi pemerintah Kelurahan dalam proses pengelolaan wilayah
pesisir dan lautan serta menegakan hak adat masyarakat dalam peningkatan
aktivitas mereka. Selain itu hasil penelitian ini diharapkan akan menjadi
bahan evaluasi bagi pemerintah daerah dalam penataan dan pengelolaan
wilayah sebagai kawasan pertumbuhan dan pengembangan ekonomi
masyarakat.
b. Manfaat Ilmiah
Dari segi ilmiah hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi pengembangan ilmu Lingkungan dan pembentukan konsep
Sosiologi Lingkungan dan Sosiologi Masyarakat pesisir
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN A. Kesimpulan
1. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa sebagian besar masyarakat adat
memberikan pernyataan bahwa manfaat pengelolaan wilayah pesisir dianggap
penting. Hal ini dimaklumi karena sebagian besar menyadari, dan mengetahui
manfaat pengelolaan wilayah pesisir. Namun secara faktual kesadaran dalam
pengelolaan wilayah pesisir, masih minim dalam menjaga dan melindungi
serta melestarikan, ini dapat dibuktikan bahwa masih ada masyarakat adat di
wilayah pesisir yang merusak lingkungan.
2. Penegakan hak adat masyarakat Bantik dalam pengelolaan wilayah pesisir
belumlah optimal, pada hal masyarakat adat Suku Bantik memiliki suatu
kearifan lokal dalam menjaga lingkungan pesisir. Masyarakat Adat bantik
dikatakan sebagai masyarakat yang memiliki kebudayaannya sendiri, memiliki
aturan secara normatif pada kelembagaan adat dan Kewenangan masyarakat
adat Bantik tidak hanya sebatas obyek tanah, tetapi juga atas obyek
sumberdaya alam. Semua hak adat diberlakukan haruslah mendapat dukungan
hukum secara tertulis oleh pemerintah dan pengakuan secara normatif bahwa
kehidupan mereka ada dan tetap eksis
3. Rendahnya kualitas ekosistem wilayah pesisir dipengaruhi oleh adat,
rendahnya tingkat partisipasi masyarakat adat karena belum mendapat
dukungan dari pihak pemerintah untuk penerapan hukum adat dalam
pengelolaan wilayah pesisir, Hasil penelitian menunjukan bahwa penerapan
hukum adat dapat meningkatkan partisipasi masyarakat adat, karena dengan
membangkitkan partisipasi masyarakat adat dalam upaya pelestarian wilayah
pesisir perlu dilakukan. Berbagai upaya perbaikan yang antara lain 1).
Pemberdayaan masyarakat, 2). Perbaikan taraf hidup, 3). Mengaktifkan
kelembagaan adat, 4). Pentingnya peran pemerintah untuk memfasilitasi
berbagai kebijakan dan program pembangunan wilayah pesisir, 5). Perlunya
penegakan aturan adat yang dapat dukungan khususnya oleh masyarakat Adat
B. Saran
1. Menurunnya kualitas dan daya dukung lingkungan wilayah pesisir
dipengaruhi oleh kurangnya peran serta dari pihak masyarakat adat. Melalui
penelitian ini diharapkan bahwa masyarakat adat lebih berperan aktif lagi
dalam proses pengelolaan lingkungan pesisir untuk memanfaatkan potensi
kelembagaan adat yang dipertahankan masyarakat adat Bantik melalui
kearifan lokal khususnya menjaga dan melestarikan, serta melindungi wilayah
pesisir.
2. Hak adat masyarakat Bantik harus dikembalikan, karena adat merupakan
kewenangan untuk bisa mengatur tata kehidupan masyarakat berdasarkan
aturan yang disepakati bersama oleh seluruh komponen masyarakat adat dan
harus dilakukan secara adil tanpa adanya diskriminasi sehingga dengan
pemberian hak tidak merugikan salah satu pihak khususnya bagi masyarakat
adat. Hak masyarakat adat merupakan hak azasi yang harus dilindungi dengan
UU. Melalui hasil penelitian ini diharapkan pemerintah lebih mengutamakan
azas kepastian hak dalam mengelola sumberdaya alam diwilayah pesisir dan
lautan dengan berdasarkan pada azas taat, azas keadilan, kelayakan,
kesamaan, serta hak untuk memperoleh kesempatan yang sama dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara
3. Melalui hasil penelitian ini dapat lebih meningkatkan partisipasi masyarakat
adat melalui aktivitas kelembagaan, perlunya peningkatan pendidikan non
formal melalui pendidikan dan latihan keterampilan dalam mengelola dan
menjaga wilayah pesisir yang baik dan benar, memaksimalkan keterampilan
masyarakat adat dalam berusaha, serta selalu memelihara dan mentaati
berbagai ketentuan aturan adat.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul, A. D., 1985. Partisipasi Masyarakat Dalam Pembangunan Pertanian Berencana, Desertasi. Universitas Pajajaran. Bandung.
Abdul Halim 1998, Partisipasi Masyarakat dalam pengelolaan Wilayah Pesisir, Sinar Media Jakarta.
Amin dan Salim 1990, Kebijakan dan Strategi Pembangunan Kehutanan, Departemen Kehutanan Jakarta.
Anthony Scott 2003 Natural Resources: The Economics of Conservation, Anyang Thambun YC, 1998, Peran Masyarakat Adat dalam pengentasan
Kemiskinan, Journal Coastal and Marine Resources. Edisi 3 Tahun 1998.
Ayatrohaedi, 1986, Hutan Mangrove fungsi dan Manfaatnya, Pradnya Paramita. Jakarta
Arief, Arifin. 2003. Hutan Mangrove: Fungsi Dan Manfaatnya, Penerbit Kanisius. Yogyakarta.
Barbier. E. B. 2006. Mangroves Dependency and the Livelihoods of Coastal Communities in Thailand. Environment and Livelihoods in Tripical Coastal Zones, (Eds. C.T. Hoanh, T.P.Tuong, J.W, Growing and B. Hardy).
Barbier,E.B and Ivar Strand. 2007. Valuing Mangrove-fishery: a Case Study of Campeche, Mexico.
Bengen Dietriech G. 2000. Pedoman Teknis Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove, Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. IPB. Bogor.
Bengen, Dietriech G. 2005. Menuju Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu Berbasis Daerah Aliran Sungai (DAS), Interaksi Daratan Dan Lautan Pengaruhnya Terhadap Sumberdaya dan Lingkungan. Lembaga Pengetahuan Indonesia, LIPI Press Jakarta.
Bengen, Dietriech.G. 2001. Ekosistem Sumberdaya Pesisir dan Laut Serta Pengelolaan Secara Terpadu dan Berkelanjutan, (Prosiding Pelatihan Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu, Bogor 29 Oktober - 3 November 2001. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB). Bengen, Dietriech G. 2002. Sinopsis: Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir
dan Laut Serta Prinsip Pengelolaannya, Cetakan ketiga. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Beatley.T.D.J. 1994, Brower and A.K. Schwab An introduction to Coastal, Zones
Management Island Press,Washington D.C,
Bintoro. Tjokroamidjoyo, 1998 Administrasi Pembangunan, PT Gramedia Jakarta.
Bryant C. dan L.G. Whyte, 1982. Managing Development in The World, Westview Boulder, Colorado
Cahyati Ade, 1999 Trends and circumstances in Caribbean, London and New York .Routledge.
Caroline Nyamai-Kisia 2010, Education a guide for planner and managers The Ecotourism society, Noth Benington vetmont
Cincin-Sain dan Knecht, 1998, Integrated Coastal and Ocean Management Concepts and Practices, Island Press, Washington DC..
Djajadiningrat, S. T., 2006. Peran Serta Masyarakat Dalam Melestarikan Hutan Ditinjau Dari Segi Lingkungan Hidup, Pradnya Paramita. Jakarta.
Dwiponggo. 1991, Karakteristik pengelolaan hutan berbasis masyarakat, Penerbit RUDL.
Fauzi, Ahmad. 2004. Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Teori dan Aplikasi, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta,
Gunarto, 2004. Konservasi Mangrove Sebagai Pendukung Sumber Hayati Perikanan Pantai, Jurnal Litbang Pertanian, 23 (1). Hadipurnomo. 1995. Fungsi dan Manfaat Mangrove di Dalam Mintakat Pantai (coastal Zone), Duta Rimba/ Maret - April /177178/XXI/1995. Gobyah 2003, Kearifan Lokal Masyarakat adat dan struktur Perubahan Sosial,
Pradnya Paramita. Jakarta.
Grasso, Monica. 1998. Ecological-Economic Model for Optimal Mangrove Trade off Between Forestry and Fishery Production, Comparing a dynamic optimization and a simulation model, Elsevier, Ecological Modeling. 131 - 150.
Harahap 2008, Managament Partisipatif Suatu Analisis Situasi Sosial bagi Masyarakat adat, Kanisius Yokyakarta.
Haeruman 1993 Integrated Mangrove-Aquaculture System in Asia, Integrated Coastal Zone Management.
Harnanto, H.M. 1997. Peran Pembinaan Masyarakat Desa Hutan dalam Pengembangan Hutan Rakyat, Makalah Seminar Nasional SOKSI Tgl. 20 Maret 1996 Tema “Hutan dan Kesejahteraan Rakyat dalam Pembangunan yang Berwawasan Lingkungan”. Yayasan Lestari Budaya, Jakarta.
Haryati Soebadio 2001, Pengakuan Hak Masyarakat Adat atas sumberdaya alam, Pradnya Paramita. Jakarta.
H. Siagian, 2001, Pokok-Pokok Pembangunan Masyarakat Desa, Penerbit PT. Citra Adytia Sakti Bandung.
Hassan Shadily, 2001, Kamus Inggris-Indonesia,John M. Echols Penerbit PT balai Pustaka Nasional.
Hariadi Kartodihardjo 2003, Ekonomi dan Institusi Pengelolaan hutan, Penerbit IDEALS Bandung.
Ida Bagus 2005, Adat Istiadat Masyarakat Bali, PT Gramedia Jakarta.
Kartawinata .K. 1976, Klasifikasi Daerah pesisir berdasarkan Komunitas Hayati, LIPI Jakarta.
Koesoebiono 1995, Ekonomi sumberdaya dan Lingkungan Teori dan Kebijakan Pembangunan Berkelanjutan, Akademika Persindo.
Kusnadi,2007, Jaminan Sosial Nelayan, PT LKIS Pelangi Aksara Yokyakarta. Lamintang 1999, Kitab UU Hukum Acara Pidana dengan pembahasan secara
Yuridis, menurut Yurisprudensi, dan Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana, Bandung Sinar Baru.
Mallassis Louis, 1978, Dunia Pendidikan , Penerbit Yayasan Dian Desa.
Machmur, 1988, Pengelolaan Wilayah Pesisir Terpadu di Indonesia, Sinar Media Jakarta.
Melana 2000, Masyarakat Adat di Tengah Perubahan Global, PT Gramulia Persada
Meleong Lexy. L.J. 1996, Metodologi Penelitian Kualitatif, Penerbit Rosdakarya Bandung.
Naamin. And A. Hardjamulia,1990 Potensi pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya perikanan Indonesia, Proseding Puslitbangkan Jakarta. Nasikun 2004, Pembangunan Manusia, Cv Rajawali Jakarta.
Noer Fauzi 2000, Kumpulan tulisan dalam kelompok diskusi Adat Indonesia, Masyarakat Adat dalam mengelola Sumberdaya Alam, Cisarua 26-28 Mei, 2000, ICRAF-JAPHAMA.
Nontji, Anugerah, 1987 Laut Nusantara, Penerbit Djambatan Jakarta.
Paul Collekta, 2006. Kebudayaan dan Pembangunan. Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia. Rais. J. 1994, Pengelolaan wilayah pesisir terpadu suatu konsepsi,Jakarta
Indonesia.
Rokhmin, Dahuri, 2008, Pengembangan Rencana Pengelolaaan Pemanfaatan Berganda Hutan Mangrove di Sumatera, Pusat Penelitian Lingkungan Hidup. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Dahuri, Rochmin; Jacob Rais; Sapta Putra Ginting; M.J Sitepu, 2001. Pengelolaan Sumber Daya Wilayah Pesisir Dan Lautan Secara Terpadu, Cetakan ke dua, Penerbit Pradnya Paramita. Jakarta.
Rochmin Dahuri, 2003. Pengelolaan Kawasan Laut dan Pesisir Secara Terpadu di Indonesia, Makalah kursus pengelolaan kawasan pesisir dan laut. Pusat Penelitian Kependudukan dan Lingkungan Hidup, LP-ITS. Surabaya dengan PPPSL.
Rochmin Dahuri 2001. Model Pembangunan Sumberdaya Perikanan Secara Berkelanjutan, Simposium Perikanan Indonesia I, Jakarta 25 - 27 Agustus 2001.
Ronnback 2002, Biologi Laut Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut, Penerbit Djambatan Jakarta.
Ruiten beek 1992, Ensiklopedia Pendidikan. PT Gunung Agung, Jakarta.
Saenger et.al 1983, Mangrove Restoration In Australia, In C. Field (Ed) Restoration Of Mangrove Ecosistem, International Tropical Timber Organization qnd Internasional Society for Mangroves Ecosystems. Santoso N 2005, Analisis Pengentasan Kemiskinan Masyarakat Pesisir melalui
Pengembangan Keuangan Mikro, Pasca Sarjana Universitas Pajajaran. Sarwono Kusumaatmadja, 1996, Bunga rampai hukum Laut, Bandung Bina Cipta. Slamet, Y. 1993. Pembangunan Dasar-dasar dan Pengertiannya. CV Usaha
Nasional Surabaya
Scura et.al, 1992, Cultural Materialisme The Struggle for a Science of Culture, New York : Vintage Books.
Suhardjito, Khan, Djatmiko dkk, 2009, Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan di Nusantara, Pelita Mas.
Sudarmadji 2001, Prinsip-prinsip Ekologi dan Organisasi Ekosistem Komunitas dan Lingkungan, Bumi Aksara Jakarta.
Takalamingan 2000, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Pekerja Pengolah Tepung Kelapa PT. Djaka Sakti Buana di Kotamadya Bitung. Tesis Program Pascasarjana Universitas Sam Ratulangi. Manado.
Thomson 2006, An Assessment of the coastal Resource Management Project (CRMP) in Indoneia, CRC/URI.
Sumber-sumber Lain :
- SK Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 328/Kpts-II/1986 tentang Taman Laut Bunaken
- UU No. 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa - UU No. 32 tahun 2004 Otonomi Daerah
- UU No. 12 tahun 2008 yang mengatur tentang Desa
- Keputusan Menteri Kehutan dan Perkebunan 677/Kpts-II/1998 tentang Hutan Kemasyarakatan ,
- Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1998 tentang pengusahaan Hutan Produksi - Tap MPR No. XVII tahun 1998 tentang HAM
- Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan - Laporan Bappenas ,2004
- Buku Panduan Pengelolaan wilayah Pesisir, 2009 - Konvensi ILO 169 tahun 1989
- Book Report Departemen kelautan dan perikanan 2003