• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS HAK TENURIAL MASYARAKAT ADAT PEMERINTAH TENTANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ANALISIS HAK TENURIAL MASYARAKAT ADAT PEMERINTAH TENTANG"

Copied!
97
0
0

Teks penuh

(1)ANALISIS HAK TENURIAL MASYARAKAT ADAT DAN LOKAL DALAM RANCANGAN PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PERLINDUNGAN DAN PENGELOLAAN EKOSISTEM GAMBUT TIM PENYUSUN: ANGGALIA PUTRI PERMATASARI ERWIN DWI KRISTIANTO SISILIA NURMALA DEWI FAHMI ALAMRI. PERKUMPULAN HUMA APRIL 2014. -1. 0.

(2) DAFTAR ISI I. Pendahuluan _________________________________________3. IV. Kesimpulan ________________________________________ 55. 1.1 Latar Belakang ______________________________________ 3 1.2 Sekilas tentang Pengaturan Gambut di Indonesia _______ 6. V. Penutup ___________________________________________ 57. 1.3 Preseden Pengabaian Hak Masyarakat Adat dan Lokal _ 10. 5.1 Menjaga Hak Masyarakat Adat dan Lokal dalam Tata Kelola Gambut ke Depan ________________________________ 57. II. Ruang Lingkup dan Cakupan Isi RPP Gambut______________14. 5.1 Rekomendasi Masyarakat Pengelola Gambut __________ 63. 2.1 Perencanaan _______________________________________ 17 2.2 Pemanfaatan_______________________________________ 23 2.3 Pengendalian ______________________________________ 24 2.4 Pemeliharaan ______________________________________ 25 2.5 Pengawasan________________________________________ 25 2.6 Sanksi Administratif ________________________________ 26 2.7 Kententuan Peralihan ______________________________ 26. REFERENSI ___________________________________________ 65 LAMPIRAN ___________________________________________ 69 I Matriks Peraturan Terkait Gambut dalam Kaitannya dengan Hak Masyarakat ________________________________________ 69 II Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut ____________________ 103. III. Analisis____________________________________________27 3.1 Pembahasan dari Aspek Formil ______________________ 28 3.2 Pembahasan dari Aspek Materiil _____________________ 14. 1. 2.

(3) Analisis Hak Tenurial Masyarakat Adat dan Lokal dalam Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. berbagai peraturan dan lembaga tersebut juga belum bisa mengakomodasi kebutuhan untuk mengembangkan kawasan gambut dalam rangka pengembangan daerah.2 Selain itu, pentingnya meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pengelolaan gambut disebut sebagai salah satu alasan didorongnya rancangan peraturan ini.3. I. Pendahuluan. Proses penyusunan dan pembahasan RPP Gambut ini dapat dikatakan tidak transparan, setidaknya bagi masyarakat sipil dan jaringan masyarakat pengelola gambut yang ‘terkaget-kaget’ ketika mendengar kabar pada awal tahun 2014 bahwa RPP ini hendak disahkan oleh Presiden. Koalisi Hutan dan Iklim yang terdiri dari sejumlah organisasi masyarakat sipil yang juga berkoordinasi dengan jaringan masyarakat pengelola gambut mendengar kabar tentang hendak disahkannya RPP ini pada bulan Februari 2014 dan lalu mencoba menganalisis isi RPP ini. Hal ini bukan sesuatu yang mudah karena mendapatkan versi terakhir RPP ini dari pemerintah terbilang cukup sulit. Koalisi kemudian mencoba menyuarakan beberapa keprihatinan atas proses penyusunan RPP yang kurang terbuka dan tidak konsultatif serta masih lemahnya substansi perlindungan ekosistem gambut dan hak-hak masyarakat dalam RPP tersebut. Beberapa hal mendasar yang menjadi keprihatinan Koalisi adalah masih longgarnya kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut dan kriteria penetapan Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung, khususnya ambang batas kedalaman gambut yang boleh dibuka (3 meter) yang dasar ilmiah dan hukumnya dipertanyakan. Selain itu, RPP ini cenderung masih membuka jalan untuk ekspansi izin yang merusak di lahan gambut dan tidak menyentuh izin-izin yang telah ada. Permasalahan lain yang tidak kalah penting adalah minimnya pengaturan tentang perlindungan hakhak masyarakat adat dan lokal yang mengelola gambut. Jika proses dan substansinya tidak dijaga, RPP dengan cita-cita yang baik ini justru dapat mengikis hak-hak masyarakat adat dan lokal yang telah dilindungi oleh. 1.1 Latar Belakang Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut, selanjutnya disebut sebagai RPP Gambut, adalah rancangan peraturan pemerintah yang diprakarsai oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sebagai salah satu peraturan pemerintah untuk melaksanakan Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Status RPP tersebut hingga analisis ini ditulis pada bulan April 2014 adalah telah disetujui (diparaf) oleh berbagai Kementerian terkait dan tengah berada di tangan Kementerian Koordinator Perekonomian. Tahapan selanjutnya adalah penyerahan rancangan peraturan pemerintah ini kepada Presiden untuk disahkan. Mengapa pemerintah, khususnya KLH, mendorong pengaturan tersendiri tentang gambut? Berdasarkan Draft Naskah Akademis Pengelolaan Kawasan Gambut Berkelanjutan di Indonesia yang disusun pada tahun 20071, hal ini disebabkan oleh belum mampunya berbagai peraturan perundang-undangan maupun lembaga terkait gambut yang telah ada saat ini untuk menahan laju kerusakan kawasan gambut. Di sisi lain, 1. Draft Naskah Akademis ini bukanlah Naskah Akademis untuk RPP Perlindungan dan Pengelolaan Gambut versi Januari 2014, melainkan (draft) Naskah Akademis untuk Rancangan Peraturan Presiden tentang Pengelolaan Kawasan Gambut Berkelanjutan yang digagas pada tahun 2007. Penggunaan draft NA ini sebagai rujukan tidak langsung disebabkan oleh tidak tersedianya Naskah Akademik RPP Gambut versi terbaru secara publik. 3. 2. Kementerian Lingkungan Hidup, Draft Naskah Akademis Pengelolaan Kawasan Gambut Berkelanjutan (KLH: Jakarta, 2007), h. 1. 3 Ibid., h. 2. 4.

(4) berbagai Undang-Undang, termasuk Undang-Undang PPLH yang menjadi induk RPP ini. Dalam upaya menyuarakan keprihatinan yang telah disebutkan di atas, Koalisi telah melaksanakan berbagai kegiatan, mulai dari konferensi pers, diskusi dan workshop nasional, hingga mengirimkan surat terbuka kepada Presiden yang isinya menyerukan penundaan pengesahan RPP tersebut. Koalisi juga telah mencoba berdiskusi dengan Badan Pengelola REDD+/UKP4 yang memiliki ruang untuk memberi masukan kepada Presiden, namun belum juga berkesempatan untuk berdialog dengan pihak-piahk terkait dari Kementerian Lingkungan Hidup yang menjadi pemrakarsa RPP tersebut untuk mengklarifikasi beberapa pertanyaan mendesak terkait RPP ini. Tulisan ini adalah salah satu upaya untuk memperkuat advokasi terkait hak masyarakat adat dan lokal dalam pengaturan tentang gambut, tidak hanya dalam RPP Gambut, tetapi juga dalam implementasi tata kelola gambut ke depan jika RPP ini disahkan. Dalam kerangka tersebut, tulisan ini mencoba menganalisis seberapa jauh hak-hak masyarakat adat dan lokal, terutama hak tenurial, diakui dan dilindungi dalam RPP Gambut serta bagaimana seharusnya implementasi tata kelola gambut ke depan agar menghormati, melindungi, dan memenuhi hak-hak masyarakat adat dan lokal. Untuk kepentingan tersebut, tulisan ini terbagi menjadi lima bagian, yaitu bagian pengantar, objek analisis, analisis, kesimpulan, dan penutup. Bagian pertama atau pengantar mencakup latar belakang disusunnya tulisan ini, pembahasan sekilas mengenai peraturan gambut yang sudah ada di Indonesia, dan preseden pengabaian hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam yang membuat eksaminasi terhadap RPP Gambut ini menjadi penting. Bagian kedua atau objek analisis memaparkan isi dan ruang lingkup RPP Gambut yang utamanya mencakup pengaturan tentang 6 (enam) hal, yaitu perencanaan, pemanfaatan, pengendalian, pemeliharaan, pengawasan,. 5. dan penegakan hukum terkait Ekosistem Gambut. Bagian ketiga atau analisis terdiri dari pembahasan mengenai analisis formal terhadap RPP Gambut terkait tata cara penyusunannya dan analisis materiil yang berisi pembahasan mengenai hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam RPP. Bagian keempat berisikan kesimpulan sementara bagian kelima atau penutup berisikan rekomendasi mengenai bagaimana melindungi hak-hak masyarakat adat dan lokal dalam proses tata kelola gambut ke depan dan rekomendasi langsung dari masyarakat pengelola gambut terkait berbagai ancaman hak yang mereka hadapi di lapangan.. 1.2 Sekilas tentang Pengaturan Gambut di Indonesia Ada cukup banyak peraturan perundang-undangan yang menyinggung atau terkait gambut di Indonesia, mulai dari tingkatan Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Keputusan/Peraturan Presiden, hingga berbagai SK Kementerian. Sejumlah peraturan perundang-undangan terkait gambut dari berbagai sektor yang berbeda ini telah disebutkan di dalam Draft Naskah Akademis Pengelolaan Kawasan Gambut Berkelanjutan.4 Meskipun demikian, berbagai peraturan ini dinilai tidak padu dan belum spesifik dalam mengatur perlindungan dan pengelolaan gambut. Belum adanya satu lembaga spesifik yang berwenang untuk melaksanakan dan mengkoordinasikan pengelolaan gambut dinilai sebagai satu kelemahan lain. Berbagai peraturan perundang-undangan terkait gambut yang disinggung dalam Draft Naskah Akademis Pengelolaan Kawasan Gambut Berkelanjutan adalah sebagai berikut.5 a. Undang-Undang Di tingkatan Undang-Undang, setidaknya ada 8 (delapan) Undang-Undang yang terkait atau menyinggung gambut meskipun tidak selalu menyebut 4. Kementerian Lingkungan Hidup, Draft Naskah Akademis Pengelolaan Kawasan Gambut Berkelanjutan (KLH: Jakarta, 2007), h. 13-18. 5 Perlu diingat bahwa berbagai peraturan perundang-undangan ini diterbitkan sebelum keluarnya UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 6.

(5) istilah gambut secara spesifik. Secara umum, kedelapan UU tersebut berbicara tentang dan konservasi perlindungan lingkungan hidup, sumber daya alam hayati, dan ekosistem meskipun ada juga yang berbicara tentang pengelolaan/pemanfaatan lingkungan hidup, ekosistem, dan atau sumber daya hayati (dalam konteks UU Sistem Budidaya Tanaman). Kedelapan UU tersebut adalah: 1. UU No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya 2. UU No. 5 Tahun 1994 Tentang Pengesahan Konvensi PBB mengenai Keanekaragaman Hayati 3. UU No. 12 Tahun 1992 Tentang Sistem Budidaya Tanaman 4. UU No. 6 Tahun 1994 tentang Pengesahan United Nations Framework Convention on Climate Change (Konvensi Kerangka Kerja Perserikatan Bangsa Bangsa Mengenai Perubahan Iklim) 5. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang 6. UU No. 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan 7. UU No. 17 Tahun 2004 Tentang Ratifikasi Protokol Kyoto 8. UU No. 32 Tahun 2009 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Dari kedelapan UU di atas, penyebutan dan pengaturan gambut terbanyak ada di dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang merupakan induk dari RPP ini. UU tersebut adalah satu-satunya Undang-Undang yang disebutkan di bagian Menimbang dan Mengingat RPP Gambut ini selain UUD 1945. Tentang gambut secara spesifik, UU PPLH mengatur tentang perlunya menetapkan kriteria baku kerusakan gambut (Pasal 21 huruf f) dan perlunya melakukan konservasi ekosistem lahan gambut sebagai bagian dari pemeliharaan sumber daya alam (Pasal 57 ayat 1 dan Penjelasan Pasal 57 ayat 1 huruf a).. 7. b. Peraturan Pemerintah Di tingkatan Peraturan Pemerintah (PP), setidaknya ada 3 (tiga) peraturan yang terkait atau menyinggung gambut, yaitu: 1. PP No. 27 Tahun 1991 tentang Rawa 2. PP No. 4 Tahun 2001 Tentang Pengendalian Kerusakan dan Atau Pencemaran Lingkungan Hidup yang Berkaitan Dengan Kebakaran Hutan dan Atau Lahan 3. PP No. 150 Tahun 2000 tentang Pengendalian Kerusakan Tanah Untuk Produksi Biomassa Seperti halnya kedelapan UU di atas, dua PP pertama tidak menyebut gambut secara spesifik, namun mengatur tentang perlindungan, konservasi, dan preservasi rawa yang mengandung gambut serta pengendalian kerusakan lingkungan hidup terkait kebakaran hutan dan lahan yang sangat berkaitan dengan gambut. Sementara itu, PP ketiga berkaitan dengan gambut karena mengatur kriteria baku kerusakan lingkungan hidup untuk tanah di lahan basah yang mengandung gambut. Pengaturan gambut yang lebih spesifik dan mengatur isu-isu yang kontroversial (misalnya ambang batas kedalaman gambut yang dapat dibudidayakan) justru terdapat di dalam peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tingkatannya, yaitu Peraturan dan Keputusan Presiden (Perpres/Keppres6), yang meliputi: 1. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2006 tentang Kebijakan Energi Nasional 2. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung 3. Keputusan Presiden Republik Indonesia No 48 Tahun 1991 tentang Ratifikasi Konvensi Ramsar 6. Keputusan Presiden sebenarnya digunakan untuk menetapkan sesuatu yang sifatnya individual dan tidak dapat digunakan untuk mengatur sesuatu yang sifatnya umum seperti pengelolaan kawasan lindung atau gambut sehingga tidak digolongkan sebagai peraturan perundang-undangan, namun di Indonesia sering terjadi kesalahkaprahan tentang Perpres dan Keppres ini. 8.

(6) 4. Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan Dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Kawasan Gambut Di Kalimantan Tengah Secara spesifik, Keppres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung mencantumkan definisi kawasan bergambut sebagai tanah bergambut dengan ketebalan 3 meter atau lebih yang terdapat di bagian hulu sungai dan rawa (Pasal 10). Ketentuan mengenai ukuran 3 meter sebagai ambang batas kedalaman gambut yang boleh dibudidayakan juga ditemukan dalam Keppres No. 80 Tahun 1999 tentang Pedoman Umum Perencanaan Dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan Kawasan Gambut Di Kalimantan Tengah (Pasal 1) yang menyatakan bahwa gambut dengan kedalaman di bawah 3 meter diperuntukkan untuk budidaya sedangkan gambut dengan kedalaman di atas 3 meter diperuntukkan untuk konservasi. Landasan ilmiah dan hukum dari penetapan ambang batas kedalaman ini masih sangat dipertanyakan dan menjadi perdebatan. c. Peraturan dan Keputusan Menteri Di tingkat peraturan dan keputusan menteri, setidaknya terdapat 3 (tiga) peraturan yang terkait atau menyinggung tentang gambut, yaitu: 1. Peraturan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 5 Tahun 2012 Tentang Jenis Rencana Usaha dan/Atau Kegiatan Yang Wajib Dilengkapi Dengan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup 2. Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 5/2001 tentang Panduan AMDAL untuk Pembangunan di Lahan Basah 3. Keputusan Menteri Pertambangan No 507K/20/M.Pe/1989 tentang Penggolongan dan Pengusahaan Gambut Sebagai Bahan Galian Vital 4. Peraturan Menteri Pertanian Nomor 14 Tahun 2009 tentang Pedoman Pemanfaatan Lahan Gambut untuk Budidaya Kelapa Sawit. 9. Dua peraturan yang pertama secara garis besar menyatakan perlunya Analisis Mengenai Dampak Lingkungan atau AMDAL untuk pemanfaatan ekosistem gambut. Peraturan ketiga menggolongkan gambut sebagai bahan galian vital yang dapat ditambang sedangkan peraturan keempat mengatur bahwa ketebalan lapisan gambut kurang dari 3 (tiga) meter dapat digunakan untuk budidaya kelapa sawit. Substansi mengenai gambut dan hak-hak masyarakat yang diatur dalam tiap-tiap peraturan di atas serta kaitannya dengan RPP Gambut dapat dilihat dalam Matriks Peraturan Terkait Gambut yang dicantumkan dalam lampiran tulisan ini. 1.3 Preseden Pengabaian Hak-Hak Masyarakat Adat dan Lokal dalam Pengelolaan Sumber Daya Alam RPP Gambut memiliki cita-cita yang mulia, yakni melaksanakan ketentuan Undang-Undang Lingkungan Hidup untuk melestarikan dan memetik manfaat dari Ekosistem Gambut sebagai bagian dari sumber daya alam hayati demi kesejahteraan rakyat dan keberlangsungan hidup manusia secara umum. Demikian pula berbagai peraturan perundangundangan sektoral lainnya yang mencantumkan kesejahteraan rakyat Indonesia sebagai cita-cita. Meskipun demikian, pelaksanaan cita-cita tersebut seringkali jauh panggang dari api atau bahkan bertentangan dengan tujuan awalnya. HuMa memandang penting mengkaji berbagai ketentuan dalam RPP ini karena telah banyak pengalaman dan contoh pengabaian hak-hak masyarakat, khususnya masyarakat adat dan lokal dalam tata kelola kehutanan dan lahan yang berujung pada menumpuk, meluas, dan memburuknya konflik pengelolaan sumber daya alam. Jumlah sesungguhnya konflik pengelolaan sumber daya alam tidak diketahui karena banyak konflik yang tidak tercatat maupun terlaporkan. Akan tetapi, hingga tahun 2014, HuMa telah mencatat terjadinya 332 konflik sumber daya alam yang tersebar dari Aceh hingga Papua dalam. 10.

(7) kaitannya dengan sektor perkebunan, kehutanan, pertanahan serta, perairan dan kepulauan.7. pertambangan,. Secara umum, konflik-konflik tersebut muncul karena tidak adanya pengakuan penuh akan wilayah kelola masyarakat dan hak-hak terkait tanah, lahan, dan sumber daya alam. Hal ini nyata dalam pemberian izin-izin oleh pejabat publik, baik yang terkait dengan bidang produksi, ekstraksi, maupun konservasi, di wilayah kelola masyarakat, melalui transaksi yang menyingkirkan masyarakat dalam proses pengambilan keputusan. Dalam konteks masyarakat (hukum) adat, ruang hukum yang terbuka bagi pengakuan masyarakat adat sebagai subjek hukum yang memiliki hak-hak tertentu diharuskan memenuhi indikator-indikator yang pada esensinya mengingkari keberadaan masyarakat adat yang secara historis menjadi bagian dari bangsa Indonesia sebelum kemerdekaannya. Hal ini berimplikasi serius pada berkembangnya konflik SDA, mulai dari konflik laten hingga konflik yang termanifestasi. Tekanan ekonomi pada masyarakat kian berat dengan berubahnya status masyarakat dari pemilik lahan menjadi pekerja yang tergantung pada perusahaan atau masyarakat dengan ruang hidup dan sumber mata pencaharian yang tidak lagi dapat diakses karena termakan sebagai area lindung atau konservasi. Di berbagai tempat, hai inilah yang kemudian membangkitkan perlawanan masyarakat. Di samping itu, pola kekerasan yang dilakukan oleh pemerintah dalam mengatasi konflik-konflik SDA sama sekali tidak membantu. Oleh karena itu, dapat disimpulkan pula bahwa pengakuan yang tidak tulus dari pemerintah (untuk tidak mengatakan bahwa tidak ada pengakuan sama sekali) juga diikuti dengan tidak memadainya perlindungan dan pemenuhan akan hak-hak dasar masyarakat di samping hak yang seharusnya melekat bagi masyarakat adat maupun komunitas lokal untuk memanfaatkan wilayah kelolanya. Tidak adanya pengakuan dan perlindungan penuh terhadap hak-hak masyarakat adat/lokal atas tanah dan SDA yang ada di dalamnya 7. Ringkasan sebaran, tipologi, https://www.humawin.org/.. aktor,. dan. 11. jenis. konflik. dapat. dilihat. di. sebetulnya sudah muncul sejak zaman kolonial dan terus meluas hingga saat ini. Konflik SDA kontemporer yang muncul karena pengabaian dan pelanggaran hak-hak masyarakat adat dan lokal dilakukan dengan beragam pola. Beberapa pola yang dapat dipetakan adalah: . Penyangkalan hak bagi masyarakat untuk mendapatkan informasi Pola ini meliputi tidak disampaikannya informasi yang relevan bagi masyarakat terkait aktivitas yang akan, sedang, atau telah dilaksanakan dalam wilayah kelola mereka. Informasi merupakan elemen penting dalam dinamika berdemokrasi karena melalui informasi yang memadai barulah dapat dicapai partisipasi masyarakat yang berkualitas sebagai pilar demokrasi. Dalam praktiknya, hak masyarakat atas informasi tersebut seringkali diabaikan oleh pejabat publik dengan tidak memberikan informasi secara penuh, terbuka, berimbang, dan tepat waktu.. . Pemberian izin (produksi, ekstraksi, maupun konservasi) yang tidak dijalankan sesuai dengan prosedur yang tertera dalam peraturan perundang-undangan Setiap kegiatan usaha yang diwajibkan untuk memiliki AMDAL/UKL-UPL pada dasarnya wajib untuk memiliki izin lingkungan dan izin usaha. Kedua izin tersebut perlu melewati prosedur yang telah tertuang dalam peraturan pemerintah. Dalam praktek, tidak semua prosedur tersebut dilaksanakan sebelum akhirnya memperoleh izin yang dimaksud. Salah satu izin yang penting namun banyak dilewatkan untuk mencegah terjadinya konflik SDA adalah memberi ruang peran serta masyarakat.. . Penyempitan ruang lingkup hak Penyangkalan hak dan penyimpangan pelaksanaan prosedur pemberian izin di atas pada dasarnya merupakan penyempitan 12.

(8) . dari ruang lingkup hak-hak yang dimiliki masyarakat. Dalam hal peran serta, misalnya, hak masyarakat dianggap telah terpenuhi sejauh telah dilaksanakan sosialisasi ataupun konsultasi yang pada dasarnya tidak berpengaruh terhadap hasil atau keputusan akhir. Sementara itu terkait hak tenurial, ia sering dipahami sebatas hak pemanfaatan tanpa kepemilikan, atau sebaliknya hak kepemilikan tanpa akses terhadap pemanfaatan.. hari, maupun sebagai alat produksi (misalnya dengan menanam karet, coklat, nanas, kelapa hibrida, serta berbagai jenis sayur-sayuran). Perolehan nilai ekonomi dari lahan gambut tersebut berpeluang terancam dengan diundangan-undangkannya RPP Gambut ini, khususnya apabila tidak dibuka ruang yang memadai bagi masyarakat untuk berpartisipasi dalam setiap tahapannya.. Penyusunan peraturan perundang-undangan yang bersifat topdown. II. Ruang Lingkup dan Cakupan Isi RPP Gambut. Apabila beberapa poin di atas lebih banyak menyangkut pada pelaksanaan peraturan perundang-undangan yang diselewengkan, poin terakhir ini menekankan pada pentingnya pembuatan peraturan perundang-undangan yang berakar pada aspirasi masyarakat. Draft peraturan perundang-undangan yang tidak sesuai dengan kepentingan masyarakat, baik karena lalai untuk dilibatkan, maupun dengan sengaja disingkirkan dari proses partisipasi karena bermainnya berbagai kepentingan politik, rentan berujung pada konflik SDA di masyarakat. Bentuk penyingkirannya pun bermacam-macam. Salah satu yang paling umum adalah permainan kata-kata dalam teks perundangundangan yang dapat disusun sedemikian rupa sebagai upaya untuk mengimplisitkan/menenggelamkan klausul tertentu yang dapat menimbulkan kewajiban bagi pemerintah maupun berbagai kepentingan yang terkait. Dalam konteks RPP Gambut, peraturan ini juga dipandang berpotensi untuk tidak hanya melanggengkan konflik SDA yang sudah ada tetapi juga menambah beban penyelesaian konflik sebab meskipun RPP Gambut tidak mengatur status penguasaan lahan, namun ia mengatur fungsi yang dapat mempengaruhi kondisi tenurial masyarakat. Di Riau, Jambi, Sumatera Selatan, dan Kalimantan Tengah, misalnya, banyak warga yang memanfaatkan lahan gambut, baik untuk memenuhi kebutuhan sehari-. 13. Untuk mendapatkan gambaran tentang apa yang diatur oleh RPP Gambut yang menjadi objek analisis dalam tulisan ini, bagian di bawah ini memaparkan secara ringkas ruang lingkup pengaturan dan isi dari RPP Gambut. Bagian ini belum memuat analisis mendalam tentang hak-hak masyarakat adat dan lokal yang akan disajikan pada bagian berikutnya. RPP Gambut versi terakhir yang dimiliki Koalisi, yakni versi Januari 2014 terdiri atas 8 (delapan) Bab yang terbagi menjadi 47 (empat puluh tujuh) Pasal ditambah bagian Penjelasan. Selain itu, RPP ini juga memuat bagian Lampiran yang merupakan bagian integral yang tidak terpisahkan dari RPP ini, yakni Peta Indikatif Sebaran Ekosistem Gambut Nasional (lampiran peta itu sendiri belum dapat diakses). RPP ini pada dasarnya mengatur enam hal terkait perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut, yaitu: 1) perencanaan, 2) pemanfaatan, 3) pengendalian, 4) pemeliharaan, 5) pengawasan, dan 6) penegakan hukum, khususnya pengaturan mengenai sanksi administratif. Kedelapan Bab tersebut terbagi menjadi beberapa bagian yang dapat dilihat di dalam tabel berikut.. 14.

(9) Tabel 1. Isi dan Cakupan RPP Gambut Bagian. Berisikan. Menimbang Pasal-Pasal dalam UU PPLH yang menjadi landasan penetapan RPP. Pasal. Hal yang Diatur. Pasal 11. Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup, penetapan ekoregion, dan penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (RPPLH). Pasal 12. Penetapan tata cara penetapan daya dukung dan daya tampung lingkungan. Pasal 21 ayat (3) huruf f dan Pasal 21 ayat (5). Kriteria baku kerusakan lingkungan hidup termasuk di dalamnya kerusakan ekosistem gambut. Pasal 56. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Pasal 57 ayat (5). Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam. Seluruhnya Bagian. Mengingat. Peraturan PerundangUndangan yang Dirujuk. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup. Pasal 83. Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif. Pasal 5 ayat UUD 1945 tentang Pasal 5 ayat (2) yang (2) menyatakan bahwa Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.. Ketentuan Umum (3 pasal). BAB II. Perencanaan Pasal 4 (16 pasal) Pasal 5-8. BAB III. Pasal 1-3. BAB V. Hal yang Diatur Definisi dan cakupan RPP. Bagian Kesatu: Umum Bagian Kedua: Inventarisasi Ekosistem Gambut. Pasal 9-13. Bagian Ketiga: Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut. Pasal 14-19. Bagian Keempat: Penyusunan dan Penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Pemanfaatan Pasal 20 (3 pasal) Pasal 21 Pengendalian Pasal 22 (11 pasal) Pasal 23-36. Pemanfaatan Ekosistem Gambut berdasarkan rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut Pemanfaatan di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung dan budidaya Bagian Kesatu: Umum Bagian Kedua: Pencegahan Kerusakan Ekosistem Gambut. Pasal 27-29. Bagian Ketiga: Penanggulangan Kerusakan Ekosistem Gambut. Pasal 30-32. Bagian Keempat: Pemulihan. Pemeliharaan Pasal 33 dan Pencadangan Ekosistem Gambut (2 pasal) 34 Pasal 33 dan Pelestarian fungsi Ekosistem Gambut sebagai 35 pengendali dampak perubahan iklim.. BAB VI. 15. Pasal. BAB I. BAB IV Pasal 75. Berisikan. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Pengawasan. Pasal 36-39. Bagian Kesatu: Pengawasan. 16.

(10) (4 pasal) BAB VII. Sanksi Pasal 40-44 Administratif (5 pasal). Jenis-Jenis Sanksi Administratif, yang mencakup a. teguran tertulis; b. paksaan pemerintah; c. pembekuan izin lingkungan; atau d. pencabutan izin lingkungan.. BAB VIII. Ketentuan Peralihan (1 pasal). Pasal 45. Terkait izin usaha pemanfaatan Ekosistem Gambut pada fungsi lindung yang telah terbit sebelum PP berlaku dan telah beroperasi, yang telah mendapat izin usaha namun belum beroperasi, dan yang tidak menjalankan pemeliharaan fungsi hidrologis selama dua tahun berturut-turut.. BAB IX. Ketentuan Penutup (2 pasal). Pasal 46-47. Jangka waktu pentapan Peta Kesatuan Hidrologis Gambut paling lama 2 (dua) tahun sejak penetapan PP dan penetapan fungsi lindung dan budidaya Ekosistem Gambut paling lama 2 (dua) tahun setelah Peta tersebut ditetapkan.. mengelola lahan dan mengakses sumber daya alam di lahan gambut dalam rangka penghidupan mereka. Jika hak-hak masyarakat adat dan lokal ‘terlewatkan’ dalam tahapan ini, maka di tahapan-tahapan berikutnya masyarakat akan sulit menuntut pemenuhan hak-haknya. Secara umum, bagian perencanaan ini terdiri dari tiga tahap, yaitu: 1) inventarisasi Ekosistem Gambut, 2) penetapan fungsi Ekosistem Gambut, dan 3) penyusunan dan penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG). Ketiga hal ini mengikuti logika perencanaan lingkungan hidup yang diatur dalam UU PPLH. Ketiga tahapan perencanaan ini dapat dilihat di dalam gambar berikut. Masingmasing tahap perencanaan akan dijelaskan lebih lanjut di bagian selanjutnya.. Bagian di bawah ini akan memaparkan secara ringkas substansi dari enam hal/tahapan terkait perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut yang diatur dalam RPP ini dan relevansinya bagi hak-hak masyarakat adat dan lokal. 2.1 Perencanaan Bagian perencanaan adalah bagian yang sangat penting karena menentukan apakah suatu Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang menjadi unit ekologis dalam RPP ini akan ditetapkan menjadi Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung (yang tidak dapat dibuka atau dieksploitasi) atau Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya (yang dapat dieksploitasi). Bagian perencanaan ini juga sangat penting dari segi hak-hak masyarakat adat dan lokal karena mencakup komponen penetapan fungsi yang berpengaruh pada bisa-tidaknya masyarakat. 17. Gambar 1. Tahap Perencanaan dalam RPP Gambut. 18.

(11) Inventarisasi. Dalam merencanakan perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut, pertama-tama Kementerian Lingkungan Hidup akan menginventarisasi di mana saja terdapat kawasan gambut dengan berdasarkan pada Peta Indikatif Sebaran Gambut Nasional yang merupakan Lampiran RPP ini (peta belum dapat diakses). Inventarisasi tahap pertama dilakukan dengan menggunakan teknologi citra satelit atau foto udara hingga menghasilkan Peta Tentatif Kesatuan Hidrologis Gambut dengan skala 1: 250.000. Kemudian, inventarisasi akan dilanjutkan dengan melakukan survey lapangan untuk memastikan keberadaan dan luas Kesatuan Hidrologis Gambut dan karakteristik ekosistem gambut hingga menghasilkan Peta Final Kesatuan Hidrologis Gambut dengan skala 1: 250.000. Survey lapangan ini sebagian besar dilakukan untuk mengumpulkan data dan informasi terkait karakteristik fisik Ekosistem Gambut dan tidak mencantumkan secara eksplisit aspek sosial-ekonomi (misalnya apakah ada masyarakat yang mengelola gambut tersebut), kecuali dalam penyebutan data dan informasi tentang ‘penggunaan lahan’ (Pasal 7 ayat 1 huruf b nomor 4). Meskipun demikian, data dan informasi tentang penggunaan lahan ini tetap dimasukkan ke dalam kategori data dan informasi tentang karakteristik fisika, kimia, biologi, hidrotopografi, dan jenis sedimen bawah gambut (Pasal 7 ayat 1 huruf b). Peta Final Kesatuan Hidrologis Gambut ini sangat penting karena dijadikan landasan untuk menetapkan fungsi Ekosistem Gambut, apakah termasuk ke dalam fungsi lindung atau fungsi budidaya. Tahapan-tahapan inventarisasi Ekosistem Gambut dapat dilihat dalam gambar berikut.. 19. Gambar 2. Inventarisasi Ekosistem Gambut. Penetapan Fungsi. Setelah inventarisasi selesai dilakukan (paling lama dua tahun setelah RPP ini disahkan), KLH akan menetapkan fungsi Ekosistem Gambut setelah berkoordinasi dengan menteri yang menyelenggarakan urusan kehutanan (Menteri Kehutanan) dan menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang air dan penataan ruang (Menteri Pekerjaan Umum) untuk Ekosistem Gambut yang berada di dalam kawasan hutan serta menteri yang menyelenggarakan urusan di bidang air dan penataan ruang untuk Ekosistem Gambut yang berada di luar kawasan hutan. Penetapan fungsi Ekosistem Gambut ini sangat penting karena ia menentukan kawasan mana saja yang boleh dibuka dan dimanfaatkan dan kawasan mana saja yang tidak boleh dibuka dan dimanfaatkan kecuali untuk kegiatan-kegiatan tertentu yang dibatasi. Seringkali masyarakat adat dan lokal tidak mendapatkan informasi yang cukup atau diajak berdialog mengenai penetapan fungsi yang dilakukan. 20.

(12) oleh pemerintah secara top-down dan ini dapat berbahaya bagi pelaksanaan hak-hak mereka. Secara umum, Ekosistem Gambut dapat digolongkan ke dalam dua fungsi, yaitu Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung dan Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya. Menteri Lingkungan Hidup wajib menetapkan fungsi lindung Ekosistem Gambut paling sedikit 30% (tiga puluh per seratus) dari seluruh luas Kesatuan Hidrologis Gambut serta terletak pada puncak kubah Gambut dan sekitarnya (Pasal 9 ayat 3). Di luar kriteria 30% tersebut, ada empat kriteria lain yang membuat Menteri dapat menetapkan Ekosistem Gambut tertentu sebagai Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung (Pasal 9 ayat 4), yaitu di mana terdapat:. RPP ini menyatakan bahwa jika terdapat urgensi ekologis untuk mencegah atau memulihkan kerusakan lingkungan hidup pada dan/atau di sekitar Ekosistem Gambut atau untuk melakukan upaya pencadangan Ekosistem Gambut di tingkat provinsi atau kabupaten/kota, atau jika keempat kriteria di atas terpenuhi, maka gubernur atau bupati/wali kota dapat mengusulkan kepada Menteri untuk mengubah Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya menjadi Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung (Pasal 11). Selain itu, penetapan fungsi Ekosistem Gambut ini juga dijadikan bahan dalam penyusunan dan peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah beserta rencana rinciannya (Pasal 12).. a. Gambut dengan ketebalan 3 (tiga) meter atau lebih; b. Plasma nutfah spesifik dan/atau endemik; c. Spesies yang dilindungi sesuai dengan peraturan perundang-undangan; dan/atau d. Ekosistem Gambut yang berada di kawasan lindung sebagaimana ditetapkan dalam rencana tata ruang wilayah, kawasan hutan lindung, dan kawasan hutan konservasi. Di luar ketentuan 30% dan keempat kriteria di atas, Menteri menetapkan area gambut sebagai Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya. Penetapan fungsi tersebut kemudian disajikan dalam peta fungsi Ekosistem Gambut yang terdiri dari tiga Peta, yaitu Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional (dengan skala paling kecil 1: 250.000), Peta Fungsi Ekosistem Gambut Provinsi (dengan skala paling kecil 1: 100.000), dan Peta Fungsi Ekosistem Gambut Kabupaten/Kota (dengan skala paling kecil 1: 50.000).. 21. Gambar 3. Penetapan Fungsi Ekosistem Gambut. 22.

(13) Penyusunan dan Penetapan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan. Setelah Ekosistem Gambut ditetapkan fungsinya, maka disusun Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut di tiga tingkat, yaitu di tingkat nasional (oleh Menteri setelah berkoordinasi dengan Menteri Kehutanan dan Pekerjaan Umum), di tingkat provinsi (oleh Gubernur dengan rekomendasi teknis dari Menteri LH) dan di tingkat kabupaten/kota (oleh Bupati/Wali Kota dengan rekomendasi teknis dari Menteri LH). Ketiganya harus mengacu pada Peta Fungsi Ekosistem Gambut Nasional, Provinsi, dan Kabupaten/Kota yang telah ditetapkan sebelumnya. Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut tersebut paling sedikit harus mencakup empat hal (Pasal 17 ayat 1), yaitu: (1) pemanfaatan dan/atau pencadangan gambut; (2) pemeliharaan dan perlindungan kualitas dan/atau fungsi Ekosistem Gambut, (3) pengendalian, pemantauan, serta pendayagunaan dan pelestarian Ekosistem Gambut; dan (4) adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Salah satu hal yang perlu diperhatikan dalam penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut tersebut adalah sebaran penduduk (Pasal 17 ayat 2 huruf b), kearifan lokal (Pasal 17 ayat 2 huruf d), dan aspirasi masyarakat (Pasal 17 ayat 2 huruf e), tiga hal yang relevan dengan hak masyarakat adat dan lokal. 2.2 Pemanfaatan Pasal yang mengatur tentang Pemanfaatan Ekosistem Gambut hanya sedikit, yaitu dua pasal, namun penting karena mengatur tentang kegiatan pemanfaatan apa saja yang dapat dilakukan di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung dan budidaya. Pemanfaatan di fungsi lindung dibatas menjadi empat kegiatan berikut: (1) penelitian, (2) ilmu pengetahuan, (3) pendidikan, dan/atau, (4) jasa lingkungan (Pasal 21 ayat 1). Yang menarik, di bagian Penjelasan, disebutkan bahwa jasa lingkungan ini terdiri dari wisata alam terbatas dan perdagangan. karbon8. Sementara itu, pemanfaatan di fungsi budidaya lebih luas, yaitu semua kegiatan yang tercantum dalam Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut asalkan tetap menjaga fungsi hidrologis gambut (Pasal 20 ayat 3). 2.3 Pengendalian Pengendalian kerusakan Ekosistem Gambut terdiri atas tiga kegiatan, yaitu: (1) pencegahan kerusakan, (2) penanggulangan kerusakan, dan (3) pemulihan kerusakan. Bagian pertama tentang pencegahan kerusakan sangat penting secara ekologis karena mengandung ketentuan mengenai kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut yang menjadi panduan penentuan rusak tidaknya suatu Ekosistem Gambut. Kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut dibedakan bagi Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung dan fungsi budidaya (Pasal 23 ayat 2 untuk fungsi lindung dan Pasal 23 ayat 3 untuk fungsi budidaya). Selain itu, ada pengecualian bagi Ekosistem Gambut dengan fungsi budidaya yang kedalaman gambutnya kurang dari 1 meter, di mana kriteria kerusakan Ekosistem Gambutnya ditetapkan dalam izin lingkungan (Pasal 24 ayat 1 dan 2). Bagian pencegahan ini juga mengatur tentang kewajiban penanggung jawab usaha/kegiatan pemanfaatan Ekosistem Gambut yang oleh peraturan perundang-undangan diwajibkan memiliki AMDAL atau UKPUKL untuk memperoleh izin lingkungan dari Menteri, Gubernur, atau Bupati/Wali Kota (Pasal 25 ayat 1). Selain itu, bagian ini juga memuat larangan bagi setiap orang untuk melakukan beberapa hal di Ekosistem Gambut, termasuk membuka lahan di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung, membuat saluran drainase yang mengakibatkan gambut menjadi kering, membakar lahan gambut, dan/atau melakukan kegiatan lain yang menyebabkan terlampauinya kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut yang telah ditetapkan (Pasal 26).. 8. Yang tidak ada dalam RPP Gambut versi Oktober 2013 namun tiba-tiba muncul dalam RPP Gambut versi Januari 2014. 23. 24.

(14) Dalam bagian penanggulangan, diatur mengenai kewajiban penanggung jawab usaha/kegiatan pemanfaatan Ekosistem Gambut untuk menanggulangi kerusakan Ekosistem Gambut yang disebabkannya, baik di dalam maupun di luar areal usahanya sesuai dengan yang tercantum di dalam izin lingkungan, terutama kerusakan yang yang diakibatkan oleh kebakaran gambut, tereksposnya sedimen berpirit dan/atau kwarsa, keringnya gambut akibat pembangunan drainase, dan pembukaan lahan pada Ekosistem Gambut (Pasal 27 ayat 1 dan 2). Mereka juga diwajibkan untuk melakukan pemulihan, di antaranya melalui restorasi dan rehabillitasi (Pasal 30). Pasal-pasal pencegahan ini sangat penting untuk diperhatikan karena masyarakat adat dan lokal sering menjadi korban perusakan lingkungan gambut oleh pemegang izin skala besar. 2.4 Pemeliharaan Pemeliharaan Ekosistem Gambut mencakup dua hal, yaitu pencadangan Ekosistem Gambut dan pelestarian fungsi Ekosistem Gambut sebagai pengendali dampak perubahan iklim. Yang dimaksud dengan pencadangan adalah penetapan Ekosistem Gambut yang tidak dapat dikelola dalam jangka waktu tertentu, termasuk melalui moratorium pemanfaatan Ekosistem Gambut yang ditetapkan berdasarkan Peraturan Perundang-Undangan (Pasal 34 ayat 3 huruf c) seperti Inpres No. 6 tahun 2013 yang memperpanjang moratorium izin baru di kawasan hutan primer dan lahan gambut. Sementara itu, pelestarian fungsi Ekosistem Gambut sebagai pengendali dampak perubahan iklim mencakup upaya mitigasi dan adaptasi (Pasal 35) yang tidak dijabarkan lebih lanjut dalam RPP ini. 2.5 Pengawasan Bagian pengawasan mengatur tentang kewajiban Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota untuk mengawasi ketaatan Penanggung Jawab Usaha/Kegiatan Pemanfaatan Ekosistem Gambut terhadap berbagai ketentuan pemanfatan, pengendalian, dan pemeliharaan Ekosistem. 25. Gambut di atas serta berbagai persyaratan di dalam izin lingkungan (Pasal 36). Bagian ini juga mengatur tentang penetapan pejabat pengawas lingkungan hidup (Pasal 36-39). 2.6 Sanksi Administratif Bagian ini merupakan bagian yang sangat penting karena mengatur tentang penegakan hukum terhadap berbagai pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut yang telah ditetapkan di atas. Sanksi administratif yang diatur di dalam RPP ini mencakup empat hal, yaitu: (1) teguran tertulis, (2) paksaan pemerintah, (3) pembekuan izin lingkungan, atau (4) pencabutan izin lingkungan. Paksaan pemerintah dikhususkan untuk setiap orang yang melakukan hal-hal yang dilarang di bagian pengendalian (Pasal 26), yaitu: (1) membuka lahan di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung, (2) membuat saluran drainase yang mengakibatkan gambut menjadi kering, (3) membakar lahan gambut, dan/atau (4) melakukan kegiatan lain yang menyebabkan terlampauinya kriteria baku kerusakan Ekosistem Gambut yang telah ditetapkan. Jika paksaan pemerintah tidak dilaksanakan, izin lingkungan Penanggung Jawab Usaha tersebut dapat dibekukan dan pada akhirnya dicabut jika ketentuan dalam pembekuan izin lingkungan tersebut tidak diindahkan (Pasal 41 ayat 1-3). Tahapan sanksi yang sama juga dikenakan untuk Penanggung Jawab Usaha yang tidak mematuhi ketentuan tentang penanggulangan kerusakan (Pasal 43) dan pemulihan kerusakan (Pasal 44). 2.7 Ketentuan Peralihan Lalu bagaimana dengan izin-izin usaha/kegiatan yang telah ada di Ekosistem Gambut sebelum PP ini diberlakukan, terutama di wilayahwilayah yang kemudian ditetapkan sebagai Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung? Sayangnya, RPP ini belum bisa menyentuh izin-izin tersebut. Dalam ketentuan peralihan, dinyatakan bahwa izin usaha dan/atau kegiatan untuk memanfaatkan Ekosistem Gambut dengan. 26.

(15) fungsi lindung yang terbit sebelum PP ini berlaku dan telah beroperasi dinyatakan tetap berlaku sampai jangka waktu izin berakhir (Pasal 45 huruf a). Tidak ada keterangan eksplisit apakah izin ini otomatis berakhir dan tidak dapat diperpanjang setelah jangka waktu tersebut terlampaui atau masih bisa diperpanjang. Hal ini dapat menimbulkan kerancuan sehingga seharusnya dinyatakan secara eksplisit bahwa izin usaha tersebut tidak dapat diperpanjang lagi. Sementara itu, masih di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung, izin usaha yang terbit sebelum PP ini diberlakuan dan belum beroperasi dinyatakan masih tetap berlaku dengan catatan harus menjaga fungsi hidrologis gambut (Pasal 45 huruf b). Ketentuan ini lebih lemah dibandingkan ketentuan peralihan di RPP versi sebelumnya (Oktober 2013) yang menyatakan bahwa untuk izin usaha yang telah terbit sebelum PP ini berlaku namun belum beroperasi (di Ekosistem Gambut dengan Fungsi Lindung), berlaku ketentuanketentuan PP ini. Ketentuan Peralihan ini hanya menyatakan bahwa jika kewajiban menjaga fungsi hidrologis tersebut tidak dilaksanakan selama 2 (dua) tahun, maka izin usaha akan dicabut oleh pemberi izin (Pasal 45 huruf c).. III. Analisis Bagian analisis ini terbagi menjadi dua, yaitu pembahasan RPP Gambut dari aspek formil dan dari aspek materiil. Dari aspek formil, bagian ini hendak memeriksa apakah prosedur penyusunan atau pembuatan RPP ini sudah sesuai dengan prosedur yang distandarkan oleh peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari aspek materiil, pembahasan difokuskan pada sejauh mana hak-hak masyarakat adat dan lokal, khususnya terkait hak-hak tenurial mereka, tercermin dalam rancangan peraturan ini dan bagaimana kondisi riil masyarakat pengelola gambut di lapangan.. 27. 3.1 Pembahasan dari Aspek Formil Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 berbunyi “Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagaimana mestinya.” Penetapan peraturan pemerintah yang dilakukan oleh presiden ini juga tertulis dalam Pasal 1 angka (5) UU No. 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang berbunyi: “Peraturan Pemerintah adalah Peraturan Perundang-undangan yang ditetapkan oleh Presiden untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.” Dari bunyi kedua pasal tersebut jelas dikatakan bahwa Peraturan Pemerintah ditetapkan untuk menjalankan Undang-Undang yang melimpahkannya. Lebih lanjut, Pasal 7 ayat (1) UU No. 12 tahun 2011 menyebutkan hierarki dan kedudukan UU yang lebih tinggi dari PP. Berikut jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan selengkapnya: Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat; Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang; Peraturan Pemerintah; Peraturan Presiden; Peraturan Daerah Provinsi; dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota. Sementara itu, Pasal 12 UU No. 12 tahun 2011 berbunyi “Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya.” Dalam penjelasannya disebutkan bahwa: “Yang dimaksud dengan “menjalankan Undang-Undang sebagaimana mestinya” adalah penetapan Peraturan Pemerintah untuk melaksanakan perintah Undang-Undang atau untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan.” UU PPLH mengamanatkan beberapa PP. Tidak ada satupun Pasal dalam UU PPLH yang mengamanatkan Pembuatan PP “Perlindungan dan. 28.

(16) Pengelolaan Gambut.” PP yang menjadi mandat UU PPLH adalah sebagai berikut: Tabel 2. Peraturan Pemerintah yang dimandatkan oleh UU PPLH Pasal. Bunyi. Pasal 11. Ketentuan lebih lanjut mengenai inventarisasi lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6, penetapan ekoregion sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 dan Pasal 8, serta RPPLH sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dan Pasal 10 diatur dalam Peraturan Pemerintah.. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penetapan daya dukung dan daya 12 ayat tampung lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dalam (4) peraturan pemerintah. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penyelenggaraan KLHS diatur dalam 18 ayat Peraturan Pemerintah. (2) Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai baku mutu lingkungan hidup sebagaimana 20 ayat dimaksud pada ayat (2) huruf a, huruf c, huruf d, dan huruf g diatur dalam (4) Peraturan Pemerintah. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai kriteria baku kerusakan lingkungan hidup 21 ayat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) diatur dengan atau (5) berdasarkan Peraturan Pemerintah. Pasal 33. Ketentuan lebih lanjut mengenai amdal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 22 sampai dengan Pasal 32 diatur dalam Peraturan Pemerintah.. Pasal 41. Ketentuan lebih lanjut mengenai izin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 36 sampai dengan Pasal 40 diatur dalam Peraturan Pemerintah.. 53. dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah.. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pemulihan fungsi lingkungan hidup 54 ayat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (3) Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai dana penjaminan sebagaimana dimaksud pada 55 ayat ayat (1) sampai dengan ayat (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (4) Pasal 56. Ketentuan lebih lanjut mengenai pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 sampai dengan Pasal 55 diatur dalam Peraturan Pemerintah.. Pasal 57. Ketentuan lebih lanjut mengenai konservasi dan pencadangan sumber daya alam serta pelestarian fungsi atmosfer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan B3 sebagaimana dimaksud pada 58 ayat ayat (1) diatur dalam Peraturan Pemerintah. (2) Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan limbah B3 diatur dalam Peraturan 59 ayat Pemerintah. (7) Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara dan persyaratan dumping limbah atau 61 ayat bahan diatur dalam Peraturan Pemerintah. (3) Pasal 75. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai instrumen ekonomi lingkungan hidup 43 ayat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 dan Pasal 43 ayat (1) sampai dengan ayat (4) (3) diatur dalam Peraturan Pemerintah.. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pengangkatan pejabat pengawas lingkungan hidup dan tata cara pelaksanaan pengawasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71 ayat (3), Pasal 73, dan Pasal 74 diatur dalam Peraturan Pemerintah.. Pasal 83. Ketentuan lebih lanjut mengenai sanksi administratif diatur dalam Peraturan Pemerintah.. Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai analisis risiko lingkungan hidup diatur dalam 47 ayat Peraturan Pemerintah. (3). Pasal Ketentuan lebih lanjut mengenai lembaga penyedia jasa penyelesaian sengketa 86 ayat lingkungan hidup diatur dengan Peraturan Pemerintah. (3). Pasal. Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penanggulangan pencemaran. 29. 30.

(17) Meski demikian, Maria Farida Indrati Soeprapto dalam bukunya yang berjudul Ilmu Perundang-Undangan Dasar-Dasar dan Pembentukannya berpendapat bahwa9: “PP dapat menyelenggarakan pengaturan lebih lanjut ketentuan lain dalam UU yang mengatur meskipun tidak tegas-tegas menyebutnya. Menurutnya, apabila suatu masalah di dalam suatu UU memerlukan pengaturan lebih lanjut, sedangkan di dalam ketentuannya tidak menyebutkan secara tegas-tegas untuk diatur dengan PP, maka PP dapat mengaturnya lebih lanjut sepanjang hal itu merupakan pelaksanaan lebih lanjut Undang-Undang tersebut.”. Mengenai materi muatan dalam PP, Maria Farida mengatakan 10: “PP adalah peraturan yang dibentuk sebagai peraturan yang menjalankan UU, atau peraturan yang dibentuk agar ketentuan dalam undang-Undang dapat berjalan. PP dibentuk oleh presiden dan berfungsi menyelenggarakan ketentuan dalam UU, baik secara tegas-tegas maupun secara tidak tegas-tegas menyebutnya. Oleh karena itu, berbicara mengenai materi muatan, materi muatan PP adalah keseluruhan materi muatan UU yang dilimpahkan kepadanya, atau dengan perkataan lain materi muatan PP adalah sama dengan materi muatan UU sebatas pada yang dilimpahkan kepadanya.”. Pendapat Maria Farida tersebut sesuai dengan bunyi penjelasan UU No. 12 tahun 2011 yang menyatakan bahwa "penetapan Peraturan Pemerintah ..... untuk menjalankan Undang-Undang sepanjang diperlukan dengan tidak menyimpang dari materi yang diatur dalam Undang-Undang yang bersangkutan." Meskipun materi RPP Gambut tidak dapat dikatakan ‘menyimpang’ dari muatan UU PPLH, ada kejanggalan logika yang digunakan pemerintah 9. Maria Farida Indrati Soeprapto, Ilmu Perundang-Undangan: Pembentukannya (Jakarta: Kanisius, 1998), h. 116. 10 Ibid., h. 131. 31. Dasar-Dasar. terkait PP mana yang harus disusun dan dikeluarkan terlebih dahulu. UU PPLH mengamanatkan dilakukan inventarisasi lingkungan hidup terlebih dahulu, diikuti dengan penetapan kawasan ekoregion, yang kemudian dilanjutkan dengan penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, di mana Ekosistem Gambut menjadi bagiannya. Dengan menyusun RPP Gambut terlebih dahulu, pemerintah menjungkirbalikan logika tersebut, di mana perencanaan Ekosistem Gambut yang lebih spesifik diatur lebih dulu dan perencanaan lingkungan hidup yang lebih umum diatur kemudian. Hal ini beresiko membuat perlindungan dan pengelolaan berbagai Ekosistem dalam konteks perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup menjadi terpecah-pecah bagaikan potongan-potongan puzzle yang satu sama lain bisa jadi hilang keterkaitannya. Keterpecahan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup ini justru merupakan sesuatu yang berusaha dihindarkan dan diatasi oleh UU PPLH. Dari ke-21 peraturan pemerintah yang diamanatkan oleh UU PPLH, baru 2 (dua) PP yang dikeluarkan, yaitu PP tentang amdal dan izin lingkungan. PP yang bersifat ‘hulu’ dalam hal perencanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, yakni PP Inventarisasi Lingkungan Hidup, PP Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan PP Daya Dukung dan Daya Tampung Lingkungan justru belum dikeluarkan, bahkan rancangannya pun belum ada. Meskipun PP ‘hulu’-nya belum dirancang, RPP Perlindungan dan Pengelolaan Gambut yang bersifat ‘hilir’ dan lebih spesifik justru keluar terlebih dahulu. Muncul berbagai dugaan di balik hal ini, salah satunya adalah dorongan pihak-pihak tertentu yang berkepentingan dengan skema Pengurangan Emisi dari Deforestasi dan Degradasi Hutan (REDD+), khususnya aspek perdangan karbon. Dugaan ini menguat dengan ‘diselundupkannya’ perdagangan karbon dalam RPP Gambut versi Januari 2014, yakni di bagian penjelasan yang memasukkan hal tersebut sebagai bagian dari pemanfaatan terbatas di Ekosistem Gambut dengan fungsi lindung.. dan. 32.

(18) Tidak transparan dan kurang konsultatif Masyarakat sipil dan jaringan masyarakat pengelola gambut bereaksi keras terhadap RPP ini bukan hanya karena substansinya, namun utamanya karena proses penyusunannya yang tidak terbuka dan kurang konsultatif. Padahal, UU No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Perundang-Undangan menyatakan bahwa pembentukan perundangundangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Perundang-Undangan yang baik, yang meliputi asas keterbukaan (Pasal 5 huruf g).. Koalisi meskipun pada akhirnya bersedia membaginya. Bagian ‘Agenda’ dari website Kementerian Lingkungan Hidup hanya membuat satu kegiatan tentang konsultasi RPP Gambut, yakni pertemuan pembahasan RPP tertanggal 27 November 2013. Tidak ada informasi sama sekali tentang acara tersebut, siapa saja yang diundang, dan hasil konsultasinya sehingga dapat diikuti oleh publik. 3.2 Pembahasan dari Aspek Materiil a. Hak-hak tenurial masyarakat adat dan lokal dalam RPP Gambut. Penjelasan pasal tersebut menyatakan bahwa yang dimaksud dengan “asas keterbukaan” adalah bahwa dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan pengundangan bersifat transparan dan terbuka. Dengan demikian, seluruh lapisan masyarakat mempunyai kesempatan yang seluas-luasnya untuk memberikan masukan dalam Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.. Pembahasan dari aspek materiil hendak menjawab pertanyaan berikut: apakah RPP Gambut mencerminkan pengakuan dan perlindungan hak-hak tenurial masyarakat adat dan lokal, baik secara eksplisit maupun implisit? Jika ya, sejauh manakah pengakuan dan perlindungan hak-hak tenurial masyarakat adat dan lokal tersebut tercermin dalam tata kelola gambut yang dibayangkan oleh RPP ini, mulai dari tahapan perencanaan hingga penegakan hukum?. Hal ini jelas tidak dipenuhi oleh pemerintah yang dalam tahap akhir penyusunan dan pembahasan RPP Gambut versi terbaru tidak melakukan konsultasi sama sekali, kecuali dengan segelintir ahli dan LSM Internasional yang kemudian dianggap telah mewakili masyarakat sipil. Konsultasi dengan masyarakat pengelola gambut pun dapat dikatakan sangat tidak memadai. Hal ini dapat dilihat dari kerasnya reaksi masyarakat pengelola gambut yang mengaku tidak tahu-menahu tentang perkembangan RPP ini dalam konsolidasi nasional yang dilaksanakan di Jakarta pada awal April 2014.. Dalam analisis ini, yang dimaksud dengan hak-hak tenurial adalah sekumpulan hak yang terkait dengan status hukum dari suatu penguasaan atas sumber daya alam (agraria).11 Hal ini tidak hanya menyangkut hak atas suatu barang, tetapi juga mencakup akses, cara, dan lama waktu yang dinikmati dari suatu barang tertentu.12 Dengan kata lain, bagian ini ingin melihat sejauh mana RPP Gambut menjamin pengakuan terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal atas tanah dan lahan mereka dan sumber daya alam di atasnya terkait dua hal, yakni penguasaan (di dalamnya termasuk kepemilikan) dan kontrol (di dalamnya termasuk akses dan pola pemanfaatan). Yang dimaksud dengan akses adalah. Seperti telah disinggung di bagian sebelumnya, proses untuk mendapatkan RPP Gambut versi terbaru pun cukup sulit. Draft terakhir yang ada di website Kementerian Lingkungan Hidup adalah versi Oktober 2013 yang ternyata bukan draft terakhir. Pemerintah pun sempat enggan untuk memberikan draft RPP terakhir versi Januari 2014 ketika diminta 33. 11. Yance Arizona, Karakter Peraturan Daerah Sumber Daya Alam: Kajian Kritis terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah dan Konstruksi Hak Masyarakat terkait Pengelolaan Hutan, (Jakarta: HuMa, 2008), h. 16. 12 Noer Fauzi dan Bachriadi dalam Yance Arizona, Karakter Peraturan Daerah Sumber Daya Alam: Kajian Kritis terhadap Struktur Formal Peraturan Daerah dan Konstruksi Hak Masyarakat terkait Pengelolaan Hutan, (Jakarta: HuMa), h. 128. 34.

(19) kemampuan untuk menggunakan tanah atau sumber daya alam lainnya, yang terkait dengan hak hukum mereka untuk memanfaatkan sumber daya.13 Selain hak-hak tenurial seperti yang didefinisikan di atas, yang juga dibahas dalam analisis ini adalah hak-hak prosedural yang mendukung terjaminnya keamanan hak-hak tenurial masyarakat adat dan lokal. Hakhak ini juga menjadi pendukung pemenuhan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, yaitu hak atas informasi, partisipasi, dan akses terhadap keadilan. Terkait pengakuan hak-hak masyarakat adat, jika kita merujuk ke belakang, Draft Naskah Akademis Pengelolaan Kawasan Gambut Berkelanjutan di Indonesia sebenarnya telah mengidentifikasi tidak adanya pengakuan hak adat dalam pengelolaan kawasan gambut sebagai salah satu hal yang membuat pengelolaan gambut di Indonesia kurang berkelanjutan.14 Oleh karena itu, Naskah Akademis ini mendorong pengakuan hak-hak masyarakat adat dalam peraturan gambut yang baru. Lalu, apakah ‘niat baik’ ini terwujudkan dalam pasal-pasal RPP Gambut yang kita bicarakan? Untuk menjawab pertanyaan ini, pertama-tama dilihat apakah pasal-pasal dalam RPP Gambut ini menyebutkan pengakuan hak-hak tenurial masyarakat adat dan lokal secara eksplisit, kemudian dilihat apakah RPP ini mencerminkan pengakuan atas hak-hak tersebut secara implisit. Aspirasi masyarakat dan kearifan lokal, cukupkah? Adalah sesuatu yang sangat disayangkan bahwa dalam bagian ‘Menimbang,’ ‘Mengingat,’ maupun seluruh pasal dan penjelasan RPP Gambut ini, tidak ada satu pun bagian yang menyebutkan pengakuan terhadap hak masyarakat adat dan lokal secara eksplisit. Bahkan, dalam 13. John W. Bruce, “Tinjauan atas Istilah Tenure,” dalam Tenure Brief No. 1, Juli 1998 (Wisconsin: University of Wisconsin, 1998), h. 1. 14 Kementerian Lingkungan Hidup, Draft Naskah Akademik, Op. cit., h. 28. 35. pasal-pasal RPP Gambut ini, kata ‘masyarakat’ hanya muncul satu kali, yakni ketika membicarakan penyusunan Rencana Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut (RPPEG), di mana ‘aspirasi masyarakat’ menjadi salah satu aspek yang perlu diperhatikan (Pasal 17 ayat 2 huruf e). ‘Aspirasi masyarakat’ dalam hal ini dapat ditafsirkan secara umum hingga turut mencakup aspirasi masyarakat adat dan lokal, namun tidak cukup kuat karena tidak mengakomodasi perbedaan, kekhasan, dan kebutuhan-kebutuhan khusus mereka. Selain itu, istilah ‘aspirasi masyarakat’ tidak dapat disamakan dengan ‘pengakuan hak’ yang sifatnya lebih fundamental. Aspirasi masyarakat dapat saja diakui namun dapat dikesampingkan dalam suatu perdebatan sedangkan hak tidak dapat dikesampingkan begitu saja tanpa upaya pemulihan, pengembalian, atau pemuasan. Selain ‘masyarakat,’ istilah lain terkait masyarakat adat dan lokal yang dicantumkan secara eksplisit dalam RPP ini adalah ‘kearifan lokal’ yang disebutkan sebanyak satu kali pada pasal yang sama, yakni ketika berbicara tentang penyusunan RPPEG. Istilah ‘kearifan lokal’ lebih dekat dengan masyarakat adat dan lokal dibandingkan dengan ‘aspirasi masyarakat’ yang terlalu umum sehingga akan dijabarkan lebih jauh dalam analisis ini. Pertama-tama, apa yang dimaksud dengan ‘kearifan lokal’ dalam RPP ini? RPP Gambut tidak memuat definisi mengenai hal tersebut, namun kita dapat melihatnya di UU PPLH yang menjadi induk RPP ini. Karena RPP Gambut adalah turunan dari UU PPLH, maka definisi kearifan lokal dan ketentuan-ketentuan terkait kearifan lokal dalam UU tersebut juga berlaku dalam pengaturan tentang gambut yang dimuat dalam RPP ini. UU PPLH mendefinisikan ‘kearifan lokal’ sebagai “nilai-nilai luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi dan mengelola lingkungan hidup secara lestari” (Pasal 1 nomor 30). Dalam konteks RPP Gambut, kearifan lokal dapat diartikan sebagai nilainilai luhur yang dimiliki dan diterapkan masyarakat adat dan lokal dalam melindungi dan mengelola Ekosistem Gambut. Nilai-nilai ini harus 36.

(20) diperhatikan ketika menyusun rencana perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut. Selain dicantumkan sebagai salah satu aspek yang perlu diperhatikan dalam menyusun RPPEG, secara lebih umum kearifan lokal juga menjadi salah satu asas dalam menjalankan perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut sebagaimana ia menjadi salah satu asas perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup (Pasal 2 huruf l UU PPLH). Hal ini bahkan dipertegas dalam salah satu asas lain, yakni asas ekoregion yang juga menyatakan keharusan memperhatikan kearifan lokal dan budaya masyarakat setempat (Pasal 2 huruf h). Dengan demikian, kearifan lokal tidak hanya harus diperhatikan ketika hendak menyusun dan mengimplementasikan RPPEG, tetapi juga dalam seluruh tahapan perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut, mulai dari tahapan perencanaan hingga penegakan hukum. Hal ini tidak tercantum secara eksplisit sehingga beresiko tenggelam dalam penafsiran sempit terhadap RPP Gambut ini. Untuk itu, keharusan memperhatikan kearifan lokal dalam setiap tahap perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut, mulai dari perencanaan hingga penegakan hukum (tidak hanya dalam penyusunan RPPEG saja) sangat penting untuk ditegaskan kembali. Yang menjadi pertanyaan kemudian adalah: apakah pengakuan terhadap kearifan lokal yang dimiliki oleh masyarakat adat dan lokal secara otomatis berarti pengakuan atas hak-hak tenurial mereka? Secara lebih kongkrit, apakah pengakuan atas kearifan lokal cukup kuat untuk mencegah masyarakat adat dan lokal kehilangan penguasaan dan akses mereka atas tanah, lahan, dan sumber daya alam serta diganggunya pola pemanfaatan lahan yang berdampak pada penghidupan mereka? Pertama, perlu diingat bahwa kearifan lokal tidak sama dengan hak atas tanah, lahan, dan sumber daya alam. Terkait hak, kearifan lokal dapat ditafsirkan sebagai hak untuk mempertahankan pola pemanfaatan tertentu yang berdasarkan nilai-nilai tradisional, termasuk di dalamnya sistem dan teknologi pengelolaan tanah, lahan, atau sumber daya alam. Dengan kata lain, pengakuan tentang kearifan lokal dapat mengakomodasi model pemanfaatan gambut yang dilakukan oleh 37. masyarakat secara lestari, termasuk misalnya apa yang mereka budidayakan di lahan gambut dan bagaimana cara pembudidayaannya. Akan tetapi, pengakuan atas kearifan lokal tidak mencakup pengakuan atas penguasaan atau kepemilikan masyarakat adat dan lokal atas tanah, lahan, atau sumber daya alam itu sendiri yang cakupannya meliputi akses dan kontrol, namun lebih luas. Secara kongkrit, pengakuan atas ‘kearifan lokal’ tidak dapat mencegah dirampasnya lahan masyarakat perusahaan pemegang konsesi atau ditutupnya akses mereka terhadap Ekosistem Gambut yang menjadi ladang mata pencaharian mereka. Mengapa pengakuan hak-hak tenurial masyarakat adat dan lokal menjadi penting dalam perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut? Karena pengaturan tentang dua hal tersebut mencakup di dalamnya penetapan fungsi dan penyusunan rencana pengelolaan Ekosistem Gambut (tahap perencanaan) yang jika dilaksanakan dengan tidak memperhatikan hakhak masyarakat berpeluang membatasi atau bahkan menghilangkan hakhak masyarakat adat dan lokal atas tanah, lahan, sumber daya alam di Ekosistem Gambut. Meskipun peluang pembatasan atau penghilangan hak-hak masyarakat adat dan lokal tidak terbatas pada tahap perencanaan saja, tahap ini adalah tahap yang terpenting karena menentukan apa saja yang boleh atau tidak boleh dilakukan di lahan masyarakat yang berada di dalam Ekosistem Gambut. Dengan kata lain, penetapan fungsi dan penyusunan rencana pengelolaan dapat mempengaruhi kondisi tenurial masyarakat adat dan lokal. Jika kita membedakan antara ‘status’ dan ‘fungsi’ kawasan, dapat dikatakan bahwa RPP Gambut atau bahkan UU PPLH tidak mengatur status atau penguasaan/kepemilikan suatu lahan/kawasan bergambut, melainkan hanya mengatur fungsinya. Akan tetapi, jika kita melihat praktik tata kelola sumber daya alam di Indonesia, misalnya di sektor kehutanan, penentuan fungsi suatu kawasan dapat serta merta membatasi hak-hak masyarakat adat dan lokal sedemikian rupa hingga mempengaruhi keamanan tenurial mereka. Sebagai contoh, ditetapkannya (bahkan sekadar ditunjuknya) suatu area sebagai kawasan 38.

(21) hutan dengan fungsi lindung atau konservasi otomatis membuat pendudukan dan pemanfaatan lahan oleh masyarakat adat dan lokal menjadi tindakan kriminal. Terkait hal ini, perlu diingat bahwa sebagian besar lahan gambut di Indonesia berada dalam kawasan hutan (yang terbalak)15 sehingga berlaku rezim hukum kehutanan yang dalam implementasinya telah banyak mendulang konflik. Dengan membatasi diri pada sekadar pengakuan kearifan lokal, RPP Gambut ini tidak memiliki daya apapun untuk memperbaiki apa yang salah dalam pengelolaan SDA terkait gambut sebelumnya yang banyak menghilangkan hak-hak masyarakat adat dan lokal atas tanah, lahan, dan sumber daya alam. Lebih jauh lagi, tanpa aturan pengaman yang dibuat eksplisit, penentuan fungsi dan penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut justru berpeluang menambah konflik sumber daya alam, khususnya konflik pemanfaatan.. dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi (Pasal 63 ayat 2 huruf n) dan pemerintah kabupaten/kota melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota (Pasal 63 ayat 3 huruf k). Dengan kata lain, pemerintah kabupaten/kota bertugas dan memiliki wewenang untuk melakukan inventarisasi atau pendataan terkait keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di daerahnya masingmasing sesuai dengan tata cara dan panduan yang telah ditetapkan oleh pemerintah pusat (Kementerian Lingkungan Hidup) dan pemerintah provinsi. Berikut adalah ruang lingkup pedoman inventarisasi yang dimaksud.. Inventarisasi konflik dan masyarakat (hukum) adat: mata rantai yang hilang? Jika kita melihat UU PPLH sebagai induk dari RPP Gambut ini, sebenarnya kita dapat melihat upaya untuk mengeksplisitkan pengakuan hak masyarakat (hukum) adat melalui proses inventarisasi keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak-hak masyarakat hukum adat, yang anehnya ‘menghilang’ dalam RPP Gambut. Dalam UU PPLH Pasal 63 ayat (1) huruf t tentang tugas dan wewenang pemerintah, disebutkan bahwa dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, pemerintah (pusat) bertugas dan berwenang untuk menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Dalam ayat berikutnya, disebutkan bahwa pemerintah provinsi menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait. Gambar 4. Ruang Lingkup Pedoman Inventarisas MHA, Kearifan Lokal, dan HakHak MHA, KLH 2011. 15. Konsorsium Central Kalimantan Peatlands Project, Tanya dan Jawab Seputar Gambut di Asia Tenggara (Jakarta: CKPP, 2008), h. 18. 39. 40.

(22) Terkait RPP Gambut, timbul kebingungan mengenai hubungan antara proses inventarisasi di atas dengan proses perencanaan perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut yang terdiri dari tiga tahap (inventarisasi, penetapan fungsi, dan penyusunan RPPEG). Hal ini disebabkan oleh ‘hilangnya’ elemen masyarakat dalam proses inventarisasi Ekosistem Gambut sebagai tahap perencanaan pertama. Di Pasal 5 ayat (1) RPP Gambut, dinyatakan bahwa Inventarisasi Ekosistem Gambut dilaksanakan melalui citra satelit dan/atau foto udara. Setelah itu, hasilnya diverifikasi melalui kegiatan survey lapangan untuk menentukan dua hal yang sepenuhnya terkait aspek ekologis, yakni keberadaan Kesatuan Hidrologis Gambut dan karakteristik ekosistem gambut yang kemudian dijadikan landasan untuk menyusun Peta Final Kesatuan Hidrologis Gambut (Pasal 6 ayat 2, 3, dan 4). Peta yang kemudian dijadikan landasan untuk menetapkan fungsi ekosistem gambut ini hanya memuat data dan informasi tentang karakteristik fisika, kimia, biologi, dan hidrotopografi KHG, di samping lokasi, keberadaan, dan luasannya (Pasal 7). Data dan informasi tentang hak-hak masyarakat adat dan lokal di atas ekosistem gambut sama sekali tidak disebut, kecuali jika dipaksakan untuk masuk ke dalam kategori ‘penggunaan lahan’ (Pasal 7 huruf b nomor 4) yang juga masuk ke dalam karakteristik fisika, kimia, biologi, dan hidrotopografi. Seharusnya, inventarisasi Ekosistem Gambut mencakup pula inventarisasi atau pendataan tentang keberadaan masyarakat adat dan lokal yang di dalamnya disertakan juga hak-hak dan kearifan lokal mereka. Meskipun pendataan tidak serta merta menjamin pengakuan, hal ini menjadi langkah awal menuju hal tersebut dan dapat ditafsirkan sebagai pengakuan implisit. Dengan dihilangkannya aspek sosial dalam tahap paling awal perencanaan perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut, muncul resiko bahwa hak-hak masyarakat adat dan lokal terkait gambut akan tenggelam dan terlewatkan dalam penyusunan rencana perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut yang menjadi langkah selanjutnya. Kekhawatiran ini semakin besar karena dalam praktiknya, tidak ada informasi mengenai kemajuan proses inventarisasi keberadaan MHA, kearifan lokal, dan hak-. 41. haknya yang menjadi kewajiban daerah. Jika penyusunan peta dan penetapan fungsi Ekosistem Gambut telah terlanjur dilakukan sementara pendataan hak-hak masyarakat adat dan lokal belum lengkap, bukan sesuatu yang tidak mungkin bahwa keberadaan mereka akan dianggap ‘terhapus’ dari peta pengelolaan gambut. Selain inventarisasi keberadaan masyarakat hukum adat, kearifan lokal, dan hak-hak masyarakat hukum adat yang tidak jelas hubungannya dengan tahapan-tahapan dalam perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut (terutama tahapan perencanaan), satu hal penting lain yang hilang dari RPP Gambut terkait inventarisasi Ekosistem Gambut adalah inventarisasi konflik. Pasal 6 ayat (2) UU PPLH secara jelas memerintahkan dilakukannya inventarisasi konflik dan penyebab konflik yang timbul akibat pengelolaan sumber daya alam sebagai bagian dari inventarisasi lingkungan hidup. Inventarisasi konflik terkait pengelolaan sumber daya alam ini penting sebagai basis data penyelesaian konflik terkait sumber daya alam/agraria. Kedua hal ini tidak dapat dipisahkan karena konflik terkait SDA, baik konflik pemanfaatan maupun penguasaan, akan berdampak pada terjaga atau tidak terjaganya lingkungan hidup. Meskipun UU PPLH jelas-jelas memerintahkan dilakukannya hal ini, inventarisasi konflik seakan ‘hilang’ dalam RPP Gambut, yang memandang Inventarisasi Ekosistem Gambut hanya dari sisi ekologis. b. Hak-hak masyarakat terkait hak tenurial dan hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat Selain hak atas tanah, lahan, dan sumber daya alam yang menjadi inti dari pembahasan di bagian sebelumnya, terdapat hak-hak lain yang juga diatur oleh UU PPLH dan berlaku pula untuk perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut. Berbagai hak yang dibahas di bawah ini adalah turunan dari hak utama yang menjiwai UU PPLH, yaitu hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat yang diakui sebagai bagian dari hak asasi manusia (Pasal 65 huruf 1):. 42.

(23) 1. hak untuk mendapatkan pendidikan lingkungan hidup, akses informasi, akses partisipasi, dan akses keadilan 2. hak untuk mengajukan usul dan/atau keberatan terhadap rencana usaha dan/atau kegiatan yang diperkirakan dapat menimbulkan dampak terhadap lingkungan hidup 3. hak untuk berperan dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan 4. hak untuk melakukan pengaduan akibat dugaan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup. Terkait hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, terdapat tiga hak prosedural yang penting untuk dibahas, yaitu hak atas akses informasi, hak atas akses partisipasi, dan hak atas akses keadilan, yang oleh Agung Wardana disebut sebagai tiga pilar hak prosedural dari hak atas lingkungan.16 Hak atas akses informasi Hak akses terhadap informasi terkait perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut merupakan hak masyarakat yang tidak dapat disangkal. Hal ini juga serta merta menimbulkan kewajiban bagi pemerintah terkait untuk menyediakan dan menyebarluaskan informasi kepada masyarakat. Masyarakat dapat menuntut informasi terkait perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut, termasuk informasi terkait penyusunan RPP Gambut itu sendiri (naskah akademik, rancangan peraturan terbaru, proses konsultasi, dan sebagainya). Berbagai informasi lain yang juga penting terkait perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut adalah peta dasar sebaran gambut versi pemerintah yang dijadikan dasar inventarisasi Ekosistem Gambut serta lokasi, luas, 16. Agung Wardana, “Hak Atas Lingkungan: Sebuah Pengantar Diskusi," Jurnal Advokasi Vol. 3(2): 120-130, h. 124.. 43. dan daftar izin atau konsesi yang telah diberikan di lahan gambut, baik yang bersinggungan dengan wilayah kelola masyarakat atau tidak. Selain berkewajiban untuk memberikan informasi ketika diminta, pemerintah juga berkewajiban menyebarluaskan informasi secara aktif agar masyarakat dapat menjalankan hak-haknya terkait perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Ketika masyarakat pengelola gambut yang berpotensi terdampak oleh RPP Gambut ini merasa tidak diberikan informasi yang memadai dan tidak diajak berkonsultasi mengenai penyusunan RPP Gambut ini, mereka berhak mengajukan protes dan keberatan dan pemerintah berkewajiban memperhatikan hal tersebut. Hak atas akses partisipasi Selain akses terhadap informasi, UU PPLH mengatur pula akses terhadap partisipasi. Dalam hal ini, partisipasi tidak dipandang sebagai sekadar sebuah prosedur yang harus dilewati, melainkan sebagai hak masyarakat yang tidak dapat dihilangkan ketika sebuah keputusan terkait perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut akan diambil. Dengan demikian, masyarakat adat dan lokal yang berkepentingan terhadap Ekosistem Gambut berhak untuk menuntut hak mereka untuk berpartisipasi dalam setiap tahap perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut yang diatur oleh RPP Gambut, mulai dari tahapan perencanaan hingga penegakan hukum. Terkait hal ini, perlu digarisbawahi bahwa derajat penikmatan hak atas partisipasi dapat dinilai dalam beberapa jenjang, yang terendah adalah tidak ada partisipasi sama sekali (nonpartisipasi) dan yang tertinggi adalah kekuasaan warganegara (citizen power), di mana masyarakat benarbenar memegang kekuatan dan peluang untuk mempengaruhi pengambilan kebijakan publik. Saat ini, pemerintah cenderung menganggap bahwa hak partisipasi masayrakat telah terpenuhi jika mereka telah mengadakan sosialisasi atau konsultasi, yang dalam tangga partisipasi masih berada di level kedua, yakni tokenisme. Dalam hal ini, pemerintah membuka pintu kepada masyarakat untuk mengeluarkan pendapat dalam berbagai forum pelibatan publik namun masyarakat 44.

(24) tidak memiliki kekuatan untuk memastikan pendapatnya dijadikan pertimbangan dalam penyelenggaraan pemerintahan.17 Secara khusus, hak untuk berpartisipasi ini juga diatur dalam proses penyusunan AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) suatu kegiatan yang menjadi salah satu syarat diperolehnya izin lingkungan (Pasal 26 ayat 1). Masyarakat adat dan lokal dapat menuntut haknya untuk berpartisipasi dalam proses AMDAL dari setiap izin yang jika diberikan berpotensi mempengaruhi hak-hak mereka. Partisipasi masyarakat dalam hal ini harus dilandaskan pada prinsip pemberian informasi yang lengkap serta diberitahukan sebelum kegiatan dilaksanakan (Pasal 26 ayat 2). Siapa saja masyarakat yang wajib dilibatkan? Ada tiga kategori, yaitu 1) masyarakat yang terkena dampak, 2) pemerhati lingkungan hidup, dan 3) masyarakat yang terpengaruh oleh segala keputusan dalam proses AMDAL (Pasal 26 ayat 3). Lebih jauh lagi, hak ini juga mencakup hak masyarakat untuk menolak setiap kegiatan usaha yang dapat menyebabkan kerusakan lingkungan hidup sebagaimana tertuang dalam pasal yang menyatakan bahwa masyarakat dapat mengajukan keberatan terhadap dokumen AMDAL (Pasal 26 ayat 4).18 Selain partisipasi, diatur pula mengenai peran masyarakat dalam perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Pasal 70 menyatakan bahwa masyarakat dapat menjalankan perannya dalam bentuk: a) pengawasan sosial, b) pemberian saran, pendapat, usul, keberatan, pengaduan; dan/atau, c) penyampaian informasi dan/atau laporan. Selain diatur di dalam batang tubuh, partisipasi juga menjadi salah satu asas yang melandasi perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup itu sendiri (Pasal 2 huruf k). Dalam hal ini, setiap anggota masyarakat. didorong untuk berperan aktif dalam proses pengambilan keputusan dan pelaksanaan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, baik secara langsung maupun tidak langsung (penjelasan pasal 2 huruf k). Dengan demikian, pemerintah atau pihak lain tidak boleh menghalanghalangi masyarakat, termasuk masyarakat adat dan lokal, yang hendak menuntut haknya untuk berpartisipasi dalam perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut. Pemerintah justru harus melindungi masyarakat adat dan lokal yang bermaksud menjalankan haknya dari gangguan atau ancaman pihak lain, termasuk perusahaan pemegang izin. Hak atas akses keadilan Hak ketiga yang dimiliki oleh masyarakat adat dan lokal terkait perlindungan dan pengelolaan Ekosistem Gambut adalah hak akses terhadap keadilan. Hak ini berarti setiap masyarakat yang hak atas lingkungannya dirugikan oleh sebuah kebijakan lingkungan memiliki hak untuk menggunakan forum-forum yang tersedia untuk meminta pemulihan hak, penghentian kegiatan atau perubahan kebijakan, dan atau reparasi hak yang dapat berupa restitusi (pengembalian hak), kompensasi, dan pemuasan. Dalam memperjuangkan keadilan, masyarakat adat dan lokal tidak harus selalu ke pengadilan formal, tetapi dapat juga menggunakan forum-forum sengketa informal, misalnya peradilan adat.19 Selain ketiga hak di atas yang merupakan komponen hak prosedural dari hak atas lingkungan yang baik dan sehat, masyarakat adat dan lokal juga berhak atas hak-hak substantif terkait hak atas lingkungan sebagai berikut: 1) hak untuk hidup, 2) hak untuk mendapatkan standar hidup yang layak dan sehat, dan 3) hak untuk mendapatkan keadilan antargenernasi dan intragenerasi.20. 17. Lihat Shery R Arnstein, "A Ladder of Citizen Participation", Journal of The American Planning Association, Vol. 35 No. 4, (1969), hlm. 216-224 dalam Raynaldo Sembiring et al., Anotasi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Edisi Pertama (Jakarta: ICEL), h. 58-9. 18 Agung Wardana, Op. cit., h. 125. 45. 19. F. Francioni, “The Rights of Access to Justice under Customary International Law” dalam Francioni, (ed) Access to Justice as a Human Rights (UOP: Oxford, 2007), h. 4 dalam Agung Wardana, ibid. 20 Agung Wardana, Loc. cit. 46.

Referensi

Dokumen terkait

Perkembangan teknologi internet sebagai media promosi yang sangat murah dan menjadi peluang bisnis baru bagi suatu perusahanan untuk memperluas pemasaran dengan

Menimbang, bahwa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, berdasarkan keterangan saksi-saksi yang bersesuaian dan dihubungkan dengan keterangan terdakwa serta barang bukti,

Dalam penelitian ini, untuk mengukur keputusan nasabah dalam memilih produk Tabungan iB Hasanah digunakan Skala Likert , dimana masing-masing pertanyaan diberi skor

Pulau Lombok yang masih mempertahankan tradisi dan kebudayaan sampai sekarang,.. dimana 80% dari 3 juta jiwa penduduk yang mendiami Pulau Lombok

Kebanyakan daripada pesantren tersebut menjadi pusat orientasi (anutan) orang ramai. Sebelum komunikasi berkembang pesat seperti sekarang, institusi ini menjadi pusat

terintegrasi tersebut telah berhasil dirancang dan dibuat (Hermawan, et al., 2009; Hermawan, et al., 2010), namun masih perlu ditingkatkan kinerjanya melalui modifikasi agar

Catatan atas Laporan Keuangan Konsolidasian Interim (Unaudited) Tahun yang berakhir pada tanggal-tanggal 30 Juni 2007 dan 2006 (Dinyatakan dalam ribuan Rupiah, kecuali dinyatakan

Penilaian mutu RSTI secara umum dengan menggunakan MBNQA adalah “Organisasi RSTI menunjukkan permulaan Pendekatan (aproach) yang sistematis dalam menjawab persyaratan dasar dari