Bab 4
Analisis Sosial Ekonomi dan
Lingkungan
RPI2‐JM bidang Cipta Karya membutuhkan kajian pendukung dalam hal lingkungan dan sosial
untuk meminimalkan pengaruh negatif pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya terhadap
lingkungan permukiman baik di perkotaan maupun di perdesaan. Kajian aspek lingkungan dan sosial
meliputi acuan peraturan perundang‐undangan, kondisi eksisting lingkungan dan sosial, analisis
dengan instrumen, serta pemetaan antisipasi dan rekomendasi perlindungan lingkungan dan sosial
yang dibutuhkan.
4.1 Analisis Sosial
Aspek sosial terkait dengan pengaruh pembangunan infrastruktur bidang Cipta Karya kepada
masyarakat pada taraf perencanaan, pembangunan, maupun pasca pembangunan/pengelolaan.
Pada taraf perencanaan, pembangunan infrastruktur permukiman seharusnya menyentuh aspek‐
aspek sosial yang terkait dan sesuai dengan isu‐isu yang marak saat ini, seperti pengentasan
kemiskinan serta pengarusutamaan gender. Sedangkan pada saat pembangunan kemungkinan
masyarakat terkena dampak sehingga diperlukan proses konsultasi, pemindahan penduduk dan
pemberian kompensasi, maupun permukiman kembali. Kemudian pada pasca pembangunan atau
pengelolaan perlu diidentifikasi apakah keberadaan infrastruktur bidang Cipta Karya tersebut
membawa manfaat atau peningkatan taraf hidup bagi kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitarnya.
Dasar peraturan perundang‐undangan yang menyatakan perlunya memperhatikan aspek sosial
adalah sebagai berikut:
1. UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional: Dalam rangka
pembangunan berkeadilan, pembangunan sosial juga dilakukan dengan memberi perhatian
yang lebih besar pada kelompok masyarakat yang kurang beruntung, termasuk masyarakat
miskin dan masyarakat yang tinggal di wilayah terpencil, tertinggal, dan wilayah bencana.
Penguatan kelembagaan dan jaringan pengarusutamaan gender dan anak di tingkat nasional dan daerah, termasuk ketersediaan data dan statistik gender.
2. UU No. 2/2012 tentang Pengadaan UU No. 2/2012 tentang Pengadaan Lahan bagi
Pembangunan untuk Kepentingan Umum: Pasal 3: Pengadaan Tanah untuk Kepentingan
Umum bertujuan menyediakan tanah bagi pelaksanaan pembangunan guna meningkatkan
kesejahteraan dan kemakmuran bangsa, negara,dan masyarakat dengan tetap menjamin
kepentingan hukum Pihak yang Berhak.
3. Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2010‐2014: Perbaikan kesejahteraan rakyat dapat diwujudkan melalui sejumlah
program pembangunan untuk penanggulangan kemiskinan dan penciptaan kesempatan
kerja, termasuk peningkatan program di bidang pendidikan, kesehatan, dan percepatan
pembangunan infrastruktur dasar. Untuk mewujudkan keadilan dan kesetaraan gender,
peningkatan akses dan partisipasi perempuan dalam pembangunan harus dilanjutkan.
4. Peraturan Presiden No. 15/2010 tentang Percepatan penanggulangan Kemiskinan Pasal 1:
Program penanggulangan kemiskinan adalah kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah,
pemerintah daerah dunia usaha, serta masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan
masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan masyarakat, pemberdayaan usaha ekonomi mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka meningkatkan kegiatan ekonomi.
5. Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan
Nasional Menginstruksikan kepada Menteri untuk melaksanakan pengarusutamaan gender
guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi
atas kebijakan dan program pembangunan nasional berperspektif gender sesuai dengan
bidang tugas dan fungsi,serta kewenangan masing‐masing.
Tugas dan wewenang pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah
kabupaten/kota terkait aspek sosial bidang Cipta Karya adalah:
1. Pemerintah Pusat:
a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum yang bersifat strategis nasional
ataupun bersifat lintas provinsi.
b. Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum yangbersifat strategis
nasional ataupun bersifat lintas provinsi.
c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan
masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka
meningkatkan kegiatan ekonomi di tingkat pusat.
d. Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan nasional berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya.
2. Pemerintah Provinsi:
a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum yang bersifat regional ataupun
bersifat lintas kabupaten/kota.
b. Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum yang bersifat regional
ataupun bersifat lintas kabupaten/kota.
c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan
masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka
meningkatkan kegiatan ekonomi di tingkat provinsi.
d. Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan di tingkat provinsi berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta
Karya.
3. Pemerintah Kabupaten/Kota:
a. Menjamin tersedianya tanah untuk kepentingan umum di kabupaten/kota.
b. Menjamin tersedianya pendanaan untuk kepentingan umum di kabupaten/kota.
c. Meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin melalui bantuan sosial, pemberdayaan
masyarakat, pemberdayaan usaha mikro dan kecil, serta program lain dalam rangka
peningkatan ekonomi di tingkat kabupaten/kota.
d. Melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya perencanaan,
penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program
pembangunan di tingkat kabupaten/kota berperspektif gender, khususnya untuk bidang Cipta Karya.
4.1.1 Aspek Sosial Pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Aspek sosial pada perencanaan pembangunan bidang Cipta Karya diharapkan mampu
melengkapi kajian perencanaan teknis sektoral. Salah satu aspek yang perlu ditindak‐lanjuti adalah
isu kemiskinan sesuai dengan kebijakan internasional SDGs dan Agenda Pasca 2015, serta arahan
kebijakan pro rakyat sesuai direktif presiden.
Menurut standar BPS terdapat 14 kriteria yang dipergunakan untuk menentukan
keluarga/rumah tangga dikategorikan miskin, yaitu:
2. Jenis lantai tempat tinggal terbuat dari tanah/bambu/kayu murahan.
3. Jenis dinding tempat tinggal dari bambu/rumbia/kayu berkualitas rendah/tembok tanpa
diplester. 4. Tidak memiliki fasilitas buang air besar/bersama‐sama dengan rumah tangga lain. 5. Sumber penerangan rumah tangga tidak menggunakan listrik. 6. Sumber air minum berasal dari sumur/mata air tidak terlindung/sungai/air hujan. 7. Bahan bakar untuk memasak sehari‐hari adalah kayu bakar/arang/minyak tanah. 8. Hanya mengkonsumsi daging/susu/ayam satu kali dalam seminggu. 9. Hanya membeli satu stel pakaian baru dalam setahun. 10. Hanya sanggup makan sebanyak satu/dua kali dalam sehari. 11. Tidak sanggup membayar biaya pengobatan di puskesmas/poliklinik.
12. Sumber penghasilan kepala rumah tangga adalah: petani dengan luas lahan 500 m2, buruh
tani, nelayan, buruh bangunan, buruh perkebunan dan atau pekerjaan lainnya dengan
pendapatan dibawah Rp. 600.000,‐ per bulan.
13. Pendidikan tertinggi kepala rumah tangga: tidak sekolah/tidak tamat SD/hanya SD.
14. Tidak memiliki tabungan / barang yang mudah dijual dengan minimal Rp. 500.000,‐ seperti
sepeda motor kredit / non kredit, emas, ternak, kapal motor, atau barang modal lainnya.
Jika minimal 9 variabel terpenuhi maka suatu rumah tangga dikategorikan sebagai rumah tangga
miskin.
4.1.2 Aspek Sosial Pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya
Pelaksanaan pembangunan bidang Cipta Karya secara lokasi, besaran kegiatan, dan durasi
berdampak terhadap masyarakat. Untuk meminimalisir terjadinya konflik dengan masyarakat
penerima dampak maka perlu dilakukan beberapa langkah antisipasi, seperti konsultasi, pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan, serta permukiman kembali.
1. Konsultasi masyarakat Konsultasi masyarakat diperlukan untuk memberikan informasi
kepada masyarakat, terutama kelompok masyarakat yang mungkin terkena dampak akibat
pembangunan bidang Cipta Karya di wilayahnya. Hal ini sangat penting untuk menampung
aspirasi mereka berupa pendapat, usulan serta saran‐saran untuk bahan pertimbangan
dalam proses perencanaan. Konsultasi masyarakat perlu dilakukan pada saat persiapan
program bidang Cipta Karya, persiapan AMDAL dan pembebasan lahan.
2. Pengadaan lahan dan pemberian kompensasi untuk tanah dan bangunan Kegiatan
pengadaan tanah dan kewajiban pemberian kompensasi atas tanah dan bangunan terjadi jika
kegiatan pembangunan bidang cipta karya berlokasi di atas tanah yang bukan milik
pemerintah atau telah ditempati oleh swasta/masyarakat selama lebih dari satu tahun.
Prinsip utama pengadaan tanah adalah bahwa semua langkah yang diambil harus dilakukan
untuk meningkatkan, atau memperbaiki, pendapatan dan standar kehidupan warga yang
terkena dampak akibat kegiatan pengadaan tanah ini.
3. Permukiman kembali penduduk (resettlement) Seluruh proyek yang memerlukan pengadaan
lahan harus mempertimbangkan adanya kemungkinan pemukiman kembali penduduk sejak
tahap awal proyek. Bilamana pemindahan penduduk tidak dapat dihindarkan, rencana
pemukiman kembali harus dilaksanakan sedemikian rupa sehingga penduduk yang
terpindahkan mendapat peluang ikut menikmati manfaat proyek.Hal ini termasuk mendapat
kompensasi yang wajar atas kerugiannya, serta bantuan dalam pemindahan dan
pembangunan kembali kehidupannya di lokasi yang baru. Penyediaan lahan, perumahan,
prasarana dan kompensasi lain bagi penduduk yang dimukimkan jika diperlukan dan sesuai
persyaratan.
Permukiman kembali berupa relokasi terhadap masyarakat yang berada di zona rawan
cukup lama. Oleh sebab itu diperlukan upaya secara simultan mulai dengan melakukan pendekatan
dan pemberian informasi yang cukup dan berjenjang. Disamping itu proses kompensasi maupun
bentuk kompensasi juga memerlukan adaptasi maupun bentuk komunikasi yang efektif sehingga
program relokasi dapat berjalan baik
4.1.3 Aspek Sosial Pada Pasca Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta
Karya
Output kegiatan pembangunan bidang Cipta Karya di Kabupaten Bojonegoro akan memberi
manfaat bagi masyarakat. Manfaat tersebut antara lain yaitu:
1. Pemenuhan dalam mengakses air bersih terutama bagi masyarakat yang tinggal di wilayah
rawan air bersih; dan bagi masyarakat perkotaan lebih menjadi lebih mudah terakses dengan sistem perpipaan;
2. Akses terhadap sumber‐sumber ekonomi menjadi lebih cepat dengan adanya perbaikan jalan
lingkungan;
3. Kebutuhan terhadap tempat tinggal terpenuhi dengan penyediaan RSH dan Rusunawa yang
telah direncanakan untuk dibangun;
4. Kebutuhan terhadap sanitasi lingkungan perkotaan dapat terpenuhi yaitu dengan sistem
pengelolaan sampah dan IPAL komunal.
4.2 Analisis Lingkungan
Kajian lingkungan dibutuhkan untuk memastikan bahwa dalam penyusunan RPI2‐JM bidang
Cipta Karya oleh pemerintah kabupaten/kota telah mengakomodasi prinsip perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup. Adapun amanat perlindungan dan pengelolaan lingkungan adalah
sebagai berikut:
1. UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup: “Instrumen
pencegahan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup terdiri atas: KLHS; tata
ruang; baku mutu lingkungan hidup; kriteria baku kerusakan lingkungan hidup; amdal; UKL‐
UPL; perizinan; instrumen ekonomi lingkungan hidup; peraturan perundang‐undangan
berbasis lingkungan hidup; anggaran berbasis lingkungan hidup; analisis risiko lingkungan
hidup; audit lingkungan hidup; dan instrumen lain sesuai dengan kebutuhan dan/atau
perkembangan ilmu pengetahuan”
2. UU No. 17/2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional: “Dalam rangka
meningkatkan kualitas lingkungan hidup yang baik perlu penerapan prinsip‐prinsip
pembangunan yang berkelanjutan secara konsisten di segala bidang”
3. Peraturan Presiden No. 5/2010 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
Tahun 2010‐2014:Dalam bidang lingkungan hidup, sasaran yang hendak dicapai adalah
perbaikan mutu lingkungan hidup dan pengelolaan sumber daya alam di perkotaan dan
pedesaan, penahanan laju kerusakan lingkungan dengan peningkatan daya dukung dan daya tampung lingkungan; peningkatan kapasitas adaptasi dan mitigasi perubahan iklim”
4. Permen LH No. 9 Tahun 2011 tentang Pedoman Umum Kajian Lingkungan Hidup Strategis:
Dalam penyusunan kebijakan, rencana dan/atau program, KLHS digunakan untuk
menyiapkan alternatif penyempurnaan kebijakan,rencana dan/atau program agar dampak
dan/atau risiko lingkungan yang tidak diharapkan dapat diminimalkan
5. Permen LH No. 16 Tahun 2012 tentang Penyusunan Dokumen Lingkungan. Sebagai
persyaratan untuk mengajukan ijin lingkungan maka perlu disusun dokumen Amdal dan UKL – UPL.
Tugas dan wewenang pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan pemerintah kabupaten/kota dalam aspek lingkungan terkait bidang Cipta Karya mengacu pada UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yaitu: 1. Pemerintah Pusat a. menetapkan kebijakan nasional; b. menetapkan norma, standar, prosedur,dan kriteria; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH nasional; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai KLHS; e. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL‐UPL; f. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam nasional dan emisi gas rumah kaca; g. mengembangkan standar kerja sama;
h. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup;.
i. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai sumber daya alam hayati dan
nonhayati, keanekaragaman hayati, sumber daya genetik, dan keamanan hayati produk
rekayasa genetik;
j. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pengendalian dampak perubahan iklim
dan perlindungan lapisan ozon;
k. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai B3, limbah, serta limbah B3;
l. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai perlindungan lingkungan laut;
m. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai pencemaran dan/atau kerusakan
lingkungan hidup lintas batas negara;
n. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan nasional,
peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah;
o. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang‐undangan; p. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; q. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan antardaerah serta penyelesaian sengketa; r. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan pengelolaan pengaduan masyarakat; s. menetapkan standar pelayanan minimal; t. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup;
u. mengelola informasi lingkungan hidup nasional;
v. mengoordinasikan, mengembangkan, dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi
ramah lingkungan hidup; w. memberikan pendidikan, pelatihan,pembinaan, dan penghargaan; x. mengembangkan sarana dan standarlaboratorium lingkungan hidup; y. menerbitkan izin lingkungan; z. menetapkan wilayah ekoregion; dan aa.melakukan penegakan hukum lingkungan hidup. 2. Pemerintah Provinsi a. menetapkan kebijakan tingkat provinsi; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat provinsi; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH provinsi; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL‐UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat provinsi; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan;
g. mengoordinasikan dan melaksanakan pengendalian pencemaran dan/atau kerusakan
h. melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap pelaksanaan kebijakan, peraturan daerah, dan peraturan kepala daerah kabupaten/kota;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang‐undangan di
bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup;
j. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup;
k. mengoordinasikan dan memfasilitasi kerja sama dan penyelesaian perselisihan
antarkabupaten/antarkota serta penyelesaian sengketa;
l. melakukan pembinaan, bantuan teknis,dan pengawasan kepada kabupaten/kota di bidang
program dan kegiatan;
m. melaksanakan standar pelayanan minimal;
n. menetapkan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum adat,
kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat provinsi; o. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat provinsi; p. mengembangkan dan menyosialisasikan pemanfaatan teknologi ramah lingkungan hidup; q. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan; r. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat provinsi; dan s. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat provinsi. 3. Pemerintah Kabupaten/Kota a. menetapkan kebijakan tingkat kabupaten/kota; b. menetapkan dan melaksanakan KLHS tingkat kabupaten/kota; c. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai RPPLH kabupaten/kota; d. menetapkan dan melaksanakan kebijakan mengenai amdal dan UKL‐UPL; e. menyelenggarakan inventarisasi sumber daya alam dan emisi gas rumah kaca pada tingkat kabupaten/kota; f. mengembangkan dan melaksanakan kerja sama dan kemitraan; g. mengembangkan dan menerapkan instrumen lingkungan hidup; h. memfasilitasi penyelesaian sengketa;
i. melakukan pembinaan dan pengawasan ketaatan penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap ketentuan perizinan lingkungan dan peraturan perundang‐undangan;
j. melaksanakan standar pelayanan minimal
k. melaksanakan kebijakan mengenai tata cara pengakuan keberadaan masyarakat hukum
adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat hukum adat yang terkait dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota;
l. mengelola informasi lingkungan hidup tingkat kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan kebijakan sistem informasi lingkungan hidup tingkat
kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan, pelatihan, pembinaan, dan penghargaan;
o. menerbitkan izin lingkungan pada tingkat kabupaten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum lingkungan hidup pada tingkat kabupaten/kota.
4.2.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS)
Menurut UU No. 32/2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Kajian
Lingkungan Hidup Strategis, yang selanjutnya disingkat KLHS, adalah rangkaian analisis yang
sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk memastikan bahwa prinsip pembangunan
berkelanjutan telah menjadi dasar dan terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau
kebijakan, rencana, dan/atau program. KLHS perlu diterapkan di dalam RPI2‐JM antara lain karena:
1. RPI2‐JM membutuhkan kajian aspek lingkungan dalam perencanaan pembangunan
2. KLHS dijadikan sebagai alat kajian lingkungan dalam RPI2‐JM karena RPI2‐JM bidang Cipta Karya berada pada tataran Kebijakan/Rencana/Program.
Dalam hal ini, KLHS menerapkan prinsip‐prinsip kehati‐hatian, dimana kebijakan, rencana
dan/atau program menjadi garda depan dalam menyaring kegiatan pembangunan yang berpotensi
mengakibatkan dampak negatif terhadap lingkungan hidup KLHS disusun oleh Tim Satgas RPI2‐JM
Kabupaten/Kota dengan dibantu oleh Badan Lingkungan Hidup Daerah sebagai instansi yang
memiliki tugas dan fungsi terkait langsung dengan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup di kota/kabupaten. Koordinasi penyusunan KLHS antar instansi diharapkan dapat mendorong terjadinya
transfer pemahaman mengenai pentingnya penerapan prinsip perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup untuk mendorong terjadinya pembangunan.
Tahapan Pelaksanaan KLHS Tahapan pelaksanaan KLHS dilakukan melalui beberapa tahap yaitu :
1. Tahap ke 1, diawali dengan penapisan usulan rencana/program dalam RPI2JM per sektor
dengan mempertimbangkan isu‐isu pokok seperti : a. perubahan iklim, b. kerusakan, kemerosotan, dan/atau kepunahan keanekaragaman hayati, c. peningkatan intensitas dan cakupan wilayah bencana banjir, longsor, kekeringan, dan/atau kebakaran hutan dan lahan, d. penurunan mutu dan kelimpahan sumber daya alam, e. peningkatan alih fungsi lahan,
f. peningkatan jumlah penduduk miskin atau terancamnya keberlanjutan penghidupan
sekelompok masyarakat; dan/atau
g. peningkatan risiko terhadap kesehatan dan keselamatan manusia.
2. Tahap ke‐2 setelah penapisan terdapat dua kegiatan
Jika melalui proses penapisan di atas tidak teridentifikasi bahwa rencana/program dalam
RPI2JM tidak berpengaruh terhadap kriteria penapisan di atas maka berdasarkan Permen Lingkungan
Hidup No. 9/2011 tentang Pedoman Umum KLHS, Tim Satgas RPI2JM Kabupaten/Kota dapat
menyertakan Surat Pernyataan bahwa KLHS tidak perlu dilaksanakan, dengan ditandatangani oleh
Ketua Satgas RPI2JM dengan persetujuan BPLHD, dan dijadikan lampiran dalam dokumen RPI2JM.
Namun, jika teridentifikasi bahwa rencana/program dalam RPI2JM berpengaruh terhadap kriteria
penapisan di atas maka Satgas RPI2JM didukung dinas lingkungan hidup (BPLHD) dapat menyusun
KLHS dengan tahapan sebagai berikut:
a. Pengkajian Pengaruh KRP terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Wilayah Perencanaan,
dilaksanakan melalui 4 (empat) tahapan sebagai berikut: 1) Identifikasi Masyarakat dan Pemangku Kepentingan Lainnya 2) Identifikasi Isu Pembangunan Berkelanjutan 3) Identifikasi Kebijakan/Rencana/Program (KRP) 4) Kajian Pengaruh KRP terhadap Kondisi Lingkungan Hidup di Suatu Wilayah b. Perumusan Alternatif Penyempurnaan KRP c. Rekomendasi Perbaikan KRP dan Pengintegrasian Hasil KLHS
KLHS Kabupaten Bojonegoro yang telah disusun masih terbatas kajian terhadap Neraca
Sumber Daya Alam.Hendaknya kedepan diperlukan penyusunan KLHS terutama yang terkait
mengenai Kebijakan, Rencana, dan Program Investasi Infrastruktur Cipta Karya. KRP pada program
investasi infrastruktur cipta karya yang dinilai berdampak pada lingkungan cukup besar misalnya
pengembangan permukiman pada kawasan strategis maupun pada kebijakan pembangunan
4.2.2 AMDAL, UKL-UPL, dan SPPLH
Pengelompokan atau kategorisasi proyek mengikuti ketentuan yang telah ditetapkan dalam
Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No. 5 tahun 2012 tentang jenis rencana usaha dan/atau
kegiatan Wajib AMDAL dan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 10 Tahun 2008 Tentang
Penetapan Jenis Rencana Usaha Dan/Atau Kegiatan Bidang Pekerjaan Umum yang Wajib Dilengkapi dengan Upaya Pengelolaan Lingkungan Hidup dan Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yaitu: 1. Proyek wajib AMDAL 2. Proyek tidak wajib AMDAL tapi wajib UKL‐UPL 3. Proyek tidak wajib UKL‐UPL tapi SPPLH Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya dan batasan kapasitasnya yang wajib dilengkapi dokumen AMDAL adalah sebagai berikut :
Tabel 4.1. Penapisan Rencana Kegiatan Wajib AMDAL
Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya yang kapasitasnya masih di bawah batas wajib dilengkapi
dokumen AMDAL menjadikannya tidak wajib dilengkapi dokumen AMDAL tetapi wajib dilengkapi
dengan dokumen UKL‐UPL. Jenis kegiatan bidang Cipta karya dan batasan kapasitasnya yang wajib
dilengkapi dokumen UKL‐UPL tercermin dalam table di bawah ini :
Tabel 4.2. Penapisan Rencana Kegiatan Tidak Wajib AMDAL tapi Wajib UKL‐UPL
Jenis Kegiatan Bidang Cipta Karya yang kapasitasnya masih di bawah batas wajib dilengkapi
dokumen UKL‐UPL menjadikannya tidak wajib dilengkapi dokumen UKL‐UPL tetapi wajib dilengkapi
dengan Surat Pernyataan Kesanggupan Pengelolaan dan Pemantauan Lingkungan Hidup (SPPLH).
Bab 4 ... 1
Analisis Sosial Ekonomi dan Lingkungan ... 1
4.1 Analisis Sosial ... 1
4.1.1 Aspek Sosial Pada Perencanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya ... 2
4.1.2 Aspek Sosial Pada Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya ... 3
4.1.3 Aspek Sosial Pada Pasca Pelaksanaan Pembangunan Bidang Cipta Karya . 4 4.2 Analisis Lingkungan ... 4
4.2.1 Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) ... 6
4.2.2 AMDAL, UKL-UPL, dan SPPLH ... 8
Tabel 4.1. Penapisan Rencana Kegiatan Wajib AMDAL ... 8
Tabel 4.2. Penapisan Rencana Kegiatan Tidak Wajib AMDAL tapi Wajib UKL‐UPL ... 9