Kebijakan Sosial yang Demokratis dan Kepercayaan Publik
Abstract
Social policies act as tools for the government to express its recognition for the public welfare. Democratic social policies are very important in the context of heterogenity and dinamics of the nation’s community groups, especially in Indonesia. This paper will discuss on how local government of Solo Regency had been implemented their principles of democratic policies, and how it had been raised their public trusts. Based on qualitative method: documents analysis, FGDs, and indepth interviews, we conclude that the democratic social policy of Solo Regency had being one of the best ways to incease the public trust toward the govenrnment’s social policy due to their democratic social policy.
Katakata Kunci:
Kebijakan sosial; demokratis; kepercayaan public.
Pendahuluan
Fenomena ketegangan hingga kekerasan antara masyarakat dengan pemerintah atas suatu kebijakan makin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia akhirakhir ini. Sebagai misal, perlawanan masyarakat penggusuran tanah, kekerasan dan pertentangan aparat dengan para pedagang kaki lima dalam operasi penertiban, protes masyarakat atas ketidakadilan pembagian beras miskin dan BLT, dan sejenisnya. Mengapa ketegangan hingga kekerasan itu terjadi? Pada hakekatnya, salah satu faktor yang patut diduga sebagai penyebabnya karena kurangnya daya tanggap kebijakan atas inklusivitas lingkungan kebijakan, termasuk kelompok masyarakat penerima dampak kebijakan. Kurangnya inklusivitas kebijakan dapat dihasilkan oleh proses kebijakan yang tidak didasarkan pada input kebijakan yang demokratis, serta mengabaikan aspek deliberatif dan dialog sehingga berdampak menurunkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah.
Kebijakan sosial yang dimaksudkan di sini adalah kebijakan publik pada umumnya yang dijalankan oleh pemerintah. Kebijakan sosial, menurut Spicker (2008) dan Coffey (2004) merujuk pada (1) kebijakan dimana pemerintah mengupayakan perlindungan sosial dan kesejahteraan warga; atau (2) caracara dimana kesejahteraan dikembangkan di suatu
masyarakat, tidak terbatas pada aksi pemerintah, tetapi semua hal yang terkait pengembangan kondisi sosial ekonomi yang membentuk pembangunan kesejahteraan. Kebijakan sosial adalah seperangkat kebijakan dan aksi untuk meningkatkan social welfare dan well being. Kebijakan sosial dapat menggabungkan semua kebijakan yang berdimensi sosial, atau memiliki implikasi kesejahteraan sosial. Pada prinsipya kebijakan sosial terkait dengan kebijakan dan penyelenggaraan pelayanan sosial, seperti kesehatan, pendidikan, ketenagakerjaan, perumahan, aktivitas komunitas untuk masalahmasalah sosial (kejahatan, pengengguran, kesehatan mental, usia lanjut), serta isuisu yang membawa kesenjangan sosial, seperti gender, kemiskinan, ras.
Perangkap yang potensial membelokkan fungsi dan kemanfaatan riil kebijakan sosial adalah kelalaian dalam proses evaluasi kebijakan. Dalam proses evaluasi kebijakan titik kritisnya adalah pada bagaimana informasi tentang hasil capaian kebijakan direkam dan akan difungsikan sebagai rekomendasi lanjut kebijakan. Apabila evaluator menggunakan kerangka teknokratis, menggunakan bahasa capaian hasil sebagaimana yang diinginkan pembuat kebijakan, hal tersebut memunculkan kemungkinan bias hasil atau kekuranglengkapan potret efek kebijakan. Artikel ini akan menyajikan perlunya evaluasi kebijakan yang memperhitungkan konteks personal penerima program (personal evaluation) atas kebijakan sosial, untuk mendukung pengembangan kebijakan yang demokratis (democratic policy), dan pada ujungnya meningkatkan kepercayaan publik (public trust).
Dinamika Penelitian Kebijakan Sosial Demokratis dan Kepercayaan Publik
Kebijakan yang demokratis dapat dihasilkan oleh rekomendasi evaluasi kebijakan yang demokratis (democratic evaluation). Beberapa penelitian terdahulu menyebutkan bahwa nilai strategis evaluasi kebijakan demokratis merupakan basis pengembangan kebijakan publik yang demokratis dan pada gilirannya mendorong kapitas sosial dan kepercayaan sosial sehingga mendorong lahirnya kebijakan yang tidak kontraproduktif.
program. Tesis Kushner (2002:17) tentang evaluasi personal dalam kebijakan publik ini didasarkan dari pandangan model Democratic Evaluation dari Barry MacDonald (1976) di mana evaluasi kebijakan harus bersifat inklusif, melibatkan seluas mungkin stakeholders sebagai evaluator aktif dalam evaluasi kinerja kebijakan.
Melalui penelitiannya tentang program inovasi dalam pendidikan musik, Kushner (2002:19) mendeskripsikan teori personalisasinya, yaitu teori yang membalik hubungan antara orang dengan proyek. Ia menggunakan pandanganpandangan orang dan hidupnya sebagai lensa untuk memahami dan mengukur nilai dari suatu proyek. Asumsi yang mendasari tesis Kushner adalah tujuan dan perangkat indikator yang ditetapkan pembuat kebijakan diluar kelompok individu sasaran kebijakan dapat menjadi tak berarti (meaningless) karena nilainilai tujuan dan indikator terkait dengan kehidupan dan pemahaman orangorang yang menjadi sasaran kebijakan tersebut. Teorisasi yang ditarik dari penelitian Kushner adalah pemahaman dan pengalaman individu yang terlibat proyek kebijakan, kadang berbeda dengan tujuan kebijakan yang dirumuskan oleh pembuat kebijakan. Pengalaman dan pemahaman individu terhadap kebijakan, dapat menjadi bahan informasi kebijakan yang mungkin berbeda atau bahkan belum pernah dipikirkan oleh pembuat kebijakan selama ini.
Penelitian Howe dan Ashcraft (2005) tentang Evaluasi Pilihan Sekolah, menemukan keterbatasan dan keberhasilan dari evaluasi kebijakan secara demokratik. Howe dan Ashcraft menggunakan pendekatan demokratik deliberatif (deliberative democratic), untuk melakukan evaluasi Kebijakan Pilihan Sekolah di the Boulder Valley School District, Colorado, USA dan menemukan keterbatasan dan keberhasilan metode evaluasi demokratis dalam melakukan perubahan kebijakan, serta seberapa jauh kontekstualisasi persyaratan ideal demokratis deliberatif dapat diterapkan. Howe dan Ascraft menggunakan konsep inklusif, deliberatif, dan dialog sebagai konsepkonsep kunci penerapan evaluasi demokratis. Konsep ini menjelaskan bahwa dalam evaluasi demokratik diperlukan keterlibatan stakeholder kebijakan tanpa diskriminasi, diberi kesetaraan akses sehingga jurang “power” dapat diperkecil sedemikian rupa, atau bahkan diatasi adanya “power gap”. Namun demikian Howe dan Aschraft menemukan evaluasi demokratis efektif menyumbangkan rekomendasi perubahan kebijakan yang merupakan hasil penggalian dari kelompok suara yang tak terdengar oleh pemegang power formal kebijakan sekolah.
Halhal menonjol yang menjadi fokus pengamatan dari penelitian tersebut adalah: (1)Pelibatan stakeholder yang diakui keberadaan sebagai subyek individual; (2) Pengalaman dan pemahaman individual atas perlakuan program kebijakan dimaknai sebagai evaluasi untuk mengukur kinerja kebijakan program tersebut. Kelebihan dari penelitian tersebut adalah mampu menggugah individu yang tidak memiliki “power” mampu berbicara mengungkapkan pendapatnya untuk mengevaluasi suatu program berdasar pengalaman dan pemahamannya. Kelemahan penelitian ini karena dilakukan di masyarakat yang relatif terbuka ruang informasinya.
Kedua penelitian tersebut di atas mengungkapkan keterkaitan evaluasi kebijakan dengan pengambangan demokrasi yang lebih inklusif pada jangka panjang, jadi kontribusinya sangat luas. Keterbatasan penelitian tersebut belum menjelaskan karakteristik informan, sehingga tidak dapat diidentifikasi pada kategori informan seperti apa metode evaluasi ini lebih mudah dilakukan. Dalam ruang keterbatasan ruang informasi publik dan tingkat kepedulian dan pemahaman warga atas kebijakan publik rendah, apakah metode evaluasi ini dapat diterapkan?
Signifikansi temuan hasil penelitian diatas untuk penelitian lanjutan di Indonesia adalah perlunya dikembangkan model evaluasi kebijakan yang berbasis pada pemahaman pengalaman subyek yang menjalankan kebijakan atau yang menerima dampak kebijakan. Teori Kushner yang mengungkapkan bahwa pemahaman dan pengalaman individu yang terlibat proyek kebijakan, kadang berbeda dengan tujuan kebijakan yang dirumuskan oleh pembuat kebijakan, memperkuat alasan perlunya diteliti peluang pengembangan personal evaluation. Konteks di Indonesia, pembuatan kebijakan cenderung tehnokratis, sehingga pendefinisian tujuan dan sasaran kebijakan cenderung mengikuti pola pikir dan pengalaman pembuat kebijakan. Demikian pula evaluasi kebijakan dilakukan dengan instrumen pengukuran keberhasilan kebijakan yang ditetapkan secara tehnokratis. Dengan kondisi yang terbiasa tehnokratis, dan warga penerima kebijakan belum berada dalam deliberasi informasi, maka evaluasi kebijakan demokratis tentu menghadapi tantangan
Lahirnya Kebijakan Publik yang Demokratis
Munculnya kebijakan deliberative democratic tidak dapat dipisahkan dari sejarah pergeseran fokus analisis kebijakan. Pergeseran fokus dan kerangka analisis kebijakan dari fokus positivist ke arah post positivist, terjadi karena tiga aspek, yaitu: (1) kekecewaan terhadap pendekatan positivisme dan behavioralisme; (2) ketertarikan pada gagasan dan tehnik manajemen dan pasar; (3) perkembangan model baru dalam proses kebijakan. Parson (2006:70 76) menjelaskan sekitar tahun 1960an kekecewaan terhadap positivisme juga melahirkan pendekatan “konstruktivisme” untuk problem sosial, yaitu bahwa realitas dikonstruksi secara sosial bukan realitas obyektif.
Selain pergeseran pendekatan epistemologis, munculnya kebijakan deliberative democratic juga dipengaruhi pergeseran paradigma di ranah praktik. Sekitar tahun 19601970 an paradigma kebijakan publik menitikberatkan pada peran kekuasaan pemerintah. Ketika muncul isu pemerintah overloaded, muncul wacana kegagalan implementasi kebijakan karena keterbatasan kemampuan pemerintah. Hal ini memberi peluang untuk menggeser orientasi dengan melibatkan kekuatan lain di luar pemerintah untuk mengatasi persoalan implementasi kebijakan publik, termasuk pelibatan pasar dan masyarakat. Dalam ilmu analisis kebijakan pergeseran orientasi ini membawa wacana berkembang konsep segitiga besi, yaitu relasi pemerintahswastamasyarakat pengguna/customer (Parson, 2006:7679).
Perkembangan selanjutnya ada kekecewaan terhadap konsep segitiga besi, dan merumuskan model baru dengan menggunakan metafora jaringan dan komunitas. Selain itu juga memasukkan peran institusi dan cara institusi mempengaruhi pembuatan kebijakan dan hasil kebijakan (Parson, 2006:7779). Selanjutnya campuran dari aplikasi paradigma kritis dan model jaringan kebijakan dihasilkan teori kebijakan demokratis. Secara substantif teori kebijakan demokratis memuat substansi campuran dari paradigma kritis dan model jaringan kebijakan untuk memperkuat demokrasi.
Teori deliberatif aplikasi pemikiran kritis dalam kebijakan publik diturunkan dari pemikiran Habermasian yang didasarkan atas pemikiran: (1) pertukaran diskursus oleh beragam individu; (2) representasi publik yang luas, (3) lebih menghasilkan budaya politik dan demokrasi yang lebih sehat, meskipun ada keterbatasannya, yaitu jika sudut pandang sangat beragam dapat mengurangi derajad partisipsasi). Namun demikian model ini termasuk ideal
untuk meningkatkan legitimasi pemerintah dalam menggali evaluasi dan input kebijakan (Van der Hoff and Groothuis, 2011). Habermas dan Foucault, (dalam Parson, 2006:72) menyumbangkan pengaruhnya dengan menekankan pentingnya kebijakan publik menganalisis politik dan kebijakan sebagai model diskursus yang menyusun realitas. Konsekuensinya ketika menganalisis kebijakan perlu memahami modemode pemikiran tentang “proses” dan “problem. Pemahaman modemode pemikiran tentang proses dan problem ini menyiratkan perlunya melakukan analisis kebijakan secara demokratis, tidak elitis, karena harus memahami konteks proses dan konteks pendefisian masalah. Dengan demikian kerangka berpikir ini cenderung memuat nilainilai evaluasi kebijakan yang demokratis, karena salah satu langkah dalam analisis kebijakan adalah proses mengevaluasi kebijakan.
Dalam perkembangannya teori deliberatif mendasari perkembangan varian kebijakan demokratis (democratic policy). Paradigma ini mendasari pentingnya kebijakan yang lebih tepat sesuai kebutuhan masyarakat yang semakin terfragmentasi. Kebijakan yang demokratis hanya dapat dihasilkan dari evidence based yang diperoleh dari evaluasi kebijakan yang demokratis. Dengan demikian evaluasi kebijakan yang demokratis menjadi salah satu tahap yang dibutuhkan sebagai penopang lahirnya kebijakan sosial yang demokratis. Hal ini ditegaskan keniscayaannya karena dalam perkembangan konteks politik demokrasi, wacana kesejahteraan masyarakat dibidik juga dari demokrasi. Hasilnya adalah lahirnya democratic policy, sebagai respon atas fenomena kecenderungan elitis proses kebijakan publik yang ditengarai cenderung menguntungkan kelompok elit.
Democratic policy dikembangkan dari dasar teori deliberative policy dan colaborative policy. Deliberative policy mengembangkan praktik politik dan lembaga yang memindahkan ketidakseimbangan kekuasaan antara warga negara dan mengijinkan partisipasi bebas dan setara diantara mereka. Paradigma ini memerlukan pelibatan warga negara dalam deliberasi yang sesungguhnya, dimotivasi oleh tujuan yang mendorong ketersediaan kebutuhan publik lebih dari sekedar melibatkan mereka dalam strategi tawar menawar, yang dimotivasi oleh maksimalisasi tujuan kepentingan pribadi mereka (Howe dan Ashcraft, 2005).
mengembangkan konsep communicative rationality dari Jurgen Habermas dan transformative power of dialogue dari Bush dan Folger (1994) dalam Hajer dan Wagenaar (2003:36).
Gambar 1. Konsep Collaborative policy
Sumber: Hajer and Wagenaar (2003: 39)
Dari kerangka berpikir collaborative policy dalam gambar 1 tersebut di atas dialog yang terbentuk harus bersifat otentik dan bukan bersifat repetisi atau retoris, serta ada pemahaman tentang adanya perbedaan dan saling ketergantungan antar stakeholder. Hal ini berarti perlu pemahaman karakteristik tipikal partisipan, sehingga terbangun resiprositas (hubungan timbal balik); hubungan kerjasama baru (relationship); terbentuk proses pembelajaran antar stakeholder dan ini membantu proses dialog yang lebih efektif (learning); dan dihasilkan berbagai kreativitas yang luar biasa untuk pemecahan masalah yang ada (creativity). Jadi dalam dialog ini memerlukan adanya saling kepercayaan diantara stakeholder, gap kekuasaan diperkecil, ada pemahaman informasi yang cukup diantara stakeholder, sehingga pendapat, aspirasi, kebutuhan setiap anggota dapat disampaikan dengan terbuka, dan dapat mendengar pernyataan pendapat yang lain juga. Nampaknya proses ini memerlukan fasilitator yang mampu bersikap dan mengolah forum secara demokratis.
Dari proses tersebut dapat dihasilkan saling pemahaman tentang identitas satu dengan yang lain, berbagi makna antar stakeholder yang selanjutnya akan menjadi social capital baru dalam masyarakat yang menghasilkan inovasi baru. Pendekatan ini tidak menafikan adanya
kelemahan di dalamnya, seperti biaya mahal, butuh waktu lebih lama, dan butuh ketelatenan fasilitator yang punya kepedulian besar bagi kemandirian komunitas.
Jadi democratic policy adalah proses kebijakan yang mengupayakan keseimbangan relasi kekuasaan dalam proses kebijakan, dan berupaya menghasilkan keuntungan secara lebih luas bagi semua kelompok warganegara. Douglas Torgerson (2003) dalam Hajer and Wagenaar (2003: 135) menyatakan bahwa democratic policy memerlukan sensitivitas pada lingkungan (kontekstual), membuka jalan bagi wacana publik dan wacana kebijakan. Potensi demokrasi adalah untuk mengubah makna wacana kebijakan dan membawamya ke hubungan yang lebih dekat dengan wacana publik. Wacana kebijakan demokratis menambahkan dimensi baru ke proses kebijakan, yaitu lebih menghargai dan memberi ruang pada kekhasan konteks lokal, misalnya pertanyaan identitas, budaya, estetika, sejarah.
Pemahaman konteks lokal ini berfungsi untuk menghubungkan kebijakan dengan politik yang berlangsung. Pentingnya alasan dan argumen yang tersembunyi dalam rumusan formal kebijakan didefinisikan ulang, melalui pemahaman warga sasaran kebijakan dan aktor aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan di lapangan, untuk menemukan biasbias wacana kebijakan yang bias elit. Proses kebijakan yang dmeokratis juga melibatkan penataan kembali kekuasaan antara aktor kebijakan, peresmian bentukbentuk baru praktek demokratis dan janji umum demokrasi melalui wacana kebijakan yang semakin meluas ke kalangan warga akar rumput.
Dari karakteristik kebijakan yang demokratis tersebut, nampaknya tersedia ruang untuk pemerintah membuka ruang untuk berbagi informasi kepada masyarakat dalam rangka perlengkapanmembangun kesepahaman substansi kebijakan. Pemerintah memberi ruang pelibatan warga untuk mengkritisi wacana kebijakan. Demikian pun masyarakat mempertanyakan kembali tujuan kebijakan versi pemerintah. Warga masyarakat juga memiliki ruang mengevaluasiimplementasi dan kemanfaatan kebijakan versi warga, dalam setting pengalaman,referensi, aspirasi, dan kebutuhan riil mereka. Warga masyarakat juga memiliki ruang mengusulkan perubahan kebijakan sesuai kerangka pengalaman dan referensi mereka atas kebijakan yang pernah ada.
kepercayaan publik dapat menjadi pra kondisi dan dapat juga sebagai hasil dari kebijakan demokratis.
Evaluasi Kebijakan yang demokratis
Democratic Evaluation merupakan varian dalam kerangka analisis kebijakan deliverative democratic (paradigma kebijakan publik deliberatif). Menurut Barry MacDonald (1976) dalam Kushner (2003) evaluasi kebijakan dapat dilihat dari tiga kategori yaitu: (1) Autocratic Evaluation, evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah dan peer akademik, diterbitkan dalam jurnal akademik atau untuk pemerintah; atau validasi dan rekomendasi kebijakan; (2) Bureaucratic Evaluation, yaitu evaluasi yang dilakukan dan atas nama sistem nilai administrasi untuk pegawai pemerintah, dimana kontrol tetap dalam birokrasi yang menetapkan agenda dan memiliki kepentingan dominan dalam proses evaluasi kebijakan; (3) Democratic Evaluation, yaitu evaluasi yang melayani beragam audien, dan tidak meninggalkan jaminan demokrasi tentang pelaporan terbuka pada warga masyarakat. Birokratis tidak punya hakhak istimewa atas evaluasi agendanya, nilainilai pelaksanaaannya. pendekatan ini menekankan hak dan jaminan.
Katherine Ryan (2005) mengidentifikasi dari tulisantulisan terdahulu tentang evaluasi demokratis (democratic evaluation), untuk kepentingan analisis dapat dikenali melalui tiga pendekatan yang menekankan pada metodologi, evaluator, dan peran partisipan. Ketiga pendekatan tersebut tidak mutually exclusive (Ryan, 2005:2) , yaitu dari
a. Democratic evaluation
MacDonald (1976: 125134) mengembangkan pendekatan ini terkait dengan relasi kekuasaan (power relation) diantara stakeholder, menjembatani perspektif antara stakeholder, menyediakan informasi program yang berguna. Relasi kekuasaan (power relation), difasilitasi dengan mengurangi asimetri informasi. Evaluator berperan sebagai broker pengetahuan yang independen, dengan mengungkit hubungan distribusi kekuasaan dalam evaluasi . Redistribusi kekuasaan dicapai melalui “democratizing knowledge” dan mengikat semua stakeholder saling akuntabel. Dalam pendekatan ini, pengetahuan lokal sama dianggap nilainya dengan kekuasaan, bahkan dinilai lebih besar dari kekuasaan. b. Deliberative democratic evaluation
House & Howe (1999) mencirikan pendekatan ini dengan tiga prinsip, yaitu:
(1)Deliberation: penalaran reflektif tentang isuisu yang relevan, termasuk preferensi mengidentifikasi dan nilainilai dari semua kelompok stakeholder
(2)Inclusion:
Melibatkan semua kepentingan yang relevan, stakeholder, dan warga negara lainnya terkait masalah spesifik
(3)Dialogue: Pendekatan ini bersifat dialogis, menarik stakeholder dan evaluator dalam dialog selama proses evaluasi. Melalui dialog stakeholder kepentingan, pendapat, dan ideide dapat digambarkan lebih akurat dan lengkap
c. Communicative evaluation:
Menciptakan ruang komunikasi tentang isu kritis dan tema yang muncul dari program dan konteksnya. Suatu ruang dialog antara stakeholder lokal, dengan jaringan komunikasinya untuk berwacana tentang isu yang dievaluasi, dan menambah sirkulasi informasi melalui berbagai media sehingga memungknkan munculkan kebijakan atau program yg berbeda. Circiri daripendekatan ini adalah: (1) Evaluator berperan tidak otoritatif, sebagai pembawa informasi, sebagai factor pelancar (enabling factor) yang memperlancar komunikasi; (2) Mempedulikan dan mendasarkan pada gagasan lokal untuk membangun cara pandang (view) dan analisis; (3) Berorientasi pada tindakan (aksi); (4) Menggunakan campuran metodologi, stakeholders menjadi co evaluator, co collaborator, co partisipant; (5) Tidak menggantikan peran tradisional evalluasi sebagai sarana menemukan kebutuhan pengambil keputusan, tetapi memperdalam penilaian realitas kebijakan sesuai keunikan, membahas isu dari perspektif dan image yang berbeda.
Kushner (2000) mengembangkan pendapat Stake (1975) dan MacDonald (1975) untuk memenuhi tantangan metodologi dan respon politik supaya evaluasi responsif dan demokratis adalah melalui personalisasi evaluasi (personalizing evaluation). Personalizing evaluation adalah suatu pendekatan yang mengkombinasikan secara metodologis individualisme dengan tujuan demokratik, supaya dapat menangkap lebih banyak pandanganpandangan otentik dari pelaku dan sasaran kebijakan mengenai program dan impaknya.
Kushner (2000:11) menjelaskan prinsipprinsip dari personalizing evaluation dimulai dari pemahaman bahwa kebijakan/program mendefinisikan peran dari orang atau grup atau kejadian yang dipengaruhi oleh kebijakan tersebut. Kebijakan/program memaknai peran orang seperti yang dikehendaki oleh kebijakan. Misalnya: sebagai guru, dokter, murid dan sebagainya. Mereka menjalankan suatu program sesuai apa yang ditugaskan dalam deskripsi program. Mereka tidak dipandang sebagai seorang istri/suami, anak dari suatu keluarga. Ada sebagian eksitensi dari orangorang itu yang terabaikan ketika dilihat dalam terminologi program. Mereka hanya dilihat sebagai pelaku program, dan terabaikan sebagai agen yang lain.
Setiap orang memiliki multi agency (peran ganda) dan peran lain di luar penugasan program yang dapat berpengaruh atau dipengaruhi oleh program yang harus dijalankan. Seseorang/kelompok orang berada dalam konteks lingkungan dimana kebijakan diimplementasikan; lingkungan politik, anggota organisasi. Dalam pendekatan personalizing evaluation, untuk menilai dan memahami efektivitas program, harus memandang orangorang yang terlibat dalam program didalam kerangka keterkaitan dan ketergantungan dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, politik, dan ekonomi.
Kerangka keterkaitan dengan lingkungan tersebut melahirkan dua model aksi. Pertama, orang diasumsikan bertindak dipengaruhi oleh pengalaman dan pemahamannya tentang nilai, yaitu apa yang mendasari orang bertindak (aksi) sebagai reaksi terhadap pemberlakuan suatu program. Jadi diasumsikan aksi seseorang didasari oleh akar nilai nilai tertentu. Nilainilai tersebut berinteraksi dengan konteks kehidupan seseorang, dan dipertajam oleh pengalaman yang dialami, memunculkan kepentingan yang ingin diwujudkan, dan kemudian melahirkan aksi.
Kedua, aksi seseorang digerakkan oleh akar kepentingan. Kepentingan berpadu dalam konteks kehidupan dan pengalaman seseorang, kemudian membentuk nilainilai yang kemudian menjustifikasi apa yang akan dilakukannya.
Dari prinsipprinsip personalizing evaluation dimana memandang orangorang yang terlibat dalam program memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, politik, dan ekonomi, model evaluasi ini potensial menghasilkan keunikan. Keunikan ini karena keragaman pandangan yang diakomodir. Lingkungan yang mempengaruhi dan tingkat ketergantungan orang dengan lingkungannya. Apabila keragaman ini dimanfaatkan sebagai bahan evaluasi kebijakan, maka potensial untuk menghasilkan rekomendasi yang inovatif. Sebagaimana yang dikatakan oleh Ellison (2004:121), evaluasi kebijakan yang demokratis dapat bermanfaat untuk mengeksplorasi kebijakan inovatif, inovasi & tantangan terkait masalah dan struktur baru terutama untuk
Nilai-nilai konteks Pengalaman
Kepentingan
Aksi
kepentingan konteks Pengalaman
kasuskasus yang didesentralisasikan atau devolusi. Keragaman dan keunikan serta kebebasan ruang meggali pandangan dan pengalaman pelaku kebijakan dan penerima kebijakan dalam evaluasi demokratis juga potensial untuk dimanfaatkan sebagai tehnik untuk mengidentifikasi, menganalisis, dan mengeksplorasi ketersediaan data pada kecenderungan dan polapola yang tersebar di ranah mayor masalah, beserta peluang/tantangan yang mempengaruhinya. Proses evaluasi berakar dalam pengalaman dan sudut pandang masyarakat terkenan dampak program . mereka mempunya suara yang kuat dalam cerita mereka (storytelling) tentang program, membicarakan tentang perbedaan yang telah terjadi dalam hidup mereka, dan memberikan validasi secara publik atas temuantemuan evaluasi kebijakan. Pola evaluasi kebijakan demokratis yang mengupakan adanya perubahan relasi kekuasaan ( McDonald, 1976), membuka peluang untuk mengekplorasi proses penguatan kelembagaan dan penyusunan kebijakan yang inovatif untuk membuat keduanya efektif mencapai tujuan/perbaikan kelompok sasaran. Hal ini dimungkinkan karena partisipasi kelompok masyarakat menghasilkan umpan balik yang menguatkan perencanaan program dan aktivitas yang membantu pada level stretegis.
Evaluasi kebijakan demokratis, dan proses kebijakan demokratis pada umumnya mempunyai tingkat kesulitan tertentu. Kesulitan menghadapi pemegang kekuasaan yang tidak mempunyai pandangan keterbukaan terhadap keunikan dan keberagaman kelompok pelaku dan penerima kebijakan, sebagaimana dikemukakan oleh Douglas Torgerson dalam (Hajer, M. and Wagenaar , 2003:113). Salah satu elemen kunci keberhasilannya adalah peran kepemimpinan dalam pembentukan asetaset sosial untuk menghasilkan solusi ke inti isu publik. Tiga langkah dalam evaluasi kebijakan demokratis menurut Love dan Muggah (2005) adalah: (1) Memperdalam pemahaman masyarakat tentang aset dan kekuatan yang mereka miliki sebagai komunitas dengan cara pemetaan partisipatoris; (2) Mengevaluasi outcome dan pencapaian hasil kebijakan menurut persepsi dan pengalaman mereka sendiri (suara mereka sendiri); (3) Melakukan validasi dan penyebarluasan temuan hasil evaluasi secara demokratis.
Dalam konteks kebijakan sosial yang di susun berdasar hasi evaluasi kebijakan yang demokratis dan inklusif dalam jangka panjang akan memperkuat bangunan kepercayaan masyarakat (public trust), sebagai modal sosial yang strategis.
Kebijakan Sosial yang demokratis
Dari pembahasan sebelumnya dikemukakan bahwa kebijakan publik yang demokratis merupakan keniscayaan untuk merespon perkembangan kebutuhan publik yang semakin luas dan terfragmentasi. Kebijakan publik yang demokratis ini diperlukan untuk memberi garansi bahwa kebijakan publik tidak hanya untuk keuntungan kelompok elit, tetapi memperhitungkan latar belakang pengalaman, aspirasi dan kebutuhan kelompokkelompok masyarakat sehingga kebijakan itu dapat diimplementasikan secara inklusif.
Salah satu persoalan yang termasuk dalam public interest dan public affairs adalah masalah kesejahteraan sosial. Kebijakan publik merupakan instrumen untuk menggunakan power, sumber daya, dan sistem yang ada untuk menangani public interest dan public affairs. Kebijakan publik yang secara khusus menangani kesejahteraan sosial disebut kebijakan sosial. Dengan demikian kebijakan sosial termasuk bagian dari kebijakan publik yang secara eksplisit atau implisit membidik peningkatan kesejahteraan sosial.
Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa wacana kesejahteraan masyarakat dibidik dari sudut pandang demokrasi menuntut lahirnya kebijakan sosial yang demokratis. Kebijakan sosial yang demokratis adalah kebijakan sosial yang memuat nilai publik berbasis pada universalisme (tidak ekslusif bagi kelompok tertentu), mengutakan kerjasama (cooperation) lebih daripada kompetisi dalam penyediaan collective goods. Dengan demikian kebijakan sosial yang demokratis dapat mengurangi bias pasar bagi kelompok yang tidak mampu membayar dalam sistem transaski pasar.
Kebijakan sosial yang demokratis, juga dapat dikondisikan oleh kehadiran social policy body, yang berfungsi sebagai lembaga pengawal artikulasi nilainilai publik dan prinsipprinsip ideologis untuk menjawab kebutuhan kelompokkelompok warga secara inklusif. Contoh social policy body adalah apa yang dilakukan Welsh Assembly, di Wales, negara bagian Britania Raya (Ellison et all, 2004:125136). Social policy body membawa tiga nilai kunci, yaitu (1) universalisme; (2) keadilan; (3) koproduksi sebagai basis penyediaan barangbarang publik.
Dalam kasus di Wales, pengembangan kebijakan yang demokratis dengan nilainilai universal, berkeadilan, dan koproduksi dalam penyediaan barangbarang publik ini menghasilkan jenis kebijakan sosial yang inklusif. Kebijakan sosial inklusif dicirikan oleh cakupan pelibatan masyarakat secara lebih luas.
Kebijakan sosial berkorelasi dengan pengembangan masyarakat yang demokratis, melalui pengembangan kebijakan sosial yang inklusif. Kebijakan sosial yang inklusif adalah memfasilitasi pelibatan masyarakat akar rumput, transparansi, dan akuntabilitas dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan. Kebijakan sosial yang inklusif adalah kebijakan yang mampu melayani semua kelompok warga yang membutuhkan pelayanan tanpa diskriminasi. Kebijakan sosial yang inklusif memerlukan keaktifan peran organisasi masyarakat sipil, untuk mengeliminir adanyaa kooptasi dalam proses demokrasi deliberatif. Kebijakan sosial inklusif juga mensyaratkan adanya pengakuan adanya pluralisme dalam masyarakat multikultur (Elstub,2006:33,35)
Adesina (2007:1) mengidentifikasi ada 6 keharusan yang perlu ada untuk membangun kebijakan sosial yang inklusif, yaitu:
a. Memikirkan kembali kebijakan pengeluaran sosial bukan sebagai bantuan atau hadiah serampangan atau tidak beralasan dilakukan untuk warga negara tetapi sebagai investasi dalam pengembangan dan pembangunan bangsa atau kohesi sosial
b. Memikirkan kembali kebijakan sosial dalam dimensi kohesi sosial dan dimensi pembangunan bangsa.
c. Evaluasi kebijakan tidak hanya didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan pembuat kebijakan, tetapi harus memberi ruang pengakuan adanya keberagaman kelompok yang menjadi pelaku dan sasaran kebijakan dengan berbagai penilaian mereka atas makna kemanfaatan kebijakan bagi mereka.
d. Membangun kembali kapasitas negara dalam pembuatan kebijakan, dan kemampuannya untuk menjalankan negara, mengelola masyarakat, dan menentukan parameter kegiatan ekonomi. Relasi pemerintah – pasar masyarakat yang berlandaskan etos demokratis, etos partisipatif, bukan sekedar secara teknokratis. Hal ini berarti pemerintah harus membuka ruang untuk inisiatif sektor non pemerintah dalam proses kebijakan; pembuatan, implementasi, dan evaluasi kebijakan.
e. Kepemimpinan dan kebijakan publik yang berpihak pada kontrak sosial berbasis keadilan, persamaan, dan rasa sepenanggungan sebagai bangsa. Mobilisasi sosial sekitar nilainilai ini membutuhkan kepemimpinan dalam pemerintahan dan di masyarakat (diluar negara/pemerintah). Hal ini lebih dari sekedar negara versus masyarakat, atau negara versus pasar, tetapi juga memperluas penggunaan kebijakan sosial untuk mengaktifkan pejabat negara lembaga yang terlibat aktif dalam proses kebijakan memahami hubungan antara pengeluaran sosial dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini termasuk kepedulian masyarakat sipil mengontrol pembelanjaan sosial (social spending/social expenditure). Artinya evaluasi kebijakan alokasi penggunaan sumber daya untuk meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan tanggungjawab politik atas nilai keadilan.
Kebijakan sosial yang inklusif akan mampu melayani warga lebih luas sehingga mengurangi ketidakpuasan warga. Kepuasan warga akan membantu meningkatkan kepercayaan warga pada pemerintah sebagai aktor yang bertanggungjawab atas kebijakan sosial.
Kepercayaan Publik dan Kebijakan Sosial yang Demokratis
Kebijakan sosial demokratis dicirikan oleh pelibatan warga secara inklusif, tanpa diskriminatif. Pelibatan warga secara inklusif ini memperhatikan keragaman multi kultur yang menjadi latar belakang masyarakat sebagai pengguna kebijakan. Warga masyarakat dilibatkan dalam formulasi kebijakan sosial, mengimplementasikan, maupun evaluasi kebijakan secara otentik, bukan dibawah kondisi kooptatif. Ada fleksibilitas dalam mengidentifikasi kebutuhan, aspirasi, dan kendalakendala yang dihadapi masyarakat, terutama kelompok marginal sesuai konteks lingkungannya. Proses kebijakan sosial yang demokratis akan menghasilkan kebijakan sosial yang inklusif. Kebijakan sosial yang inklusif mendekatkan kepada masyarakat pengguna layanan sosial sehingga tingkat ketepatan untuk menjawab kebutuhan publik lebih besar. Kebijakan sosial inklusif memenuhi kebutuhan hak dasar dan kesejahteraan warga lebih adil, mengurangi efek peminggiran bagi kelompok warga negara, mengurangi perangkap pelayanan sosial yang elitis dan ekslusif. Proses kebijakan sosial yang demokratis dapat berdampak mendekatkan rasa saling mengenal dan memiliki antara masyarakat dengan pemerintah. Kedekatan rasa saling mengenal dan memiliki ini akan memperkuat kepercayaan publik pada pemerintah. Kepercayaan publik, menjadi variabel yang sangat penting untuk dikelola dalam penyelenggaraan governance, pada umumnya, dan juga pada proses kebijakan publik pada khususnya. Kepercayaan publik adalah kepercayaan warga terhadap negara dan pemerintah, termasuk di dalamnya institusi, kebijakan, dan pejabatnya.
Kepercayaan publik merupakan salah satu bentuk dari modal sosial (Putnam, 1993) memiliki dua aspek, yaitu keterlibatan dalam kegiatan publik dan kepercayaan interpersonal. Dalam konteks democratic policy, kepercayaan publik menjadi variabel determinan, bukan sekedar variabel hasil. Tingkat kepercayaan publik yang tinggi tentunya memudahkan partisipan mengungkapkan suaranya untuk menilai dampak program, dan lebih kuat partisipasinya dalam program, memudahkan penyesuaian jika terjadi konflik multi agency
(peran ganda dalam fungsi) dalam pelaksanaan program. Jadi kepercayaan publik dalam konteks kebijakan sosial berperan di hulu dan di hilir, sebagaimana diagram berikut.
Gambar 3. Posisi Kepercayaan Publik
Kepercayaan publik dapat berposisi sebgai modal (input) dalam pembuatan kebijakan sosial. Semakin tinggi kepercayaan publik, semakin mengurangi biaya transaksi dalam pembuatan kebijakan sosial. Kepercayaan publik juga akan mempengaruhi penilaian publik terhadap legitimasi dan daya guna kebijakan sosial tersebut.Persoalan berikutnya adalah bagaimana mengelola kepercayaan publik untuk kebijakan publik dan melalui kebijakan publik. Dwiyanto (2011: 368) menyitir variabel pengukur kepercayaan publik yang digunakan oleh Kim, dimana Kim telah mereview lebih dari 30 pengukuran yang digunakan peneliti sebelumnya. Kim menyimpulkan kepercayaan publik dapat diukur dalam lima variabel, yaitu komitmen yang kredibel, ketulusan, kejujuran, kompetensi, dan keadilan. Terkait proses kebijakan sosial formulasi, implementasi, dan evaluasi institusi penghasil kebijakan perlu mempertimbangkan variabelvariabel tersebut. Bouckaert dan Van de Walle (2003) dalam Dwiyanto (2011:377) mengemukakan kerangka teori Kepercayaan publik, sebagai berikut.
Tabel 1. Kerangka Teori Kepercayaan Publik
Paradigma
Penelitian Kepercayaan RendahDiagnosis Penyebab Reaksi Warga MemperbaikiObat untuk Kepercayaan
Sosiologi Distrust, ketidaknyamanan Pindah/protes/loy Penguatan modal
Institusi pembuat
sosial al; anomie sosial, norma, dan identitas sosial Ekonomi Hubungan principalagent Kerjasama dan
polarisasi Peningkatanpartisipasi Sumber: Bouckaert dan Van de Walle (2003) dalam Dwiyanto (2011:377)
Menyimak tabel 1 di atas, diperoleh gambaran tentang penyebab kepercayaan publik yang rendah kepada pemerintah, reaksi warga dan obat untuk memperbaiki kepercayaan publik. Kedua hal ini menceritakan tentang dinamika gejolak yang ada dalam diri kelompok warga sebagai tanggapan atas suatu pilihan kebijakan yang diambil pemerintah. Upaya menemukan penyebab rendahnya kepercayaan publik, akan lebih representatif jika dilakukan melalui mekanisme evaluasi kebijakan yang demokratis. Apabila dikaitkan dengan variabel pengukur kepercayaan publik maka upaya peningkatan kepercayaan publik berarti upaya peningkatan kredibilitas, ketulusan, kejujuran, kompetensi, dan keadilan (Dwiyanto, 2011: 368). Kredibilitas,ketulusan, kejujuran, kompetensi, dan keadilan dapat ditingkatkan jika ada transparansi dan relasi yang dekat antara pemerintah – warga. Kedekatan relasi ini dalam pengertian adanya ruang untuk memahami ragam aspirasi, pengalaman, dan kebutuhan warga yang perlu diselenggarakan bersama secara kooperatif antara aktor pemerintah dan non pemerintah. Dengan kata lain memerlukan upaya proses kebijakan yang demokratis, termasuk evaluasi kebijakan demokratis. Upayaupaya peningkatan kepercayaan publik yang disebutkan dalam tabel 1 di atas nampaknya memerlukan pelibatan warga pengguna kebijakan sosial secara demokratis supaya menghasilkan strategi kebijakan yang tepat sesuai kebutuhan publik, sehingga mampu menghasilkan dukungan legitimasi dan kepercayaan yang lebih besar kepada pemerintah. Dikaitkan dengan evaluasi kebijakan sosial yang demokratis, maka pembuat kebijakan perlu memberi ruang publik lebih luas untuk mengungkapkan suara publik (voice) berdasar nilai, konteks, pengalaman, dan kepentingan masingmasing kelompok, dan mengkondisikan lahirnya aksi inovatif untuk penyempurnaan kebijakan supaya lebih kredibel dan tepat guna.
Kebijakan Sosial yang Demokratis di Kota Surakarta
Interpretasi contoh penerapan kebijakan sosial yang demokratis dan dampaknya pada peningkatan kepercayaan publik yang akan di uraikan pada bagian ini merupakan inter[retasi hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih dan Hartanto (2010)1.
Pemerintah Kota Surakarta lebih mengutamakan pengelolaan kota (mulai dari pe rencanaan, implementasi, pengendalian dan evaluasi kinerja pembangunan) dengan memberi ruang partisipasi pada masyarakat secara terbuka, dan inklusif, yaitu memperhitungkan semua komponen kelompok masyarakat, termasuk kelompok marginal. Penerapan prinsip inklusif dan deliberatif nampak dalam beberapa hal berikut.
Pertama, cara bagaimana walikota dan wakil walikota membangun saluran komunikasi dan pengendalian dengan SKPD maupun dengan masyarakat untuk memperluas jangkauan akuntabilitas pemerintah pada kepentingan rakyat lebih luas, membangun sense of belonging atau rumangsa melu handarbeni atas Kota Surakarta, supaya dapat meminimalisir potensi konflik dan aksi destruktif lainnya. Pengalaman di Surakarta untuk memfasilitasi kesepakatan kesepakatan tatkala terjadi tiga polarisasi kepentingan politik. Langkah praktis penerapan prinsip inklusif, deliberatif dan dialog dilakukan dengan cara: (1) mengidentifikasi semua organisasi kelompok masyarakat, baik yang pro maupun yang potensial kontra; (2) mendatangi langsung atau mengundang kelompok yang terkena dampak langsung atau potensial berseberangan /resisten untuk berdialog; (3) mendukung gerakan masyarakat membangun networking atau persatuan dalam wadah untuk mewakili komunitas/kelompok sektoral berdialog terhadap pemerintah (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010).
Penerapan prinsip inklusif dan deliberatif juga nampak dalam upaya kepala daerah melakukan internalisasi dan instutisionalisasi pada Satuan Kerja Perangkat daerah untuk melakukan tugas dan fungsinya dengan prinsipprinsip berikut. Pertama, From top down to partnership/participatory. Prinsip ini berarti menekankan partisipasi stakeholder dibandingkan perintah dari pemerintah saja. Kedua, From bureaucratic style to entrepreneurial mindset. Cara berpikir ini menekankan pola berpikir kreatif di antara para SKPD dan pro aktif mengembangkan kerjasama dnegan pihak swasta dan masyarakat. Ketiga, From procedural attitude to endresult oriented. Perubahan dari cara berpikirr yang lambat dan berbelit, kepada
pola pikir yang responsif terhadap peluang dan berorientassi pada hasil dan kemanfaatan yang diterima masyarakat. Keempat, From partial handling to integrative solution, perubahan dari cara berpikir yang sektoral, parsial, kepada pemikiran yang komprehensif, sinergis (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010)2. Internalisasi nilainilai tersebut menunjukkan adanya kemauan untuk berubah dari pemegang otoritas menyesuaikan pemikiran kepada kebutuhan lingkungan masyarakat yang dilayani. Menurut Douglas Torgerson dalam (Hajer and Wagenaar , 2003:113) kesulitan terbesar membangun sistem kebijakan publik yang demokratik adalah menghadapi pemegang kekuasaan yang tidak mempunyai pandangan keterbukaan terhadap keunikan dan keberagaman kelompok pelaku dan penerima kebijakan. Apabila walikota mempunyai komitmen untuk merubah cara berpikir pemerintah kota Surakarta dalam melayani publik, maka hal ini menjadi modal potensial lahirnya kebijakan sosial yang demokratis.
Penerapan prinsip inklusif dan deliberatif yang ketiga nampak dalam upaya kepala daerah menggulirkan Kebijakan Sosial pro public value (pro poor, pro people, pro gender, pro job, pro environment). Perencanaan program pro public value (pro poor, pro people, pro gender, pro job, pro environment) dapat dilihat dalam programprogam pembangunan yang tercantum dalam dokumen perencanaan dan penganggaran kota (Rutiana, 2008, 2009). Prioritas pembangunan yang dicanangkan oleh walikota selama lima tahun berturutturut adalah pro ekonomi kerakyatan, pro pemenuhan pelayanan dasar kelompok miskin. Contoh program pro job, pro growthpro people sebagai berikut. Di bidang ekonomi kerakyatan, Walikota memberikan lokasi baru pada PKL yang direlokasi tanpa mengabaikan posisi kemanusiaan mereka sebagai warga kota. Pelibatan sebagai warga kota dalam proses dialogis membuktikan penerapan proses kebijakan yang demokratis. Prioritas pengembangan dan penataan pedagang pasar tradisional merupakan kebijakan yang pro ekonomi kerakyatan, berpihak pada kaum lemah dan perempuan. Pembangunan pasar tradisional akan mampu membangun kota ke arah pemberdayaan perempuan sebagai kelompok usaha. Agar pasar tradisional unggul, selain menata fisik bangunan, Walikota berusaha mengubah pola pelayanan dan perilaku pedagang: ”Kesan pasar kotor dan jorok harus diubah jadi bersih dan higienis”. Dalam lima tahun, 13 pasar tradisional berhasil dibangun (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010).
2 Keempat prinsip tersebut merupakan pemikiran Walikota yang sering disampaikan dalam pidato di depan para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah
Keberpihakan walikota untuk orang miskin di bidang kesehatan ditunjukkan dengan mengeluarkan instruksi kepada rumah sakit di seluruh Kota Surakarta agar bersedia membantu masyarakat miskin yang sakit dengan tidak memberatkan biaya pengobatan mereka, dan menekankan bahwa bagi rumah sakit yang tidak bersedia mengikuti instruksi ini akan dicabut IMBnya. Kebijakan ini menunjukkan walikota tidak terkooptasi, kolusi atau tunduk kepada pengusaha dalam menjalankan kepemimpinannya. Pemerintah kota Surakarta meluncurkan program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Solo (PKMS) pada Januari 2008. Setiap warga Solo di luar pemegang Askeskin, Askes, dan asuransi kesehatan lain bisa mendapat kartu PKMS dengan biaya dari APBD. Bagi masyarakat tidak mampu, dengan PKMS ini akan mempermudah mendapat layanan kesehatan yang terjangkau atau bahkan gratis. PKMS terdiri dari 2 jenis, yakni PKMS Silver dan PKMS Gold. PKMS Silver adalah untuk masyarakat umum, sedangkan PKMS Gold adalah fasilitas bagi masyarakat tidak mampu, apabila mendapatkan perawatan inap, pengobatannya ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Kota Surakarta. Di bidang pendidikan, Walikota merencanakan dan melaksanakan program sekolah gratis, dan beasiswa pelayanan pendidikan (sekolah plus). Program lain adalah membangun Taman Cer das bagi anakanak tak mampu untuk mengakses perpustakaan dan komputer (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010).
Pengarusutamaan pro job di sektor pendidikan nampak dalam program pengembangan pendidikan non formal untuk meningkatkan kualitas angkatan kerja yang memenuhi kebutuhan pasar. Saat ini Kota Surakarta telah memiliki Solo Techno Park (STP). STP merupakan pengembangan Surakarta Competency and Technology Center (SCTC) yang merupakan institusi diklat hasil kerjasama antara Pemerintah Kota Surakarta dengan Akademi Teknik Mesin Indonesia (ATMI). SCTC berfungsi sebagai tempat diklat pemuda penganggur sampai penyalurannya ke tempat kerja. Program ini dikatakan sebagai contoh kebijakan sosial inklusif karna bertujuan meningkatkan kemampuan kelompok warga masyarakat meningkatkan kemandirian dalam pencarian lapangan kerja dan melibatkan kolaborasi lembaga masyarakat sipil untuk menyediakan kebutuhan publik (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010).
dan aparat kantor Satpol PP yang masingmasing punya latar belakang pengalaman dan kebutuhan yang berbeda terkait penerapan kebijakkan penertiban kota dan pengaturan PKL sebagai potensi ekonomi kerakyatan. Pendekatan personal dalam jamuan makan dengan PKL sampaii 53 kali dengan para PKL termasuk salah satu contoh penerapan personal evaluation yang dilakukan untuk menilai tingkat penerimaan (acceptability) rancangan kebijakan sosial penataan PKL sebagai kebijakan yang pro job dan pro growth. Tidak ditolak kalau ada pendapat lain yang mengatakan strategi yang dilakukan pemerintah kota Surakarta ini sebagai strategi yang diatur secara tehnokratis atau patronage. Namun demikian, perlu juga dipertimbangkan pendapat Douglas Torgerson dalam (Hajer and Wagenaar , 2003:114115) yang menyatakan bahwa kecenderungan tehnokrasi dan oligarkhi akan melanggengkan dirinya. Namun demikian pergeseran dari government ke governance tidak harus berakhir di gang buntu teknokratis, melainkan perlu untuk melihat potensi demokratisasi melalui wacana kebijakan demokratis. Jadi, meskipun atmosfir tehnokratis atau oligarkhi itu ada, namum kehadiran jaringan masyarakat sipil yang kuat memiliki kemampuan mempertanyakan asumsiasumsi yang dibangun dibalik kebijakan tehnokratis. Perlu digarisbawahi, kebijakan yang tehnokratis itu tetap diperlukan dalam proses kebijakan untuk mengorganisir kesinambungan bukti dan informasi pengambilan kebijakan. Dalam kapsitas tertentu jaringan masyarakat sipil ini mampu mempertukarkan domain adminstratif dengan domain masyarakat sipil. Artinya, pada kapasitas tertentu dalam lingkup lingkungan lokal tertentu, bisa dikatakan masyarakat sipil berhasil mempengaruhi atau membuat kebijakan bagi dirinya sendiri. Inipun bisa dikatakan suatu proses kebijakan yang demokratis, karena ada substansi kemampuan mengatur atau membela kepentingannya sendiri. Tidak dipungkiri bahwa kedalaman makna demokrasi sangat dapat diperdebatkan.
Dalam kasus rembug PKL yang terjadi di kota Surakarta,pada kadar tertentu sudah menunjukan kehadiran substansi demokrasi, adanya ruang dan kemampuan kelompok PKL memperjuangkan nasibnya, hak usahanya, dan melakukan kewajibannya menghormati kepentingan publik yang lain, dengan cara bersedia untuk dipindahkan tanpa ada perlawanan. Boleh saja diperdebatkan, apakah kesediaan berpindah para PKL dengan damai ini menunjukkan proses demokrasi? Atau proses dibawah kooptasi? Pada konteks masyarakat PKL kota Surakarta, kepindahan PKL tanpa pergolakan ini dapat dinilai sebagai keberhasilan
dialog demokratis, karena apabila merunut pada sejarah sebelumnya, kelompok rawan masyarakat Solo punya kemampuan untuk membakar kota sebagai bentuk protes dan tekanan kepada pemerintah kota. Dengan demikian apabila dilihat dari hasil praktisnya, kasus penataan PKL ini bisa dikategorikan hasil dialog demokratis, meskipun derajad kualitas demokratisnya masih dapat diperdebatkan.
Penerapan prinsip inklusif, deliberatif dan dialog yang keempat nampak dalam upaya kepala daerah melakukan evaluasi kebijakan yang demokratis ala Surakarta bersama dengan kelompok masyarakat, baik Lembaga Swadaya Masyarakat, maupun organisasi/paguyuban kelompok masyarakat.
Tabel 2. Forum Penerapan prinsip inklusif, deliberatif dan dialog
Forum Tujuan Unsur yang terlibat
Mider paraja menemui masyarakat
langsung di konteks masalah sosial yang terjadi untuk triangulasi perumusan masalah kebijakan dan monitoring implementasi kebijaka
Walikota, wawali dan kepala dinas terkait, masyarakat
Njajah Praja Milang Kori Program non fomal memotret masalah masyarakat dan merekan reaksi masyarakat atas kebijakankebijakan pemerintah kota.
walikota dan wawali
Temu warga tahunan forum yang diadakan tiap tanggal yang sama dengan tanggal pelantikan walikota di ruang publik terbuka
walikota dan wawali, masyarakat umum, tanpa seleksi
SMS walikota dan wawali keluhan pelayanan publik dan kebijakan publik berbasis keluhan masyarakat
Walikota, wakil walikota, Dinas Kominfo, masyarakat umum
Pertemuan kelompok blogger Dunia luar bisa sangat kenal lingkungan Surakarta/Solo melalui informasi dunia internet
Walikota, wakil walikota, blogger
Siaran rutin di Radio 1x/mg Menyampaikan informasi program pemerintah kota dan menggali respon masyarakat
Sumber: hasil Penelitan (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010)
Pelaksanaan masingmasing forum tersebut secara riil dilakukan. Hal ini terbukti dari dokumentasi bagian humas dan Dinas komunikasi dan Informasi tentang peristiwa publik yang terjadi serta respon pemerintah kota. Bukti lainnya dapat adalah hasil wawancara dengan kelompok warga yang terkena program relokasi dan renovasi pemukiman layak huni, semua menyatakan puas dengan kebijakan sosial perumahan ini (Wahyuningsih, dan Hartanto, 2010). Informasiinformasi ini sebagai bukti bahwa pemerintah kota Surakarta dalam tingkat tertentu sudah menerapkan proses kebijakan sosial yang demokratis, dengan membuka ruang komunikasi dan informasi publik yang cukup beragam, adanya komitmen untuk mengupayakan pelayanan publik yang berpihak pada warga yang kurang mampu, yang rentan terdiskriminasi dalam mekanisme pasar.
Merujuk pada pendapat Innes, J.E. and Booher, D.E. (2003:33) pemimpin mengambil posisi yang penting dalam proses kebijakan demokratis. Peran inovatif dan responsif kepala daerah ditengarai sebagai variabel kunci dihasilkannya kebijakan sosial yang demokratis. Tidak dipungkiri adanya jebakan inovasi dan kreativitas kepala daerah sebagai pemimpin seringkali kontrapriduktif terhadap proses demokratis, dalam arti kebijakan yang diambil secara tehnokratis. Namun demikian apabila digunakan dimensi ekonomi demokrasi (Kabir Mato: 2011) kebijakan yang dilakukan walikota Surakarta dapat dikatakan memuat nilainilai dimensi ekonomi demokrasi. Dimensi ekonomi demokrasi adalah kemampuan warga untuk mencapai potensi ekonomi mereka dan hidup malampaui batas kemiskinan dan kekurangan. Ini menyangkut etika dan sifat alokasi dan distribusi kesejahteraan warga negara. Kebijakan kebijakan pemerintah kota Surakarta yang pro ekonomi kerakyatan, jaminan kesehatan, jaminan pendidikan sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan dimensi ekonomi demokrasi. Dari uraian tentang kontekstualisasi kebijakan sosial yang demokratis di kota Surakarta, bebarapa hal dapat dikatakan sebagai pelajaran kunci yang membangun kebijakan sosial yang demokratis. Pertama, Kepala Daerah bertindak responsif dan cepat jika ada laporan penyelewengan yang merugikan masyarakat. Informasi yang diperoleh dari Dinas Kominfo setiap laporan dari masyarakat lewat media masa atau sms (Short Message Service) selalu ditindaklanjuti oleh walikota dengan cara memanggil langsung kepala SKPD yang bertanggungjawab terhadap masalah tersebut. Dari mekanisme ini dapat diinterpretasikan bahwa publik memiliki ruang demokratis untuk mengevaluasi dan mengontrol kebijakan yang
dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta. Media SMS langsung ke Hot Line Pemerintah Kota ataupun SMS ke media (misalnya, Kring Solo Pos), komentar dan aduan pada waktu siaran pemerintah melalui radio atau televisi lokal dapat menjadi sarana mendapatkan persepsi, komplain, aspirasi, dan kepedulian masyaarakat atas kebijakan sosial atau kebijakan publik pada umumnya.
Kedua, Kepala Daerah membuka peluang insentif dan disinsentif untuk mendorong kreatifitas organisasi perangkat daerah melakukan terobosan/inovasi program/kegiatan pembangunan yang meningkatkan derajad kesejahteraan masayrakat. Dalam setiap pertemuan paparan Rencana Kerja SKPD walikota menjanjikan akan mengupayakan anggaran untuk membiayai programprogram besar yang sifatnya berdampak langsung pada peningkatan ekonomi masyarakat dan mendatangkan capital inflow ke kota Solo. Disinsentif dilakukan oleh walikota bagi pejabat yang dianggap tidak pro pelayanan publik, dengan cara melakukan mutasi atau pengambilalihan tanggungjawab rencana program/kegiatan. Apabila dilihat mekanisme insentif dan disinsentif ini nampaknya ada gaya otoriter. Namun dari segi kemanfaatan, tingkat cakupan pelayanan sosial warga sangat tinggi. Kondisi ini cukup representatif kalau menggunakan dimensi sosial ekonomi dari demokrasi, yaitu pengalokasian sumber daya untuk memenuhi hak dasar kelompok rentan supaya tidak terpinggirkan dalam layanan sosial . Data hingga September 2011, penerima jaminan sosial pendidikan sebanyak 21% dari jumlah warga, sedangkan untuk jaminan kesehatan mencapai 53% (www.surakarta.go.id).
Program Pemberdayaan Masyarakat berbasis Gender. Dalam APBD Perubahan 2011 dianggarkan Rp 500 juta untuk 250 rumah. Program ini nantinya juga bersinergi dengan BLUD Griya Layak Huni yang menjadi lembaga penjamin kredit kelompok penghuni rumah tak layak huni untuk renovasi rumah menjadi layak huni. Sumber dana BLUD berasal dari bantuan UN Habitat. Upaya peningkatan kapasitas ekonomi penerima subsidi RTLH dan pinjaman BLUD, dilakukan dnegan cara melatih ibuibu rumah tangga memiliki ketrampilan kerja yang dapat menambah penghasilan sehingga mampu membayar kredit tambahan biaya renovasi rumah. Pelatihan ini dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.
Variabel kedua yang mendukung pengembangan democratic social policy di Kota Surakarta adalah keaktifan kelompok masyarakat sektoral dan lembaga swadaya masyarakat mengontrol proses kebijakandari sisi perencanaan dan evaluasi hasil implementasi kebijakan. Di kota Surakarta ada perkumpulan organisasi masyarakat untuk mengawal kebijakan dan program yang berpihak pada nilainalai publik yang demokratis. Organisasi ini disebut Konsorsium Solo. Konsorsium ini merupakan jaringan organisasi non pemerintah (ornop) di Kota Surakarta yang memiliki kepedulian mewujudkan kebijakan, program dan APBD yang berpihak masyarakat miskin. Anggota Konsorsium Solo yaitu: (1)GITA PERTIWI; (2) INRES; (3) INTERAKSI; (4) JARI Orwil Jawa Tengah; (5) KOMPIP; (6) LeSKAP; (7) LPTP; (8) PATTIRO Surakarta; (8) SARI; (9) SWM; (10)SPEKHAM; (11) YAYASAN KRIDA PARAMITA; (12)YAYASAN PENGEMBANGAN PEDESAAN; (13) YAYASAN TALENTA. Konsorsium dari berbagai organisasi non pemerintah ini menjadi salah satu ukuran demokrasi secara formatif. Lembaga ini diasumsikan mampu menjembatani dialog yang otentik antara masyarakat akar rumput dengan pemerintah. Tidak menafikan adanya potensi bias lembaga non pemerintah, sama seperti bias unsur governance lain, misalnya bias pasar dan bias pemerintah. Bias lembaga non pemerintah antara lain kemungkinan konflik nilai dan kepentingan, mengingat lembaga non pemerintah minimal punya tanggung jawab kepada lima pihak yang tentunya memiliki kepentingan yang berbeda donor, klien, staf, partner, dan misi. Namun demikian kehadiran konsorsium minimal dapat menjadi kontrol internal organisasi non pemerintah ini untuk berada pada jalur pengawalan kehadiran kebijakan sosial yang demokratis beserta seluruh rangkaian prosesnya.
Variabel ketiga yang mendukung pengembangan democratic social policy di Kota Surakarta adalah power relation antara pemerintah dan masyarakat yang relatif egaliter. Relasi pemerintah kota. Mayarakat kota Surakarta terkenal sebagai masyarakat plural. Kepemimpinan yang memberi ruang komunikasi bagi masyarakat akan sangat membantu proses evaluasi kebijakan dan proses penyusunan kebijakan sosial yang demokratis. Pemerintah kota menyadari potensi ledakan masyarakat Surakarta apabila jalur komunikasi tersumbat. Kerusuhankerusuhan masa lalu yang pernah menimbulkan kerusakan parah bagi kota menjadi cermin bagi pemerintah kota. Oleh karena itu sejak tahun 2005, komunikasi dengan warga semakin dibuka, dengan berbagai fasilitas yang adam termasuk pemanfaatan tehnologi komunikasi berbasis internet. Tidak menafikan apabila ada argumen yang menyanggah bahwa komunikasi egaliter ini tidak sepenuhnya deliberatif, tetapi skenario komunikasi yang didesain secara struktural. Anggapan tersebut tidak sepenuhnya keliru, namun perlu juga diapresiasi tingkat penerimaan publik, termasuk para blogger, dan media yang banyak memuji tata kelola kota Surakarta. Salah satu contoh ruang dialog egaliter yang digelar walikota Surakarta adalah adanya temu warga secara bebas di ruang terbuka, misalnya pojok pasar Triwindhu, suatu komplek perdagangan barang antik di depan istana Mangkunegaran. Acara ini digelar setiap peringatan ulang tahun pelantikan walikota dan wawali, sebagai representasi pengingat akan amanat rakyat. Peserta yang hadir tidak dibatasi dan tidak ada undangan khusus perseorangan, tetapi undangan terbuka untuk umum. Siapapaun boleh datan dan boleh bicara. Forum ini dijadikan forum evaluasi dan penjaringan agenda kebutuhan publik yang dianggap walikota relatif otentif, karena tidak diatur representasi formalnya.
Kepercayaan Publik Kepada pemerintah Kota Surakarta
masyarakat secara demokratis dalam proses kebijakan maka semakin berpotensi menghasilkan kebijakan sosial yang demokratis.
Bagaimana relevansi kebijakan sosial yang demokratis dengan kepercayaan publik di kota Surakarta? Dalam pengalaman kota Surakarta, kepercayaan publik meningkat seiring waktu membuktikan bahwa kebijakankebijakan yang diambil walikota memang menguntungkan masyarakat pada umumnya, dan membuka ruang dialog yang bersifat deliberatif dengan masyarakat secara inklusif.
Salah satu bukti formal yang dianggap merepresentasikan tingkat kepercayaan publik adalah elektabilitas walikotawawali yang mencapai 93%. Memang alasan ini bisa diperdebatkan, apakah ini murni bukti kepercayaan publik atau rekayasa money politik? Tulisan ini tidak sepenuhnya dapat membuktikan korelasinya secara statistik. Namun demikian bukti lapangan menunjukan tidak ada sengketa tentang money politik pada waktu Pilkada dan hingga kini tidak ada gugatan. Kalau ada argumen yang mempertanyakan apakah elektabilitas itu murni karena kepercayaan publik atau karena ada kampanye terselubung dengan menggunakan dana bantuan sosial oleh incumbent sebelum pilkada? Tulisan ini juga tidak bia memberikan jawaban yang teruji secara valid berdasar statistik. Namun sampai dengan saat ini belum ada publikasi media yang menyatakan temuan lembaga pengawas atas penyimpangan penggunaan dana publik untuk kampanye. Untuk mendukung argumentasi bahwa kepercayaan publik kota Surakarta kepada pemerintah kota cukup tinggi dapat dikaitkan dengan adanya penghargaan Bung Hatta Anti Corruption Award bidang reformasi dan pelayanan publik tahun 2010 yang diterima oleh walikota Surakarta . Penghargaan ini mempunyai visi menjauhkan korupsi, mendekatkan Masyarakat, sehingga kriteria penilaiannya didasarkan pada reformasi birokrasi, yaitu integritas, tindakan nyata, dan membangun sistem layanan publik yang terbuka. Selain itu kota Surakarta juga mendapatkan peringkat kota bersih korupsi naik menjadi nomor 3 pada tahun 2011, serta anugerah kotamadya berkinerja terbaik 2011. Anugerahanugerah ini sebagai indikator adanya pengakuan publik atas kinerja pemerintah kota Surakarta. Pengakuan kinerja dari anugerah anugerah tersebut menyangkut integritas dan dedikasi pada pelayanan publik. Jadi cukup alasan apabila tulisan ini menilai kebijakan publik dan kebijakan yang demokratis di kota Surakarta menumbuhkan kepercayaan publik yang semakin besar kepada pemerintah kota Surakarta. Sementara kepercayaan publik yang besar menjadi daya dorong dan daya kontrol
bagi pemerintah kota Solo untuk menjaga kinerjanya melalui kebijakankebijakan yang diberlakukan.
Hal ini dibuktikan dengan dukungan suara lebih dari 93% pada incumbent dalam pemilihan kepala daerah. Berbagai penghargaan tingkat nasional dan internasional berikut juga membuktikan tingkat kepercayaan publik pada pemerintah kota Surakarta. Sebagai contoh; Penghargaan Bung Hata Anti Korupsi Award (BHAKA) tahun 2010; ; Banyaknya blogger yang menulis tentang kota Surakarta dengan ragam sajiannya juga menunjukan tingkat kepercayaan dan dukungan afektif masyarakat pada pemerintah kota Surakarta