• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kebijakan Sosial yang Demokratis dan Kep

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Kebijakan Sosial yang Demokratis dan Kep"

Copied!
35
0
0

Teks penuh

(1)

Kebijakan Sosial yang Demokratis dan Kepercayaan Publik

Abstract 

Social policies act as tools for the government to express its recognition for the public welfare. Democratic social policies are very important in the context of heterogenity and dinamics of the nation’s community groups, especially in Indonesia. This paper will discuss on how local government of Solo Regency had been implemented their principles of democratic policies, and how it had been   raised   their public   trusts.   Based   on   qualitative   method:   documents analysis, FGDs, and indepth interviews, we conclude that the democratic social policy of Solo Regency had being one of the best ways to incease the public trust toward the govenrnment’s social policy due to their democratic social policy. 

Kata­kata Kunci:

Kebijakan sosial; demokratis; kepercayaan public.

Pendahuluan

Fenomena ketegangan hingga kekerasan antara masyarakat  dengan pemerintah atas suatu kebijakan makin sering terjadi di berbagai daerah di Indonesia akhir­akhir ini.  Sebagai misal, perlawanan masyarakat penggusuran tanah, kekerasan dan pertentangan aparat dengan para   pedagang   kaki   lima   dalam   operasi   penertiban,   protes   masyarakat   atas   ketidakadilan pembagian beras miskin dan BLT, dan sejenisnya.  Mengapa ketegangan hingga kekerasan itu terjadi?   Pada hakekatnya, salah satu faktor yang patut diduga sebagai penyebabnya karena kurangnya daya tanggap kebijakan atas inklusivitas lingkungan kebijakan, termasuk kelompok masyarakat penerima dampak kebijakan. Kurangnya inklusivitas kebijakan dapat dihasilkan oleh  proses   kebijakan  yang   tidak   didasarkan   pada  input   kebijakan  yang  demokratis,   serta mengabaikan   aspek   deliberatif   dan   dialog   sehingga   berdampak   menurunkan   kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. 

Kebijakan sosial yang dimaksudkan di sini adalah kebijakan publik pada umumnya yang dijalankan oleh pemerintah. Kebijakan sosial, menurut Spicker (2008) dan Coffey (2004) merujuk   pada   (1)   kebijakan   dimana   pemerintah   mengupayakan   perlindungan   sosial   dan kesejahteraan   warga;   atau   (2)   cara­cara   dimana   kesejahteraan   dikembangkan   di   suatu

(2)

masyarakat, tidak terbatas pada aksi pemerintah, tetapi semua hal yang terkait pengembangan kondisi sosial ekonomi yang membentuk pembangunan kesejahteraan.  Kebijakan sosial adalah seperangkat kebijakan dan aksi untuk meningkatkan  social welfare  dan  well being.   Kebijakan sosial dapat menggabungkan semua kebijakan yang berdimensi sosial, atau memiliki implikasi kesejahteraan   sosial.   Pada   prinsipya   kebijakan   sosial   terkait   dengan   kebijakan   dan penyelenggaraan   pelayanan   sosial,   seperti   kesehatan,   pendidikan,   ketenagakerjaan, perumahan,   aktivitas   komunitas   untuk   masalah­masalah   sosial     (kejahatan,   pengengguran, kesehatan mental, usia lanjut), serta isu­isu yang membawa kesenjangan sosial, seperti gender, kemiskinan, ras.

Perangkap yang potensial membelokkan fungsi dan kemanfaatan riil kebijakan sosial adalah   kelalaian   dalam   proses   evaluasi   kebijakan.     Dalam   proses   evaluasi   kebijakan   titik kritisnya adalah pada bagaimana informasi tentang hasil capaian kebijakan direkam dan akan difungsikan sebagai rekomendasi lanjut kebijakan. Apabila evaluator menggunakan kerangka teknokratis,   menggunakan   bahasa   capaian   hasil   sebagaimana   yang   diinginkan   pembuat kebijakan, hal tersebut memunculkan kemungkinan bias hasil atau kekuranglengkapan potret efek   kebijakan.   Artikel   ini   akan   menyajikan   perlunya   evaluasi   kebijakan   yang memperhitungkan   konteks   personal   penerima   program   (personal   evaluation)   atas   kebijakan sosial, untuk mendukung pengembangan kebijakan yang demokratis (democratic policy), dan pada ujungnya meningkatkan kepercayaan publik (public trust).

Dinamika Penelitian Kebijakan Sosial Demokratis dan Kepercayaan Publik

Kebijakan yang demokratis dapat dihasilkan oleh rekomendasi evaluasi kebijakan yang demokratis   (democratic evaluation).  Beberapa  penelitian  terdahulu   menyebutkan  bahwa  nilai strategis evaluasi kebijakan demokratis merupakan basis pengembangan kebijakan publik yang demokratis dan pada gilirannya mendorong kapitas sosial dan kepercayaan sosial sehingga mendorong lahirnya kebijakan yang tidak kontraproduktif.

(3)

program.  Tesis   Kushner   (2002:17)     tentang   evaluasi   personal   dalam   kebijakan   publik   ini didasarkan dari pandangan model Democratic Evaluation dari Barry MacDonald (1976) di mana evaluasi  kebijakan  harus   bersifat  inklusif,  melibatkan seluas  mungkin  stakeholders  sebagai evaluator aktif dalam evaluasi kinerja kebijakan.  

Melalui   penelitiannya   tentang   program   inovasi   dalam   pendidikan   musik,   Kushner (2002:19) mendeskripsikan teori personalisasinya, yaitu teori yang membalik hubungan antara orang dengan proyek. Ia menggunakan pandangan­pandangan orang dan hidupnya sebagai lensa untuk memahami dan mengukur nilai dari suatu proyek. Asumsi yang mendasari tesis Kushner adalah tujuan dan perangkat indikator yang ditetapkan pembuat kebijakan diluar kelompok individu sasaran kebijakan dapat menjadi tak berarti (meaningless) karena nilai­nilai tujuan dan indikator terkait dengan kehidupan dan pemahaman orang­orang yang menjadi sasaran kebijakan tersebut. Teorisasi yang ditarik dari penelitian Kushner adalah pemahaman dan   pengalaman   individu   yang   terlibat   proyek   kebijakan,   kadang   berbeda   dengan   tujuan kebijakan yang dirumuskan oleh pembuat kebijakan.  Pengalaman dan pemahaman individu terhadap kebijakan,  dapat menjadi bahan informasi kebijakan yang mungkin  berbeda atau bahkan belum pernah dipikirkan oleh pembuat kebijakan selama ini.

Penelitian Howe  dan Ashcraft (2005)  tentang Evaluasi Pilihan Sekolah, menemukan keterbatasan dan keberhasilan dari evaluasi kebijakan secara demokratik.  Howe dan Ashcraft menggunakan   pendekatan   demokratik   deliberatif   (deliberative   democratic),   untuk   melakukan evaluasi Kebijakan Pilihan Sekolah di the Boulder Valley School District, Colorado, USA dan menemukan   keterbatasan   dan   keberhasilan   metode   evaluasi   demokratis   dalam   melakukan perubahan   kebijakan,   serta   seberapa   jauh   kontekstualisasi   persyaratan   ideal   demokratis deliberatif dapat diterapkan. Howe dan Ascraft menggunakan konsep inklusif, deliberatif, dan dialog sebagai konsep­konsep kunci penerapan evaluasi demokratis.  Konsep ini menjelaskan bahwa   dalam   evaluasi   demokratik   diperlukan   keterlibatan   stakeholder   kebijakan   tanpa diskriminasi,   diberi   kesetaraan   akses   sehingga   jurang   “power”  dapat   diperkecil   sedemikian rupa,   atau   bahkan   diatasi   adanya   “power   gap”.   Namun   demikian   Howe   dan   Aschraft menemukan evaluasi demokratis efektif menyumbangkan rekomendasi perubahan kebijakan yang merupakan hasil penggalian dari kelompok suara yang tak terdengar oleh pemegang power formal kebijakan sekolah.

(4)

Hal­hal   menonjol   yang   menjadi   fokus   pengamatan   dari   penelitian   tersebut   adalah: (1)Pelibatan stakeholder yang diakui keberadaan sebagai subyek individual; (2) Pengalaman dan   pemahaman   individual   atas   perlakuan   program   kebijakan   dimaknai   sebagai   evaluasi untuk mengukur kinerja kebijakan program tersebut.  Kelebihan dari penelitian tersebut adalah mampu menggugah individu yang tidak memiliki “power” mampu berbicara mengungkapkan pendapatnya untuk mengevaluasi suatu program berdasar pengalaman dan pemahamannya. Kelemahan   penelitian   ini   karena   dilakukan   di   masyarakat   yang   relatif   terbuka   ruang informasinya. 

Kedua   penelitian   tersebut   di   atas   mengungkapkan   keterkaitan   evaluasi   kebijakan dengan pengambangan demokrasi yang lebih inklusif pada jangka panjang, jadi kontribusinya sangat   luas.     Keterbatasan   penelitian   tersebut   belum   menjelaskan   karakteristik   informan, sehingga tidak dapat diidentifikasi pada kategori informan seperti apa metode evaluasi ini lebih   mudah   dilakukan.     Dalam   ruang   keterbatasan   ruang   informasi   publik   dan   tingkat kepedulian dan pemahaman warga atas kebijakan publik rendah, apakah metode evaluasi ini dapat diterapkan?

Signifikansi temuan hasil penelitian diatas untuk penelitian lanjutan di Indonesia adalah perlunya   dikembangkan   model   evaluasi   kebijakan   yang   berbasis   pada   pemahaman pengalaman   subyek   yang   menjalankan   kebijakan   atau   yang   menerima   dampak   kebijakan. Teori   Kushner   yang   mengungkapkan   bahwa  pemahaman   dan   pengalaman   individu   yang terlibat proyek kebijakan, kadang berbeda dengan tujuan kebijakan yang dirumuskan oleh pembuat   kebijakan,   memperkuat   alasan   perlunya   diteliti   peluang   pengembangan   personal evaluation.  Konteks   di   Indonesia,   pembuatan   kebijakan     cenderung   tehnokratis,   sehingga pendefinisian tujuan dan sasaran kebijakan cenderung mengikuti pola pikir dan pengalaman pembuat   kebijakan.   Demikian   pula   evaluasi   kebijakan   dilakukan   dengan   instrumen pengukuran keberhasilan kebijakan yang ditetapkan secara tehnokratis.  Dengan kondisi yang terbiasa tehnokratis, dan warga penerima kebijakan belum berada dalam deliberasi informasi, maka evaluasi kebijakan demokratis tentu menghadapi tantangan

(5)

Lahirnya Kebijakan Publik yang Demokratis

Munculnya   kebijakan  deliberative   democratic  tidak   dapat   dipisahkan   dari   sejarah pergeseran fokus analisis kebijakan.   Pergeseran fokus dan kerangka analisis kebijakan dari fokus positivist ke arah post positivist, terjadi karena tiga aspek, yaitu: (1) kekecewaan terhadap pendekatan   positivisme   dan   behavioralisme;   (2)   ketertarikan   pada   gagasan   dan   tehnik manajemen dan pasar; (3) perkembangan model baru dalam proses kebijakan. Parson (2006:70­ 76)   menjelaskan   sekitar   tahun   1960an   kekecewaan   terhadap   positivisme   juga   melahirkan pendekatan “konstruktivisme”  untuk problem sosial, yaitu bahwa realitas dikonstruksi secara sosial bukan realitas obyektif. 

Selain   pergeseran   pendekatan   epistemologis,   munculnya   kebijakan  deliberative democratic juga dipengaruhi pergeseran paradigma di ranah praktik. Sekitar tahun 1960­1970 an paradigma   kebijakan   publik   menitikberatkan   pada   peran   kekuasaan   pemerintah.     Ketika muncul isu pemerintah  overloaded, muncul wacana kegagalan implementasi kebijakan karena keterbatasan kemampuan pemerintah. Hal ini memberi peluang untuk menggeser orientasi dengan melibatkan kekuatan lain di luar pemerintah untuk mengatasi persoalan implementasi kebijakan publik, termasuk pelibatan pasar dan masyarakat. Dalam ilmu analisis kebijakan pergeseran   orientasi   ini   membawa   wacana   berkembang   konsep   segitiga   besi,   yaitu   relasi pemerintah­swasta­masyarakat pengguna/customer (Parson, 2006:76­79).  

Perkembangan   selanjutnya   ada   kekecewaan   terhadap   konsep   segitiga   besi,   dan merumuskan  model baru dengan menggunakan metafora jaringan dan komunitas. Selain itu juga memasukkan peran institusi dan cara institusi mempengaruhi pembuatan kebijakan dan hasil kebijakan (Parson, 2006:77­79). Selanjutnya campuran dari aplikasi paradigma kritis dan model   jaringan   kebijakan   dihasilkan   teori   kebijakan   demokratis.   Secara   substantif   teori kebijakan demokratis memuat substansi campuran dari paradigma kritis dan model jaringan kebijakan untuk memperkuat demokrasi.  

Teori   deliberatif­   aplikasi  pemikiran   kritis­   dalam  kebijakan   publik  diturunkan   dari pemikiran   Habermasian   yang   didasarkan   atas   pemikiran:   (1)   pertukaran   diskursus   oleh beragam individu; (2) representasi publik yang luas, (3) lebih menghasilkan budaya politik dan demokrasi yang lebih sehat, meskipun ada keterbatasannya, yaitu jika sudut pandang sangat beragam dapat mengurangi derajad partisipsasi). Namun demikian model ini termasuk ideal

(6)

untuk meningkatkan legitimasi pemerintah dalam menggali evaluasi dan input kebijakan (Van der   Hoff   and   Groothuis,   2011).  Habermas   dan   Foucault,   (dalam   Parson,   2006:72) menyumbangkan pengaruhnya dengan menekankan pentingnya kebijakan publik menganalisis politik dan kebijakan sebagai model diskursus yang menyusun realitas.  Konsekuensinya ketika menganalisis   kebijakan   perlu   memahami   mode­mode   pemikiran   tentang   “proses”   dan “problem. Pemahaman mode­mode pemikiran tentang proses dan problem ini menyiratkan perlunya melakukan analisis kebijakan secara demokratis, tidak elitis, karena harus memahami konteks   proses   dan   konteks   pendefisian   masalah.   Dengan   demikian   kerangka   berpikir   ini cenderung memuat nilai­nilai evaluasi kebijakan yang demokratis, karena salah satu langkah dalam analisis kebijakan adalah proses mengevaluasi kebijakan.

Dalam perkembangannya teori deliberatif mendasari perkembangan varian kebijakan demokratis (democratic policy).  Paradigma ini mendasari pentingnya kebijakan yang lebih tepat sesuai kebutuhan masyarakat yang semakin terfragmentasi. Kebijakan yang demokratis hanya dapat dihasilkan dari  evidence based  yang diperoleh dari evaluasi kebijakan yang demokratis. Dengan   demikian   evaluasi   kebijakan   yang   demokratis   menjadi   salah   satu   tahap   yang dibutuhkan sebagai penopang lahirnya kebijakan sosial yang demokratis.  Hal ini ditegaskan keniscayaannya karena dalam perkembangan konteks politik demokrasi, wacana kesejahteraan masyarakat dibidik juga dari demokrasi.   Hasilnya adalah lahirnya  democratic policy, sebagai respon atas fenomena kecenderungan elitis proses kebijakan publik yang ditengarai cenderung menguntungkan kelompok elit.  

Democratic policy dikembangkan dari dasar teori deliberative policy dan colaborative policy. Deliberative   policy  mengembangkan   praktik   politik   dan   lembaga   yang   memindahkan ketidakseimbangan  kekuasaan  antara warga negara  dan  mengijinkan  partisipasi  bebas  dan setara diantara mereka.  Paradigma ini memerlukan pelibatan warga negara dalam deliberasi yang sesungguhnya, dimotivasi oleh tujuan yang mendorong ketersediaan kebutuhan publik lebih dari sekedar melibatkan mereka dalam strategi tawar menawar, yang dimotivasi oleh maksimalisasi tujuan kepentingan pribadi mereka (Howe dan Ashcraft, 2005).  

(7)

mengembangkan konsep  communicative rationality   dari Jurgen Habermas dan  transformative power of dialogue dari Bush dan Folger (1994) dalam Hajer dan Wagenaar (2003:36). 

Gambar 1. Konsep Collaborative policy

Sumber: Hajer and Wagenaar (2003: 39)

Dari kerangka berpikir collaborative policy dalam gambar 1 tersebut di atas  dialog yang terbentuk harus bersifat otentik dan bukan bersifat repetisi atau retoris, serta ada pemahaman tentang adanya perbedaan dan saling ketergantungan antar stakeholder. Hal ini berarti perlu pemahaman karakteristik tipikal partisipan, sehingga terbangun resiprositas (hubungan timbal balik); hubungan kerjasama baru (relationship); terbentuk proses pembelajaran antar stakeholder dan   ini   membantu   proses   dialog   yang   lebih   efektif   (learning);   dan   dihasilkan   berbagai kreativitas yang luar biasa untuk pemecahan masalah yang ada (creativity). Jadi dalam dialog ini memerlukan adanya saling kepercayaan diantara stakeholder, gap kekuasaan diperkecil, ada   pemahaman   informasi   yang   cukup   diantara   stakeholder,   sehingga   pendapat,   aspirasi, kebutuhan   setiap   anggota   dapat   disampaikan   dengan   terbuka,   dan   dapat   mendengar pernyataan   pendapat   yang   lain   juga.   Nampaknya   proses   ini   memerlukan   fasilitator   yang mampu bersikap dan mengolah forum secara demokratis.  

Dari proses tersebut dapat dihasilkan saling pemahaman tentang identitas satu dengan yang lain, berbagi makna antar stakeholder yang selanjutnya akan menjadi  social capital  baru dalam masyarakat yang menghasilkan inovasi baru.  Pendekatan ini tidak menafikan adanya

(8)

kelemahan di dalamnya, seperti biaya mahal, butuh waktu lebih lama, dan butuh ketelatenan fasilitator yang punya kepedulian besar bagi kemandirian komunitas.

Jadi democratic policy adalah proses kebijakan yang mengupayakan keseimbangan relasi kekuasaan dalam proses kebijakan, dan berupaya menghasilkan keuntungan secara lebih luas bagi semua kelompok warganegara. Douglas Torgerson (2003) dalam Hajer and Wagenaar (2003: 135)   menyatakan   bahwa   democratic   policy   memerlukan   sensitivitas   pada   lingkungan (kontekstual), membuka jalan bagi wacana publik dan wacana kebijakan.   Potensi demokrasi adalah untuk mengubah makna wacana kebijakan dan membawamya ke hubungan yang lebih dekat dengan wacana publik.  Wacana kebijakan  demokratis  menambahkan dimensi baru ke proses kebijakan, yaitu lebih menghargai dan memberi ruang pada kekhasan konteks lokal, misalnya pertanyaan identitas, budaya, estetika, sejarah. 

Pemahaman   konteks   lokal   ini  berfungsi   untuk   menghubungkan  kebijakan   dengan politik yang berlangsung. Pentingnya alasan dan argumen yang tersembunyi dalam rumusan formal kebijakan didefinisikan ulang, melalui pemahaman warga sasaran kebijakan dan aktor­ aktor yang terlibat dalam implementasi kebijakan di lapangan, untuk menemukan bias­bias wacana kebijakan yang bias elit.  Proses kebijakan yang dmeokratis juga melibatkan penataan kembali kekuasaan antara aktor kebijakan, peresmian bentuk­bentuk baru praktek demokratis dan janji umum demokrasi melalui wacana kebijakan yang semakin meluas ke kalangan warga akar rumput.

Dari karakteristik kebijakan yang demokratis tersebut, nampaknya tersedia ruang untuk pemerintah   membuka   ruang   untuk   berbagi   informasi   kepada   masyarakat   dalam   rangka perlengkapanmembangun   kesepahaman   substansi   kebijakan.   Pemerintah   memberi   ruang pelibatan   warga   untuk   mengkritisi   wacana   kebijakan.   Demikian   pun   masyarakat mempertanyakan kembali tujuan kebijakan versi pemerintah.  Warga masyarakat juga memiliki ruang   mengevaluasiimplementasi   dan   kemanfaatan   kebijakan   versi   warga,   dalam   setting pengalaman,referensi, aspirasi, dan kebutuhan riil mereka.  Warga masyarakat juga memiliki ruang mengusulkan perubahan kebijakan sesuai kerangka pengalaman dan referensi mereka atas kebijakan yang pernah ada. 

(9)

kepercayaan publik dapat menjadi pra kondisi dan dapat juga sebagai hasil dari kebijakan demokratis.

Evaluasi Kebijakan yang demokratis

Democratic Evaluation merupakan varian dalam kerangka analisis kebijakan deliverative democratic (paradigma kebijakan publik deliberatif).   Menurut Barry MacDonald (1976) dalam Kushner   (2003)    evaluasi   kebijakan   dapat   dilihat   dari   tiga   kategori  yaitu:  (1)  Autocratic Evaluation, evaluasi yang dilakukan oleh pemerintah dan peer akademik, diterbitkan dalam jurnal   akademik   atau   untuk   pemerintah;   atau   validasi   dan     rekomendasi   kebijakan;   (2) Bureaucratic Evaluation, yaitu evaluasi yang dilakukan dan atas nama sistem nilai administrasi untuk pegawai pemerintah, dimana kontrol tetap dalam birokrasi yang menetapkan agenda dan memiliki kepentingan dominan dalam proses  evaluasi kebijakan; (3) Democratic Evaluation, yaitu evaluasi yang melayani beragam audien, dan tidak meninggalkan jaminan demokrasi tentang pelaporan terbuka pada warga masyarakat.  Birokratis tidak punya hak­hak istimewa atas evaluasi­ agendanya, nilai­nilai pelaksanaaannya. pendekatan ini menekankan hak dan jaminan.

Katherine Ryan (2005) mengidentifikasi dari tulisan­tulisan terdahulu tentang evaluasi demokratis   (democratic   evaluation),   untuk   kepentingan   analisis   dapat   dikenali   melalui   tiga pendekatan   yang   menekankan   pada   metodologi,   evaluator,   dan   peran   partisipan.    Ketiga pendekatan tersebut tidak mutually exclusive (Ryan, 2005:2) , yaitu dari 

a. Democratic evaluation

MacDonald   (1976:   125­134)   mengembangkan   pendekatan   ini   terkait   dengan   relasi kekuasaan   (power   relation)   diantara   stakeholder,   menjembatani   perspektif   antara stakeholder,   menyediakan   informasi   program   yang   berguna.     Relasi   kekuasaan   (power relation),   difasilitasi   dengan   mengurangi   asimetri   informasi.   Evaluator   berperan   sebagai broker pengetahuan yang independen, dengan mengungkit hubungan distribusi kekuasaan dalam evaluasi .  Redistribusi kekuasaan  dicapai melalui  “democratizing knowledge” dan mengikat semua stakeholder saling akuntabel. Dalam pendekatan ini, pengetahuan lokal sama dianggap nilainya dengan kekuasaan, bahkan dinilai lebih besar dari kekuasaan. b. Deliberative democratic evaluation 

(10)

House & Howe (1999) mencirikan pendekatan ini dengan tiga prinsip, yaitu:

(1)Deliberation:  penalaran  reflektif  tentang  isu­isu  yang   relevan,  termasuk  preferensi mengidentifikasi dan nilai­nilai dari semua kelompok stakeholder 

(2)Inclusion: 

Melibatkan  semua  kepentingan  yang relevan,  stakeholder,  dan  warga negara  lainnya terkait masalah spesifik

(3)Dialogue:  Pendekatan  ini  bersifat  dialogis,  menarik stakeholder dan  evaluator  dalam dialog selama proses evaluasi. Melalui dialog stakeholder kepentingan, pendapat, dan ide­ide dapat digambarkan lebih akurat dan lengkap 

c. Communicative evaluation:

Menciptakan ruang komunikasi tentang isu kritis dan tema yang muncul dari program dan konteksnya.  Suatu ruang dialog antara stakeholder lokal, dengan jaringan komunikasinya untuk berwacana tentang isu yang dievaluasi, dan menambah sirkulasi informasi melalui berbagai media sehingga memungknkan munculkan kebijakan atau program yg berbeda. Cir­ciri daripendekatan ini adalah: (1) Evaluator berperan tidak otoritatif, sebagai pembawa informasi, sebagai factor pelancar (enabling factor)  yang memperlancar  komunikasi; (2) Mempedulikan dan mendasarkan pada gagasan lokal untuk membangun cara pandang (view)   dan   analisis;   (3)   Berorientasi   pada   tindakan   (aksi);   (4)   Menggunakan   campuran metodologi, stakeholders menjadi co evaluator, co collaborator, co partisipant; (5) Tidak menggantikan   peran   tradisional   evalluasi   sebagai   sarana   menemukan   kebutuhan pengambil keputusan, tetapi memperdalam penilaian realitas kebijakan sesuai keunikan, membahas isu dari perspektif dan image yang berbeda.

(11)

Kushner   (2000)  mengembangkan   pendapat   Stake   (1975)   dan   MacDonald   (1975) untuk memenuhi tantangan metodologi dan respon politik supaya evaluasi responsif dan demokratis  adalah melalui personalisasi evaluasi (personalizing evaluation).   Personalizing evaluation  adalah   suatu   pendekatan   yang   mengkombinasikan   secara   metodologis individualisme   dengan   tujuan   demokratik,   supaya   dapat   menangkap   lebih   banyak pandangan­pandangan otentik dari pelaku dan sasaran kebijakan mengenai program dan impaknya. 

Kushner (2000:11)  menjelaskan prinsip­prinsip dari  personalizing evaluation  dimulai dari pemahaman bahwa kebijakan/program mendefinisikan peran dari orang atau grup atau kejadian yang dipengaruhi oleh kebijakan tersebut.   Kebijakan/program memaknai peran orang seperti yang dikehendaki oleh kebijakan.   Misalnya: sebagai guru, dokter, murid dan sebagainya. Mereka menjalankan suatu program sesuai apa yang ditugaskan dalam deskripsi  program. Mereka tidak dipandang sebagai seorang istri/suami, anak dari suatu keluarga. Ada sebagian eksitensi dari orang­orang itu yang terabaikan ketika dilihat dalam terminologi program.  Mereka hanya dilihat sebagai pelaku program, dan terabaikan sebagai agen yang lain.  

Setiap orang memiliki multi agency (peran ganda) dan peran lain di luar penugasan program yang dapat berpengaruh atau dipengaruhi oleh program yang harus dijalankan. Seseorang/kelompok   orang   berada   dalam   konteks   lingkungan   dimana   kebijakan diimplementasikan;   lingkungan   politik,   anggota   organisasi.     Dalam   pendekatan personalizing   evaluation,  untuk   menilai   dan   memahami   efektivitas   program,   harus memandang orang­orang yang terlibat dalam program didalam kerangka keterkaitan dan ketergantungan dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, politik, dan ekonomi. 

Kerangka   keterkaitan   dengan   lingkungan   tersebut   melahirkan   dua   model   aksi. Pertama, orang diasumsikan bertindak  dipengaruhi oleh pengalaman dan pemahamannya tentang nilai, yaitu apa yang mendasari orang bertindak (aksi) sebagai reaksi terhadap pemberlakuan suatu program.   Jadi diasumsikan aksi seseorang didasari oleh akar nilai­ nilai tertentu.   Nilai­nilai tersebut berinteraksi dengan konteks kehidupan seseorang, dan dipertajam   oleh   pengalaman   yang   dialami,   memunculkan   kepentingan   yang   ingin diwujudkan, dan kemudian melahirkan aksi. 

(12)

Kedua,  aksi seseorang digerakkan oleh akar kepentingan.   Kepentingan berpadu dalam konteks kehidupan dan pengalaman seseorang, kemudian membentuk nilai­nilai yang kemudian menjustifikasi apa yang akan dilakukannya.

Dari prinsip­prinsip  personalizing evaluation  dimana  memandang orang­orang yang terlibat dalam program memiliki keterkaitan dan ketergantungan dengan lingkungannya, baik lingkungan sosial, politik, dan ekonomi, model evaluasi ini potensial menghasilkan keunikan.  Keunikan ini karena keragaman pandangan yang diakomodir. Lingkungan yang mempengaruhi   dan   tingkat   ketergantungan   orang   dengan   lingkungannya.   Apabila keragaman   ini   dimanfaatkan   sebagai   bahan   evaluasi   kebijakan,   maka   potensial   untuk menghasilkan   rekomendasi   yang   inovatif.     Sebagaimana   yang   dikatakan   oleh   Ellison (2004:121), evaluasi kebijakan yang demokratis dapat bermanfaat untuk  mengeksplorasi kebijakan inovatif, inovasi & tantangan terkait masalah dan struktur baru terutama untuk

Nilai-nilai konteks Pengalaman

Kepentingan

Aksi

kepentingan konteks Pengalaman

(13)

kasus­kasus   yang   didesentralisasikan   atau   devolusi.     Keragaman   dan   keunikan   serta kebebasan   ruang   meggali   pandangan   dan   pengalaman   pelaku   kebijakan   dan   penerima kebijakan dalam evaluasi demokratis juga potensial untuk dimanfaatkan sebagai tehnik untuk   mengidentifikasi,   menganalisis,   dan   mengeksplorasi   ketersediaan   data   pada kecenderungan   dan   pola­pola   yang   tersebar   di   ranah   mayor   masalah,   beserta peluang/tantangan yang mempengaruhinya.   Proses evaluasi berakar dalam pengalaman dan sudut pandang masyarakat terkenan dampak program .   mereka mempunya suara yang   kuat   dalam   cerita   mereka  (storytelling)  tentang   program,   membicarakan   tentang perbedaan yang telah terjadi dalam hidup mereka, dan memberikan validasi secara publik atas   temuan­temuan   evaluasi   kebijakan.    Pola   evaluasi   kebijakan   demokratis   yang mengupakan adanya perubahan relasi kekuasaan ( McDonald, 1976), membuka peluang untuk   mengekplorasi   proses   penguatan   kelembagaan   dan   penyusunan   kebijakan   yang inovatif untuk membuat keduanya efektif mencapai tujuan/perbaikan kelompok sasaran. Hal ini dimungkinkan karena partisipasi kelompok masyarakat menghasilkan umpan balik yang menguatkan perencanaan program dan aktivitas yang membantu pada level stretegis.

Evaluasi kebijakan demokratis, dan proses kebijakan demokratis pada umumnya mempunyai tingkat kesulitan tertentu.  Kesulitan menghadapi pemegang kekuasaan yang tidak mempunyai pandangan keterbukaan terhadap keunikan dan keberagaman kelompok pelaku dan penerima kebijakan, sebagaimana dikemukakan oleh  Douglas Torgerson dalam (Hajer, M. and Wagenaar , 2003:113). Salah satu elemen kunci keberhasilannya adalah peran kepemimpinan dalam pembentukan aset­aset sosial untuk menghasilkan solusi ke inti isu publik.   Tiga langkah dalam evaluasi kebijakan demokratis menurut Love dan Muggah (2005) adalah: (1) Memperdalam pemahaman masyarakat tentang aset dan kekuatan yang mereka miliki sebagai komunitas dengan cara pemetaan partisipatoris; (2) Mengevaluasi outcome dan pencapaian hasil kebijakan menurut persepsi dan pengalaman mereka sendiri (suara mereka sendiri); (3) Melakukan validasi dan penyebarluasan temuan hasil evaluasi secara demokratis.

Dalam konteks kebijakan sosial yang di susun berdasar hasi evaluasi kebijakan yang   demokratis   dan   inklusif   dalam   jangka   panjang   akan   memperkuat   bangunan kepercayaan masyarakat (public trust), sebagai modal sosial yang strategis.

(14)

Kebijakan Sosial yang demokratis

Dari pembahasan sebelumnya dikemukakan bahwa kebijakan publik yang demokratis merupakan keniscayaan untuk merespon perkembangan kebutuhan publik yang semakin luas dan  terfragmentasi.  Kebijakan publik yang demokratis ini diperlukan untuk memberi garansi bahwa   kebijakan   publik   tidak   hanya   untuk   keuntungan   kelompok   elit,   tetapi memperhitungkan latar belakang pengalaman, aspirasi dan kebutuhan kelompok­kelompok masyarakat sehingga kebijakan itu dapat diimplementasikan secara inklusif.

Salah   satu   persoalan   yang   termasuk   dalam  public   interest  dan  public   affairs  adalah masalah kesejahteraan sosial.   Kebijakan publik merupakan instrumen untuk menggunakan power, sumber daya, dan sistem yang ada untuk menangani  public interest  dan  public affairs. Kebijakan publik yang secara khusus menangani kesejahteraan sosial disebut kebijakan sosial. Dengan demikian kebijakan sosial termasuk bagian dari kebijakan publik yang secara eksplisit atau implisit membidik peningkatan kesejahteraan sosial. 

(15)

Sebagaimana disinggung sebelumnya bahwa wacana kesejahteraan masyarakat dibidik dari sudut pandang demokrasi menuntut lahirnya kebijakan sosial yang demokratis. Kebijakan sosial   yang   demokratis   adalah   kebijakan   sosial   yang   memuat  nilai  publik  berbasis   pada universalisme  (tidak ekslusif bagi kelompok tertentu),  mengutakan  kerjasama (cooperation) lebih daripada kompetisi dalam penyediaan collective goods.  Dengan demikian kebijakan sosial yang demokratis dapat mengurangi bias pasar bagi kelompok yang tidak mampu membayar dalam sistem transaski pasar.

Kebijakan sosial yang demokratis, juga dapat dikondisikan oleh kehadiran social policy body, yang berfungsi sebagai lembaga pengawal artikulasi nilai­nilai publik dan prinsip­prinsip ideologis   untuk   menjawab   kebutuhan   kelompok­kelompok   warga   secara   inklusif.     Contoh social   policy   body   adalah   apa   yang   dilakukan  Welsh   Assembly,   di   Wales,   negara   bagian Britania Raya (Ellison et all, 2004:125­136).  Social policy body membawa tiga nilai kunci, yaitu (1) universalisme; (2) keadilan; (3) koproduksi sebagai basis penyediaan barang­barang publik.

Dalam kasus di Wales, pengembangan kebijakan yang demokratis dengan nilai­nilai universal,   berkeadilan,   dan   koproduksi   dalam   penyediaan   barang­barang   publik   ini menghasilkan  jenis   kebijakan  sosial  yang   inklusif.     Kebijakan  sosial  inklusif   dicirikan   oleh cakupan pelibatan masyarakat secara lebih luas. 

Kebijakan   sosial   berkorelasi   dengan   pengembangan   masyarakat   yang   demokratis,   melalui pengembangan   kebijakan   sosial   yang   inklusif.     Kebijakan   sosial   yang   inklusif     adalah memfasilitasi   pelibatan   masyarakat   akar   rumput,   transparansi,   dan   akuntabilitas   dalam penyusunan dan pelaksanaan kebijakan.  Kebijakan sosial yang inklusif adalah kebijakan yang mampu melayani semua kelompok warga yang membutuhkan pelayanan tanpa diskriminasi. Kebijakan sosial yang inklusif memerlukan keaktifan peran organisasi masyarakat sipil, untuk mengeliminir adanyaa kooptasi dalam proses demokrasi deliberatif.  Kebijakan sosial inklusif juga   mensyaratkan   adanya   pengakuan   adanya   pluralisme   dalam   masyarakat   multikultur (Elstub,2006:33,35)

Adesina (2007:1) mengidentifikasi ada 6 keharusan yang perlu ada untuk membangun kebijakan sosial yang inklusif, yaitu: 

(16)

a.  Memikirkan kembali  kebijakan  pengeluaran  sosial  bukan  sebagai  bantuan atau hadiah serampangan atau tidak beralasan dilakukan untuk warga negara tetapi sebagai investasi dalam pengembangan dan pembangunan bangsa atau kohesi sosial

b. Memikirkan   kembali   kebijakan   sosial   dalam   dimensi  kohesi   sosial  dan   dimensi pembangunan bangsa.  

c. Evaluasi kebijakan tidak hanya didasarkan pada kriteria yang telah ditetapkan pembuat kebijakan, tetapi harus memberi ruang pengakuan adanya keberagaman kelompok yang menjadi   pelaku   dan   sasaran   kebijakan   dengan   berbagai   penilaian   mereka   atas   makna kemanfaatan kebijakan bagi mereka.  

 d. Membangun kembali kapasitas negara dalam pembuatan kebijakan, dan kemampuannya untuk  menjalankan  negara,  mengelola  masyarakat,  dan  menentukan  parameter  kegiatan ekonomi.  Relasi pemerintah – pasar ­ masyarakat yang berlandaskan etos demokratis, etos partisipatif, bukan sekedar secara teknokratis.  Hal ini berarti pemerintah harus membuka ruang   untuk   inisiatif   sektor   non   pemerintah   dalam   proses   kebijakan;   pembuatan, implementasi, dan evaluasi kebijakan.

e. Kepemimpinan dan kebijakan publik yang berpihak pada kontrak sosial berbasis keadilan, persamaan, dan rasa sepenanggungan sebagai bangsa.  Mobilisasi sosial sekitar nilai­nilai ini  membutuhkan  kepemimpinan  dalam   pemerintahan   dan   di   masyarakat   (diluar negara/pemerintah).   Hal ini lebih dari sekedar negara versus masyarakat, atau negara versus pasar, tetapi juga memperluas penggunaan kebijakan sosial untuk mengaktifkan pejabat negara lembaga yang terlibat aktif dalam proses kebijakan memahami hubungan antara pengeluaran sosial dan pertumbuhan ekonomi. Dalam hal ini termasuk kepedulian masyarakat   sipil   mengontrol   pembelanjaan   sosial     (social   spending/social   expenditure). Artinya   evaluasi   kebijakan   alokasi   penggunaan   sumber   daya   untuk   meningkatkan kesejahteraan ekonomi dan tanggungjawab politik atas nilai keadilan.

(17)

Kebijakan   sosial   yang   inklusif   akan   mampu   melayani   warga   lebih   luas   sehingga mengurangi   ketidakpuasan   warga.   Kepuasan   warga   akan   membantu   meningkatkan kepercayaan   warga   pada   pemerintah   sebagai   aktor   yang   bertanggungjawab   atas   kebijakan sosial.

Kepercayaan Publik dan Kebijakan Sosial yang Demokratis  

Kebijakan   sosial   demokratis   dicirikan   oleh   pelibatan   warga   secara   inklusif,   tanpa diskriminatif.  Pelibatan warga secara inklusif ini memperhatikan keragaman multi kultur yang menjadi latar belakang masyarakat sebagai pengguna kebijakan.  Warga masyarakat dilibatkan dalam formulasi kebijakan sosial, mengimplementasikan, maupun evaluasi kebijakan secara otentik, bukan dibawah kondisi kooptatif.  Ada fleksibilitas dalam mengidentifikasi kebutuhan, aspirasi, dan kendala­kendala yang dihadapi masyarakat, terutama kelompok marginal sesuai konteks lingkungannya.  Proses kebijakan sosial yang demokratis akan menghasilkan kebijakan sosial yang inklusif.  Kebijakan sosial yang inklusif mendekatkan kepada masyarakat pengguna layanan   sosial   sehingga   tingkat   ketepatan   untuk   menjawab   kebutuhan   publik   lebih   besar. Kebijakan sosial inklusif memenuhi kebutuhan hak dasar dan kesejahteraan warga lebih adil, mengurangi efek peminggiran bagi kelompok warga negara, mengurangi perangkap pelayanan sosial  yang elitis  dan ekslusif.    Proses  kebijakan  sosial yang demokratis   dapat  berdampak mendekatkan   rasa   saling   mengenal   dan   memiliki   antara   masyarakat   dengan   pemerintah. Kedekatan rasa saling mengenal dan memiliki ini akan memperkuat kepercayaan publik pada pemerintah.  Kepercayaan publik, menjadi variabel yang sangat penting untuk dikelola dalam penyelenggaraan  governance, pada umumnya,  dan juga pada proses kebijakan publik pada khususnya.  Kepercayaan publik adalah kepercayaan warga terhadap negara dan pemerintah, termasuk di dalamnya institusi, kebijakan, dan pejabatnya. 

Kepercayaan publik merupakan salah satu bentuk dari modal sosial (Putnam, 1993) memiliki dua aspek, yaitu keterlibatan dalam kegiatan publik dan kepercayaan interpersonal. Dalam   konteks  democratic   policy,   kepercayaan   publik   menjadi   variabel   determinan,   bukan sekedar   variabel   hasil.     Tingkat   kepercayaan   publik   yang   tinggi   tentunya   memudahkan partisipan   mengungkapkan   suaranya   untuk   menilai   dampak   program,   dan   lebih   kuat partisipasinya   dalam   program,   memudahkan   penyesuaian   jika   terjadi   konflik  multi   agency

(18)

(peran  ganda  dalam fungsi)  dalam  pelaksanaan program.    Jadi  kepercayaan  publik  dalam konteks kebijakan sosial berperan di hulu dan di hilir, sebagaimana diagram berikut.

Gambar 3. Posisi Kepercayaan Publik

Kepercayaan publik dapat berposisi sebgai modal (input) dalam pembuatan kebijakan sosial.     Semakin   tinggi   kepercayaan   publik,   semakin   mengurangi   biaya   transaksi   dalam pembuatan kebijakan sosial. Kepercayaan publik juga akan mempengaruhi penilaian publik terhadap   legitimasi   dan   daya   guna   kebijakan   sosial   tersebut.Persoalan   berikutnya   adalah bagaimana   mengelola   kepercayaan   publik   untuk   kebijakan   publik   dan   melalui   kebijakan publik.  Dwiyanto (2011: 368) menyitir variabel pengukur kepercayaan publik yang digunakan oleh Kim, dimana Kim telah mereview lebih dari 30 pengukuran yang digunakan peneliti sebelumnya.  Kim menyimpulkan kepercayaan publik dapat diukur dalam lima variabel, yaitu komitmen   yang   kredibel,   ketulusan,   kejujuran,   kompetensi,   dan   keadilan.  Terkait   proses kebijakan  sosial­  formulasi,  implementasi,  dan  evaluasi­  institusi  penghasil kebijakan  perlu mempertimbangkan   variabel­variabel   tersebut.   Bouckaert   dan   Van   de   Walle   (2003)   dalam Dwiyanto (2011:377) mengemukakan kerangka teori Kepercayaan publik, sebagai berikut.

Tabel 1. Kerangka Teori Kepercayaan Publik

Paradigma

Penelitian Kepercayaan RendahDiagnosis Penyebab Reaksi Warga MemperbaikiObat untuk Kepercayaan

Sosiologi Distrust, ketidaknyamanan Pindah/protes/loy Penguatan modal

Institusi pembuat

(19)

sosial al; anomie sosial, norma, dan identitas sosial Ekonomi Hubungan principal­agent Kerjasama dan

polarisasi Peningkatanpartisipasi Sumber: Bouckaert dan Van de Walle (2003) dalam Dwiyanto (2011:377)

Menyimak tabel 1 di atas, diperoleh gambaran tentang penyebab kepercayaan publik yang   rendah   kepada   pemerintah,   reaksi   warga   dan   obat   untuk   memperbaiki   kepercayaan publik.  Kedua hal ini menceritakan tentang dinamika gejolak yang ada dalam diri kelompok warga   sebagai   tanggapan   atas   suatu   pilihan   kebijakan   yang   diambil   pemerintah.   Upaya menemukan penyebab rendahnya kepercayaan publik, akan lebih representatif jika dilakukan melalui mekanisme evaluasi kebijakan yang demokratis.   Apabila dikaitkan dengan variabel pengukur   kepercayaan   publik  maka   upaya   peningkatan   kepercayaan   publik   berarti   upaya peningkatan kredibilitas, ketulusan, kejujuran, kompetensi, dan keadilan (Dwiyanto, 2011: 368). Kredibilitas,ketulusan,   kejujuran,   kompetensi,   dan   keadilan   dapat   ditingkatkan   jika   ada transparansi   dan relasi yang dekat antara pemerintah – warga.   Kedekatan relasi ini dalam pengertian adanya ruang untuk memahami ragam aspirasi, pengalaman, dan kebutuhan warga yang   perlu   diselenggarakan   bersama   secara   kooperatif   antara   aktor   pemerintah   dan   non pemerintah.  Dengan kata lain memerlukan upaya proses kebijakan yang demokratis, termasuk evaluasi   kebijakan   demokratis.     Upaya­upaya   peningkatan   kepercayaan   publik   yang disebutkan dalam tabel 1 di atas nampaknya memerlukan pelibatan warga pengguna kebijakan sosial secara demokratis supaya menghasilkan strategi kebijakan yang tepat sesuai kebutuhan publik, sehingga mampu menghasilkan dukungan legitimasi dan kepercayaan yang lebih besar kepada   pemerintah.    Dikaitkan   dengan   evaluasi   kebijakan   sosial   yang   demokratis,   maka pembuat kebijakan perlu memberi ruang publik lebih luas untuk mengungkapkan suara publik (voice) berdasar nilai, konteks, pengalaman, dan kepentingan masing­masing kelompok, dan mengkondisikan lahirnya aksi inovatif untuk penyempurnaan kebijakan supaya lebih kredibel dan tepat guna.

Kebijakan Sosial yang Demokratis di Kota Surakarta

(20)

Interpretasi contoh penerapan kebijakan sosial yang demokratis dan dampaknya pada peningkatan kepercayaan publik yang akan di uraikan pada bagian ini merupakan inter[retasi hasil penelitian yang dilakukan oleh Wahyuningsih dan Hartanto (2010)1.

  Pemerintah  Kota   Surakarta   lebih  mengutamakan   pengelolaan  kota   (mulai   dari   pe­ rencanaan, implementasi, pengendalian dan evaluasi kinerja pembangunan) dengan memberi ruang partisipasi pada masyarakat secara terbuka, dan inklusif, yaitu memperhitungkan semua komponen kelompok masyarakat, termasuk kelompok marginal. Penerapan prinsip inklusif dan deliberatif nampak dalam beberapa hal berikut.  

Pertama, cara bagaimana walikota dan wakil walikota membangun saluran komunikasi dan pengendalian dengan SKPD maupun dengan masyarakat untuk memperluas jangkauan akuntabilitas pemerintah pada kepentingan rakyat lebih luas, membangun  sense of belonging atau rumangsa melu handarbeni atas Kota Surakarta, supaya dapat meminimalisir potensi konflik dan   aksi   destruktif   lainnya.   Pengalaman   di   Surakarta   untuk   memfasilitasi   kesepakatan­ kesepakatan tatkala terjadi tiga polarisasi kepentingan politik.   Langkah praktis penerapan prinsip inklusif, deliberatif dan dialog dilakukan dengan cara: (1)   mengidentifikasi semua organisasi kelompok masyarakat, baik yang pro maupun yang potensial kontra; (2) mendatangi langsung   atau   mengundang   kelompok   yang   terkena   dampak   langsung   atau   potensial berseberangan /resisten untuk berdialog;  (3)  mendukung  gerakan masyarakat  membangun networking  atau   persatuan   dalam   wadah   untuk   mewakili   komunitas/kelompok   sektoral berdialog terhadap pemerintah (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010).

Penerapan prinsip inklusif dan deliberatif juga nampak dalam upaya  kepala daerah melakukan   internalisasi   dan   instutisionalisasi   pada   Satuan   Kerja   Perangkat   daerah   untuk melakukan tugas dan fungsinya dengan prinsip­prinsip berikut.   Pertama,  From top down to partnership/participatory.  Prinsip ini berarti menekankan partisipasi stakeholder dibandingkan perintah dari pemerintah saja.   Kedua,  From bureaucratic style to entrepreneurial mindset.   Cara berpikir   ini   menekankan   pola   berpikir   kreatif   di   antara   para   SKPD   dan   pro   aktif mengembangkan kerjasama dnegan pihak swasta dan  masyarakat.    Ketiga,  From procedural attitude to end­result oriented.  Perubahan dari cara berpikirr yang lambat dan berbelit, kepada

(21)

pola pikir yang responsif terhadap peluang dan berorientassi pada hasil dan kemanfaatan yang diterima masyarakat.   KeempatFrom partial handling to integrative solution, perubahan dari cara berpikir yang  sektoral, parsial, kepada pemikiran yang komprehensif, sinergis (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010)2.   Internalisasi nilai­nilai tersebut menunjukkan adanya kemauan untuk berubah   dari   pemegang   otoritas   menyesuaikan   pemikiran   kepada   kebutuhan   lingkungan masyarakat yang dilayani.  Menurut Douglas Torgerson dalam (Hajer and Wagenaar , 2003:113) kesulitan terbesar membangun sistem kebijakan publik yang demokratik adalah menghadapi pemegang kekuasaan yang tidak mempunyai pandangan keterbukaan terhadap keunikan dan keberagaman   kelompok   pelaku   dan   penerima   kebijakan.     Apabila   walikota   mempunyai komitmen untuk merubah cara berpikir pemerintah kota Surakarta dalam melayani publik, maka hal ini menjadi modal potensial lahirnya kebijakan sosial yang demokratis.

Penerapan prinsip inklusif dan deliberatif yang ketiga nampak dalam upaya kepala daerah menggulirkan  Kebijakan  Sosial  pro public value  (pro poor, pro people,  pro gender, pro job, pro environment).   Perencanaan program pro public value (pro poor, pro people, pro gender, pro job, pro environment)   dapat   dilihat   dalam   program­progam   pembangunan   yang   tercantum   dalam dokumen perencanaan dan penganggaran kota (Rutiana, 2008, 2009). Prioritas pembangunan yang   dicanangkan   oleh   walikota   selama   lima   tahun   berturut­turut   adalah   pro   ekonomi kerakyatan, pro pemenuhan pelayanan dasar kelompok miskin.  Contoh program pro job, pro growth­pro people sebagai berikut. Di bidang ekonomi kerakyatan, Walikota memberikan lokasi baru pada PKL yang direlokasi tanpa mengabaikan posisi kemanusiaan mereka sebagai warga kota.   Pelibatan sebagai warga kota dalam proses dialogis membuktikan penerapan proses kebijakan yang demokratis.  Prioritas pengembangan dan penataan pedagang pasar tradisional merupakan   kebijakan   yang   pro   ekonomi   kerakyatan,   berpihak   pada   kaum   lemah   dan perempuan.   Pembangunan   pasar   tradisional   akan   mampu   membangun   kota   ke   arah pemberdayaan perempuan sebagai kelompok usaha.   Agar pasar tradisional unggul, selain menata fisik bangunan, Walikota berusaha mengubah pola pelayanan dan perilaku pedagang: ”Kesan pasar kotor dan jorok harus diubah jadi bersih dan higienis”.   Dalam lima tahun, 13 pasar tradisional berhasil dibangun (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010).

2 Keempat prinsip tersebut merupakan pemikiran Walikota yang sering disampaikan dalam pidato di depan para Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah

(22)

Keberpihakan  walikota  untuk  orang  miskin  di bidang  kesehatan  ditunjukkan  dengan mengeluarkan instruksi kepada rumah sakit di seluruh Kota Surakarta agar bersedia membantu masyarakat   miskin   yang   sakit   dengan   tidak   memberatkan   biaya   pengobatan   mereka,   dan menekankan bahwa bagi rumah sakit yang tidak bersedia mengikuti instruksi ini akan dicabut IMB­nya. Kebijakan ini menunjukkan walikota tidak terkooptasi, kolusi atau tunduk kepada pengusaha dalam menjalankan kepemimpinannya. Pemerintah kota Surakarta meluncurkan program Pemeliharaan Kesehatan Masyarakat Solo (PKMS) pada Januari 2008. Setiap warga Solo di luar pemegang Askeskin, Askes, dan asuransi kesehatan lain bisa mendapat kartu PKMS   dengan   biaya   dari   APBD.  Bagi   masyarakat   tidak   mampu,   dengan   PKMS   ini   akan mempermudah mendapat layanan kesehatan yang terjangkau atau bahkan gratis. PKMS terdiri dari 2 jenis, yakni PKMS Silver dan PKMS Gold. PKMS Silver adalah untuk masyarakat umum, sedangkan PKMS Gold adalah fasilitas bagi masyarakat tidak mampu,  apabila mendapatkan perawatan inap, pengobatannya ditanggung sepenuhnya oleh Pemerintah Kota Surakarta.   Di bidang pendidikan, Walikota merencanakan dan melaksanakan program sekolah gratis, dan beasiswa pelayanan pendidikan (sekolah plus). Program lain adalah membangun Taman Cer­ das bagi anak­anak tak mampu untuk mengakses perpustakaan dan komputer (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010).

Pengarusutamaan  pro job  di sektor pendidikan nampak dalam program pengembangan pendidikan   non   formal   untuk   meningkatkan   kualitas   angkatan   kerja   yang   memenuhi kebutuhan pasar. Saat ini Kota Surakarta telah memiliki Solo Techno Park (STP). STP merupakan pengembangan  Surakarta Competency and Technology Center  (SCTC) yang merupakan institusi diklat   hasil   kerjasama   antara   Pemerintah   Kota   Surakarta   dengan   Akademi   Teknik   Mesin Indonesia   (ATMI).   SCTC   berfungsi   sebagai   tempat   diklat   pemuda   penganggur   sampai penyalurannya ke tempat kerja.  Program ini dikatakan sebagai contoh kebijakan sosial inklusif karna   bertujuan   meningkatkan   kemampuan   kelompok   warga   masyarakat   meningkatkan kemandirian dalam pencarian lapangan kerja dan melibatkan kolaborasi lembaga masyarakat sipil untuk menyediakan kebutuhan publik (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010). 

(23)

dan  aparat    kantor  Satpol  PP  yang  masing­masing  punya  latar  belakang  pengalaman  dan kebutuhan yang berbeda terkait penerapan kebijakkan penertiban kota dan pengaturan PKL sebagai potensi ekonomi kerakyatan. Pendekatan personal dalam jamuan makan dengan PKL sampaii 53 kali dengan para PKL termasuk salah satu contoh penerapan personal evaluation yang dilakukan untuk menilai tingkat penerimaan (acceptability) rancangan kebijakan sosial penataan PKL sebagai kebijakan yang pro job dan pro growth.  Tidak ditolak kalau ada pendapat lain yang mengatakan strategi yang dilakukan pemerintah kota Surakarta ini sebagai strategi yang diatur secara tehnokratis atau patronage.  Namun demikian, perlu juga dipertimbangkan pendapat  Douglas Torgerson dalam  (Hajer and Wagenaar  ,  2003:114­115) yang menyatakan bahwa   kecenderungan   tehnokrasi   dan   oligarkhi   akan   melanggengkan   dirinya.     Namun demikian   pergeseran   dari  government  ke  governance  tidak  harus   berakhir  di  gang  buntu teknokratis,  melainkan  perlu untuk melihat  potensi  demokratisasi melalui  wacana  kebijakan demokratis.  Jadi,   meskipun   atmosfir   tehnokratis   atau   oligarkhi   itu   ada,   namum   kehadiran jaringan masyarakat sipil yang kuat memiliki kemampuan mempertanyakan asumsi­asumsi yang dibangun dibalik kebijakan tehnokratis.  Perlu digarisbawahi, kebijakan yang tehnokratis itu tetap diperlukan dalam proses kebijakan untuk mengorganisir kesinambungan bukti dan informasi   pengambilan   kebijakan.     Dalam   kapsitas   tertentu   jaringan   masyarakat   sipil   ini mampu mempertukarkan domain adminstratif dengan domain masyarakat sipil.  Artinya, pada kapasitas tertentu dalam lingkup lingkungan lokal tertentu, bisa dikatakan masyarakat sipil berhasil mempengaruhi atau membuat kebijakan bagi dirinya sendiri.   Inipun bisa dikatakan suatu proses kebijakan yang demokratis, karena ada substansi kemampuan mengatur atau membela   kepentingannya   sendiri.     Tidak   dipungkiri   bahwa   kedalaman   makna   demokrasi sangat dapat diperdebatkan.

Dalam   kasus   rembug   PKL   yang   terjadi   di   kota   Surakarta,pada   kadar   tertentu   sudah menunjukan kehadiran substansi demokrasi, adanya ruang dan kemampuan kelompok PKL memperjuangkan   nasibnya,   hak   usahanya,   dan   melakukan   kewajibannya   menghormati kepentingan publik yang lain, dengan cara bersedia untuk dipindahkan tanpa ada perlawanan. Boleh   saja   diperdebatkan,   apakah   kesediaan   berpindah   para   PKL   dengan   damai   ini menunjukkan proses demokrasi? Atau proses dibawah kooptasi?   Pada konteks masyarakat PKL kota Surakarta, kepindahan PKL tanpa pergolakan ini dapat dinilai sebagai keberhasilan

(24)

dialog   demokratis,   karena   apabila   merunut   pada   sejarah   sebelumnya,   kelompok   rawan masyarakat Solo punya kemampuan untuk membakar kota sebagai bentuk protes dan tekanan kepada   pemerintah   kota.     Dengan   demikian   apabila   dilihat   dari   hasil   praktisnya,   kasus penataan   PKL   ini   bisa   dikategorikan   hasil   dialog   demokratis,   meskipun   derajad   kualitas demokratisnya masih dapat diperdebatkan.

Penerapan prinsip inklusif, deliberatif dan dialog yang keempat nampak dalam upaya kepala daerah melakukan evaluasi  kebijakan yang demokratis ala Surakarta bersama dengan kelompok masyarakat, baik Lembaga Swadaya Masyarakat, maupun organisasi/paguyuban kelompok masyarakat.  

Tabel 2. Forum Penerapan prinsip inklusif, deliberatif dan dialog

Forum Tujuan Unsur yang terlibat

Mider paraja menemui   masyarakat

langsung di konteks masalah sosial   yang   terjadi   untuk triangulasi   perumusan masalah   kebijakan   dan monitoring   implementasi kebijaka 

Walikota, wawali dan kepala dinas terkait, masyarakat

Njajah Praja Milang Kori Program non fomal memotret masalah   masyarakat   dan merekan   reaksi   masyarakat atas   kebijakan­kebijakan pemerintah kota.

walikota dan wawali

Temu warga tahunan forum   yang   diadakan   tiap tanggal   yang   sama   dengan tanggal pelantikan walikota di ruang publik terbuka

walikota   dan   wawali, masyarakat   umum,   tanpa seleksi

SMS walikota dan wawali keluhan pelayanan publik dan kebijakan   publik   berbasis keluhan masyarakat

Walikota,   wakil   walikota, Dinas   Kominfo,   masyarakat umum

Pertemuan kelompok blogger Dunia luar bisa sangat kenal lingkungan   Surakarta/Solo melalui   informasi   dunia internet

Walikota,   wakil   walikota, blogger 

Siaran rutin di Radio 1x/mg Menyampaikan   informasi program pemerintah kota dan menggali respon masyarakat

(25)

Sumber: hasil Penelitan (Wahyuningsih dan Hartanto, 2010)

Pelaksanaan masing­masing forum tersebut secara riil dilakukan.  Hal ini terbukti dari dokumentasi bagian humas  dan Dinas komunikasi dan Informasi tentang peristiwa publik yang terjadi serta respon pemerintah kota.  Bukti lainnya dapat adalah hasil wawancara dengan kelompok warga yang terkena program relokasi dan renovasi pemukiman layak huni, semua menyatakan puas dengan kebijakan sosial perumahan ini (Wahyuningsih, dan Hartanto, 2010). Informasi­informasi ini sebagai bukti bahwa pemerintah kota Surakarta dalam tingkat tertentu sudah   menerapkan   proses   kebijakan   sosial     yang   demokratis,   dengan   membuka   ruang komunikasi   dan   informasi   publik   yang   cukup   beragam,   adanya   komitmen   untuk mengupayakan pelayanan publik yang berpihak pada warga yang kurang mampu, yang rentan terdiskriminasi dalam mekanisme pasar.

Merujuk pada pendapat  Innes, J.E. and Booher, D.E. (2003:33) pemimpin mengambil posisi yang penting dalam proses kebijakan demokratis.   Peran inovatif dan responsif kepala daerah   ditengarai   sebagai   variabel   kunci   dihasilkannya   kebijakan   sosial   yang   demokratis. Tidak   dipungkiri   adanya  jebakan  inovasi  dan   kreativitas   kepala  daerah   sebagai  pemimpin seringkali   kontrapriduktif   terhadap   proses   demokratis,   dalam   arti   kebijakan   yang   diambil secara tehnokratis.   Namun demikian apabila digunakan dimensi ekonomi demokrasi (Kabir Mato: 2011) kebijakan yang dilakukan walikota Surakarta dapat dikatakan memuat nilai­nilai dimensi ekonomi demokrasi.   Dimensi ekonomi demokrasi adalah kemampuan warga untuk mencapai potensi ekonomi mereka dan hidup malampaui batas kemiskinan dan kekurangan. Ini menyangkut etika dan sifat alokasi dan distribusi kesejahteraan warga negara.  Kebijakan­ kebijakan   pemerintah   kota   Surakarta   yang   pro   ekonomi   kerakyatan,   jaminan   kesehatan, jaminan pendidikan sebagaimana diuraikan di atas menunjukkan dimensi ekonomi demokrasi.  Dari uraian tentang kontekstualisasi kebijakan sosial yang demokratis di kota Surakarta, bebarapa hal dapat dikatakan sebagai pelajaran kunci yang membangun kebijakan sosial yang demokratis.  Pertama,   Kepala   Daerah   bertindak   responsif   dan   cepat   jika   ada   laporan penyelewengan yang merugikan masyarakat.   Informasi yang diperoleh dari Dinas Kominfo setiap laporan dari masyarakat lewat media masa atau sms (Short Message Service) selalu ditindaklanjuti   oleh   walikota   dengan   cara   memanggil   langsung   kepala   SKPD   yang bertanggungjawab terhadap masalah tersebut.   Dari mekanisme ini dapat diinterpretasikan bahwa publik memiliki ruang demokratis untuk mengevaluasi dan mengontrol kebijakan yang

(26)

dilakukan oleh Satuan Kerja Perangkat Daerah Kota Surakarta.  Media SMS langsung ke Hot Line Pemerintah Kota ataupun SMS ke media (misalnya, Kring Solo Pos), komentar dan aduan pada   waktu   siaran   pemerintah   melalui   radio   atau   televisi   lokal   dapat   menjadi   sarana mendapatkan persepsi, komplain, aspirasi, dan kepedulian masyaarakat atas kebijakan sosial atau kebijakan publik pada umumnya.  

Kedua,   Kepala  Daerah   membuka   peluang  insentif   dan  disinsentif   untuk   mendorong kreatifitas   organisasi   perangkat   daerah   melakukan   terobosan/inovasi   program/kegiatan pembangunan yang meningkatkan derajad kesejahteraan masayrakat. Dalam setiap pertemuan paparan   Rencana   Kerja   SKPD   walikota   menjanjikan   akan   mengupayakan   anggaran   untuk membiayai   program­program   besar   yang   sifatnya   berdampak   langsung   pada   peningkatan ekonomi masyarakat dan mendatangkan capital inflow ke kota Solo.  Disinsentif dilakukan oleh walikota  bagi  pejabat   yang  dianggap  tidak  pro  pelayanan  publik,  dengan  cara  melakukan mutasi   atau   pengambilalihan   tanggungjawab   rencana   program/kegiatan.     Apabila   dilihat mekanisme   insentif   dan   disinsentif   ini   nampaknya   ada   gaya   otoriter.     Namun   dari   segi kemanfaatan,   tingkat   cakupan   pelayanan   sosial   warga   sangat   tinggi.     Kondisi   ini   cukup representatif kalau menggunakan dimensi sosial ekonomi dari demokrasi, yaitu pengalokasian sumber daya untuk memenuhi hak dasar kelompok rentan supaya tidak terpinggirkan dalam layanan sosial .   Data hingga September 2011, penerima jaminan sosial pendidikan sebanyak 21%   dari   jumlah   warga,   sedangkan   untuk   jaminan   kesehatan   mencapai   53% (www.surakarta.go.id).

(27)

Program   Pemberdayaan   Masyarakat   berbasis   Gender.     Dalam    APBD   Perubahan   2011 dianggarkan Rp 500 juta untuk 250 rumah.  Program ini nantinya juga bersinergi dengan BLUD Griya Layak Huni yang menjadi lembaga penjamin kredit kelompok penghuni rumah tak layak huni untuk renovasi rumah menjadi layak huni.  Sumber dana BLUD berasal dari bantuan UN Habitat.  Upaya peningkatan kapasitas ekonomi penerima subsidi RTLH dan pinjaman BLUD, dilakukan dnegan cara melatih ibu­ibu rumah tangga memiliki ketrampilan kerja yang dapat menambah penghasilan sehingga mampu membayar kredit tambahan biaya renovasi rumah. Pelatihan ini dilakukan oleh Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi.

Variabel   kedua   yang   mendukung   pengembangan  democratic   social   policy  di   Kota Surakarta adalah keaktifan kelompok masyarakat sektoral dan lembaga swadaya masyarakat mengontrol proses kebijakandari sisi perencanaan dan evaluasi hasil implementasi kebijakan. Di kota Surakarta ada perkumpulan organisasi masyarakat untuk mengawal kebijakan dan program   yang   berpihak   pada   nilai­nalai   publik   yang   demokratis.     Organisasi   ini   disebut Konsorsium Solo.  Konsorsium ini merupakan jaringan organisasi non pemerintah (ornop) di Kota Surakarta yang memiliki kepedulian mewujudkan kebijakan, program dan APBD yang berpihak masyarakat miskin. Anggota Konsorsium Solo yaitu: (1)GITA PERTIWI; (2) INRES; (3) INTERAKSI; (4) JARI Orwil Jawa Tengah; (5) KOMPIP; (6) LeSKAP; (7) LPTP; (8) PATTIRO Surakarta;   (8)   SARI;   (9)   SWM;   (10)SPEKHAM;   (11)   YAYASAN   KRIDA   PARAMITA; (12)YAYASAN PENGEMBANGAN PEDESAAN; (13) YAYASAN TALENTA.  Konsorsium dari berbagai organisasi non pemerintah ini menjadi salah satu ukuran demokrasi secara formatif. Lembaga ini diasumsikan mampu menjembatani dialog yang otentik antara masyarakat akar rumput dengan pemerintah.  Tidak menafikan adanya potensi bias lembaga non pemerintah, sama   seperti   bias   unsur   governance   lain,   misalnya   bias   pasar   dan   bias   pemerintah.     Bias lembaga non pemerintah antara lain kemungkinan konflik nilai dan kepentingan, mengingat lembaga non pemerintah minimal punya tanggung jawab kepada lima pihak yang tentunya memiliki kepentingan yang berbeda  donor, klien, staf, partner, dan misi.   Namun demikian kehadiran konsorsium minimal dapat menjadi kontrol internal organisasi non pemerintah ini untuk   berada   pada   jalur   pengawalan   kehadiran   kebijakan   sosial   yang   demokratis   beserta seluruh rangkaian prosesnya.

(28)

Variabel   ketiga   yang   mendukung   pengembangan  democratic   social   policy  di   Kota Surakarta adalah power relation antara pemerintah dan masyarakat yang relatif egaliter. Relasi pemerintah   kota.     Mayarakat   kota   Surakarta   terkenal   sebagai   masyarakat   plural. Kepemimpinan   yang   memberi   ruang   komunikasi   bagi   masyarakat   akan   sangat   membantu proses   evaluasi   kebijakan   dan   proses   penyusunan   kebijakan   sosial   yang   demokratis. Pemerintah kota menyadari potensi ledakan masyarakat Surakarta apabila jalur komunikasi tersumbat.  Kerusuhan­kerusuhan masa lalu yang pernah menimbulkan kerusakan parah bagi kota menjadi cermin bagi pemerintah kota.   Oleh karena itu sejak tahun 2005, komunikasi dengan warga semakin dibuka, dengan berbagai fasilitas yang adam termasuk pemanfaatan tehnologi   komunikasi   berbasis   internet.     Tidak   menafikan   apabila   ada   argumen   yang menyanggah   bahwa   komunikasi   egaliter   ini   tidak   sepenuhnya   deliberatif,   tetapi   skenario komunikasi   yang   didesain   secara   struktural.   Anggapan   tersebut   tidak   sepenuhnya   keliru, namun perlu juga diapresiasi tingkat penerimaan publik, termasuk para blogger, dan media yang banyak memuji tata kelola kota Surakarta. Salah satu contoh ruang dialog egaliter yang digelar walikota Surakarta adalah adanya temu warga secara bebas di ruang terbuka, misalnya pojok   pasar   Triwindhu,   suatu   komplek   perdagangan   barang   antik   di   depan   istana Mangkunegaran.   Acara ini digelar setiap peringatan ulang tahun pelantikan walikota dan wawali, sebagai representasi pengingat akan amanat rakyat.  Peserta yang hadir tidak dibatasi dan   tidak   ada   undangan   khusus   perseorangan,   tetapi   undangan   terbuka   untuk   umum. Siapapaun boleh datan dan boleh bicara. Forum ini dijadikan forum evaluasi dan penjaringan agenda   kebutuhan   publik   yang   dianggap   walikota   relatif   otentif,   karena   tidak   diatur representasi formalnya.

Kepercayaan Publik Kepada pemerintah Kota Surakarta

(29)

masyarakat secara demokratis dalam proses kebijakan maka semakin berpotensi menghasilkan kebijakan sosial yang demokratis.

Bagaimana relevansi kebijakan sosial yang demokratis dengan kepercayaan publik di kota Surakarta?   Dalam pengalaman kota Surakarta, kepercayaan publik meningkat seiring waktu   membuktikan   bahwa   kebijakan­kebijakan   yang   diambil   walikota   memang menguntungkan   masyarakat   pada   umumnya,   dan   membuka   ruang   dialog   yang   bersifat deliberatif dengan masyarakat secara inklusif.  

Salah satu bukti formal yang dianggap merepresentasikan tingkat kepercayaan publik adalah   elektabilitas   walikota­wawali   yang   mencapai   93%.     Memang   alasan   ini   bisa diperdebatkan,   apakah   ini   murni   bukti   kepercayaan   publik   atau   rekayasa   money   politik? Tulisan   ini   tidak   sepenuhnya   dapat   membuktikan   korelasinya   secara   statistik.     Namun demikian bukti lapangan menunjukan tidak ada sengketa tentang money politik pada waktu Pilkada   dan  hingga   kini   tidak   ada  gugatan.       Kalau   ada  argumen   yang  mempertanyakan apakah   elektabilitas   itu   murni   karena   kepercayaan   publik   atau   karena   ada   kampanye terselubung   dengan   menggunakan   dana   bantuan   sosial   oleh   incumbent   sebelum   pilkada? Tulisan   ini   juga  tidak   bia   memberikan   jawaban   yang   teruji   secara   valid   berdasar   statistik. Namun sampai dengan saat ini belum ada publikasi media yang menyatakan temuan lembaga pengawas atas penyimpangan penggunaan dana publik untuk kampanye.  Untuk mendukung argumentasi bahwa kepercayaan publik kota Surakarta kepada pemerintah kota cukup tinggi dapat   dikaitkan   dengan   adanya   penghargaan  Bung   Hatta   Anti   Corruption   Award  bidang reformasi   dan   pelayanan   publik  tahun   2010   yang   diterima   oleh   walikota   Surakarta   . Penghargaan ini mempunyai visi menjauhkan korupsi, mendekatkan Masyarakat, sehingga kriteria penilaiannya didasarkan pada reformasi birokrasi, yaitu integritas, tindakan nyata, dan membangun sistem layanan publik yang terbuka.  Selain itu kota Surakarta juga mendapatkan peringkat   kota   bersih   korupsi   naik   menjadi   nomor   3   pada   tahun   2011,   serta   anugerah kotamadya   berkinerja   terbaik   2011.     Anugerah­anugerah   ini   sebagai   indikator   adanya pengakuan publik atas kinerja pemerintah kota Surakarta.  Pengakuan kinerja dari anugerah­ anugerah tersebut menyangkut integritas dan dedikasi pada pelayanan publik.   Jadi cukup alasan apabila tulisan ini menilai kebijakan publik dan kebijakan yang demokratis di kota Surakarta menumbuhkan kepercayaan publik yang semakin besar kepada pemerintah kota Surakarta.  Sementara kepercayaan publik yang besar menjadi daya dorong dan daya kontrol

(30)

bagi   pemerintah   kota   Solo   untuk   menjaga   kinerjanya   melalui   kebijakan­kebijakan   yang diberlakukan.

Hal  ini  dibuktikan   dengan   dukungan   suara   lebih  dari   93%   pada   incumbent   dalam pemilihan kepala daerah.   Berbagai penghargaan tingkat nasional dan internasional berikut juga   membuktikan   tingkat   kepercayaan   publik   pada   pemerintah   kota   Surakarta.   Sebagai contoh; Penghargaan Bung Hata Anti Korupsi Award (BHAKA) tahun 2010;   ;   Banyaknya blogger yang menulis tentang kota Surakarta dengan ragam sajiannya juga menunjukan tingkat kepercayaan dan dukungan afektif masyarakat pada pemerintah kota Surakarta

Kebijakan Sosial yang Demokratis Mengkondisikan Kepercayaan Publik yang Baik

Lahirnya   kebijakan  sosial  yang demokratis  tidak  terpisah  darikesadaran  menggugat dominasi   kekuasan,   yang   memarginalkan   “voices”   kelompok  powerless.     Dalam   konteks   ini berarti lahirnya kebijakan sosial yang demokratis menjembatani jurang yang membahayakan kebersamaan pemerintah dan rakyat untuk menangani  pubic affairs  (urusan­urusan publik). Keterbatasan   perencanaan,   implementasi,   dan   evaluasi   kebijakan   yang   secaratehnokratis dilakukan   sendiri   oleh   pemerintah   dapat   membawa   potensi   bahaya   bagi   ketidaktepatan kebijakan.   Ketidaktepatan kebijakan dalam pengertian tidak tepat sasaran, tidak tepat cara mengimplementasikannya,   maupun   tidak   tepat   ukuran   keberhasilannya.     Jika   hal   ini berlangsung dalam jangka panjang dapat berpotensi menurunkan derajad kepercayaan rakyat, terutama yang “voices” nya termarginalkan.  Oleh karena itu, kehadiran kebijakan sosial yang demokratis menjadi suatu kebutuhan untuk membangun relasi pemerintah dan masyarakat yang kuat.  

Gambar

Gambar 1. Konsep Collaborative policy
Gambar 3. Posisi Kepercayaan Publik
Tabel 2. Forum Penerapan prinsip inklusif, deliberatif dan dialog

Referensi

Dokumen terkait

Ashton dan Elliot (1987), meneliti hubungan antara audit delay dengan beberapa variabel independen yang terdiri dari total pendapatan, kompleksitas perusahaan,

Kondisi ini tercermin dalam prediksi ITK triwulan III-2017 Sulawesi Selatan yang nilainya dibawah ITK saat ini (nilai indeks sebesar 107,37). Prediksi yang tetap diatas 100,

Data yang dianalisis dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dari hasil skor penilaian penguasaan pengucapan kosakata dan penguasaan pemahaman kosakata anak down syndrome

Ketut Suarjana, MPH Perilaku Seks Pranikah Remaja di Kota Denpasar 2013 FK Ilmu Kesehatan Masyarakat. 37 sang gede purnama Program jumantik dan survei entomologi nyamuk Aedes

Metode deteksi tgt pd bgmn sinyal optis DICAMPUR dgn osilator lokal (homodyne atau heterodyne) dan sinyal listrik DIDETEKSI (sinkron dan asinkron):.. PENCAMPURAN sinyal informasi

Jadi beta sambayang minta ko Tuhan Allah, kotong pung Bapa, deng Yesus Kristus, kotong pung Bos, kasi tunju sayang sang lu, kasi tunju hati bae sang lu, deng kasi lu idop aman,

Laporan Tugas Akhir Magang ini disusun sebagai syarat kelulusan yang harus dipenuhi untuk mendapatkan gelar Sarjana Ekonomi pada Fakultas Bisnis Jurusan Akuntansi

Tujuan penelitian ini adalah untuk mendiskripsikan peningkatan kemampuan kognitif dalam klasifikasi bentuk geometri melalui media balok pada anak kelompok A PAUD