• Tidak ada hasil yang ditemukan

Book Review Bahasa dan Gender Dalam Masy

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Book Review Bahasa dan Gender Dalam Masy"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Discourse Analysis

BOOK REVIEW: BAHASA & GENDER

DALAM MASYARAKAT BUGIS BY MURNI

MAHMUD

ADE CHANDRA

13B01064

CLASS A

ENGLISH EDUCATION DEPARTMENT

GRADUATE PROGRAM

(2)

2014

BOOK REVIEW : Bahasa & Gender Dalam Masayarakat Bugis

Pengarang : Hj. Murni Mahmud, S.Pd, M.Hum,Ph.D Penerbit : Pustaka Refleksi

Tahun Terbit : 2009

PENDAHULUAN

Pembicaraan mengenai hubungan bahasa dan gender dalam masyarakat Bugis memanglah sudah diakui keabsahannya bahwa keduanya memiliki peranan hubungan yang penting dalam menentukan suatu hubungan di masyarakat bugis. Akan tetapi, untungnya dalam permasalahan ini ada seoarang pakar yang membahasnya lebih mendalam. Ialah seorang Hj. Murni Mahmud, S.Pd, M.Hum, Ph.D dalam bukunya yang berjudul Bahasa & Gender Dalam Masyarakat Bugis. Dalam buku dengan jumlah ketebalan 72 halaman ini, Beliau memberi penjelasan dengan membagi buku ini kedalam empat bab penjelasan. Bab pertama lebih fokus membahas tentang orang-orang bugis, dimana pada bab ini lebih menitik beratkan pada domisili-domisili orang bugis itu dimana saja, disamping itu pada bab ini juga membahas tentang budaya orang bugis, kehidupan beragamanya, sistem sosialnya, dan perubahan dalam masyarakat Bugis itu sendiri. Bab kedua dengan judul On Gender, membahas tentang perbedaan seks atau gender, apa-apa saja dampak dari perbedaan gender secara umum, dan membahas tentang bahasa perempuan secara general atau umum. Selanjutnya dalam bab ketiga, lebih membahas masalah bahasa dan gender dalam masyarakat Bugis. Pada bab ini, telah dibahas masalah gender dalam masyarakat Bugis, konsep perbedaan bahasa dan gender , dan refleksi perbedaan bahasa dan gender dalam masayarakat bugis. Yang terakhir yakni bab keempat, lebih merupakan seperti kesimpulan dari penulis yang diberikan judul Bahasa dan Gender Sebuah Renungan.

(3)

Dalam buku terbitan Pustaka Refleksi ini juga, penulis banyak mengambil pendapat para pakar dalam bidangnya untuk menjadi kalimat pendukung buat penulis. Salah satunya, Eckert (1998:64), praktek gender berbeda antara budaya yang satu dengan budaya yang lain, dari suatu tempat ke tempat yang lain, dan dari satu kelompok dengan kelompok lainnya.

ORANG-ORANG BUGIS

Ini merupakan pembahasan pertama dalam buku ini. Pada pembahasan ini lebih berbicara mengenai tinjauan terhadap masyarakat bugis, untuk mendapatkan gambaran umum mengenai masyarakat bugis atau orang-orang bugis serta segala ciri khas sosial budaya dan sistem kemsyarakatannya.

Dalam tulisannya, penulis mengungkapkan bahwa Bugis adalah salah satu kelompok etnik yang umumnya di jumpai dikepulauan Sulawesi namun dewasa ini sudah dapat ditemui di hampir seluruh wilayah Indonesia, bahkan banyak dari mereka yang bermigrasi dan bertempat tinggal di luar Indonesia, seperti Malaysia. Namun kebanyakan mereka berada di Sulawesi Selatan.

Penulis memberikan beberapa pengertian dengan mengambil beberapa pendapat para ahli. Bugis termasuk dalam kelompok orang – orang Austronesia (Pelras, 1996:1). Bahasa mereka adalah bahasa Bugis yang merupakan salah satu dari empat bahasa yang dipakai dipakai di Sulawesi Selatan selain Mandar, Makassar, dan Toraja.

Penulis juga memberikan penjelasan tentang tiga hal yang bisa memberikan gambaran tentang budaya orang Bugis, yaitu konsep ade’, siri’, na pesse’, dan simbiolisme sarung sutera. Bagi masyarakat Bugis ada empat jenis ade’ (adat istiadat) yaitu (1) ade’ maraja yang dipakai dikalangan para raja atau para pemimpin, (2) ade’ puraonro, yaitu adat yang dipakai sejak lama dalam masyarakat secara turun temurun, (3) ade’ assamaturukeng, peraturan yang ditentukan melalui kesepakatan, (4) ade’ abiasang, adat yang dipakai dari dulu sampai sekarang dan sudah diterapkan dalam masyarakat. (Nonci, 2003: 4-5)

(4)

mendapat status pendidikan dan mendapat gelar to acca atau orang pintar. Status penting lainnya adalah status pernikahan. Perempuan Bugis hendaknya menikah sebelum usia 30 tahun jika tidak ingin dianggap perawan tua atau dikenal dengan nama nalaloini pasa’ yang artinya sudah tidak bisa laku lagi dipasaran.

Pada bab yang diberi judul Orang-Orang Bugis oleh penulisnya ini juga menjelaskan lebih lanjut Terdapat tiga kelompok orang yang dapat dipanggil dengan gelar bangsawan , walaupun dari segi keturunan, ia sendiri tidak termasuk golongan bangsawan yaitu to-arung

(orang bangsawan), to-acca (orang pintar), to-sugi’ (orang kaya).

ON GENDER

Pada bab ini, penulis berusaha menjelaskan tentang konsep seks and gender secara umum termasuk pembahasan mengenai bahasa dan gender.

Menurut penulis, Seks dan gender adalah dua konsep yang berbeda. Arti gender dalam kamus bahasa Indonesia itu juga diartikan sebagai jenis kelamin. Seringkali gender selalu hanya dihubungkan dengan perempuan, padahal konsep gender itu menyangkut baik laki – laki maupun perempuan.

Perbedaan jenis kelamin memicu timbulnya konsep – konsep tertentu yang berbeda tentang peran dan kedudukan laki – laki dan perempuan. Masalah kemudian ketika perbedaan jenis kelamin yang bersifat kodrati ini secara turun temurun menjadikan perempuan memiliki peran dan kedudukan yang berbeda dengan laki – laki.

Dalam buku ini juga, penulis menjelaskan tentang bahasa perempuan. Beliau menjelaskan bahwa perempuan memiliki ciri khas tersendiri dalam berkomunikasi baik dalam komunikasi verbal maupun komunikasi non verbal. Lakof (1976) mengatakan bahwa perempuan dalam berkomunikasi cenderung menggunakan intonasi tinggi, bentuk bahasa yang sangat sopan, lebih banyak empati, dan pertanyaan. Jadi dalam berkomunikasi, perempuan disebut sebagai makhluk emosional, lebi banyak menggunakan perasaan dalam berbicara dan kurang banyak menggunakan logika.

BAHASA DAN GENDER DALA MASYARAKAT BUGIS

(5)

– laki dan perempuan bisa memperoleh persamaan hak, akan tetapi pendapat perempuan hanya bisa dipakai sebagai pelengkap, bukan putusan akhir. Ini disebabkan karena perempuan memiliki kelemahan secara fisik dan psikis (Mattulada, 1995:440).

Perempuan Bugis selalu diharapkan untuk selalu bersifat lembut dan informal sesuai dengan konsep “malebbi” (lembut dan anggun), sedangkan bagi laki – laki Bugis diharapkan untuk bersikap agresif dan formal untuk memperlihatkan sikap kejantanan mereka. Dalam filsafat orang Bugis, laki – laki Bugis hendaknya bersifat warani atau berani.

Disamping itu penulis berpendapat bahwa salah satu perbedaan dasar mengenai cara berkomunikasi laki – laki dan perempuan Bugis adalah pada tingkat kesopanannya. Hal ini salah satunya dapat dilihat pada pemakaian kata ganti benda atau pronoun. Dalam masyarakat Bugis ada beberapa jenis kata ganti benda yang dipakai untuk merujuk kepada lawan bicara seperti idi’, -ki’, ta-/i-, iko, -ko, dan nu-/mu.

BAHASA DAN GENDER SEBUAH RENUNGAN

Pada bab ini berisi ringkasan dan simpulan oleh penulis. Beliau mengatakan Gender merupakan aspek penting dalam komunikasi antara laki – laki dan perempuan dalam masyarakat Bugis. Namun demikian perlu dipaami bahwa tata cara dan sikap perempuan dalam berkomunikasi tidak bersifat kodrati tetapi terpengaruh oleh konstruksi sosial masyarakat.

Menurut sudut pandang penulis, cara berkomunikasi yang berbeda antara laki – laki dan perempuan bisa menjadi penyebab marginalisasi perempuan dalam masyarakat. Untuk itu perlu ada penerapan unsur kesetaraan dalam berkomunikasi. Dengan prinsip ini, maka akan tercipta hubungan komunikasi yang setara antara laki – laki dan perempuan.

Untuk sosialisasi ini, perlu adanya upaya untuk memberdayakan kemampuan perempuan, yaitu dengan meningkatkan ruang lingkup komunikasi perempuan yang tidak terbatas lagi pada

private sphere.

(6)

REFLEKSI

Penulis ( Murni Mahmud ) telah membuktikan nyatanya, terdapat perilaku bahasa dan gender yang berbeda pada masyarakat Bugis khususnya pada daerah sampel penulisan. Namun masih ada beberapa pertimbangan yang perlu diperhatikan yakni apakah perbedaan bahasa antara bahasa perempuan dan bahasa laki-laki dipengaruhi oleh gender ataukah ada aspek lain dalam berkomunikasi yang mempengaruhi perbedaan itu, misalnya setting berkomunikasi atau tingkat status sosial pembicara, atau aspek-aspek komunikatif lainnya. Buku ini sangatlah bermanfaat bagi siapa saja yang telah membacanya. Ini dapat menambah wawasan kita tentang masyarakat Bugis secara umum, dan dapat menambah wawasan kita dalam penulisan suatu artikel, thesis, dll. secara khususnya.

DAFTAR PUSTAKA

http://kiatmenjadipenulissukses.blogspot.com/2013/10/belajar-cara-dan-bagaimana-mereview.html

(7)

ADE CHANDRA 13 B 01064 CLASS A

TOPIC :

The Analysis of the Use of Profanity and Gender in Community: BPEC Benteng Panyua English Club”

OBJECTIVES :

This research aims to know the use of profanity in community in context of gender. It means that the result of the research will be able to know the number of the frequency the users of profanity. In the other hand we could ask do males use profanity more than females in community ?

LOCATION :

Fort Rotterdam, Makassar, South Sulawesi

BIBLIOGRAPHY :

Andersson, L. G. ; Trudgill, P. 1990. Bad language. Oxford: Blackwell.

Brown, P. ; Levinson, S. 1983. Politeness: Some Universals in Language Usage. Cambridge: Cambridge University Press, 1983.

Coates, J. 2004. Women, Men, and Language. 3rd ed. New York: Longman.

Cressman, Dale, et al. 2009. An Analysis of Profanity in US Teen-Oriented Movies. California: Routledge Taylor & Francis Group

Eckert, P. 1990. “Cooperative competition in adolescent girl talk.” Discourse Processes 13.

Gauthier, Michael. 2010. Profanity and Gender : A Diachronic Analysis of Men’s and Women’s Use and Perception of Swear Words. University of Lumiere Lyon 2.

(8)

Key, M. R. 1975. Male or Female language. Metuchen, NJ: Scarecrow Press.

Stapleton, K. 2003. “Gender and Swearing: A Community Practice.” Women’s and Language,

Cambridge : Cambridge Scholars Press.

Referensi

Dokumen terkait

Dengan demikian, tercapailah tujuan awal peneliti untuk mendesain ulang batik Cimahi dengan cara mengolah motif dalam lembaran tekstil dengan menggunakan teknik

1) Pengucapan seperti fonologi.. Yang lain menyebutkan kesulitan mereka dalam intonasi, stres, aksen, dan kelancaran atau laju bicara. Lexis juga muncul sebagai salah

Gejala umum anemia yang disebut juga sebagai sindrom anemia (anemic syndrome) dijumpai pada anemia defisiensi besi apabila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8 g/dl. Gejala

Berpijak pada latar belakang di atas, penelitian ini mencoba untuk menjawab tiga permasalahan; bagaimanakah gambaran tentang Yahudi sebagai agama dan bangsa? Bagaimanakah

Data dari BPJS Ketenagakerjaan pada tahun 2015 telah terjadi kecelakaan kerja sejumlah 50.089 kasus.(Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI,2015)

[r]

Anggota Direksi wajib melaksanakan tugasnya dengan itikad baik untuk kepentingan Perusahaan dan sesuai dengan maksud dan tujuan Perusahaan, serta memastikan agar

bahwa untuk indikator prosedur dalam item penilaian Prosedur mudah dipahami, dimana responden penelitian Pelayanan Administrasi Terpadu Kecamatan (Paten) Di Kecamatan