• Tidak ada hasil yang ditemukan

Deponering Kasus AS dan BW Contoh Bobrok

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Deponering Kasus AS dan BW Contoh Bobrok"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

Deponering Kasus AS dan BW Contoh

Bobroknya Penegakan Hukum

Indonesia

2K

DILIHAT

/

0

SHARE

/

12:49

04 MAR 2016

Dok. Bambang Widjojanto dan Abraham Samad

Editor

(2)

Rimanews - Ahli Hukum Pidana Universitas Al Azhar, Dr Suparji Ahmad, menilai langkah Jaksa Agung Muhammad Prasetyo mengesampingkan

(deponering) perkara yang menimpa dua mantan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, akan menjadi

preseden (contoh) bobroknya penegakan hukum di Indonesia.

Sponsored

Perlindungan Terbaik Untuk Keluarga Anda, Cukup 4000 Rupiah

"Ada preseden buruk bahwa penegakan hukum dipengaruhi opini publik," kata Suparji Ahmad.

Ia mengungkapkan, pengaruh opini publik yang sangat luar biasa sudah tampak saat Jaksa Agung menghentikan perkara yang menimpa penyidik senior KPK, Novel Baswedan. Dan kini terulang dalam penghentian kasus yang menimpa AS dan BW.

"Bahkan, kasus Novel Baswedan itu kan sudah P-21. Kemudian ditarik

penuntutannya dan dihentikan. Ini merupakan pembelajaran hukum yang tidak baik di masa mendatang. Ke depan, ketika seseorang terjerat kasus hukum, bisa jadi menyewa media untuk memengaruhi opini publik agar kasusnya

dikesampingkan," katanya.

Suparji Ahmad pun mempertanyakan, mengapa ada semacam imunitas bagi kalangan KPK. Orang-orang di lingkungan KPK ini, baik pimpinan maupun penyidik, sepertinya tidak bisa disentuh hukum, kebal hukum.

Selain itu, masalah ini juga dinilai sebagai suatu contoh yang tidak baik buat Kejaksaan Agung. Dimana ada semacam komunikasi yang tidak baik dengan Kepolisian.

"Padahal Kepolisian sudah melakukan berbagai proses, sampai-sampai berani dicemooh publik, berani dihujat publik. Ternyata dihentikan kasusnya. Ini contoh yang tidak baik terkait sinergitas lembaga penegak hukum," Suparji Ahmad.

Menurutnya, jika memang Kejaksaan punya alasan kuat untuk menghentikan kasus tersebut, semestinya dilakukan pada tingkat penyidikan. Pasalnya, sebelum melakukan penyidikan, penyidik harus mengeluarkan Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).

(3)

Maka dari itu, langkah deponering yang diambil Jaksa Agung dianggap semakin menunjukkan bahwa lebih banyak penegakan hukum itu sangat dipengaruhi oleh anasir-anasir politik.

Sementara, terkait alasan kasus AS dan BW dihentikan karena dikhawatirkan berdampak pada semangat pemberantasan korupsi, Suparji Ahmad menilai alasan itu mengada-ada, bersifat spekulatif dan sangat prematur.

(4)

Deponering Kasus Bibit dan Chandra:

Jalan Akhir ala Kejaksaan

Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah

Jakarta - Enam petinggi Kejaksaan Agung bergegas meninggalkan ruang kerja Darmono. Pagi itu, Senin pekan lalu, sekitar pukul 10.00, mereka baru membahas persoalan penting dengan Pelaksana Tugas Jaksa Agung tersebut, yakni perkara Bibit Samad Rianto dan Chandra Marta Hamzah serta bocornya rencana tuntutan yang melibatkan jaksa Cirus Sinaga. Rapat itu berlangsung sekitar satu jam.

Beberapa jam kemudian, hasil rapat itu “merembes” keluar. Yang membocorkannya Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Amari. Didesak wartawan perihal rapat pagi itu, Amari kelepasan bicara. Ia menyatakan Kejaksaan telah mengambil opsi deponering untuk kasus Bibit-Chandra. Kabar dari Kejaksaan Agung ini dengan cepat melesat keluar.

Darmono rupanya terkejut dengan terlalu paginya anak buahnya itu memberikan pernyataan. Tiga jam setelah Amari memberikan “keterangan pers” itu, Darmono angkat bicara. Ia membantah Kejaksaan telah mengambil putusan seperti yang dikatakan anak buahnya. “Masih akan dilakukan kajian oleh tim,” ujarnya. Ia juga menyebutkan Amari telah meminta maaf atas pernyataannya yang dengan cepat “disambar” wartawan itu.

Tapi sumber wartawan menyebutkan rapat Senin pagi pekan lalu itu memang telah mengambil putusan deponering. Selain oleh Amari, rapat dihadiri oleh Jaksa Agung Muda Intelijen Edwin Pamimpin Situmorang, Jaksa Agung Muda Pembinaan Iskamto, serta Jaksa Agung Muda Perdata dan Tata Usaha Negara Kamal Sofyan. Satu-satunya yang absen Marwan Effendy, Jaksa Agung Muda Pengawasan.

Dalam rapat itu, ujar sumber Tempo, Darmono hanya menyodorkan dua opsi penyelesaian kasus Bibit-Chandra: deponering (pengesampingan perkara) atau dibawa ke pengadilan. Tapi, dalam rapat, Darmono cenderung memilih deponering. “Pimpinan rapat tak meminta pendapat peserta yang hadir,” ujar sumber itu. Karena tanpa bantahan, rapat berlangsung kilat dan berlanjut membahas kasus Cirus.

(5)

Menurut Darmono, realisasi putusan akan disertai pertimbangan dari badan-badan negara, seperti Dewan Perwakilan Rakyat, Mahkamah Agung, Mahkamah Konstitusi, dan presiden. Menurut dia, meski DPR berhak menolak putusan itu, penolakan tak akan mengubah putusan Kejaksaan Agung. Deponering, ujarnya, merupakan hak Jaksa Agung seperti tertuang dalam Pasal 35-C Undang-Undang Kejaksaan. Putusan lembaga lain tak mengikat.

Mahkamah Agung, kata Darmono, bisa dianggap telah memberikan pertimbangan. Itu berdasarkan amar putusan Mahkamah dalam perkara Bibit-Chandra ini. Mahkamah menyatakan, jika pertimbangannya sosiologis, sebaiknya Kejaksaan menggunakan deponering. Menurut sumber wartawan, tak semua petinggi Kejaksaan yang ikut rapat Senin pagi itu setuju kasus Bibit-Chandra diselesaikan dengan mekanisme deponering. Mereka menilai lebih pas kasus itu diselesaikan melalui opsi surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP). Alasannya, opsi ini lebih simpel dan tak berbelit.

Memang pilihan opsi ini mensyaratkan sejumlah hal, antara lain didahului dengan pemeriksaan tambahan seperti digariskan Pasal 30 Undang-Undang Kejaksaan. Selain itu, Kejaksaan bisa menggunakan putusan terhadap Anggodo, yang dinyatakan bersalah oleh pengadilan, sebagai novum atau bukti baru. Kendati opsi ini bisa dipraperadilankan, tipis kemungkinan untuk dikabulkan. “Karena alasan penerbitan SKPP memiliki argumen hukum kuat. Perkara tersebut tidak cukup bukti,” ujarnya.

Sedangkan opsi deponering, menurut sumber tadi, lebih berbelit karena harus meminta saran badan-badan negara, serta berpotensi digugat. Opsi deponering juga bisa mencoreng pemberantasan korupsi. “Apalagi belum pernah ada kasus korupsi yang dikesampingkan demi kepentingan umum,” ujar sumber itu.

Darmono sendiri, menurut sumber wartawn yang lain, sudah meminta masukan banyak pihak perihal opsi deponering ini. Salah satunya dari Tim Delapan, tim yang dulu mengkaji perkara Bibit-Chandra. Kepada Tempo, salah satu bekas anggota Tim Delapan, Todung Mulya Lubis, mengakui soal ini. “Kami mengusulkan opsi ini saat menjumpai Jaksa Agung, pertengahan Oktober lalu,” katanya.

Menurut Todung, opsi tersebut diambil karena ia melihat, dalam kasus Bibit-Chandra, tidak ada bukti dan dasar hukumnya. “Jika kasus ini dibawa ke pengadilan, kita akan menyidangkan perkara yang tidak kuat,” kata Todung. Selain itu, ujarnya, mengganti dua pemimpin KPK yang masa baktinya tinggal setahun tak lebih murah daripada mengganti kelima anggotanya untuk lima tahun mendatang.

Hanya, Todung mengakui, dengan deponering, ada beban moral bagi Bibit dan Chandra. “Sebab, ini berarti mereka dianggap bersalah dan harusnya diadili tapi tidak diadili,” ujarnya. Namun Todung melihat ini bisa dikesampingkan demi kepentingan lebih besar, yakni pemberantasan korupsi.

(6)

Menurut Ahmad, pihaknya belum bisa mengambil sikap terhadap pengumuman Darmono. “Kami masih menunggu bagaimana pertimbangan hukum atas putusan deponering tersebut,” katanya. Dia berharap Kejaksaan dapat menyampaikan alasan dan pertimbangan hukum yang tepat dan kuat atas pilihan deponering itu. “Sehingga tak memungkinkan munculnya gugatan,” ujarnya. Kepada Tempo, yang mewawancarainya Jumat malam pekan lalu, Chandra Hamzah menyatakan, apa pun opsi yang diambil Kejaksaan, pihaknya mau tak mau harus siap. “Karena posisi saya dan Pak Bibit bukan pihak yang menentukan.”

Tanggapan sinis atas “turunnya” deponering ini muncul dari kubu Anggodo Widjojo, pihak yang dulu mempraperadilankan SKPP Bibit-Chandra. Menurut kuasa hukum Anggodo, O.C. Kaligis, semestinya perkara ini tak bisa dideponir karena sudah dinyatakan lengkap, termasuk bukti dan saksinya. “Mau memberantas korupsi kok koruptor dibebaskan,” kata Kaligis. Menurut dia, deponering hanya boleh diajukan Jaksa Agung, bukan pelaksana tugas. Tiga hari sebelum Darmono mengumumkan deponering ini, ujar Kaligis, pihaknya sudah berkirim surat ke Pelaksana Tugas Jaksa Agung itu mempertanyakan opsi tersebut.

Anggota Komisi Hukum DPR, Gayus Lumbuun, menilai deponering kasus Bibit dan Chandra bertentangan dengan putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap, yang menyatakan perkara tersebut dilanjutkan ke pengadilan. Ia menunjuk opsi ini mengabaikan penjelasan Pasal 35 Undang-Undang Kejaksaan, yang menyebutkan pengesampingan perkara hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung definitif. Kebijakan deponering, ujarnya, melanggar tatanan hukum dan perundang-undangan. “Ini bisa dipersoalkan sebagai pelanggaran hukum administrasi negara,” kata Gayus, yang juga pakar hukum administrasi negara.

Memilih Deponering

Berjalan lebih dari setahun, drama kasus Bibit-Chandra akhirnya menuju titik akhir. Kejaksaan memilih opsi pengesampingan (deponering) perkara ini. Deponering merupakan wewenang Kejaksaan Agung untuk mengesampingkan perkara pidana demi kepentingan umum meski sudah ada cukup bukti. Dalam membuat keputusan ini, Jaksa Agung harus memperhatikan saran dan pendapat dari lembaga yudikatif, legislatif, dan eksekutif.

Konsekuensi

 Terdakwa bebas demi kepentingan umum.

 Perbuatan tindak pidana dianggap ada.

 Keputusan berlaku permanen.

Dasar Hukum

Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia.

Pasal 35c: Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang mengesampingkan perkara demi kepentingan umum.

(7)

 Kejaksaan Agung pernah menerbitkan deponering untuk Letnan Jenderal (Purnawirawan) Mochamad Jasin, yang dituduh menghina kepala negara dengan menandatangani Petisi 50 di era kepemimpinan Presiden Soeharto. Saat itu, Jaksa Agung adalah Ismail Saleh.

 Pada 15 Agustus 1953, Jaksa Agung R. Soeprapto mengesampingkan kasus wartawan Pemandangan, Asa Bafagih. Asa dituding membocorkan rahasia negara karena menulis rencana pemerintah membuka keran investasi asing dan menaikkan gaji pegawai. Dalam pemeriksaan, Asa menolak menyebut sumber beritanya. Tekanan publik kepada pemerintah datang bertubi-tubi. Atas nama kepentingan umum, kasus ini dideponir.

15 Juli 2009

Anggodo Widjojo dan Ary Muladi mengaku telah menyerahkan uang Rp 5,1 miliar kepada pemimpin Komisi Pemberantasan Korupsi, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah. Uang itu diberikan agar kasus yang membelit kakak Anggodo, Anggoro Widjojo, dihentikan KPK.

7 Agustus 2009

Polisi menuduh Bibit dan Chandra melakukan penyalahgunaan wewenang, yakni mencekal Anggoro dan Joko Tjandra tanpa persetujuan pemimpin KPK yang lain.

15 September 2009

Badan Reserse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI menetapkan Bibit dan Chandra sebagai tersangka.

29 Oktober 2009

Bibit dan Chandra ditahan di Markas Brimob, Kelapa Dua, Depok.

2 November 2009

Presiden Susilo Bambang Yudhoyono membentuk Tim Delapan yang diketuai Adnan Buyung Nasution.

3 November 2009

Mahkamah Konstitusi memperdengarkan rekaman percakapan Anggodo dengan sejumlah pihak dalam persidangan uji materil.

4 November 2009

Bibit dan Chandra dibebaskan dari Rumah Tahanan Markas Brimob, Kelapa Dua, Depok.

22 November 2009

(8)

1 Desember 2009

Kejaksaan Agung mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan (SKPP) untuk Bibit dan Chandra.

24 Maret 2010

Anggodo mengajukan gugatan praperadilan terhadap SKPP Bibit dan Chandra ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

19 April 2010

Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memenangkan Anggodo dalam gugatan praperadilan atas SKPP Bibit dan Chandra.

3 Juni 2010

Pengadilan Tinggi DKI Jakarta menolak permohonan banding yang diajukan Kejaksaan Agung atas SKPP perkara Bibit dan Chandra.

8 Oktober 2010

Mahkamah Agung menolak permohonan peninjauan kembali SKPP Bibit dan Chandra. Bibit dan Chandra berstatus tersangka lagi.

29 Oktober 2010

Kejaksaan Agung mengeluarkan putusan deponering untuk kasus Bibit-Chandra.

Mereka Bicara Kasus Bibit-Chandra

“Saya tidak perlu mempermasalahkan buktinya kuat atau tidak. Tapi ini untuk kepentingan yang lebih besar. Maka kami berkesimpulan harus dilakukan deponering.” (Darmono, Pelaksana Tugas Jaksa Agung)

“Deponering dan abolisi itu sesuatu yang terpisah. Deponering dapat diambil dengan mempertimbangkan aspek keadilan.” (Mahfud Md., Ketua Mahkamah Konstitusi)

Deponering itu kalau ada perkara. Lha ini perkaranya saja rekayasa, jadi untuk apa deponering?” (Bagir Manan, Ketua Dewan Pers)

(9)

PENYAMPINGAN PERKARA

BAB I

DEPONERING (PENYAMPINGAN PERKARA)

1. Pengertian Deponering (Penyampingan Perkara)

Penyampingan perkara (deponering) yang dimaksud Pasal 8 Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 jo Pasal 32 huruf e Undang-undang No. 5 Tahun 1991 jo. Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004 berbunyi: “Jaksa Agung mempunyai tugas dan wewenang menyampingkan perkara demi kepentingan umum”.

Dalam Penjelasan UU No. 16 Tahun 2004 pasal 35 huruf c disebutkan: “Yang dimaksud dengan ‘kepentingan umum’ adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat. mengesampingkan sebagaimana dimaksud dalam ketentuna ini merupakan pelaksanaan asas opportunitas, yang hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung setelah memperhatikan saran dan pendapat dari badan-badan kekuasaan Negara yang memepunyai hubungan dengan masalah tersebut”.

Kemudian dalam KUHAP Pasal 46 ayat (1) huruf c yang berbunyi: “Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hukum, kecuali apabila benda itu diperoleh dari suatu tindak pidana atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu tindak pidana”, dan terdapat dalam Penjelasan Pasal 77 KUHAP berbunyi: “Yang dimaksud dengan penghentian penuntutan tidak termasuk penyampingan perkara untuk kepentingan umum menjadi wewenang Jaksa Agung”.

Kejaksaan dalam konteks Hukum Acara Pidana Indonesia disebut sebagai Dominnus Litis (badan yang berhak mengadakan penuntutan). Dari hak

penuntutan tersebut, muncul apa yang dikenal dengan Asas Legalitas (penuntut umum wajib menuntut suatu delik) dan Asas Opportunitas (opportuniteit beginsel) yang menurut A.Z. Abidin Farid dirumuskan sebagai asas hukum yang

memberikan wewenang kepada penuntut umum untuk menuntut atau tidak menuntut dengan atau tanpa syarat seseorang atau korporasi yang telah mewujudkan delik demi kepentingan hukum.

Dalam kontek penyampingan perkara (Deponering) pada Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004, mengandung unsur-unsur yang terdiri dari:

1. Tugas dan wewenang Jaksa Agung, b. Tindakan penyampingan perkara, c. Alasannya demi kepentingan umum.

(10)

perkara (Deponering) merupakan wewenang tunggal di tangan Jakasa Agung. Ini dimaksudkan agar tetap menjamin untuk sejauh mungkin tidak disalahgunakan. Jaksa Agung dalam pengambilan keputusan tersebut senantiasa bermusyawarah dengan pejabat-pejabat tinggi yang ada sangkut pautnya dengan perkara tersebut.

BAB II

PERBEDAAN DEPONERING DAN PENGHENTIAN PENUNTUTAN

Terkait dengan pembahasan Deponering, tak akan terlepas dari pembahasan masalah penghentian penuntutan oleh kejaksaan (penerbitan Surat Keterangan Penghentian Penuntutan/SKPP). Maka harus kita tekankan akan perbedaan antara penghentian penuntutan dengan penyampingan perkara (deponering). Berikut ini adalah beberapa hal yang membedakan antara deponering dan penghentian penuntutan:

1. Penyampingan perkara.

Perkara yang bersangkutan memang cukup alasan dan bukti untuk diajukan serta diperiksa di muka sidang pengadilan. Dari fakta dan bukti yang ada, kemungkinan besar terdakwa dapat dijatuhi hukuman. Akan tetapi, perkara yang cukup fakta dan bukti itu “sengaja dikesampingkan” dan tidak dilimpahkan ke sidang pengadilan oleh pihak penuntut umum atas alasan ‘demi untuk kepentingan umum’. Deponering ini hanya dapat dilakukan oleh Jaksa Agung langsung.

1. Penghentian Penuntutan.

Alasan penghentian penuntutan bukan didasarkan atas kepentingan umum, tetapi berdasarkan alasan dan kepentingan hukum itu sendiri. Alasan tesebut

diantaranya:

1. Ditutup dem kepentingan hukum

 Karena tidak cukup bukti. Contohnya: tidak mencapai minimal

dari alat bukti yang diharuskan seperti disebut dalam pasal 183 KUHAP, alat bukti yang ada tidak sah menurut hukum, tidak terpenuhinya unsur delik dari pasal yang didakwakan.

1. Ditutup demi hukum

Apabila dijumpai suatu tindakan pidana yang oleh undang-undang telah ditentukan bahwa hak kejaksaan untuk menuntut tindak pidana tersebut gugur, maka tindak pidana tersebut haurs ditutup demi hukum. Ini disebutkan karena:

 “Nebis in idem” Pasal 76 KUHAP), Terdakwa meniggal (Pasal 77

(11)

Disamping perbedaan dasar alasan yang telah diungkapkan di atas, terdapat perbedaan prinsipil antara deponering dengan penghentian penuntutan perkara:

 Deponering satu kali dilakukan penyampingan perkara, tidak

ada lagi alasan untuk mengajukan perkara itu kembali ke muka sidang pengadilan.

 Pada penghentian penuntutan, perkara yang bersangkutan

umumnya masih dapat lagi kembali diajukan penuntutan kembali jika ternyata ditemukan alasan baru yang

memungkinkan perkaranya dapat dilimpahkan ke sidang pengadilan. Umpanya ditemukan bukti baru sehingga dengan bukti baru tersebut sudah dapat diharapkan untuk menghukum. Penghentian penuntutan dapat diajukan upaya hukum dalam proses praperadilan (Pasal 77-81 KUHAP). Jika Deponering

dilakukan oleh Jaksa Agung, sedangkan penghentian penuntutan dapat dilakukan oleh jaksa pada lingkup kejaksaan RI.

BAB III

ANALISIS KASUS BIBIT-CHANDRA

Dalam sejarah Hukum Acara Pidana Indonesia penyampingan perkara demi kepentingan umum sangat jarang dilakukan. Pada masa Orde Baru

pengenyampingan perkara demi kepentingan umum pernah diterapkan pada kasus M. Yasin (tokoh petisi 50). Ketika berkas perkara dilimpahkan ke penuntut umum dalam tahap prapenuntutan, Jaksa Agung menggunakan hak opportunitasnya sesuai dengan KUHP yaitu dengan mengenyampingkan perkara demi kepentingan umum. Kepentingan umum dalam hal ini adalah kepentingan politik.

Mengapa kepentingan politik yang menjadi pertimbangan dalam

mengenyampingkan perkara ini, pertimbangannya karena apabila perkara M. Yasin dituntut dan diadili di persidangan, akan menimbulkan gejolak politik yang luas di kalangan masyarakat termasuk di kalangan ABRI dan purnawirawan ABRI yang berdampak kepada stabilitas ekonomi, sosial budaya, pertahanan keamanan, dan lain-lain, jadi pertimbangann dalam perkara Jenderal M. Yasin ini adalah pertimbagan kepentingan umum dalam aspek politik negara.

Pada masa reformasi, problem deponering ini kembali mencuat dalam kasus yang dialami oleh Bibit-Chandra. Kasus petinggi Komisi Pemberantas Korupsi (KPK) Bibit S. Rianto dan Chandra M Hamzah menyedop banyak perhatian masyarakat. hal tersebut terlihat jelas hingga adanya akun pada salah satu situs jejaring social yang mendukung kedua petinggi KPK tersebut. Kasus tersebut selanjutnya ditangani oleh tim 8 yang diketuai Adnan Buyung Nasution, dalam situs resmi liputan6.com Tim 8 menyimpulkan beberapa hal diantaranya:

(12)

1) Testimoni Antasari Azhar

2) Laporan Polisi oleh Antasari Azhar

3) Rekaman pembicaraan Antasari Azhar dengan Anggoro di Singapura di Laptop Antasari Azhar di KPK

4) Keterangan Anggodo tanggal 7 Juli 2009

5) Keterangan Anggoro tanggal 10 Juli 2009 di Singapura

6) Keterangan Ari Muladi.

b. Dalam perkembangannya Polisi tidak menemukan adanya bukti penyuapan dan/atau pemerasan, namun demikian Polisi terlihat memaksakan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh Chandra dan Bibit dengan menggunakan:

1) Surat pencegahan ke luar negeri terhadap Anggoro;

2) Surat pencegahan dan pencabutan cegah keluar negeri terhadap Djoko Tjandra.

c. Polri tidak memiliki bukti yang cukup untuk mendakwa Chandra dan Bibit atas dasar penyalahgunaan wewenang berdasarkan Pasal 23 UU Tindak Pidana

Korupsi jo Pasal 421 KUHP dan pemerasan berdasarkan Pasal 12 (e) Undang-undang Tindak Pidana Korupsi serta percobaannya berdasarkan Pasal 15 UU Tindak Pidana Korupsi.

Berdasarkan kesimpulan yang dituangkan dalam situs tersebut, Tim 8 juga mengusulkan beberapa usulan terkait penyelesaian kasus tersebut:

1. Kepolisian menerbitkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) dalam hal perkara ini masih di tangan kepolisian;

2. Kejaksaan menerbitkan Surat Keputusan Penghentian

Penuntutan (SKPP) dalam hal perkara ini sudah dilimpahkan ke kejaksaan; atau

3. Jika kejaksaan berpendapat bahwa demi kepentingan umum, perkara perlu dihentikan, maka berdasarkan asas opportunitas, Jaksa Agung dapat mendeponirkan perkara ini.

Permasalahan kasus Bibit-Chandra mulai timbul lebih runcing setelah Kejaksaan memutusan untuk menghentikan kasus tersebut dengan menerbitkan SKPP. Sayangnya SKPP tersebut dianggap terlalu lemah karena alasan-alasan yang seharusnya diajukan oleh Kejaksaan tidak sesuai dengan ketentuan yang ada dalam KUHAP dan dianggap terlalu lemah. Hal tersebut berbuntut pada praperadilan yang diajukan oleh Anggodo.

(13)

memenagkan tuntutan Anggodo. Menurut KUHAP, sampai disini perkara selesai, artinya, kejaksaan wajib meneruskan perkara Bibit-Chandra ke pengadilan. Namun kejaksaan Agung masih coba-coba mengajukan PK ke Mahkama Agung yang akhrinya Mahkama Agung memutuskan tidak berwenang mengadili permohon PK tersebut.

Dari uraian di atas, timbul beberapa kemungkinan yang dapat di tempuh oleh kejaksaan. tinggal dua alternatif: deponering atau meneruskan kasus ke

pengadilan. Pendapat lain yang mengemuka adalah penerbitan SKPP baru atau SKPP jilid dua.

Akhir Oktober 2010, keputusan Kejaksaan Agung (Kejakgung) secara resmi melakukan deponering atas kasus dugaan penyalahgunaan wewenang Bibit-Chandra. Keputusan melakukan deponering disampaikan Pelaksana Tugas (Plt) Jaksa Agung, Darmono, saat jumpa pers di Gedung Jaksa Agung, Jakarta, Jumat (29/10). Sikap tersebut, menurutnya, diambil setelah pimpinan Kejaksaan Agung, yakni Jaksa Agung Muda (JAM), Staf Ahli, dan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) berembuk untuk menentukan langkah hukum sesuai undang-undang, terhadap kasus yang menuai perhatian publik itu.

Sekarang yang menjadi perdebatan banyak kalangan adalah apakah sudah tepat deponering yang diambil oleh Jaksa Agung? dan bagaimana dengan opini

masyarakat terhadap para pihak yang memperoleh deponering dalam hal ini Bibit dan Chandra?.

Berdasarkan UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan pasal 35 huruf c, Jaksa Agung mempunyai “tugas dan wewenang” untuk “mengesampingkan perkara demi kepenitangan umum”. Banyak argument akan muncul, alasan

pendeponeringan perkara Bibit-Chandra karena keduanya adalah Pimpinan KPK yang bertugas memberantas Korupsi (dianggap sebagai extra ordinary crime), KPK harus berjalan normal tanpa terganggu dengan kekosongan pimpinannya. Andai Bibit-Chandra diadili, maka Presiden wajib memberhentikan sementara dari jabatannya. Hanya saja apakah dengan pemberhentian sementara oleh presiden ini dapat menyebabkan KPK tidak dapat menjalankan tugasnya?, Ini yang masih menjadi pertanyaan banyak pihak terkait UU Komisi Pemberantasan Korupsi.

(14)

Jika kita merujuk pada asas presumption of innocent, seharusnya ini menjadi patokkan bahwa sebelum adanya putusan pengadilan setiap terdakwa dianggap tidak bersalah, Tentu saja kalau asas praduga tidak bersalah diterapkan,

selamanya Bibit-Chandra harus dianggap tidak bersalah, dengan belum atau tidak ada putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap yang memutuskan mereka bersalah. Bagaimana akan ada, kalau perkaranya memang “dikesampingkan” alias tak jadi dituntut ke pengadilan. Status mereka menjadi menggantung tak jelas ujung pangkalnya.

Yang menarik dari deponering kasus ini, jelas membuat kondisi KPK dapat berjalan normal. Hanya saja yang perlu diingat terkait bagaimana opini publik yang timbul dikalangan masyarakat atas keduanya. Bagaimana mungkin orang yang diberi amanah memberantas korupsi sebagai Pimpinan KPK, sementara mereka diduga dan diakui sebagai pelaku kejahatan yang perkaranya dideponering oleh Jaksa Agung. Pertanyaan ini tidak membawa konsekuensi hukum apa-apa. Konsekuensinya hanya di bidang etis karena belum dapat diyakinkan secara hukum yang berlaku terkait ketidakbersalahan keduanya dimata masyarakat luas.

Permasalahan lain yang mencuat terkait wewenang dan tugas deponering ini apakah dapat dilakukan oleh Plt Jaksa Agung?. Kita ingat beberapa waktu lalu judicial review pada Mahkama Konstitusi (MK) terkait Pasal 22 ayat (1) huruf d UU Kejaksaan terhadap ketentuan Pasal 1 ayat (3) dan Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 oleh Yusril Izha Mahendra, yang kemudian berakhir pada pemberhnetian Hendarman Supanji sebagai Jaksa Agung dan digantikan oleh wakilnya sebagai Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono.

Sebagaian praktisi hukum Indonesia beranggapan Plt Jaksa Agung tidak dapat mengambil keputusan yang strategis termasuk deponering. Hal ini ditakutkan akan menimbulkan resiko politik yang tinggi, dan politik balas budi antara KPK dengan Kejaksaan. Yang artinya, mengharuskan deponering hanya dapat

dilakukan oleh Jaksa Agung definitive yang dianggkat oleh Presiden.

Harus diakui keputusan kejaksaan mendeponir kasus tersebut secara tidak

langsung menampakkan ketidakpatuhan kejaksaan atas putusan praperadilan agar perkara tersebut dilimpahkan ke Pengadilan. Memang kejaksaan yang memiliki hak penuntutan ‘dominus litis’, hanya saja, dalam kasus Bibit-Chandra ini

kejaksaan diangap lalai dalam mengelurkan SKPP dan berbuntut pada deponering.

Dari uraian panjang di atas, saya rasa deponering yang dikeluarkan oleh

Kejaksaan dianggap kurang tepat. Ini justru tambah mencederai kejaksaan di mata masyarakat. Seharusnya Kejaksaan tidak terburu-buru mengambil deponering sampai presiden menunjuk Jaksa Agung definitif. Adabaiknya Kejaksaan memilih mematuhi putusan PN Jakarta Selatan dan PT Jakarta untuk meneruskan ke tahap pengadilan.

(15)

dalam mengadakan pemeriksaan di pengadilan. Dalam artian, jika keduanya terbuki tidak bersalah maka putusan final adalah dinyatakan bebas, namun jika bersalah nyatakan bersalah tidak lantas dijadikan seperti tanpa status pasti.

Kepastian ini lebih baik ditempuh agar martabat para petinggi KPK lebih bersih dimata semua pihak, dan terwujudnya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under the law di Indonesia.

BAB IV

KESIMPULAN

Deponering atau mengkesampingkan perkara tidak diatur secara jelas dalam KUHAP maupun undang-undang, hanya diatur dalam beberapa: Pasal 35 huruf c Undang-Undang No 16 Tahun 2004, KUHAP Pasal 46 ayat (1) huruf c,

Penjelasan Pasal 77 KUHAP. Deponering ini terjadi atas dasar asas Opportunitas yang masih dianut di Indonesia dan merupakan hak Jaksa Agung.

Deponering berbeda dengan penghentian penuntutan (SKPP), jika deponering danggap telah cukup bukti dan harus dikesampingkan karena alasan ‘demi kepentingan umum’, maka secara rinci hal penghentian penuntutan dilakukan dengan 2 alasan: ditutup demi kepentingan hukum karena tidak cukup bukti dan ditutup demi hukum dikarenakan hal-hal yang terjadi sesuai dengan pada Pasal 76, Pasal 77, Pasal 78 , Pasal 82 KUHAP, Abolisi dan Amnesti serta dapat dilakukan upaya praperadilan sedangkan deponering tidak.

Terkiat kausus Bibit-Chandra, SKPP Kejaksaan dianggap lemah mengakibatkan praperadilan yang diajukan Anggodo dimenangkannya dengan putusan diteruskan kasus tersebut ke pengadilan. Kejaksaan akhirnya mengeluarkan putusan

deponering dengan alasan demi kelancaran proses dalam pemberantasan korupsi. Hanya saja hal ini malah menimbulkan pro-kontra karena secara etis petinggi KPK tidak memiliki status pasti yang jelas dimata masyarakat apakah bersalah atau tidak. Sehingga adabaiknya kasus ini diteruskan ke pengadilan dan diproses seadil-adilnya dan sebenar-benarnya agar kredibilitas para aparatur penegak hukum tidak diciderai kembali dan dan terwujudnya equality before the law, equality protection on the law, and equality justice under the law di Indonesia.

DAFTAR PUSTAKA

Hamzah, Andi. 2007, Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta:Sinar Grafika.

RM, Soharto. Penuntutan dalam Praktek Peradilan

KUHAP Lengkap. 2008, Jakarta: Sinar Grafika.

(16)

Prakoso, Djoko. 1985. Eksistensi Jaksa di Tengah-Tengah Masyarakat. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Undang-Undang No. 15 Tahun 1961 jo Undang-undang No. 5 Tahun 1991 jo. Undang-Undang No 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan.

http//:www.Liputan6.com

http://yusril.ihzamahendra.com

http//:www.sinarharapan.com

http//:www. Yustisi.com

By ifalatifaftriani

Nov 26 2011

UPAYA HUKUM ATAS PUTUSAN

BEBAS (VRIJSPRAAK) ATAU

LEPAS (ONSLAG VAN

RECHT

VERVOLGING)

Berdasarkan KUHAP di Indonesia jelas akan kita lihat keanehan terkait masalah upaya hukum biasa terkait putusan bebas (vrijspraak) atau pada putusan lepas (onslag van recht vervolging). Dalam KUHAP pasal 67 terkait upaya hukum banding, secara yuridis normatif terhadap putusan bebas (vrijspraak) dan putusan lepas (onslag van recht vervolging) dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum tidak dapat dilakukan upaya banding.

(17)

Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP?.

Dari yang penulis pahami, terhadap putusan lepas dari segala tuntutan hukum yang menyangkut kurang tepatnya penerapan hukum dapat diajukan kasasi

menurut Pasal 244 KUHAP, dengan alasan hanya tertera putusan bebas yang tidak dapat diajukan kasasi. Sedangkan terkait kasasi atas putusan bebas dengan acuan Surat Keputusan Menteri Kehakiman No. M.14-PW.07.03 Tahun 1983 tentang Tambahan Pedoman Pelaksanaan KUHAP angka 19, dalam praktiknya telah dilakukan dikotomi, yaitu putusan bebas murni atau bebas tidak murni. Adapun tentang alasan Jaksa/Penuntut Umum yang tetap mengajukan kasasi terhadap putusan bebas murni selalu mengambil berdalih, antara lain: 1)

Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi (Judexfactie) telah salah menerapkan hukum pembuktian sebagaimana dimaksud dalam pasal 185 ayat (3) dan ayat (6) KUHAP ; 2) Cara mengadili yang dilakukan Judexfactie tidak dilaksanakan menurut ketentuan Undang-undang ; 3) Putusan Judexfactie bukan merupakan putusan bebas murni (vrijspraak), melainkan putusan “bebas tidak murni”.

Secara hukum dapat dipastikan TPP KUHAP dan Yurisprudensi tidak cukup kuat atau tidak dapat dijadikan dalil hukum bagi Jaksa/Penuntut Umum untuk

melakukan kasasi terhadap putusan bebas sebagaimana dimaksud di dalam pasal 244 KUHAP, karena TPP KUHAP yang merupakan produk Keputusan Menteri Kehakiman dan Putusan Hakim yang berkekuatan hukum tetap (Yurisprudensi) bukan merupakan sumber tertib hukum yang berlaku di Indonesia. Dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Hierarki Peraturan Perundang-Undangan tidak diatur terkait keputusan menteri dapat mengganti undang-undang, undang-undang hanya dapat diganti dengan peraturan pengganti undang-undang. Yurisprudensi dalam putusan bebas tidak dapat dijadikan dalil hukum oleh Jaksa/ Penuntut Umum, apalagi jika mengingat banyaknya Hakim di dalam memutuskan suatu perkara menganut asas “opportunity” yang pada gilirannya mengakibatkan tidak tegasnya apakah yurisprudensi dapat menjadi sumber hukum atau tidak. Dimana hal ini terjadi dikarenakan di satu sisi mereka (Hakim) dalam memutus perkara mengikuti aliran Legisme, dengan alasan tidak boleh menyimpang dari apa yang diatur oleh Undang-undang, namun di lain sisi mereka mengikuti Aliran “Rechtsvinding” dengan alasan menyelaraskan Undang-undang dengan tuntutan zaman. Bahkan tidak jarang terjadi di dalam praktiknya asas “opportunity” melahirkan kecenderungan didasarkan pada kepentingan pribadi dari Hakim yang bersangkutan, sehingga sudah saatnya kedudukan “Yurisprudensi” harus

ditertibkan kepada tujuannya semula yaitu, Yurisprudensi hanya dapat dijadikan referensi dan berguna untuk mengisi kekosongan hukum ketika dalam suatu perkara atau upaya hukum belum ada aturan hukum atau Peraturan perundang-undangan yang secara tegas mengaturnya.

Referensi

Dokumen terkait

Gugatan Penggugat sama sekali tidak kabur karena antara posita dan petitumnya adalah merupakan suatu rangkaian fakta-fakta hukum yang didasarkan atas bukti Putusan Pengadilan

Kejadian Perkara (TKP), yaitu tempat dimana terjadinya suatu tindak pidana4. yang kemungkinan besar banyak fakta dan data yang dapat

PENGGUNAAN CEK DAN BILYET GIRO SEBAGAI ALAT BUKTI DALAM PROSES PEMERIKSAAN SENGKETAC. PERDATA DALAM PERKARA HUTANG-PIUTANG (Studi Kasus di Pengadilan

Jadi mulai dari sekarang ini hak untuk dapat mohon bandingan dari putusan Pengadilan Negeri tentang perkara pidana, diberikan kepada segala terdakwa dan segala Jaksa yang

vonis bebas terhadap terdakwa dalam perkara penyalahgunaan narkotika dengan Putusan No: 45/Pid.B/2011/PN.BKY dan Putusan No: 46/Pid.B/2011/PN.BKY adalah bahwa fakta