1
A. Latar Belakang
Pancasila sebagai Philosophie of Grondslag menjadi pandangan dan pedoman hidup dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila lahir sebagai
kristalisasi nilai-nilai luhur yang mendarah daging dalam kehidupan rakyat
Indonesia, kemudian dituangkan dalam lima butir sila yang saling berkaitan satu
dengan yang lain. Ibarat bangunan maka Pancasila berbentuk piramid, sebagai
lantai dasarnya adalah Ketuhanan Yang Maha Esa.4 Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai sila pertama mengamanatkan pengakuan bangsa Indonesia akan eksistensi
Tuhan sebagai pencipta dunia dengan segala isinya. Oleh karena itu sebagai umat
yang mengakui Tuhan, warga negara Indonesia harus taat kepada perintah
Tuhan-nya. Bagi orang-orang yang dianggap mampu,5
4
Sila Pertama Pancasila Sebagai Fondamen Kehidupan Berbangsa dan Bernegara, Thamrin Dahlan m.kompasiana.com/post/read/467933/3/sila-pertama-pancasila-sebagai-fondamen-kehidupan-berbangsa-dan-bernegara.html, (diakses Rabu 3 Desember 2014 pukul 15.43 WIB).
5
Mampu mengandung arti memiliki kemampuan melakukan hubungan kelamin dan kemampuan untuk memenuhi biaya hidup perkawinan. Kedua hal ini merupakan persayaratan suatu perkawinan. Lihat, Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan, (Jakarta, Kencana, 2007), h.44, definisi mampu dapat dilihat juga dalam Pasal 5 UUP 1/1974 mengenai permohonan poligami bahwa salah satu syarat yang harus dipenuhi untuk dapat melakukan poligami adalah apabila suami mampu menjamin keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, juga di dalam Pasal 55 KHI beristri lebih dari seorang hanya dapat dilakukan apabila suami mampu berlaku adil.
Tuhan memerintahkan untuk
melaksanakan perkawinan sebagai upaya membentengi diri dari segala hal-hal
yang negatif dan mengundang dosa. Sebagai suatu perintah Tuhan, tentunya
perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan rohani/agama. Selain
manusiadapat memperoleh keturunan sehingga perkawinan bukan saja
mempunyai unsur rohani/agama tetapi juga memiliki unsur lahir/jasmani.6
Perkawinan juga sangat erat kaitannya dengan status manusia sebagai
makhluk sosial. “A human being is zoon politicon, in other words is social being.”7(setiap manusia adalah zoon politicon, dengan kata lain manusia adalah makhluk sosial).Kutipan tersebut merupakan salah satu pendapat dari seorang
filsuf Yunani,Aristoteles, yang menyatakan bahwa manusia adalah makhluk yang
pada dasarnya selalu ingin bergaul dan berkumpul dengan manusia lainnya. Zoon politicon merupakan panggilan dasar manusia, bahwa manusia pada hakikatnya selalu memiliki keinginan untuk hidup bersama dengan manusia lainnya. Lebih
lanjut lagi, seorang ahli sosiologi Indonesia Nana Supriatna mengatakan “Manusia
adalah makhluk sosial yaitu makhluk yang memiliki kecenderungan menyukai
dan membutuhkan kehadiran sesamanya sebagai kebutuhan dasar yang disebut
kebutuhan sosial (social needs).”8
Kecenderungan tersebut lahir karena secara kodrati manusia tidak dapat
hidup sendiri untuk memenuhi kebutuhannya tanpa bantuan manusia lain. Untuk
itulah manusia membutuhkan lembaga perkawinan sebagai pemenuhan kebutuhan
hidup baik rohani maupun jasmani di samping juga untuk memenuhi naluri sosial
6
Mohd.Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam : Suatu Analisis dari Undang-Undang No 1 Tahun 1974 dan Kompilasi Hukum Islam, (Jakarta, Bumi Aksara, 1966), h.2.
7
Lihat Aristoteles, Politics, dalam John Berseth, Dover Publication, New York : 2000. Aristoteles tidak memisahkan politik dan masyarakat. Meskipun, zoon politicon diartikan masyarakat berada diantara kedua hubungan politik dan sosial.
8
bagi manusia itu sendiri. Hal tersebut telah tertuang di dalam Q.S. Ar-Ruum ayat
21 yang artinya adalah sebagai berikut :
“Dan diantara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu
istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikanNya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda
bagi orang yang berfikir.”
Perkawinan sebagai salah satu kebutuhan manusia harus diatur agar
tercapai ketertiban dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu sebagai suatu
organisasi yang berfungsi untuk mewujudkan ketertiban, negara harus membuat
rangkaian peraturan yang dapat menjamin terwujudnya ketertiban tersebut,
termasuk mengenai perkawinan.9 Hal ini sejalan dengan Teori Perjanjian Masyarakat yang dicetuskan oleh Thomas Hobbes bahwa, “sekelompok manusia
yang tadinya hidup sendiri diadakan perjanjian untuk mengadakan suatu
organisasi yang dapat menyelenggarakan dan menertibkan kehidupan bersama
sehingga terbentuklah negara”.10
Negara Indonesia sebagai negara yang menerapkan gagasan negara
kesejahteraan (wellfare state), sebagaimana tertuang didalam pembukaan Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 tepatnya pada alinea ke-IV
terdapat salah satu visi negara yang mengekspresikan gagasan negara Negara hadir untuk melindungi hak asasi
manusia dan memenuhi segala kepentingan rakyatnya yang dilakukan melalui
alat-alat negara yaitu pemerintah.
Oktober 2014 pukul 15.45 WIB)
10
kesejahteraan yaitu “...untuk mewujudkan kesejahteraan umum...”.Kesejahteraan
umum tersebut didefinisikan sebagai “kondisi terpenuhinya kebutuhan material,
spiritual, dan sosial warga negara agar dapat hidup layak dan mampu
mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi
sosialnya”.11
Bentuk tanggung jawab negara dalam mengatur segala kebutuhan
rakyatnya terkhusus dalam bidang perkawinan terbukti dengan dilahirkannya
Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 (UUP 1/1974) dengan segala
aturan terkait. Dengan lahirnya UUP 1/1974 maka diadakanlah suatu bentuk
unifikasi hukum perkawinan di Indonesia di mana sebelumnya masing-masing
golongan penduduk di Indonesia memiliki pengaturan tersendiri dalam
melaksanakan perkawinan.
Perkawinan sebagai suatu bentuk pemenuhan kesejahteraan spiritual
kemudian diejawantahkan ke dalam Pasal 28 B ayat (1) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia yang berbunyi “setiap orang berhak membentuk
keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”. Oleh karena
itu sudah seharusnya negara melalui pemerintah sebagai aktor utama
pengakselerasi kesejahteraan sosial, mengatur dan mengakomodir kebutuhan
perkawinan bagi warga negara Indonesia.
12
11 Artikel Dinamika Konsep Negara Kesejahteraan Indonesia Dalam Undang-Undang Dasar 1945, Muhammad Tavip, hukum.ub.ac.id/wp-content/uploads/2013/04/Jurnal-Tavip.docx, (diakses Rabu 3 Desember 2014 pukul 14.09 WIB).
12
M.Yahya Harahap, Hukum Perkawinan Nasional Berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975, (Medan, Zahir Trading, 1975), h.4.(selanjutnya disebut buku I)
Salah satu semangat penting yang diusung dalam
pembentukan UUP 1/1974 adalah mengenai pencatatan perkawinan yang
penting, tetapi juga menjelaskan bagaimana suatu pencatatan perkawinan
dilaksanakan.13
Pasal 2 ayat (2) UUP 1/1974 tentang perkawinan menyebutkan bahwa
tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan yang berlaku. Bahkan
berdasarkan ketentuan Pasal 7 Ayat (1) Kompilasi Hukum Islam (KHI) adanya
suatu perkawinanhanya bisa dibuktikan dengan akta perkawinan atau akta nikah
yang dicatat dalam register. Lebih lanjut ditegaskan, akta perkawinan merupakan
satu-satunya alat bukti perkawinan. Tanpa akta perkawinan yang dicatat, secara
hukum tidak ada atau belum ada perkawinan.Pencatatan perkawinan merupakan
upaya adminisratif yang harus dilakukan agar suatu perkawinan menjadi sah di
mata hukum. Masing-masing pasangan suami istri setelah melakukan pencatatan
perkawinan akan mendapatkan buku nikah dan secara otomatis mendapatkan
legalitas, perlindungan dan jaminan kepastian hukum atas perkawinan mereka
termasukterhadap akibat yang timbul kemudian, seperti hak dan kewajibanantara
suami dan istri secara timbal balik, harta bersama (gono-gini), status anak, dan
sebagainya.14
Maksud dan tujuan utama peraturan perundang-undangan mengatur
tentang perkawinan harus tercatat adalah demi mewujudkan ketertiban
administrasi perkawinan dalam masyarakat. Hal ini merupakan politik hukum
negara yang bersifat preventifuntuk mengkoordinir masyarakat demi terwujudnya
13
Amiur Nazaruddin dan Azhari Akmal Tarigan, Hukum Perdata Islam di Indonesia Studi Kritis Perkembangan Hukum Islam dari Fikih UU No 1/ 1974 sampai KHI, (Jakarta, Kencana, 2006), h.122.
14
ketertiban dan keteraturan dalam sistem kehidupan, termasuk dalam masalah
perkawinan yang diyakini tidak luput dari berbagai macam konflik.15
Suatu kenyataan yang masih sering dijumpai dalam realita kehidupan
masyarakat adalahmasih banyak yang melangsungkan perkawinan tanpa
dicatatkan di kantor pencatatan perkawinan (Kantor Urusan Agama bagi yang
beragama Islam dan Kantor Catatan Sipil bagi bagi selain Islam) dengan berbagai
alasan.16
Dalam hukum perkawinan Islam, pencatatan perkawinan merupakan
suatu hal yang sangat penting untuk dilakukan mengingat secara defacto atau dalam bentuk konkrit tidak tercatatnya perkawinan melahirkan dampak yang
tidak sederhana. Karena perkawinan merupakan perbuatan yang bersentuhan
secara langsung dengan aspek sosial, ekonomi, kultur dan tentu saja hukum.
Selain itu, menurut T.Jafizham dalam Islam perkawinan bukanlah suatu hubungan
yang terjadi secara diam-diam. Perkawinan menurut Islam harus diumumkan
secara terbuka, bahkan dibenarkan adanya pelaksanaan upacara perkawinan.
Beberapa alasan tersebut antara lain ketidakmampuan dalam membayar
biaya pencatatan nikah, secara sengaja melakukan penyelundupan hukum,
kurangnya kesadaran akan pentingnya fungsi akta nikah, sudah merasa cukup
dengan sahnya menikah secara agama, kelalaian petugas pencatat nikah, kurang
ketatnya pengaturan pencatatan nikah dan lain sebagainya.
17
15
Muchsin, “Problematika Perkawinan Tidak Tercatat Dalam Pandangan Hukum Islam dan Hukum Positif”, Materi Rakernas Perdata AgamaMahkamah Agung RI, Jakarta, 2008, h.3.
16
Abdil Baril Basith, “Pihak-Pihak dalam Permohonan Pengesahan Nikah”, Jurnal Pengadilan Agama Muara Labuh, h.3.
17
Perlunya pencatatan perkawinan juga ditegaskan dalam Pasal 9 ayat (2)
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 Tentang Administrasi Kependudukan
yang intinya bahwa instansi pelaksana yang melaksanakan urusan administrasi
kependudukan termasuk Kantor Urusan Agama (KUA) memiliki kewenangan
dalam memperoleh data-data mengenai peristiwa kependudukan, peristiwa
penting yang dialami penduduk terkait mengenai pencatatan nikah, talak, cerai
dan rujuk bagi penduduk yang beragama Islam. Pentingnya pencatatan nikah tidak
sekadar pernyataan bahwa perkawinan telah sah dimata hukum, akan tetapi
keberadaannya akan berimplikasi pada status anak, istri dan harta selama
perkawinan. Bagi perkawinan yang belum dicatatkan atau belum tercatat di
Kantor Urusan Agama (KUA), berdasarkan Pasal 7 ayat (2) KHI dapat ditempuh
solusi hukum yaitu dengan mengajukan permohonan pengesahan perkawinan
(itsbat nikah) untuk menghindari dampak negatif atas perkawinan tidak tercatat
tersebut. Permohonan dapat diajukan ke Pengadilan Agama pada wilayah di mana
mereka bertempat tinggal atau tempat di mana mereka melangsungkan
perkawinan.
Pengajuan itsbat nikah memiliki esensi bahwa pernikahan yang semula
tidak dicatatkan menjadi tercatat dan diakui oleh negara serta memiliki kekuatan
hukum.18
18
Prosedur Pengesahan Pernikahan Sirri,
Dikabulkan atau ditolaknya permohonan itsbat nikah menjadi penentu
sebagai gerbang utama terbukanya data-data administratif lainnya seperti akta
nikah, akta kelahiran anak, hak waris dan lain sebagainya. Itsbat nikah pada
hakikatnya hanya untuk perkawinan yang diadakan sebelum lahirnya UUP
1/1974, namun pengaturan ini dikecualikan oleh Pasal 7 Kompilasi Hukum Islam
(KHI) di mana perkawinan sesudah lahirnya UUP dapat juga dimintakan
itsbatnya ke Pengadilan Agama.
Pengadilan agama memiliki kewenangan absolut untuk memeriksa
permohonanitsbat nikah. Hal ini tertuang dalam Pasal 49 ayat 1 dan 2
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama dan dalam penjelasan
Pasal 49 ayat 2 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Peradilan Agama.
Permohonan itsbat nikah yang diajukan ke Pengadilan Agama Kelas I-A Medan
menempati urutan ketiga terbanyak diajukan setelah cerai talak dan cerai gugat
dan kuantitas permohonan yang masuk tidaklah dapat dikatakan sedikit. Pada
tahun 2014 misalnya, jumlah permohonan yang masuk hingga penghujung tahun
mencapai 96 (sembilan puluh enam) kasus. Oleh karena itu dapat dilihat bahwa di
Kota Medan masih banyak perkawinan yang tidak dapat dibuktikan dengan akta
nikah dan keinginan masyarakat untuk mengesahkan perkawinan tersebut sangat
besar.
Menjadi suatu hal yang dilematis bagi pengadilan agama dalam
memeriksa permohonan ini. Di satu sisi, hakim demi melindungi hak-hak yang
tercederai sebagai akibat tidak tercatatnya suatu perkawinan harus mengabulkan
permohonan para pelaku pelanggaran administrasi yang dimungkinkan
melakukan penyelundupan hukum. Indikasi upaya penyelundupan hukum ini
memaksa hakim untuk terus berhati-hati agar jangan sampai melegalkan
perkawinan yang tidak sah secara hukum negara. Di sisi lain itsbat nikah sebagai
lebih mempermudah sebagai upaya memberi pelayanan kepada masyarakat. Hal
ini dikarenakan itsbat nikah merupakan satu-satunya upaya legal untuk
mencatatkan perkawinan. Kemudahan pelayanan tersebut ditandai dengan
lahirnya Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 13 Tahun 2014
Tentang Tatacara Pelayanan dan Pemeriksaan Perkara Voluntair Itsbat Nikah
Dalam Pelayanan Terpadu, yang ditujukan kepada pengadilan tingkat pertama di
lingkungan peradilan agama se-Indonesia.
Penentuan dikabulkan atau ditolaknya permohonan tersebut sangat
ditentukan pada proses pembuktian di pengadilan agama. Ketika berbicara
mengenai itsbat nikah, hakim dihadapkan pada model pembuktian yang sama
untuk semua alasan permohonan yaitu keyakinan hakim harus bermuara pada
suatu kepastian sah atau tidaknya perkawinan yang pernah dilakukan yaitu apakah
rukun dan syarat perkawinan pada saat pelaksanaannya sudah terpenuhi atau
tidak dan meyakini bahwa perkawinan tersebut tidak memiliki halangan
perkawinan. Dengan alasan permohonan para pihak yang bermacam-macam akan
menuju suatu kesimpulan nikah tersebut sah secara agama atau tidak.
Untuk itulah, penelitian ini mencoba membahas dan membandingkan
model-model pembuktian dan cara pemeriksaan dalam permohonan itsbat nikah
di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan selama tahun 2014 dan 2013 dengan
berbagai alasan permohonannya. Selain itu, penelitian ini juga ingin melihat
sejauh mana peran hakim dalam memberikan pelayanan dalam permohonan itsbat
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, beberapa permasalahan pokok
yang akan dibahas antara lain sebagai berikut :
1. Bagaimanakah dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan
itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan?
2. Bagaimanakah prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di
Pengadilan Agama Kelas I-A Medan?
3. Bagaimanakah implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak ibu dan hak
anak?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah diungkapkan sebelumnya,
maka untuk mengarahkan suatu penelitian diperlukan adanya tujuan, adapun
yang menjadi tujuan penelitian ini yaitu:
1) Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan
itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A Medan.
2) Untuk mengetahui prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di
Pengadilan Agama Kelas I-A Medan.
3) Untuk mengetahui implikasi penetapan itsbat nikah terhadap hak ibu dan hak
anak.
D. Manfaat Penelitian
a. Manfaat teoritis
Manfaat teoritis yaitu manfaat dari penelitian hukum yang bertalian
dengan pengembangan ilmu hukum. Manfaat teoritis dari penelitian ini yaitu:
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan di bidang ilmu hukum pada umumnya serta hukum perdata
mengenai pembuktian dalam permohonan itsbat nikah.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur
dalam dunia kepustakaan tentang pembuktian dalam permohonan itsbat
nikah.
3) Hasil penelitian ini dapat dipakai sebagai acuan terhadap penelitian-penelitian
sejenis untuk tahap berikutnya.
b. Manfaat praktis
Manfaat praktis yaitu manfaat dari penelitian hukum yang berkaitan
dengan pemecahan masalah. Manfaat praktis dari penelitian ini yaitu:
1) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi acuan bagi pemerintah dalam
membuat regulasi mengenai itsbat nikah terkhusus mengenai masalah
pembuktiannya.
2) Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah pengetahuan masyarakat,
khususnya bagi para pihak yang ingin mengajukan permohonan itsbat nikah.
E. Keaslian Penelitian
Aspek Pembuktian Oleh Para Pihak dalam Permohonan Itsbat Nikah di
dan diteliti melalui penelusuran kepustakaan Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara. Tema di atas didasarkan oleh ide, gagasan, pemikiran, fakta yang
terjadi di masyarakat, referensi, buku-buku dan pihak-pihak lain. Judul tersebut
belum pernah ditulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara sebelumnya.
Sepengetahuan penulis, skripsi ini belum pernah ada yang membuat.
Dengan demikian maka keaslian penulisan skripsi dapat dipertanggung jawabkan
secara ilmiah.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Pengelompokkanjenis-jenis penelitian tergantungpada pedoman dari sudut
pandang mana pengelompokkan itu ditinjau, ini berkaitan dengan sifat data dan
cara atau teknik analisis data yang digunakan. Ditinjau dari jenisnya, penelitian ini
termasuk penelitian deskriptif yaitu penelitian yang langsung bertujuan untuk
memberikan data seteliti mungkin tentang model pembuktian dan proses
pemeriksaan dalam permohonan itsbat nikah di Pengadilan Agama Kelas I-A
Medan
2. Metode Pendekatan
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode pendekatan
yuridis-normatif. Pendekatan yuridis normatif adalah pendekatan masalah dengan
melihat, menelaah dan menginterpretasikan hal-hal yang bersifat teoritis yang
menyangkut asas-asas hukum yang berupa konsepsi, peraturan
pendekatan ini menekankan pada diperolehnya keterangan berupa naskah hukum
yang berkaitan dengan objek yang diteliti.19
a. Data Primer 3. Lokasi Penelitian
Pengadilan Agama Kelas I-A Medan sebagai Pengadilan di wilayah Kota
Medan sepanjang tahun 2014 menerima 96 permohonan itsbat nikah dengan
hasil penetapan hakim berupa permohonan ditolak dan dikabulkan. Banyaknya
permohonan tersebut maka peneliti memilih lokasi Pengadilan Agama Kelas I-A
Medan untuk dijadikan lokasi penelitian.
4. Sumber Data
Data yang diolah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
Data primer adalah data yang diambil langsung dari subjek penelitian dan
berhubungan langsung dengan objek yang diteliti. Sumber data primer ini berupa
keterangan-keterangan yang berasal dari pihak-pihak atau instansi-instansi terkait
dengan objek yang diteliti secara langsung, hal ini dimaksudkan untuk lebih
memahami maksud, tujuan dan dan arti dari data sekunder yang ada. Dalam
penelitian ini data primer diperoleh dari wawancara Hakim Pengadilan Agama
kelas I-A Medan yang memeriksa dan memberikan penetapan atas permohonan
itsbat nikah. Wawancara dilakukan dengan menggunakan pedoman wawancara.
Adapun Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan yang menjadi narasumber
dalam penelitian ini yaitu :
19
1) Drs. H. Darmansyah Hasibuan, SH, MH;
2) Drs. M. Yusuf Abdullah;
3) Drs. Abdurrakhman, SH, MH;
4) Drs. Bachtiar.
b. Data Sekunder
Data sekunder sebagai data utama dalam penelitian ini didapat melalui
penelitian kepustakaan yaitu dengan membaca, mempelajari literatur-literatur,
peraturan perundang-undangan, dokumen-dokumen yang berkaitan dengan
masalah yang dibahas dalam skripsi ini.
Adapun data sekunder yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
1) Bahan hukum primer terdiri dari UUD 1945, Undang-Undang No.1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, beserta aturan pelaksananya, Undang-Undang
No.7 Tahun 1989 jo Undang-Undang No.3 Tahun 2006 jis Undang-Undang
No.50 Tahun 2009 Tentang Peradilan Agama, Kompilasi Hukum Islam,
Hukum acara yang berlaku di pengadilan agama beserta peraturan pelaksana
lainnya. Selanjutnya dibutuhkan ijtihad dan fatwa ulama mengenai
perkawinan yang relevan dengan penelitian ini.
Selain itu untuk melihat model pembuktian dalam permohonan itsbat nikah,
dalam penelitian ini juga dianalisis permohonan itsbat nikah oleh
Hakim-Hakim Pengadilan Agama Kelas I-A Medan. Permohonan yang diteliti adalah
permohonan sepanjang tahun 2013 dan 2014 dan sebagai samplenya diambil
dan 1 (satu) permohonan yang ditolak. Sedangkan jenis permohonan tersebut
yaitu 6 (enam) berjenis voluntair dan 1 (satu) berjenis konstituir. 2) Bahan hukum sekunder
Bahan hukum sekunder yaitu bahan-bahan hukum berupa publikasi tentang
hukum yang isinya menjelaskan dan menganalisis bahan hukum primer.20 Kagunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada peneliti
semacam “petunjuk” ke arah mana peneliti melangkah.21
3) Bahan hukum tersier
Buku, artikel,
rancangan undang-undang, jurnal, hasil penelitian terdahulu digunakan
sebagai bahan hukum sekunder dalam penelitian ini.
Bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan penunjang yang menjelaskan bahan
hukum primer dan bahan hukum sekunder.22
a. Studi lapangan (field research). Studi lapangan adalah salah satu proses kegiatan observasi pengungkapan fakta –fakta dalam proses memperoleh
keterangan atau data dengan cara terjun langsung ke lapangan. Studi lapangan Bahan hukum tersier yang
digunakan dalam penelitian ini adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) dan Kamus Hukum.
5. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data merupakan teknik atau cara yang dilakukan
untuk mengumpulkan data dalam sebuah penelitian. Metode yang digunakan
dalam penelitian ini adalah :
20
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum,(Jakarta,Kencana, 2008), h.140.
21 Ibid
. h.155.
22
adalah. Studi lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer yang
dilakukan melalui wawancara.
b. Studi kepustakaan (library research). Studi kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk menghimpun informasi yang relevan
dengan topik atau masalah yang akan atau sedang diteliti. Informasi itu dapat
diperoleh dari buku-buku ilmiah, laporan penelitian, karangan-karangan
ilmiah, tesis dan disertasi, peraturan-peraturan, ketetapan-ketetapan, buku
tahunan, ensiklopedia, dan sumber-sumber tertulis baik tercetak maupun
elektronik lain.23
6. Alat Pengumpulan Data
Studi kepustakaan dipergunakan untuk memperolah data
sekunder dalam penelitian ini.
Alat pengumpul data menentukan kualitas data dan kualitas data
menentukan kualitas penelitian, karena itu, alat pengumpul data harus mendapat
penggarapan yang cermat.24
Menurut Lexy J. Moleong, analisa data adalah proses mengorganisasikan
dan mengurutkan data kedalam pola, kategori, dan satuan uraian dasar sehingga
dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang
disarankan oleh data. Analisa data yang digunakan pada penelitian ini adalah
analisa data secara kualitatif. Data semacam ini diperoleh melalui penelitian yang Alat pengumpul data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah wawancara yang dilakukan berdasarkan pedoman
wawancara.
7. Analisa Data
23
StudiKepustakaan,
24
menggunakan pendekatan kualitatif, atau penilaian kualitatif. Keberadaan data
bermuatan kualitatif adalah catatan lapangan yang berupa catatan atau rekaman
kata-kata, kalimat, atau paragraf yang diperoleh dari wawancara menggunakan
pertanyaan terbuka, atau pemaknaan peneliti terhadap teori.25
G. Sistematika Penulisan
Penulisan skripsi ini didasarkan pada penelitian data yang berhasil
dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis serta hasilnya digunakan untuk
memecahkan permasalahan yang dihadapi. Untuk memudahkan pembahasan
skripsi ini, maka akan dibuat sistematika secara teratur dalam bagian-bagian yang
keseluruhannya saling berhubungan satu dengan yang lainnya.
Sistematika atau gambaran isi tersebut dibagi dalam beberapa bab dan
di antara bab-bab ini terdiri pula atas sub bab. Adapun gambaran ini atau
sistematika tersebut adalah sebagai berikut:
Bab I tentang pendahuluan. Pada bab ini diuraikan pokok permasalahan
skripsi yang mencakup mengapa penulis tertarik memilih judul tersebut sehingga
membuatnya dalam bentuk skripsi, dengan menguraikan latar belakang
permasalahan, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian
penulisan, metode penulisan, dan sistematika penulisan yang bertujuan untuk
memberikan penjelasan terhadap itsbat nikah dan pembuktiannya di pengadilan
agama.
25
Bab II tentang tinjauan umum terhadap hukum perkawinan di Indonesia.
Pada bab ini diuraikan materi pokok mengenai hukum perkawinan di Indonesia,
yang meliputi pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat-syarat sahnya
perkawinan dan akibat hukum perkawinan baik menurut UUP 1/1974 maupun
menurut KHI.
Bab III tentang ketentuan umum tentang itsbat nikah. Pada bab ini
diuraikan materi tentang pencatatan perkawinan meliputi urgensi pencatatan
perkawinan yang ditinjau lebih jauh dalam hal dasar hukum, prosedur, tujuan dan
akibat hukum pencatatan perkawinan. Selanjutnya juga diuraikan pengertian itsbat
nikah, penyebab pengajuan itsbat nikah, pihak-pihak yang dapat mengajukan
beserta prosedur pengajuan itsbat nikah.
Bab IV tentang pembuktian oleh para pihak dalam permohonan itsbat
nikah di pengadilan agama. Pada bab ini diuraikan analisis mengenai dasar
pertimbangan hakim dalam memeriksa permohonan itsbat nikah di Pengadilan
Agama Kelas I-A Medan, prosedur pembuktian dalam permohonan itsbat nikah di
Pengadilan Agama Kelas I-A Medan, serta implikasi penetapan itsbat nikah
terhadap hak anak dan hak ibu.
Bab V yang merupakan penutup dari penelitian.Pada bab ini memuat
tentang kesimpulan terhadap keseluruhan isi dari penelitian ini. Dalam bab ini
ditarik beberapa kesimpulan dari pembahasan bab-bab terdahulu sehubungan
tentang aspek pembuktian itsbat nikah di pengadilan agama dan mencoba