• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Indonesia

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Perlindungan Hukum Terhadap Pekerja Anak di Indonesia"

Copied!
21
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa dan merupakan bagian

terpenting dari proses pembangunan nasional sebagai investasi manusia yang

seharusnya mendapatkan perlindungan baik dari pemerintah maupun masyarakat

suatu negara. Namun, kondisi sosial ekonomi negara dan orang tua kadang

menjadikan anak tidak dapat melakukan hal-hal sewajarnya. Tak jarang anak

terpaksa bekerja demi membantu keluarganya dalam memenuhi kebutuhan

sehari-hari.

Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi

Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak, melalui Keputusan

Presiden (Keppres) No. 36/0 tanggal 25 Agustus 1990. Dengan diratifikasinya

konvensi tersebut, seharusnya secara hukum negara berkewajiban melindungi dan

memenuhi hak-hak anak, baik sosial, politik, budaya dan ekonomi.1

Namun, pada kenyataannya negara masih belum mampu memenuhi

kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak. Salah satu permasalahan yang sampai

saat ini masih kerap terjadi adalah keberadaan pekerja anak. Selain melanggar

hak-hak anak, keberadaan pekerja anak ini juga dapat membawa dampak buruk

kepada anak itu sendiri baik secara psikis maupun fisik, bahkan dikhawatirkan

dapat mengganggu masa depan anak-anak yang seharusnya mendapatkan

1

(2)

kehidupan yang lebih baik.

Masalah pekerja anak di Indonesia sesungguhnya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Keadaan tersebut setidaknya ditunjukkan dengan diterbitkannya ordinasi pada tanggal 17 Desember 1925 yang melarang anak di usia 12 tahun untuk bekerja. Setelah Indonesia merdeka, batasan usia tersebut berubah menjadi 14 tahun untuk bekerja di malam hari, sebagaimana yang tertulis pada Lembaran Negara No:8/1949. Pada tahun 1951 diterbitkan Undang-undang No. 12/1948 di seluruh Indonesia yang melarang anak-anak (14 tahun ke bawah) menjalankan pekerjaan macam apapun di perusahaan apa pun, kecuali pekerjaan yang dilakukan anak pelajar di sekolah pertukangan, dan pekerjaan oleh anak untuk orang tuanya. Akan tetapi, karena tidak dilengkapi peraturan pelaksanaannya, maka sulit memberlakukan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut.2

Pembenahan kondisi pekerja anak merupakan suatu kebutuhan terutama

bagi bangsa Indonesia. Pekerja anak harus mendapat perhatian penuh pemerintah

dan perlu dijadikan salah satu prioritas pembangunan.

Saat ini negara-negara maju semakin memperhatikan kesejahteraan dan

kehidupan buruh. Sebelumnya, melimpahnya sumber daya, murahnya upah buruh,

dan pemakaian buruh anak di sektor industri, mungkin dapat menjadi daya tarik

investor. Namun, saat pada era ekonomi global ini, pemakaian buruh murah dan

pekerja anak menjadi tidak patut dalam ketenagakerjaan

Meskipun banyak kekhawatiran yang muncul, permasalahan pekerja anak

di Indonesia ternyata tidak dapat disikapi dengan pilihan boleh atau tidak.

Seharusnya, anak-anak memang tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan

sosial-ekonomi memaksa mereka bekerja untuk membantu perekonomian

keluarga maupun demi kelangsungan hidupnya sendiri.

Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh White (1994), bahwa untuk kasus Indonesia, pekerja anak sebaiknya tidak usah dilarang. Asalkan anak-anak tersebut masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan

2

(3)

pekerja anak mengerjakan pekerjaan yang masih dalam batas kemampuannya. Pernyataan ini sesungguhnya menyebutkan bahwa anak-anak sebaiknya dibolehkan bekerja, tetapi harus dilindungi dari eksploitasi pihak-pihak yang mempekerjakannya, dan menjaga hak-haknya agar senatiasa dipenuhi.3

Oleh karena itulah, sekalipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO

1973/138 yang menetapkan batas usia minimal untuk diperbolehkan bekerja, yaitu

15 tahun, pemerintah Indonesia tidak dapat memberlakukannya dengan tegas.

Pemerintahan Indonesia lebih memilih kebijakan untuk mentolerir keberadaan

pekerja anak dengan memberikan perlindungan terhadap mereka.

Akibatnya, Undang-Undang yang mengatur tentang ketenagakerjaan yaitu

Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 terkesan kontroversi. Hal ini dapat dilihat

pada pasal 95 ayat 1 diatur mengenai larangan anak bekerja, tetapi pada pasal 96

ayat 1 disebutkan: “larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 tidak berlaku

bagi anak yang karena alasan tertentu terpaksa bekerja.” Hal ini sesungguhnya

merupakan cerminan ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi keberadaan

pekerja anak.

Di Indonesia sendiri terdapat berbagai peraturan yang telah ditetapkan

untuk melindungi pekerja anak, namun pada kenyataannya masih banyak

pengusaha atau majikan yang memperlakukan pekerja anak dengan buruk, seperti:

praktik eksploitasi, menempatkan anak-anak pada pekerjaan yang tidak sesuai

dengan kondisi fisik anak-anak, dan bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya.

Pada kenyataannya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun

ke tahun pekerja anak di Indonesia sebagian besar berusia antara 13-14 tahun dan

bekerja rata-rata selama 6-7 jam sehari yang tentunya telah melanggar batasan

3

(4)

waktu anak untuk dapat bekerja. Bahkan tak jarang kita lihat, pekerja anak

tersebut bekerja di sektor berbahaya dan diperlakukan secara tidak manusiawi

untuk ukuran anak-anak. Akibatnya, pekerja anak tersebut kehilangan kesempatan

untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan

pendidikan. Mereka dapat kehilangan masa dimana mereka seharusnya menikmati

masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian.

Oleh karena itu, dapat kita lihat bahwa permasalahan utama disini

bukanlah anak yang bekerja, melainkan adanya potensi untuk mengeksploitasi

pekerja anak yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang meperlakukan

pekerja anak dengan buruk dan tidak semestinya.

Melihat keadaan tersebut, terlihat bahwa pendekatan hukum masih belum

efektif untuk melindungi pekerja anak. Pemerintah juga melakukan upaya lain

yang diharapkan selain dapat memenuhi hak-hak anak, juga diharapkan dapat

mengurangi jumlah anak yang terjun ke dalam dunia kerja, yaitu program Wajib

Belajar (Wajar). Akan tetapi, hak ini juga dinilai belum efektif melihat masih

banyaknya anak-anak yang terjun ke dunia kerja.

Keadaan ini disebabkan karena pekerja anak biasanya datang dari

kelompok masyarakat yang perekonomiannya masih tertinggal. Sehingga,

keluarga demikian tidak mungkin atau kesulitan untuk melakukan investasi, baik

yang berbentuk modal maupun investasi sosial sehingga anak-anak terpaksa

berhenti pada tingkat pendidikan rendah atau tidak mengecap pendidikan sama

sekali. Dan disertai pandangan bahwa anak merupakan faktor produksi, sehingga

anak dipaksa atau terpaksa bekerja.

(5)

bahwa bagaimanapun hak anak harus dipenuhi. Jadi, bila keluarga (orang

tua) sebagai „penjamin alamiah‟ (natural supporter) terhadap seluruh kebutuhan anak gagal atau tidak mampu memenuhi, maka masyarakat, bangsa dan negaralah yang harus mengambil alih. Akan tetapi, Negara Kesatuan Republik Indonesia pun tidak mempunyai kemampuan untuk mengambil alih semua tanggung jawab orang tua tersebut, karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki.4

Untuk mengatasi permasalahan pekerja anak tersebut, hal yang perlu

dilakukan adalah dengan mencari penyebab munculnya pekerja anak. Dengan

ditemukannya faktor penyebab, diharapkan pemerintah dan masyarakat dapat

melakukan upaya guna membenahinya, sehingga anak-anak tercegah untuk terjun

ke dunia kerja, atau paling tidak dapat semakin memperkecil peluang anak-anak

untuk terjun ke dunia kerja pada usia dini atau memberikan perlindungan yang

cukup bagi anak-anak yang terlanjur terjun ke dunia kerja serta hal ini juga

diharapkan akan membantu segenap pihak yang bekompeten guna mengambil

langkah-langkah untuk paling tidak mengurangi keberadaan pekerja anak.

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, permasalahan besar yang

dihadapi pekerja anak adalah berpotensinya terjadi eksploitasi yang dilakukan

oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, permasalahan mengenai pekerja anak ini

perlu dikaji lebih mendalam lagi untuk mengetahui bagaimana karakteristik

pekerja anak yang berpotensi mengalami eksploitasi dan seberapa besar

permasalahan tersebut di Indonesia. Mengingat banyak terjadinya tindakan

eksploitasi, baik secara ekonomi maupun seksual yang terjadi terhadap pekerja

anak. Dengan teridentifikasinya karakteristik pekerja anak yang mengalami

eksploitasi, sesungguhnya merupakan pendekatan lain yang dapat dijadikan

petunjuk oleh pemerintah atau masyarakat untuk membuat prioritas dalam

4

(6)

melakukan intervensi untuk dapat menghindari tindakan eksploitasi pekerja anak

ini.

B.Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka yang

menjadi pokok permasalahan yang akan penulis bahas di bab selanjutnya adalah :

a. Bagaimana pengaturan hukum tentang eksploitasi pekerja anak di

Indonesia?

b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia?

C.Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.Tujuan

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :

1. Untuk mengetahui apa itu eksploitasi pekerja anak dan apa saja

dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut;

2. Untuk mengetahui pengaturan hukum positif di Indonesia terkait

tindak pidana eksploitasi pekerja anak.

2. Manfaat

Sedangkan manfaat dari skripsi ini antara lain :

a. Secara Teoretis

Diharapkan dapat mengembangkan wawasan dan memperkaya khasanah

ilmu pengetahuan dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi ilmiah serta

memiliki kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas tentang

tindak pidana eksploitasi terhadap pekerja anak di Indonesia.

b. Secara Praktis

(7)

yang turut membaca karya tulis ini tentang tindak pidana

eksploitasi pekerja anak yang kerap terjadi di berbagai wilayah di

Indonesia;

2. Agar pemerintah membentuk suatu rencana dan usaha nyata untuk

dapat memberantas tindak pidana eksploitasi pekerja anak yang

kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia yang telah

nyata-nyata melanggar hak asasi anak dan menurunkan nama baik

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

D. Keaslian Penulisan

Skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Eksploitasi

Pekerja Anak di Indonesia”.

Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan di perpustakaan dan

Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu

dalam rangka membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau

belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,

maka telah terbukti bahwa skripsi ini benar-benar m erupakan hasil pemikiran

dari penulis sendiri dan bukan berasal dari karya tulis orang lain.

Bila ternyata terdapat judul dan permasalahan yang sama sebelum skripsi

ini dibuat, saya bertanggung jawab sepenuhnya.

E.Tinjauan Pustaka

1.Pengertian Pengaturan Hukum

Hukum adalah seperangkat peraturan yang bersifat memaksa yang

(8)

dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap

peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan.5

Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum adalah kumpulan

peraturan atau kaedah yang mempunyai sisi yang bersifat umum dan

normative, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena

menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh

dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya

melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.6

Konsepsi mengenai peraturan hukum itu sendiri menurut A.V.

Dicey terdiri dari 3 (tiga) elemen, yaitu :

1. Supremasi absolut hukum atas kekuasaan yang sewenang-wenang

termasuk kekuasaan bebas yang luas yang dimiliki pemerintah.

2. Setiap warga negara adalah subyek hukum dari negara yang

dilaksanakan di pengadilan umum.

3. Hak-hak tidak didasarkan pada pernyataan garis besar konstitusional

melainkan pada keputusan yang sebenarnya dari pengadilan.

Dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa hukum sebagai

sesuatu yang paling berkuasa di suatu negara dimana adanya supremasi

hukum yang bersifat absolut di suatu pemerintahan. Segala sesuatu yang

ada dalam hukum merupakan kekuasaan tertinggi dan mutlak yang harus

ditaati oleh semua orang.

Dikatakan bahwa setiap warga negara adalah subyek hukum dari

5

J. C. T. Simonangkir, dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Hal. 66

6

(9)

negara yang dilaksanakan di pengadilan umum, artinya setiap warga

negara berhak melakukan perilaku hukum pada lingkup lalu lintas hukum.

Subyek dari hukum pada dasarnya adalah manusia. Jadi pada hakekatnya

hukum itu diciptakan untuk semua orang yang terkait di dalamnya.

Pada pernyataan ketiga dikatakan bahwa hak-hak tidak didasarkan

pada pernyataan garis besar konstitusional melainkan pada keputusan yang

sebenarnya dari pengadilan, artinya hukum tidak akan bias memberikan

hak-haknya sebelum hakim di pengadilan mengeluarkan keputusannya.

Jadi berdasarkan pernyataan ini terdapat hal yang saling mempengaruhi

antara hukum dan negara.

Peraturan-peraturan yang terdapat dalam pengertian hukum ini

sendiri sangat berkaitan dengan peristiwa hukum pidana yang mana

hukum pidana merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang

menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak

pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap

pelakunya.7

Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian daripada

keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan

dasar-dasar dan aturan untuk:8

1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan

dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa

pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.

7

http://id.m.wikipedia.org/wiki/hukum_pidana diakses pada 4 Juni 2015 pukul 8.15 WIB

8

(10)

2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah

melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana

sebagaimana yang telah diancam.

3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat

dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar

larangan tersebut.

Istilah tindak pidana sendiri berasal dari istilah yang dikenal dalam

bahasa Belanda yaitu “ strafbaar feit “. Stafbaar feit terdiri dari tiga kata,

yakni straf, baar dan feit. Secara literlijk kata “straf” artinya pidana,

baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Para ahli

hukum mengemukakan istilah yang berbeda beda dalam upayanya

memberikan arti dari strafbaar feit.

Menurut R.Tresna, peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan

atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan

Undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana

diadakan tindakan penghukuman. Tidak ada persamaan pendapat

dikalangan para ahli tentang syarat yang menjadikan perbuatan manusia

itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat

diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi

syarat-syarat berikut ini :9

a. Harus ada suatu perbuatan manusia;

b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam

ketentuan hukum;

9

(11)

c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu

orangnya harus dapat dipertanggungjawabkannya;

d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;

e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam

undang-undang.

Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa perbuatan pidana

atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai

atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh

aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan

tersebut ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang

menimbulkan peristiwa tersebut.

Dalam hal ini, maka setiap orang yang melanggar aturan-aturan

hukum yang berlaku, dapat dikatakan bahwa orang tersebut merupakan

pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi, perlu

diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang

erat, oleh karena itu antara peristiwa dengan orang yang menimbulkan

peristiwa juga mempunyai hubungan yang erat pula.

Tindak pidana merupakan suatu dasar pokok dalam menjatuhi yang

telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban

seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Namun dalam hal ini

harus berdasarkan asas legalitas (Principle of legality), yaitu merupakan

asas yang mengatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan

(12)

perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin

sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik,

tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu), hal ini diungkapkan oleh

Von Feurbach, seorang sarjana hukum pidana yang berasal dari Jerman.

Asas legalitas ini dimaksud mengandung 3 (tiga) pengertian,

yaitu :10

a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika

hal itu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang-Undang terlebih

dahulu.

b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan

analogi.

c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.

2.Pengertian Pekerja Anak

Dalam upaya memahami pekerja anak, harus membedakan terlebih dahulu

antara pekerja anak dan anak yang bekerja. Menurut Warsini, dkk anak yang

bekerja adalah anak yang melakukan pekerjaan karena membantu orang tua,

latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab, misalnya membantu

mengerjakan tugas-tugas di rumah, membantu pekerjaan orang tua di lading dan

lain-lain. Anak melakukan pekerjaan yang ringan dapat dikategorikan sebagai

proses sosialisai dan perkembangan anak menuju dunia kerja. Indikator anak

membantu melakukan pekerjaan ringan adalah :11

1. Anak membantu orang tua untuk melakukan pekerjaan ringan;

10

Moeljatno, Op.Cit, Hal 25

11

(13)

2. Adanya unsur pendidikan/pelatihan;

3. Anak tetap sekolah;

4. Dilakukan pada saat senggang dengan waktu yang relatif

pendek;

5. Terjaga keselamatan dan kesehatannya.

Sedangkan, pekerja anak menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003

menyebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak baik laki-laki maupun

perempuan yang teribat dalam kegiatan ekonomi yang mengganggu atau

menghambat proses tumbuh kembang dan membahayakan bagi kesehatan fisik

dan mental anak. Anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin dari

orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari.”12

Menurut Warsini, disebut pekerja anak apabila memenuhi indikator antara

lain :13

1. Anak bekerja setiap hari;

2. Anak tereksploitasi;

3. Anak bekerja pada waktu yang panjang;

4. Waktu sekolah terganggu/tidak sekolah.

Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk memperkerjakan anak kecil

Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas

tenaga mereka dengan gaji yang kecil tanpa mempertimbangkan perkembangan

kepribadian mereka, keamanan, kesehatan dan prospek masa depan.14

3.Pengertian Eksploitasi Anak

12

Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 13

Loc.cit 14

(14)

Pengertian eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan

korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan

paksa, perbudakan atau praktit serupa perbudakan, penindakan, pemerasan,

pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum

memindahkan atau mentransplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau

memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk

mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial.15

Menurut pasal 66 ayat 3 Undang-Undang No. 23 tahun 2002, adapun yang

dimaksud dengan eksploitasi anak oleh orang tua atau pihak lainnya, yaitu

menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta

melakukan eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak.16

Berdasarkan laporan UNICEF “The state of The World’s Children 1997”

UNICEF berkeyakinan bahwa pekerja anak adalah merupakan tindak eksploitasi

apabila menyangkut :17

1. Pekerjaan penuh waktu (full time);

2. Terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja;

3. Pekerjaan menimbulkan tekanan fisik, sosial atau psikologis yang

tidak patut terjadi;

4. Bekerja dan hidup di jalanan dalam kondisi buruk

5. Upah tidak mencukupi;

6. Tanggung jawab terlalu banyak;

15

http://www.kpai.go.id/artikel/temuan-dan-rekomendasi-kpai-tentang-perlindungan-anak-di-bidang-perdagangan-anak-trafficking-dan-eksploitasi-terhadap-anak/ diakses pada tanggal 1 April 2015, 05.54 WIB

16

Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

17The state of The World’s Children 1997,

(15)

7. Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan;

8. Pekerjaan yang mengurangi harga diri dan martabat anak-anak,

seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi

seksual.

4.Pengertian Perlindungan Hukum

Menurut Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi 2 hal, yakni :18

1. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum

dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan

atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat

bentuk yang defenitif.

2. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum

dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa

Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat

Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan

terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip

Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila.

Perlindungan hukum ini berlaku terhadap siapa saja yang merupakan

masyarakat Indonesia termasuk terhadap anak-anak. Adapun pengertian

perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi

agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan

dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.

Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu

18

(16)

masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai

bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak

membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun

hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan

anak.

Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan

demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan

yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan

perlindungan anak.19

Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan

memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri,

sehingga usaha yang dilakukan tidak berakibat negatif. Perlindungan anak

dilaksanakan rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan

suatu usaha yang efektif dan efisien.

Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif,

kreatifitas, dan hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan

berperilaku tidak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan

kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.

Menurut Soepomo dalam Asikin, perlindungan tenaga kerja dibagi

menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :20

1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak

19

Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Bandung : PT Refika Aditama, 2008), Hal 33

20

(17)

mampu bekerja di luar kehendaknya.

2. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.

3. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.

Ketiga jenis perlindungan di atas mutlak harus dipahami dan dilaksanakan

sebaik-baiknya oleh pengusaha sebagai pemberi kerja. Jika pengusaha melakukan

pelanggaran, maka dikenakan sanksi. Berdasarkan objek perlindungan tenaga

kerja Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur

perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat.

Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa

perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak

dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara

optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan

dari kekerasan dan diskriminasi.21

Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak

langsung. Secara langsung maksudnya kegiatan langsung ditujukan kepada anak

yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini dapat berupa

antara lain dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar dan

dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara,

mencegah anank kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai

cara, menyediakan sarana pengembangan diri, dan sebagainya. Perlindungan anak

secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak, tetapi

orang lain yang melakukan/terlibat dalam usaha perlindungan anak. Usaha

21

(18)

perlindungan demikian misalnya dilakukan oleh orang tua atau yang terlibat

dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar

ataupun dari dalam diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina,

mendampingi anak dengan berbagai cara; mereka yang terlibat mencegah anak

kelaparan, mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan berbagai cara,

mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya.22

B.Metode Penelitian

1.Jenis dan Sumber Data

Adapun jenis penelitian ini adalah bersifat yuridis normatif.

Sedangkan sumber data penelitian ini didapat melalui :

a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai segala peraturan

perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun

1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 Mengenai Usia

Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, Undang-Undang Nomor

1 Tahun 2000 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182

Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan

Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Pada Anak, Undang-Undang Nomor 39

Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor

4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang

Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,

Keputusan Presiden, seperti Keputusan Presiden Republik

Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi Konvensi

22

(19)

hak Anak, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59

Tahun 2002 Tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan

Terburuk untuk Anak, Peraturan Daerah Provinsi, seperti Peraturan

Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 5 Tahun 2004

Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bentuk-bentuk

Pekerjaan Terburuk bagi Anak, Peraturan Daerah Provinsi Jawa

Barat Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Anak, dan

Peraturan Daerah Kabupaten, seperti Peraturan Kabupaten Kutai

Kartanegara Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Zona Bebas Pekerja

Anak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Peraturan Daerah

Kabupaten Tulungagung Nomor 10 Tahun 2009 Tentang

Perlindungan Anak, serta peraturan lain yang berkaitan dengan

tindak pidana eksploitasi pekerja anak ini.

b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku literatur dan

tulisan-tulisan hukum lainnya yang relevan dengan rumusan masalah.

2.Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam skripsi ini untuk mengumpulkan data

adalah Library Research, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap

berbagai sumber bacaan, antara lain buku-buku, pendapat para sarjana, dan

lain-lain yang diperoleh dari internet.

3.Analisis Data

Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data hakikatnya untuk

mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Data yang

(20)

studi kepustakaan yang dilakukan dengan mempelajari konsep hukum pidana

yang mengatur tentang tindak pidana eksploitasi pekerja anak di Indonesia

dalam literatur hukum pidana. Data tersebut kemudian dianalisa secara

kualitatif untuk memperoleh jawaban permasalahan skripsi ini.

C. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan skripsi ini adalah :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas tentang Latar Belakang,Perumusan Masalah,

Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan

Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI

PEKERJA ANAK

Bab ini membahas tentang Pengaturan eksploitasi pekerja anak

dalam peraturan perundang-undangan berdasarkan

Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, serta

peraturandan membahas tentang ketentuan pidana terhadap

pelaku tindak pidana eksploitasi pekerja anak dalam instrumen

hukum positif di Indonesia

BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA

Bab ini membahas tentang pekerja anak sebagai korban

eksploitasi, yaitu berupa bentuk-bentuk eksploitasi pekerja anak

dan faktor penyebab terjadinya eksploitasi pekerja anak, dampak

(21)

pemerintah dalam menanggulangi eksploitasi pekerja anak.

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini membahas tentang menguraikan tentang kesimpulan

yang penulis dapatkan dari keseluruhan pembahasan, kemudian

dari kesimpulan tersebut penulis juga memberikan beberapa

saran yang penulis harap dapat berguna bagi penyelesaian

Referensi

Dokumen terkait

Grafik di atas menunjukkan informasi mengenai konsentrasi oksigen terlarut, jumlah bakteri dan jumlah ikan pada suatu perairan sungai sepanjang 50 km yang terukur dari titik P

Indonesia merupakan pengguna terbanyak media sosial facebook dan media sosial lainnya. Tentu hal ini pada saat sekarang menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi jiwa

Sesuai dengan hasil penelitian, maka rumusan masalah yang diajukan pada bab sebelumnya telah terjawab, yaitu terdapat beberapa faktor yang menyebabkan maraknya perjudian di

Pengukuran SOD dan MDA dilakukan untuk mengetahui stres oksidatif dan peroksidasi lipid yang dihasilkan oleh radiasi dengan dosis 300 rad serta perubahannya

Thomas Engel has taught chemistry for more than 20 years at the University of Washington, where he is currently Professor of Chemistry and Associate Chair for the Undergraduate

Hubungan tidak signifikan Free cash flow dengan kebijakan hutang dikarenakan perusahaan lebih mengutamakan dana internal perusahaan untuk kebutuhan investasi dan

Masalah utama dalam pembelajaran pada pendidikan formal (sekolah) dewasa ini adalah masih rendahnya daya serap peserta didik sebab orientasi pembelajaran hanya terkait dengan

Berdasarkan hasil penelitian tentang “ hubungan pelaksanaan rawat gabung dengan frekuensi menyusui pada ibu postpartum di RSKIA SADEWA Sleman Yogyakarta tahun 2010 dapat