BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Anak merupakan generasi penerus cita-cita bangsa dan merupakan bagian
terpenting dari proses pembangunan nasional sebagai investasi manusia yang
seharusnya mendapatkan perlindungan baik dari pemerintah maupun masyarakat
suatu negara. Namun, kondisi sosial ekonomi negara dan orang tua kadang
menjadikan anak tidak dapat melakukan hal-hal sewajarnya. Tak jarang anak
terpaksa bekerja demi membantu keluarganya dalam memenuhi kebutuhan
sehari-hari.
Indonesia merupakan salah satu negara yang meratifikasi Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Hak-hak Anak, melalui Keputusan
Presiden (Keppres) No. 36/0 tanggal 25 Agustus 1990. Dengan diratifikasinya
konvensi tersebut, seharusnya secara hukum negara berkewajiban melindungi dan
memenuhi hak-hak anak, baik sosial, politik, budaya dan ekonomi.1
Namun, pada kenyataannya negara masih belum mampu memenuhi
kewajiban untuk memenuhi hak-hak anak. Salah satu permasalahan yang sampai
saat ini masih kerap terjadi adalah keberadaan pekerja anak. Selain melanggar
hak-hak anak, keberadaan pekerja anak ini juga dapat membawa dampak buruk
kepada anak itu sendiri baik secara psikis maupun fisik, bahkan dikhawatirkan
dapat mengganggu masa depan anak-anak yang seharusnya mendapatkan
1
kehidupan yang lebih baik.
Masalah pekerja anak di Indonesia sesungguhnya telah ada jauh sebelum Indonesia merdeka. Keadaan tersebut setidaknya ditunjukkan dengan diterbitkannya ordinasi pada tanggal 17 Desember 1925 yang melarang anak di usia 12 tahun untuk bekerja. Setelah Indonesia merdeka, batasan usia tersebut berubah menjadi 14 tahun untuk bekerja di malam hari, sebagaimana yang tertulis pada Lembaran Negara No:8/1949. Pada tahun 1951 diterbitkan Undang-undang No. 12/1948 di seluruh Indonesia yang melarang anak-anak (14 tahun ke bawah) menjalankan pekerjaan macam apapun di perusahaan apa pun, kecuali pekerjaan yang dilakukan anak pelajar di sekolah pertukangan, dan pekerjaan oleh anak untuk orang tuanya. Akan tetapi, karena tidak dilengkapi peraturan pelaksanaannya, maka sulit memberlakukan sanksi terhadap perusahaan yang melanggar ketentuan tersebut.2
Pembenahan kondisi pekerja anak merupakan suatu kebutuhan terutama
bagi bangsa Indonesia. Pekerja anak harus mendapat perhatian penuh pemerintah
dan perlu dijadikan salah satu prioritas pembangunan.
Saat ini negara-negara maju semakin memperhatikan kesejahteraan dan
kehidupan buruh. Sebelumnya, melimpahnya sumber daya, murahnya upah buruh,
dan pemakaian buruh anak di sektor industri, mungkin dapat menjadi daya tarik
investor. Namun, saat pada era ekonomi global ini, pemakaian buruh murah dan
pekerja anak menjadi tidak patut dalam ketenagakerjaan
Meskipun banyak kekhawatiran yang muncul, permasalahan pekerja anak
di Indonesia ternyata tidak dapat disikapi dengan pilihan boleh atau tidak.
Seharusnya, anak-anak memang tidak perlu bekerja, akan tetapi ketika keadaan
sosial-ekonomi memaksa mereka bekerja untuk membantu perekonomian
keluarga maupun demi kelangsungan hidupnya sendiri.
Hal ini senada dengan yang diungkapkan oleh White (1994), bahwa untuk kasus Indonesia, pekerja anak sebaiknya tidak usah dilarang. Asalkan anak-anak tersebut masih mempunyai kesempatan untuk sekolah dan
2
pekerja anak mengerjakan pekerjaan yang masih dalam batas kemampuannya. Pernyataan ini sesungguhnya menyebutkan bahwa anak-anak sebaiknya dibolehkan bekerja, tetapi harus dilindungi dari eksploitasi pihak-pihak yang mempekerjakannya, dan menjaga hak-haknya agar senatiasa dipenuhi.3
Oleh karena itulah, sekalipun Indonesia telah meratifikasi Konvensi ILO
1973/138 yang menetapkan batas usia minimal untuk diperbolehkan bekerja, yaitu
15 tahun, pemerintah Indonesia tidak dapat memberlakukannya dengan tegas.
Pemerintahan Indonesia lebih memilih kebijakan untuk mentolerir keberadaan
pekerja anak dengan memberikan perlindungan terhadap mereka.
Akibatnya, Undang-Undang yang mengatur tentang ketenagakerjaan yaitu
Undang-Undang No. 25 Tahun 1997 terkesan kontroversi. Hal ini dapat dilihat
pada pasal 95 ayat 1 diatur mengenai larangan anak bekerja, tetapi pada pasal 96
ayat 1 disebutkan: “larangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 95 tidak berlaku
bagi anak yang karena alasan tertentu terpaksa bekerja.” Hal ini sesungguhnya
merupakan cerminan ketidaktegasan pemerintah dalam menyikapi keberadaan
pekerja anak.
Di Indonesia sendiri terdapat berbagai peraturan yang telah ditetapkan
untuk melindungi pekerja anak, namun pada kenyataannya masih banyak
pengusaha atau majikan yang memperlakukan pekerja anak dengan buruk, seperti:
praktik eksploitasi, menempatkan anak-anak pada pekerjaan yang tidak sesuai
dengan kondisi fisik anak-anak, dan bahkan berbahaya bagi keselamatan jiwanya.
Pada kenyataannya, menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) dari tahun
ke tahun pekerja anak di Indonesia sebagian besar berusia antara 13-14 tahun dan
bekerja rata-rata selama 6-7 jam sehari yang tentunya telah melanggar batasan
3
waktu anak untuk dapat bekerja. Bahkan tak jarang kita lihat, pekerja anak
tersebut bekerja di sektor berbahaya dan diperlakukan secara tidak manusiawi
untuk ukuran anak-anak. Akibatnya, pekerja anak tersebut kehilangan kesempatan
untuk tumbuh berkembang secara wajar dalam hal fisik, psikologis, sosial, dan
pendidikan. Mereka dapat kehilangan masa dimana mereka seharusnya menikmati
masa bermain, belajar, bergembira, dan mendapatkan kedamaian.
Oleh karena itu, dapat kita lihat bahwa permasalahan utama disini
bukanlah anak yang bekerja, melainkan adanya potensi untuk mengeksploitasi
pekerja anak yang dilakukan oleh oknum-oknum tertentu yang meperlakukan
pekerja anak dengan buruk dan tidak semestinya.
Melihat keadaan tersebut, terlihat bahwa pendekatan hukum masih belum
efektif untuk melindungi pekerja anak. Pemerintah juga melakukan upaya lain
yang diharapkan selain dapat memenuhi hak-hak anak, juga diharapkan dapat
mengurangi jumlah anak yang terjun ke dalam dunia kerja, yaitu program Wajib
Belajar (Wajar). Akan tetapi, hak ini juga dinilai belum efektif melihat masih
banyaknya anak-anak yang terjun ke dunia kerja.
Keadaan ini disebabkan karena pekerja anak biasanya datang dari
kelompok masyarakat yang perekonomiannya masih tertinggal. Sehingga,
keluarga demikian tidak mungkin atau kesulitan untuk melakukan investasi, baik
yang berbentuk modal maupun investasi sosial sehingga anak-anak terpaksa
berhenti pada tingkat pendidikan rendah atau tidak mengecap pendidikan sama
sekali. Dan disertai pandangan bahwa anak merupakan faktor produksi, sehingga
anak dipaksa atau terpaksa bekerja.
bahwa bagaimanapun hak anak harus dipenuhi. Jadi, bila keluarga (orang
tua) sebagai „penjamin alamiah‟ (natural supporter) terhadap seluruh kebutuhan anak gagal atau tidak mampu memenuhi, maka masyarakat, bangsa dan negaralah yang harus mengambil alih. Akan tetapi, Negara Kesatuan Republik Indonesia pun tidak mempunyai kemampuan untuk mengambil alih semua tanggung jawab orang tua tersebut, karena keterbatasan sumber daya yang dimiliki.4
Untuk mengatasi permasalahan pekerja anak tersebut, hal yang perlu
dilakukan adalah dengan mencari penyebab munculnya pekerja anak. Dengan
ditemukannya faktor penyebab, diharapkan pemerintah dan masyarakat dapat
melakukan upaya guna membenahinya, sehingga anak-anak tercegah untuk terjun
ke dunia kerja, atau paling tidak dapat semakin memperkecil peluang anak-anak
untuk terjun ke dunia kerja pada usia dini atau memberikan perlindungan yang
cukup bagi anak-anak yang terlanjur terjun ke dunia kerja serta hal ini juga
diharapkan akan membantu segenap pihak yang bekompeten guna mengambil
langkah-langkah untuk paling tidak mengurangi keberadaan pekerja anak.
Sebagaimana telah dikemukakan di atas, permasalahan besar yang
dihadapi pekerja anak adalah berpotensinya terjadi eksploitasi yang dilakukan
oleh berbagai pihak. Oleh karena itu, permasalahan mengenai pekerja anak ini
perlu dikaji lebih mendalam lagi untuk mengetahui bagaimana karakteristik
pekerja anak yang berpotensi mengalami eksploitasi dan seberapa besar
permasalahan tersebut di Indonesia. Mengingat banyak terjadinya tindakan
eksploitasi, baik secara ekonomi maupun seksual yang terjadi terhadap pekerja
anak. Dengan teridentifikasinya karakteristik pekerja anak yang mengalami
eksploitasi, sesungguhnya merupakan pendekatan lain yang dapat dijadikan
petunjuk oleh pemerintah atau masyarakat untuk membuat prioritas dalam
4
melakukan intervensi untuk dapat menghindari tindakan eksploitasi pekerja anak
ini.
B.Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan tersebut, maka yang
menjadi pokok permasalahan yang akan penulis bahas di bab selanjutnya adalah :
a. Bagaimana pengaturan hukum tentang eksploitasi pekerja anak di
Indonesia?
b. Bagaimana perlindungan hukum terhadap pekerja anak di Indonesia?
C.Tujuan dan Manfaat Penulisan 1.Tujuan
Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini adalah :
1. Untuk mengetahui apa itu eksploitasi pekerja anak dan apa saja
dampak yang ditimbulkan dari tindakan tersebut;
2. Untuk mengetahui pengaturan hukum positif di Indonesia terkait
tindak pidana eksploitasi pekerja anak.
2. Manfaat
Sedangkan manfaat dari skripsi ini antara lain :
a. Secara Teoretis
Diharapkan dapat mengembangkan wawasan dan memperkaya khasanah
ilmu pengetahuan dan melengkapi perbendaharaan dan koleksi ilmiah serta
memiliki kontribusi pemikiran yang menyoroti dan membahas tentang
tindak pidana eksploitasi terhadap pekerja anak di Indonesia.
b. Secara Praktis
yang turut membaca karya tulis ini tentang tindak pidana
eksploitasi pekerja anak yang kerap terjadi di berbagai wilayah di
Indonesia;
2. Agar pemerintah membentuk suatu rencana dan usaha nyata untuk
dapat memberantas tindak pidana eksploitasi pekerja anak yang
kerap terjadi di berbagai wilayah di Indonesia yang telah
nyata-nyata melanggar hak asasi anak dan menurunkan nama baik
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
D. Keaslian Penulisan
Skripsi ini berjudul “Tinjauan Yuridis terhadap Tindak Pidana Eksploitasi
Pekerja Anak di Indonesia”.
Berdasarkan penelusuran yang penulis lakukan di perpustakaan dan
Departemen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara itu
dalam rangka membuktikan bahwa judul skripsi tersebut belum ada atau
belum terdapat di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara,
maka telah terbukti bahwa skripsi ini benar-benar m erupakan hasil pemikiran
dari penulis sendiri dan bukan berasal dari karya tulis orang lain.
Bila ternyata terdapat judul dan permasalahan yang sama sebelum skripsi
ini dibuat, saya bertanggung jawab sepenuhnya.
E.Tinjauan Pustaka
1.Pengertian Pengaturan Hukum
Hukum adalah seperangkat peraturan yang bersifat memaksa yang
dibuat oleh badan-badan resmi yang berwajib, pelanggaran terhadap
peraturan-peraturan tadi berakibat diambilnya tindakan.5
Menurut Sudikno Mertokusumo, hukum adalah kumpulan
peraturan atau kaedah yang mempunyai sisi yang bersifat umum dan
normative, umum karena berlaku bagi setiap orang dan normatif karena
menentukan apa yang seyogyanya dilakukan, apa yang tidak boleh
dilakukan atau harus dilakukan serta menentukan bagaimana caranya
melaksanakan kepatuhan pada kaedah-kaedah.6
Konsepsi mengenai peraturan hukum itu sendiri menurut A.V.
Dicey terdiri dari 3 (tiga) elemen, yaitu :
1. Supremasi absolut hukum atas kekuasaan yang sewenang-wenang
termasuk kekuasaan bebas yang luas yang dimiliki pemerintah.
2. Setiap warga negara adalah subyek hukum dari negara yang
dilaksanakan di pengadilan umum.
3. Hak-hak tidak didasarkan pada pernyataan garis besar konstitusional
melainkan pada keputusan yang sebenarnya dari pengadilan.
Dari pernyataan di atas dapat dijelaskan bahwa hukum sebagai
sesuatu yang paling berkuasa di suatu negara dimana adanya supremasi
hukum yang bersifat absolut di suatu pemerintahan. Segala sesuatu yang
ada dalam hukum merupakan kekuasaan tertinggi dan mutlak yang harus
ditaati oleh semua orang.
Dikatakan bahwa setiap warga negara adalah subyek hukum dari
5
J. C. T. Simonangkir, dkk, Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), Hal. 66
6
negara yang dilaksanakan di pengadilan umum, artinya setiap warga
negara berhak melakukan perilaku hukum pada lingkup lalu lintas hukum.
Subyek dari hukum pada dasarnya adalah manusia. Jadi pada hakekatnya
hukum itu diciptakan untuk semua orang yang terkait di dalamnya.
Pada pernyataan ketiga dikatakan bahwa hak-hak tidak didasarkan
pada pernyataan garis besar konstitusional melainkan pada keputusan yang
sebenarnya dari pengadilan, artinya hukum tidak akan bias memberikan
hak-haknya sebelum hakim di pengadilan mengeluarkan keputusannya.
Jadi berdasarkan pernyataan ini terdapat hal yang saling mempengaruhi
antara hukum dan negara.
Peraturan-peraturan yang terdapat dalam pengertian hukum ini
sendiri sangat berkaitan dengan peristiwa hukum pidana yang mana
hukum pidana merupakan keseluruhan dari peraturan-peraturan yang
menentukan perbuatan apa yang dilarang dan termasuk ke dalam tindak
pidana, serta menentukan hukuman apa yang dapat dijatuhkan terhadap
pelakunya.7
Menurut Moeljatno, hukum pidana adalah bagian daripada
keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara, yang mengadakan
dasar-dasar dan aturan untuk:8
1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan
dan yang dilarang, dengan disertai ancaman atau sanksi yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
7
http://id.m.wikipedia.org/wiki/hukum_pidana diakses pada 4 Juni 2015 pukul 8.15 WIB
8
2. Menentukan kapan dan dalam hal-hal apa kepada mereka yang telah
melanggar larangan-larangan itu dapat dikenakan atau dijatuhi pidana
sebagaimana yang telah diancam.
3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana itu dapat
dilaksanakan apabila ada orang yang disangka telah melanggar
larangan tersebut.
Istilah tindak pidana sendiri berasal dari istilah yang dikenal dalam
bahasa Belanda yaitu “ strafbaar feit “. Stafbaar feit terdiri dari tiga kata,
yakni straf, baar dan feit. Secara literlijk kata “straf” artinya pidana,
“baar” artinya dapat atau boleh dan “feit” adalah perbuatan. Para ahli
hukum mengemukakan istilah yang berbeda beda dalam upayanya
memberikan arti dari strafbaar feit.
Menurut R.Tresna, peristiwa pidana itu adalah sesuatu perbuatan
atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan
Undang-undang atau peraturan-peraturan lainnya, terhadap perbuatan mana
diadakan tindakan penghukuman. Tidak ada persamaan pendapat
dikalangan para ahli tentang syarat yang menjadikan perbuatan manusia
itu sebagai peristiwa pidana, oleh karena itu R. Tresna menyatakan, dapat
diambil sebagai patokan bahwa peristiwa pidana itu harus memenuhi
syarat-syarat berikut ini :9
a. Harus ada suatu perbuatan manusia;
b. Perbuatan itu harus sesuai dengan apa yang dilukiskan di dalam
ketentuan hukum;
9
c. Harus terbukti adanya “dosa” pada orang yang berbuat, yaitu
orangnya harus dapat dipertanggungjawabkannya;
d. Perbuatan itu harus berlawanan dengan hukum;
e. Terhadap perbuatan itu harus tersedia ancaman hukumannya dalam
undang-undang.
Berdasarkan hal tersebut dapat diartikan bahwa perbuatan pidana
atau tindak pidana senantiasa merupakan suatu perbuatan yang tidak sesuai
atau melanggar suatu aturan hukum atau perbuatan yang dilarang oleh
aturan hukum yang disertai dengan sanksi pidana yang mana aturan
tersebut ditujukan kepada orang yang melakukan atau orang yang
menimbulkan peristiwa tersebut.
Dalam hal ini, maka setiap orang yang melanggar aturan-aturan
hukum yang berlaku, dapat dikatakan bahwa orang tersebut merupakan
pelaku perbuatan pidana atau pelaku tindak pidana. Akan tetapi, perlu
diingat bahwa aturan larangan dan ancaman mempunyai hubungan yang
erat, oleh karena itu antara peristiwa dengan orang yang menimbulkan
peristiwa juga mempunyai hubungan yang erat pula.
Tindak pidana merupakan suatu dasar pokok dalam menjatuhi yang
telah melakukan perbuatan pidana atas dasar pertanggungjawaban
seseorang atas perbuatan yang telah dilakukannya. Namun dalam hal ini
harus berdasarkan asas legalitas (Principle of legality), yaitu merupakan
asas yang mengatakan bahwa tidak ada perbuatan yang dilarang dan
perundang-undangan, biasanya ini lebih dikenal dalam bahasa latin
sebagai Nullum delictum nulla poena sine praevia lege (tidak ada delik,
tidak ada pidana tanpa peraturan terlebih dahulu), hal ini diungkapkan oleh
Von Feurbach, seorang sarjana hukum pidana yang berasal dari Jerman.
Asas legalitas ini dimaksud mengandung 3 (tiga) pengertian,
yaitu :10
a. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana jika
hal itu belum dinyatakan dalam suatu aturan Undang-Undang terlebih
dahulu.
b. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan
analogi.
c. Aturan-aturan hukum pidana tidak boleh berlaku surut.
2.Pengertian Pekerja Anak
Dalam upaya memahami pekerja anak, harus membedakan terlebih dahulu
antara pekerja anak dan anak yang bekerja. Menurut Warsini, dkk anak yang
bekerja adalah anak yang melakukan pekerjaan karena membantu orang tua,
latihan keterampilan dan belajar bertanggung jawab, misalnya membantu
mengerjakan tugas-tugas di rumah, membantu pekerjaan orang tua di lading dan
lain-lain. Anak melakukan pekerjaan yang ringan dapat dikategorikan sebagai
proses sosialisai dan perkembangan anak menuju dunia kerja. Indikator anak
membantu melakukan pekerjaan ringan adalah :11
1. Anak membantu orang tua untuk melakukan pekerjaan ringan;
10
Moeljatno, Op.Cit, Hal 25
11
2. Adanya unsur pendidikan/pelatihan;
3. Anak tetap sekolah;
4. Dilakukan pada saat senggang dengan waktu yang relatif
pendek;
5. Terjaga keselamatan dan kesehatannya.
Sedangkan, pekerja anak menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 2003
menyebutkan bahwa pekerja anak adalah anak-anak baik laki-laki maupun
perempuan yang teribat dalam kegiatan ekonomi yang mengganggu atau
menghambat proses tumbuh kembang dan membahayakan bagi kesehatan fisik
dan mental anak. Anak-anak boleh dipekerjakan dengan syarat mendapat izin dari
orang tua dan bekerja maksimal 3 jam sehari.”12
Menurut Warsini, disebut pekerja anak apabila memenuhi indikator antara
lain :13
1. Anak bekerja setiap hari;
2. Anak tereksploitasi;
3. Anak bekerja pada waktu yang panjang;
4. Waktu sekolah terganggu/tidak sekolah.
Pekerja anak adalah sebuah istilah untuk memperkerjakan anak kecil
Istilah pekerja anak dapat memiliki konotasi pengeksploitasian anak kecil atas
tenaga mereka dengan gaji yang kecil tanpa mempertimbangkan perkembangan
kepribadian mereka, keamanan, kesehatan dan prospek masa depan.14
3.Pengertian Eksploitasi Anak
12
Undang-Undang No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan 13
Loc.cit 14
Pengertian eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan
korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan
paksa, perbudakan atau praktit serupa perbudakan, penindakan, pemerasan,
pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi atau secara melawan hukum
memindahkan atau mentransplantasi organ dan atau jaringan tubuh atau
memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk
mendapatkan keuntungan baik materiil maupun immaterial.15
Menurut pasal 66 ayat 3 Undang-Undang No. 23 tahun 2002, adapun yang
dimaksud dengan eksploitasi anak oleh orang tua atau pihak lainnya, yaitu
menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta
melakukan eksploitasi ekonomi atau seksual terhadap anak.16
Berdasarkan laporan UNICEF “The state of The World’s Children 1997”
UNICEF berkeyakinan bahwa pekerja anak adalah merupakan tindak eksploitasi
apabila menyangkut :17
1. Pekerjaan penuh waktu (full time);
2. Terlalu banyak waktu yang dihabiskan untuk bekerja;
3. Pekerjaan menimbulkan tekanan fisik, sosial atau psikologis yang
tidak patut terjadi;
4. Bekerja dan hidup di jalanan dalam kondisi buruk
5. Upah tidak mencukupi;
6. Tanggung jawab terlalu banyak;
15
http://www.kpai.go.id/artikel/temuan-dan-rekomendasi-kpai-tentang-perlindungan-anak-di-bidang-perdagangan-anak-trafficking-dan-eksploitasi-terhadap-anak/ diakses pada tanggal 1 April 2015, 05.54 WIB
16
Undang-Undang No. 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
17The state of The World’s Children 1997,
7. Pekerjaan yang menghambat akses pendidikan;
8. Pekerjaan yang mengurangi harga diri dan martabat anak-anak,
seperti perbudakan atau pekerjaan kontrak paksa dan eksploitasi
seksual.
4.Pengertian Perlindungan Hukum
Menurut Hadjon, perlindungan hukum bagi rakyat meliputi 2 hal, yakni :18
1. Perlindungan hukum preventif, yakni bentuk perlindungan hukum
dimana kepada rakyat diberi kesempatan untuk mengajukan keberatan
atau pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintah mendapat
bentuk yang defenitif.
2. Perlindungan hukum represif, yakni bentuk perlindungan hukum
dimana lebih ditujukan dalam penyelesaian sengketa
Secara konseptual, perlindungan hukum yang diberikan bagi rakyat
Indonesia merupakan implementasi atas prinsip pengakuan dan perlindungan
terhadap harkat dan martabat manusia yang bersumber pada Pancasila dan prinsip
Negara Hukum yang berdasarkan Pancasila.
Perlindungan hukum ini berlaku terhadap siapa saja yang merupakan
masyarakat Indonesia termasuk terhadap anak-anak. Adapun pengertian
perlindungan anak adalah segala usaha yang dilakukan untuk menciptakan kondisi
agar setiap anak dapat melaksanakan hak dan kewajibannya demi perkembangan
dan pertumbuhan anak secara wajar baik fisik, mental dan sosial.
Perlindungan anak merupakan perwujudan adanya keadilan dalam suatu
18
masyarakat, dengan demikian perlindungan anak diusahakan dalam berbagai
bidang kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Kegiatan perlindungan anak
membawa akibat hukum, baik dalam kaitannya dengan hukum tertulis maupun
hukum tidak tertulis. Hukum merupakan jaminan bagi kegiatan perlindungan
anak.
Arif Gosita mengemukakan bahwa kepastian hukum perlu diusahakan
demi kelangsungan kegiatan perlindungan anak dan mencegah penyelewengan
yang membawa akibat negatif yang tidak diinginkan dalam pelaksanaan
perlindungan anak.19
Perlindungan anak tidak boleh dilakukan secara berlebihan dan
memperhatikan dampaknya terhadap lingkungan maupun diri anak itu sendiri,
sehingga usaha yang dilakukan tidak berakibat negatif. Perlindungan anak
dilaksanakan rasional, bertanggung jawab dan bermanfaat yang mencerminkan
suatu usaha yang efektif dan efisien.
Usaha perlindungan anak tidak boleh mengakibatkan matinya inisiatif,
kreatifitas, dan hal lain yang menyebabkan ketergantungan kepada orang lain dan
berperilaku tidak terkendali, sehingga anak tidak memiliki kemampuan dan
kemauan menggunakan hak-haknya dan melaksanakan kewajiban-kewajibannya.
Menurut Soepomo dalam Asikin, perlindungan tenaga kerja dibagi
menjadi 3 (tiga) macam, yaitu :20
1. Perlindungan ekonomis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk penghasilan cukup, termasuk bila tenaga kerja tidak
19
Maidin Gultom, Perlindungan Hukum Terhadap Anak dalam Sistem Peradilan Pidana Anak di Indonesia (Bandung : PT Refika Aditama, 2008), Hal 33
20
mampu bekerja di luar kehendaknya.
2. Perlindungan sosial, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk jaminan kesehatan kerja, dan kebebasan berserikat dan perlindungan hak untuk berorganisasi.
3. Perlindungan teknis, yaitu perlindungan tenaga kerja dalam bentuk keamanan dan keselamatan kerja.
Ketiga jenis perlindungan di atas mutlak harus dipahami dan dilaksanakan
sebaik-baiknya oleh pengusaha sebagai pemberi kerja. Jika pengusaha melakukan
pelanggaran, maka dikenakan sanksi. Berdasarkan objek perlindungan tenaga
kerja Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur
perlindungan khusus bagi pekerja/buruh perempuan, anak, dan penyandang cacat.
Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 menentukan bahwa
perlindungan anak adalah segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak
dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang dan berpartisipasi secara
optimal sesuai harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan
dari kekerasan dan diskriminasi.21
Perlindungan anak dapat dilakukan secara langsung maupun secara tidak
langsung. Secara langsung maksudnya kegiatan langsung ditujukan kepada anak
yang menjadi sasaran penanganan langsung. Kegiatan seperti ini dapat berupa
antara lain dengan cara melindungi anak dari berbagai ancaman dari luar dan
dalam dirinya, mendidik, membina, mendampingi anak dengan berbagai cara,
mencegah anank kelaparan dan mengusahakan kesehatannya dengan berbagai
cara, menyediakan sarana pengembangan diri, dan sebagainya. Perlindungan anak
secara tidak langsung yaitu kegiatan tidak langsung ditujukan kepada anak, tetapi
orang lain yang melakukan/terlibat dalam usaha perlindungan anak. Usaha
21
perlindungan demikian misalnya dilakukan oleh orang tua atau yang terlibat
dalam usaha-usaha perlindungan anak terhadap berbagai ancaman dari luar
ataupun dari dalam diri anak, mereka yang bertugas mengasuh, membina,
mendampingi anak dengan berbagai cara; mereka yang terlibat mencegah anak
kelaparan, mengusahakan kesehatan, dan sebagainya dengan berbagai cara,
mereka yang menyediakan sarana mengembangkan diri anak dan sebagainya.22
B.Metode Penelitian
1.Jenis dan Sumber Data
Adapun jenis penelitian ini adalah bersifat yuridis normatif.
Sedangkan sumber data penelitian ini didapat melalui :
a. Bahan hukum primer, dalam penelitian ini dipakai segala peraturan
perundang-undangan, seperti Undang-Undang Nomor 20 Tahun
1999 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 138 Mengenai Usia
Minimum Untuk Diperbolehkan Bekerja, Undang-Undang Nomor
1 Tahun 2000 Tentang Ratifikasi Konvensi ILO Nomor 182
Mengenai Pelarangan dan Tindakan Segala Penghapusan
Bentuk-bentuk Pekerjaan Terburuk Pada Anak, Undang-Undang Nomor 39
Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia, Undang-Undang Nomor
4 Tahun 1979 Tentang Kesejahteraan Anak, Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
Keputusan Presiden, seperti Keputusan Presiden Republik
Indonesia Nomor 36 Tahun 1990 Tentang Ratifikasi Konvensi
22
hak Anak, Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 59
Tahun 2002 Tentang Penghapusan Bentuk-bentuk Pekerjaan
Terburuk untuk Anak, Peraturan Daerah Provinsi, seperti Peraturan
Daerah Provinsi Sumatera Utara Nomor 5 Tahun 5 Tahun 2004
Tentang Pencegahan dan Penanggulangan Bentuk-bentuk
Pekerjaan Terburuk bagi Anak, Peraturan Daerah Provinsi Jawa
Barat Nomor 5 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Anak, dan
Peraturan Daerah Kabupaten, seperti Peraturan Kabupaten Kutai
Kartanegara Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Zona Bebas Pekerja
Anak di Kabupaten Kutai Kartanegara, Peraturan Daerah
Kabupaten Tulungagung Nomor 10 Tahun 2009 Tentang
Perlindungan Anak, serta peraturan lain yang berkaitan dengan
tindak pidana eksploitasi pekerja anak ini.
b. Bahan hukum sekunder, berupa buku-buku literatur dan
tulisan-tulisan hukum lainnya yang relevan dengan rumusan masalah.
2.Metode Pengumpulan Data
Metode yang digunakan dalam skripsi ini untuk mengumpulkan data
adalah Library Research, yaitu dengan melakukan penelitian terhadap
berbagai sumber bacaan, antara lain buku-buku, pendapat para sarjana, dan
lain-lain yang diperoleh dari internet.
3.Analisis Data
Pada penelitian hukum normatif, pengolahan data hakikatnya untuk
mengadakan sistematisasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis. Data yang
studi kepustakaan yang dilakukan dengan mempelajari konsep hukum pidana
yang mengatur tentang tindak pidana eksploitasi pekerja anak di Indonesia
dalam literatur hukum pidana. Data tersebut kemudian dianalisa secara
kualitatif untuk memperoleh jawaban permasalahan skripsi ini.
C. Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan skripsi ini adalah :
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas tentang Latar Belakang,Perumusan Masalah,
Tujuan dan Manfaat Penulisan, Keaslian Penulisan, Tinjauan
Pustaka, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II PENGATURAN HUKUM TENTANG EKPLOISTASI
PEKERJA ANAK
Bab ini membahas tentang Pengaturan eksploitasi pekerja anak
dalam peraturan perundang-undangan berdasarkan
Undang-Undang, Keputusan Presiden, Peraturan Daerah Provinsi, serta
peraturandan membahas tentang ketentuan pidana terhadap
pelaku tindak pidana eksploitasi pekerja anak dalam instrumen
hukum positif di Indonesia
BAB III PERLINDUNGAN TERHADAP PEKERJA ANAK DI INDONESIA
Bab ini membahas tentang pekerja anak sebagai korban
eksploitasi, yaitu berupa bentuk-bentuk eksploitasi pekerja anak
dan faktor penyebab terjadinya eksploitasi pekerja anak, dampak
pemerintah dalam menanggulangi eksploitasi pekerja anak.
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini membahas tentang menguraikan tentang kesimpulan
yang penulis dapatkan dari keseluruhan pembahasan, kemudian
dari kesimpulan tersebut penulis juga memberikan beberapa
saran yang penulis harap dapat berguna bagi penyelesaian