• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian - Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)"

Copied!
56
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM

A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Buku III Kitab Undanng-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) mengatur tentang perikatan (verbintenissenrecht), di mana tercakup pula istilah perjanjian (overeenkomst). Dikenal tiga terjemahan dari verbintenis, yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian, sedangkan overeenkomst

terdapat dua terjemahan, yaitu perjanjian dan persetujuan.29

Secara garis besar perjanjian dapat di bedakan menjadi dua, yaitu:

Jadi, istilah perjanjian merupakan terjemahan dari kata verbintenis, overeenkomst

(Belanda) atau contract (Inggris).

30

a. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.

b. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya, perjanjian bernama.

Perjanjian mengandung pengertian “sebagai suatu hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi

29

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hal 41

30Ibid

(2)

kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.31

Pengertian singkat di atas dapat disimpulkan beberapa unsur yang memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum (rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang (persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban pada pihak lain tentang suatu prestasi.32

Rumusan Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa di luar perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Hal ini menunjukkan perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Para pihak secara sukarela mengikatkan diri untuk menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat ditemui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang menyatakan bahwa; “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian baik karena undang-undang”.

31

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal 6.

32

(3)

perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Sifat sukarela dari perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan maksud dari pihak yang membuat perjanjian.33

Kaitan hukum harta kekayaan dalam perjanjian dimaksudkan untuk membatasi bahwa perjanjian yang dimaksudkan adalah perjanjian yang berkaitan dengan harta kekayaan seseorang sebagaimana dijamin dengan ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi, “Segala kebendaan milik debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Pengertian tersebut menunjukkan tidak meliputi perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku I tentang Orang dan Keluarga KUH Perdata mengenai perjanjian kawin.

Pernyataan sukarela menunjukkan bahwa perikatan yang bersumber dari perjanjian tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. Hal ini berbeda dari perikatan yang lahir dari undang-undang, yang menerbitkan kewajiban bagi salah satu pihak dalam perikatan tersebut, meskipun sesungguhnya para pihak tidak menghendakinya.

34

Pengertian perjanjian menurut KUH Perdata terdapat dalam Pasal 1313 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

33

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal 2. (Selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I)

34Ibid

(4)

lebih.” Unsur-unsur perjanjian yang dapat di lihat menurut pasal ini bahwa suatu perjanjian adalah :

a. Suatu perbuatan;

b. Antara sekurangnya dua orang (dapat lebih dari dua orang)

c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara puhak-pihak yang berjanji tersebut.

Sehingga definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah :35

a. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian b. Tidak tampak asas konsensualisme

c. Bersifat dualisme.

Tidak jelasnya definisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian.

Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian perjanjian : teori lama dan teori baru. Menurut doktrin (teori lama), yang disebut perjanjian adalah “perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum”. Definisi di atas, telah tampak adanya asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak dan kewajiban).36

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang diartikan dengan perjanjian, adalah : “Suatu hubungan hukum antara dua

35

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal 160. (Selanjutnya disebut Salim HS-III)

36

(5)

pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.”37

Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata, tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori baru, yaitu:38

a. Tahap prakontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan; b. Tahap kontractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak

antara para pihak;

c. Tahap post kontractual, yaitu pelaksanaan perjanjian. Unsur-unsur perjanjian menurut teori lama, yaitu:39

a. Adanya perbuatan hukum;

b. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang c. Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan dinyatakan;

d. Perbuatan hukum itu terjadi karena kerja sama antara dua orang atau lebih;

e. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai itu harus saling bergantung satu sama lain;

f. Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;

g. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang lain atau timbal balik;

h. Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan perundang-undangan.

2. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian

Pihak-pihak dalam perjanjian diatur secara sporadis di dalam KUH Perdata, yaitu Pasal 1315, Pasal 1340, Pasal 1317, Pasal 1318. Mengingat

37

Van Dunne, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa, Ganti Kerugian, Ibid.

38

Ibid.

39

(6)

bahwa hukum harus dipelajari sebagai satu sistem, maka penting untuk mencari kaitan diantara pasal-pasal tersebut.40

Pengertian subjek perjanjian adalah pihak-pihak yang terikat dengan diadakannya suatu perjanjian.41

Kreditur dan debitur inilah yang menjadi subjek perjanjian. Kreditur mempuyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. Beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya, tidak mengurangi sahnya perjanjian. Jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan debitur, juga tidak mengurangi nilai sahnya perjanjian.

Pihak-pihak yang terikat dalam perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu. Masing-masing orang itu menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak debitur.

42

a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;

KUH Perdata membedakan tiga golongan yang tersangkut pada perjanjian yaitu :

b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari padanya;

c. Pihak ketiga.

Ketiga golongan ini pada awalnya dapat kita lihat dalam Pasal 1315 KUH Perdata yang menyatakan; “Pada umumnya tak dapat

40

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perjanjian, Dalam Rangka

Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001),

hal 69. (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-I)

41

Ibid., hal 70.

42

(7)

mengikatkan perjanjian diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Kemudian Pasal 1340 KUH Perdata disebutkan:

“Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ke tiga; tak dapat pihak-pihak-pihak-pihak ke tiga mendapat manfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317”.

Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan;

“Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji: yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya”.

Pasal 1318;

“Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang, yang memperoleh hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudya”.

(8)

janji guna pihak ketiga (beding ten behoeve van derden) Pasal 1317 KUH Perdata.43

Apabila seseorang membuat sesuatu perjanjian, maka orang itu dianggap mengadakan perjanjian bagi ahli warisnya dan orang-orang yang memperoleh hak daripadanya (Pasal 1318 KUH Perdata). Beralihnya hak kepada ahli waris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum (onder algemene titel) yang terjadi pada ahli warisnya. Beralihnya perjanjian kepada orang-orang yang memperoleh hak berdasarkan atas alas-alas hak khusus (onder bijzondere titel), misalnya menggantikan pembeli, mendapatkan haknya sebagai pemilik. Hak yang terikat kepada suatu kualitas itu dinamakan hak kualitatif.44

Menurut Pasal 1340 ayat 2 KUH Perdata, persetujuan-persetujuan tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, tidak dapat pihak ketiga, mendapat manfaat karenanya, selain dari yang diatur dalam pasal 1317 KUH Perdata. Oleh karena itu, asas seseorang tidak dapat mengikat diri selain atas nama sendiri mempunyai suatu kekecualian, yaitu dalam bentuk yang dinamakan janji untuk pihak ketiga (derden beding). Pasal 1317 KUH Perdata menyebutkan bahwa lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri atau, suatu pemberian yang dilakukannya pada seorang lain memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan

43

Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 71.

(9)

sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan kehendaknya atau kemauan untuk mempergunakannya.

Ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa janji untuk pihak ketiga itu merupakan suatu penawaran (offerte) yang dilakukan oleh pihak yang meminta diperjanjikan hak (stipulator) kepada mitranya (promissor) agar melakukan prestasi kepada pihak ketiga. Stipulator tadi tidak dapat menarik kembali perjanjian itu apabila pihak ketiga telah menyatakan kehendaknya menerima perjanjian itu.45

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata yang berbunyi;

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat : a. Sepakat mereka yag mengikatkan dirinya,

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan, c. Suatu hal tertentu,

d. Suatu sebab yang halal.”

Empat unsur tersebut dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan ke dalam :46

a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan

b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

45Ibid.

46

(10)

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan

causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

a. Sepakat (Toestemming)

Sepakat merupakan Kesesuaian, kecocokan, pertemuan kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Unsur kesepakatan yaitu;47

1) Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang menawarkan.

2) Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang menerima penawaran.

47

(11)

Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kesepakatan itu terjadi ada beberapa macam teori/ajaran, yaitu :48

1) Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoritis karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis

2) Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal tersebut bisa diketahui. Sebab, bisa saja walaupun sudah dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan. 3) Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang

menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya diterima (walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum menerimanya.

4) Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari pihak lawan.

48

(12)

Kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Suatu perjanjian dapat dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal tersebut, sebagaimana ditentukan Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiada suatu perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh para pihak. Pernyataan tersebut dikenal dengan nama penawaran.49

Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran, selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima

49

(13)

penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan penawaran tersebut. Apabila pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya.50

Hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar-menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, di mana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.51

b. Kecakapan

Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing adalah pembawa hak (subjek hukum) yang memiliki hak dan

50

Ibid., hal 96

(14)

kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum. Meskipun setiap subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus di dukung oleh kecakapan dan kewenangan hukum.52

Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang perorangan yang melakukan suatu tinndakan atau perbuatan hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum. Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum, tetapi ternyata tidak berwenang untuk melakukann suatu perbuatan hukum dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.53

Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan cakap untuk bertindak atas nama dirinya sendiri, baru kemudian

52

R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), hal 139.

53

(15)

dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan atau perbuatan hukum tertentu.54

1) Orang-orang yang belum dewasa;

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai dengan Pasal 1331 KUH Perdata. Pasal 1329 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat perikatan-perikatan, jika ia oleh udang-undang tidak dinyatakan tak cakap”.

Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 KUH Perdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap tidak cakap untuk bertindak dalam hukum dengan menyatakan bahwa :

“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah: 2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu”.

KUH Perdata memandang bahwa seorang wanita yang telah bersuami tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Sejak

(16)

tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3/1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria, untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan pengadilan, sehingga ia tidak memerlukan bantuan lagi dari suaminya. Oleh sebab itu ketentuan sub 3 dari Pasal 1330 KUH Perdata sudah tidak berlaku lagi, sehingga orang yang tidak cakap (tidak berwenang melakukan perbuatan hukum), dapat dibagi menjadi :55

1) Mereka yang belum cukup umur

Mereka yang belum cukup umur maksudnya adalah mereka yang berlum dewasa. Menurut Pasal 330 KUH Perdata menentukan bahwa;

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebgaimana diatur dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini”.

Yang dimaksud perwalian sebagaimana disebut dalam Pasal 330 KUH Perdata adalah pengawasan atas orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di

55

(17)

bawah kekuasaan orangtua) sebagaimana diatur dalam undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak yang belum dewasa.

2) Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan

Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUH Perdata tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan di mana seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap untuk bertindak sendiri (atau pribadi) di dalam lalu lintas hukum, karena orang tersebut (curandus), oleh putusan hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut undang-undang yang disebut pengampu (curator/curatrice). Sedangkan pengampuannya disebut

curatele. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap adalah (Pasal 433 KUH Perdata)

a) Keadaan dungu;

b) Sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya);

c) Pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan bertindak terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja).

(18)

c. Suatu Hal Tertentu

Suatu hal tertentu maksudnya berbicara tentang objek perjanjian (Pasal 1332 s/d 1334 KUH Perdata). Objek perjanjian yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut adalah:56

1) Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat ditentukan jenis dan dapat dihitung.

2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).

Ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa: “Hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat menjadi pokok perjanjian”. Pada dasarnya pasal ini hanya menegaskan kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian ini, yang dapat menjadi obyek dalam perikatan adalah kebendaan yang masuk dalam lapangan harta kekayaan. Jadi kebendaan, baik yang berwujud maupun tidak berwujud, yang berada di luar lapangan harta kekayaan (yang terutama diatur dalam Buku II KUH Perdata tentang kebendaan) tidaklah dapat menjadi pokok perjanjian, karena kebendaan tersebut tidak termasuk dalam rumusan kebendaan menurut Pasal 1131 KUH Perdata, sehingga tidak dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan perikatan orang perorangan tersebut.57

Pasal 1334 KUH Perdata mengatur mengenai perjanjian, yang melahirkan perikatan bersyarat. Dengan rumusan;

56

Mariam Darus Badrulzaman-II, Op.cit., hal 104.

57

(19)

“Kebendaan yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketetentuan Pasal-Pasal 169, 176, dan 178”.

Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk penegasan bahwa dalam suatu perjanjian, hanya seseorang yang dapat berbuat bebas dengan kebendaan yang menjadi pokok perjanjian saja yang dapat membuat perjanjian yang mengikat kebendaan tersebut.

Suatu warisan yang belum terbuka pada pokoknya bukanlah kebendaan milik dari orang yang akan memperoleh warisan. Hal ini menunjuk pada ketidakpastian mengenai apakah orang yang akan memperoleh warisan tersebut pasti akan memperoleh kebendaan yang akan diwariskan tersebut sebagai hak milik. Bahkan dalam rumusan Pasal 178 ayat (2) KUH Perdata dinyatakan bahwa suatu hibah yang diberikan sebelum pemberi hibah meninggal akan menjadi gugur apabila pemberi hibah hidup lebih lama, juga dari anak-anak dan keturunan penerima hibah. Jelaslah bahwa sesuatu yang belum pasti akan dimiliki tidak dapat dijadikan obyek perjanjian. Perjanjian hanya sah dan mengikat jika obyeknya yang berupa kebendaan telah ditentukan jenisnya, demikianlah Pasal 1333 KUH Perdata.58

58Ibid.,

(20)

d. Suatu Sebab yang Halal

Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal 1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempuyai kekuatan”. KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dijelaskan bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:

1) Bukan tanpa sebab; 2) Bukan sebab yang palsu; 3) Bukan sebab yang terlarang.

(21)

pihak, karena suatu perjanjian dapat dibuat berdasarkan alasan yang tidak mutlak sama antara kedua belah pihak yang mengadakan perjanjian tersebut.59

4. Akibat Perjanjian

Adapun rumusan mengenai sebab yang terlarang disamping sebab yang halal. Ketentuan tersebut terdapat dalam Pasal 1337 KUH Perdata menyatakan bahwa : “Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum”. Perjanjian yang dibuat dengan sebab yang demikian tidak mempunyai kekuatan (Pasal 1335 KUH Perdata).

a. Perjanjian yang Sah adalah Undang-undang

Pasal 1338 KUH Perdata menyatakan bahwa :

“Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Istilah “semua” maka pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud bukanlah hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian yang tidak bernama.60

59Ibid.,

hal 162.

60

(22)

Istilah “secara sah” pembentuk undang-undang menunjukkan bahwa pembuatan perjanjian harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan. Semua persetujuan yang dibuat menurut hukum atau secara sah (Pasal 1320 KUH Perdata) adalah mengikat sebagai undang-undang terhadap para pihak. Hal tersebut tersimpul realisasi asas kepastian hukum. Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata menunjukkan kekuatan kedudukan kreditur dan sebagai konsekuensinya perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak. Namun kedudukan ini diimbangi dengan Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata yang mengatakan bahwa perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik. Hal ini memberikan perlindungan pada debitur dan kedudukan antara kreditur dan debitur menjadi seimbang, sehingga merupakan realisasi dari asas keseimbangan.61 b. Asas Kebebasan Berkontrak

Asas kebebasan berkontrak merupakan asas yang menduduki posisi sentral di dalam hukum kontrak, meskipun asas ini tidak dituangkan menjadi aturan hukum namun mempunyai pengaruh yang sangat kuat dalam hubungan kontraktual para pihak.62

Asas ini bermakna bahwa setiap orang bebas membuat perjanjian dengan siapa pun, apa pun isinya, apa pun bentuknya

61Ibid.

62

Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas dalam Kontrak

(23)

sejauh tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan (Pasal 1337 dan 1338 KUH Perdata). 63

Latar belakang lahirnya asas kebebasan berkontrak adalah adanya paham indiviualisme yang secara embrional lahir dalam zaman Yunani, yang diteruskan oleh kaum Epicuristen dan berkembang pesat dalam zaman renaisance melalui antara lain ajaran-ajaran Hugo de Grecht, Thomas Hobbes, Jhon Locke dan Rosseau.64

Menurut paham individualisme, setiap orang bebas untuk memperoleh apa yang dikehendakinya. Asas ini dalam hukum kontrak diwujudkan dalam “kebebasan berkontrak”. Teori leisbet fair in menganggap bahwa “the invisible hand akan menjamin kelangsungan jalannya persaingan bebas, karena pemerintah sama sekali tidak boleh mengadakan intervensi di dalam kehidupan (sosial ekonomi) masyarakat”. Paham individualisme memberikan peluang yang luas kepada golongan kuat (ekonomi) untuk menguasai golongan lemah (ekonomi). Pihak yang kuat menentukan kedudukan pihak yang lemah. Pihak yang lemah berada dalam cengkeraman pihak yang kuat, diungkapkan dalam

exploitation de homme par l’homme.

65

63

R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta : Intermasa, 1987), hal 13.

64

Salim HS, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, (Jakarta : Sinar Grafika, 2011), hal 9. (Selanjutnya disebut Salim HS-II)

(24)

Pada akhir abad ke-19, akibat desakan paham etis dan sosialis, paham individualisme mulai pudar, terlebih-lebih sejak berakhirnya Perang Dunia II. Paham ini tidak mencerminkan keadilan. Masyarakat ingin pihak yang lemah lebih banyak mendapat perlindungan. Oleh karena itu, kehendak bebas tidak lagi diberi arti mutlak, akan tetapi diberi arti relatif dikaitkan selalu dengan kepentingan umum. Pemerintah sebagai pengemban kepentigan umum menjaga keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat. Melalui penerobosan hukum kontrak oleh pemerintah maka terjadi pergeseran hukum kontrak ke bidang hukum publik. Adanya campur tangan pemerintah ini terjadi lah permasyarkatan (vermastchappelijking) hukum kontrak.66

Perkembangan yang bersifat relatif tersebut, maksudnya adalah kebebasan berkontrak yang bertanggung jawab. Asas inilah yang menyebabkan hukum perjanjian bersistem terbuka. Pasal-pasal dalam hukum perjanjian sebagian besar (karena Pasal 1320 KUH Perdata bersifat pemaksa) dinamakan hukum pelengkap karena para pihak boleh membuat ketentuan-ketentuan sendiri yang menyimpang dari pasal-pasal hukum perjanjian namun bila mereka tidak mengatur sendiri sesuatu soal maka mereka (para pihak) mengenai soal itu tunduk pada undang-undang dalam hal ini Buku III KUH Perdata. Jika dipahami secara saksama maka asas

(25)

kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada para pihak untuk :67

1) Membuat atau tidak membuat perjanjian; 2) Mengadakan perjanjian dengan siapa pun;

3) Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan, dan persyaratannya;

4) Menentukan bentuknya perjanjian yaitu secara tertulis atau lisan.

Namun, keempat hal tersebut boleh dilakukan dengan syarat tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan.

Menurut Sri Soedewi Maschoen Sofwan, pembatasan kebebasan berkontrak akibat adanya :68

1) Perkembangan masyarakat dibidang sosial ekonomi (misal: karena adanya penggabungan atau sentralisasi perusahaan; 2) Adanya campur tangan pemerintah untuk melindungi

kepentingan umum atau pihak yang lemah;

3) Adanya aliran dalam masyarakat yang menginginkan adanya kesejahteraan sosial.

c. Asas Konsensualisme

Asas ini dapat ditemukan dalam Pasal 1320 dan Pasal 1338 KUH Perdata.69

67

Handri Raharjo, Op.cit., hal 44.

68

Ridwan Khairandy, Iktikad Baik dalam Kebebasan Berkontrak dalam buku Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal 115.

69

Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 87.

(26)

belah pihak. Kesepakatan merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak.70

Asas konsensualisme muncul diilhami dari hukum Romawi dan hukum Jerman. Hukum Germani tidak dikenal asas konsensualisme, tetapi yang dikenal adalah perikatan riil dan perikatan formal. Perikatan rill adalah suatu perikatan yang dibuat dan dilaksanakan secara nyata (kontan dalam hukum adat), sedangkan yang disebut perikatan formal adalah suatu perikatan yang telah ditentukan bentuknya yaitu tertulis (baik berupa akta autentik maupun akta di bawah tangan). Hukum Romawi dikenal istilah Contractus Verbis Literis dan Contractus innominat, yang artinya bahwa terjadinya perjanjian, apabila memenuhi bentuk yang telah ditetapkan. Asas konsensualisme yang dikenal dalam KUH Perdata adalah berkaitan dengan bentuk perjanjian.71

Pasal 1320 KUH Perdata penyebutannya tegas sedangkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata ditemukan dalam istilah “semua”. Kata-kata semua menunjukkan bahwa setiap orang diberi kesempatan untuk menyatakan keinginannya, yang dirasakan baik untuk menciptakan perjanjian. Asas ini sangat erat hubungannya dengan asas kebebasan mengadakan perjanjian.72

70

Salim HS-II, Op.cit., hal 10.

71

Salim HS-I, Op.cit., hal 157.

72

(27)

d. Asas Kekuatan Mengikat

Suatu perjanjian terkandung suatu asas kekuatan mengikat. Terikatnya para pihak pada perjanjian itu tidak semata-mata pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan serta moral. Demikianlah sehingga asas-asas moral, kepatutan, dan kebiasaan yang mengikat para pihak.73

Perkembangan asas kekuatan mengikat kontrak dapat ditelusuri sejalan dengan perkembangan Hukum Romawi berdasarkan corak dan struktur masyarakat yang paling sederhana sampai yang telah maju (modern). Menurut David Allan, sejak 450 tahun sebelum Masehi sampai sekarang telah terjadi empat tahap perkembangan pemikiran mengenai kekuatan mengikat kontrak, yaitu:74

1) Tahap pertama, disebut dengan contracts re; 2) Tahap kedua, disebut dengan contracts verbis; 3) Tahap ketiga, disebut dengan contracts litteris; 4) Tahap keempat, disebut dengan contracts consensus. e. Asas Iktikad Baik

Asas iktikad baik dapat disimpulkan dari Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. Pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata berbunyi : “Perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”. Maksudnya

73

Ibid.

74

Taryana Soenandar, Prinsip-prinsip UNIDROIT sebagai Sumber Hukum Kontrak dan

(28)

perjanjian itu dilaksanakan menurut kepatutan dan keadilan. Pengertian iktikad baik dalam dunia hukum mempunyai arti yang lebih luas daripada pengertian sehari-hari.75

Menurut Hoge Raad, dalam putusannya tanggal 9 Februari 1923 (Nederlandse Jurisprudentie, hlm. 676) memberikan rumusan bahwa : “perjanjian harus dilaksanakan “volgens de eisen van redelijkheid en billijkheid”, artinya iktikad baik harus dilaksanakan meurut kepatutan dan kepantasan”.76 P.L. Werry menerjemahkan “redelijkheid en billijkheid” dengan istilah “budi dan kepatuhan”, beberapa terjemahan lain menggunakan istilah “kewajaran dan keadilan” atau “kepatutan dan keadilan”.77 Redelijkheid artinya rasional, dapat diterima oleh nalar dan akal sehat (reasonable;

raisonable), sedangkan billijkheid artinya patut dan adil. Jadi, “redelijkheid en billijkheid” meliputi semua yang dapat dirasakan dan dapat diterima nalar dengan baik, wajar dan adil, yang diukur dengan norma-norma objektif yang bersifat tidak tertulis dan bukan berasal dari subjektivitas para pihak.78 Menurut P.L. Werry norma ini pada hakikatnya sama dengan norma “kecermatan yang patut dalam masyarakat” pada norma tidak tertulis yang tercantum dalam Pasal 1365 KUH Perdata (perbuatan melanggar hukum).79

75Ibid.,

hal 135.

76

P.L. Werry, Perkembangan Hukum tentang Iktikad Baik di Netherland, (Jakarta : Percetakan Negara RI, 1990), hal 9.

77

Ibid., hal 139

78

Ibid.

79

(29)

Asas iktikad baik dibagi menjadi dua macam, yaitu iktikad baik nisbi dan iktikad baik mutlak. Pada iktikad baik nisbi, orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari subjek, sedangkan iktikad baik mutlak, penilaiannya terletak pada akal sehat dan keadilan, dibuat ukuran yang objektif untuk menilai keadaan (penilaian tidak memihak) menurut norma-norma yang objektif.80

Simposium Hukum Perdata Nasional yang diselenggarakan Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), iktikad baik hendakya diartikan sebagai:81

1) Kejujuran pada waktu membuat kontrak;

2) Pada tahap pembuatan ditekankan, apabila kontrak dibuat di hadapan pejabat, para pihak dianggap beriktikad baik (meskipun ada juga pendapat yang menyatakan keberatannya);

3) Sebagai kepatutan dalam tahap pelaksanaan, yaitu terkait suatu penilaian baik terhadap perilaku para pihak dalam melaksanakan apa yang telah disepakati dalam kontrak, semata-mata bertujuan untuk mencegah perilaku yang tidak patut dalam pelaksanaan kontrak tersebut.

Selain asas di atas, dalam Lokakarya Hukum Perikatan yang diselenggarakan oleh BPHN, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai dengan tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukum perikatan nasional, yaitu :82

80

Salim HS-II, Op.cit., hal 11.

81

Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), Simposium Hukum Perdata Nasional,

Kerjasama Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN),Agus Yudha Hernoko, Op.cit., hal 141.

82

(30)

a. Asas Kepercayaan (Vertrouwensbeginsel)

Seseorang yang mengadakan perjanjian dengan pihak lain, menumbuhkan kepercayaan di antara kedua pihak itu bahwa satu sama lain akan memegang janjinya, dengan kata lain akan memenuhi prestasinya di belakang hari. Tanpa adanya kepercayaan itu, maka perjanjian itu tidak mungkin akan diadakan oleh para pihak.

Adanya kepercayaan ini, kedua pihak mengikatkan dirinya dan untuk keduanya perjanjian itu mempunyai kekuatan mengikat sebagai undang-undang.

b. Asas Persamaan Hukum

Asas ini menempatkan para pihak di dalam persamaan derajat, tidak ada perbedaan, walaupun ada perbedaan kulit, bangsa, kekayaan, kekuasaan, jabatan, dan lain-lain. Masing-masing pihak wajib melihat adanya persamaan ini dan mengharuskan kedua pihak untuk menghormati satu sama lain sebagai manusia cipataan Tuhan.

c. Asas Keseimbangan

(31)

memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang.

d. Asas Kepastian Hukum

Perjanjian sebagai suatu figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikat perjanjian itu yaitu sebagai undang-undang bagi para pihak.

e. Asas Moral

Asas ini terlihat dalam perikatan wajar, di mana suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak menimbulkan hak baginya untuk menggugat kontraprestasi dari pihak debitur. Hal ini juga terlihat di dalam zaakwaarneming, di mana seseorang yang melakukan suatu perbuatan dengan sukarela (moral) yang bersangkutan mempunyai kewajiban (hukum) untuk meneruskan dan menyelesaikan perbuatannya. Asas ini dapat kita lihat dalam Pasal 1339 KUH Perdata. Faktor-faktor yang memberikan motivasi pada yang bersangkutan melakukan perbuatan hukum tersebut didasarkan pada kesusilaan (moral), sebagai panggilan dari hati nuraninya.

f. Asas Kepatutan

(32)

Asas ini harus lah di pertahankan, sebab dengan adanya asas ini maka ukuran tentang hubungan ditentukan juga oleh rasa keadilan dalam masyarakat.

g. Asas kebiasaan

Asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi juga hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

h. Asas perlidungan

Asas perlindungan mengandung pengertian bahwa antara debitur dan kreditur harus dilindungi oleh hukum. Namun, yang perlu mendapat perlindungan itu adalah pihak debitur, karena pihak debitur berada pada pihak yang lemah.

Asas-asas inilah yang menjadi dasar pijakan dari para pihak dalam menentukan dan membuat kontrak.

5. Hapusnya Perjanjian

(33)

a. Pembayaran (Pasal 1382-1403 KUH Perdata)

Pembayaran adalah pelunasan utang (uang, jasa, barang) atau tindakan pemenuhan prestasi oleh debitur kepada kreditur.83

1) Debitur yang bersangkutan;

Pihak-pihak yang wajib melaksanakan pembayaran berdasarkan Pasal 1382 KUH Perdata adalah :

2) Mereka yang memiliki kepentingan (kawan berhutang atau penanggung);

3) Seorang pihak ketiga yang tidak memiliki kepentingan, dengan syarat pihak ketiga itu bertindak atas nama dan untuk melunasi utang-utangnya debitur atau bertindak atas namanya sendiri asalkan dia tidak menggantikan hak-hak kreditur.

Kawan berutang dan penanggung adalah mereka yang mempunyai hubungan dengan pihak debitur dan isi perjanjian yang ada antara debitur dan kreditur, bahwa mereka berkepentingan agar perjanjian itu terlaksana. Apabila tidak, mereka dapat ditegur dan mempunyai “kewajiban” untuk memenuhi perjanjian tersebut. Mereka yang sama sekali tidak mempunyai kepentingan, yang melaksanakan pembayaran atas nama debitur dan yang membebaskan debitur itu dari kewajibannya ialah pesuruh (last hebber) dan seorang yang mengurus kepentingan orang lain secara sukarela (Pasal 1354 KUH Perdata-Pasal 1358 KUH Perdata).84

Seorang pihak ketiga dapat juga melaksanakan prestasi atas namanya sendiri dengan syarat bahwa dengan pemenuhan prestasi

83

Handri Raharjo, Op,cit., hal. 96.

84

(34)

tadi debitur bebas dari utangnya, dengan perkataan lain pihak ketiga yang atas namanya melaksanakan prestasi tersebut tidak menggantikan kedudukan kreditur lama (subrogasi). Sebab dalam hal ini hubungan hukum antara debitur dan kreditur lama beralih kepada kreditur baru dan di dalam hal ini berarti pembayaran itu hanyalah bersifat relatif.85

1) Kreditur sendiri;

Berdasarkan Pasal 1385 KUH Perdata pihak-pihak yang berhak menerima pembayaran adalah :

2) Seorang yang diberi kuasa oleh kreditur;

3) Seorang yang diberi kuasa oleh hakim atau undang-undang. Penentuan pihak-pihak yang berhak menerima pembayaran di atas tidak bersifat mutlak artinya masih diberikan kemungkinan bagi debitur untuk membayarkan prestasi kepada orang yang tidak berhak menerima pembayaran asalkan memenuhi syarat, yaitu kreditur membenarkan pembayaran tersebut atau nyata-nyata telah mendapatkan manfaat dari padanya. Bila debitur melakukan pembayaran kepada kreditur yang tidak cakap maka pembayaran itu tidak sah, hal ini tertuang di dalam Pasal 1387 KUH Perdata.86

85

Ibid.

86

(35)

Selain pihak yang berhak menerima pembayaran, ada pun pihak-pihak yang tidak sah menerima pembayaran dan pengecualiannya, yaitu :87

1) Pembayaran yang dilakukan kepada orang selain yang disebutkan di atas, maka pembayaran tersebut adalah tidak sah, kecuali dalam hal pembayaran itu ditetapkan sebagai berikut:

a) Si kreditor telah menyetujuinya;

b) Si kreditor nyata-nyata telah memperoleh manfaat dari pembayaran tersebut.

2) Pembayaran terhadap orang yang memegang surat piutang, yang mana surat piutang tersebut kemudian diserahkan kepada pihak lain karena suatu penghukuman adalah tidak sah, kecuali jika pembayaran tersebut dilakukan oleh debitur dengan iktikad baik.

3) Pembayaran yang dilakukan terhadap kreditor yang menurut hukum tidak cakap menerima pembayaran adalah tidak sah, kecuali jika debitur membuktikan bahwa kreditor sungguh-sungguh memperoleh manfaat dari pembayaran itu.

b. Penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan/penitipan (konsignasi)

Penawaran adalah suatu cara hapusnya perikatan di mana debitur hendak membayar utangnya tetapi pembayaran ini ditolak oleh kreditur, maka debitur dapat menitipkan pembayaran melalui kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat. Perihal tentang

konsigasi diatur dalam Pasal 1404-1412 KUH Perdata.88

Undang-undang telah memberi kemungkinan bagi debitur melunasi hutang perjanjian dengan jalan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsignasi/penitipan. Hal seperti ini bisa

87

Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011), hal 90.

88

(36)

terjadi apabila kreditur lalai atau enggan menerima pembayaran atau penyerahan benda prestasi. Adanya tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsignasi, debitur telah dibebaskan dari pembayaran dengan mengakibatkan hapusnya perjanjian. Ini sesuai dengan ketentuan pasal 1381; yang telah menetapkan, “bahwa salah satu cara menghapuskan perjanjian ialah dengan tindakan penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan konsignasi. Penawaran pembayaran tunai yang diikuti dengan penitipan hanya mungkin terjadi dalam perjanjian yang berbentuk :89

1) Pembayaran sejumlah uang, atau

2) Perjanjian menyerahkan (levering) sesuatu benda bergerak. Oleh karena itu dalam perjanjian yang berbentuk objek prestasinya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, maupun dalam levering/penyerahan benda tidak bergerak, penawaran dan penitipan/konsignasi tidak mungkin dilakukan. Hal ini dikarenakan pada perjanjian yang objek prestasinya melakukan atau tidak melakukan sesuatu, prestasi tidak mungkin dikonsignasi, harus dilakukan oleh debitur sendiri. Demikian juga halnya dalam penyerahan benda tidak bergerak, tidak mungkin dilakukan

konsignasi. Sebab disamping penyerahan nyata, diperlukan lagi penyerahan yuridis. Maka dari itu, apa yang di atur dalam

89

(37)

pasal 1406, 1407 KUH Perdata dan seterusnya, tiada lain dari penawaran pembayaran tunai yang diikuti konsignasi terhadap perjanjian pembayaran uang dan penyerahan benda-benda bergerak.90

Jadi agar penawaran pembayaran yang dilakukan oleh debitur tersebut sah, maka harus memenuhi syarat antara lain:91

1) Dilakukan kepada kreditor atau kuasanya;

2) Dilakukan oleh debitur atau yang berkuasa membayar; 3) Yang ditawarkan adalah utang pokok, bunga, biaya yang

telah ditetapkan maupun yang belum ditetapkan, tetapi ditetapkan kemudian;

4) Telah jatuh tempo (kalau dibuat untuk kepentingan kreditor);

5) Syarat dengan mana utang dibuat telah terpenuhi;

6) Dilakukan di tempat yang diperjanjikan, kalau tidak diperjanjikan, kepada kreditor pribadi atau di tempat tinggal sesungguhnya atau tempat tinggal yang dipilihnya;

7) Dilakukan oleh seorang notaris atau jurusita, yang disertai dua orang saksi.

Di sisi lain, untuk sahnya suatu penyimpanan atau penitipan, tidak harus barang yang dititipkan tersebut betul-betul dikuasai oleh hakim, tetapi sudah cukup jika sebagai berikut:92

1) Penyimpanan itu didahului oleh keterangan yang diberitahukan kepada kreditor tentang penentuan hari, jam, dan tempat di mana barang yang ditawarkan tersebut akan disimpan.

2) Debitur telah melepaskan barang yang ditawarkan dengan menitipkannya pada kas penyimpanan atau penitipan di kepaniteraan pengadilan, yang disertai bunga sampai pada hari penitipan.

(38)

uang yang ditawarkan, penolakan kreditor atau bahwa kreditor tidak datang menerimanya, dan tentang dilakukannya penyimpanan itu sendiri.

4) Jika kreditor tidak datang menerimanya, berita acara penitipan tersebut disampaikan kepadanya dengan peringatan untuk mengambil apa yang telah dititipkan itu. c. Novasi/pembaharuan hutang (Pasal 1413-1424 KUH Perdata)

Novasi adalah perjanjian antara debitur dengan kreditur di mana perikatan yang sudah ada dihapuskan dan kemudian dibuat suatu perikatan yang baru.93

1) Debitur dan kreditur mengadakan perjanjian baru sedangkan perjanjian yang lama dihapuskan, hal ini disebut

novasi objektif.

Novasi berdasarkan Pasal 1413 KUH Perdata terdiri dari 3 bentuk, yaitu :

2) Penggantian debitur dari debitur baru menggantikan debitur lama dan debitur lama dibebaskan dari perikatannya, hal ini disebut novasi subjektif yang pasif.

3) Penggantian kreditur dari kreditur baru menggantikan kreditur lama dan kreditur lama dibebaskan dari perikatannya, hal ini disebut novasi subjektif yang aktif. Seperti halnya kontrak pada umumnya, maka pembaruan utang ini juga hanya dapat dilaksanakan oleh orang-orang yang cakap menurut hukum untuk melakukan kontrak, dan pembaruan ini harus tegas ternyata dari perbuatannya, dan tidak boleh terjadi hanya dengan persangkaan.94

Berbeda halnya novasi dengan cara-cara penghapusan perjanjian lainnya, sekalipun pada prinsipnya novasi bertujuan menghapuskan perjanjian, namun hubungan hukum perjanjian lama dilanjutkan dalam bentuk perjanjian baru. Hal ini terjadi

93

Handri Raharjo, Op.cit., hal 97.

94

(39)

disebabkan penghapusan perjanjian dan hubungan hukum yang lama, bersamaan/dibarengi sekaligus dengan bentuk perjanjian dan hubungan hukum yang baru yang mengambil posisi diatas perjanjian dan hubungan hukum lama. Dengan kata lain, novasi

adalah pernyataan kehendak para pihak kreditur dan debitur, yang berisi penghapusan perjanjian lama, dan pada saat yang sama diganti dengan persetujuan baru yang berupa kelanjutan dari perjanjian lama.95

d. Perjumpaan hutang/kompensasi (Pasal 1425-1435 KUH Perdata) Perjumpaan hutang adalah penghapusan masing-masing hutang dengan jalan saling memperhitungkan hutang yang sudah dapat ditagih secara timbal balik antara debitur dengan kreditur.96

Terjadinya kompensasi adalah akibat berjumpanya dua pribadi yang sama-sama berkedudukan sebagai debitur antara yang satu dengan yang lain, yang mewajibkan mereka saling melunasi dan membebaskan diri dari perhutangan. Jadi apabila pada waktu yang bersamaan terdapat dua pribadi yang saling menjadi debitur antara yang satu dengan yang lain, masing-masing mereka dapat melunasi hutang-piutang dengan jalan kompensasi, baik untuk seluruh jumlah maupun untuk sebagian; saling melakukan

95

M. Yahya Harahap, Op.cit., hal 143.

96

(40)

perhitungan sesuai dengan besar-kecilnya tagihan masing-masing.97

1) Kedua-duanya berpokok sejumlah utang;

Berdasarkan Pasal 1426 KUH Perdata kompensasi terjadi demi hukum. Pasal 1427 KUH Perdata menentukan syarat terjadinya kompensasi, yaitu :

2) Berpokok sejumlah barang yang dapat dihabiskan (dalam arti diganti);

3) Kedua-duanya dapat ditetapkan dan dapat ditegih seketika. Sedangkan pelarangan dilakukannya kompensasi diatur di dalam Pasal 1429 KUH Perdata.

e. Konfisio/percampuran hutang (Pasal 1436-1437 KUH Perdata)

Konfisio adalah pencampuran kedudukan sebagai orang yang berutang dengan kedudukan sebagai kreditur menjadi satu.

Konfisio dapat terjadi berdasarkan :98 1) Alas hak umum;

2) Alas hak khusus, misalnya jual beli atau legaat.

Bersatunya kedudukan debitur dan kreditur pada diri seseorang dengan sendirinya menurut hukum telah terjadi “percampuran hutang” atau konfisio, dan dengan sendirinya pula semua tagihan menjadi terhapus (pasal 1436 KUH Perdata).

Konfisio terjadi kebanyakan pada bentuk-bentuk kedudukan,

97

M. Yahya Harahap, Op.cit, hal 150.

98

(41)

dimana debitur menjadi ahli waris dari kreditur. Jika seorang kreditur meninggal dunia, dan meninggalkan seorang debitur yang kebetulan menjadi ahli waris, dengan sendirinya si debitur tadi sekaligus menjadi kreditur terhadap budel harta warisan.99

f. Pembebasan utang (Pasal 1438-1443 KUH Perdata)

Undang-undang tidak memberikan definisi dari apa yang disebutkan dengan pembebasan utang. Pembebasan utang adalah pernyataan sepihak dari kreditur kepada debitur bahwa debitur dibebaskan dari perutangan.100

Pasal 1439 KUH Perdata menyebutkan : “Pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh si berpiutang kepada si berutang merupakan suatu bukti tentang pembebasan utangnya, bahkan terhadap orang-orang lain yang turut berutang secara tanggung-menanggung”. Menurut Pasal 1439 KUH Perdata, maka pembebasan utang itu tidak boleh dipersangkakan, tetapi harus dibuktikan. Misalnya sebagaimana yang disebutkan oleh Pasal 1439 KUH Perdata, pengembalian sepucuk tanda piutang asli secara sukarela oleh kreditur, merupakan bukti tentang pembebasan hutangnya.

101

Pengembalian surat tanda piutang asli yang dilakukan secara sukarela berbeda dari pengembalian barang gadai oleh kreditur kepada debitur karena pengembalian barang gadai tidak

99

M. Yahya Harahap, Op.cit., hal 157.

100

Handri Raharjo, Op.cit., hal 99.

101

(42)

dengan sendirinya berarti pembebasan utang, tetapi hanya pembebasan dari jaminan gadai, jadi utangnya tetap ada namun sudah tidak dijamin dengan gadai.102

Sementara itu, dalam hal seorang debitur ditanggung oleh seorang penanggung, maka apabila si kreditur membebaskan si debitur, berarti pula membebaskan si penanggung utang, namun sebaliknya jika kreditur membebaskan si penanggung utang tidak berarti bahwa si debitur juga dibebaskan dari utangnya. Demikian pula pembebasan seorang penanggung utang tidak dengan sendirinya membebaskan penanggung-penanggung utang lainnya.

Jika ada perjanjian membebaskan utang untuk kepentingan salah seorang debitur secara tanggung-menanggung, berarti membebaskan juga debitur lainnya, kecuali kalau si kreditur secara tegas menyatakan ingin mempertahankan piutangnya terhadap orang-orang berutang lainnya yang tidak dibebaskan. Namun demikian, tagihan tersebut terlebih dulu dikurangi dengan bagian debitur yang telah dibebaskan (Pasal 1440 KUH Perdata).

103

Hal itu berarti bahwa apabila kreditur telah membebaskan penanggung utang, hal itu berarti bahwa si kreditur merelakan

102

Ahmadi Miru, Op.cit., hal 104.

103Ibid.,

(43)

piutangnya kepada debitur sebagai utang yang tidak ditanggung oleh penanggung.104

Apabila utang debitur ditanggung oleh beberapa penanggung, pembayaran salah seorang penanggung untuk melunasi bagian yang ditanggungnya harus dianggap sebagai pembayaran utang si debitur dan juga berlaku bagi penanggung utang lainnya.105

g. Musnahnya barang yang terutang (Pasal 1444-1445 KUH Perdata) Perikatan hapus dengan musnahnya atau hilangnya barang tertentu yang menjadi pokok prestasi yang diwajibkan kepada debitur untuk menyerahkannya kepada kreditur (Pasal 1444 KUH Perdata). Akan tetapi tentang musnahnya atau lenyapnya barang itu harus sesuai dengan ketentuan lebih lanjut dari Pasal 1444 KUH Perdata tersebut :106

1) Musnahnya atau lenyapnya barang harus diluar perbuatan dan kesalahan debitur. Kemusnahan barang tersebut akibat dari sebab yang berada diluar kekuasaan debitur, sebagaimana apa yang dimaksud dengan overmacht;

2) Kemusnahan barang itu sendiri harus terjadi pada saat sebelum jatuh tenggang waktu levering/penyerahan. Kalau musnahnya barang sesudah lewat tenggang waktu penyerahan, berarti debitur sudah berada dalam keadaan lalai dan wanprestasi. Kemusnahan seperti ini tentu tidak menghapuskan kewajiban debitur atas akibat-akibat

wanprestasi.

3) Menyimpang dari apa yang disebut diatas, terdapat pengecualian, yaitu debitur terbebas dari kewajiban; sekalipun musnahnya barang terjadi sesudah lewat tenggang waktu penyerahan. Asalkan kemusnahan barang

104Ibid.

105Ibid.

106

(44)

itu akan terjadi juga ditangan kreditur seandainya barang itu diserahkan oleh “sebab peristiwa yang sama”. Jadi kalau musnahnya barang pasti juga akan terjadi ditangan kreditur oleh peristiwa yang sama seperti peristiwa yang menimbulkan musnahnya barang ditangan debitur, keterlambatan penyerahan dianggap tidak merupakan hal yang menghalangi hapusnya perjanjian (Pasal 1444 ayat 2 KUH Perdata).

4) Tentang kemusnahan barang, menjadi beban bagi debitur untuk membuktikan kebenaran musnahnya barang disebabkan oleh peristiwa yang berada di luar perhitungan debitur.

h. Kebatalan dan pembatalan perjanjian (Pasal 1446-1456 KUH Perdata)

Perkataan “batal demi hukum” di dalam Pasal 1446 KUH Perdata yang dimaksudkan adalah “dapat dibatalkan”. Hal ini disebabkan alasan-alasan yang dapat menimbulkan kebatalan suatu perikatan ialah kalau perikatan tersebut cacat pada syarat-syarat yang objektif saja. Oleh karena itu, kata-kata “batal demi hukum” pada Pasal 1466 KUH Perdata itu harus dibaca dengan “dapat dibatalkan”.107

Suatu perikatan yang cacat pada syarat-syarat yang subjektif, yaitu salah satu partij belum dewasa atau kalau perikatan terjadi karena paksaan, penipuan dan kekhilafan maka perikatan itu dapat dibatalkan (Pasal 1446 dan 1449 KUH Perdata). Keadaan demikian, maka akibat-akibat yang timbul dari perikatan itu dikembalikan ke keadaan semula (Pasal 1451 dan 1452 KUH Perdata), bahwa pihak yang menutut pembatalan tersebut dapat

107

(45)

pula menuntut penggantian biaya, kerugian dan bunga apabila ada alasan untuk itu.108

Undang-undang menentukan jangka waktu suatu tuntutan pembatalan itu harus diajukan yaitu lima tahun, yang mulai berlaku:109

1) Dalam hal kebelumdewasaan, sejak hari kedewasaan; 2) Dalam hal pengampuan sejak hari pencabutan pengampuan; 3) Dalam hal paksaan sejak hari paksaan itu telah berhenti; 4) Dalam hal kekhilafan atau penipuan sejak hari diketahuinya

kekhilafan atau penipuan itu;

5) Dalam hal kebatalan tersebut dalam Pasal 1341 KUH Perdata, sejak hari diketahuinya bahwa kesadaran yang diperlukan untuk pembatalan itu ada.

i. Berlakunya syarat batal (Pasal 1265 KUH Perdata)

Berlakunya syarat batal artinya suatu syarat yang bila dipenuhi akan menghapuskan perjanjian dan membawa segala sesuatu pada keadaan semula, yaitu seolah-olah tidak ada suatu perjanjian (Pasal 1253 dan 1266 KUH Perdata). Berlakunya syarat batal ini diatur dalam perikatan-perikatan bersyarat.110

Berbeda halnya dari kontrak dengan syarat tangguh, karena apabila syarat terpenuhi pada kontrak dengan syarat tangguh, maka kontraknya bukan batal melainkan tidak lahir.111

j. Lewatnya waktu/kedaluwarsa (Pasal 1946-1993 Bab VII Buku IV KUH Perdata)

108

Ibid.

109

Handri Raharjo, Op.cit., hal 99.

110Ibid.

111

(46)

Berdasarkan Pasal 1946 KUH Perdata, kedaluwarsa adalah suatu alat untuk memperoleh sesuatu atau untuk dibebaskan dari suatu perikatan dengan lewatnya suatu waktu tertentu dan atas syarat-syarat yang ditentukan oleh undang-undang.

Ketentuan Pasal 1946 KUH Perdata ini, salah satu segi lampau waktu ialah “alat” untuk membebaskan seseorang dari perjanjian, apabila telah dilampaui jangka waktu tertentu. Oleh karena lampau waktu merupakan “alat” yang dapat membebaskan ikatan perjanjian, berarti; lampau waktu dapat dipergunakan sebagai “upaya hukum” (rechtsmiddel) dalam suatu proses persidangan. Seseorang dapat mempergunakan lampau waktu sebagai tangkisan atau bantahan atas suatu gugatan, berupa eksepsi karena lampau waktu.112

Ada dua macam kedaluwarsa, yaitu:113

1) Acquisitieve Verjaring, yaitu kedaluwarsa untuk memperoleh sesuatu hak, diatur di dalam Pasal 1963 KUH Perdata, namun dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok Agraria, kedaluwarsa jenis ini menjadi tidak berlaku lagi.

2) Extinctieve Verjaring, yaitu kedaluwarsa untuk dibebaskan dari sebuah kewajiban, diatur dalam Pasal 1967 KUH Perdata. Menurut Pasal 1967 KUH Perdata bahwa segala tuntutan hukum baik yang bersifat kebendaan atau perorangan hapus karena kedaluwarsa dengan lewatnya waktu 30 tahun.

Cara berakhirnya perikatan yang tertulis dalam Pasal 1381 KUH Perdata merupakan cara-cara yang ditunjuk oleh pembentuk

112

M. Yahya Harahap, Op.cit., hal 167.

113

(47)

undang. Selain cara tersebut, terdapat cara berbeda yang dibuat para pihak untuk hapusnya suatu perjanjian yang disebabkan perkembangan zaman. Hal tersebut diungkapkan R. Setiawan, di mana menyebutkan bahwa hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan perjanjian yang merupakan sumbernya mungkin masih tetap ada. Misalnya pada perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga maka perikatan tentang pembayaran menjadi hapus, sedangkan perjanjiannya belum karena perikatan tentang penyerahan barang belum dilaksanakan. Jadi, menurut R. Setiawan suatu perjanjian dapat hapus karena :114

a. Para pihak menentukan berlakunya perjanjian untuk jangka waktu tertentu;

b. Undang-undang menentukan batas waktu berlakunya suatu perjanjian (Pasal 1066 ayat 3 KUH Perdata);

c. Salah satu pihak meninggal dunia;

d. Salah satu pihak (hal ini terjadi bila salah satu pihak lalai melaksanakan prestasinya maka pihak yang lain dengan sangat terpaksa memutuskan perjanjian secara sepihak) atau kedua belah pihak menyatakan menghentikan perjanjian;

e. Karena putusan hakim;

f. Tujuan perjanjian telah dicapai dengan kata lain dilaksanakannya objek perjanjian atau prestasi;

g. Dengan persetujuan para pihak.

B. Perjanjian Baku Pada Umumnya

1. Pengertian Perjanjian Baku

Perjanjian baku adalah suatu perjanjian yang didalamnya telah terdapat syarat-syarat tertentu yang dibuat oleh satu pihak, yang umumnya disebut perjanjian adhesie atau perjanjian baku. Nama perjanjian adhesie

114

(48)

adalah yang paling tua yang oleh Saleilles, ahli hukum Perancis yang besar, dilaksanakan dalam masyarakat dan begitu cepat menjadi terkenal (contract d’adhesion/adhesion contract). Bertahun-tahun kemudian istilah perjanjian baku mulai dikenal dalam masyarakat, bahwa yang terpenting dalam kedua istilah diatas terdapat aspek-aspek yang berbeda. Yang pertama sifat adhesie yaitu : “take it or leave it”.115

Di samping itu muncullah istilah perjanjian baku. Ciri dari materi ini adalah adanya sifat uniform dari syarat-syarat perjanjian untuk semua perjanjian yang sama. Keuntungan dari penyusun kontrak adalah nyata bahwa semua pelanggan dalam perusahaan akan mempunyai syarat-syarat yang sama dalam mengadakan transaksi perdagangan. Demikian pula bagi peserta perjanjian akan mendapat keuntungan dengan menghemat biaya dalam hal penyerahan jasa atau barang sesuai dengan harga yang normal berlaku dalam mekanisme pasar. Bermanfaat kiranya dilihar dari sudut

Pihak lawan dari yang menyusun kontrak, umumnya disebut “adherent”, berhadapan dengan yang menyusun kontrak ia tidak mempunyai pilihan. Penyusun kontrak mempunyai kedudukan monopoli, atau dengan demikian dikehendaki bahwa perusahaan lain supaya mempergunakan syarat-syarat yang sama. Terserah mau mengikuti atau menolak, penyusun kontrak bebas dalam membuat redaksinya, sehingga pihak lawan berada dalam keadaan dibawah kekuasaannya.

115

(49)

ekonomi banyak aspek-aspek dibakukan dalam organisasi perusahaan yang saling bergantung.

Menurut Hondius, syarat-syarat baku dalam perjanjian adalah “syarat-syarat konsep tertulis yang dimuat dalam beberapa perjanjian yang masih akan dibuat, yang jumlahnya tidak tertentu, tanpa merundingkan lebih dulu isinya”.116

2. Dasar-Dasar Ketentuan Perjanjian Baku

Syarat baku yang disebutkan diatas, umumya juga dinyatakan sebagai perjanjian baku. Jadi pada azasnya isi perjanjian yang dibakukan adalah tetap dan tidak dapat diadakan perundingan lagi. Hal ini menunjukkan tidak terlihatnya kebebasan berkontrak antara para pihak, sehingga dipertanyakan apakah masih ada persesuaian kehendak dari pihak-pihak yang seimbang dalam perjanjian.

Secara yuridis yaitu siapa yang menandatangani suatu perjanjian baku telah terikat dengan isi dari perjanjian itu, meskipun pihak lain tidak punya pilihan.

Perjanjian baku yang memperlihatkan kedudukan para pihak tidak seimbang, di mana klausulnya dirancang oleh satu pihak saja, tidak mencerminkan persesuaian kehendak dari pihak yang bersangkutan (kebebasan berkontrak) sebagai asas dari hukum perjanjian. Jika berpegang teguh pada kebebasan berkontrak maka kadang-kadang akan dapat mengurangi kebebasan dari salah satu pihak. Misalnya apabila orang

116

(50)

tidak membaca syarat-syarat perjanjian atau membaca tetapi tidak mengerti maksudnya dan menandatangani perjanjian itu, maka persesuaian kehendak telah berlaku. Untuk itu perlu memperhalus sistemnya dengan menggunakan asas kepercayaan (vertrouwens beginsel) dan demikian ajaran kepercayaan telah mengganti ajaran kehendak (wilsleer). Kehendak tidak lagi merupakan hal yang esensial dari perbuatan hukum, ia adalah dibawah norma-norma pergaulan masyarakat yaitu suatu hal yang penting untuk menafsirkan perbuatan hukum. Sebagaimana diketahui perkembangan hukum perjanjian telah mengalami perubahan sesuai dengan perubahan pandangan yang hidup dalam masyarakat.117

Melihat kenyataan bahwa kedudukan konsumen di bawah para pelaku usaha, maka Undang-undang nomor 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen merasakan perlunya pengaturan mengenai ketentuan perjanjian baku dan/atau pencantuman klausula baku dalam

Kenyataan sosial tentang perjanjian baku bukanlah mengenai pembakuan dalam hal hubungan pada umumnya, tetapi hanya mengenai ketidak seimbangan kedudukan antara para pihak dalam perjanjian baku, yaitu konsumen dan perusahaan. Perjanjian baku dilihat dari kedudukan konsumen merupakan masalah sosial yaitu terhadap perusahaan maka kebebasannya berubah menjadi tidak bebas, dan tidak mengenai hubungan antara para perusahaan sendiri.

117Ibid.,

(51)

setiap perjanjian yang dibuat oleh pelaku usaha.118

Hal ini menunjukkan pada prinsipnya, Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak melarang pelaku usaha untuk membuat perjanjian baku yang memuat klausula baku atas setiap perjanjian transaksi usaha perdagangan barang dan/atau jasa, selama dan sepanjang perjanjian baku dan/atau klausula baku tersebut tidak mencantumkan ketentuan sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (1), serta tidak Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tidak memberikan definisi tentang perjanjian baku, tetapi merumuskan klausula baku sebagai :

“setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen.”

Undang-undang tentang Perlidungan Konsumen mengenai ketentuan klausula baku ini diatur dalam Bab V tentang Ketentuan Pencantuman Klausula Baku yang hanya terdiri dari satu pasal, yaitu pasal 18. Pasal 18 tersebut, secara prinsip mengatur dua macam larangan yang diberlakukan bagi para pelaku usaha yang membuat perjanjian baku dan/atau mencantumkan klausula baku dalam perjanjian yang dibuat olehnya. Pasal 18 ayat (1) mengatur larangan pencantuman klausula baku, dan pasal 18 ayat (2) mengatur bentuk atau format, serta penulisan perjanjian baku yang dilarang.

118

(52)

berbentuk sebagaimana dilarang dalam pasal 18 ayat (2) Undang-undang tentang Perlindungan Konsumen tersebut.119

3. Problematika Pemanfaatan Perjanjian Baku

Pelaksanaan perjanjian baku dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klausul-klausul yang menguntungkan pelaku usaha, atau meringankan atau menghapuskan beban-beban atau kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi bebannya yang biasa dikenal dengan klausula eksonerasi. Hal ini disebabkan perancangan format dan isi perjanjian adalah pelaku usaha yang memiliki kedudukan lebih kuat.

Klausul eksonerasi adalah klausul yang dicantumkan dalam suatu perjanjian dengan mana satu pihak menghindarkan diri untuk memenuhi kewajibannya membayar ganti rugi seluruhnya atau terbatas yang terjadi karena ingkar janji atau perbuatan melanggar hukum.120

Klausula eksonerasi yang biasanya dimuat dalam perjanjian sebagai klausul tambahan atas unsur esensial dari suatu perjanjian, pada umumnya ditemukan dalam perjanjian baku. Klausul tersebut merupakan klausul yang sangat merugikan konsumen yang umumnya memiliki posisi lemah jika dibandingkan dengan produsen (pelaku usaha), karena beban yang seharusnya dipikul oleh produsen, dengan adanya klausul tersebut menjadi beban konsumen.121

119

Ibid., hal 57

120

Mariam Darus Badrulzaman, Aneka Hukum Bisnis, (Bandung : Alumni, 1994), hal 47. (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-III)

121

Referensi

Dokumen terkait

kayak dulu suka sama cowok. Makanya

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa sebagian besar dukungan keluarga yang diterima oleh responden di TK ABA Mlangi, Gamping, Sleman, Yogyakarta dari

Tabulasi Silang dan Uji Statistik Hubungan Dukungan Orangtua dengan Pre stasi Belajar Mahasiswa Semester IV Program Studi DIII Kebidanan STIKES ‘Aisyiyah Yogyakarta Tahun

Bapak Karmawan S.E., M.Sc selaku Ketua Jurusan Fakultas Ekonomi Universitas Bangka Belitung serta sebagai dosen Pembimbing pendamping yang telah berkenan

Hasil penelitian; ada pengaruh positif teman sebaya terhadap hasil belajar pengolahan dan penyajian makanan Indonesia dan sumbangan yang diberikan teman sebaya

Abstrak: Penelitian ini adalah penelitian tindakan kelas yang bertujuan untuk memperbaiki proses pembelajaran dan meningkatkan hasil belajar matematika peserta

Tämän opinnäytetyön tavoitteena oli tutkia Alavuden kaupungin alueella kunnan ja seurakunnan diakoniatyön yhteistyötä aikuissosiaalityössä.. Tämän työn avulla oli

Tujuan dalam penelitian ini adalah Menganalisis apakaah faktor keluarga, faktor yang disengaja dan faktor pemaksa, faktor - faktor yang mendorong wiraswasta memulai usaha kecil