• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Hukum Perjanjian Antara Agen Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)"

Copied!
157
0
0

Teks penuh

(1)

HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN

PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK

RUMAH/TANAH

(Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

RAYMOND SAPTAHARI

NIM : 110200211

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN

PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK

RUMAH/TANAH

(Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan

Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH :

RAYMOND SAPTAHARI NIM : 110200211

DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN

PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW

Disetujui Oleh,

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Dr. HASIM PURBA, S.H., M. Hum.

NIP. 196603031985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.Hum. Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum. NIP. 196302161988031002 NIP. 196908201995121001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(3)

HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK RUMAH/TANAH

(Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)

Raymond Saptahari1

Edy Ikhsan2

Dedi Harianto3

1

Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

2

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

3

Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Abstrak

Jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya, menjadi salah satu faktor meningkatnya kebutuhan akan rumah. Hal ini menunjukkan adanya potensi pertumbuhan ekonomi di sektor properti. Mengenai sektor properti, terdapat satu bidang yang tidak dapat dipisahkan darinya yaitu keberadaan penyedia jasa pemasaran perdagangan properti, di mana jasa ini dibutuhkan sejalan dengan sikap manusia yang selalu menginginkan sesuatu yang serba cepat dan sesuai dengan keinginan. Latar belakang permasalahan ini adalah bahwa bisnis jasa pemasaran perdagangan properti yang dilakukan oleh badan usaha, melakukan hubungan kerjasama dengan pemilik properti. Hubungan kerjasama tersebut dalam pelaksanaannya didasari sebuah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk formulir yang isinya sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak perusahaan jasa pemasaran perdagangan properti, sehingga dalam perkembangannya sekarang terdapat kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Oleh karena itu, dapat dirumuskan

beberapa permasalahan sebagai berikut. Pertama, bagaimana pengaturan

hubungan hukum yang terjadi antara agen pemasaran properti dan pemilik

rumah/tanah. Kedua, apa saja kelemahan dan masalah yang terdapat dalam

perjanjian antara agen pemasaran properti Perusahaan Property One dan pemilik

rumah/tanah. Ketiga, bagaimana penyelesaian masalah yang dilakukan

Perusahaan Property One sebagai perantara jika terjadi wanprestasi dalam

pelaksanaan perjanjian dengan pemilik rumah/tanah.

(4)

Dari penulisan skripsi ini maka dapat diketahui bahwa : Pertama, hubungan hukum yang terjadi antara agen pemasaran Perusahaan Property One dan pemilik properti didasarkan atas perjanjian baku yang tertuang dalam bentuk formulir, sedangkan hubungan yang terjadi antara agen pemasaran Perusahaan

Property One dan calon pembeli dilakukan secara lisan. Kedua, pelaksanaan

perjanjian keagenan Perusahaan Property One terdapat kelemahan-kelemahan. Selain kelemahan yang mendasar bahwa dalam perjanjian keagenan tersebut berbentuk perjanjian baku, kelemahan lainnya dapat terlihat apabila isi perjanjian tersebut dibandingkan dengan perjanjian keagenan lainnya. Apabila dibandingkan dengan perjanjian keagenan lainnya menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan perjanjian keagenan Perusahaan Property One, Pihak I sebagai pemilik properti mempunyai kedudukan yang tidak seimbang, di mana kewajiban pengguna jasa

perusahaan pemasaran perdagangan properti tidak disertai dengan hak. Ketiga,

masalah yang timbul selama ini dalam pelaksanaan perjanjian keagenan, Perusahaan Property One menyelesaikan masalah tersebut secara musyawarah sebagaimana cara penyelsaian tersebut tercantum dalam perjanjian keagenan Perusahaan Property One. Namun, apabila tindakan secara musyawarah tidak tercapai, maka alternatif terakhir adalah memproses persoalan tersebut melalui jalur hukum.

Berkenaan dengan penelitian ini dapat diajukan saran sebagai berikut :

Pertama, hubungan hukum yang terjadi antara para pihak dalam pelaksanaan

perjanjian keagenan hendaknya terdapat peraturan yang lengkap guna mengawasi

pelaksanaan perjanjian tersebut. Kedua, hendaknya setiap perusahaan pemasaran

perdagangan properti dalam membuat perjanjian keagenannya dapat memahami hak-hak yang seharusnya diperoleh Pihak I, serta tidak membatasi hak-hak

tersebut. Ketiga, baiknya penyelesaian masalah secara musyawarah dicantumkan

penambahan isinya bahwa dalam pelaksanaan musywarah tersebut dibantu oleh pihak ketiga yang independen.

Kata Kunci :

- Perjanjian Baku

- Agen Property

(5)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas

segala berkat dan rahmatnya kepada penulis sehingga penulis dapat

menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Hukum Perjanjian Antara Agen

Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada

Perusahaan Property One)”, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana

Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

Dewasa ini kegiatan bisnis agen pemasaran properti merupakan bisnis

yang menjanjikan. Salah satu faktor terus berkembangnya bisnis ini adalah

meningkatnya kebutuhan rumah seiring dengan meningkatnya pertumbuhan

penduduk serta terbatasnya tempat hunian rumah yang ideal dan sesuai keinginan

konsumen. Oleh sebab itu, penting untuk dijelaskan disini apa yang menjadi tugas

dan hak-hak dari agen pemasaran properti, serta tanggung jawabnya terhadap

konsumen dalam pelaksanaan perjanjian keagenan.

Meskipun penulis banyak mengalami tantangan dalam menyelesaikan

skripsi ini, tetapi berkat kerja keras tanpa mengenal lelah, akhirnya penulis dapat

menyelesaikan tulisan yang sederhana ini, namun tidak ada gading yang tak retak,

demikian bunyi pepatah dan demikian dengan tulisan ini tentu banyak

mengandung kekurangan dan kelemahan penulis. Untuk itu penulis berharap saran

dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.

Pada kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan penghargaan serta

(6)

maupun tidak langsung memberikan bantuan kepada penulis sejak awal penulis

menjalani perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini dan sampai penyelesaiannya,

penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :

1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH., MSc (CTM)., SpA(K) selaku

Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang

diberikan bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di

Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas

Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, MHum, selaku Ketua Departemen Hukum

Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.

4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, MHum, selaku Sekretaris Program Jurusan

Perdata di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Bapak Edy Ikhsan, SH, MHum, selaku Dosen Pembimbing I penulis telah

banyak meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk dan pengarahan

kepada penulis.

6. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, MHum, selaku Dosen Pembimbing II

penulis yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan

pandangan berupa petunjuk yang begitu berharga demi kelanjutan Skripsi

ini.

7. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum, selaku Dosen Pembimbing

Akademik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum

(7)

8. Kedua orangtua penulis yaitu papa Ir. Ridwan Halim dan mama Saulina

Purba yang telah memberikan kasih sayang tiada henti dan dukungan baik

secara moril maupun materil serta doa yang tiada henti-hentinya kepada

penulis.

9. Abang dan kakak penulis yaitu Dimas Adrian, SE dan Yulian Astri, Spsi

yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis.

10.Elvira Fransiska Bu’ulolo yang tercinta, selalu menemani penulis dan

selalu memberikan dukungan serta masukan kepada penulis.

11.Sahabat penulis Hendro Siboro dkk yang sekarang juga berjuang

menyelesaikan skripsinya.

12.Segenap staf pengajar di Fakultas Hukum USU yang sangat berjasa dalam

mengajarkan penulis seluruh konsep dan pemahaman yang mendalam dari

ilmu hukum. Tanpa jasa Bapak dan Ibu Dosen penulis tidak dapat

menyelesaikan studi dan proses penulisan skripsi ini.

13.Staf administrasi dan pendidikan yang sangat ramah, bersahabat, dan

selalu membantu penulis dalam pengaturan administrasi selama menjalani

masa perkuliahan.

14.Seluruh pegawai perpustakaan Judicium Fakultas Hukum Universitas

Sumatera Utara, yang begitu baik hati dan mau melayani mahasiswa

dengan baik dan ramah.

15.Seluruh mahasiswa stambuk 2011 yang telah berjuang menjalani

kehidupan akademik dan kepanitiaan bersama. Semoga semua

(8)

16.Yusuf Chew sebagai Direktur Perusahaan Property One yang telah

mengizinkan penulis untuk meneliti di Perusahaan Property One serta

meluangkan waktunya melakukan wawancara.

17.Semua pihak yang telah membantu baik ketika menjalani masa

perkuliahan maupun ketika menjalani proses penulisan skripsi. Dengan

banyaknya bantuan yang diterima, penulis meminta maaf

sedalam-dalamnya karena tidak dapat menyebutkan satu per satu.

Akhir kata penulis ucapkan sekali lagi terima kasih yang

sedalam-dalamya kepada semua pihak, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita

dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi pendorong bagi kita semua

khususnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Medan, 18 Februari 2015 Penulis

(9)

DAFTAR ISI

BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian ... 20

2. Pihak-pihak Dalam Perjanjian ... 24

3. Syarat Sahnya Perjanjian ... 28

4. Akibat Perjanjian ... 40

5. Hapusnya Perjanjian ... 51

B. Perjanjian Baku Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Baku ... 66

2. Dasar-dasar Ketentuan Perjanjian Baku ... 68

3. Problematika Pemanfaatan Perjanjian Baku ... 71

4. Perlindungan Pihak Debitur Terhadap Perjanjian Baku ... 73

BAB III TINJAUAN TENTANG BISNIS AGEN PEMASARAN PROPERTI A. Pengenalan Agen Pemasaran 1. Pengertian Agen Pemasaran ... 76

2. Cara Kerja Agen Pemasaran ... 80

3. Tiga Tugas Utama Seorang Agen Pemasaran ... 85

4. Jenis-jenis Agen Pemasaran Berdasarkan Bidang Garapannya 88 B. Pengenalan Agen Properti 1. Jenis Agen Properti ... 92

2. Sistem Jual Beli Agen Properti ... 95

3. Penyebab Adanya Agen Properti ... 96

BAB IV HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK RUMAH/TANAH A. Pengaturan Hubungan Hukum Antara Agen Pemasaran Property dan Pembeli /Penjual Rumah ... 98

(10)

C. Penyelesaian Masalah Yang Dilakukan Perushaan Property

One Jika Terjadi Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Perjanjian ... 131

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ... 141 B. Saran ... 144

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

A. Perjanjian Keagenan Perusahaan Property One B. Perjanjian Penitipan Kunci Properti

(11)

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk menciptakan

masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Masyarakat yang adil dan

makmur tersebut diartikan tidak hanya cukup sandang, pangan, dan papan

(pemukiman) saja tetapi harus diartikan sebagai cara bersama untuk memutuskan

masa depan yang dicita-citakan dan juga turut secara bersama mewujudkannya

masa depan tersebut. Semangat untuk mewujudkan masa depan tersebut

merupakan amanah dari UUD 1945 alinea ke- 4 juncto Pasal 28 H ayat (1) dan

Pasal 33 UUD 1945.4

Pembangunan perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar

manusia. Oleh sebab itu pembangunan perumahan dan pemukiman sangat

berperan dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas menyebutkan bahwa :

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan

mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh

pelayanan kesehatan.”

4

(12)

serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan

penghidupan masyarakat.5

Perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia karena berfungsi

untuk tempat tinggal, tempat usaha, perkantoran, dan lain sebagainya. Hal ini

menunjukkan perumahan atau kumpulan rumah merupakan kebutuhan primer.

Rumah sebagai kebutuhan primer diartikan sebagai benda tidak bergerak, tetapi

merupakan aset yang bisa membuat orang survive dan hidup nyaman karenanya.

Selain itu, rumah juga dapat dijadikan bisnis dimana yang nantinya bisa dijual

ataupun disewakan kepada orang-orang yang sedang membutuhkan.6

Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 yang dilakukan oleh

Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam pemberitahuannya pada bulan

Agustus 2010;

Oleh karena

itu kebutuhan akan rumah serta memperindah rumah semakin meningkat.

Seiring kemajuan teknologi, perkembangan ekonomi, dan pertambahan

manusia itu sendiri, lahan untuk perumahan semakin berkurang. Di sisi lain

kebutuhan akan tempat tinggal semakin bertambah dikarenakan setiap tahunnya

mengalami peningkatan sesuai dengan angka pertumbuhan penduduknya.

Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat mengakibatkan kebutuhan tempat

tinggal pun semakin meningkat.

7

“Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237.556.363 (dua ratus tiga puluh tujuh juta lima ratus lima puluh enam

ribu tiga ratus enam puluh tiga) orang, yang terdiri dari 119.507.580

5

Ibid.

6

Roby Agung Kusuma, Modal Kecil, Ingin Bisnis Properti? Baca Buku Ini, (Jogjakarta : FlasBooks, 2014), hal 20.

7

(13)

(seratus sembilan belas juta lima ratus tujuh ribu lima ratus delapan puluh) laki-laki dan 118.048.783 (seratus delapan belas juta empat puluh delapan ribu tujuh ratus delapan puluh tiga) perempuan. Dan dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49 % (satu koma empat puluh sembilan persen) per tahun”.

Pesatnya pertambahan penduduk Indonesia mengakibatkan besarnya laju

kepadatan penduduk. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang terus

meningkat dengan lahan yang tetap sehingga menyebabkan selisih perbandingan

yang semakin besar antara jumlah penduduk dan luas lahan.

Pada akhirnya, lahan untuk perumahan makin sulit didapat, serta dapat

dilihat pada kota-kota besar yang sangat padat penduduknya. Merespon hal

tersebut, kebutuhan yang terus meningkat akan properti menjadi peluang bisnis

dan tantangan bagi pengembang (Developer) rumah tinggal untuk menyediakan

perumahan dengan berbagai tipe yang sesuai untuk masyarakat.

Permasalahan yang dihadapi Pemerintah dalam pembangunan perumahan

dan pemukiman sangat komplek seperti yang dikemukakan diatas. Rumah

merupakan kebutuhan pokok yang harus terpenuhi dan tidak hanya menyangkut

pembiayaan, tetapi juga menyangkut penyediaan tanah, teknik pembangunan, tata

guna tanah, nilai-nilai sosial budaya dan sebagainya haruslah berwawasan

lingkungan juga. Penyelenggaraan perumahan dan pemukiman yang dilakukan

pemerintah harus dapat mendorong perilaku hidup sehat dan tertib serta ikut

mendorong kegiatan pembangunan di sektor lain, sehingga pembangunan

(14)

ditingkatkan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah, usaha swasta,

koperasi, dan masyarakat luas.8

Asosiasi pengembang Real Estate Indonesia (REI) telah berkerjasama

dengan Universitas Indonesia, menemukan bahwa sektor properti menyumbang

pertumbuhan ekonomi sebesar 28% (dua puluh delapan persen) pada tahun 2013.

Kelihatan bahwa, sektor properti memiliki peran penting terhadap perekonomian

suatu negara yang mesti didukung regulasi yang baik.

Sejalan dengan amanah UUD 1945, Pasal 28 H ayat (1), Pemerintah telah

menetapkan kebijakannya, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun

1992 yang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang

Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Adanya Undang-undang (UU) ini, tentu

memberikan kepastian hukum dalam melindungi masyarakat agar mampu

bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau didalam

lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan. Disamping sebagai

tanggung jawab Negara untuk melindungi masyarakatnya, perumahan yang

merupakan salah satu sektor properti memiliki peran penting dalam pertumbuhan

ekonomi.

9

Berdasarkan data REI saat ini, tercatat kurang lebih 45.000.000 (empat

puluh lima juta) rumah berdiri di Indonesia dari 240.000.000 (dua ratus empat

puluh juta) penduduk. Jumlah penduduk yang terus bertambah, maka seharusnya

ada tambahan 1.400.000 (satu juta empat ratus ribu) unit rumah baru per tahun.

8

Andi Hamzah, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), hal 1.

9

(15)

Pertambahan penduduk setiap tahun tentu akan meningkatan kebutuhan terhadap

rumah, dimana rumah sebagai kebutuhan pokok.10

Perkembangan bisnis di sektor properti akan terus berkembang di

Indonesia, hal ini didukung dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menahan

suku bunga acuan / rate pada level 7,50 % (tujuh koma lima puluh persen) dalam

beberapa bulan ini.

Melihat besarnya kebutuhan rumah yang seiring dengan perkembangan

teknologi, ekonomi, dan pertambahan penduduk di Indonesia, makanya

menyebabkan masih besarnya potensi di sektor properti. Apalagi dengan

tingginya konsumsi masyarakat yang menopang pertumbuhan ekonomi.

11

Kebijakan BI menahan suku bunga acuan disebakan karena

perekonomian Indonesia yang semakin membaik dan perkiraan gerak inflasi yang

sesuai dengan target.12 Hal ini tentu membawa dampak positif dimana beberapa

bank di Indonesia memberikan suku bunga pinjaman berkisar 10% (sepuluh

persen) – 13% (tiga belas persen), dan masih ada bank yang masih memberikan

suku bunga di bawah 10% (sepuluh persen).13

Secara sederhana, bisnis properti dapat diartikan sejenis usaha atau

industri yang bergerak di bidang pembangunan, dalam hal ini berupa pemanfaatan

tanah, rumah, gedung, apartemen, dan lain sebagainya, yang dapat menghasilkan

10

DetikFinance, Jumlah Rumah di RI Hanya 45 Juta Unit, Butuh 1,4 Juta Hunian

Baru/Tahun,

tanggal 7 September 2014 pukul 12.00 WIB.

11

Bank Indonesia, Data BI Rate,

12

Liputan6,BI Rate Betah di 7,5% Selama 11 Bulan,

tanggal 15 September 2014 pukul 01.00 WIB.

13

Seputar Forex, Suku Bunga Kredit Dan Pinjaman, Data : Juli 2014,

(16)

keuntungan. Sementara, properti sendiri didefinisikan sebagai tanah milik dan

bangunan. Menurut Michael C. Thomsett dan Jean Freestone Thomsett;14

Berbicara mengenai sektor properti, satu bidang yang tidak dapat

dipisahkan darinya adalah keberadaan penyedia jasa konsultasi properti yang

biasa disebut sebagai agen properti. Keberadaan agen properti memang bukan

tanpa sebab. Hal itu sejalan dengan sikap manusia yang selalu menginginkan

sesuatu yang serba cepat dan sesuai dengan keinginan. Terkait dengan

perkembangan di sektor properti, tentunya merupakan peluang bagi para agen

properti. Ketika kebanyakan orang tidak memiliki waktu yang cukup untuk

mencari, melakukan survei, dan bernegoisasi dalam rangka mencari properti yang

mereka butuhkan, para agen properti berada di garis depan untuk bisa memenuhi

kebutuhan mereka dalam mendapatkan unit properti yang mereka butuhkan atau

inginkan.

“Pasar properti secara umum dikelompokkan menjadi tiga macam.

Pertama, residential property, meliputi apartemen, flat, perumahan, dan

bangunan multiunit. Kedua, commercial property, yaitu properti yang

dibangun atau dirancang untuk tujuan bisnis, seperti gedung yang

diperuntukkan meyimpan barang dan parkir area. Ketiga, industrial

property, yaitu properti yang dirancang untuk keperluan industri, seperti

bangunan-bangunan pabrik dan lain sebagainya”.

15

Agen properti berperan sebagai pedagang perantara. Ia mempertemukan

penjual dan pembeli untuk mempercepat dan membantu kelancaran proses

negosiasi. Agen properti menjual informasi tentang apa yang dibutuhkan pembeli

dan penjual. Sebagai agen properti profesional, mereka harus bertindak demi

14

Michael C. Thomsett dan Jean Freestone Thomsett, Getting Started in Real Estate Investing, Roby Agung Kusuma, Op.cit.,hal 18.

15

(17)

kepentingan penjual dan pembeli, bertindak sebagai problem solver, dan

memberikan win-win solution bila terjadi ketidaksepahaman antara penjual dan

pembeli. Seorang agen properti tidak boleh bertindak atas kepentingan dan

keuntungan pribadi semata. Dari jasa yang diberikannya ini, ia memperoleh

komisi atau fee dari hasil transaksi unit properti tadi.16

16

Ibid., hal viii.

Jadi pada prinsipnya, cara kerja agen adalah sebagai perantara, mediator,

serta fasilitator. Sebagai seorang perantara, agen menjembatani atau menjadi

mediator dan fasilitator bagi bertemunya penjual dan pembeli atau kedua-duanya

dalam satu transaksi yang saling membutuhkan. Agen sendiri menjadi fasilitator

atas pertemuan tersebut dan mendapatkan komisi dari hasil perantaraanya itu,

apakah dari pembeli atau penjual, tergantung dari posisinya saat melakukan

perjanjian.

Selain itu, agen properti juga merupakan peluang bisnis yang amat

menekankan pada aspek kepercayaan. Berlandaskan aspek kepercayaan, mereka

menghubungkan pembeli dan penjual. Unsur kepercayaan inilah yag menjadi

kunci terlaksananya hubungan agen properti dan penjual maupun pembeli.

Adanya unsur kepercayaan terlebih dahulu antara para pihak, dilanjutkan dengan

menjalin hubungan berbentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis,

dimana perjanjian ini menjadi alas hukum yang berlaku bagi para pihak.

Masyarakat mempunyai banyak kepentingan yang semuanya dapat dipenuhi

(18)

Buku III tentang Perikatan Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai hukum perjanjian. Pengertian perjanjian

sebagaimana diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata, bahwa perjanjian atau

persetujuan adalah “suatu perbuatan hukum ketika seorang atau lebih

meningkatkan dirinya terhadap seorang atau lebih”. Perjanjian juga dapat

diartikan suatu peristiwa ketika seorang berjanji kepada seorang lain, atau ketika

dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.

Sistem terbuka sebagaimana dianut oleh hukum perjanjian mempunyai

motif dan tujuan, di mana memberikan kesempatan kepada semua orang yang

cakap (Vide pasal 1320 KUH Perdata) untuk mengadakan atau membuat

perjanjian mengenai apa saja, maksudnya baik mengenai perjanjian yang sudah

diatur dalam ketentuan undang-undang (KUH Perdata atau KUH Dagang), dan

ketentuan-ketentuan lain yang lebih khusus, bahkan boleh juga mengadakan

perjanjian-perjanjian jenis baru yang sama sekali belum diatur atau belum dikenal

di dalam undang-undang seperti antara lain perjanjian sewa beli, arisan, termasuk

juga perjanjian agen properti dan lain sebagainya.17

17

A Qirom Syamsudin Meilala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembanganya, (Yogyakarta : Liberty,1985), hal 1.

Sifat peraturan hukum perjanjian yang memberikan kesempatan kepada

setiap orang untuk mengadakan perjanjian apa saja, sejauh itu tidak bertentangan

dengan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1337 KUH Perdata,

yang mengatakan “Suatu sebab terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang

(19)

Perjanjian yang baik antara agen properti dan penjual/pembeli rumah pada

umumnya dilakukan secara tertulis untuk memberikan kepastian hukum kepada

para pihak. Perjanjian agen pemasaran properti yang tidak bergerak sendiri

(berkantor) memiliki perbedaan dalam menjalin hubungan dengan

penjual/pembeli rumah, dimana perjanjian yang disepakati sudah berbentuk

kontrak baku yang dirancang oleh perusahaan agen pemasaran tersebut. Hal ini

menunjukkan profesionalitas dalam bekerja, karena adanya perencanaan yang

jelas sebelumnya serta tenggat waktu. Selain itu, komisi atau fee juga sudah

ditentukan sejak awal sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga tidak dapat

berlaku sekehendak hati.

Adanya kontrak baku yang sudah ditentukan satu pihak, maka timbul

persoalan dimana penjual/pembeli rumah terdapat kemungkinan tidak memahami

secara utuh kontrak tersebut. Hal ini disebabkan pihak penjual/pembeli tidak

dilibatkan dalam pembuatan kontrak tersebut, sehingga dalam pelaksanaan hak

dan kewajiban belum tentu sesuai dengan keinginan pihak penjual/pembeli rumah.

Pelaksanaan perjanjian antara agen pemasaran dan penjual rumah yang

tertuang dalam kontrak baku tidak jarang menimbulkan permasalahan, dimana

dalam perjanjian yang tertuang, penjual rumah memberikan hak eksklusif dan

hanya terikat pada satu pihak agen pemasaran saja. Keterikatan pemasaran

properti milik penjual dengan satu pihak saja memiliki konsekwensi, dimana

pihak penjual tidak memiliki kebebasan untuk menjalin kerjasama dengan pihak

lain. Hal ini memperlihatkan pihak penjual tidak diuntungkan dalam segi waktu,

(20)

berhasil terjual atau disewa oleh agen properti tersebut, penjual harus membuat

perjanjian baru atau mencari agen pemasaran yang lain.

Selain hak eksklusif pada komisi atau fee, agen properti diberikan

beberapa hak serta kewenangan atas properti penjual. Sehingga timbul pertanyaan,

apakah agen properti dalam pelaksanaan kewajibannya memiliki tanggung jawab

atas properti penjual. Seperti adanya kehilangan barang-barang dalam rumah

penjual atau terjadi perampokan, dimana agen merupakan salah satu pihak yang

memiliki hak atau akses memasuki properti tersebut.

Selain itu, sebelum terjadinya transaksi jual-beli atau sewa-menyewa,

adanya kemungkinan pembeli/penyewa memberi uang muka (DP) sebelum

transaksi terjadi. Hal ini dimungkinkan karena pembeli atau penyewa belum

memiliki dana yang cukup pada saat itu, sehingga pembayarannya ditangguhkan.

Penerimaan DP dari pembeli/penyewa kepada pemilik rumah/tanah menimbulkan

perikatan antara pemilik properti dan pembeli/penyewa, dimana pemilik properti

tersebut tidak boleh mengalihkan propertinya kepada pihak lain dalam jangka

waktu yang ditentukan dan dengan adanya DP memberikan kepastian kepada

pemilik properti. Apabila pembeli/penyewa membatalkan transaksinya maka DP

yang telah dibayarkan menjadi hangus atau hak pemilik properti.

Penggunaan jasa agen pemasaran properti, perjanjian pada umumnya agen

properti memiliki wewenang untuk menerima pembayaran DP dari

Pembeli/Penyewa dan menyimpannya dalam rekening giro khusus Perusahaan

pihak agen properti. Sehingga timbul pertanyaan, siapa yang berhak memiliki DP

(21)

Beberapa pertanyaan dan permasalahan inilah yang menjadi latar belakang

penelitian yang menarik untuk diteliti dan dibahas. Adanya kelemahan-kelemahan

didalam perjanjian antara agen pemasaran properti dan pemilik rumah/tanah,

memberikan ide untuk membuat penelitian dengan judul “Hukum Perjanjian

Antara Agen Pemasaran Perusahaan Properti One dan Pemilik Rumah/Tanah.

Maka dalam hal ini akan diambil suatu permasalahan yang berkaitan dengan

penelitian ini.

B. RUMUSAN MASALAH

Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus

diselesaikan oleh penulis dalam penelitiannya. Adanya rumusan masalah maka

akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak

mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.

Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah

1. Bagaimana pengaturan hubungan hukum yang terjadi antara Agen

Pemasaran Properti dan Pemilik Rumah/Tanah?

2. Apa saja kelemahan dan masalah yang terdapat dalam perjanjian antara

Agen Pemasaran Properti Perusahaan Property One dan Pemilik

Rumah/Tanah?

3. Bagaimana penyelesaian masalah yang dilakukan Perusahaan Property

One sebagai perantara jika terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan

(22)

C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

1. Tujuan Penelitian

Tujuan utama penelitian ini yang berjudul “Hukum Perjanjian

Antara Agen Pemasaran Perusahaan Properti One dan Pemilik

Rumah/Tanah adalah sebagai pemenuhan tugas akhir untuk memperoleh

gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selain itu berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas,

maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui hubungan-hubungan hukum apa saja yang

terjadi antara agen pemasaran perusahaan properti dan pemilik

rumah/tanah.

b. Untuk mengetahui permasalahan dan kelemahan perjanjian agen

properti dengan pemilik rumah/tanah dalam pelaksanannya.

c. Untuk mengetahui penyelesaian masalah yang dilakukan

Perusahaan Property One Kota Medan apabila terjadi wanprestasi

dalam pelaksanaan perjanjian dengan pemilik rumah/tanah.

2. Manfaat Penelitian

a. Dari segi teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembangunan Ilmu

Pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum yang

menyangkut perjanjian yang dilakukan Agen Pemasaran

(23)

informasi dan pemahaman yang mendalam dalam pelaksanaan

bisnis agen pemasaran properti.

b. Dari segi praktis

1) Dapat dijadikan pedoman dan bahan rujukan bagi rekan

mahasiswa, masyarakat, pelaku bisnis maupun praktisi

hukum dalam menambah pengetahuan tentang proses

perjanjian antara Agen Pemasaran Perusahaan Property

One dan pemilik Rumah/Tanah.

2) Dapat memberikan tambahan tentang bagaimana membuat

perjanjian yang baik.18

D. KEASLIAN PENULISAN

Adapun judul tulisan ini adalah “Hukum Perjanjian Antara Agen

Pemasaran Perusahaan Properti One dan Pemilik Rumah/Tanah”. Berdasarkan

pemeriksaan dan hasil yang ada, penelitian ini belum pernah dilakukan penelitian

sebelumnya yang meninjau dari aspek hukum perjanjian secara menyeluruh antara

agen properti dan pemilik rumah/tanah, tetapi adanya judul skripsi lainnya yang

berkaitan dengan penelitian ini dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap

Perjanjian Komisi pada Bisnis Broker Property dan Akibat Hukumnya”. Proses

pembuatan dalam skripsi ini tentunya penulis membuat sudut pembahasan yang

berbeda dari judul skripsi yang memiliki kaitannya dengan penelitian ini serta

memulainya dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan Agen

18

(24)

Properti dan Hukum Perjanjian mulai dari buku-buku, literatur sampai dengan

bahan yang diperoleh dari hasil penelitian. Oleh sebab itu penulisan skripsi ini

didasarkan pemikiran diri sendiri, serta keaslian skripsi ini dapat dipertanggung

jawabkan secara ilmiah.

E. METODE PENELITIAN

Penelitian hukum pada dasarnya merupakan seuatu kegiatan ilmiah yang

didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan

untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan

menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam

terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan

atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.19

1. Jenis penelitian

Agar penulisan skripsi ini dapat dilakukan secara sederhana dan terarah

sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka metode penulisan

yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain:

Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis

normatif dan yuridis empiris. Jenis penelitian yuridis normatif merupakan

pendekatan yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan

yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian dengan

yuridis normatif secara garis besar ditujukan kepada penelitian terhadap

19

(25)

asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum.20

Jenis penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum

yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan

pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Selain

itu, juga melihat sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainnya secara

hierarki. Sedangkan jenis penelitian yuridis empiris adalah penelitian

dengan melihat suatu kenyataan hukum di dalam masyarakat.21

2. Sifat Penelitian

Penelitian

yuridis empiris dapat direalisasikan kepada penelitian terhadap efektivitas

hukum yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap indentifikasi

hukum.

Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, yang mengungkapkan peraturan

perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang

menjadi objek penelitian.22 Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang

bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan

pada saat tertentu. Sebelum penelitian ini dilaksanakan, harus terlebih

dahulu mempunyai gambaran yang berupa data awal tentang

permasalahan yang akan diteliti.23 Demikian juga hukum dalam

pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan objek penelitian.

20

Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hal 13.

21

Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal 105.

22

Ibid.

23

(26)

3. Sumber Data

Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data

sekunder. Data primer merupakan data yang didapat langsung dari

masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian

lapangan24, seperti melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam

bentuk dokumen tidak resmi. Sedangkan data sekunder sekunder

merupakan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku

yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk

laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan. Data

sekunder tersebut, dapat dibagi menjadi :25

a. Bahan Hukum Primer

Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan

perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian, seperti

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan

Kawasan Pemukiman dan lain sebagainya.

b. Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder adalah buku-buku, jurnal, tulisan-tulisan

ilmiah hukum, yang terkait dengan objek penelitian ini.

c. Bahan Hukum Tertier

Bahan Hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai

bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal

dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.

24

Ibid, hal 16.

25

(27)

4. Metode Pengumpulan Data

a. Metode Penelitian Library Research

Metode yang digunakan adalah dengan cara memperoleh data

tersedia di perpustakaan yang pernah ditulis sebelumnya di mana

ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan.26

b. Metode Penelitian Lapangan

Metode Penelitian Lapangan yang dilakukan adalah dengan

melakukan wawancara. Wawancara merupakan cara yang

digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna

mencapai tujuan tertentu, dan tujuan ini dapat

bermacam-macam.27

5. Metode Analisis Data

Penelitian ini melakukan wawancara dengan agen

pemasaran properti serta pemilik Perusahaan Property One secara

langsung guna mendapatkan informasi yang dibutuhkan.

Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian

bersifat deskriptif analistis, analisis data yang dipergunakan adalah

analisis data kualitatif. Dimana dapat dilakukan anlisis kualitatif

apabila:28

a. Data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat

dilakukan pengukuran.

b. Data tersebut sukar diukur dengan angka.

c. Hubungan antar variabel tidak jelas.

26

Bambang Sunggono, Op.cit., hal 52.

27

Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1996), hal 95.

28

(28)

d. Sampel lebih bersifat non probabilitas.

e. Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan

pengamatan.

f. Penggunaan-penggunaan teori kurang diperlukan.

F. SISTEMATIKA PENULISAN

Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas beberapa

sub-sub bab. Adapun sistematika penulisan yang akan penulis paparkan disini

adalah :

Bab I Pendahuluan, menguraikan tentang alasan untuk memilih judul

tersebut. Kemudian dikemukakan juga tujuan dan manfaat pembahasan apa yang

menjadi permasalahan, diikuti dengan metode penelitian dan pengumpulan data

serta ruang lingkup yang merupakan sistematika penulisan.

Bab II Hukum Perjanjian Secara Umum, membahas tentang Tinjauan

umum perihal perjanjian, seperti pengertian perjanjian, asas-asas perjanjian, dan

sebaginya, kemudian diterangkan tinjauan mengenai perjanjian baku.

Bab III Tinjauan Tentang Bisnis Agen Pemasaran Properti, diuraikan

memaparkan pengenalan seorang agen/makelar/broker, dan ha-hal pokok yang

terdapat pada seorang agen properti.

Bab IV Hukum Perjanjian antara Agen Perusahaan Property One dan

Pemilik Rumah/Tanah, dikemukakan mengenai pengaturan hubungan hukum

yang terjadi antara para pihak, kelemahan yang terdapat dalam perjanjian antara

(29)

serta penyelesaian masalah yang dilakukan Perusahaan Property one sebagai

perantara jika terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian antara pemilik

rumah/tanah.

Bab V Kesimpulan dan Saran, kesimpulan dari skripsi dan beberapa saran

(30)

BAB II

HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM

A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian

1. Pengertian Perjanjian

Buku III Kitab Undanng-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

mengatur tentang perikatan (verbintenissenrecht), di mana tercakup pula

istilah perjanjian (overeenkomst). Dikenal tiga terjemahan dari verbintenis,

yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian, sedangkan overeenkomst

terdapat dua terjemahan, yaitu perjanjian dan persetujuan.29

Secara garis besar perjanjian dapat di bedakan menjadi dua,

yaitu:

Jadi, istilah

perjanjian merupakan terjemahan dari kata verbintenis, overeenkomst

(Belanda) atau contract (Inggris).

30

a. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang

menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.

b. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum

dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya, perjanjian bernama.

Perjanjian mengandung pengertian “sebagai suatu hubungan

hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi

29

Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hal 41

30

(31)

kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus

mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.31

Pengertian singkat di atas dapat disimpulkan beberapa unsur yang

memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum

(rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang

(persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban

pada pihak lain tentang suatu prestasi.32

Rumusan Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa di luar

perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak

ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan

hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Hal ini

menunjukkan perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam

lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat

perjanjian. Para pihak secara sukarela mengikatkan diri untuk

menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu

guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah

berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa

harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat

ditemui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang

menyatakan bahwa; “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian

baik karena undang-undang”.

31

M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal 6.

(32)

perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Sifat sukarela dari

perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan

maksud dari pihak yang membuat perjanjian.33

Kaitan hukum harta kekayaan dalam perjanjian dimaksudkan untuk

membatasi bahwa perjanjian yang dimaksudkan adalah perjanjian yang

berkaitan dengan harta kekayaan seseorang sebagaimana dijamin dengan

ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi, “Segala kebendaan

milik debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang

sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi

tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Pengertian tersebut

menunjukkan tidak meliputi perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku I

tentang Orang dan Keluarga KUH Perdata mengenai perjanjian kawin.

Pernyataan sukarela menunjukkan bahwa perikatan yang

bersumber dari perjanjian tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh

para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. Hal ini berbeda

dari perikatan yang lahir dari undang-undang, yang menerbitkan

kewajiban bagi salah satu pihak dalam perikatan tersebut, meskipun

sesungguhnya para pihak tidak menghendakinya.

34

Pengertian perjanjian menurut KUH Perdata terdapat dalam Pasal

1313 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan

mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau

33

Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal 2. (Selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I)

34

(33)

lebih.” Unsur-unsur perjanjian yang dapat di lihat menurut pasal ini bahwa

suatu perjanjian adalah :

a. Suatu perbuatan;

b. Antara sekurangnya dua orang (dapat lebih dari dua orang)

c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara puhak-pihak

yang berjanji tersebut.

Sehingga definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah :35

a. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian

b. Tidak tampak asas konsensualisme

c. Bersifat dualisme.

Tidak jelasnya definisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut

hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum

pun disebut dengan perjanjian.

Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian

perjanjian : teori lama dan teori baru. Menurut doktrin (teori lama), yang

disebut perjanjian adalah “perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat

untuk menimbulkan akibat hukum”. Definisi di atas, telah tampak adanya

asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak

dan kewajiban).36

Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang

diartikan dengan perjanjian, adalah : “Suatu hubungan hukum antara dua

35

Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal 160. (Selanjutnya disebut Salim HS-III)

36

(34)

pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat

hukum.”37

Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata,

tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang

mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori

baru, yaitu:38

a. Tahap prakontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;

b. Tahap kontractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak

antara para pihak;

c. Tahap post kontractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.

Unsur-unsur perjanjian menurut teori lama, yaitu:39

a. Adanya perbuatan hukum;

b. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang

c. Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan dinyatakan;

d. Perbuatan hukum itu terjadi karena kerja sama antara dua orang

atau lebih;

e. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai itu harus saling

bergantung satu sama lain;

f. Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;

g. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang

lain atau timbal balik;

h. Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan

perundang-undangan.

2. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian

Pihak-pihak dalam perjanjian diatur secara sporadis di dalam KUH

Perdata, yaitu Pasal 1315, Pasal 1340, Pasal 1317, Pasal 1318. Mengingat

37

Van Dunne, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa, Ganti Kerugian, Ibid.

38 Ibid. 39

(35)

bahwa hukum harus dipelajari sebagai satu sistem, maka penting untuk

mencari kaitan diantara pasal-pasal tersebut.40

Pengertian subjek perjanjian adalah pihak-pihak yang terikat

dengan diadakannya suatu perjanjian.41

Kreditur dan debitur inilah yang menjadi subjek perjanjian.

Kreditur mempuyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi

pelaksanaan prestasi. Beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang

debitur atau sebaliknya, tidak mengurangi sahnya perjanjian. Jika pada

mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya

seorang kreditur saja berhadapan dengan debitur, juga tidak mengurangi

nilai sahnya perjanjian.

Pihak-pihak yang terikat dalam

perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu.

Masing-masing orang itu menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi

pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak debitur.

42

a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;

KUH Perdata membedakan tiga golongan yang

tersangkut pada perjanjian yaitu :

b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari

padanya;

c. Pihak ketiga.

Ketiga golongan ini pada awalnya dapat kita lihat dalam Pasal

1315 KUH Perdata yang menyatakan; “Pada umumnya tak dapat

40

Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perjanjian, Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal 69. (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-I)

41

Ibid., hal 70.

42

(36)

mengikatkan perjanjian diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan

suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Kemudian Pasal 1340 KUH

Perdata disebutkan:

“Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang

membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada

pihak-pihak ke tiga; tak dapat pihak-pihak-pihak-pihak ke tiga mendapat manfaat karenanya,

selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317”.

Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan;

“Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji: yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya”.

Pasal 1318;

“Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu

adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang, yang memperoleh

hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat

disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudya”.

Pada asasnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang

mengadakan perjanjian itu sendiri. Asas ini merupakan asas pribadi (Pasal

1315 jo. 1340 KUH Perdata). Para pihak tidak dapat mengadakan

(37)

janji guna pihak ketiga (beding ten behoeve van derden) Pasal 1317 KUH

Perdata.43

Apabila seseorang membuat sesuatu perjanjian, maka orang itu

dianggap mengadakan perjanjian bagi ahli warisnya dan orang-orang yang

memperoleh hak daripadanya (Pasal 1318 KUH Perdata). Beralihnya hak

kepada ahli waris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum

(onder algemene titel) yang terjadi pada ahli warisnya. Beralihnya

perjanjian kepada orang-orang yang memperoleh hak berdasarkan atas

alas-alas hak khusus (onder bijzondere titel), misalnya menggantikan

pembeli, mendapatkan haknya sebagai pemilik. Hak yang terikat kepada

suatu kualitas itu dinamakan hak kualitatif.44

Menurut Pasal 1340 ayat 2 KUH Perdata, persetujuan-persetujuan

tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, tidak dapat pihak ketiga,

mendapat manfaat karenanya, selain dari yang diatur dalam pasal 1317

KUH Perdata. Oleh karena itu, asas seseorang tidak dapat mengikat diri

selain atas nama sendiri mempunyai suatu kekecualian, yaitu dalam bentuk

yang dinamakan janji untuk pihak ketiga (derden beding). Pasal 1317

KUH Perdata menyebutkan bahwa lagipun diperbolehkan juga untuk

meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga,

apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya

sendiri atau, suatu pemberian yang dilakukannya pada seorang lain

memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan

43

Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 71.

44

(38)

sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga

tersebut telah menyatakan kehendaknya atau kemauan untuk

mempergunakannya.

Ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa janji untuk pihak ketiga itu

merupakan suatu penawaran (offerte) yang dilakukan oleh pihak yang

meminta diperjanjikan hak (stipulator) kepada mitranya (promissor) agar

melakukan prestasi kepada pihak ketiga. Stipulator tadi tidak dapat

menarik kembali perjanjian itu apabila pihak ketiga telah menyatakan

kehendaknya menerima perjanjian itu.45

3. Syarat Sahnya Perjanjian

Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1320

KUH Perdata yang berbunyi;

“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :

a. Sepakat mereka yag mengikatkan dirinya,

b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,

c. Suatu hal tertentu,

d. Suatu sebab yang halal.”

Empat unsur tersebut dalam doktrin ilmu hukum yang

berkembang, digolongkan ke dalam :46

a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang

mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan

b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan

obyek perjanjian (unsur obyektif).

45

Ibid.

46

(39)

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas

dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang

melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan

dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan

causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan

tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut

hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut

menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam

dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat

pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam

hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan

yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.

a. Sepakat (Toestemming)

Sepakat merupakan Kesesuaian, kecocokan, pertemuan

kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan

kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Unsur kesepakatan

yaitu;47

1) Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang

menawarkan.

2) Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang

menerima penawaran.

47

(40)

Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan

awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kesepakatan itu

terjadi ada beberapa macam teori/ajaran, yaitu :48

1) Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat

kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia

menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin

untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoritis

karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis

2) Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat

kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang

menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal

tersebut bisa diketahui. Sebab, bisa saja walaupun sudah

dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.

3) Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang

menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya

diterima (walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan

tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia

bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum

menerimanya.

4) Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat

pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari

pihak lawan.

48

(41)

Kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak

ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Suatu perjanjian dapat

dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal tersebut, sebagaimana

ditentukan Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiada suatu

perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena

kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.

Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari

kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa

yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara

melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus

melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada

kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih

pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih

dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki

oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang

mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh

para pihak. Pernyataan tersebut dikenal dengan nama penawaran.49

Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau

lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan

pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya

tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran,

selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima

49

(42)

penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan

penawaran tersebut. Apabila pihak lawan dari pihak yang

melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka

tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari

pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran

yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran

balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat

dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat

dilaksanakan dan diterima olehnya.50

Hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai.

Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada

akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai

hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam

perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari

serangkaian penawaran atau bahkan tawar-menawar yang

disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah saat

tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian

konsensuil, di mana kesepakatan dianggap terjadi pada saat

penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.51

b. Kecakapan

Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing

adalah pembawa hak (subjek hukum) yang memiliki hak dan

50

Ibid., hal 96

51

(43)

kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum. Meskipun setiap

subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan

perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus di dukung oleh

kecakapan dan kewenangan hukum.52

Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan

dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun

kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam

membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu

perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak

juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk

bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang

perorangan yang melakukan suatu tinndakan atau perbuatan

hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang

perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum.

Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum, tetapi

ternyata tidak berwenang untuk melakukann suatu perbuatan

hukum dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk

bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu

hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.53

Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah

masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan

cakap untuk bertindak atas nama dirinya sendiri, baru kemudian

52

R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), hal 139.

53

(44)

dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam

hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan

atau perbuatan hukum tertentu.54

1) Orang-orang yang belum dewasa;

Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan

kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan

diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai

dengan Pasal 1331 KUH Perdata. Pasal 1329 KUH Perdata

menyatakan bahwa : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat

perikatan-perikatan, jika ia oleh udang-undang tidak dinyatakan tak

cakap”.

Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain

dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan

berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 KUH

Perdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap

tidak cakap untuk bertindak dalam hukum dengan menyatakan

bahwa :

“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:

2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;

3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh

undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu”.

KUH Perdata memandang bahwa seorang wanita yang

telah bersuami tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Sejak

54

(45)

tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)

Nomor 3/1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri

dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita

yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria,

untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan

pengadilan, sehingga ia tidak memerlukan bantuan lagi dari

suaminya. Oleh sebab itu ketentuan sub 3 dari Pasal 1330 KUH

Perdata sudah tidak berlaku lagi, sehingga orang yang tidak cakap

(tidak berwenang melakukan perbuatan hukum), dapat dibagi

menjadi :55

1) Mereka yang belum cukup umur

Mereka yang belum cukup umur maksudnya adalah

mereka yang berlum dewasa. Menurut Pasal 330 KUH

Perdata menentukan bahwa;

“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebgaimana diatur dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini”.

Yang dimaksud perwalian sebagaimana disebut

dalam Pasal 330 KUH Perdata adalah pengawasan atas

orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di

55

(46)

bawah kekuasaan orangtua) sebagaimana diatur dalam

undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak

yang belum dewasa.

2) Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan

Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUH Perdata

tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan di mana

seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya

dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap

untuk bertindak sendiri (atau pribadi) di dalam lalu lintas

hukum, karena orang tersebut (curandus), oleh putusan

hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak

cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut

undang-undang yang disebut pengampu

(curator/curatrice). Sedangkan pengampuannya disebut

curatele. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap

adalah (Pasal 433 KUH Perdata)

a) Keadaan dungu;

b) Sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap

melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya);

c) Pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan bertindak

terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja).

Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang

didasarkan adanya permohonan. Yang dapat mengajukan

permohonan diatur di dalam Pasal 434-435 KUH Perdata

(47)

c. Suatu Hal Tertentu

Suatu hal tertentu maksudnya berbicara tentang objek

perjanjian (Pasal 1332 s/d 1334 KUH Perdata). Objek perjanjian

yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut adalah:56

1) Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat

ditentukan jenis dan dapat dihitung.

2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang

dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).

Ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa:

“Hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat

menjadi pokok perjanjian”. Pada dasarnya pasal ini hanya

menegaskan kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian

ini, yang dapat menjadi obyek dalam perikatan adalah kebendaan

yang masuk dalam lapangan harta kekayaan. Jadi kebendaan, baik

yang berwujud maupun tidak berwujud, yang berada di luar

lapangan harta kekayaan (yang terutama diatur dalam Buku II

KUH Perdata tentang kebendaan) tidaklah dapat menjadi pokok

perjanjian, karena kebendaan tersebut tidak termasuk dalam

rumusan kebendaan menurut Pasal 1131 KUH Perdata, sehingga

tidak dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan perikatan orang

perorangan tersebut.57

Pasal 1334 KUH Perdata mengatur mengenai perjanjian,

yang melahirkan perikatan bersyarat. Dengan rumusan;

56

Mariam Darus Badrulzaman-II, Op.cit., hal 104.

57

(48)

“Kebendaan yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketetentuan Pasal-Pasal 169, 176, dan 178”.

Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk

penegasan bahwa dalam suatu perjanjian, hanya seseorang yang

dapat berbuat bebas dengan kebendaan yang menjadi pokok

perjanjian saja yang dapat membuat perjanjian yang mengikat

kebendaan tersebut.

Suatu warisan yang belum terbuka pada pokoknya

bukanlah kebendaan milik dari orang yang akan memperoleh

warisan. Hal ini menunjuk pada ketidakpastian mengenai apakah

orang yang akan memperoleh warisan tersebut pasti akan

memperoleh kebendaan yang akan diwariskan tersebut sebagai hak

milik. Bahkan dalam rumusan Pasal 178 ayat (2) KUH Perdata

dinyatakan bahwa suatu hibah yang diberikan sebelum pemberi

hibah meninggal akan menjadi gugur apabila pemberi hibah hidup

lebih lama, juga dari anak-anak dan keturunan penerima hibah.

Jelaslah bahwa sesuatu yang belum pasti akan dimiliki tidak dapat

dijadikan obyek perjanjian. Perjanjian hanya sah dan mengikat jika

obyeknya yang berupa kebendaan telah ditentukan jenisnya,

demikianlah Pasal 1333 KUH Perdata.58

58

(49)

d. Suatu Sebab yang Halal

Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal

1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa :

“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena

sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempuyai

kekuatan”. KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau

definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH

Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dijelaskan

bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:

1) Bukan tanpa sebab;

2) Bukan sebab yang palsu;

3) Bukan sebab yang terlarang.

Pada dasarnya hukum tidak memperhatikan apa yang ada

dalam benak, ataupun hati seseorang. Yang diperhatikan oleh

hukum adalah apa yang tertulis, yang pada pokoknya menjadi

perikatan yang harus atau wajib dilaksanakan oleh debitor dalam

perjanjian tersebut. Oleh karena itu masih adanya kebebasan para

pihak sebagaimana dinyatakan Pasal 1336 KUH Perdata bahwa:

“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak

terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan

itu, perjanjian itu adalah sah”. Pasal ini menjelaskan bahwa

undang-undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi

Referensi

Dokumen terkait

terutama suratkabar berkerjasama dengan layanan online untuk mengkreasi portal-portal berita yang akan menampilkan versi daring dari berita suratkabar. Portal-portal

Inovasi pendidikan suatu perubahan yang baru dan kualitatif berbeda dari hal (yang ada sebelumnya), serta sengaja.. diusahakan untuk meningkatkan kemampuan guna mencapai

Setelah dilakukan penelitian pengirisan bawang merah yang besar (> 2,5 cm) dengan mesin pengiris bawang merah berpisau vertikal pada putaran rotor cutter 145 rpm, 0,18

Hal ini dapat dipahami karena guru yang mempunyai kinerja bagus dalam kelas akan mampu menjelaskan pelajaran dengan baik, mampu menumbuhkan motivasi belajar

mengamalkan perilaku jujur, disiplin, tanggungjawab, peduli (gotong royong, kerjasama, toleran, damai), santun, responsif dan pro- aktif dan menunjukkan sikap sebagai bagian

Dengan adanya model kompetensi yang tervalidasi maka dosen akan memiliki gambaran yang jelas mengenai kompetensi apa yang harus dikembangkan untuk berpartisipasi pada pendekatan

troattle penuh), sehingga udara tersebut menyerap kalor dari plat dan sirip-sirip pemanas pada alat pengering tersebut. Pada pengujian alat dengan beban,

Nothing herein shall impose any obligation on the part of the Assignee to pay any outstanding water, electricity, telephone, utilities, gas, sewerage, taxes,