HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN
PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK
RUMAH/TANAH
(Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan
Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
RAYMOND SAPTAHARI
NIM : 110200211
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN
PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK
RUMAH/TANAH
(Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Melengkapi Tugas Akhir dan
Memenuhi Syarat-syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum
OLEH :
RAYMOND SAPTAHARI NIM : 110200211
DEPARTEMEN HUKUM KEPERDATAAN
PROGRAM KEKHUSUSAN HUKUM PERDATA BW
Disetujui Oleh,
Ketua Departemen Hukum Keperdataan
Dr. HASIM PURBA, S.H., M. Hum.
NIP. 196603031985081001
Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II
Dr. Edy Ikhsan, S.H., M.Hum. Dr. Dedi Harianto, S.H., M.Hum. NIP. 196302161988031002 NIP. 196908201995121001
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK RUMAH/TANAH
(Studi Pada Perusahaan Property One Medan Kota)
Raymond Saptahari1
Edy Ikhsan2
Dedi Harianto3
1
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
2
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
3
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Abstrak
Jumlah penduduk yang semakin meningkat setiap tahunnya, menjadi salah satu faktor meningkatnya kebutuhan akan rumah. Hal ini menunjukkan adanya potensi pertumbuhan ekonomi di sektor properti. Mengenai sektor properti, terdapat satu bidang yang tidak dapat dipisahkan darinya yaitu keberadaan penyedia jasa pemasaran perdagangan properti, di mana jasa ini dibutuhkan sejalan dengan sikap manusia yang selalu menginginkan sesuatu yang serba cepat dan sesuai dengan keinginan. Latar belakang permasalahan ini adalah bahwa bisnis jasa pemasaran perdagangan properti yang dilakukan oleh badan usaha, melakukan hubungan kerjasama dengan pemilik properti. Hubungan kerjasama tersebut dalam pelaksanaannya didasari sebuah perjanjian yang dituangkan dalam bentuk formulir yang isinya sudah ditetapkan terlebih dahulu oleh pihak perusahaan jasa pemasaran perdagangan properti, sehingga dalam perkembangannya sekarang terdapat kemungkinan terjadinya penyimpangan dalam pelaksanaan perjanjian tersebut. Oleh karena itu, dapat dirumuskan
beberapa permasalahan sebagai berikut. Pertama, bagaimana pengaturan
hubungan hukum yang terjadi antara agen pemasaran properti dan pemilik
rumah/tanah. Kedua, apa saja kelemahan dan masalah yang terdapat dalam
perjanjian antara agen pemasaran properti Perusahaan Property One dan pemilik
rumah/tanah. Ketiga, bagaimana penyelesaian masalah yang dilakukan
Perusahaan Property One sebagai perantara jika terjadi wanprestasi dalam
pelaksanaan perjanjian dengan pemilik rumah/tanah.
Dari penulisan skripsi ini maka dapat diketahui bahwa : Pertama, hubungan hukum yang terjadi antara agen pemasaran Perusahaan Property One dan pemilik properti didasarkan atas perjanjian baku yang tertuang dalam bentuk formulir, sedangkan hubungan yang terjadi antara agen pemasaran Perusahaan
Property One dan calon pembeli dilakukan secara lisan. Kedua, pelaksanaan
perjanjian keagenan Perusahaan Property One terdapat kelemahan-kelemahan. Selain kelemahan yang mendasar bahwa dalam perjanjian keagenan tersebut berbentuk perjanjian baku, kelemahan lainnya dapat terlihat apabila isi perjanjian tersebut dibandingkan dengan perjanjian keagenan lainnya. Apabila dibandingkan dengan perjanjian keagenan lainnya menunjukkan bahwa dalam pelaksanaan perjanjian keagenan Perusahaan Property One, Pihak I sebagai pemilik properti mempunyai kedudukan yang tidak seimbang, di mana kewajiban pengguna jasa
perusahaan pemasaran perdagangan properti tidak disertai dengan hak. Ketiga,
masalah yang timbul selama ini dalam pelaksanaan perjanjian keagenan, Perusahaan Property One menyelesaikan masalah tersebut secara musyawarah sebagaimana cara penyelsaian tersebut tercantum dalam perjanjian keagenan Perusahaan Property One. Namun, apabila tindakan secara musyawarah tidak tercapai, maka alternatif terakhir adalah memproses persoalan tersebut melalui jalur hukum.
Berkenaan dengan penelitian ini dapat diajukan saran sebagai berikut :
Pertama, hubungan hukum yang terjadi antara para pihak dalam pelaksanaan
perjanjian keagenan hendaknya terdapat peraturan yang lengkap guna mengawasi
pelaksanaan perjanjian tersebut. Kedua, hendaknya setiap perusahaan pemasaran
perdagangan properti dalam membuat perjanjian keagenannya dapat memahami hak-hak yang seharusnya diperoleh Pihak I, serta tidak membatasi hak-hak
tersebut. Ketiga, baiknya penyelesaian masalah secara musyawarah dicantumkan
penambahan isinya bahwa dalam pelaksanaan musywarah tersebut dibantu oleh pihak ketiga yang independen.
Kata Kunci :
- Perjanjian Baku
- Agen Property
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
segala berkat dan rahmatnya kepada penulis sehingga penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “Hukum Perjanjian Antara Agen
Pemasaran Perusahaan Property One Dan Pemilik Rumah/Tanah (Studi Pada
Perusahaan Property One)”, sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana
Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Dewasa ini kegiatan bisnis agen pemasaran properti merupakan bisnis
yang menjanjikan. Salah satu faktor terus berkembangnya bisnis ini adalah
meningkatnya kebutuhan rumah seiring dengan meningkatnya pertumbuhan
penduduk serta terbatasnya tempat hunian rumah yang ideal dan sesuai keinginan
konsumen. Oleh sebab itu, penting untuk dijelaskan disini apa yang menjadi tugas
dan hak-hak dari agen pemasaran properti, serta tanggung jawabnya terhadap
konsumen dalam pelaksanaan perjanjian keagenan.
Meskipun penulis banyak mengalami tantangan dalam menyelesaikan
skripsi ini, tetapi berkat kerja keras tanpa mengenal lelah, akhirnya penulis dapat
menyelesaikan tulisan yang sederhana ini, namun tidak ada gading yang tak retak,
demikian bunyi pepatah dan demikian dengan tulisan ini tentu banyak
mengandung kekurangan dan kelemahan penulis. Untuk itu penulis berharap saran
dan kritik yang bersifat membangun dari pembaca demi kesempurnaan skripsi ini.
Pada kesempatan ini penulis tidak lupa menyampaikan penghargaan serta
maupun tidak langsung memberikan bantuan kepada penulis sejak awal penulis
menjalani perkuliahan hingga penyusunan skripsi ini dan sampai penyelesaiannya,
penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada :
1. Prof. Dr. dr. Syahril Pasaribu, DTMH., MSc (CTM)., SpA(K) selaku
Rektor Universitas Sumatera Utara, atas kesempatan dan fasilitas yang
diberikan bagi penulis untuk menyelesaikan pendidikan Sarjana Hukum di
Universitas Sumatera Utara.
2. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, MHum, selaku Dekan Fakultas
Hukum Universitas Sumatera Utara.
3. Bapak Dr. Hasim Purba, SH, MHum, selaku Ketua Departemen Hukum
Keperdataan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Ibu Rabiatul Syahriah, SH, MHum, selaku Sekretaris Program Jurusan
Perdata di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
5. Bapak Edy Ikhsan, SH, MHum, selaku Dosen Pembimbing I penulis telah
banyak meluangkan waktu untuk memberikan petunjuk dan pengarahan
kepada penulis.
6. Bapak Dr. Dedi Harianto, SH, MHum, selaku Dosen Pembimbing II
penulis yang telah banyak meluangkan waktunya dan memberikan
pandangan berupa petunjuk yang begitu berharga demi kelanjutan Skripsi
ini.
7. Bapak Dr. Faisal Akbar Nasution, SH, MHum, selaku Dosen Pembimbing
Akademik penulis selama menjalani perkuliahan di Fakultas Hukum
8. Kedua orangtua penulis yaitu papa Ir. Ridwan Halim dan mama Saulina
Purba yang telah memberikan kasih sayang tiada henti dan dukungan baik
secara moril maupun materil serta doa yang tiada henti-hentinya kepada
penulis.
9. Abang dan kakak penulis yaitu Dimas Adrian, SE dan Yulian Astri, Spsi
yang telah memberikan dukungan dan doa kepada penulis.
10.Elvira Fransiska Bu’ulolo yang tercinta, selalu menemani penulis dan
selalu memberikan dukungan serta masukan kepada penulis.
11.Sahabat penulis Hendro Siboro dkk yang sekarang juga berjuang
menyelesaikan skripsinya.
12.Segenap staf pengajar di Fakultas Hukum USU yang sangat berjasa dalam
mengajarkan penulis seluruh konsep dan pemahaman yang mendalam dari
ilmu hukum. Tanpa jasa Bapak dan Ibu Dosen penulis tidak dapat
menyelesaikan studi dan proses penulisan skripsi ini.
13.Staf administrasi dan pendidikan yang sangat ramah, bersahabat, dan
selalu membantu penulis dalam pengaturan administrasi selama menjalani
masa perkuliahan.
14.Seluruh pegawai perpustakaan Judicium Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara, yang begitu baik hati dan mau melayani mahasiswa
dengan baik dan ramah.
15.Seluruh mahasiswa stambuk 2011 yang telah berjuang menjalani
kehidupan akademik dan kepanitiaan bersama. Semoga semua
16.Yusuf Chew sebagai Direktur Perusahaan Property One yang telah
mengizinkan penulis untuk meneliti di Perusahaan Property One serta
meluangkan waktunya melakukan wawancara.
17.Semua pihak yang telah membantu baik ketika menjalani masa
perkuliahan maupun ketika menjalani proses penulisan skripsi. Dengan
banyaknya bantuan yang diterima, penulis meminta maaf
sedalam-dalamnya karena tidak dapat menyebutkan satu per satu.
Akhir kata penulis ucapkan sekali lagi terima kasih yang
sedalam-dalamya kepada semua pihak, semoga Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita
dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menjadi pendorong bagi kita semua
khususnya di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Medan, 18 Februari 2015 Penulis
DAFTAR ISI
BAB II HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian 1. Pengertian Perjanjian ... 20
2. Pihak-pihak Dalam Perjanjian ... 24
3. Syarat Sahnya Perjanjian ... 28
4. Akibat Perjanjian ... 40
5. Hapusnya Perjanjian ... 51
B. Perjanjian Baku Pada Umumnya 1. Pengertian Perjanjian Baku ... 66
2. Dasar-dasar Ketentuan Perjanjian Baku ... 68
3. Problematika Pemanfaatan Perjanjian Baku ... 71
4. Perlindungan Pihak Debitur Terhadap Perjanjian Baku ... 73
BAB III TINJAUAN TENTANG BISNIS AGEN PEMASARAN PROPERTI A. Pengenalan Agen Pemasaran 1. Pengertian Agen Pemasaran ... 76
2. Cara Kerja Agen Pemasaran ... 80
3. Tiga Tugas Utama Seorang Agen Pemasaran ... 85
4. Jenis-jenis Agen Pemasaran Berdasarkan Bidang Garapannya 88 B. Pengenalan Agen Properti 1. Jenis Agen Properti ... 92
2. Sistem Jual Beli Agen Properti ... 95
3. Penyebab Adanya Agen Properti ... 96
BAB IV HUKUM PERJANJIAN ANTARA AGEN PEMASARAN PERUSAHAAN PROPERTY ONE DAN PEMILIK RUMAH/TANAH A. Pengaturan Hubungan Hukum Antara Agen Pemasaran Property dan Pembeli /Penjual Rumah ... 98
C. Penyelesaian Masalah Yang Dilakukan Perushaan Property
One Jika Terjadi Wanprestasi Dalam Pelaksanaan Perjanjian ... 131
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ... 141 B. Saran ... 144
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
A. Perjanjian Keagenan Perusahaan Property One B. Perjanjian Penitipan Kunci Properti
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan nasional di Indonesia bertujuan untuk menciptakan
masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUD 1945). Masyarakat yang adil dan
makmur tersebut diartikan tidak hanya cukup sandang, pangan, dan papan
(pemukiman) saja tetapi harus diartikan sebagai cara bersama untuk memutuskan
masa depan yang dicita-citakan dan juga turut secara bersama mewujudkannya
masa depan tersebut. Semangat untuk mewujudkan masa depan tersebut
merupakan amanah dari UUD 1945 alinea ke- 4 juncto Pasal 28 H ayat (1) dan
Pasal 33 UUD 1945.4
Pembangunan perumahan dan pemukiman merupakan kebutuhan dasar
manusia. Oleh sebab itu pembangunan perumahan dan pemukiman sangat
berperan dalam pembentukan watak serta kepribadian bangsa, dan perlu dibina Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 tersebut di atas menyebutkan bahwa :
“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan
mendapat lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh
pelayanan kesehatan.”
4
serta dikembangkan demi kelangsungan dan peningkatan kehidupan dan
penghidupan masyarakat.5
Perumahan sebagai salah satu kebutuhan dasar manusia karena berfungsi
untuk tempat tinggal, tempat usaha, perkantoran, dan lain sebagainya. Hal ini
menunjukkan perumahan atau kumpulan rumah merupakan kebutuhan primer.
Rumah sebagai kebutuhan primer diartikan sebagai benda tidak bergerak, tetapi
merupakan aset yang bisa membuat orang survive dan hidup nyaman karenanya.
Selain itu, rumah juga dapat dijadikan bisnis dimana yang nantinya bisa dijual
ataupun disewakan kepada orang-orang yang sedang membutuhkan.6
Berdasarkan Sensus Penduduk Indonesia tahun 2010 yang dilakukan oleh
Badan Pusat Statistik (BPS) Indonesia, dalam pemberitahuannya pada bulan
Agustus 2010;
Oleh karena
itu kebutuhan akan rumah serta memperindah rumah semakin meningkat.
Seiring kemajuan teknologi, perkembangan ekonomi, dan pertambahan
manusia itu sendiri, lahan untuk perumahan semakin berkurang. Di sisi lain
kebutuhan akan tempat tinggal semakin bertambah dikarenakan setiap tahunnya
mengalami peningkatan sesuai dengan angka pertumbuhan penduduknya.
Pertumbuhan penduduk yang sangat cepat mengakibatkan kebutuhan tempat
tinggal pun semakin meningkat.
7
“Jumlah penduduk Indonesia berdasarkan hasil sensus adalah sebanyak 237.556.363 (dua ratus tiga puluh tujuh juta lima ratus lima puluh enam
ribu tiga ratus enam puluh tiga) orang, yang terdiri dari 119.507.580
5
Ibid.
6
Roby Agung Kusuma, Modal Kecil, Ingin Bisnis Properti? Baca Buku Ini, (Jogjakarta : FlasBooks, 2014), hal 20.
7
(seratus sembilan belas juta lima ratus tujuh ribu lima ratus delapan puluh) laki-laki dan 118.048.783 (seratus delapan belas juta empat puluh delapan ribu tujuh ratus delapan puluh tiga) perempuan. Dan dengan laju pertumbuhan penduduk Indonesia sebesar 1,49 % (satu koma empat puluh sembilan persen) per tahun”.
Pesatnya pertambahan penduduk Indonesia mengakibatkan besarnya laju
kepadatan penduduk. Hal ini dapat dilihat dari jumlah penduduk yang terus
meningkat dengan lahan yang tetap sehingga menyebabkan selisih perbandingan
yang semakin besar antara jumlah penduduk dan luas lahan.
Pada akhirnya, lahan untuk perumahan makin sulit didapat, serta dapat
dilihat pada kota-kota besar yang sangat padat penduduknya. Merespon hal
tersebut, kebutuhan yang terus meningkat akan properti menjadi peluang bisnis
dan tantangan bagi pengembang (Developer) rumah tinggal untuk menyediakan
perumahan dengan berbagai tipe yang sesuai untuk masyarakat.
Permasalahan yang dihadapi Pemerintah dalam pembangunan perumahan
dan pemukiman sangat komplek seperti yang dikemukakan diatas. Rumah
merupakan kebutuhan pokok yang harus terpenuhi dan tidak hanya menyangkut
pembiayaan, tetapi juga menyangkut penyediaan tanah, teknik pembangunan, tata
guna tanah, nilai-nilai sosial budaya dan sebagainya haruslah berwawasan
lingkungan juga. Penyelenggaraan perumahan dan pemukiman yang dilakukan
pemerintah harus dapat mendorong perilaku hidup sehat dan tertib serta ikut
mendorong kegiatan pembangunan di sektor lain, sehingga pembangunan
ditingkatkan kerja sama antara pemerintah pusat dan daerah, usaha swasta,
koperasi, dan masyarakat luas.8
Asosiasi pengembang Real Estate Indonesia (REI) telah berkerjasama
dengan Universitas Indonesia, menemukan bahwa sektor properti menyumbang
pertumbuhan ekonomi sebesar 28% (dua puluh delapan persen) pada tahun 2013.
Kelihatan bahwa, sektor properti memiliki peran penting terhadap perekonomian
suatu negara yang mesti didukung regulasi yang baik.
Sejalan dengan amanah UUD 1945, Pasal 28 H ayat (1), Pemerintah telah
menetapkan kebijakannya, salah satunya adalah Undang-Undang Nomor 4 Tahun
1992 yang telah diganti dengan Undang-undang Nomor 1 Tahun 2011 Tentang
Perumahan dan Kawasan Pemukiman. Adanya Undang-undang (UU) ini, tentu
memberikan kepastian hukum dalam melindungi masyarakat agar mampu
bertempat tinggal serta menghuni rumah yang layak dan terjangkau didalam
lingkungan yang sehat, aman, harmonis, dan berkelanjutan. Disamping sebagai
tanggung jawab Negara untuk melindungi masyarakatnya, perumahan yang
merupakan salah satu sektor properti memiliki peran penting dalam pertumbuhan
ekonomi.
9
Berdasarkan data REI saat ini, tercatat kurang lebih 45.000.000 (empat
puluh lima juta) rumah berdiri di Indonesia dari 240.000.000 (dua ratus empat
puluh juta) penduduk. Jumlah penduduk yang terus bertambah, maka seharusnya
ada tambahan 1.400.000 (satu juta empat ratus ribu) unit rumah baru per tahun.
8
Andi Hamzah, Dasar-Dasar Hukum Perumahan, (Jakarta : Rineka Cipta, 1990), hal 1.
9
Pertambahan penduduk setiap tahun tentu akan meningkatan kebutuhan terhadap
rumah, dimana rumah sebagai kebutuhan pokok.10
Perkembangan bisnis di sektor properti akan terus berkembang di
Indonesia, hal ini didukung dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) yang menahan
suku bunga acuan / rate pada level 7,50 % (tujuh koma lima puluh persen) dalam
beberapa bulan ini.
Melihat besarnya kebutuhan rumah yang seiring dengan perkembangan
teknologi, ekonomi, dan pertambahan penduduk di Indonesia, makanya
menyebabkan masih besarnya potensi di sektor properti. Apalagi dengan
tingginya konsumsi masyarakat yang menopang pertumbuhan ekonomi.
11
Kebijakan BI menahan suku bunga acuan disebakan karena
perekonomian Indonesia yang semakin membaik dan perkiraan gerak inflasi yang
sesuai dengan target.12 Hal ini tentu membawa dampak positif dimana beberapa
bank di Indonesia memberikan suku bunga pinjaman berkisar 10% (sepuluh
persen) – 13% (tiga belas persen), dan masih ada bank yang masih memberikan
suku bunga di bawah 10% (sepuluh persen).13
Secara sederhana, bisnis properti dapat diartikan sejenis usaha atau
industri yang bergerak di bidang pembangunan, dalam hal ini berupa pemanfaatan
tanah, rumah, gedung, apartemen, dan lain sebagainya, yang dapat menghasilkan
10
DetikFinance, Jumlah Rumah di RI Hanya 45 Juta Unit, Butuh 1,4 Juta Hunian
Baru/Tahun,
tanggal 7 September 2014 pukul 12.00 WIB.
11
Bank Indonesia, Data BI Rate,
12
Liputan6,BI Rate Betah di 7,5% Selama 11 Bulan,
tanggal 15 September 2014 pukul 01.00 WIB.
13
Seputar Forex, Suku Bunga Kredit Dan Pinjaman, Data : Juli 2014,
keuntungan. Sementara, properti sendiri didefinisikan sebagai tanah milik dan
bangunan. Menurut Michael C. Thomsett dan Jean Freestone Thomsett;14
Berbicara mengenai sektor properti, satu bidang yang tidak dapat
dipisahkan darinya adalah keberadaan penyedia jasa konsultasi properti yang
biasa disebut sebagai agen properti. Keberadaan agen properti memang bukan
tanpa sebab. Hal itu sejalan dengan sikap manusia yang selalu menginginkan
sesuatu yang serba cepat dan sesuai dengan keinginan. Terkait dengan
perkembangan di sektor properti, tentunya merupakan peluang bagi para agen
properti. Ketika kebanyakan orang tidak memiliki waktu yang cukup untuk
mencari, melakukan survei, dan bernegoisasi dalam rangka mencari properti yang
mereka butuhkan, para agen properti berada di garis depan untuk bisa memenuhi
kebutuhan mereka dalam mendapatkan unit properti yang mereka butuhkan atau
inginkan.
“Pasar properti secara umum dikelompokkan menjadi tiga macam.
Pertama, residential property, meliputi apartemen, flat, perumahan, dan
bangunan multiunit. Kedua, commercial property, yaitu properti yang
dibangun atau dirancang untuk tujuan bisnis, seperti gedung yang
diperuntukkan meyimpan barang dan parkir area. Ketiga, industrial
property, yaitu properti yang dirancang untuk keperluan industri, seperti
bangunan-bangunan pabrik dan lain sebagainya”.
15
Agen properti berperan sebagai pedagang perantara. Ia mempertemukan
penjual dan pembeli untuk mempercepat dan membantu kelancaran proses
negosiasi. Agen properti menjual informasi tentang apa yang dibutuhkan pembeli
dan penjual. Sebagai agen properti profesional, mereka harus bertindak demi
14
Michael C. Thomsett dan Jean Freestone Thomsett, Getting Started in Real Estate Investing, Roby Agung Kusuma, Op.cit.,hal 18.
15
kepentingan penjual dan pembeli, bertindak sebagai problem solver, dan
memberikan win-win solution bila terjadi ketidaksepahaman antara penjual dan
pembeli. Seorang agen properti tidak boleh bertindak atas kepentingan dan
keuntungan pribadi semata. Dari jasa yang diberikannya ini, ia memperoleh
komisi atau fee dari hasil transaksi unit properti tadi.16
16
Ibid., hal viii.
Jadi pada prinsipnya, cara kerja agen adalah sebagai perantara, mediator,
serta fasilitator. Sebagai seorang perantara, agen menjembatani atau menjadi
mediator dan fasilitator bagi bertemunya penjual dan pembeli atau kedua-duanya
dalam satu transaksi yang saling membutuhkan. Agen sendiri menjadi fasilitator
atas pertemuan tersebut dan mendapatkan komisi dari hasil perantaraanya itu,
apakah dari pembeli atau penjual, tergantung dari posisinya saat melakukan
perjanjian.
Selain itu, agen properti juga merupakan peluang bisnis yang amat
menekankan pada aspek kepercayaan. Berlandaskan aspek kepercayaan, mereka
menghubungkan pembeli dan penjual. Unsur kepercayaan inilah yag menjadi
kunci terlaksananya hubungan agen properti dan penjual maupun pembeli.
Adanya unsur kepercayaan terlebih dahulu antara para pihak, dilanjutkan dengan
menjalin hubungan berbentuk perjanjian baik tertulis maupun tidak tertulis,
dimana perjanjian ini menjadi alas hukum yang berlaku bagi para pihak.
Masyarakat mempunyai banyak kepentingan yang semuanya dapat dipenuhi
Buku III tentang Perikatan Burgerlijk Wetboek (BW) atau Kitab
Undang-Undang Hukum Perdata diatur mengenai hukum perjanjian. Pengertian perjanjian
sebagaimana diatur dalam pasal 1313 KUH Perdata, bahwa perjanjian atau
persetujuan adalah “suatu perbuatan hukum ketika seorang atau lebih
meningkatkan dirinya terhadap seorang atau lebih”. Perjanjian juga dapat
diartikan suatu peristiwa ketika seorang berjanji kepada seorang lain, atau ketika
dua orang saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu.
Sistem terbuka sebagaimana dianut oleh hukum perjanjian mempunyai
motif dan tujuan, di mana memberikan kesempatan kepada semua orang yang
cakap (Vide pasal 1320 KUH Perdata) untuk mengadakan atau membuat
perjanjian mengenai apa saja, maksudnya baik mengenai perjanjian yang sudah
diatur dalam ketentuan undang-undang (KUH Perdata atau KUH Dagang), dan
ketentuan-ketentuan lain yang lebih khusus, bahkan boleh juga mengadakan
perjanjian-perjanjian jenis baru yang sama sekali belum diatur atau belum dikenal
di dalam undang-undang seperti antara lain perjanjian sewa beli, arisan, termasuk
juga perjanjian agen properti dan lain sebagainya.17
17
A Qirom Syamsudin Meilala, Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta Perkembanganya, (Yogyakarta : Liberty,1985), hal 1.
Sifat peraturan hukum perjanjian yang memberikan kesempatan kepada
setiap orang untuk mengadakan perjanjian apa saja, sejauh itu tidak bertentangan
dengan undang-undang sebagaimana disebutkan dalam pasal 1337 KUH Perdata,
yang mengatakan “Suatu sebab terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang
Perjanjian yang baik antara agen properti dan penjual/pembeli rumah pada
umumnya dilakukan secara tertulis untuk memberikan kepastian hukum kepada
para pihak. Perjanjian agen pemasaran properti yang tidak bergerak sendiri
(berkantor) memiliki perbedaan dalam menjalin hubungan dengan
penjual/pembeli rumah, dimana perjanjian yang disepakati sudah berbentuk
kontrak baku yang dirancang oleh perusahaan agen pemasaran tersebut. Hal ini
menunjukkan profesionalitas dalam bekerja, karena adanya perencanaan yang
jelas sebelumnya serta tenggat waktu. Selain itu, komisi atau fee juga sudah
ditentukan sejak awal sesuai dengan peraturan yang berlaku sehingga tidak dapat
berlaku sekehendak hati.
Adanya kontrak baku yang sudah ditentukan satu pihak, maka timbul
persoalan dimana penjual/pembeli rumah terdapat kemungkinan tidak memahami
secara utuh kontrak tersebut. Hal ini disebabkan pihak penjual/pembeli tidak
dilibatkan dalam pembuatan kontrak tersebut, sehingga dalam pelaksanaan hak
dan kewajiban belum tentu sesuai dengan keinginan pihak penjual/pembeli rumah.
Pelaksanaan perjanjian antara agen pemasaran dan penjual rumah yang
tertuang dalam kontrak baku tidak jarang menimbulkan permasalahan, dimana
dalam perjanjian yang tertuang, penjual rumah memberikan hak eksklusif dan
hanya terikat pada satu pihak agen pemasaran saja. Keterikatan pemasaran
properti milik penjual dengan satu pihak saja memiliki konsekwensi, dimana
pihak penjual tidak memiliki kebebasan untuk menjalin kerjasama dengan pihak
lain. Hal ini memperlihatkan pihak penjual tidak diuntungkan dalam segi waktu,
berhasil terjual atau disewa oleh agen properti tersebut, penjual harus membuat
perjanjian baru atau mencari agen pemasaran yang lain.
Selain hak eksklusif pada komisi atau fee, agen properti diberikan
beberapa hak serta kewenangan atas properti penjual. Sehingga timbul pertanyaan,
apakah agen properti dalam pelaksanaan kewajibannya memiliki tanggung jawab
atas properti penjual. Seperti adanya kehilangan barang-barang dalam rumah
penjual atau terjadi perampokan, dimana agen merupakan salah satu pihak yang
memiliki hak atau akses memasuki properti tersebut.
Selain itu, sebelum terjadinya transaksi jual-beli atau sewa-menyewa,
adanya kemungkinan pembeli/penyewa memberi uang muka (DP) sebelum
transaksi terjadi. Hal ini dimungkinkan karena pembeli atau penyewa belum
memiliki dana yang cukup pada saat itu, sehingga pembayarannya ditangguhkan.
Penerimaan DP dari pembeli/penyewa kepada pemilik rumah/tanah menimbulkan
perikatan antara pemilik properti dan pembeli/penyewa, dimana pemilik properti
tersebut tidak boleh mengalihkan propertinya kepada pihak lain dalam jangka
waktu yang ditentukan dan dengan adanya DP memberikan kepastian kepada
pemilik properti. Apabila pembeli/penyewa membatalkan transaksinya maka DP
yang telah dibayarkan menjadi hangus atau hak pemilik properti.
Penggunaan jasa agen pemasaran properti, perjanjian pada umumnya agen
properti memiliki wewenang untuk menerima pembayaran DP dari
Pembeli/Penyewa dan menyimpannya dalam rekening giro khusus Perusahaan
pihak agen properti. Sehingga timbul pertanyaan, siapa yang berhak memiliki DP
Beberapa pertanyaan dan permasalahan inilah yang menjadi latar belakang
penelitian yang menarik untuk diteliti dan dibahas. Adanya kelemahan-kelemahan
didalam perjanjian antara agen pemasaran properti dan pemilik rumah/tanah,
memberikan ide untuk membuat penelitian dengan judul “Hukum Perjanjian
Antara Agen Pemasaran Perusahaan Properti One dan Pemilik Rumah/Tanah.
Maka dalam hal ini akan diambil suatu permasalahan yang berkaitan dengan
penelitian ini.
B. RUMUSAN MASALAH
Permasalahan adalah merupakan kenyataan yang dihadapi dan harus
diselesaikan oleh penulis dalam penelitiannya. Adanya rumusan masalah maka
akan dapat ditelaah secara maksimal ruang lingkup penelitian sehingga tidak
mengarah pada hal-hal diluar permasalahan.
Adapun permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini adalah
1. Bagaimana pengaturan hubungan hukum yang terjadi antara Agen
Pemasaran Properti dan Pemilik Rumah/Tanah?
2. Apa saja kelemahan dan masalah yang terdapat dalam perjanjian antara
Agen Pemasaran Properti Perusahaan Property One dan Pemilik
Rumah/Tanah?
3. Bagaimana penyelesaian masalah yang dilakukan Perusahaan Property
One sebagai perantara jika terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan
C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN
1. Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini yang berjudul “Hukum Perjanjian
Antara Agen Pemasaran Perusahaan Properti One dan Pemilik
Rumah/Tanah adalah sebagai pemenuhan tugas akhir untuk memperoleh
gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.
Selain itu berdasarkan perumusan masalah yang telah dikemukakan diatas,
maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian skripsi ini adalah :
a. Untuk mengetahui hubungan-hubungan hukum apa saja yang
terjadi antara agen pemasaran perusahaan properti dan pemilik
rumah/tanah.
b. Untuk mengetahui permasalahan dan kelemahan perjanjian agen
properti dengan pemilik rumah/tanah dalam pelaksanannya.
c. Untuk mengetahui penyelesaian masalah yang dilakukan
Perusahaan Property One Kota Medan apabila terjadi wanprestasi
dalam pelaksanaan perjanjian dengan pemilik rumah/tanah.
2. Manfaat Penelitian
a. Dari segi teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi pembangunan Ilmu
Pengetahuan dalam bidang hukum, khususnya hukum yang
menyangkut perjanjian yang dilakukan Agen Pemasaran
informasi dan pemahaman yang mendalam dalam pelaksanaan
bisnis agen pemasaran properti.
b. Dari segi praktis
1) Dapat dijadikan pedoman dan bahan rujukan bagi rekan
mahasiswa, masyarakat, pelaku bisnis maupun praktisi
hukum dalam menambah pengetahuan tentang proses
perjanjian antara Agen Pemasaran Perusahaan Property
One dan pemilik Rumah/Tanah.
2) Dapat memberikan tambahan tentang bagaimana membuat
perjanjian yang baik.18
D. KEASLIAN PENULISAN
Adapun judul tulisan ini adalah “Hukum Perjanjian Antara Agen
Pemasaran Perusahaan Properti One dan Pemilik Rumah/Tanah”. Berdasarkan
pemeriksaan dan hasil yang ada, penelitian ini belum pernah dilakukan penelitian
sebelumnya yang meninjau dari aspek hukum perjanjian secara menyeluruh antara
agen properti dan pemilik rumah/tanah, tetapi adanya judul skripsi lainnya yang
berkaitan dengan penelitian ini dengan judul “Tinjauan Yuridis terhadap
Perjanjian Komisi pada Bisnis Broker Property dan Akibat Hukumnya”. Proses
pembuatan dalam skripsi ini tentunya penulis membuat sudut pembahasan yang
berbeda dari judul skripsi yang memiliki kaitannya dengan penelitian ini serta
memulainya dengan mengumpulkan bahan-bahan yang berkaitan dengan Agen
18
Properti dan Hukum Perjanjian mulai dari buku-buku, literatur sampai dengan
bahan yang diperoleh dari hasil penelitian. Oleh sebab itu penulisan skripsi ini
didasarkan pemikiran diri sendiri, serta keaslian skripsi ini dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah.
E. METODE PENELITIAN
Penelitian hukum pada dasarnya merupakan seuatu kegiatan ilmiah yang
didasarkan pada metode, sistematika, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan
untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan
menganalisisnya, kecuali itu, maka juga diadakan pemeriksaan yang mendalam
terhadap fakta hukum tersebut untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan
atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala bersangkutan.19
1. Jenis penelitian
Agar penulisan skripsi ini dapat dilakukan secara sederhana dan terarah
sehingga dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah maka metode penulisan
yang digunakan dalam penulisan skripsi ini antara lain:
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis
normatif dan yuridis empiris. Jenis penelitian yuridis normatif merupakan
pendekatan yang dilakukan atau ditujukan hanya pada peraturan-peraturan
yang tertulis atau bahan-bahan hukum yang lain. Penelitian dengan
yuridis normatif secara garis besar ditujukan kepada penelitian terhadap
19
asas-asas hukum, sistematika hukum, dan taraf sinkronisasi hukum.20
Jenis penelitian yuridis normatif mengacu kepada norma-norma hukum
yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan-putusan
pengadilan serta norma-norma hukum yang ada dalam masyarakat. Selain
itu, juga melihat sinkronisasi suatu aturan dengan aturan lainnya secara
hierarki. Sedangkan jenis penelitian yuridis empiris adalah penelitian
dengan melihat suatu kenyataan hukum di dalam masyarakat.21
2. Sifat Penelitian
Penelitian
yuridis empiris dapat direalisasikan kepada penelitian terhadap efektivitas
hukum yang sedang berlaku ataupun penelitian terhadap indentifikasi
hukum.
Penelitian ini bersifat deskriptif analistis, yang mengungkapkan peraturan
perundang-undangan yang berkaitan dengan teori-teori hukum yang
menjadi objek penelitian.22 Penelitian Deskriptif adalah penelitian yang
bertujuan untuk melukiskan tentang sesuatu hal di daerah tertentu dan
pada saat tertentu. Sebelum penelitian ini dilaksanakan, harus terlebih
dahulu mempunyai gambaran yang berupa data awal tentang
permasalahan yang akan diteliti.23 Demikian juga hukum dalam
pelaksanaannya di dalam masyarakat yang berkenaan objek penelitian.
20
Bambang Waluyo, Penelitian Hukum Dalam Praktek, (Jakarta : Sinar Grafika, 1996), hal 13.
21
Zainuddin, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hal 105.
22
Ibid.
23
3. Sumber Data
Sumber yang digunakan dalam penelitian ini adalah data primer dan data
sekunder. Data primer merupakan data yang didapat langsung dari
masyarakat sebagai sumber pertama dengan melalui penelitian
lapangan24, seperti melalui wawancara, observasi maupun laporan dalam
bentuk dokumen tidak resmi. Sedangkan data sekunder sekunder
merupakan data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku
yang berhubungan dengan objek penelitian, hasil penelitian dalam bentuk
laporan, skripsi, tesis, disertasi, dan peraturan perundang-undangan. Data
sekunder tersebut, dapat dibagi menjadi :25
a. Bahan Hukum Primer
Bahan-bahan hukum yang mengikat terdiri dari peraturan
perundang-undangan yang terkait dengan objek penelitian, seperti
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan
Kawasan Pemukiman dan lain sebagainya.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah buku-buku, jurnal, tulisan-tulisan
ilmiah hukum, yang terkait dengan objek penelitian ini.
c. Bahan Hukum Tertier
Bahan Hukum tertier adalah petunjuk atau penjelasan mengenai
bahan hukum primer atau bahan hukum sekunder yang berasal
dari kamus, ensiklopedia, majalah, surat kabar, dan sebagainya.
24
Ibid, hal 16.
25
4. Metode Pengumpulan Data
a. Metode Penelitian Library Research
Metode yang digunakan adalah dengan cara memperoleh data
tersedia di perpustakaan yang pernah ditulis sebelumnya di mana
ada hubungannya dengan masalah yang ingin dipecahkan.26
b. Metode Penelitian Lapangan
Metode Penelitian Lapangan yang dilakukan adalah dengan
melakukan wawancara. Wawancara merupakan cara yang
digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna
mencapai tujuan tertentu, dan tujuan ini dapat
bermacam-macam.27
5. Metode Analisis Data
Penelitian ini melakukan wawancara dengan agen
pemasaran properti serta pemilik Perusahaan Property One secara
langsung guna mendapatkan informasi yang dibutuhkan.
Berdasarkan sifat penelitian ini yang menggunakan metode penelitian
bersifat deskriptif analistis, analisis data yang dipergunakan adalah
analisis data kualitatif. Dimana dapat dilakukan anlisis kualitatif
apabila:28
a. Data yang terkumpul tidak berupa angka-angka yang dapat
dilakukan pengukuran.
b. Data tersebut sukar diukur dengan angka.
c. Hubungan antar variabel tidak jelas.
26
Bambang Sunggono, Op.cit., hal 52.
27
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1996), hal 95.
28
d. Sampel lebih bersifat non probabilitas.
e. Pengumpulan data menggunakan pedoman wawancara dan
pengamatan.
f. Penggunaan-penggunaan teori kurang diperlukan.
F. SISTEMATIKA PENULISAN
Skripsi ini diuraikan dalam 5 bab, dan tiap-tiap bab terbagi atas beberapa
sub-sub bab. Adapun sistematika penulisan yang akan penulis paparkan disini
adalah :
Bab I Pendahuluan, menguraikan tentang alasan untuk memilih judul
tersebut. Kemudian dikemukakan juga tujuan dan manfaat pembahasan apa yang
menjadi permasalahan, diikuti dengan metode penelitian dan pengumpulan data
serta ruang lingkup yang merupakan sistematika penulisan.
Bab II Hukum Perjanjian Secara Umum, membahas tentang Tinjauan
umum perihal perjanjian, seperti pengertian perjanjian, asas-asas perjanjian, dan
sebaginya, kemudian diterangkan tinjauan mengenai perjanjian baku.
Bab III Tinjauan Tentang Bisnis Agen Pemasaran Properti, diuraikan
memaparkan pengenalan seorang agen/makelar/broker, dan ha-hal pokok yang
terdapat pada seorang agen properti.
Bab IV Hukum Perjanjian antara Agen Perusahaan Property One dan
Pemilik Rumah/Tanah, dikemukakan mengenai pengaturan hubungan hukum
yang terjadi antara para pihak, kelemahan yang terdapat dalam perjanjian antara
serta penyelesaian masalah yang dilakukan Perusahaan Property one sebagai
perantara jika terjadi wanprestasi dalam pelaksanaan perjanjian antara pemilik
rumah/tanah.
Bab V Kesimpulan dan Saran, kesimpulan dari skripsi dan beberapa saran
BAB II
HUKUM PERJANJIAN SECARA UMUM
A. Tinjauan Umum Perihal Perjanjian
1. Pengertian Perjanjian
Buku III Kitab Undanng-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)
mengatur tentang perikatan (verbintenissenrecht), di mana tercakup pula
istilah perjanjian (overeenkomst). Dikenal tiga terjemahan dari verbintenis,
yaitu perikatan, perutangan, dan perjanjian, sedangkan overeenkomst
terdapat dua terjemahan, yaitu perjanjian dan persetujuan.29
Secara garis besar perjanjian dapat di bedakan menjadi dua,
yaitu:
Jadi, istilah
perjanjian merupakan terjemahan dari kata verbintenis, overeenkomst
(Belanda) atau contract (Inggris).
30
a. Perjanjian dalam arti luas, adalah setiap perjanjian yang
menimbulkan akibat hukum sebagaimana yang telah dikehendaki oleh para pihak, misalnya perjanjian tidak bernama atau perjanjian jenis baru.
b. Perjanjian dalam arti sempit, adalah hubungan-hubungan hukum
dalam lapangan harta kekayaan seperti yang dimaksud dalam Buku III KUH Perdata. Misalnya, perjanjian bernama.
Perjanjian mengandung pengertian “sebagai suatu hubungan
hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi
29
Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, (Yogyakarta : Pustaka Yustisia, 2009), hal 41
30
kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus
mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.31
Pengertian singkat di atas dapat disimpulkan beberapa unsur yang
memberi wujud pengertian perjanjian, antara lain hubungan hukum
(rechtbetrekking) yang menyangkut hukum kekayaan antara dua orang
(persoon) atau lebih, yang memberi hak pada satu pihak dan kewajiban
pada pihak lain tentang suatu prestasi.32
Rumusan Pasal 1233 KUH Perdata menyatakan bahwa di luar
perjanjian dan karena hal-hal yang ditetapkan oleh undang-undang tidak
ada perikatan. Perikatan melahirkan hak dan kewajiban dalam lapangan
hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat perjanjian. Hal ini
menunjukkan perjanjian juga akan melahirkan hak dan kewajiban dalam
lapangan hukum harta kekayaan bagi pihak-pihak yang membuat
perjanjian. Para pihak secara sukarela mengikatkan diri untuk
menyerahkan sesuatu, berbuat sesuatu atau untuk tidak berbuat sesuatu
guna kepentingan dan keuntungan dari pihak terhadap siapa ia telah
berjanji atau mengikatkan diri, dengan jaminan atau tanggungan berupa
harta kekayaan yang dimiliki dan akan dimiliki oleh pihak yang membuat Eksistensi perjanjian sebagai salah satu sumber perikatan dapat
ditemui landasannya pada ketentuan Pasal 1233 KUH Perdata yang
menyatakan bahwa; “Tiap-tiap perikatan dilahirkan, baik karena perjanjian
baik karena undang-undang”.
31
M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, (Bandung : Alumni, 1986), hal 6.
perjanjian atau yang telah mengikatkan diri tersebut. Sifat sukarela dari
perjanjian harus lahir dari kehendak dan harus dilaksanakan sesuai dengan
maksud dari pihak yang membuat perjanjian.33
Kaitan hukum harta kekayaan dalam perjanjian dimaksudkan untuk
membatasi bahwa perjanjian yang dimaksudkan adalah perjanjian yang
berkaitan dengan harta kekayaan seseorang sebagaimana dijamin dengan
ketentuan Pasal 1131 KUH Perdata yang berbunyi, “Segala kebendaan
milik debitor, baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang
sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari, menjadi
tanggungan untuk segala perikatannya perseorangan”. Pengertian tersebut
menunjukkan tidak meliputi perjanjian sebagaimana diatur dalam Buku I
tentang Orang dan Keluarga KUH Perdata mengenai perjanjian kawin.
Pernyataan sukarela menunjukkan bahwa perikatan yang
bersumber dari perjanjian tidak mungkin terjadi tanpa dikehendaki oleh
para pihak yang terlibat atau membuat perjanjian tersebut. Hal ini berbeda
dari perikatan yang lahir dari undang-undang, yang menerbitkan
kewajiban bagi salah satu pihak dalam perikatan tersebut, meskipun
sesungguhnya para pihak tidak menghendakinya.
34
Pengertian perjanjian menurut KUH Perdata terdapat dalam Pasal
1313 KUH Perdata berbunyi: “Perjanjian adalah suatu perbuatan dengan
mana satu pihak atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau
33
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2003), hal 2. (Selanjutnya disebut Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja-I)
34
lebih.” Unsur-unsur perjanjian yang dapat di lihat menurut pasal ini bahwa
suatu perjanjian adalah :
a. Suatu perbuatan;
b. Antara sekurangnya dua orang (dapat lebih dari dua orang)
c. Perbuatan tersebut melahirkan perikatan di antara puhak-pihak
yang berjanji tersebut.
Sehingga definisi perjanjian dalam Pasal 1313 ini adalah :35
a. Tidak jelas, karena setiap perbuatan dapat disebut perjanjian
b. Tidak tampak asas konsensualisme
c. Bersifat dualisme.
Tidak jelasnya definisi ini disebabkan di dalam rumusan tersebut
hanya disebutkan perbuatan saja, sehingga yang bukan perbuatan hukum
pun disebut dengan perjanjian.
Ada dua macam teori yang membahas tentang pengertian
perjanjian : teori lama dan teori baru. Menurut doktrin (teori lama), yang
disebut perjanjian adalah “perbuatan hukum berdasarkan kata sepakat
untuk menimbulkan akibat hukum”. Definisi di atas, telah tampak adanya
asas konsensualisme dan timbulnya akibat hukum (tumbuh/lenyapnya hak
dan kewajiban).36
Menurut teori baru yang dikemukakan oleh Van Dunne, yang
diartikan dengan perjanjian, adalah : “Suatu hubungan hukum antara dua
35
Salim HS, Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta : Sinar Grafika, 2002), hal 160. (Selanjutnya disebut Salim HS-III)
36
pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat
hukum.”37
Teori baru tersebut tidak hanya melihat perjanjian semata-mata,
tetapi juga harus dilihat perbuatan-perbuatan sebelumnya atau yang
mendahuluinya. Ada tiga tahap dalam membuat perjanjian menurut teori
baru, yaitu:38
a. Tahap prakontractual, yaitu adanya penawaran dan penerimaan;
b. Tahap kontractual, yaitu adanya persesuaian pernyataan kehendak
antara para pihak;
c. Tahap post kontractual, yaitu pelaksanaan perjanjian.
Unsur-unsur perjanjian menurut teori lama, yaitu:39
a. Adanya perbuatan hukum;
b. Persesuaian pernyataan kehendak dari beberapa orang
c. Persesuaian kehendak ini harus dipublikasikan dinyatakan;
d. Perbuatan hukum itu terjadi karena kerja sama antara dua orang
atau lebih;
e. Pernyataan kehendak (wilsverklaring) yang sesuai itu harus saling
bergantung satu sama lain;
f. Kehendak itu ditujukan untuk menimbulkan akibat hukum;
g. Akibat hukum itu untuk kepentingan yang satu atas beban yang
lain atau timbal balik;
h. Persesuaian kehendak itu harus dengan mengingat peraturan
perundang-undangan.
2. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian
Pihak-pihak dalam perjanjian diatur secara sporadis di dalam KUH
Perdata, yaitu Pasal 1315, Pasal 1340, Pasal 1317, Pasal 1318. Mengingat
37
Van Dunne, Wanprestasi dan Keadaan Memaksa, Ganti Kerugian, Ibid.
38 Ibid. 39
bahwa hukum harus dipelajari sebagai satu sistem, maka penting untuk
mencari kaitan diantara pasal-pasal tersebut.40
Pengertian subjek perjanjian adalah pihak-pihak yang terikat
dengan diadakannya suatu perjanjian.41
Kreditur dan debitur inilah yang menjadi subjek perjanjian.
Kreditur mempuyai hak atas prestasi dan debitur wajib memenuhi
pelaksanaan prestasi. Beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang
debitur atau sebaliknya, tidak mengurangi sahnya perjanjian. Jika pada
mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya
seorang kreditur saja berhadapan dengan debitur, juga tidak mengurangi
nilai sahnya perjanjian.
Pihak-pihak yang terikat dalam
perjanjian sekurang-kurangnya harus ada dua orang tertentu.
Masing-masing orang itu menduduki tempat yang berbeda. Satu orang menjadi
pihak kreditur, dan yang seorang lagi sebagai pihak debitur.
42
a. Para pihak yang mengadakan perjanjian itu sendiri;
KUH Perdata membedakan tiga golongan yang
tersangkut pada perjanjian yaitu :
b. Para ahli waris mereka dan mereka yang mendapat hak dari
padanya;
c. Pihak ketiga.
Ketiga golongan ini pada awalnya dapat kita lihat dalam Pasal
1315 KUH Perdata yang menyatakan; “Pada umumnya tak dapat
40
Mariam Darus Badrulzaman, Kompilasi Hukum Perjanjian, Dalam Rangka Memperingati Memasuki Masa Purna Bakti Usia 70 Tahun, (Bandung : Citra Aditya Bakti, 2001), hal 69. (Selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman-I)
41
Ibid., hal 70.
42
mengikatkan perjanjian diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkan
suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”. Kemudian Pasal 1340 KUH
Perdata disebutkan:
“Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang
membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada
pihak-pihak ke tiga; tak dapat pihak-pihak-pihak-pihak ke tiga mendapat manfaat karenanya,
selain dalam hal yang diatur dalam pasal 1317”.
Pasal 1317 KUH Perdata, yang menyatakan;
“Lagi pun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji: yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak ketiga tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya”.
Pasal 1318;
“Jika seorang minta diperjanjikan sesuatu hal, maka dianggap bahwa itu
adalah untuk ahli waris-ahli warisnya dan orang-orang, yang memperoleh
hak daripadanya, kecuali jika dengan tegas ditetapkan atau dapat
disimpulkan dari sifat persetujuan tidak sedemikian maksudya”.
Pada asasnya suatu perjanjian berlaku bagi pihak yang
mengadakan perjanjian itu sendiri. Asas ini merupakan asas pribadi (Pasal
1315 jo. 1340 KUH Perdata). Para pihak tidak dapat mengadakan
janji guna pihak ketiga (beding ten behoeve van derden) Pasal 1317 KUH
Perdata.43
Apabila seseorang membuat sesuatu perjanjian, maka orang itu
dianggap mengadakan perjanjian bagi ahli warisnya dan orang-orang yang
memperoleh hak daripadanya (Pasal 1318 KUH Perdata). Beralihnya hak
kepada ahli waris tersebut adalah akibat peralihan dengan alas hak umum
(onder algemene titel) yang terjadi pada ahli warisnya. Beralihnya
perjanjian kepada orang-orang yang memperoleh hak berdasarkan atas
alas-alas hak khusus (onder bijzondere titel), misalnya menggantikan
pembeli, mendapatkan haknya sebagai pemilik. Hak yang terikat kepada
suatu kualitas itu dinamakan hak kualitatif.44
Menurut Pasal 1340 ayat 2 KUH Perdata, persetujuan-persetujuan
tidak dapat membawa rugi kepada pihak ketiga, tidak dapat pihak ketiga,
mendapat manfaat karenanya, selain dari yang diatur dalam pasal 1317
KUH Perdata. Oleh karena itu, asas seseorang tidak dapat mengikat diri
selain atas nama sendiri mempunyai suatu kekecualian, yaitu dalam bentuk
yang dinamakan janji untuk pihak ketiga (derden beding). Pasal 1317
KUH Perdata menyebutkan bahwa lagipun diperbolehkan juga untuk
meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga,
apabila suatu penetapan janji yang dibuat oleh seorang untuk dirinya
sendiri atau, suatu pemberian yang dilakukannya pada seorang lain
memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan
43
Mariam Darus Badrulzaman-I, Op.cit., hal 71.
44
sesuatu seperti itu tidak boleh menariknya kembali apabila pihak ketiga
tersebut telah menyatakan kehendaknya atau kemauan untuk
mempergunakannya.
Ketentuan ini dapat disimpulkan bahwa janji untuk pihak ketiga itu
merupakan suatu penawaran (offerte) yang dilakukan oleh pihak yang
meminta diperjanjikan hak (stipulator) kepada mitranya (promissor) agar
melakukan prestasi kepada pihak ketiga. Stipulator tadi tidak dapat
menarik kembali perjanjian itu apabila pihak ketiga telah menyatakan
kehendaknya menerima perjanjian itu.45
3. Syarat Sahnya Perjanjian
Syarat sahnya perjanjian dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 1320
KUH Perdata yang berbunyi;
“Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat :
a. Sepakat mereka yag mengikatkan dirinya,
b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan,
c. Suatu hal tertentu,
d. Suatu sebab yang halal.”
Empat unsur tersebut dalam doktrin ilmu hukum yang
berkembang, digolongkan ke dalam :46
a. Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak) yang
mengadakan perjanjian (unsur subyektif), dan
b. Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung dengan
obyek perjanjian (unsur obyektif).
45
Ibid.
46
Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan secara bebas
dari para pihak yang berjanji, dan kecakapan dari pihak-pihak yang
melaksanakan perjanjian. Sedangkan unsur obyektif meliputi keberadaan
dari pokok persoalan yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan
causa dari obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk dilaksanakan
tersebut haruslah sesuatu yang tidak dilarang atau diperkenankan menurut
hukum. Tidak terpenuhinya salah satu unsur dari ke empat unsur tersebut
menyebabkan cacat dalam perjanjian, dan perjanjian tersebut diancam
dengan kebatalan, baik dalam bentuk dapat dibatalkan (jika terdapat
pelanggaran terhadap unsur subyektif), maupun batal demi hukum (dalam
hal tidak terpenuhinya unsur obyektif), dengan pengertian bahwa perikatan
yang lahir dari perjanjian tersebut tidak dapat dipaksakan pelaksanaannya.
a. Sepakat (Toestemming)
Sepakat merupakan Kesesuaian, kecocokan, pertemuan
kehendak dari yang mengadakan perjanjian atau pernyataan
kehendak yang disetujui antara pihak-pihak. Unsur kesepakatan
yaitu;47
1) Offerte (penawaran) adalah pernyataan pihak yang
menawarkan.
2) Acceptasi (penerimaan) adalah pernyataan pihak yang
menerima penawaran.
47
Jadi kesepakatan itu penting diketahui karena merupakan
awal terjadinya perjanjian. Untuk mengetahui kesepakatan itu
terjadi ada beberapa macam teori/ajaran, yaitu :48
1) Teori Pernyataan, mengajarkan bahwa sepakat terjadi saat
kehendak pihak yang menerima tawaran menyatakan bahwa ia
menerima penawaran itu, misalnya saat menjatuhkan bolpoin
untuk menyatakan menerima. Kelemahannya sangat teoritis
karena dianggap terjadinya kesepakatan secara otomatis
2) Teori Pengiriman, mengajarkan bahwa sepakat terjadi pada saat
kehendak yang dinyatakan itu dikirim oleh pihak yang
menerima tawaran. Kelemahannya adalah bagaimana hal
tersebut bisa diketahui. Sebab, bisa saja walaupun sudah
dikirim tetapi tidak diketahui oleh pihak yang menawarkan.
3) Teori Pengetahuan, mengajarkan bahwa pihak yang
menawarkan seharusnya sudah mengetahui bahwa tawarannya
diterima (walaupun penerimaan itu belum diterimanya dan
tidak diketahui secara langsung). Kelemahannya, bagaimana ia
bisa mengetahui isi penerimaan itu apabila ia belum
menerimanya.
4) Teori Penerimaan, mengajarkan kesepakatan terjadi pada saat
pihak yang menawarkan menerima langsung jawaban dari
pihak lawan.
48
Kata sepakat harus diberikan secara bebas, dalam arti tidak
ada paksaan, penipuan, dan kekhilafan. Suatu perjanjian dapat
dibatalkan, apabila terjadi ketiga hal tersebut, sebagaimana
ditentukan Pasal 1321 KUH Perdata yang berbunyi: “Tiada suatu
perjanjian pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena
kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan”.
Kesepakatan dalam perjanjian merupakan perwujudan dari
kehendak dua atau lebih pihak dalam perjanjian mengenai apa
yang mereka kehendaki untuk dilaksanakan, bagaimana cara
melaksanakannya, kapan harus dilaksanakan, dan siapa yang harus
melaksanakan. Pada dasarnya sebelum para pihak sampai pada
kesepakatan mengenai hal-hal tersebut, maka salah satu atau lebih
pihak dalam perjanjian tersebut akan menyampaikan terlebih
dahulu suatu bentuk pernyataan mengenai apa yang dikehendaki
oleh pihak tersebut dengan segala macam persyaratan yang
mungkin dan diperkenankan oleh hukum untuk disepakati oleh
para pihak. Pernyataan tersebut dikenal dengan nama penawaran.49
Jadi penawaran itu berisikan kehendak dari salah satu atau
lebih pihak dalam perjanjian, yang disampaikan kepada lawan
pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya
tersebut. Pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran,
selanjutnya harus menentukan apakah ia akan menerima
49
penawaran yang disampaikan oleh pihak yang melakukan
penawaran tersebut. Apabila pihak lawan dari pihak yang
melakukan penawaran menerima penawaran yang diberikan, maka
tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak lawan dari
pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran
yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran
balik, yang memuat ketentuan-ketentuan yang dianggap dapat
dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat
dilaksanakan dan diterima olehnya.50
Hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai.
Keadaan tawar menawar ini akan terus berlanjut hingga pada
akhirnya kedua belah pihak mencapai kesepakatan mengenai
hal-hal yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh para pihak dalam
perjanjian tersebut. Saat penerimaan yang paling akhir dari
serangkaian penawaran atau bahkan tawar-menawar yang
disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah saat
tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian
konsensuil, di mana kesepakatan dianggap terjadi pada saat
penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir.51
b. Kecakapan
Setiap manusia baik warga negara maupun orang asing
adalah pembawa hak (subjek hukum) yang memiliki hak dan
50
Ibid., hal 96
51
kewajiban untuk melakukan perbuatan hukum. Meskipun setiap
subjek hukum mempunyai hak dan kewajiban untuk melakukan
perbuatan hukum, namun perbuatan tersebut harus di dukung oleh
kecakapan dan kewenangan hukum.52
Kecakapan bertindak ini dalam banyak hal berhubungan
dengan masalah kewenangan bertindak dalam hukum. Meskipun
kedua hal tersebut secara prinsipil berbeda, namun dalam
membahas masalah kecakapan bertindak yang melahirkan suatu
perjanjian yang sah, maka masalah kewenangan untuk bertindak
juga tidak dapat dilupakan. Jika masalah kecakapan untuk
bertindak berkaitan dengan masalah kedewasaan dari orang
perorangan yang melakukan suatu tinndakan atau perbuatan
hukum, masalah kewenangan berkaitan dengan kapasitas orang
perorangan tersebut yang bertindak atau berbuat dalam hukum.
Dapat saja seorang yang cakap bertindak dalam hukum, tetapi
ternyata tidak berwenang untuk melakukann suatu perbuatan
hukum dan sebaliknya seorang yang dianggap berwenang untuk
bertindak melakukan suatu perbuatan hukum, ternyata karena suatu
hal menjadi tidak cakap untuk bertindak dalam hukum.53
Pada dasarnya yang paling pokok dan mendasar adalah
masalah kecakapan untuk bertindak. Setelah seseorang dinyatakan
cakap untuk bertindak atas nama dirinya sendiri, baru kemudian
52
R. Soeroso, Perbandingan Hukum Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 1999), hal 139.
53
dicari tahu apakah orang perorangan yang cakap bertindak dalam
hukum tersebut, juga berwenang untuk melakukan suatu tindakan
atau perbuatan hukum tertentu.54
1) Orang-orang yang belum dewasa;
Hal-hal yang berhubungan dengan kecakapan dan
kewenangan bertindak dalam rangka perbuatan untuk kepentingan
diri pribadi orang-perorangan ini diatur dalam Pasal 1329 sampai
dengan Pasal 1331 KUH Perdata. Pasal 1329 KUH Perdata
menyatakan bahwa : “Setiap orang adalah cakap untuk membuat
perikatan-perikatan, jika ia oleh udang-undang tidak dinyatakan tak
cakap”.
Rumusan tersebut membawa arti positif, bahwa selain
dinyatakan tidak cakap maka setiap orang adalah cakap dan
berwenang untuk bertindak dalam hukum. Pasal 1330 KUH
Perdata memberikan limitasi orang-orang mana saja yang dianggap
tidak cakap untuk bertindak dalam hukum dengan menyatakan
bahwa :
“Tak cakap untuk membuat suatu perjanjian adalah:
2) Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan;
3) Orang-orang perempuan, dalam hal-hal yang ditetapkan oleh
undang- undang, dan pada umumnya semua orang kepada siapa undang-undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu”.
KUH Perdata memandang bahwa seorang wanita yang
telah bersuami tidak cakap untuk mengadakan perjanjian. Sejak
54
tahun 1963 dengan Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA)
Nomor 3/1963 yang ditujukan kepada Ketua Pengadilan Negeri
dan Pengadilan Tinggi di seluruh Indonesia, kedudukan wanita
yang telah bersuami diangkat ke derajat yang sama dengan pria,
untuk mengadakan perbuatan hukum dan menghadap di depan
pengadilan, sehingga ia tidak memerlukan bantuan lagi dari
suaminya. Oleh sebab itu ketentuan sub 3 dari Pasal 1330 KUH
Perdata sudah tidak berlaku lagi, sehingga orang yang tidak cakap
(tidak berwenang melakukan perbuatan hukum), dapat dibagi
menjadi :55
1) Mereka yang belum cukup umur
Mereka yang belum cukup umur maksudnya adalah
mereka yang berlum dewasa. Menurut Pasal 330 KUH
Perdata menentukan bahwa;
“Belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun, dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun, maka mereka tidak kembali lagi dalam keadaan belum dewasa. Mereka yang belum dewasa dan tidak berada di bawah kekuasaan orang tua, berada di bawah perwalian atas dasar dan dengan cara sebgaimana diatur dalam bagian ke tiga, ke empat, ke lima dan ke enam bab ini”.
Yang dimaksud perwalian sebagaimana disebut
dalam Pasal 330 KUH Perdata adalah pengawasan atas
orang (anak-anak yang belum dewasa yang tidak ada di
55
bawah kekuasaan orangtua) sebagaimana diatur dalam
undang-undang dan pengelolaan barang-barang dari anak
yang belum dewasa.
2) Mereka yang diletakkan di bawah pengampuan
Hal ini diatur dalam Pasal 433-462 KUH Perdata
tentang pengampuan. Pengampuan adalah keadaan di mana
seseorang (disebut curandus) karena sifat-sifat pribadinya
dianggap tidak cakap atau tidak di dalam segala hal cakap
untuk bertindak sendiri (atau pribadi) di dalam lalu lintas
hukum, karena orang tersebut (curandus), oleh putusan
hakim dimasukkan ke dalam golongan orang yang tidak
cakap bertindak dan lantas diberi seorang wakil menurut
undang-undang yang disebut pengampu
(curator/curatrice). Sedangkan pengampuannya disebut
curatele. Sifat-sifat pribadinya yang dianggap tidak cakap
adalah (Pasal 433 KUH Perdata)
a) Keadaan dungu;
b) Sakit ingatan/gila/mata gelap (dianggap tidak cakap
melaksanakan sendiri hak dan kewajibannya);
c) Pemboros dan pemabuk (ketidakcakapan bertindak
terbatas pada perbuatan-perbuatan dalam bidang hukum harta kekayaan saja).
Pengampuan terjadi karena putusan hakim yang
didasarkan adanya permohonan. Yang dapat mengajukan
permohonan diatur di dalam Pasal 434-435 KUH Perdata
c. Suatu Hal Tertentu
Suatu hal tertentu maksudnya berbicara tentang objek
perjanjian (Pasal 1332 s/d 1334 KUH Perdata). Objek perjanjian
yang dapat dikategorikan dalam pasal tersebut adalah:56
1) Objek yang akan ada (kecuali warisan), asalkan dapat
ditentukan jenis dan dapat dihitung.
2) Objek yang dapat diperdagangkan (barang-barang yang
dipergunakan untuk kepentingan umum tidak dapat menjadi objek perjanjian).
Ketentuan Pasal 1332 KUH Perdata menyatakan bahwa:
“Hanya kebendaan yang dapat diperdagangkan saja yang dapat
menjadi pokok perjanjian”. Pada dasarnya pasal ini hanya
menegaskan kembali bahwa yang masuk dalam rumusan perjanjian
ini, yang dapat menjadi obyek dalam perikatan adalah kebendaan
yang masuk dalam lapangan harta kekayaan. Jadi kebendaan, baik
yang berwujud maupun tidak berwujud, yang berada di luar
lapangan harta kekayaan (yang terutama diatur dalam Buku II
KUH Perdata tentang kebendaan) tidaklah dapat menjadi pokok
perjanjian, karena kebendaan tersebut tidak termasuk dalam
rumusan kebendaan menurut Pasal 1131 KUH Perdata, sehingga
tidak dapat dijadikan jaminan bagi pelunasan perikatan orang
perorangan tersebut.57
Pasal 1334 KUH Perdata mengatur mengenai perjanjian,
yang melahirkan perikatan bersyarat. Dengan rumusan;
56
Mariam Darus Badrulzaman-II, Op.cit., hal 104.
57
“Kebendaan yang baru akan ada di kemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian. Tetapi tidak diperkenankan untuk melepaskan suatu warisan yang belum terbuka, ataupun untuk meminta diperjanjikan sesuatu hal yang mengenai warisan itu, sekalipun dengan sepakatnya orang yang nantinya akan meninggalkan warisan yang menjadi pokok perjanjian itu; dengan tidak mengurangi ketetentuan Pasal-Pasal 169, 176, dan 178”.
Ketentuan ini pada dasarnya merupakan suatu bentuk
penegasan bahwa dalam suatu perjanjian, hanya seseorang yang
dapat berbuat bebas dengan kebendaan yang menjadi pokok
perjanjian saja yang dapat membuat perjanjian yang mengikat
kebendaan tersebut.
Suatu warisan yang belum terbuka pada pokoknya
bukanlah kebendaan milik dari orang yang akan memperoleh
warisan. Hal ini menunjuk pada ketidakpastian mengenai apakah
orang yang akan memperoleh warisan tersebut pasti akan
memperoleh kebendaan yang akan diwariskan tersebut sebagai hak
milik. Bahkan dalam rumusan Pasal 178 ayat (2) KUH Perdata
dinyatakan bahwa suatu hibah yang diberikan sebelum pemberi
hibah meninggal akan menjadi gugur apabila pemberi hibah hidup
lebih lama, juga dari anak-anak dan keturunan penerima hibah.
Jelaslah bahwa sesuatu yang belum pasti akan dimiliki tidak dapat
dijadikan obyek perjanjian. Perjanjian hanya sah dan mengikat jika
obyeknya yang berupa kebendaan telah ditentukan jenisnya,
demikianlah Pasal 1333 KUH Perdata.58
58
d. Suatu Sebab yang Halal
Sebab yang halal diatur dalam Pasal 1335 hingga Pasal
1337 KUH Perdata. Pasal 1335 KUH Perdata menyatakan bahwa :
“Suatu perjanjian tanpa sebab, atau yang telah dibuat karena
sesuatu sebab yang palsu atau terlarang, tidak mempuyai
kekuatan”. KUH Perdata tidak memberikan pengertian atau
definisi dari “sebab” yang dimaksud dalam Pasal 1320 KUH
Perdata. Hanya saja dalam Pasal 1335 KUH Perdata, dijelaskan
bahwa yang disebut dengan sebab yang halal adalah:
1) Bukan tanpa sebab;
2) Bukan sebab yang palsu;
3) Bukan sebab yang terlarang.
Pada dasarnya hukum tidak memperhatikan apa yang ada
dalam benak, ataupun hati seseorang. Yang diperhatikan oleh
hukum adalah apa yang tertulis, yang pada pokoknya menjadi
perikatan yang harus atau wajib dilaksanakan oleh debitor dalam
perjanjian tersebut. Oleh karena itu masih adanya kebebasan para
pihak sebagaimana dinyatakan Pasal 1336 KUH Perdata bahwa:
“Jika tidak dinyatakan suatu sebab, tetapi ada sebab yang tidak
terlarang, atau jika ada sebab lain selain daripada yang dinyatakan
itu, perjanjian itu adalah sah”. Pasal ini menjelaskan bahwa
undang-undang tidak pernah mempersoalkan apakah yang menjadi