• Tidak ada hasil yang ditemukan

PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS SEBA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS SEBA"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

SEMINAR PROCEEDINGS

1

st

Annual International Seminar on Education 2015

Copyright © 2015 FTK Ar-Raniry Press All rights reserved

Printed in the Indonesia

PARADIGMA PENDIDIKAN ISLAM PLURALIS

SEBAGAI SOLUSI INTEGRASI BANGSA

(Suatu Analisis Wacana Pendidikan Pluralisme Indonesia)

Musradinur1danTabrani. ZA2

1STAI Al-Wasliyah Banda Aceh dan Pemerhati Pendidikan Aceh 2Fakultas Tarbiyah Universitas Serambi Mekkah Banda Aceh, Aceh, Indonesia

Abstract

Pada prinsipnya, Islam secara normatif-teoritik sangat menjunjung tinggi pluralism. Hal itu merupakan suatu modal penting bagi kehidupan bernegara dalam bangsa pluralistik, seperti Indonesia di mana Islam merupakan agama mayoritas. Meski demikian, dalam konteks memperkokoh integrasi bangsa, konsep normatif-teoritik yang dimiliki Islam tersebut harus pula dilihat secara realistis dari sisi aplikatifnya ditengah masyarakat. Pendidikan Islam di Indonesia memiliki peranan penting dalam memberi kontribusi bagi integrasi bangsa di masa depan. Mengingat persoalan integrasi bangsa berhubungan erat dengan berbagai aspek kehidupan berbangsa, maka perhatian penting pada kuantitas, kualitas, dan berbagai persoalan ‘kegagalan’ pendidikan Islam pada masa lalu perlu menjadi perhatian. Dalam hal ini, konsep normatif-teoritik pendidikan Islam yang peduli pada pluralisme akan bermakna positif bila tergambar kuat pada realitas-aktual kehidupan bangsa Indonesia yang pluralistik. Sebagai umat dengan jumlah terbesar di Indonesia, maka peran umat Islam sangat signifikan dalam menentukan masa depan bangsa ini. Umat Islam semestinya memberikan suri tauladan dalam sikap dan tindakan atas dasar prinsip toleransi sebagaimana diajarkan ajaran Islam.

Keywords: Paradigma,Pluralis, Integrasi, Pendidikan, Indonesia.

1. Pendahuluan

Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang majemuk yang memiliki keragaman budaya, agama dan suku bangsa. Keberadaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang plural merupakan ‘berkah’ dan ‘kekayaan’ yang patut disyukuri. Pluralisme merupakan satu pandangan hidup atau sikap kemasyarakatan yang mengutamakan sifat kemajemukan atau keanekaragaman dalam kehidupan manusia.

Dengan mengambil kenyataan bahwa dalam kehidupan terdapat berbagai perbedaan, mereka

(2)

1

st

Annual International Seminar on Education 2015

SEMINAR PROCEEDINGS

78|

Indonesia hakikatnya kemajemukan berupa banyak entitas budaya yang berbeda satu sama lain. Ditambah dengan kemajemukan yang disebabkan oleh perbedaan agama yang cukup banyak. Sebab itu para pakar itu tidak percaya Indonesia akan terus ada dan hanya ada karena ada niat melepaskan diri dari penjajahan Belanda. Begitu penjajahan Belanda berakhir, apa yang menamakan diri Indonesia akan “ambyar” seperti pasir kering, kata mereka. Adalah memang kenyataan bahwa di bumi Indonesia hidup berbagai satuan etnik dengan budayanya masing-masing yang berbeda satu sama lain. Namun terbukti bahwa perjuangan kebangsaan bangsa Indonesia berhasil mewujudkan entitas Indonesia berupa Negara Kesatuan Republik Indonesia yang menunjukkan vitalitasnya dengan usianya yang lebih dari 60 tahun. Dengan begitu menolak pendapat para pakar Barat itu. Sekalipun ada pihak-pihak yang menginginkan Indonesia berakhir eksistensinya, pertama penjajah Belanda dengan dukungan berbagai pihak luar negeri dan banyak orang Indonesia, namun terbukti RI yang merdeka tetap survive dan tidak ada indikasi akan berakhir eksistensinya.

Indonesia terdiri dari banyak entitas dengan budayanya masing-masing, yaitu Indonesia merupakan kesatuan dalam kemajemukan. Perjuangan kebangsaan telah berhasil karena didukung semboyan Bhinneka

Tunggal Ika atau Kesatuan dalam Perbedaan yang

dicanangkan semua pihak yang ingin Indonesia menjadi negara dan bangsa yang merdeka.

Hal ini menunjukkan bahwa Pluralisme mengandung kebenaran bagi bangsa Indonesia. Akan tetapi Pluralisme tidak dapat dan tidak boleh berdiri sendiri kalau Indonesia hendak hidup sepanjang zaman. Di samping Pluralisme harus selalu ada paham Kebersamaan. Keberhasilan meruntuhkan penjajahan Belanda menunjukkan sikap Kebersamaan dari semua unsur bangsa yang majemuk sebagai implementasi dari semboyan

Bhinneka Tunggal Ika. Tanpa didampingi paham Kebersamaan Pluralisme dapat menimbulkan niat, gerak dan usaha yang aneka ragam arahnya dan tujuannya. Hal itu telah dimanfaatkan penjajah Belanda ketika membentuk berbagai negara untuk setiap satuan etnik, seperti Negara Indonesia Timur, Negara Sumatra Timur, Negara Pasundan, dan lainnya. Usaha Belanda itu bermaksud merangsang ambisi setiap etnik, sehingga tidak terbentuk usaha kebersamaan. Sekali gus hal itu digunakan untuk merongrong Semangat Kebangsaan yang digelorakan para pejuang yang berhasil membentuk Republik Indonesia Merdeka pada 17 Agustus 1945.

Namun, di sisi lain, perlu disadari bahwa aspek pluralitas tersebut menjadikan bangsa ini juga rentan terhadap ancaman disintegrasi bangsa. Berbagai bentuk gejala dan fenomena disintegrasi sosial dan disintegrasi bangsa semakin tampak di permukaan. Apakah sesungguhnya hakikat pluralitas tersebut beserta implikasi yang menyertainya? Tulisan ini mengkaji pandangan Islam tentang pluralism dan kontribusi pendidikan Islam dalam memperkokoh integrasi bangsa.

2. Islam dan Pluralisme

Kata “pluralisme” berasal dari bahasa Inggris,

pluralism. Kata ini diduga berasal dari bahasa Latin,

plures, yang berarti beberapa dengan implikasi

(3)

SEMINAR PROCEEDINGS

1

st

Annual International Seminar on Education 2015

kemudian mengambil bagian yang lain dalam agama lain dan membuang bagian yang tak relevan dari agama yang lain itu.

Pluralisme agama tidak hendak menyatakan bahwa semua agama adalah sama. Frans Magnis-Suseno (2010) berpendapat bahwa menghormati agama orang lain tidak ada hubungannya dengan ucapan bahwa semua agama adalah sama. Agama-agama jelas berbeda-beda satu sama lain. Perbedaan-perbedaan syariat yang menyertai agama-agama menunjukkan bahwa agama tidaklah sama. Setiap agama memiliki konteks partikularitasnya sendiri sehingga tak mungkin semua agama menjadi sebangun dan sama persis. Yang dikehendaki dari gagasan pluralisme agama adalah adanya pengakuan secara aktif terhadap agama lain. Agama lain ada sebagaimana keberadaan agama yang dipeluk diri yang bersangkutan. Setiap agama punya hak hidup.

Nurcholish Madjid menegaskan, pluralisme tidak saja mengisyaratkan adanya sikap bersedia mengakui hak kelompok agama lain untuk ada, melainkan juga mengandung makna kesediaan berlaku adil kepada kelompok lain itu atas dasar perdamaian dan saling menghormati. Allah berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangi dalam urusan agama dan tidak pula mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil”.(QS. al-Mumtahanah [60]: ayat 8).

Paparan di atas menyampaikan pada suatu pengertian sederhana bahwa pluralisme agama adalah suatu sistem nilai yang memandang keberagaman atau kemajemukan agama secara positif sekaligus optimis dengan menerimanya sebagai kenyataan (sunnatullâh) dan berupaya untuk berbuat sebaik mungkin berdasarkan kenyataan itu. Dikatakan secara positif, agar umat beragama tidak

memandang pluralitas agama sebagai kemungkaran yang harus dibasmi. Dinyatakan secara optimis, karena kemajemukan agama itu sesungguhnya sebuah potensi agar setiap umat terus berlomba menciptakan kebaikan di bumi.

Dalam hubungannya dengan pluralitas agama, Islam menetapkan prinsip saling menghormati dan saling mengakui eksistensi masing-masing.(Abdullah Idi & Toto Suharto: 2006) Ketika kita membicarakan toleransi dan pluralisme dalam Islam, ada satu rujukan tradisi Islam klasik yang patut kita jadikan studi. Yaitu yang kita kenal dengan Piagam Madinah, meskipun dalam bentuk yang sederhana, tetapi piagam tersebut telah menjamin sebuah kebebasan kepada pemeluk agama berbeda untuk menjalankan keyakinannya sesuai dengan ajaran agamanya masing-masing (M. Imdadun Rahmat: 2003).

Untuk menuju Indonesia masa depan dengan semakin kompleksnya pluralitas dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa, Islam perlu dikembangkan sebagai agama rahmatan lil ‘alamin (yang mendatangkan rahmat bagi alam semesta). Melalui kehadirannya sebagai rahmatan lil ‘alamin, pluralitas agama dapat dikembangkan menjadi bagian dari proses pengayaan spiritual dan penguatan moralitas universal. Tanpa kesediaan umat Islam untuk menerima pluralitas keagamaan, konflik dan pertentangan internal maupun eksternal sangat mudah muncul.

3. Pluralitas Agama di Indonesia

(4)

1

st

Annual International Seminar on Education 2015

SEMINAR PROCEEDINGS

80|

secara empiris historis. Secara kronologis dapat disebutkan bahwa dalam wilayah kepulauan nusantara, hanya agama Hindu dan Budha yang dahulu dipeluk oleh masyarakat, terutama di pulau Jawa. Candi Prambanan dan candi Borobudur adalah saksi sejarah yang paling otentik. Kenyataan demikian tidak menepikan tumbuh berkembangnya budaya animisme dan dinamisme, baik di pulau Jawa maupun di luar Jawa. Ketika penyebaran agama Islam lewat jalan perdagangan sampai di kepulauan Nusantara, maka proses perubahan pemelukan (conversi) agama secara bertahap berlangsung. Proses penyebaran dan pemelukan agama Islam di kepulauan Nusantara yang berlangsung secara massif dan dengan jalan damai tersebut sempat dicatat oleh Marshall Hudgson sebagai prestasi sejarah dan budaya yang amat sangat mengagumkan (M. Amin Abdullah: 2004).

Islam bukannya agama terakhir yang masuk di wilayah kepulauan Nusantara. Ketika kepulauan Nusantara memasuki era penjajahan Eropa, terutama penjajahan Belanda, sekitar abad 16, agama Kristen Protestan dan agama Kristen Katolik juga ikut menyebar secara luas. Semula penyebaran itu berpusat di wilayah nusantara di luar pulau Jawa, dan baru abad ke 18 mulai ke wilayah pulau Jawa secara lebih luas. Dalam sensus Nasional, tercatat hanya ada lima agama besar dunia, yaitu agama Hindu, Budha, Islam, Kristen Protestan dan Kristen katolik, yang tumbuh subur berkembang di Indonesia (M. Amin Abdullah: 2004).

Indonesia sebagai Negara bekas jajahan Belanda selama (secara bervariasi) 350 tahun, tetap dapat mempertahankan budaya tanpa sedikit pun kehilangan identitas, meskipun ada unsur-unsur budaya Barat yang ikut memperkaya. Dalam

perjalanan sejarah yang dialami bangsa Indonesia terutama dalam pembinaan moral bangsa, perlu dilakukan deteksi budaya Islam yang ikut membina moral bangsa Indonesia. Seperti halnya bangsa Mikronesia, Polenesia, dan Melanesia yang pada awal pertama pertumbuhannya memeluk agama veteisme, animisme, dinamisme, dan

politheisme, bangsa Indonesia merupakan contoh

evolusi budaya yang patut digali secara cermat karena Indonesia pernah mengalami zaman Hindu-Budha yang kemudian diisi dengan Islam serta dilanda dengan arus missie dan zondig di zaman penjajahan. Yang menarik, unsur-unsur budaya yang bertentangan dengan nilai-nilai kepatutan tersingkir dengan sendirinya, sedangkan yang baik yang mengandung unsur-unsur kepatutan dan kepantasan, hidup secara berdampingan yaitu, hidup secara unity in

diversity (M. Abdul Karim: 2007).

Hal di atas didasarkan pada pandangan bahwa Islam merupakan agama universal dan fitrah yang memuliakan seluruh manusia. Mengenai pluralisme kebenaran, Zuly Qodir (2006) mengutip pendapat Madjid, berpendapat bahwa cita-cita keislaman di Indonesia adalah sama dengan cita-cita manusia Indonesia secara keseluruhan. Hal ini sangat sesuai dengan cita-cita universal Islam. Sebab itu, sistem politik yang sebaiknya diterapkan di Indonesia adalah sistem yang tidak mengabaikan umat di luar Islam, tetapi harus memberikan kebaikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sikap memberikan kebaikan kepada semua orang merupakan watak inklusif Islam.

(5)

SEMINAR PROCEEDINGS

1

st

Annual International Seminar on Education 2015

agama-agama. Sampai sekarang bukti hal ini tampak jelas dan nyata dalam berbagai masyarakat dunia; di mana agama Islam merupakan anutan mayoritas, agama-agama lain tidak mengalami kesulitan berarti; namun sebaliknya jika dalam sebuah negeri, di mana umat Islam menjadi minoritas, maka umat Islam senantiasa mengalami yang tidak kecil, kecuali Negara-negara demokratis Barat. Di sana umat Islam sejauh ini masih memperoleh kebebasan beragama yang menjadi hak mereka.

Sebagai agama yang berwatak inklusif, Islam pada asalnya merupakan umat penengah, sehingga sebagai mayoritas Islam menghargai umat minoritas, sebagaimana ditunjukkan dalam kitab suci tentang penghormatannya pada Yahudi dan Nasrani. Cirri-ciri inklusivitas dalam teologi Islam ditunjukkan dengan adanya ajaran Islam yang bersifat terbuka (open religious). Dengan prinsip ini sebenarnya Islam menolak

ekslusivisme dan absolutism, sehingga sangat jelas

memberikan apresiasi yang tinggi terhadap pluralisme (Zuly Qodir: 2006).

Dengan memegang prinsip teologi inklusif, sesungguhnya yang hendak disuguhkan kepada kita adalah sikap toleransi dari Islam kepada agama-agama di luar Islam. Islam sangat menghormati adanya kebebasan beragama. Hal ini ditunjukkan dalam doktrin kitab suci tentang adanya larangan pemaksaan dalam beragama. Dalam hal toleransi agama yang ditunjukkan Islam, Zuly Qodir (2006) mengutip pendapat Madjid, berpendapat:

Tanpa mengurangi keyakinan seorang muslim akan kebenaran agamanya (hal yang dengan sendirinya menjadi tuntutan dan kemestian seorang pemeluk agama suatu sistem keyakinan), sikap-sikap unik Islam dalam hubungan antar-agama itu adalah toleransi, kebebasan, keterbukaan, kewajaran, keadilan, dan kejujuran

(fairness). Prinsip-prinsip itu tampak jelas pada sikap dasar sebagian besar umat Islam sampai sekarang, namun lebih-lebih lagi sangat fenomenal pada generasi kaum muslim klasik.

Pandangan Madjid tentang pluralisme agama dan toleransi, sangat jelas disandarkan pada kebenaran ajaran kitab suci dan pengalaman-pengalaman generasi klasik Islam. Adanya kaum minoritas dalam sebuah negeri yang mayoritas Islam dan mereka bebas beribadah, bebas memeluk agamanya, adalah wujud dari toleransi yang ada dalam Islam dan harus dihadirkan oleh umat Islam sebagai mediator, sebagai umat penengah dan terbuka, sesuai prinsip teologi inklusif. Kebebasan beragama dalam pandangan Madjid merupakan kebebasan paling fundamental dalam urusan sosio-politik kehidupan umat manusia. Ajaran agama sesungguhnya adalah ajaran yang paling benar, namun dalam hal ini mungkin tidak dapat dipaksakan kepada seseorang. Nabi Muhammad Saw sendiri selalu diingatkan bahwa tugasnya hanyalah menyampaikan pesan-pesan Allah SWT dan tidak berhak memaksa seseorang untuk beriman dan mengikutinya.

(6)

1

st

Annual International Seminar on Education 2015

SEMINAR PROCEEDINGS

82|

Ada tiga ukhuwah yang patut kita cermati dalam hal pluralitas agama dan integrasi Bangsa. Pertama, ukhuwah ‘ubudiah yaitu persaudaraan internal umat Islam. Kedua, ukhuwah basyariah atau insaniah, yaitu persaudaraan antar-sesama manusia. Ketiga, ukhuwah wathaniah yaitu ukhuwah yang berlandaskan kebangsaan. Ketiga macam ukhuwah ini tidak bisa dipertentangkan antara yang satu dan yang lain, karena ketiga-tiganya harus mengiringi kehidupan dalam berbangsa.

Mencermati hubungan internal umat Islam, ada konsep yang harus diperhatikan, yaitu konsep

syahadat. Umat Islam yang benar-benar meyakini

kalimat syahadat dan kalimat tauhid “La Ilaha Illallah” harus yakin bahwa hanya satu hakikat Yang Mutlak, Yang Maha Benar, Yang Maha Bijak, dan Yang Maha Tinggi, yaitu Allah Ta’ala. Akan tetapi, konsep Syahadat harus mempunyai implikasi sosial. Artinya bahwa selain Allah SWT tidak ada kebenaran Mutlak. Dengan demikian, orang lain pun punya potensi untuk benar, dan punya cara tertentu untuk memperoleh kebenaran. Artinya bahwa hakikat keimanan seseorang juga harus diejawantahkan dalam kehidupan sosial. Dalam beragama yang kita perlukan adalah kesadaran beragama bukan hanya dari orang tua saja atau pun pemaksaan, tetapi kita sadar betul bahwa ada sebuah cara untuk mengekspresikan ajaran kita. Kalau memang kita meyakini Islam ini memang benar, mari kita jalankan Islam ini secara Kaffah. Seyogyanya umat Islam harus memahami konsep syahadah atau konsep tauhid, jangan hanya beriman kepada Allah SWT, tetapi mengesampingkan persoalan-persoalan sosial.

4. Pendidikan Islam dan Integrasi Bangsa

Tidak dapat dipungkiri bahwa nasionalisme dan agama di masyarakat kita masih termasuk dalam agenda kegiatan kegiatan nasional yang menyita banyak energi. Agenda tersebut memang menjadi

kenyataan fundamental perihal keberagaman di era global, yang kemudian menjadi melatari hubungan baru antara doktrin keagamaan dan doktrin nasionalisme. Masalah tersebut semakin mengkristal ketika dikaitkan dengan fenomena meletusnya berbagai kerusuhan bernuansa suku, agama, ras dan antar golongan (SARA) dalam beberapa tahun semenjak 1996. Padahal, nasionalisme dipandang sebagai pemersatu pluralitas latar belakang kultural dan agama agar terbentuk suatu mozaik yang indah. Keberagamaan yang ada tampak sudah menjadi realitas yang tidak dapat ditolak.

Salah satu cara untuk menopang kelestarian nasionalisme adalah perlunya pengembangan budaya inklusivisme dalam berbagai agama. Melalui paham itu, di satu sisi , seseorang diharapkan dapat meyakini bahwa agama yang dianutnya yang paling benar, dan disisi lain, secara bersamaan dapat bersikap toleran dan bersahabat dengan pemeluk agama lain. Melalui pemeliharaan nasionalisme bangsa yang demikian itu, integrasi bangsa dapat dipertahankan (Abdullah Idi & Toto Suharto: 2006).

Integrasi bangsa adalah hal yang berbeda dari integrasi sosial. Integrasi bangsa menunjuk pada keutuhan bangsa dalam konteks hubungannya dengan bangsa atau Negara lain; sedangkan integrasi sosial merupakan keutuhan internal masyarakat dalam suatu Negara. Meskipun demikian, kedua corak integrasi tersebut saling terkait dan tidak dapat dipisahkan. Integrasi bangsa hanya aka nada bila integrasi sosial telah tercipta lebih dahulu. Berbagai peristiwa sosial politik yang dialami bangsa Indonesia pada dekade terakhir abad ke-20 dan awal abad ke-21 merupakan permasalahan keduanya, yakni masalah integrasi bangsa dan integrasi sosial.

(7)

SEMINAR PROCEEDINGS

1

st

Annual International Seminar on Education 2015

integrasi bangsa. Untuk memahami peran pendidikan Islam di Indonesia dalam memperkokoh integrasi bangsa di masa depan, perlu kiranya melihat ‘prestasi’ dan kondisi pada masa sebelumnya. Adalah suatu sikap arif bahwa selain melihat sisi kelebihan dan keberhasilan, perlu pula diungkapkan kelemahan dan kegagalan pendidikan nasional maupun pendidikan Islam (Abdullah Idi & Toto Suharto: 2006). Ada sejumlah kegagalan yang dialami pendidikan nasional maupun pendidikan Islam, yakni sebagai berikut:

Pertama, Kegagalan dalam menciptakan SDM

(Sumber Daya Manusia) yang berkualitas. Dalam laporan UNDP mengenai Human Development Index (HDI) 1998 dan 1999, Indonesia berada pada urutan ke- 109, sedangkan pada periode sebelumnya Indonesia berada pada urutan ke- 105. Rangking HDI Indonesia tersebut diperkirakan tidak akan banyak mengalami perubahan mengingat hingga saat ini Indonesia belum keluar dari krisis. Padahal tanpa tersedianya SDM yang berkualitas, maka suatu bangsa akan mengalami kesulitan untuk mengolah Sumber Daya Alam (SDA) yang begitu banyaknya di bumi Pertiwi ini demi kemakmuran masyarakatnya.

Kedua, kegagalan pendidikan dalam

menghindari ancaman disintegrasi bangsa. Kerusuhan sosial SARA telah terjadi di berbagai daerah, seperti Aceh, Maluku, Poso dan masih banyak lagi. Jika dikaji lebih seksama, kasus-kasus tersebut sebenarnya dapat dipandang sebagai kegagalan pendidikan untuk mengaplikasikan tujuan filosofisnya ke dalam realitas masyarakat plural. Hasil-hasil penelitian menyebutkan bahwa penyebab utama dari konflik atau kerusuhan sosial tersebut terkait erat dengan kesenjangan sosial, ekonomi, dan politik di tengah masyarakat. Hal itu sebenarnya merupakan konsekuensi logis dari pembagian kekuasaan yang timpang antara Jakarta dan luar Jakarta, antara Jawa dan luar Jawa.

Ketiga, kegagalan pendidikan dalam

menghasilkan warga Negara yang berakhlak.

Keempat, kegagalan untuk mendorong tingkat

partisipasi pendidikan, dan yang kelima, kegagalan menekan secara signifikan tingkat pengangguran, termasuk di dalamnya pengangguran terdidik, muncul sebagai dampak krisis ekonomi yang melemahkan kurs rupiah terhadap dollar AS. Akibatnya banyak perusahaan dan pabrik yang tutup dan bank-bank yang dilikuidasi.

Bertolak dari realitas sosial sebagai indikasi kegagalan pendidikan nasional dan pendidikan Islam di atas, maka prioritas yang harus dilakukan ke depan adalah perlunya lebih memfokuskan pengelolaan pendidikan nasional –tanpa mengesampingkan sektor-sektor lainnya- secara terencana, terprogram, dan profesional. Di samping itu, pendidikan Islam perlu menyiapkan diri dan proaktif merespons gejala perkembangan zaman agar dapat memberikan output berkualitas yang memiliki pengetahuan, teknologi, dan sains agama, serta mampu berkompetisi dengan bangsa lain dalam era perdagangan bebas (Abdullah Idi & Toto Suharto: 2006).

(8)

1

st

Annual International Seminar on Education 2015

SEMINAR PROCEEDINGS

84|

Memiliki suatu keyakinan dan harapan untuk dapat keluar dari kemelut multi-krisis merupakan suatu keharusan. Ali bin Abi Thalib RA (sahabat Rasulullah) memiliki suatu himbauan: “didiklah anak-anak kalian tidak seperti yang dididikkan kepada kalian sendiri, sebab mereka adalah generasi yang hidup pada zaman yang berbeda dengan zaman kalian”.

Implikasi penting dari uraian itu adalah, ketika hendak menggagas masa depan pendidikan Islam maka setidaknya ada dua hal yang mesti menjadi kepedulian. Pertama, menyangkut permasalahan substantif-filosofis pendidikan Islam, yakni tujuan dilaksanakannya pendidikan Islam. Tujuan filosofis dari pendidikan nasional adalah untuk menciptakan manusia seutuhnya, yakni manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan, berbudi pekerti luhur, memiliki pengetahuan dan keterampilan, sehat jasmani dan rohani, berkepribadian mantap dan mandiri, serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan. Tujuan seperti itu memiliki relevansi yang sangat erat dan memiliki sejumlah persamaan dengan tujuan pendidikan Islam, yakni menciptakan manusia seutuhnya, (al-insan al-kamil).

Tujuan pendidikan Islam memiliki dimensi yang luas dan tidak bersifat dikotomis terhadap pendidikan umum. Sains atau pengetahuan yang dimiliki umat manusia, selagi membawa kemaslahatan bersama, dapat dikatakan sebagai tujuan pendidikan Islam. Tujuan pendidikan Islam yang universal dalam tataran aplikatif pada suatu kerangka kebijakan dan strategi yang jelas guna membentuk al-insan al-kamil.

Kedua, perlunya peningkatan anggaran. jika

dilihat dari persentase anggaran pendidikan terhadap total anggaran Negara, sangat beralasan jika tingkat SDM bangsa Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan SDM (Sumber Daya Manusia) Negara-negara tetangga. Di sisi lain,

rendahnya anggaran pendidikan nasional sudah barang tentu menyebabkan rendahnya kualitas pendidikan nasional. Oleh karena itu, pada tahun-tahun mendatang, anggaran pendidikan nasional diharapkan dapat terus ditingkatkan, seiring dengan pembenahan aspek-aspek lain yang berkaitan dengannya, sehingga pendidikan nasional kita bisa bersaing dengan Negara-negara di Asia maupun dunia Internasional.

5. Penutup

Pada prinsipnya, Islam secara normatif-teoritik sangat menjunjung tinggi pluralism. Hal itu merupakan suatu modal penting bagi kehidupan bernegara dalam bangsa pluralistik, seperti Indonesia di mana Islam merupakan agama mayoritas. Meski demikian, dalam konteks memperkokoh integrasi bangsa, konsep normatif-teoritik yang dimiliki Islam tersebut harus pula dilihat secara realistis dari sisi aplikatifnya di tengah masyarakat.

(9)

SEMINAR PROCEEDINGS

1

st

Annual International Seminar on Education 2015

Daftar Pustaka

Abdullah, M. Amin (2004). Studi Agama

Normativitas dan Historisitas. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Idi, Abdullah dan Suharto, Toto (2006).

Revitalisasi Pendidikan Islam. Yogyakarta:

Tiara Wacana.

Karim,M. Abdul. Islam Nusantara. Yogyakarta: Pustaka Book Publisher. 2007

Qodir, Zuly (2006). Pembaharuan Pemikiran Islam

Wacana dan Aksi Islam di Indonesia.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Rahmat, M. Imdadun et. al. (2003), Islam Pribumi

Mendialogkan Agama Membaca Realitas,

Jakarta: Erlangga.

Tabrani, Z. A. (2014). Islamic Studies dalam Pendekatan Multidisipliner (Suatu Kajian

Gradual Menuju Paradigma

Global). Jurnal Ilmiah Peuradeun, 2(2), 127-144.

Tabrani. ZA & Hayati. (2013). Buku Ajar Ulumul Qur`an (1). Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh

Tabrani. ZA. (2011). Dynamics of Political System of Education Indonesia. International Journal of Democracy, 17(2), 99-113

Tabrani. ZA. (2011). Nalar Agama dan Negara dalam Perspektif Pendidikan Islam.

(Suatu Telaah Sosio-Politik Pendidikan Indonesia). Millah Jurnal Studi Agama, 10(2),

395-410

Tabrani. ZA. (2011). Pendidikan Sepanjang Abad (Membangun Sistem Pendidikan Islam di Indonesia Yang Bermartabat). Makalah disampaikan pada Seminar Nasional 1 Abad KH. Wahid Hasyim. Yogyakarta: MSI UII, April 2011.

Tabrani. ZA. (2012). Future Life of Islamic Education in Indonesia. International Journal of Democracy, 18(2), 271-284

Tabrani. ZA. (2012). Hak Azazi Manusia dan Syariat Islam di Aceh. Makalah disampaikan pada International Conference Islam and Human Right, MSI UII April 2012, 281-300

Tabrani. ZA. (2013). Kebijakan Pemerintah dalam Pengelolaan Satuan Pendidikan Keagamaan Islam (Tantangan Terhadap Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah), Jurnal Ilmiah Serambi Tarbawi, 1(2),65-84

Tabrani. ZA. (2013). Modernisasi Pendidikan Islam (Suatu Telaah Epistemologi Pendidikan), Jurnal Ilmiah Serambi

Tarbawi, 1(1),65-84

Tabrani. ZA. (2013). Pengantar Metodologi Studi Islam. Banda Aceh: SCAD Independent

Tabrani. ZA. (2013). Urgensi Pendidikan Islam dalam Pemberdayaan Masyarakat. Jurnal Sintesa,

13(1), 91-106

Tabrani. ZA. (2014). Buku Ajar Filsafat Umum. Yogyakarta: Darussalam Publishing, kerjasama dengan Universitas Serambi Mekkah, Banda Aceh

Tabrani. ZA. (2014). Dasar-Dasar Metodologi Penelitian Kualitatif. Yogyakarta: Darussalam Publishing

Tabrani. ZA. (2014). Isu-Isu Kritis dalam Pendidikan Islam. Jurnal Ilmiah Islam Futura, 13(2), 250-270

Tabrani. ZA. (2014). Menelusuri Metode Pendidikan dalam Al-Qur`an dengan Pendekatan Tafsir Maudhu`i. Jurnal Ilmiah

Serambi Tarbawi, 2(1),19-34

Tabrani. ZA. (2015). Arah Baru Metodologi Studi Islam. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Tabrani. ZA. (2015). Keterkaitan Antara Ilmu Pengetahuan dan Filsafat (Studi Analisis atas QS. Al-An`am Ayat 125). Jurnal Sintesa, 14(2), 1-14

Tabrani. ZA. (2015). Persuit Epistemologi of Islamic Studies (Buku 2 Arah Baru Metodologi Studi Islam). Yogyakarta: Penerbit Ombak

(10)

1

st

Annual International Seminar on Education 2015

SEMINAR PROCEEDINGS

Referensi

Dokumen terkait

Backpropagation memiliki tiga layer dalam proses pelatihannya, yaitu input layer, hidden layer, dan output layer , dimana backpropagation ini merupakan

Alih kode sementara yaitu peralihan bahasanya hanya bersifat sebentar, dengan kata lain alih kode yang terjadi tidak selamanya, penutur akan kembali menggunakan

Penelitian ini merupakan penelitian tindakan kelas (PTK). Yang dilaksanakan dalam dua siklus. Setiap siklus terdiri dari empat tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan,

Dalam hal ini yang dimaksud adalah “hak-hak istimewa ekstrateritorial”, yakni suatu istilah yang dipakai untuk melukiskan suatu keadaan dimana status seseorang atau

Tujuan penelitian yang ingin di capai setelah dilaksanakannya layanan informasi adalah untuk mengetahui pengaruh layanan informasi terhadap keberhasilan belajar

nafas, biasanya akibat sekunder dari kehilangan kesadaran, tapi kadang disebabkan secara primer oleh henti jantung paru. Penilaian awal, dengan kontrol jalan nafas dan ventilasi

Termasuk juga di dalamnya terdapat edukasi atau pembelajaran tentang tata cara pelaksanaan haji yang biasa disebut dengan manasik haji, karena dalam melaksanakan

Salah satu cara untuk dapat menumbuh kembangkan kemampuan pemecahan masalah dan komunikasi matematis adalah dengan cara membiasakan dan melatih siswa untuk