• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hak dan Keadilan dalam Utilitarianisme B

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Hak dan Keadilan dalam Utilitarianisme B"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Bentham dan Mills :

Hak dan Keadilan dalam Utilitarianisme

Oleh: Sukron Hadi

Pengantar

Utilitarianisme lahir sebagai bentuk flsaaat moral dan politik yang matang dibidani oleh Jeremy Bentham (1748-1832). Paham ini hadir untuk mengkritisi tradisi hukum kodrat (natural law) yang berkibar di Inggris Raya pada saat itu.[1] Natural law merupakan sistem hukum yang merujuk pada aturan yang dianggap berasal dari Tuhan dan hal-hal metafsika lainnya yang menurut Bentham, produk-produk hukumnya bertentangan dengan kebutuhan empiris manusia.

Menurut Bentham, manusia pada dasarnya dipimpin oleh dua penguasa yang berdaulat: kesenangan (pleasure) dan penderitaan (pain).[2] Manusia selalu menghindari penderitaan dan terus mengejar kesenangan. Itulah kebutuhan empiris manusia. Moralitas dan hukum harus disandarkan pada kenyataan itu. Oleh sebab itu moral dan produk hukum harus memiliki tujuan memaksimalkan kesenangan dan kebahagiaan manusia secara luas. Filsaaat moral dan politik utilitarianisme tidak bersandar pada keberadaan tuhan, roh-roh dan hal-hal metafsis lainnya. Kebutuhan manusialah yang menjadi pusat pertimbangan pembentukan hukum dan moralitas.

Sekularitas ini, bagi Kymlicka, menjadi salah satu

dari 2 macam daya tarik dari ajaran utilitarianisme.[3]

Joh Sturat Mill (1806-1873) seorang murid Bentham, sependapat bahwa manusia pada dasarnya mengejar kebahagiaan. Namun ia mengkritisi pendapat pendahulunya yang cenderung mengukur kesenangan yang dibutuhan manusia dengan cara kuantitatia.[4] Menurut Mill, kualitas kesenangan dan kebahagiaan juga harus diperhatikan, karena ada kebahagian yang kualitasnya lebih tinggi dan lebih rendah.[5] Kualitas kesenangan baca novel-novel Pramoedya A. Toer, jelas lebih bermutu daripada kesenangan nonton sinetron kejar tayang.

Meskipun Mill mengkritik Bentham, prinsip-prinsip ajaran moral dan hukum bagi keduanya bersiaat hedonistik, meskipun bukan hedonistik yang egoistis, karena bagi mereka prinsip utilitarinisme adalah the greatest happinest oa the greatest number. Individu dalam mencapai kesenangan perlu mempertimbangkan kondisi orang lain dan masyarakat luas. Tapi tetap saja, mereka menjadikan kesenangan (happiness) sebagai puncak moral, adapun jenis kebaikan-kebaikan lain hanya menjadi sarana untuk mencapai kesenangan tersebut.

(2)

inilah yang menurut Kymlicka ajaran konsekuensialisme

dalam utilitarianisme[6] menjadi penting dan menjadi

daya tarik kedua dari dua macam daya tarik ajaran

utilitarianisme.[7]

Selain memiliki dua daya tarik, sekularisme dan

konsekuensialisme; utilitarianisme menurut Amartya Sen

memiliki ciri penting lain, yakni welfarisme

. Welaarisme dalam pandangan utilitarian ini membatasi keputusan-keputusan permaslahan negara ke dalam kemanaaatan atau kebaikan negara secara umum. Selain itu, utilitarianisme memiliki ciri penting lain, yakni ‘sum-ranking’ (peringakat penjumlahan), yang mana dalam utilitarianisme perlu adanya penjumlahan derajat utility masyarakat yang berbeda-beda untuk menghasilkan tingkat kebahagiaan yang paling tinggi.[8]

Meskipun utilitarianisme memiliki beberapa daya tarik yang memberikan sumbangan penting pada flsaaat moral, namun ketika utilitarianisme sebagai flsaaat politik yang menjadi dasar bagi pengambilan keputusan-keputusan individualistik yang politis maupun menjadi dasar bagi institusi sosial atau negara untuk menelurkan hukum dan regulasi, ajaran utilitarianisme terkesan tidak dapat diterima oleh akal sehat (intuisi) dan asas keadilan karena menenggelamkan hak individu demi kebahagiaan masyarakat luas.

Ada dua hal penting yang perlu disampaikan dalam pembahasan utilitarianisme sebagai jalan masuk menuju pembahasan hak dan keadilan dalam utilitariansime. Yakni makna utility yang terkandung dalam utilitarianisme. Dan kedua, adalah bagaimana kaum utilitarian mengaplikasikan ajaran-ajaran utilitarianisme dalam ranah politis. Pada pembahasan kedua ini, kemudian diikuti kritik-kritik yang dilancarkan kepada pemikir utilitarian, yang kemudian dalam kesempatan ini, penulis merasa perlu untuk memberikan argumentasi dan tanggapan terhadap kritik yang diarahkan kepada utilitarianisme, terutama terkait hak dan keadilan.

Perkembangan Defnisi Utility

(3)

Defnisi lain yang ditawarkan teoritisi utilitarian adalah utility yang bersandar pada pengalaman yang non-hedonistik. Utilitarian ini mengkritisi pandangan utilitarianisme klasik yang terlampau mendefnisikan utility pada keadaan mental dalam satu bentuk paling tinggi, seperti kebahagiaan, padahal banyak bentuk kebaikan lain yang memunculkan perasaan yang sama bernilainya seperti kebahagiaan yang lahir dari pengalaman-pengalaman, seperti jatuh cinta, dll.[10] Jadi, dalam defnisi utility kedua ini, tindakan dianggap benar jika dari tindakan itu menghasilkan lebih banyak kebahagiaan. Kebahagian yang diukur dari pengalaman real, bukan dari perasaan mental.

Pengalaman sendiri memiliki dua variasi, yakni pengalaman oradinary dan extraordinary. Pengalaman ordinary merupakan pengalaman yang biasa dilakukan sehari-hari oleh masyarakat umum. Adapun pengalaman extraordinary merupakan pengalaman yang jarang dilakukan sehar-hari oleh masyakat umum, sehingga ketika seseorang mengalami pengalaman extraordinary ini merasa ia telah mengalami pengalaman yang spesial.[11]

Dua defnisi utilty yang menyandarkan pada pengalaman mental (hedonistik tapi tidak egoistik) dan pengalaman kehidupan ini menurut Nozick, kurang-lebih, utility dapat dicapai dengan cara sederhana, cukup diinjeksi obat saraa terlarang dan masuk ke mesin pengalaman, maka masyarakat akan merasakan satu jenis kesenangan paling tinggi, nge-fy, dan dengan masuk ke mesin pengalaman orang bisa merasakan jenis kesenangan dari pengalaman-pengalaman yang bermacam rupa.[12]

Pandangan ketiga mengenai defnisi utility adalah sebagai terpenuhinya preaerence satisaaction (kepuasan preaerensi/keinginan). Menurut pandangan ini, tindakan dianggap benar ketika tindakan tersebut memenuhi keinginan dari maksimal orang. Apapun jenis preaerensinya. Simulasi dari ajaran pandangan ini, seperti berikut: bayangkan, kita memesan makan siang, sebagian ada yang menginginkan pizza dan sebagian lagi menginginkan gado-gado. Maka jika dari kita lebih banyak memesan pizza maka kita harus memenuhi preaerensi yang terbanyak itu. tidak peduli apakah pizza itu lebih bergizi atau kurang bergizi dari gado-gado, tidak peduli apakah nantinya pizza itu beracun atau tidak, yang penting preaerensi terbanyak terpenuhi. Jika seperti itu maka utility akan terpenuhi. Keputusan yang lahir karena hanya sekedar memenuhi preaerensi, akan cenderung salah dan tidak tepat, dan bisa jadi preaerensi mayoritas merupakan preaernsi yang melanggar hak orang atau kelompok lain dan tidak mengindahkan tanggung jawab. Dalam model ini kemungkinan selalu ada pihak yang dirugikan.[13]

(4)

berpengetahuan dan rasional lain.[14] Dan sering juga hasil dari keputusan yang memaksimalkan preaerensi cenderung tak bisa diterima oleh intuisi tentang keadilan.

Utilitarianisme Tindakan dan Aturan

Banyak tantantangan yang dihadapi oleh utilitarianisme sebagai teori moral-politik yang memperjungkan prinsip utility. Pertama, sumber daya yang terbatas untuk menciptakan utility bagi segenap warga dan bagaimana cara menciptkannya. Kedua, inaormed preaerence orang mungkin saling bertentangan. Bagaimanakah utilitarianisme beroprasi dalam situasi seperti ini?

Untuk menjawab tantangan pertama di atas, berangkat dari pertanyaan siapa yang berkewajiban mewujudkan prinsip utilitarianisme sebesar dan semeluas mungkin? Ada dua golongan utilitarian yang berbeda pandangan dalam menentukan ‘siapa’ tersebut[15]. Yakni, golongan utilitarianisme tindakan (act utilitarian), golongan ini mengajarkan comprehensive moral utilitarianism, yang menyatakan bahwa semua manusia berkewajiban bertindak berdasarkan prinsip-prinsip utilitarian[16], bahkan dalam tingkat personal, semua orang berperan sebagai U-Agen. Artinya, menurut pandangan ini setiap orang dalam bertindak memiliki kewajiban untuk melakukan pertimbangan-pertimbangan apakah tindakannya meningkatkan utility sebesar dan semeluas mungkin, atau sebaliknya. Pandangan kedua adalah dari golongan utilitarianisme aturan (rule utilitarianism) yang mengajarkan political utilitarianism. Isi ajarannya bahwa hanya lembaga sosial dan pemerintahlah yang wajib bertindak berdasarkan prinsip-prinsip utilitarianisme.

Adapun mengenai apa yang dimaksud dengan ‘bertindak menurut prinsip-prinsip utilitarianisme’, menurut pandangan utilitarianisme tindakan, hal tersebut berarti bahwa pelaku (agen) ketika ingin bertindak dan membuat keputusan maka secara langsung harus melakukan pertimbangan berdasaskan asas utilitarian terlebih dahulu. Pandangan ini juga disebut utilitarianisme langsung (direct utilitarianism). Adapun pandangan utilitarianisme aturan, mengajarkan bahwa kita tidak harus melakukan pertimbangan utilitarian dalam setiap akan bertindak dan memutuskan sesuatu, yang penting hasil dari keputusan dan tindakan itu tidak melanggar asas memaksimalkan utility. Artinya dalam paham kedua ini kita bisa menggunakan pertimbangan non-utilitarian demi memaksimalkan utility. Ajaran demikian juga disebut utilitarianisme tidak langsung (indirect utilitarianism).

(5)

yang sama, karena itu tindakan yang dibenarkan secara moral adalah yang bisa memaksimalkan utility setiap orang. Tindakan yang memaksimalkan utility setiap orang merupakan standar moral.[17]

Pandangan kedua adalah yang Rawls sebut utilitarianisme teleologis. Berbeda dengan pandangan sebelumnya, pandangan teleologis menyatakan bahwa memaksimalkan utility merupakan hal yang utama merupakan telos yang harus dituju, bukan aaktor turunan dari egalitarian. Pandangan ini menyatakan bahwa kewajiban kita bukanlah untuk memperlakukan orang secara sama, melainkan membawa keadaan bernilai atau memaksimalkan keadaan menjadi lebih baik. Manusia dipandang hanya sekedar bagian dari jaringan pemaksimalan utility. Pusat perhatian utilitarianisme jenis kedua, teleologis, ini berbeda dengan jenis utilitarianisme egelitarian yang pusat perhatiannya pada manusia. Teleologis memusatkan perhatiannya pada telos, keadaan (kebaikan).[18]

Kritik Terhadap Utilitarianisme

Utilitarianisme sebagai flsaaat moral dan politik mengundang banyak kritik. Banyak pengkritik menilai bahawa utilitarianisme tidak mengindahkan hak dan melanggar intuisi kita tentang prinsip keadilan. Dalam tulisan ini, hanya akan dipaparkan kritik atas utilitarianisme dari John Rawls, Kymlicka dan Amartya Sen.

Kritik yang dilancarkan Rawls terhadap utilitarianisme adalah terkait penolakannya terhadap prinsip keadilan dan bentuk teleologis dari utilitariansme. [19] Dalam kritik pertama Rawls, teori keadilan utilitarianisme dianggap cenderung mereduksi keadilan individu ke dalam keadilan masyarakat luas. Sehingga utilitarianisme tidak memedulikan bagaimana total kepuasan itu didistribuskian secara aairness dalam tingkat individual masyarakat. Konsekwensi dari aaham ini adalah, dalam terciptanya kebaikan masyarakat umum, akan ada individu atau kelompok tertentu yang preaerensi dan haknya terkorbankan.

Selain itu, Rawls juga keberatan dengan bentuk teleologis dalam ajaran utiltarianisme. Di sini, teleologis dalam utilitarianisme, diartikan Rawls bukan saja pada baik dan buruknya tindakan ditentukan oleh tujuan, tapi juga terlampau memprioritaskan the good (manaaat) daripada the right (hak). Bagi Rawls, hak adalah yang utama. Hak individu atau kelompok kecil individu tidak boleh dirampas demi mencapai kebaikan bagi maksimal orang. The right tidak boleh disisihkan untu mencapai the good.

(6)

individu atau sekelompok individu yang tidak memperoleh manaaat dari hasil ini. [20]

Kymlicka berbeda pandangan dengan Rawls yang menyatakan bahwa utilitarianisme (yang absah) pada dasarnya merupakan teori moral yang teleologis. Ada dua bentuk utlitarianisme, teleologis dan egalitarian. Kymlicka lebih menyandarkan utilitarianisme pada pandangan yang pertama, egalitarian. Bagi Kymlicka pandangan teleologis nampak absurd, terutama pada pertanyaan untuk siapa sebenarnya keadaan yang baik tersebut, kenapa kita manusia riil perlu (sebagai sarana) kewajiban moral demi memaksimalkan utility yang moral-struktural tersebut. Bukankah lebih konkrit jika utility dilihat sebagai hasil, bukan sebagai dasar pertimbangan kita bertindak? Bukankah akan berhenti menjadi teori moral jika utilitarianisme diinterpretasikan seperti ini? dan juga pandangan yang kedua ini bertentangan dengan hakikat teori moral utilitarianisme yang sekuler, yang menganggap moralitas penting karena manusia itu penting.[21]

Kymlicka tidak begitu saja mengiyakan pandangan utilitarian sebagai teori moral yang memperlakuan orang secara sama. Ia justru membeberkan salah taasir teori utilitarianisme atas pertimbangan yang sama bagi semua demi pemuasan utility. Kaum utilitarian menganggap bahwa semua sumber kebahagiaan, atau setiap bentuk preaerensi harus dihargai secara sama, jika menghasilkan utility yang sama. Apa iya, semua bentuk preaerensi patut dihargai secara sama?

Mengutip Dworkin, Kymlicka menyebut ada dua bentuk preaerensi yang tidak memadai (unlegitimed), meskipun siaatnya inaormed. Yakni, Preaererensi eksternal. Preaerensi ada dua macam, personal dan eksternal. Preaerensi personal adalah preaerensi atas barang-barang, sumber daya, kesempatan dan sebagainya, yang diinginkan orang untuk dirinya sendiri. Preaerensi eksternal adalah preaerensi atas sumber daya dan kesempatan yang orang ingin tersedia untuk orang lain. Preaerensi eksternal kadang membawa pengaruh yang berbahaya. Karena mungkin kelompok kulit putih yang rasis lebih menginginkan orang kulit hitam mendapat pelayanan dan sumber daya kesehatan yang lebih sedikit. Lantas apakah preaerensi seperti ini perlu diperhitungkan? Tentu kaum utilitarian punya prosedur preaerensi seperti apa yang harus diperhitungkan atau diabaikan. Maka perlu, dua preaerensi yang tidak egalitarian seperti ini disingkirkan.[22] Bentuk preaerensi yang tidak memadai kedua, yakni selfsh preaerence, atau preaerensi yang mementingkan diri sendiri. Bentuknya yakni menginkan mendapatkan sumber daya yang lebih banyak dibanding orang lain. Hal ini tentu bentuk preaerensi yang tidak aair, irrasional dan unegalitarian.

(7)

sumber daya mereka secara aair, maka sumber daya yang semula dialokasikan kepada saya adalah kepunyaan saya. Ini berarti tidak ada orang lain yang memiliki klaim keadilan yang sah terhadap sumber daya itu. Sedangkan menurut Hare, sumber daya itu merupakan milik saya jika atau sampai orang lain tidak dapat menggunakannya dengan baik. Dan menurut Hare, jika ada tetangga yang menginginkan sebagian dari sumber daya yang dialokasikan ke saya, meskipun tetangga tersebut mendapat bagian, kita tetap harus mempertimbangkan preaerensi tetangga kita tersebut. Karena Hare memperlakukan kepentingan orang lain sebagai kepentingannya sendiri.[23]

Kymlicka menunjukan konsep tentang perhatian yang sama kaum utilitarian bertentangan dengan gagasan keadilan Rawls. Bagi Rawls, ciri yang membedakan dengan jelas pengertian kita tentang keadilan adalah bahwa kepentingan yang melanggar keadilan tidak mengandung nilai. Sehingga kehadiran preaerensi yang tidak sah tidak dapat mendistorsi klaim kita satu sama lain.[24]

Kymlicka menilai kaum utilitarian gagal dalam mengenali pertalian-pertalian khusus antara individu dengan yang lainnya, yang di dalamnya selalu terselip hak dan kewajiban, meski mereka sudah menyingkirkan jenis preaerensi-preaerensi yang tidak sah. Kymlicka tertarik dengan utilitarianisme aturan yang memiliki ajaran indirect utilitarianisme, meskipun secara metode tidak rinci dan juga rapuh kritik. Bagi utilitarianisme ini, dalam memaksimalkan utility kita tidak harus menjadi U-agen. Kita bisa menggunakan pertimbangan non-utilitarian demi tercapainya tujuan maksimalisasi utility. Namun ajaran ini, memiliki keyakinan bahwa menjalani tanggung jawab dan menghargai hak itu merupakan sarana demi tercapainya termaksimalkannya utility. Di sini Kymlicka keberatan, baginya hak dan tanggung jawab harus dilihat sebagai sesuatu yang berdiri sendiri dan perlu disikapi secara khusus, bukan sebagai sarana pemaksimalisasian utility. Menurut Kymilicka, kita perlu memainkan intuisi kita tentang asas keadilan ketika kita menilai tindakan dan keputusan apa yang sekiranya melanggar atau tidak melanggar asas keadilan, seperti mengabaikan hak orang lain dan menyepelekan tanggung jawab.

Hak dan Keadilan Utilitarianisme: Tanggapan atas Kritik

Dari kritik di atas, dapat disimpulkan bahwa ada 3 kritik utama yang dilancarkan Rawls, Sen dan Kymlicka. Pertama: utilitarianisme dinilai anti hak dan kebebasan individu. Kedua: utilitarianisme menyisihkan tanggung jawab demi kebaikan bersama. Ketiga: teori keadilan utilitarianisme tidak dapat mendistribusikan preaerensi-preaernsi secara aair. Namun, jika kita mencermati pemikiran Mill dalam karya-karyanya, terutama Utilitarianism dalam Bab V, secara seksama, maka dapat dikatakan utilitarianisme mendukung hak dan kebebasan individu; membicarakan tanggung jawab; dan memiliki kaidah dalam distribusi secara aairness.

(8)

itu menciptakan seperangkat peraturan yang tidak mendasarkan pada tujuan manusia. Utilitarianisme lahir untuk menyikapi itu, ingin mereaormasi moral dan hukum. Moralitas dan hukum, bagi utilitarianisme, harus sesuai dengan kebutuhan manusia, karena manusia penting. Bagi utilitarianisme klasik, kebahagiaan adalah tujuan utama manusia, penderitaan adalah hal yang dihindari manusia; dan kebutuhan manusia adalah leluasa mencapai tujuan hidupnya: kebahagian.

Salah satu kritik yang dilancarkan kepada utilitarianisme adalah bahwa paham ini dianggap tidak mengindahkan kebebasan dan hak individu demi kebaikan dunia atau mayoritas masyarakat. Padahal, bagi Mill, disebut tindakan baik oleh mayoritas adalah tindakan yang dimaksudkan bukan untuk kepentingan masyarakat atau dunia, tapi untuk manusia sendiri, di mana manusia-manusia menjadi unsur utama dari dunia atau masyarakat luas.

“The great majority oa good actions are intended, not aor the beneft oa the world, but aor that oa individuals, oa which the good oa the world is made up; …”[25]

Manusia bagi utilitarianisme itu penting, apapun jenis kelaminnya,[26] sehingga moralitas dan hukum harus bersandarkan pada kepentingan manusia yang memiliki kebebasan dan hak. Tindakan atau hukum dianggap baik, bagi utilitarianisme, adalah tindakan dan hukum yang memiliki konsekuensi kebaikan dan kebahagiaan manusia. Oleh sebab itu, tindakan atau hukum yang mereduksi individu ke dalam kebaikan bersama merupakan sesuatu yang harus dihindari. Bagi Mill, satu orang dihitung satu, tidak dihitung lebih, dan tidak kurang. Ini artinya hak dan kebebasan individu harus diperhatikan secara sama, tidak boleh tenggelam dalam kebaikan yang siaatnya kumulatia.

Selain hak dan kebebasan, utilitarianisme dikritik karena dianggap telah menyepelekan tanggung jawab, itu mengapa utilitarianisme oleh Rawls dan Kymlicka dinilai melanggar prinsip keadilan. Berbicara keadilan, Mill melihat keadilan bukanlah suatu yang abstrak, diyakini banyak orang secara alamiah dan kemudian begitu saja dianggap ada. Namun melihatnya sebagai rangkaian ide-ide yang dipersatukan oleh konsep hak. Dalam konsep hak ini, Mill memperkenalkan konsep kewajiban sempurna dan kewajiban tidak sempurna. Dalam kewajiban sempurna, terkait erat dengan hak orang lain.[27]

Dalam utilitarianisme Mill, hak dan kewajiban merupakan satu paket pembahasan dalam konsep keadilan. Itu mengapa, tidak begitu benar jika mengatakan bahwa utilitarianisme merupakan paham yang menyalahi intuisi kita tentang keadilan. Dan mungkin saja ada benarnya menilai utilitarianisme melanggar intuisi tentang keadilan. Ya, utilitarianisme Mill memang melanggar intuisi Kantian dan para pendukung hukum kodrat yang memiliki cara pemahaman yang berbeda tentang keadilan dengan Mill, bahkan Mill, teorinya, berangkat dari kritik atas pemikiran mereka.

(9)

antara piutang (yang memiliki hak untuk dibayar) dan penghutang (yang memiliki tanggung jawab untuk membayar), dan pertalian-pertalian khusus lainnya antara suami-istri, orang tua-anak, guru-murid, dll.; tidak akan terjadi seperti yang ditakutkan oleh Kymlicka, di mana hak dan tanggung jawab secara absah dapat ditenggelamkan demi kebaikan bersama.

Juga, apa yang ditakutkan Dworkin tentang prinsip utilitarianisme memungkinkan untuk memaklumi preaerensi yang irrasional dan egoistis, tidak akan terjadi dalam utilitarianisme Mill. Memahami keadilan, dalam utilitarianisme Mill, perlu disandingkan secara bersamaan dengan pemahaman tentang siaat alamiah manusia, yang menurut Mill berbeda dengan hewan.[28] Manusia mampu berempati dan memahami bahwa manusia lain—anak-anaknya, tetangganya dan seluruh masyarakat di negara ia tinggal—memiliki hak yang sama dengannya untuk bahagia. Selain itu manusia lebih cerdas, pikirannya mampu melampaui kepentingannya sendiri (egoistis), ia menyadari bahwa dirinya merupakan bagian dari suatu keluarga, komunitas dan warga negara. Oleh sebab itu, keadilan berkorelasi dengan utility. Tindakan atau hukum dianggap adil ketika dapat menjangkau hak manusia luas, dapat membahagiakan masyarakat luas, bukan hanya satu individu, satu keluarga atau satu komunitas saja.

Masalahnya, asumsi Mill tersebut memiliki impilikasi—seperti yang para pengkritik utiltarianisme sampaikan—bahwa dalam sebuah tindakan, regulasi atau hukum berdasarkan prinsip utilitarian, memungkinkan ada beberapa orang atau kelompok yang hak, preaerensi atau kebahagiannya terenggut demi terpenuhinya hak dan kebahagiaan masyarakat luas. Kondisi tersebut memang tidak dapat dihindarkan di tengah kondisi masyarakat yang plural di mana setiap individu dan kelompok memiliki preaerensi-preaerensi yang berseberangan. Kedilan dalam utilitarianisme nampak cenderung tidak aairness dan pendistribusiaannya tidak deliberative.

Mill sendiri meyakini bahwa memungkinkan ada kondisi di mana beberapa orang yang haknya terenggut demi masyarakat luas.[29] Hal ini bukan berarti utilitarianisme, seperti yang dituduhkan para pengkritik utilitarianisme, selalu tidak mengindahkan hak dan asas persamaan sama sekali. Mill, seperti yang sudah disinggung di atas, merupakan pemikir utilitarian yang ingin menghindari kondisi menenggelamkan beberapa individu atau suatu komunitas demi kebahagiaan masyarakat luas, meskipun itu tidak dapat dihindarkan dalam utilitarianisme Mill.

(10)

Mungkin Kymlicka ada benaranya. Ia memberikan saran supaya utilitarianisme tidak melanggar prinsip keadilan, dengan cara dijejali pendekatan teori pembagian yang aair (a theory oa aair share) milik Rawls.[30] Meski demikian utilitarianisme Mill, sebagai teori, telah memiliki argumen yang kokoh dalam memposisikan semua manusia memiliki kebebasan dan hak yang sama penting untuk dibela demi terciptanya keadilan sebagai utility, terlepas ia mempunyai kelemahan tidak memiliki aormula dalam pembagian kebahagiaan secara deliberative.

Kesimpulan dan Penutup

Utilitarianisme sebagai teori moral dan politik bagi para pengkritiknya dinilai tidak dapat diterima oleh intiusi kita tentang keadilan karena tidak mengindahkan hak, tanggung jawab dan kebebasan. Namun penilaian itu tidak begitu benar karena jika kita merujuk ke pemikiran Mill, di mana utilitarianisme memposisikan manusia begitu penting. Dalam utilitarianisme Mill, moralitas, hukum positia dan regulasi lembaga sosial atau negara harus menjadikan manusia sebagai pertimbangan. Manusia di sini tidak dipandang atomistik, namun manusia yang memiliki tanggung jawab, kebebasan dan hak individu yang penting untuk dibela demi terciptanya keadilan untuk masyarakat luas.

Namun, utilitarianisme sebagai teori keadilan akan jatuh kepada keadilan tidak aairness. Karena memungkinkan bisa menyisihkan hak beberapa individu atau suatau kelompok tertentu dalam masyarakat, demi kebahagiaan masyarakat luas. Terutama dalam masrakat yang plural. Hal tersebut tentu saja tidak dinginkan oleh Mill. Namun Mill tidak memiliki jalan keluar dari situasi ini.

Oleh karenanya, memanaaatkan utilitarianisme sebagai pertimbangan dalam bertindak, membentuk hukum atau membuat regulasi tidak hanya melihat konsekuensinya saja, apakah dapat memberikan kebahagiaan bagi masyarakat luas atau sebaliknya; namun juga harus mempertimbangkan apa yang dikatakan Mill, setiap manusia yang padanya melekat hak, tanggung jawab dan kebebasan, harus diperlakukan secara sama. Semua manusia harus menjadi bahan pertimbangan dalam bertindak, membentuk hukum dan regulasi, terlepas dari jenis kelamin, suku, proaesi, ideologi, agama, kepercayaan dan latar belakang lainnya.

Daftar Pustaka

1. Bentham, Jeremy, An Introduction to The Morals and Legislation. Kitchener, Batoche Book, 2000.

2. Bertens, K, Etika, Jakarta, Gramedia, 2000

3. Bhattacharjee, Amit dan Mogilner, Cassier, Happiness arom Ordinary and Extraordinary Experiences. Journal oa Consumer Research. Hlm. 7 http://brown.edu/academics/philosophy/ethical-inquiry/sites/brown.edu.acade mics.philosophy.ethical-inquiry/fles/uploads/Mogilner%20Happy

(11)

4. Kymlicka, Will, Contemporary Political Philosophy: An Introduction, United State, Oxaord University Press, 1990.

5. Mill, John Stuart, Considerations oa Representative Government. The Floating Press, 2009. Edisi pertama tahun 1861

6. Mill, John Stuart, Utilitarianism. The Floating Press, 2009

7. Rasuanto, Bur, Keadilan Sosial; Pandangan Deontologis Rawls dan Habermas; Dua Teori Filsaaat Modern. Jakarta, Gramedia, 2005.

8. Sen, Amartya, Development as Freedom. Oxaord University Press, 2001

9. Shapiro, Ian, Asas Moral Politik dalam Politik, diterjemahkan oleh Theresia Wuryantari dan Trisno Sutanto, Jakarta, YOI, 2006.

Referensi

Dokumen terkait

Area Makan Bebas [senin – minggu 07.00 –.. Dari tabel di atas dapat diketahui ada 3 ruang pokok yang harus ada pada sebuah restoran, yaitu Area Makan, area

Di Indonesia penelitian tentang faktor yang mempengaruhi holding period saham biasa membuktikan bahwa market value yang menunjukkan ukuran perusahaan (Atkin dan Dyl,

Artinya sebesar 3,59% pengaruh rasa ingin tahu terhadap kemampuan penalaran matematika tanpa adanya pengaruh dari variabel lainnya Hubungan antara self-efficacy dengan

Urgensi prinsip restorative justice dalam proses penyidikan terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana persetubuhan adalah Menjauhkan anak dari jalur hukum, membentuk suatu

Bahaya potensial fisik yang ditemukan pada Pabrik Pengolahan Kelapa Sawit (PPKS) tersebut adalah adanya bahaya potensial kebisingan yang dihasilkan mesin >85dB, iklim

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat disimpulkan bahwa proses dilute-acid hidrolisis dengan reaktor hydrothermal dapat mengkonversi serat kelapa sawit menjadi

Rata-rata 0,712 Tinggi Berdasarkan tabel di atas pelaksanaan pembelajaran untuk seri pertama dan ketiga menunjukkan kemampuan kognitif siswa kelas X MIA