STUDI INDUKSI ABERASI KROMOSOM OLEH SINAR X 200 KV
SEBAGAI BIODOSIMETRI RADIASI
Yanti Lusiyanti1, F. Darroudi2 dan Dwi Rhamadhani1
1Pusat Teknologi Keselamatan dan Metrologi Radiasi – BATAN
Jl. Lebak Bulus Raya No. 49 Kotak Pos 7043 JKSKL Jakarta Selatan 12070
2Department of Toxicogenetics Leiden University Medical Centre, Leiden – The Netherlands
Email : k_lusiyanti@batan.go.id
ABSTRAK
STUDI INDUKSI ABERASI KROMOSOM OLEH SINAR X 200 KV SEBAGAI BIODOSIMETRI RADIASI. Perubahan sitogenetik merupakan indikator biologik yang dapat diandalkan untuk memperkirakan tingkat kerusakan sel akibat pajanan radiasi pada tubuh. Sel tubuh yang rusak akibat pajanan radiasi ditunjukkan dengan adanya sejumlah aberasi atau perubahan struktur pada kromosom yang dapat diamati melalui pembiakan dari sel limfosit perifer. Disentrik merupakan aberasi kromosom tak stabil yang spesifik akibat radiasi pengion. Untuk mempelajari hubungan respon aberasi kromosom disentrik dengan dosis radiasi, telah dilakukan irradiasi pada sel limfosit darah perifer dengan berkas X 200 Kv menggunakan machine muller pada kisaran dosis 0 (kontrol) 0,25;0,5;1,0;2,0; dan 4,0 Gy secara in vitro dengan menggunakan metode standar pewarna giemsa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa frekuensi kromosom disentrik meningkat sebagai fungsi dosis. Dari analisis kurva respon-dosis yang diperoleh dengan
model linier kuadratik diperoleh nilai koefisien linier α 10,8 x 10-2, β 3,58 x 10-2 dan koefisien korelasi
sebesar 0,994.
Kata Kunci : Aberasi kromosom, disentrik, sinar-x, hubungan respon dosis
ABSTRACT
STUDI ON INDUCTION OF CHROMOSOME ABERATION BY 200 KV X-RAY AS RADIATION BIODOSIMETRY. The citogenetic alteration is a biological indicator which is most reliable and applied to estimate the level of damage in cells induced by ionizing radiation. Cells damaged by radiation exposure indicated by the number of aberrations or changes in chromosome structure that can be observed by culturing of peripheral lymphocytes. Dicentric is an unstable chromosome aberrations that specific effect of ionizing radiation. To study the response of chromosome aberrations disentric relationship with radiation dose, irradiation was performed on peripheral blood lymphocytes with 200 Kv X using muller machine in the range of doses of 0 (control) 0.25, 0.5, 1.0, 2.0, and 4, 0 Gy in vitro using standard methods Giemsa staining. The results showed that the frequency of chromosome disentric increased as a function of dose. From the analysis of dose-response curve obtained with the linear quadratic model obtained by the linear coefficient of 10.6 x 10-2 α, β 3.58 x 10-2 and correlation coefficient of 0.994.
Key word : Chromosomal aberration, dicentric, x-rays, dose response relationship
PENDAHULUAN
nteraksi berkas radiasi dengan tubuh akan menghasilkan suatu distribusi dosis dalam tubuh yang sangat sulit diukur secara langsung, sehingga penyerapan langsung pada tubuh akan terlihat melalui efek-efek biologis. Penggunaan analisis aberasi kromosom pada tubuh untuk mendeteksi adanya penyerapan radiasi melalui pemeriksaan limfosit perifer pertama kali diperkenalkan oleh Bender and Gooch pada tahun 1962.
Kerusakan pada tingkat sitogenetik yang diinduksi oleh radiasi berupa perubahan struktur pada kromosom yang dapat bersifat tak stabil dan stabil. Aberasi kromosom yang bersifat tak stabil contohnya disentrik (kromosom dengan dua sentromer), cincin (kromosom bentuk cincin) dan fragmen asentris (kromosom tanpa sentromer).
Kromosom ini bersifat tak stabil karena sel yang mengandung kromosom ini akan mati pada saat pembelahan sel, sehingga tidak diturunkan pada sel anak. Kromosom yang bersifat stabil contohnya translokasi yaitu kromosom yang mengalami perpindahan bagian kromosom antar dua kromosom atau antar kromosom yang sama. Sel dengan kromosom translokasi ini tidak mengalami kematian ketika melakukan pembelahan sel sehingga dapat diturunkan pada sel anak (1.2).
Pengamatan aberasi kromosom dapat dilakukan pada sel tubuh yang paling sensitif terhadap radiasi yaitu sel darah limfosit. Kromosom disentrik merupakan indikator kerusakan yang paling spesifik akibat radiasi sehingga analisis aberasi kromosom ini menjadi gold standard pada kasus kedaruratan nuklir.Informasi mengenai tingkat kerusakan kromosom pada sel darah dapat pula digunakan untuk memperkirakan dosis radiasi
yang diserap sehingga dapat digunakan sebagai dosimetri biologi atau dikenal dengan istilah biodosimetri radiasi (3,4).
Aberasi kromosom dapat diinduksi oleh semua jenis radiasi, frekuensi terjadinya aberasi kromosom khususnya disentrik bergantung pada
linear energy transfer (LET), laju dosis dan dosis.
Dengan diketahui frekuensi disentrik sebagai fungsi dosis suatu jenis radiasi, dapat dibuat kurva standar untuk jenis radiasi tersebut. Jadi setiap jenis radiasi dengan laju dosis tertentu mempunyai kurva standar yang spesifik yang menggambarkan daya rusak jenis radiasi tersebut terhadap sistem biologik, dalam hal ini adalah sel darah limfosit (5,6). Dalam makalah ini akan dilaporkan studi tentang aberasi kromosom yang diinduksi oleh sinar x 200 kV secara in vitro untuk mengetahui hubungan respon aberasi kromosom terhadap dosis sebagai dasar pembuatan kurva standar aberasi kromosom sebagai biodosimetri radiasi.
TATA KERJA
Irradiasi
Irradiasi dilakukan dengan menggunakan mesin Muller yang dioperasikan pada energi 200 kV di Laboratorium Toksikogenetik Leiden University Medical Center. Isolasi limfosit manusia diirradiasi dengan variasi dosis 0,25; 0,5; 1; 2; dan 4 Gy. Untuk setiap dosis.
Pembiakan darah
Masing –masing sebanyak 1 x 106 Isolasi
darah limfosit yang telah diirradiasi dibiakkan dalam media pertumbuhan yang diperkaya dengan RPMI-1640, Fetal Bovine Serum, PHA dan penisilin streptomycin. Botol biakan ditutup rapat dan disimpan dalam inkubator 37ºC selama 48 jam. Pada 3 jam sebelum panen, ditambahkan kolhisin untuk menghentikan proses pembelahan agar sel berada pada tahap metaphase.Untuk setiap dosis dilakukan pembiakan 3 kali ulangan
Pemanenan Darah
Darah yang telah dibiakkan, disentrifus dengan kecepatan 1500 rpm selama 10 menit. Supernatan dibuang dan endapan darah diaduk dengan pipet Pasteur lalu disimpan di waterbath selama 20 menit. Pada biakan ditambahkan 8 tetes larutan Carnoy, dikocok dan didiamkan selama 10 menit. Selanjutnya biakan tersebut disentrifuse kembali dengan kecepatan yang sama, supernatan dibuang dan pada endapan ditambahkan kembali larutan carnoy. Tahapan ini diulang beberapa kali sampai diperoleh limfosit yang berwarna putih.
Pembuatan preparat dan pengamatan
Endapan limfosit diteteskan di atas gelas objek pada tiga tempat berbeda. Setelah kering, preparat diwarnai dengan Giemsa 4%. Preparat ditutup dengan gelas penutup, dan dilakukan pengamatan terhadap frekuensi aberasi kromosom yang ada dengan mikroskop cahaya menggunakan perbesaran 1000 X.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Frekuensi terbentuknya aberasi kromosom seperti disentrik dan fragmen merupakan biomarker terjadinya kerusakan kromosom yang diakibatkan oleh paparan radiasi yang dapat diamati pada saat sel berada pada tahap metaphase pada siklus pembelahan sel yang pertama. Kromosom disentrik adalah bentuk kromosom dengan dua sentromer yang terbentuk karena adanya dua patahan kromosom pada salah satu lengannya yang pada proses mitosis bersambung kembali, sedangkan fragmen asentrik adalah patahan kromosom yang tidak mempunyai sentromer yang dihasilkan dari salah satu patahan bagian lengan kromosom Gambar 1. Keberadaan disentrik pada saat metaphase in-vitro biasanya selalu diikuti dengan
munculnya fragmen asentrik (7,8)
Gambar 1. Visualisasi kromosom pada tahap metafase dengan kromosom disentrik (tanda panah) dan fragmen dari hasil biakan
Dalam penelitian ini aberasi kromosom disentrik pada sel limfosit perifer yang diinduksi berkas radiasi sinar X 200 kV, ditampilkan pada Tabel 1. Terlihat untuk frekuensi aberasi kromosom disentrik menunjukkan bahwa pada dosis serendah 0,25 Gy frekuensi disentrik/sel metaphase adalah 0,019 sedangkan untuk dosis 4 Gy sebagai dosis tinggi pada penelitian ini, frekuensinya meningkat menjadi 0,971. Evaluasi terhadap hasil pembiakan sel limfosit dilakukan dengan menghitung Index Mitosis sesuai acuan IAEA 2011, sedangkan criteria untuk mendeterminasi Indek Mitosis ditampilkan pada Gambar 2 (1).
% 100 # # × + =
∑
metafase∑
∑
blast metafase sis IndeksMito (1) Table 1. Frekuensi Aberasi kromosom disentrikpasca irradiasi sinar – X 200 kV dosis 0 – 4 Gy
Dosis
Gy Jumlah sel Metafase disentrik Total Disentrik/sel MitosisIndex 0 100 0 0 13,7 0,25 105 2 0,019 14,9 0,5 105 5 0,047 11,4 1 111 12 0,108 13,2 2 100 40 0,400 11,3 4 104 101 0,971 10,3
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa frekuensi aberasi kromosom disentrik yang merupakan indikator spesifik untuk radiasi pengion meningkat sesuai dengan bertambahnya dosis. Dari data tersebut dapat dibuat kurva respon aberasi kromosom disentrik dengan persamaan Linier Quadratic dengan persamaan:
Y= a + αD + βD2 (2)
Dimana Y adalah jumlah disentrik, a adalah disentrik akibat radiasi latar, α adalah
koefisien korelasi linier untuk aberasi yang yang diinduksi oleh radiasi jejak tunggal (single track) dan β koefisien kuadrat dosis untuk aberasi yang produksi oleh radiasi jejak ganda. Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan perangkat lunak DOSE ESTIMATE 4.1 Sofware oleh Helath
Protection Agency (HPA) (9) dengan program Borland Delphi 6, yaitu perangkat lunak yang digunakan untuk membantu pembuatan kurva respon dosis untuk memudahkan penentuan nilai a, α dan β, dengan Gambar 3.
Gambar 2. Sebaran preparat limfosit pasca biakkan pada perbesaran 40x, tanda panah (a ) adalah sebaran metaphase kromosom (#metafase ) dan (b) blast limfosit
Gambar 3. Kurva respon dosis aberasi kromosom disentrik yang diinduksi sianr – X 200 kV, pada dosis 0 – 4 Gy yang dianalisis menggunakan DOSE ESTIMATE 4.1
Dari hasil analisis data diperoleh persamaan Y = 0 + 10,6.10-2 ± 4,24. 10-2 + 3,63. 10 -2 D2 ± 1,24. 10-2. dengan nilai koefisien korelasi r = 0,99. (Gambar 3).Pada penelitian ini, nilai koefisien
α adalah 10,6.10-2 lebih besar dari koefisien β
sebesar 4,24. 10-2 yang menunjukkan bahwa
disentrik yang terbentuk akibat jejak radiasi tunggal lebih banyak dibanding jejak radiasi ganda.
Sinar X mempunyai LET rendah artinya frekuensi ionisasinya rendah untuk setiap unit jarak
jejak atau lintasan. Oleh karena itu, probabilitas dua ionisasi oleh jejak tunggal yang terjadi pada sel sebagai target akan rendah. Paling tidak dibutuhkan dua ionisasi untuk menghasilkan kerusakan pada 2 kromosom yang akhirnya akan bergabung dan membentuk sebuah kromosom disentrik. Probabilitas jauh lebih tinggi bila 2 kerusakan ditimbulkan oleh ionisasi dari dua jejak yang diperoleh. Dengan demikian frekuensi disentrik yang disebabkan oleh jejak tunggal akan setara dengan fungsi linier dosis, sedangkan disentrik akibat 2 jejak mempunyai track yang proporsional dengan kuadrat dosis (5,11).
Pada dosis lebih kecil dari 0,25 Gy, probabilitas 2 jejak melintas target adalah cukup rendah dan disentrik hampir hanya dibentuk akibat jejak tunggal dengan frekuensi rendah. Dengan meningkatnya dosis kombinasi jejak ganda dalam menginduksi disentrik juga meningkat. Dengan demikian kurva respon dosis untuk LET rendah dalam menginduksi kromosom disentrik merupakan kombinasi dari kejadian jejak tunggal dan ganda, dimana jejak tunggal mendominasi pada dosis rendah dan jejak ganda pada dosis lebih tinggi.
Bentuk dari kurva dosis respon salah satunya dipengaruhi oleh kualitas radiasi yang diindikasikan oleh nilai LET. Dengan meningkatnya LET, terdapat probablitas lebih besar dua kerusakan dalam target akan diinduksi oleh dua kejadian ionisasi sepanjang jejak yang sama, menghasilkan dua konsekuensi. Kurva dosis respon akan linier pada LET diatas sekitar 20 kev/μm. Dengan demikian, kurva dosis respon untuk LET rendah tidak akan linier dan cocok atau sesuai dengan model Linier Quadratik (LQ) (1, 5).
Sinar X dan gamma sebagai radiasi dengan LET rendah, mempunyai kemampuan menginduksi kerusakan yang tidak sama. Pada saat radiasi bentuk gelombang elektromagnetik ini berinteraksi dengan sebuat atom, maka keduanya akan melepaskan elektron sekunder. Radiasi gamma dari Co-60 dengan energi 1,1 MV mempunyai nilai LET lebih rendah yaitu 0,2 kev/μm dari sinar X 250 kVp yaitu 2 kev/μm, dengan demikian efektivitas sinar gamma dalam merusak materi biologi menjadi lebih rendah, sampai sekitar 10%. Demikian pula halnya dengan sinar X dengan energi 25 MV mempunyai nilai LET sekitar 0,2 kev/μm (3,5).
Selain itu faktor yang mempengaruhi hasil induksi aberasi kromosom, adalah faktor fisik dan biologis dan faktor kondisi laboratorium. Faktor fisik yang berpengaruh pada induksi pembentukan disentrik adalah LET, laju dosis dan dosis sedangkan faktor biologi diantaranya adalah kinetika sel limfosit, variasi media kultur dan sensitivitas sel (6,7).
Dengan adanya perbedaan ini, maka sangat diperlukan setiap laboratorium membuat
kurva standar aberasi kromosom yang diinduksi oleh berbagai jenis radiasi untuk dapat digunakan sebagai kurva acuan dalam memperkirakan dosis radiasi yang di terima seseorang akibat paparan radiasi berlebih.
KESIMPULAN DAN SARAN
Induksi aberasi kromosom tak stabil yaitu kromosom disentrik pada kisaran dosis 0.25 sampai 4 Gy oleh sinar - X 200 kV, menunjukkan bahwa frekuensi disentrik mengalami kenaikan yang relatif berbeda untuk setiap kenaikan dosis. Hasil analisis statistik dengan model linier kuadratik dengan menggunakan program DOSE ESTIMATE 4.1, menunjukkan bahwa induksi aberasi disentrik lebih didominasi oleh radiasi jejak tunggal yang ditandai nilai koefisien alpha yang lebih besar dari beta. Kurva respon dosis disentrik akan lebih representatif apabila pengumpulan sampel lebih banyak khususnya untuk penghitungan metafase untuk setiap dosis, disamping itu untuk keperluan pembuatan kurva standar yang refresentatif perlu dilakukan uji homogenitas dari dosis yang diberikan terhadap aberasi kromosom dengan menggunakan U-Tes.
DAFTAR PUSTAKA
1. INTERNATIONAL ATOMIC ENERGY AGENCY. (2001) “Cytogenetic Analysis for
Radiation Dose Assesment” (A Manual Series
No. 405), IAEA, Vienna
2. UNSCEAR REPORT, (2000). “Sources and
Effects of Ionizing Radiation” (Vol.II), United
Nations, New York,
3. BUSHONG,S.C.(1988), Radiobologic Science
For Technologists: Physics, Biology, and Protection. 4th ed. The CV Mosby Company, St Louis
4. EDWARDS., A.A. (1977). The use of Chromosomal Aberrations in Human Lymphocytes for Biological Dosimetry.
Radiation Research 148: 539-544,
5. HALL., E.J (2000). Radiobiology for
Radiologist, 5th ed J.B. Lippincot Company, Philadelphia.
6. Du FRAIN, R.J, LITTLEFILD, L.G., JOINER, E.E., and FROME, E.L. (1980). In Vitro
Human Cytogenetic Dose-Response Systems. In The Medical Basis for Radiation Accident Preparedness. By Hubner.K.F. and
S.A.Fry,(Eds) Elsevier North Holland Inc 7. LUSIYANTI, Y., INDRAWATI,I., LUBIS, M.
AND C. BUDIANTARI, T. (2004), Aberasi kromosom Limfosit perifer Tak Stabil yang Diinduksi Sinar Gamma Co-60 Dosis Rendah.
Proseding Presentasi Ilmiah Keselamatan Radiasi dan Lingkungan IX, BATAN Jakarta.
8. SASAKI, M.S., (1971) Biological Aspects of
Radiaton Protection, edited by T.
SUGAHARA and O..HUG Berlin Springer p.81.
9. AINSBURY, A., and LLYOD, D., (2010) Dose Estimation Sofware for Radiation Biodosimetry, Health Physics 98 (2),, P 290-295.
10. SZLUINSKA, M., Edwards, A., LLOYD, D., (2005) Statistical Methods for Biological Dosimetry. HPA Report
11. LLOYD, D.C., PURROTT,R.J, DOLPHIN, G.W., BOLTON, D., EDWARDS. A.A and CORP, M.J (1975). The relationship between chromosome aberrations and Low LET radiation dose to Human Lymphocytes.
International Journal of Radiation Biology Vol
28 N0 1 : 75-90.
TANYAJAWAB
Tri Retno D.L.− Dalam penelitian ini sampel darah yang digunakan adalah isolasi limfosit. Apakah bisa digunakan juga dari sampel misalnya whole blood?
Yanti Lusiyanti
• Sampel darah yang digunakan untuk
mempelajari studi induksi aberasi kromosom oleh radiasi dapat berasal dari limfosit maupun dari whole blood, masing-masing ada kelebihan dan kekurangannya. Bila menggunakan isolasi limfosit,sampel darah diperlukan minimal 50 ml, namun apabila menggunakan whole blood sampel yang diperlukan hanya 1 ml saja.