• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan yang merupakan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA. kegiatan yang merupakan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Tidur 2.1.1 Defenisi Tidur

Tidur adalah suatu keadaan relatif tanpa sadar yang penuh ketenangan tanpa kegiatan yang merupakan siklus yang berulang-ulang dan masing-masing menyatakan fase kegiatan otak dan badan yang berbeda, dapat dibangunkan oleh sebuah rangsangan sensori atau stimulus lain dari lingkungan (Tarwoto dan Wartonah,2010).

Tidur merupakan kebutuhan dasar manusia yang merupakan mekanisme untuk memulihkan tubuh dan fungsinya, memelihara energi dan kesehatan, memiliki manfaat untuk memperbaharui sel-sel tubuh yang rusak, mengeliminasi racun-racun dan memulihkan tubuh baik secara fisik maupun emosional agar dapat bertahan hidup (Potter & Perry, 2005).

2.1.2 Fisiologi Tidur

Siklus tidur dan bangun diatur secara terpusat diotak dan dipengaruhi oleh kebiasaan sehari-hari dan lingkungan. Fisiologi tidur merupakan pengaturan kegiatan tidur yang melibatkan hubungan mekanisme cerebral yang secara bergantian agar mengaktifkan dan menekan pusat otak untuk dapat tidur dan bangun. Tidur terjadi hanya ketika perhatian dan aktifitas menurun. Pengaturan kegiatan tidur melibatkan

(2)

dua mekanisme otak yaitu Reticular Activating System (RAS) dan Bulbar

Synchronizing Region (BSR) (Taylor, Lilis & LeMone, 2001).

RAS berada di batang otak bagian atas yang dipercaya terdapat sel-sel khusus yang menyebabkan seseorang terjaga yang disebabkan oleh terjadinya pelepasan

catecholamines seperti norepinephrine diserabut syaraf RAS (Potter & Perry, 2005).

Sedangkan BSR berada di pons dan otak tengah yang merupakan bagian otak yang mengandung sel-sel khusus yang menghasilkan serotonin yang dapat menyebabkan seseorang tidur (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Berbagai neurotransmitter juga terlibat dalam proses terjadinya tidur seperti norepinefrin, acetylcholine, serotonin, dopamin, dll yang berfungsi sebagai komunikasi antara saraf-saraf di RAS yang dilepaskan dari axon untuk mengikatkan dirinya dengan reseptor spesifik pada sel saraf lainnya (Taylor, Lilis & LeMone, 2001). Serotonin adalah neurotransmiter utama menurunkan aktifitas RAS sehingga menyebabkan tidur dan pada keadaan sadar, saraf-saraf dalam RAS melepaskan katekolamin seperti norepinefrin (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Perangsangan pada beberapa daerah spesifik otak dapat menimbulkan keadaan tidur dengan sifat-sifat mendekati tidur alami. Daerah perangsangan yang paling mencolok adalah nucleus raphe yang terletak diseparuh bagian bawah pons dan medulla. Daerah ini merupakan lembaran tipis nuklei. Serat saraf dari nuklei ini menyebar secara luas diformasio retikularis dan juga keatas menuju talamus,

(3)

neokorteks, hipotalamus dan sebagian besar daerah sistem limbik. Selain itu serat-serat juga menyebar kebawah menuju medulla spinalis, berakhir diradiks posterior dimana serat-serat ini dapat menghambat sinyal-sinyal nyeri yang masuk. Juga telah diketahui bahwa ujung serat dari neuron raphe ini mensekresikan serotonin. Juga bila seekor binatang diberi obat menghambat serotonin, maka binatang tersebut seringkali tidak dapat tidur selama beberapa hari berikutnya. Oleh karena itu, dianggap bahwa serotonin merupakan bahan transmitter utama berkaitan dengan timbulnya keadaan tidur (Taylor, Lilis & LeMone, 2001).

2.1.3 Tahapan Tidur

Setiap malam seseorang mengalami dua tipe yang saling bergantian. Tahapan tidur normal ada dua yaitu, tahapan tidur Non Rapid Eye Movement (NREM) dan tahapan tidur Rapid Eye Movement (REM). Tahapan tidur ini memiliki karakteristik tertentu yang dianalisis dengan bantuan Elektroencefalograph (EEG) yang menerima dan merekam gelombang otak, Elektrooculogram (EOG) yang merekam pergerakan mata dan Elektromyograph (EMG) yang merekam tonus otot (Taylor, Lilis & LeMone, 2001).

2.1.3.1 Tidur Non Rapid Eye Movement (NREM)

Tidur NREM juga disebut sebagai tidur gelombang lambat. Craven & Hirnle,(2000) menjelaskan bahwa karakteristik dari tidur NREM adalah 75% sampai 80% dari total waktu tidur orang dewasa normal yang ditandai dengan aktifitas mental tubuh yang minimum. Tidur NREM ini terdiri dari 4 stadium tidur yang

(4)

memiliki karakteristik tertentu. Pada setiap stadium dari tidur NREM akan mengalami beberapa perubahan seiring dengan bertambahnya usia dimana terdapat peningkatan kuantitas dari stadium satu dan dua serta penurunan kuantitas dari stadium tiga dan empat.

Stadium I

Merupakan stadium paling ringan yang artinya jika seseorang tidur, masih dapat dibangunkan dengan mudah (Tarwoto & Wartonah, 2010). Karakteristik NREM tahap I menurut Potter & Perry (2005), yaitu merupakan tahap yang paling awal dari tidur, tahapan ini berakhir dalam beberapa menit, terjadi penurunan fisiologis dimulai dari penurunan secara bertahap tanda-tanda vital dan metabolisme, seseorang dengan mudah terbangun oleh stimulus sensori seperti suara dan ketika terbangun seseorang merasa seperti telah melamun. Juga ditandai dengan aktifitas EEG frekuensi tinggi amplitudo rendah (Ganong, 2002).

Stadium II

Pada fase ini seseorang lebih rileks tetapi masih dapat dibangunkan dengan memanggil namanya dan merupakan periode tidur bersuara (Potter & Perry, 2005). Pada tahap ini terjadi kumparan tidur (Sleep Spindle), dan terjadi letupan-letupan gelombang mirip alfa (Ganong, 2002). Karakteristiknya adalah bola mata berhenti bergerak, tonus otot masih berkurang, tidur lebih dalam dari fase pertama, fase ini berlangsung 50-55% dari total waktu tidur (Taylor, Lilis & LeMone, 2001).

(5)

Kemajuan relaksasi, untuk terbangun relatif mudah dan tahapan berakhir 10-20 menit (Potter & Perry, 2005).

Stadium III

Fase tidur ini lebih dalam dari fase sebelumnya. Karakteristiknya adalah tanda-tanda vital menurun tetapi tetap teratur, otot-otot dalam keadaan santai penuh, seseorang akan sulit dibangunkan dan jarang bergerak, serta peningkatan fungsi penyimpanan energi (Potter & Perry, 2005). Fase ini berlangsung 10% dari total waktu tidur atau selama 15-30 menit (Craven & Hirnle, 2000).

Stadium IV

Fase ini merupakan tidur yang lambat dan dalam dengan karakteristiknya adalah sangat sulit untuk dibangunkan, pernafasan dan nadi menurun, tekanan darah menurun, suhu menurun dan metabolisme lambat dan otot-otot relaksasi (Potter & Perry, 2005).

2.1.3.2 Tidur Rapid Eye Movement (REM)

Tahap tidur REM sangat berbeda dari tidur NREM. Tidur REM adalah tahapan tidur yang paling aktif. Pola nafas dan denyut jantung tidak teratur dan tidak terjadi pembentukan keringat. Sepanjang tidur malam yang normal tidur REM berlangsung selama 5-30 menit dan biasanya muncul rata-rata setiap 90 menit, dimana tidur REM yang pertama terjadi dalam waktu 80-100 menit sesudah orang

(6)

tersebut tidur. Karakteristik tidur REM yaitu lebih sulit dibangunkan dibandingkan dengan tidur NREM, pada orang dewasa normal REM yaitu 20-25% dari tidur malamnya, jika individu terbangun pada tidur REM biasanya terjadi mimpi, tidur REM penting untuk keseimbangan mental, emosi, juga berperan dalam belajar, memori dan adaptasi (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Skema 1. Tahapan Tidur (dikutip dari fundamental of nursing by Potter & Perry) (2005)

Mengantuk

Stadium 1 NREM Stadium 2 NREM Stadium 3 NREM

REM Stadium 4 NREM

Stadium 2 NREM Stadium 3 NREM

2.1.4 Fungsi Tidur

Fungsi tidur yang adekuat secara jelas tidak diketahui (Hidayat, 2006). Walaupun demikian kekurangan tidur dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kematian. Manfaat tidur yaitu untuk menjaga keseimbangan mental, emosional, kesehatan, mengurangi stress pada paru, kardiovaskuler,endokrin, dan lain-lain.

Potter & Perry (2005) menyebutkan bahwa salah satu teori mengatakan tidur adalah saat untuk memulihkan dan mempersiapkan energi untuk periode berikutnya. Denyut nadi saat tidur juga menurun yang dapat memelihara jantung. Tidur dapat

(7)

memulihkan proses biologis, dimana selama tahapan NREM stadium 4 tubuh mengeluarkan hormon pertumbuhan yang memperbaiki sel-sel epitel penting seperti sel-sel otak. Tidur NREM berfungsi sebagai waktu untuk memulihkan fisik. Sintesa protein juga berlangsung selama tidur.

Tahapan tidur REM penting untuk pemulihan kognitif dengan meningkatnya kelancaran aliran darah cerebral, meningkatnya aktivitas cortisol, meningkatnya konsumsi oksigen yang membantu penyimpanan memori dan proses belajar (Potter & Perry, 2005). Tidur REM berfungsi sebagai waktu untuk memulihkan mental dan emosional.

2.2 Konsep Kualitas Tidur 2.2.1 Pengkajian Kualitas Tidur

Kualitas tidur adalah suatu keadaan yang dapat dilihat dari kemampuan individu dalam mempertahankan tidur dan mendapat kebutuhan tidur yang cukup dari tidur REM dan NREM, pada sebagian orang ditentukan oleh kuantitas tidur (Alcott,2007). Kualitas tidur dapat diketahui dengan melakukan pengkajian yang meliputi data subjektif dan objektif (Craven & Hirnle, 2000).

Data subjektif merupakan kriteria yang sangat penting untuk menentukan kualitas tidur seseorang melalui pernyataan subjektif mengenai kualitas tidur yang dialaminya. Pernyataan subjektif ini sangat bervariasi pada individu (Potter & Perry, 2005). Dalam pernyataan subjektif, individu biasanya melaporkan pengalaman tidur yang dialami berkaitan dengan total waktu tidur, lamanya waktu yang dibutuhkan

(8)

untuk tertidur, frekuensi seringnya terbangun pada malam hari dan waktu bangun dipagi hari (Craven & Hirnle,2000).

Data objektif dapat dilihat dari pemeriksaan fisik dan diagnostik (Tarwoto & Wartonah, 2010). Pemeriksaan fisik dapat diobservasi dari penampilan wajah seperti adanya lingkaran hitam disekitar mata, mata sayu dan konjungtiva merah. Dapat juga dilihat dari perilaku dan tingkat energi individu seperti perilaku iritabel, kelelahan, respon lambat, sering menguap, bingung, postur tubuh tidak stabil dan tangan tremor serta pusing dan mual. Dari pemeriksaan diagnostik dapat dilakukan dengan merekam proses tidur dengan alat-alat seperti EEG (electroencephalogram) untuk melihat aktivitas listrik otak, EMG (electromyogram) untuk pengukuran tonus otot dan EOG (electrooculogram) untuk melihat pergerakan mata (Potter & Perry, 2005).

Walaupun pengukuran kualitas tidur dengan perekaman proses tidur dengan EEG, EMG, EOG dalam hal ini data objektif memberikan hasil yang valid namun dengan pengukuran kualitas tidur menggunakan data subjektif sangat dibutuhkan dalam mengkaji kualitas tidur. Penelitian selanjutnya yang dilakukan oleh Vitiello et al (2004) yang meneliti tentang korelasi antara hasil yang didapatkan beberapa partisipan yang diukur kualitas tidurnya secara subjektif dengan menggunakan

Pittsburgh Sleep Quality Index (PSQI) dan secara objektif dengan menggunakan

polysomnography memiliki hubungan yang sangat signifikan meliputi variabel jumlah waktu tidur, waktu yang dihabiskan di tempat tidur, latensi tidur, dan efisiensi tidur. Penelitian lainnya yang dilakukan oleh Cohen (1997, dalam Bukit, 2003) juga

(9)

melaporkan korelasi antara pengukuran tidur dengan data objektif yang dilakukan oleh teman sekamar dan laporan pribadi mencapai angka 0,84 yang mengindikasikan bahwa korelasi yang sangat kuat.

Sehubungan dengan hal diatas pengukuran kualitas tidur dengan menggunakan alat-alat EEG, EOG, dan EMG merupakan pengukuran kualitas tidur yang standard, namun tidak memungkinkan untuk dilakukan pada penelitian ini karena alat yang tidak tersedia, sehingga pengukuran kualitas tidur dengan menggunakan data subjektif dengan menggunakan kuesioner PSQI dan data observasi dapat menjadi parameter kualitas tidur yang digunakan dalam penelitian ini.

2.2.2 Kualitas Tidur Anak Usia Sekolah

Lama tidur yang dibutuhkan seseorang tergantung pada tahap perkembangan atau usianya. Semakin tua usia seseorang, semakin sedikit pula lama tidur yang diperlukan atau dengan kata lain waktu yang diperlukan untuk tidur bagi anak-anak lebih banyak jika dibandingkan dengan orang dewasa. Pola tidur normal pada anak usia sekolah adalah 10 jam per hari. Kebiasaan tidur setiap orang adalah bervariasi tergantung pada kebiasaan yang dibawa semasa perkembangannya menjelang dewasa, aktivitas pekerjaan, usia, kondisi kesehatan dan lain sebagainya (Tarwoto & Wartonah, 2010).

Hal-hal yang harus diperhatikan dalam mengkaji kualitas tidur anak usia sekolah adalah total waktu tidur anak, waktu yang dibutuhkan anak untuk dapat tidur,

(10)

jumlah atau frekuensi terjaga pada anak selama tidur, perasaan anak saat bangun tidur, persepsi anak tentang kedalaman tidur, dan persepsi anak tentang kepuasan tidur.

Kebutuhan tidur yang cukup ditentukan selain oleh faktor jumlah jam tidur (kuantitas), juga oleh faktor kedalaman tidur (kualitas tidur). Seseorang dapat tidur dengan waktu yang pendek, namun dengan kedalaman tidur yang cukup. Sehingga dengan demikian, pada saat bangun tidur, akan terasa segar kembali dan pola tidur yang demikian tidak akan mengganggu kesehatan. Kurang tidur yang sering terjadi dan berkepanjangan, dapat mengganggu kesehatan fisik dan mempengaruhi sistem syaraf, menyebabkan terjadinya perubahan suasana kejiwaan (psikis), kurang tanggap terhadap adanya rangsangan (lamban), dan kurang dapat berkonsentrasi (Ramadhan, 2008).

Ada beberapa tanda yang perlu diperhatikan pada anak yang kurang istirahat atau tidur, yaitu : mengungkapkan rasa lelah, lingkar hitam disekitar mata, tremor dan postur tubuh tidak stabil, konsentrasi menurun dan respon lambat, pusing dan mual, konjungtiva merah, menangis, rewel, cengeng, bingung, dan sering menguap (Ramadhan, 2008).

Faktor yang mempengaruhi kualitas maupun kuantitas tidur secara umum antara lain adanya penyakit serta rasa nyeri, keaadaan lingkungan yang tidak nyaman

(11)

dan tidak tenang, kelelahan, emosi tidak stabil, beberapa jenis obat-obatan dan penggunaan alkohol (Ramadhan, 2008).

2.3 Konsep Anak Usia Sekolah 2.3.1 Defenisi Anak Usia Sekolah

Anak usia sekolah adalah anak yang berumur 6 sampai 12 tahun yang masih duduk di sekolah dasar dari kelas 1 sampai kelas 6 dan perkembangan sesuai usianya( Wong, 2008).

Rentang kehidupan yang dimulai dari usia 6 sampai mendekati 12 tahun memiliki berbagai label, yang masing-masing menguraikan karakteristik penting dari periode tersebut. Periode usia pertengahan ini sering kali disebut usia sekolah atau masa sekolah (Wong, 2008).

2.3.2 Tugas Perkembangan Anak Usia Sekolah

a) Perkembangan Biologis

Selama masa kanak-kanak pertengahan, pertumbuhan tinggi dan berat badan terjadi lebih lambat tetapi pasti jika dibandingkan dengan masa sebelumnya. Antara usia 6-12 tahun, anak-anak akan mengalami pertumbuhan sekitar 5 cm per tahun untuk mencapai tinggi badan 30-60 cm dan berat badannya akan bertambah hampir dua kali lipat, bertambah 2-3 kg per tahun. Tinggi rata-rata anak usia 6 tahun adalah sekitar 116 cm dan berat badannya sekitar 21 kg; tinggi rata-rata anak usia 12 tahun adalah sekitar 150 cm dan berat badannya mendekati 40 kg. Pada periode ini, anak

(12)

laki-laki cenderung sedikit lebih tinggi dan kadang-kadang sedikit lebih berat dari anak perempuan ( Wong, 2008).

b) Perkembangan Psikososial

Masa kanak-kanak pertengahan adalah periode perkembangan psikoseksual yang dideskripsikan oleh Freud sebagai periode laten, yaitu waktu tenang antara fase Odipus pada masa kanak-kanak awal dan erotisisme masa remaja. Selama waktu ini, anak-anak membina hubungan dengan teman sebaya sesama jenis setelah pengabdian pada tahun-tahun sebelumnya dan didahului ketertarikan pada lawan jenis yang menyertai pubertas ( Wong, 2008).

Menurut Erikson perkembangan psikososial ada 2 tahap yaitu tahap industri atau pencapaian dan tahap inferioritas atau perasaan kurang berharga. Dimana tahap industri, anak usia sekolah ingin mengembangkan keterampilan dan berpartisipasi dalam pekerjaan yang berarti dan berguna secara sosial. Dengan tumbuhnya rasa kemandirian, anak usia sekolah ingin terlibat dalam tugas yang dapat dilakukan sampai selesai. Sedangkan pada tahap inferioritas, anak usia sekolah tidak dipersiapkan untuk memikul tanggung jawab yang terkait dengan perkembangan rasa pencapaian, perasaan kurang berharga dapat timbul dari anak itu sendiri dan dari lingkungan sosial nya (Wong, 2008).

(13)

c) Perkembangan Kognitif

Tahap operasional konkret menurut J.Piaget adalah anak mampu menggunakan proses berpikir untuk mengalami peristiwa dan tindakan. Pemikiran egosentris yang kaku pada tahun-tahun prasekolah digantikan dengan proses pikiran yang memungkinkan anak melihat sesuatu dari sudut pandang orang lain. Selama tahap ini anak mengembangkan pemahaman mengenai hubungan antara sesuatu hal dan ide. Anak mengalami kemajuan dari pembuat penilaian berdasarkan apa yang mereka lihat (pemikiran perseptual) sampai membuat penilaian berdasarkan alasan mereka (konseptual) ( Wong, 2008).

d) Perkembangan Moral

Menurut Kohlberg, pola pikir anak mulai berubah dari egosentrisme ke pola pikir logis, mereka juga bergerak melalui tahap perkembangan kesadaran diri dan standar moral. Anak mempelajari standar-standar untuk perilaku yang dapat diterima, bertindak sesuai dengan standar tersebut dan merasa bersalah jika melanggarnya. Anak usia sekolah mampu menilai suatu tindakan berdasarkan niat dibandingkan akibat yang dihasilkannya. Peraturan dan penilaian tidak lagi bersifat mutlak dan otoriter serta lebih banyak kebutuhan dan keinginan orang lain. Mereka mampu memahami dan menerima bagaimana memperlakukan orang lain dan seperti bagaimana yang anak inginkan ( Wong, 2008).

(14)

e) Perkembangan Spiritual

Perkembangan spiritual pada anak usia sekolah mempunyai batasan berfikir yang sangat konkret, tetapi pelajar yang baik dan memiliki kemauan besar untuk mengenal Tuhan. Mereka menggambarkan Tuhan adalah “sayang” dan “membantu” dan mereka sangat tertarik dengan adanya surga dan neraka. Dengan perkembangan kesadaran diri dan perhatian terhadap peraturan, anak takut masuk neraka karena kesalahan dalam perbuatannya. Anak usia sekolah ingin dan berharap dihukum apabila mereka melakukan kesalahan dan jika diberi pilihan anak lebih memilih hukuman yang sesuai dengan kejahatannya. Sering kali anak menggambarkan penyakit dan cedera adalah hukuman karena kelakuan yang buruk yang nyata maupun kelakuan buruk dalam pikiran anak. Konsep agama harus dijelaskan kepada anak dalam istilah yang konkret. Anak merasa nyaman dengan berdoa atau melakukan ritual agama lainnya, dan aktivitas ini merupakan bagian kegiatan sehari-hari anak. Hal ini dapat membantu anak dalam melakukan koping dalam menghadapi situasi yang mengancam ( Wong, 2008).

f) Perkembangan Sosial

Anak usia sekolah akan bersosialisasi dengan kelompok teman sebaya. Selain orang tua dan sekolah, kelompok teman sebaya memberi sejumlah hal yang penting kepada temannya yang lain. Anak usia sekolah memiliki budaya mereka sendiri, disertai rahasia, adat istiadat, dan kode etik yang meningkatkan rasa solidaritas

(15)

kelompok dan melepaskan diri dari kelompok orang dewasa. Identifikasi dengan teman sebaya memberi pengaruh kuat bagi anak dalam memperoleh kemandirian dari orang tua. Bantuan dan dukungan kelompok memberi anak rasa aman yang cukup untuk menghindari resiko penolakan dari orang tua yang disebabkan oleh setiap kemenangan kecil dalam perkembangan kemandirian (Wong, 2008).

2.4 Konsep Aromaterapi 2.4.1 Pengertian Aromaterapi

Aromaterapi berasal dari dua kata yaitu aroma dan terapi. Dimana aroma berarti bau harum atau bau-bauan dan terapi berarti pengobatan. Aromaterapi adalah salah satu cara pengobatan penyakit dengan menggunakan bau-bauan yang umumnya berasal dari tumbuh-tumbuhan serta berbau harum, gurih enak dan biasanya disebut dengan minyak atsiri (Agusta, 2000).

Aromaterapi adalah suatu terapi yang meliputi penggunaan minyak esensial yang berasal dari tanaman, yang dapat digunakan sebagai salah satu terapi alternatif dengan memanfaatkan uap minyak/minyak atsiri (esensial oil) dan melibatkan organ penciuman manusia.

2.4.2 Aromaterapi Lavender

Lavender oil yang umum digunakan dalam perawatan memiliki nama latin

lavunda angustifolia. Minyak lavender ini berasal dari bunga lavender, wanginya

(16)

digunakan untuk mengobati luka. Kandungan zat aktif yang dimiliki lavender berkasiat sebagai penghilang rasa sakit, antiseptik, meregenerasi sel kulit dan menenangkan sel saraf, mengatasi ketegangan otot, dan mengatasi gangguan pencernaan. Minyak lavender dapat digunakan sebagai campuran minyak pijat, diteteskan pada air mandi untuk berendam, inhalasi atau pewangi ruangan dan memberikan efek relaksasi. Lavender dikenal dengan sebutan bahasa latin lavandula

officinalis L. Vera. Minyak lavender diperoleh dengan cara distilasi bunga.

Komponen kimia utama yang dikandungnya adalah ester jenis linalil asetat, linalool, alkohol, oksida, keton dan aldehid (Agusta, 2000).

Minyak levender sangat bersifat serba guna, sangat cocok untuk merawat kulit terbakar, terkelupas, dan juga membantu kasus insomnia/sulit tidur. Aromanya berkasiat membangkitkan kesehatan, cinta, dan kedamaian (Agusta, 2000). Lavender juga bersifat analgesik; untuk nyeri kepala, nyeri otot, bersifat antibakterial, antifungal, antiinflamasi, antiseptik, dan penenang (Price, 1997). Sejauh ini tidak ada kontraindikasi yang diketahui dan tidak terdapat iritasi atau sensitisasi jika digunakan pada kulit dan juga tidak mengiritasi mukosa. lavender adalah aromaterapi yang sangat aman yang banyak digunakan untuk keperluan-keperluan rumah tangga dan wanginya yang banyak digemari (Price, 1997).

2.4.3 Sifat Teraupetik Aromaterapi

Bau yang segar, harum, merangsang sensori, reseptor dan akhirnya mempengaruhi organ yang lain. Berbeda dengan obat kimiawi sintetis, pemakaian minyak esensial tumbuhan sebagai bahan aromaterapi tidak dianggap benda asing

(17)

oleh tubuh, sehingga tidak memperberat kerja organ-organ tubuh minyak esensial masuk ke sirkulasi tubuh dan menuju organ sasaran untuk memberikan reaksi (Niken, 2007).

Aromaterapi yang dipakai bisa berupa pengharum ruangan, dupa (incense

stick), cologne/parfum, minyak esensial yang dibakar bersama air diatas tungku kecil,

atau bentuk-bentuk yang lainnya. Aromaterapi selalu dihubungkan dengan hal-hal menyenangkan agar membuat jiwa, tubuh dan pikiran merasa relaks dan bebas. Aromaterapi digunakan untuk relaksasi dan pengobatan.

Banyak alasan mengapa minyak esensial atau aromaterapi perlu diikutsertakan dalam proses penyembuhan penyakit, karena minyak esensialnya memiliki banyak sifat yang positif dan memberikan efek seperti yang diinginkan seperti antiseptik, antibiotik, analgetik, sedatif dan sebagainya, tetapi hanya sedikit yang memiliki kekurangan seperti yang bersifat mengiritasi kulit seperti daun kayu manis, daun cengkeh. Hal penting mengapa minyak esensial disukai adalah karena aromanya yang menyenangkan. Bahan ini banyak sekali digunakan dalam keperluan rumah tangga (contohnya lemon dan lavender) dan diterima dengan baik oleh karena jauh lebih menyenangkan dan aman bila dibandingkan dengan pemakaian karbol. Aromanya sendiri akan memberikan efek dan manfaat kepada orang yang menggunakannya (Price, 1997).

(18)

a. Antiseptik dan Antibiotik

Minyak esensial memiliki kerja dan efek yang multiple misalnya minyak esensial yang dipakai dalam pengobatan infeksi respiratorius, minyak ini bukan saja memberikan kasiat antiseptik, tetapi juga mukolitik, anti inflamasi dan seterusnya. Contoh lainnya adalah penggunaan minyak esensial dalam sistem pencernaan yang sekalipun bersifat antiseptik, kerja minyak esensial ini tidak mengganggu kerja flora usus serta fungsi sekresi saluran cerna sehingga berbeda dengan antibiotik yang tidak dikehendaki. Penggunaan minyak esensial merupakan cara yang pasti untuk menghindari fenomena timbulnya resistensi pada mikroba karena essence aromatic dapat membunuh secara selektif strain kuman yang resisten. Beberapa minyak esensial yang berkhasiat antiseptik dan antibiotik antara lain lavender, peppermint, cengkih, mawar, lemon dan lain sebagainya. Sifat antiseptik minyak esensial ini juga dapat digunakan sebagai sarana yang sangat menyenangkan dan efektif untuk desinfeksi udara dalam ruangan tertutup, sehingga ideal untuk digunakan dalam kamar klien, unit luka bakar, bagian resepsionis, ruang tunggu dan lain-lain (Price, 1997).

b. Analgesik

Banyak minyak esensial memiliki sifat analgesik hingga derajat tertentu dan mengapa terjadi demikian tampaknya tidak ada keterangan yang dapat menjelaskan, mengingat rasa nyeri itu sendiri merupakan masalah yang rumit. Namun diperkirakan

(19)

sifat analgetik ini terjadi akibat efek antiinflamasi, sirkulasi serta detoksifikasi dan juga sifat anastesi dari minyak esensial itu sendiri. Senyawa fenol yang terdapat pada minyak cengkeh sudah dikenal sebagai obat yang dapat menghilangkan pegal, nyeri otot, dan sakit gigi. Pada kulit, minyak yang kaya dengan senyawa terpene memiliki efek analgesik, khususnya obat yang mengandung paracymene (Price, 1997).

Beberapa minyak esensial memiliki sifat sedatif universal sebagai pereda nyeri, misalnya chamomile, canaga ordorata, citrus bergamia, cengkeh, lavender dan masih banyak jenis minyak esensial lain berkhasiat sebagai analgesik.

c. Pengatur Keseimbangan

Aromaterapi memiliki khasiat yang benar-benar dirasakan untuk mengatur keseimbangan. Minyak esensial merupakan campuran yang komplek dari berbagai konsistensi alami sebagian diantaranya bersifat stimulant sementara sebagian lainnya bersifat sedatif sehingga satu minyak esensial bias saja memperlihatkan efek stimulasi pada suatu keadaan lain. Efek ini dikenal sebagai efek adaptogenik. Salah satu contoh minyak esensial yang dapat digunakan sebagai pengatur keseimbangan tekanan darah yaitu kenanga atau canaga ordorata (Price, 1997).

d. Hormonal

Sebagian minyak esensial memiliki kecenderungan untuk menormalkan sekresi hormonal dan kerjanya ini diperkirakan terjadi secara langsung atau hipofise. Kerja yang mirip hormon ini dari ekstrak tanaman dilaporkan tidak memiliki efek

(20)

samping. Contoh dari minyak esensial yang bersifat hormonal yaitu pinus, geranium,

rosemary yang dapat merangsang korteks kelenjar adrenal, ekstrak biji fanel memiliki

efek estrogenic (Price, 1997).

e. Sedatif

Dimasa lampau, sifat-sifat sedatif pada minyak esensial hamper dianggap sebagai lelucon, namun saat ini beberapa jenis minyak esensial sudah diselidiki dan ternyata efektif sebagai sedatif. Jenis-jenis minyak esensial tersebut adalah lavender yang dapat menenangkan sistem saraf pusat karena kandungan citronella serta senyawa monoterpena lainnya.

Lavender dikenal sebagai minyak penenang dan kini banyak digunakan dalam bangsal rumah sakit untuk membantu pasien tidur, efek sedatif pada lavender diperkirakan terjadi sebagian karena adanya senyawa-senyawa coumarin dalam minyak tersebut sekalipun kandungannya rendah.

Selain memiliki banyak manfaat aromaterapi juga memiliki efek yang tidak diinginkan. Namun demikian, efek ini sangat jarang dan kebanyakan terjadi setelah pemberian yang overdosis. Selain itu efek samping yang terjadi biasanya sebagai akibat penyalahgunaan minyak esensial, misalnya menggunakan minyak esensial untuk menggugurkan kandungan ataupun anak-anak yang meminum minyak esensial ini langsung dari botolnya (Agusta, 2000).

(21)

Efek yang biasanya ditimbulkan yaitu iritasi pada kulit, iritasi pada membran mukosa, fototoksisitas, nefrotoksitas. Namun hal ini baru terjadi jika penggunaan aromaterapi yang tidak sesuai dengan ketentuan dan overdosis. Namun kebanyakan minyak esensial dilaporkan aman digunakan karena hanya sedikit yang dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan.

2.4.4 Cara Penggunaan Aromaterapi

Ada banyak cara yang dapat digunakan dalam pemakaian aromaterapi, baik pemakaian melalui interna maupun eksterna. Pemakaian melalui interna yaitu melalu oral dan pemakaian melalui eksterna yaitu dengan cara pijat, rendaman, kompres dan inhalasi (Agusta, 2000).

Inhalasi merupakan cara konservatif pada pemakaian minyak esensial dalam lingkungan asuhan kesehatan. Minyak esensial ini dapat diberikan dengan kertas tissue, kedua belah tangan, alat penguapan, pewangi ruangan dan lain-lain. Dan semua cara pemberian ini efektif dalam situasi yang tepat.

2.4.5 Cara Kerja Aromaterapi

a. Absorbsi melalui kulit

Berdasarkan kelarutannya dalam lipid yang ditemukan dalam stratum

korneum, minyak esensial dianggap mudah diserap. Penyerapan senyawa-senyawa

(22)

dalam kompleks saluran limfe serta darah, kelenjar keringat, saraf, serta masuk ke dalam aliran darah dan menuju kesetiap sel tubuh untuk bereaksi (Agusta, 2000).

Ada banyak faktor yang menentukan kecepatan dan kuantitas setiap substansi dalam menembus kulit, namun secara umum kulit merupakan membran semipermeabel yang sedikit banyak mudah ditembus oleh substansi. Sifat-sifat fisikokimia molekul seperti berat molekul serta susunan spasial liposolubilitas, koefisien difusi dan disosiasi merupakan dasar terjadinya penetrasi kulit.

b. Pemberian melalui nasal

Akses lewat jalur nasal merupakan cara yang paling cepat dan efektif untuk pengobatan permasalahan emosional seperti susah tidur, stres, depresi dan juga beberapa tipe nyeri kepala. Hal ini karena hidung mempunyai hubungan langsung dengan otak yang bertanggung jawab dalam memicu respon efek aromaterapi untuk mencapai otak.

Jika minyak esensial dihirup, molekul-molekul atsiri dalam minyak tersebut akan terbawa oleh arus turbulen ke langit-langit hidung. Pada langit-langit hidung terdapat silia yang menjulur dari sel-sel reseptor kedalam saluran hidung. Kalau molekul minyak tertahan pada silia, suatu impuls akan ditransmisikan lewat bulbus olfaktorius dan traktus olfaktorius ke dalam sistem limbik. Proses ini akan memacu respon memori dan emosional yang lewat hipotalamus yang bekerja sebagai pemancar serta regulator menyebabkan pesan tersebut dikirim kebagian otak yang

(23)

lain dan bagian tubuh lainnya. Pesan yang diterima akan diubah menjadi kerja sehingga terjadi pelepasan zat-zat neurokimia yang bersifat eoforik, relaksan, sedatif, atau stimulan menurut keperluan tubuh. Kemudian serabut-serabut dari nervus olfaktorius membawa impuls kedalam bagian otak yang kecil tetapi signifikan yaitu lokus seruleus dan nucleus raphe. Noreadrenalin terkonsentrasi dalam lokus seruleus dan serotonin dalam nucleus raphe. Selanjutnya aroma sedatif seperti bau minyak lavender memberi efek stimulasi nucleus raphe yang kemudian akan melepaskan zat neurokimia serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yang mengatur permulaan tidur (Somer & Elizabeth, 1999).

2.4.6 Penggunaan Aromaterapi Lavender untuk Meningkatkan Kualitas Tidur

Menurut Potter & Perry (2005), fisiologi tidur dimulai dari irama sirkandian yang merupakan irama yang dialami individu yang terjadi selama 24 jam. Irama sirkandian mempengaruhi pola fungsi mayor biologik dan fungsi perilaku. Perubahan temperatur tubuh, denyut nadi, tekanan darah, sekresi hormon, ketajaman sensori dan suasana hati juga tergantung pada pemeliharaan siklus sirkandian. Irama sirkandian meliputi siklus rutin bangun tidur yang dapat dipengaruhi oleh cahaya, temperatur dan faktor eksternal seperti aktivitas sosial dan pekerjaan rutin.

Dari beberapa terapi dalam penanganan kualitas tidur pada anak tersebut salah satu diantaranya dapat dilakukan dengan pemberian aromaterapi lavender. Lavender merupakan minyak esensial yang dapat digunakan untuk mempengaruhi tidur. Tetesan campuran minyak esensial lavender akan membantu menghasilkan tidur bagi

(24)

pasien dengan kandungan minyak esensialnya yang merupakan zat penenang akan memudahkan terjadinya tidur.

Jika minyak esensial dihirup, molekul-molekul atsiri dalam minyak tersebut akan terbawa oleh arus turbulen kelangit-langit hidung. Pada langit-langit hidung terdapat bulu-bulu halus (silia) yang menjulur dari sel-sel reseptor kedalam saluran hidung. Bila molekul minyak terkunci pada bulu-bulu maka suatu impuls elektromagnetik akan ditransmisikan lewat bulbus olfaktorius dan traktus olfaktorius kedalam sistem limbik (amindala serta hipokampus). Proses ini akan memicu respon memori dan emosional yang lewat hipotalamus yang bekerja sebagai pemancar serta regulator menyebabkan pesan tersebut dikirim kebagian otak yang lain dan bagian tubuh lainnya. Pesan yang diterima akan diubah menjadi kerja sehingga terjadi pelepasan zat-zat neurokimia yang bersifat eoforik, relaksan, sedatif atau stimulan menurut keperluannya.

Noradrenalin terkonsentrasi dalam lokus seruleus dan serotonin dalam nucleus raphe. Selanjutnya aroma sedatif seperti bau minyak lavender memberi efek stimulasi nucleus raphe yang kemudian akan melepaskan zat neurokimia serotonin. Serotonin merupakan neurotransmitter yang mengatur permulaan tidur (Somer & Elizabeth, 1999).

(25)

2.5 Konsep Rawat Inap 2.5.1 Defenisi Rawat Inap

Rawat inap atau hospitalisasi merupakan keadaan krisis yang mengharuskan anak dirawat atau tinggal di rumah sakit untuk mendapatkan perawatan intensif, yang menyebabkan terjadi perubahan psikis pada anak. Keadaan ini terjadi karena anak berusaha untuk beradaptasi dengan lingkungan yang baru sehingga kondisi tersebut menjadi faktor penyebab buruknya kualitas tidur pada anak ( Wong, 2008).

Rawat inap merupakan pengalaman bagi individu karena faktor penyebab kualitas tidur yang buruk yang dialami dan menimbulkan perasaan yang tidak nyaman dan aman, seperti: lingkungan yang asing, berpisah dengan orang terdekat, kehilangan kebebasan dan kemandirian, pengalaman yang berkaitan dengan pelayanan kesehatan dan perilaku petugas rumah sakit (Wong, 2008).

2.5.2 Dampak Rawat Inap

Perawatan di rumah sakit merupakan masalah besar dan menimbulkan ketakutan, kecemasan, bagi anak. Dampak rawat inap yang dialami anak akan menimbulkan stress dan rasa tidak nyaman. Efek dan jumlah stress tergantung pada persepsi anak terhadap diagnosa penyakit dan pengobatan (Supartini, 2004).

Anak-anak dapat bereaksi terhadap stress rawat inap sebelum mereka masuk, selama dirawat, dan setelah pemulangan mereka ke rumah. Anak akan cenderung lebih manja, akan meminta perhatian lebih dari orang tua. Stress yang umumnya

(26)

terjadi berhubungan dengan rawat inap adalah takut dengan lingkungan rumah sakit, kegiatan rumah sakit, tindakan perawat yang menyakitkan dan takut akan kematian. Konsep sakit yang dimiliki anak bahkan lebih penting dibandingkan usia dan kematangan intelektual dalam memperkirakan tingkat kecemasan sebelum dirawat. Reaksi rawat inap pada anak bersifat individual dan tergantung pada tahapan usia perkembangan anak. Emosional pada anak sering ditunjukkan dengan ekspresi menagis, marah dan berduka sebagai bentuk yang wajar dalam mengatasi stress akibat rawat inap ( Wong, 2008).

Anak sering menganggap sakit adalah hukuman untuk perilaku buruk, hal ini terjadi karena anak masih mempunyai keterbatasan koping. Anak juga mempunyai kesulitan dalam pemahaman mengapa mereka sakit, tidak bisa bermain dengan teman sebayanya, mengapa mereka terluka dan nyeri sehingga mereka harus ke rumah sakit dan harus mengalami rawat inap. Reaksi anak tentang hukuman yang diterimanya dapat bersifat tidak kooperatif, menyebabkan anak menjadi marah. Sehingga anak kehilangan kontrol sehubungan terganggunya fungsi motorik yang mengakibatkan berkurangnya percaya diri pada anak, sehingga tugas perkembangan yang sudah dicapai akan terhambat ( Wong, 2008).

2.5.3 Reaksi Anak Usia Sekolah Terhadap Sakit dan Rawat Inap

Anak usia sekolah membayangkan rawat inap di rumah sakit adalah perpisahan dengan orang tua, merasa tidak nyaman, aktivitas dan kemandiriannya

(27)

terbatas dan terhenti. Anak akan bertanya mengapa berada di rumah sakit, bingung, dan bermacam pertanyaan yang akan ditanya dikarenakan anak tidak mengetahui yang sedang terjadi ( Wong, 2008). Reaksi rawat inap pada anak bersifat individual dan sangat bergantung pada tahapan usia perkembangan anak. Pengalaman sebelumnya di rumah sakit, sistem pendukung yang tersedia dan kemampuan koping yang dimiliki anak ( Supartini, 2004).

Menurut Wong (2008) reaksi anak terhadap sakit dan rawat inap dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : perkembangan anak terhadap sakit berbeda-beda sesuai tingkat perkembangan anak. Berkaitan dengan umur anak, semakin muda anak maka akan semakin sukar baginya untuk menyesuaikan diri mereka tentang pengalaman di rumah sakit; Pengalaman rawat inap di rumah sakit sebelumnya, apabila anak pernah mengalami perawatan yang tidak menyenangkan saat di rawat inap, akan menyebabkan anak takut dan trauma, dan sebaliknya apabila saat dirawat inap anak mendapatkan perawatan yang baik dan menyenangkan maka anak akan lebih kooperatif pada perawat dan dokter; dukungan keluarga, anak akan mencari dukungan dari orang tua dan saudara kandungnya untuk melepaskan tekanan akibat penyakit yang dideritanya; dan perkembangan koping dalam menangani stresor pada anak baik dalam menerima keadaan bahwa anak harus dirawat inap, maka akan lebih kooperatif anak tersebut dalam menjalani perawatan di rumah sakit.

Stresor yang dihadapi anak usia sekolah yang dirawat inap adalah lingkungan yang baru dan asing, pengalaman yang menyakitkan dengan tindakan keperawatan,

(28)

terapi, berpisah dengan orang tua dalam arti sementara. Anak usia sekolah membayangkan dirawat inap merupakan hukuman, terpisah, merasa tidak nyaman dan keterbatasan aktivitas. Anak menjadi ingin tahu dan bingung, anak selalu bertanya kenapa orang itu, mengapa berada di rumah sakit, bermacam pertanyaan anak yang akan ditanyakan karena anak tidak mengetahui apa yang sedang terjadi (Schulte, 2001).

Referensi

Dokumen terkait

Hasil penelitian: nilai p=0,006 (p<0,05) yang berarti ada perbedaan bermakana pada motivasi pasien dengan mobilisasi dini pada ibu post sectio cesarea primipara dan multipara

Sumber data dalam penelitian adalah subyek dari mana data

Pembuatan bidang terumbu baru di daerah yang rusak dengan transplantasi karang, menunjukkan peningkatan habitat ikan terumbu, ikan akan berkumpul di modul atau terumbu

Kunjungan rumah sebanyak dua kali yaitu pada kunjungan rumah pertama, bayi Ny ”M” setelah dilakukan penimbangan berat badan, dan pemantauan tanda- tanda vital,

Berdasarkan pengamatan yang dilakukan dengan pedoman indikator sikap yang seharusnya ditunjukkan oleh siswa dalam pembelajaran yang mengindikasikan pula komitmen

20 Tahun 2001 menetapkan ancaman pidana penjara, pidana tambahan dan pidana denda yang tinggi, tetapi formulasi pidana denda yang tinggi tersebut tidak disertai

Pada SNI 01-2970-2006 dapat diketahui jika kadar protein pada susu bubuk minimal adalah 23%, sehingga kadar protein yang ada pada produk susu jahe sido muncul tidak sesuai

Faktor internal yang dimaksud di sini adalah hal-hal yang terkait langsung dengan diri siswa, baik sebagai individu maupun pembelajar. Seorang guru hendaknya