• Tidak ada hasil yang ditemukan

PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN MENGGUNAKAN PARAMETER SEA SURFACE TEMPERATURE DI PANGKALPINANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN MENGGUNAKAN PARAMETER SEA SURFACE TEMPERATURE DI PANGKALPINANG"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

PREDIKSI AWAL MUSIM HUJAN MENGGUNAKAN PARAMETER

SEA SURFACE TEMPERATURE DI PANGKALPINANG

Aflah Yuliarti1, Deni Septiadi2

1Sekolah Tinggi Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta 2Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika, Jakarta

Email : aflahyuliarti@ymai.com

Abstrak

Indonesia memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Awal musim dan periode musim hujan dan kemarau tidak selalu sama di setiap wilayah. Hal ini dikarenakan pola curah hujan suatu wilayah selain dipengaruhi oleh faktor global seperti El Nino/La Nina, Dipole Mode juga dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi yang berbeda-beda pula. Pangkalpinang memiliki pola hujan monsunal yangmana musim hujan dan kemarau dapat dibedakan dengan jelas. Informasi mengenai prediksi awal musim hujan dan kemarau sangat diperlukan bagi masyarakat. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kondisi Sea Surface Temperature terhadap awal musim hujan di Pangkalpinang serta membuat model prediksi awal musim hujan dengan menggunakan prediktor SST. Penelitian ini memanfaatkan data model ITACS JMA untuk melakukan prediksi Awal Musim Hujan (AMH) di Pangkalpinang

dengan menggunakan data

selama 34 tahun periode 1981-2014.

Dalam penelitian ini digunakan metode prediksi yaitu

metode regresi linier berganda. Evaluasi hasil dari prediksi AMH menggunakan metode kontingensi dan Root Mean Square Error (RMSE). Model persamaan linier berganda dengan menggunakan prediktor SST dapat menghasilkan prediksi AMH dengan kebenaran prediksi “sesuai prediksi” sebesar 50% dan penyimpangan prediksi sebesar ± 3 dasarian.

Kata kunci : El Nino/La Nina, Dipole Mode, AMH, RMSE

Abstract

Indonesia has two seasons, rainy season and dry season. In general, rainy season lasts approximately from October to March, while dry season lasts around April to September. However, onset and period of seasons is different in every area. It is caused by pattern of rainfall in an area is not only influenced by global factors such as El Nino/La Nina, Dipole Mode, it is influenced also by its various geography and topography. Pangkalpinang has a monsunal pattern that rainy dan dry seasons can be distinguished. Information of rainy season onset and dry season onset is indispensable for society. This research aims to determine relationship between the condition sea surface temperature of the rainy season onset in Pangkalpinang and create rainy season onset predictive models using SST predictor. This research utilizes ITACS JMA data to predict Rainy Season Onset (AMH) in Pangkalpinang by using data for 34 years during 1981-2014. The method used in research is multiple regression method. Final evaluation of prediction AMH using contingency method and Root Mean Square Error (RMSE). Multiple regression equation model using SST predictor can show AMH prediction “in accordance prediction” about 50% ang prediction anomaly about ± 3 dasarian.

Keywords :

El Nino/La Nina, Dipole Mode, AMH, RMSE

1. PENDAHULUAN

Indonesia merupakan wilayah maritim yang memiliki laut yang luas mencapai 3.257.483 km2 dibandingkan daerah daratan

yang luasnya hanya 1.922.570 km2). Menurut

Aldrian (2008), terdapat hubungan antara suhu muka laut dan hujan. Kenaikan suhu muka laut membawa implikasi naiknya curah hujan.

(2)

hujan dan musim kemarau. Namun demikian, awal musim dan periode musim hujan dan kemarau tidak selalu sama di setiap wilayah. Hal ini dikarenakan pola curah hujan suatu wilayah selain dipengaruhi oleh faktor global seperti El Nino/La Nina, Dipole Mode juga dipengaruhi oleh kondisi geografi dan topografi yang berbeda-beda pula. Pangkalpinang yang terletak di Pulau Bangka secara geografis terletak pada 2˚4’ - 2˚10’ Lintang Selatan dan 106˚4’ - 106˚7’ Bujur Timur dan dikelilingi oleh lautan memiliki pola hujan monsunal yang mana musim kemarau dan musim hujan dapat dibedakan dengan jelas. Informasi mengenai prediksi awal musim hujan dan kemarau sangat diperlukan bagi masyarakat. Tingkat prediksi awal musim yang tepat dan akurat tentunya akan sangat membantu berbagai aktivitas masyarakat dalam berbagai sektor.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Swarinoto dan Makmur (2010), kondisi Indonesia SSTA sangat berperan dalam menentukan nilai probabilitas maju-mundur AMH dan panjang-pendek PMH di ZOM 126 Denpasar, khususnya pada saat Nino 3.4 dan IODM SSTA lemah. Menurut Rohmawati (2014), indeks anomali SST Nino 3.4 merupakan indeks variabilitas iklim yang dominan mempengaruhi AMH di Pulau Jawa. Hal ini kemudian menimbulkan pemikiran lebih lanjut mengenai sejauhmana Sea Surface Temperature (SST) berpengaruh terhadap AMH di Pangkalpinang dengan membuat model prediksi AMH di Pangkalpinang dengan prediktor SST.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan kondisi SST di Indonesia terhadap awal musim hujan di Pangkalpinang dan membuat model prediksi awal musim hujan dengan menggunakan prediktor SST. Hasil penelitian ini diharapkan dapat meningkatkan keakuratan informasi prediksi awal musim hujan di wilayah Pangkalpinang dan dapat memberikan masukan terhadap teknik untuk melakukan prediksi awal musim yang selama ini dioperasionalkan oleh instansi BMKG.

2. DATA DAN METODE

Daerah penelitian yang digunakan adalah wilayah Pangkalpinang yang ditunjukkan pada gambar 1. Pangkalpinang terletak pada

koordinat 106ᵒ4’ sampai 106ᵒ9’ Bujur Timur dan 2ᵒ4’ sampai dengan 2ᵒ10’ Lintang Selatan.

Gambar 1. Daerah Penelitian

a. Data

Data yang digunakan adalah :

1. Data curah hujan harian yang diubah menjadi data curah hujan dasarian dengan cara menjumlahkan data curah hujan sepuluh harian tahun 1981-2014 untuk menentukan AMH. Data ini diperoleh dari Stasiun Meteorologi Pangkalpinang. Kelengkapan data selama 34 tahun baik karena selama periode waktu tersebut tidak ada data yang kosong.

2. Data SST di wilayah Indonesia yang dibatasi berdasarkan lintang dan bujur yang telah ditentukan yaitu 5ᵒ LU - 15ᵒ LS dan 100ᵒ BT - 150ᵒ BT. Daerah dengan luasan tersebut dibagi menjadi 10 grid dengan ukuran masing-masing grid 10ᵒx10ᵒ, seperti ditunjukkan pada gambar 2. Data tersebut bersumber dari Interactive Tool for Analysis of The Climate System (ITACS) (http://extreme.kishou.go.jp/tool/anatools /analyze4.0-pub/index1.php). Data yang digunakan adalah data dasarian dari tahun 1981-2014. Data SST harian diubah menjadi data SST dasarian dengan cara menghitung nilai rata-rata SST persepuluh hari.

(3)

Gambar 2. Pembagian Grid SST

b. Metode

1. Penentuan AMH

Data curah hujan harian diubah menjadi data curah hujan dasarian dengan menggunakan metode penjumlahan sederhana.

𝐶𝐻𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛= ∑𝑛𝑖=1𝐶𝐻𝑖 (1)

dengan CHdasarian adalah jumlah curah hujan

dalam 1 dasarian dan n hari terakhir dalam setiap dasarian.

Penentuan AMH dilakukan dengan menggunakan kriteria BMKG yaitu :

AMH baru dihitung setelah normal dasarian AMH periode 1981-2010

Kriteria 1 : AMH ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian telah lebih 50 mm dan diikuti dua dasarian berikutnya, jika kriteria 1 tidak terpenuhi maka menggunakan kriteria 2 Kriteria 2 : AMH ditandai dengan jumlah curah hujan dalam 3 dasarian telah lebih dari 150 mm.

2. Konstruksi Prediktor SST

Data SST harian diubah menjadi data dasarian dengan cara :

𝑆𝑆𝑇

𝐷𝑎𝑠𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛

=

∑𝑛𝑖=1𝑆𝑆𝑇𝑖

𝑛

(2)

dengan

𝑆𝑆𝑇𝑑𝑎𝑠𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 adalah rata −

rata SST dalam 1 dasarian dan n hari terkahir dalam setiap dasarian.

3. Penentuan Grid SST Terpilih

Dalam kajian ini akan dipilih prediktor yang mempunyai pengaruh yang dominan terhadap AMH di lokasi penelitian dengan

menggunakan metode korelasi. Analissi korelasi digunakan untuk menentukan keeratan hubungan antara AMH dengan suhu muka laut yang nilai korelasi berkisar -1 sampai 1.

r = n ∑ XY−(∑ X) (∑ Y)

√(n ∑(X2)−(∑ X)2) (n ∑(Y2)−(∑ Y)2) (3)

dengan r merupakan koefisien korelasi antara AMH dengan suhu muka laut. Metode korelasi digunakan untuk mengetahui daerah mana dalam batasan wilayah penetapan grid SST yang paling besar pengaruhnya terhadap awal musim hujan di Pangkalpinang.

4. Penyusunan Model Persamaan AMH Model persamaan yang digunakan adalah model regresi linier berganda. Untuk garis regresi linier dengan m buah prediktor maka persamaannya adalah (Wilks, 1995) :

Y = a + b1x1 + b2x2 + … + bmxm (

4)

dengan Y adalah AMH (dasarian), x merupakan prediktor, sedangkan b merupakan koefisien prediktor.

5. Validasi

a. Root Mean Square Error (RMSE) Root Mean Square Error (RMSE) merupakan akar dari rata-rata kuadrat kesalahan. Metode ini digunakan untuk mengetahui besarnya penyimpangan hasil prediksi terhadap data aktualnya. Nilai RMSE dapat dihitung berdasarkan persamaan (Wilks, 1995) : RMSE= (1 𝑁∑ (𝐹 − 𝑂) 2 𝑁 𝑖=1 )1/2 (5)

dengan F adalah hasil prediksi, O adalah data observasi, N adalah banyaknya data.

Semakin kecil nilai RMSE maka tingkat kesesuaian antara hasil prediksi dengan data observasi semakin besar.

b. Metode Kontingensi

Metode yang digunakan dalam kajian ini mengacu pada metode yang selama ini sudah digunakan oleh BMKG yaitu Metode Kontingensi. Dalam buku Verifikasi Prediksi Iklim Indonesia Tahun 2012, nilai akurasi suatu prediksi dinyatakan dalam persentase

(4)

dengan istilah “Sesuai Prediksi” dan “Menyimpang Prediksi”.

Jika (xi,yi) adalah series pasangan prediksi

dan observasi maka dapat dibentuk tabel kontingensi untuk setiap pasangan xi,yi. Jumlah

pasangan xi,yi dinyatakan dalam notasi nij.

Tabel 1. Kontingensi Jumlah Pasangan Prediksi

dan Observasi di Setiap Kategori (Sumber : Buku verifikasi prediksi iklim Indonesia Tahun 2012)

Berdasarkan tabel kontingensi diatas dapat dibentuk tabel kontingensi berikutnya yang berisi nilai frekuensi relative. Jika jumlah data = n, maka frekuensi relative dari jumlah pasangan prediksi kategori I dan observasi kategori j adalah Pij.

Pij = nij / n (6)

Tabel 2. Kontingensi Nilai Frekuensi Relatif

(Sumber : Buku verifikasi prediksi iklim Indonesia Tahun 2012)

Sesuai Prediksi =

(∑ 𝑃𝑖𝑖+ ∑ 𝑃𝑖,𝑖+1+ ∑ 𝑃𝑖+1,𝑖 ) × 100% (7)

Menyimpang Prediksi =

100% - Sesuai Prediksi (8)

Tahapan dalam menggunaka metode kontingensi adalah sebagai berikut :

1. Siapkan sebanyak n data observasi AMH kemudian ubah ke bentuk data kategori sesuai kategori pada masing-masing interval yang terdapat dalam legend/keterangan peta.

2. Siapkan sebanyak n data prediksi AMH kemudian ubah ke bentuk data kategori sesuai kategori pada masing-masing interval yang terdapat dalam legend/keterangan peta.

3. Susun data kategori gabungan untuk observasi dan prediksi tersebut dalam suatu series

4. Bentuk tabel kontingensi dari data kategori gabungan

5. Hitung nilai “sesuai prediksi” dan “menyimpang prediksi”

6. Diagram Alir Pengolahan Data

Gambar 3. Diagram Alir

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Penentuan AMH

Penentuan awal musim hujan di Pangkalpinang dilakukan dengan menggunakan kriteria yang telah ditentukan oleh BMKG yaitu AMH

(5)

ditandai dengan jumlah curah hujan dasarian telah lebih 50 mm dan diikuti dua dasarian berikutnya, jika tidak terpenuhi maka AMH ditandai dengan jumlah curah hujan dalam 3 dasarian telah lebih dari 150 mm.

Tabel 3 Penentuan Awal Musim Hujan di

Pangkalpinang

Normal awal musim hujan dari tabel 3 diketahui berdasarkan nilai rata-rata curah hujan dasarian selama periode 1981-2014 yang termasuk kriteria AMH BMKG yaitu pada dasarian ke-29. Untuk memudahkan dalam mengetahui distribusi frekuensi awal musim hujan di Pangkalpinang periode 1981-2014 dapat dilihat pada gambar 4.

Gambar 4. Distribusi Frekuensi AMH di

Pangkalpinang

Berdasarkan gambar 4, awal musim hujan sering terjadi pada dasarian ke-31 atau terjadi pada bulan November dasarian pertama

dengan frekuensi kejadian 7 kali. Awal musim hujan tercepat terjadi pada dasarian ke-22 (pada bulan Agustus dasarian pertama) dan awal musim hujan paling akhir terjadi pada dasarian ke-35 (pada bulan Desember dasarian kedua).

2. Penentuan Grid Terpilih

Sebelum menyusun model persamaan, terlebih dahulu memilih grid SST yang dominan mempengaruhi AMH di Pangkalpinang dengan melihat nilai korelasi yang cukup kuat. Dalam hal ini prediktor-prediktor yang digunakan ialah grid SST yang memiliki nilai korelasi ≥ 0.4 saat dasarian ke-18 dan dasarian ke-24.

Tabel 4. Hasil Korelasi AMH dan SST

Grid Hasil Korelasi pada Dasarian ke-

18 24 1 -0.51 -0.60 2 -0.62 -0.60 3 -0.48 -0.55 4 -0.31 -0.45 5 -0.25 -0.28 6 -0.17 -0.33 7 -0.38 -0.39 8 -0.46 -0.49 9 -0.30 -0.44 10 -0.27 -0.43

Berdasarkan tabel 4 di atas, maka grid SST yang dipilih dalam menyusun suatu model persamaan adalah grid 1 (5°N-5°S; 100°E-110°E), grid 2 (5°N-5°S; 110°E-120°E), grid 3 (5°N-5°S; 120°E-130°E), grid 8 (5°S-15°S; 120°E-130°E).

(6)

Gambar 5. Hubungan Antara Grid SST dengan

AMH

Berdasarkan gambar 5 di atas dapat dilihat bahwa hubungan antara SST dengan awal musim hujan menunjukkan hubungan yang berlawanan (negatif). Korelasi negatife menunjukkan bahwa saat kondisi SST lebih tinggi (memanas) dari normalnya maka awal musim hujan di Pangkalpinang maju, dan sebaliknya saat kondisi SST lebih rendah (mendingin) dari normalnya maka awal musim hujan di Pangkalpinang maju. Hal ini menunjukkan kesesuaian teori antara kondisi SST dan terjadinya hujan, apabila kondisi SST dingin maka berpotensi terjadinya penurunan curah hujan yang mengakibatkan mundurnya awal musim hujan dan sebaliknya saat kondisi SST hangat maka berpotensi terjadinya peningkatan hujan yang mengakibatkan majunya awal musim hujan.

3. Penyusunan Model Persamaan AMH Untuk memprediksi awal musim hujan tahun 2001 maka yang dipakai untuk membangun model adalah data tahun 1981-2000, seterusnya untuk memprediksi AMH tahun 2002 maka yang dipakai untuk membangun model adalah data tahun 1981-2001, untuk prediksi awal musim hujan tahun 2014 maka yang dipakai untuk membangun model adalah data tahun 1981-2013.

a. Hasil Prediksi AMH menggunakan predictor dasarian ke-18 (Juni III)

Dengan bantuan software minitab diperoleh persamaan untuk prediksi AMH dengan menggunakan prediktor SST dasarian

ke-18 tahun 2001-2014, kemudian dilakukan prediksi AMH tahun 2001-2014 di Pangkalpinang sesuai dengan persamaan yang ada dan didapatkan hasil yang ditunjukkan oleh table 5 sebagai berikut :

Tabel 5. Prediksi AMH Menggunakan Prediktor

Dasarian ke-18

Tabel 5 menunjukkan hasil prediksi AMH di Pangkalpinang tahun 2001-2014 paling awal terjadi pada tahun 2013 yaitu AMH jatuh di dasarian ke-24 (Agustus dasarian ke-3), sedangkan AMH paling lambat terjadi pada tahun 2004 yaitu jatuh di dasarian ke 33 (November dasarian ke-3).

Gambar 6. Perbandingan AMH Prediksi

Menggunakan Prediktor Dasarian ke-18 dengan AMH Observasi di Pangkalpinang

(7)

Berdasarkan gambar 6, dapat terlihat pola antara AMH observasi dan hasil prediksi cenderung mempunyai fluktuasi yang hampir sama dan terlihat hasil prediksi AMH cenderung mengikuti AMH observasi. Meskipun terdapat tahun-tahun tertentu yang hasil prediksinya tidak mengikuti pola observasi. Penyimpangan terbesar dari hasil prediksi AMH jika dibandingkan dengan observasinya sebesar 6 dasarian yang terjadi pada tahun 2014.

b. Hasil Prediksi AMH menggunakan predictor dasarian ke-24 (Agustus III)

Dengan bantuan software minitab diperoleh persamaan untuk prediksi AMH dengan menggunakan prediktor SST dasarian ke-24 tahun 2001-2014, kemudian dilakukan prediksi AMH tahun 2001-2014 di Pangkalpinang sesuai dengan persamaan yang ada dan didapatkan hasil yang ditunjukkan oleh table 6 sebagai berikut :

Tabel 6. Prediksi AMH Menggunakan Prediktor

Dasarian ke-24

Tabel 6 menunjukkan hasil prediksi AMH di Pangkalpinang tahun 2001-2014 paling awal terjadi pada tahun 2010 yaitu AMH jatuh di dasarian ke-23 (Agustus dasarian ke-2), sedangkan AMH paling lambat terjadi pada tahun 2006, 2008 yaitu jatuh di dasarian ke 32 (November dasarian ke-2).

Gambar 7. Perbandingan AMH Prediksi

Menggunakan Prediktor Dasarian ke-18 dengan AMH Observasi di Pangkalpinang

Berdasarkan gambar 7, dapat terlihat pola antara AMH observasi dan hasil prediksi cenderung mempunyai fluktuasi yang serupa dan terlihat hasil prediksi AMH cenderung mengikuti AMH observasi. Terdapat tahun-tahun tertentu yang hasil prediksinya tidak mengikuti pola observasi. Penyimpangan terbesar dari hasil prediksi AMH jika dibandingkan dengan observasinya sebesar 6 dasarian yang terjadi pada tahun 2014.

Adanya penyimpangan-penyimpangan prediksi AMH disebabkan selain dari faktor model persamaan yang belum cukup baik juga disebabkan oleh adanya pengaruh dari fenomena global, contohnya El Nino dan La Nina.

4. Validasi

a. Root Mean Square Error (RMSE)

Tabel 7. Perhitungan RMSE

2001 28 28 0 2001 31 28 9 2002 27 32 25 2002 29 32 9 2003 28 28 0 2003 28 28 0 2004 33 29 16 2004 29 29 0 2005 27 23 16 2005 27 23 16 2006 31 35 16 2006 32 35 9 2007 30 29 1 2007 31 29 4 2008 31 31 0 2008 32 31 1 2009 28 31 9 2009 31 31 0 2010 27 22 25 2010 23 22 1 2011 30 30 0 2011 28 30 4 2012 30 31 1 2012 31 31 0 2013 24 25 1 2013 26 25 1 2014 27 33 36 2014 27 33 36 10.4285714 6.4285714 3.2 2.5 Rata-rata RMSE Rata-rata RMSE Tahun Prediksi AMH Observasi AMH (error)^2 Menggunakan Prediktor Dasarian Ke-18

Tahun Prediksi AMH

Observasi AMH (error)^2 Menggunakan Prediktor Dasarian Ke-24

(8)

Secara keseluruhan prediksi awal musim hujan di Pangkalpinang selama 14 tahun dari tahun 2001 – 2014 dengan menggunakan predictor dasarian ke-18 menghasilkan nilai RMSE sebesar 3 dasarian, hal ini menunjukkan bahwa nilai error hasil prediksi AMH di Pangkalpinang dengan menggunakan SST dasarian ke 18 (Juni dasarian ke-3) sebesar ± 3 dasarian. Artinya AMH hasil prediksi bisa maju 3 dasarian atau mundur 3 dasarian.

Prediksi awal musim hujan di Pangkalpinang dengan menggunakan predictor dasarian ke-24 menghasilkan RMSE sebesar 3 dasarian, hal ini menunjukkan bahwa nilai error hasil prediksi AMH di Pangkalpinang dengan menggunakan SST dasarian ke-24 (Agustus dasarian ke-3) sebesar ± 3 dasarian. Artinya AMH hasil predikis bisa maju 3 dasarian atau mundur 3 dasarian.

Terlihat bahwa hasil prediksi menggunakan metode regresi linier berganda menghasilkan prediksi yang kurang begitu baik apabila dilihat dari nilai RMSE nya, Karena mempunyai nilai penyimpangan yang relatif besar.

b. Metode Kontingensi

Salah satu upaya untuk mengetahui apakah hasil prediksi awal musim hujan yang telah dilakukan memiliki kualitas baik atau tida maka dilakukan verifikasi. Untuk memverifikasi apakah hasil suatu prediksi yan telah dilakukan baik atau tidak ialah dengan membandingkan data hasil prediksi dengan data observasi. Metode verifikasi yang digunakan yaitu metode kontingensi. Nilai akuarsi suatu prakiraan dinyatakan dalam persentase dengan istilah “Sesuai Prakiraan” dan “Menyimpang Prakiraan”.

Berikut adalah tabel kontingensi dari hasil prediksi AMH menggunakan prediktor dasarian ke-18 (tabel 8) dan predictor dasarian ke-24 (tabel 9).

Tabel 8. Tabel Kontingensi dalam Frekuensi

Relatif dari Setiap Jumlah Pasangan Kategori Prediksi dan Observasi

Tabel 9. Tabel Kontingensi dalam

Frekuensi Relatif dari Setiap Jumlah Pasangan Kategori Prediksi dan Observasi

Keterangan :

Tanda (-) = Menunjukkan bahwa AMH mundur beberapa dasarian Tanda (+) = Menunjukkan bahwa AMH

maju beberapa dasarian Berdasarkan nilai pada tabel 8 dan 9 dapat dihitung nilai akurasi untuk “Sesuai Prakiraan” dan “Menyimpang Prakiraan”.

 Tabel 8 (Prediktor dasarian ke-18) Sesuai Prakiraan = 0.071 + 0.143 + 0.071 +

0.071 +0.071 + 0.071 = 0.50 × 100% = 50% Menyimpang Prakiraan = 100% - 50% = 50%

 Tabel 9 (Prediktor dasarian ke-24) Sesuai Prakiraan = 0.071 + 0.071 + 0.071 +

0.143 +0.071 + 0.071 = 0.50 × 100% = 50% Menyimpang Prakiraan = 100% - 50% = 50%

Berdasarkan perhitungan di atas, dapat terlihat bahwa hasil prediksi AMH dari 14 kejadian yang mempunyai nilai yang sama dengan AMH observasi adalah sebanyak 4 kejadian. Tingkat akurasi hasil verifikasi yang

≤-4 ≤-3 -2 -1 0 1 2 3 ≥4 ≤-4 0.071 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.071 -3 0.071 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.071 -2 0.071 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.071 0.143 -1 0.000 0.000 0.000 0.071 0.000 0.071 0.000 0.000 0.000 0.143 0 0.000 0.000 0.000 0.000 0.071 0.000 0.000 0.071 0.000 0.143 1 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 2 0.000 0.000 0.000 0.071 0.071 0.000 0.143 0.000 0.000 0.286 3 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.071 0.000 0.071 0.143 ≥4 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.000 0.214 0.000 0.000 0.143 0.143 0.071 0.214 0.071 0.143 1.000 Prediksi Jumlah

(9)

tergolong “sesuai prakiraan” adalah sebanyak 7 kejadian dan yang “menyimpang prakiraan” sebanyak 7 kejadian. Persentase hasil prediksi yang “sesuai prakiraan” sebesar 50%. Sedikitnya jumlah tahun “sesuai prakiraan” disebabkan oleh faktor-faktor antara lain seperti pemilihan prediktor yang mempengaruhi AMH di Pangkalpinang, penggunaan metode untuk memprediksi awal musim hujan yang belum cukup baik untuk memprediksi jika adanya fenomena lokal maupun global yang mempengaruhi awal musim hujan di Pangkalpinang.

4.PENUTUP

a. Kesimpulan

Berdasarkan dari hasil penelitian yang telah dilakukan maka dapat disimpulkan bahwa :

1. Sea Surface Temperature (SST) di Indonesia memiliki pengaruh terhadap awal musim hujan di Pangkalpinang. Terlihat dari nilai korelasi negatif antara SST dan AMH di Pangkalpinang. Saat kondisi SST di Indonesia menghangat maka berpengaruh terhadap maju nya awal musim hujan di Pangkalpinang dan sebaliknya.

2. Model prediksi AMH dengan menggunakan prediktor SST dasarian ke-18 dan prediktor SST dasarian ke-24 menunjukkan hasil prediksi yang cukup baik yang mana pola hasil prediksi mengikuti pola observasi dengan nilai error sebesar ± 3 dasarian.

b. Saran

1.

Perlu menambahkan prediktor yang mempengaruhi proses terjadinya hujan di wilayah penelitian selain SST.

2. Perlu dilakukan prediksi dengan menggunakan metode lainnya sehingga dapat diketahui metode mana yang cocok dan mendapatkan hasil yang lebih baik untuk prediksi awal musim hujan di Pangkalpinang.

DAFTAR PUSTAKA

Aldrian, E., 2008, Meteorologi Laut Indonesia, BMKG, Jakarta.

Anonim, 2012. Verifikasi Prakiraan Iklim Indonesia, Laporan Prakiraan BMKG, BMKG, Jakarta

Hermawan, E., Komalaningsih, K., 2008, Karakteristik Indian Ocean Dipole Mode di Samudera Hindia Hubungannya dengan Perilaku Curah Hujan di Kawasan Sumatera Barat Berbasis Analisis Mother Wavelet, Jurnal Sains Dirgantara, Vol.5 No.2. Prasetya, Y., 2014, Prediksi Awal Musim

Hujan dengan Memanfaatkan Model ITACS JMA di Stasiun Meteorologi Mataram Nusa Tenggara Barat, Skripsi, Klimatologi, STMKG, Tangerang. Puspitasari, N., 2014, Perbandingan Model

Prakiraan Curah Hujan Bulanan dengan Regresi Komponen Utama dan Stepwise di Wilayah Papua dan Papua Barat, Skripsi, Klimatologi, STMKG, Tangerang.

Rao, S.A., Behera, S., K., Masumoto, Y., 2002, Interannual Subsurface Variability in the Tropical Indian Ocean with a Special Emphasis on the Indian Ocean Dipole, Deep-Sea Res. II, 49, 1549-1572.

Rohmawati, F., Y., 2014, Prediksi Awal Musim Hujan di Pulau Jawa Berdasarkan Indeks Variabilitas Iklim, Tesis, Program Studi Klimatologi Terapan, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Saji, N., H., Goswami, B., N., Vinayachandran, P., N., Yamagata, T., 1999, A dipole mode in the tropic Indian Ocean, Nature, 401, 360-363.

Sucahyono, S., Ribudiyanto, K., 2013, Cuaca Dan Iklim Ekstrim di Indonesia, BMKG, Jakarta

Sudaryatno, A., Yahya, M., Kamarudin, N., Sulistya, W., Musonef, Y, 2003, El Nino, La Nina Dan Penyimpangan Musim Di Jawa Tengah, Jurnal Meteorologi Dan Geofisika, Vol. 4 No.3.

Sumanto, 2014, Statistika Terapan, CAPS, Jakarta.

Swarinoto, Y., Makmur, E., 2010, Simulasi Prediksi Probabilitas Awal Musim Hujan Dan Panjang Musim Hujan Di ZOM 126 Denpasar, Jurnal Meteorologi Dan Geofisika, Vol. 11 No. 1.

Swarinoto, Y., dan Wirjohamidjojo, S., 2010, Iklim Kawasan Indonesia, BMKG, Jakarta.

(10)

Tjasyono, B., 2004, Klimatologi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Tjasyono, B., Harijono, S., 2006, Meteorologi Indonesia 2. BMKG, Jakarta.

Wibisono, 2005, Metode Statistik, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta.

Wicaksono, A., 2014, Perbandingan Model Prakiraan Curah Hujan Bulanan dengan Regresi Komponen Prediksi Awal Musim Hujan dengan Metode Regresi Logistik di Kabupaten Pangkep

Sulawesi Selatan, Skripsi, Klimatologi, STMKG, Tangerang.

Wilks, D., 1995, Statistical Methods in the Atmospheric Sciences, Volume 59 in International Gwophysics Series, Academic Press, New York.

Yuda, I, 2014, Prediksi Curah Hujan Bulanan Menggunakan Principal Component Regression dan SST EOF Indonesia di Provinsi Bali, Laporan Kerja, Klimatologi, STMKG, Tangerang.

Gambar

Gambar 1. Daerah Penelitian  a.  Data
Gambar 2. Pembagian Grid SST
Tabel  2.  Kontingensi  Nilai  Frekuensi  Relatif  (Sumber : Buku verifikasi prediksi iklim Indonesia  Tahun 2012)
Tabel 4. Hasil Korelasi AMH dan SST  Grid  Hasil Korelasi pada Dasarian ke-
+4

Referensi

Dokumen terkait

Dari permasalahan tersebut dapat disimpulkan bahwa permasalahan yang terjadi di sekolah ini adalah kurang gemarnya para siswa dalam belajar matematika, kurang

Hubungan antara Asupan Energi dan Asupan Protein dengan Status Gizi pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) Rawat Jalan di Rumah Sakit Paru Dr. Ario

Variabel ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan sedangkan variabel leverage, profitabilitas dan likuiditas tidak berpengaruh signifikan terhadap luas kewajiban

Hasil tersebut menunjukkan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan secara simultan variabel bebas (independen) adalah Ukuran Perusahaan ( Size ), Return on Asset

Masyarakat saat ini lebih senang akan hal-hal baru, berbagi informasi (sharing) dengan orang lain secara umum dan mendapatkan informasi terkini atau up to date , yang berguna

1) Variabel >>> persepsi konsumen X1 berpengaruh positif signifikan terhadap keputusan pembelian Y, artinya ”” bahwa Tumbler i berhasil “i membuat i

Radiasi preoperasi untuk mengecilkan ukuran tumor agar saat reseksi dapat dicapai lebih komplit, seperti pada tumor Pancoast atau kasus stadium IIIb, dilaporkan

Penduduk terserap dan tersebar diberbagai sektor, namun tiap sektor mengalami pertumbuhan yang berbeda demikian juga tiap sektor berbeda dalam menyerap tenaga kerja