• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sering kali dalam berkomunikasi atau membahas masalah bahasa, ditemukan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. A. Latar Belakang. Sering kali dalam berkomunikasi atau membahas masalah bahasa, ditemukan"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Sering kali dalam berkomunikasi atau membahas masalah bahasa, ditemukan makna konotasi yang dimasukkan ke dalam kata atau frasa yang terdapat dalam kalimat yang ditemukan dan bahkan makna konotasi dalam kata atau frasa tersebut dapat menyakitkan orang lain. Dalam hal ini, konotasi yang dapat menyakitkan orang lain disebut sebagai disfemisme. Disfemisme merupakan sebuah makna yang dimiliki oleh bahasa yang digunakan untuk memperkirakan hal yang bersih menjadi kotor dalam makna yang terdapat pada kata atau frasa. Pandangan tersebut diperkuat oleh pendapat Allan dan Burrrigde yang menjelaskan bahwa disfemisme adalah kata atau frasa yang berkonotasi menyakitkan atau mengganggu, baik terhadap orang yang diajak bicara atau terhadap orang yang dibicarakan serta terhadap orang yang mendengarkan ungkapan tersebut; selain itu, disfemisme juga sebuah cara untuk memperkirakan hal-hal yang bersih menjadi kotor (2006: 31). Hal ini dapat diilustrasikan pada kata merebut pada kalimat,

(1) Sheila On 7 telah berhasil merebut piala penghargaan dengan nominasi

group band terfavorit.

Kata merebut dalam kalimat di atas bukanlah merebut dalam makna sebenarnya yang merupakan tindakan kriminal. Akan tetapi, kata tersebut merujuk pada arti berhasil memenangkan atau mendapatkan. Hal tersebut memiliki konotasi

(2)

menyakitkan terhadap orang yang dibicarakan yaitu seolah-olah melakukan tindakan kriminal. Namun, pada kenyataanya orang yang dibicarakan dalam kalimat tersebut merujuk pada mendapatkan sesuatu atau memenangkan. Kata merebut pada kalimat (1) merupakan bentuk kotor dari kata mendapatkan.

Disfemisme merupakan kebalikan dari eufemisme. Hal tersebut sependapat dengan pendapat Allan dan Burrigde yang menyatakan bahwa “Dysphemism is the

opposite of euphemism and, by and large , it is tabooed” (disfemisme adalah

kebalikan dari eufemisme dan lebih kuat maknanya dan merupakan hal yang tabu) (2006: 31). Jika disfemisme merupakan pengasaran makna, maka eufemisme merupakan penghalusan makna. Hal ini senada dengan Allan dan Burigde yang menyatakan bahwa“A euphemism is used as an alternative to a dispreferred

expression, in order to avoid possible loss of face: either one’s own face or, through giving offensive, that of the audience, or of some third party” (Eufemisme digunakan

sebagai alternatif untuk ungkapan yang tidak disenangi, untuk menghindari kehilangan muka, baik muka sendiri maupun pendengar atau pihak ke tiga dengan menyakiti) (1991: 11).

Fenomena disfemisme dapat ditemukan dalam berita di koran. Hal ini senada dengan pendapat Mondry yang menyatakan bahwa seorang wartawan atau reporter pemula, setelah mendapatkan data yang banyak sekali, sering terjadi, dia bingung harus mulai menulis dari mana atau “sudut” (angle) apa yang menjadi inti berita yang akan ditulis. Namun, masalah itu bukanlah sesuatu yang membuat ia merasa malu atau “tabu”, itu biasa saja (2008: 150-151). Pendapat berikutnya mengenai

(3)

disfemisme dalam berita yang dapat mengakibatkan terganggu dan tersakiti seseorang adalah pendapat dari Mondry yang menyatakan bahwa:

Pembaca berita di surat kabar banyak yang merupakan kelompok orang yang hidup dalam keadaan bergegas dan setiap hiruk pikuk kehidupan. Banyak sekali yang menilai, pembaca surat kabar hanya mereka yang membaca “kepala” berita, mereka tidak sempat membaca secara lengkap, mereka hanya ingin tahu informasi yang diberitakan. Akibatnya banyak kata yang bagi kalangan ahli bahasa dianggap kurang layak dan mungkin membuat “sakit” telinga ketika mendengar yang diucapkan melalui radio atau televisi. Sebaliknya, bagi wartawan atau reporter dan pembaca atau pendengar, justru kata itu mudah dimengerti (2008: 117).

Pendapat di atas diperkuat kembali oleh Laili dalam jurnal penelitiannya yang menyatakan bahwa dalam media masa luar negeri, penggunaan disfemisme pada wacana jarang dilakukan. Jurnalis lebih memilih menggunakan eufemisme dibandingkan disfemisme. Namun lain halnya dengan media masa di Indonesia (Laili, 2013: 48). Pendapat tersebut dapat diambil simpulan bahwa media masa di Indonesia sering menggunakan disfmisme.

Pemilihan kata dalam berita menjadi hal yang penting agar tidak terjadi kerusakan arti. Hal tersebut dijelaskan oleh pendapat Modry yang menyatakan bahwa pemilihan kata merupakan hal yang penting dalam menulis, terutama menulis berita bagi media massa. Kata yang dipilih untuk kalimat harus tepat. Contoh: “memukul” tidak sama dengan “meninju” (2008: 116). Pendapat tersebut senada dengan contoh (1) di atas bahwa pemilihan kata harus tepat yaitu antara pemilihan kata merebut dengan kata mendapatkan.

Berita yang dapat ditemukan di koran, jika didasarkan pada persoalannya, salah satunya adalah berita kriminal. Hal tersebut sependapat dengan Barus yang

(4)

menyatakan bahwa berita yang didasarkan pada topik masalah mencakup berbagai bidang yang sangat kompleks. Secara besarannya biasa dikelompokkan menjadi berita politik, ekonomi, sosial, budaya, hukum, olahraga, militer, kriminal, dan sebagainya (2010: 41). Berdasarkan paparan tersebut, fenomena disfemisme dapat ditemukan pada berita kriminal. Secara penggunaannya dalam berita kriminal, difemisme digunakan dalam pemberian makna pada kata dan frasa dalam berita tersebut. Hal tersebut didasarkan oleh pendapat Allan dan Burrigde yang menyatakan bahwa disfemisme Secara teknis disfemisme adalah sebuah kata atau frasa dengan konotasi yang menghina atau menyakitkan, baik terhadap orang yang diajak bicara dan/atau terhadap orang yang dibicarakan serta terhadap orang yang mendengarkan ungkapan tersebut (2006: 31). Disfemisme dapat ditemukan di koran misalnya pada koran Jateng Pos edisi September-Desember 2015. Koran yang merupakan suplemen dari koran Jawa Pos ini menyajikan berbagai berita salah satunya adalah berita kriminal. Di dalam berita kriminal itulah dapat disfemisme.

Dalam penelitian ini, disfemisme dilatarbelakangi oleh berita kriminal. Hal tersebut didasarkan pada definisi berita kriminal dan definisi disfemisme. Definisi berita krimial menurut Barus adalah berita yang mengenai segala peristiwa kejadian dan perbuatan yang melanggar hukum seperti pembunuhan, perampokan, pencurian, penodongan, pemerkosaan, penipuan, korupsi, penyelewengan, dan segala sesuatu yang bertentangan dengan norma-norma kesusilaan yang ada dalam masyarakat (2010: 45). Selanjutnya, definisi disfemisme menurut Allan dan Burrrigde adalah kata atau frasa yang berkonotasi menyakitkan atau mengganggu, baik orang yang diajak

(5)

bicara atau orang yang dibicarakan serta orang yang mendengarkan ungkapan tersebut (2006: 31).

Dari definisi berita kriminal dan disfemisme di atas, maka dapat diambil simpulan bahwa berita kriminal dan disfemisme adalah sesuatu yang menuju ke arah negatif karena berita kriminal merupakan berita yang mengenai pelanggaran hukum, serta disfemisme merupakan kata atau frasa berkonotasi menyakitkan. Secara penggunaannya, disfemisme digunakan untuk memberikan makna kasar pada kata atau frasa yang ditulis dalam berita kriminal. Hal tersebut didasarkan pada pendapat Allan dan Burrigde yang menyatakan bahwa secara teknis, disfemisme adalah sebuah kata atau frasa dengan konotasi yang menghina atau menyakitkan baik terhadap orang yang diajak bicara dan/atau terhadap orang yang dibicarakan serta terhadap orang mendengarkan ungkapan tersebut (2006: 31). Adapun contoh yang dapat diambil mengenai pendapat di atas melalui salah satu kalimat pada Koran Jateng Pos edisi Kamis, 3 September 2015 halaman 5 terdapat kalimat,

(2) Pasalnya, Budiyono dan rekannya kabur saat hendak diringkus di sekitar

rumahnya.

Dari contoh kalimat di atas, dapat dilihat bahwa kata kabur dan diringkus merupakan disfemisme yang digunakan pada berita kriminal, serta penggunannya dilatarbelakangi oleh berita kriminal. Hal tersebut dikarenakan oleh isi berita yang menggambarkan situsi kriminal yang mengarah ke hal yang negatif. Selanjutnya, kata

(6)

kriminal untuk disesuaikan dengan gambaran berita kriminal di atas, yang tentunya sama-sama mengarah ke hal yang negatif.

Penelitian disfemisme pada berita kriminal dalam koran Jateng Pos edisi September - Desember 2015 menarik karena (1) dalam koran Jateng Pos edisi tersebut isi beritanya yang dominan adalah berita kriminal yang tentunya terdapat konotasi yang dapat menyakitkan hati sehingga menimbulkan makna negatif dalam kata-kata dan frasanya, (2) Disfemisme merupakan konotasi yang menyakitkan dan upaya untuk memperkirakan hal yang bersih menjadi kotor yang terdapat pada berita kriminal sehingga memunculkan makna “penyangatan” dalam koran tersebut, dan (3) di dalam koran Jateng Pos terdapat beberapa berita kriminal yang terdapat di dalamnya ada beberapa varian referen yang terdapat pada berita tersebut yang akan diteliti. Koran Jateng Pos dipilih untuk menjadi sumber data karena dalam koran tersebut pemberitaannya sebagian besar adalah berita krinimal sehingga terdapat kata dan frasa yang mengandung disfemisme. Pemilihan edisi September – Desember 2015 karena di dalam edisi tersebut terdapat berita yang kebanyakan adalah berita kriminal, sehingga banyak data ditemukan sehingga memenuhi sebagai syarat sumber data penelitian.

Ada empat penelitian terdahulu yang sejenis dengan penelitian ini, yaitu mengenai disfemisme. Penelitian-penelitian terdahulu yang akan dipaparkan berikut ini antara lain pertama, penelitian yang dilakukan oleh Elisa Nurul Laili (2013) dengan judul penelitian Disfemisme pada Wacana Lingkungan: Sebuah Kajian

Ekolinguistik Kritis dalam Media Massa Indonesia. Hasil penelitinnya dapat diambil

(7)

Indonesia pada wacana lingkungan ada empat macam, yaitu kata, frasa, klausa, dan kalimat; (2) referensi disfemisme yang ditemukan berkitan dengan manusia, tumbuhan, binatang, tanah, nuklir dan material beracun, sampah dan limbah, polusi, perusakan habitat alami, kepunahan spesies, dan tabu; (3) fungsi-fungsi satuan ekspresi disfemisme ada dua belas macam, yaitu mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan, mengritik, menyindir, menuduh atau menyalahkan, mengeluh, menyampaikan informasi, menghina, memperingatkan, menunjukkan ketidaksetujuan, menunjukkan rasa tidak suka, melebih-lebihkan, menunjukkan bukti.

Ke dua, penelitian yang dilakukan oleh Susilo Utami (2010) yang berjudul

Konteks, Acuan, dan Partisipan Disfemisme pada Ujaran Siswa SMP Negeri 3 Ungaran mengenai konteks, acuan, dan pastisipan disfemisme. Tujuan dari penelitian

ini untuk memaparkan konteks munculnya disfemisme, acuan disfemisme, dan partisipan disfemisme. Hasil yang dapat diambil dari penelitian ini adalah (1) konteks munculnya disfmisme antara lain karena marah, mengejek, meminta, berkomentar, menggerutu, membalas, bercanda, bertanya, kebiasaan, terkejut, geli, menggoda, mengingatkan, menjawab panggilan, merepon pertanyaan, tidak percaya, iseng, kesakitan, melihat orang lain, dan cemberut; (2) disfemisme yang digunakan mengacu pada binatang, profesi, sifat, anggota tubuh, sapaan, bau, dan rasa; (3) partisipan disfemisme berasal dari dua macam, yaitu partisipan akrab positif dan partisipan akrab negatif. Ke tiga, penelitian yang dilakukan oleh Heti Kurniawati (2011) dengan judul Eufemisme dan Disfemisme dalam Spiegel Online yang di dalamnya menjelaskan tentang bagaimana penggunaan eufemisme dan disfemisme dalam Spigel online. Penelitian ini dapat diambil simpulan bahwa disfemisme

(8)

ditemukan dalam bentuk gramatikal kata, frasa, dan kalimat dan penemuan yang terbenyak adalah bentuk gramatikal kata. Dalam penelitiannya, disfemisme dalam Spigel Online dilatarbelakangi oleh (1) menyakan hal yang tabu, tidak senonoh, asusila; (2) menunjukkan rasa tidak suka atau tidak setuju terhadap seseorang atau sesuatu; (3) penggambaran yang negatif tentang seseorang atau sesuatu; (4) mengungkapkan kemarahan atau kejengkelan; (5) mengumpat atau memaki; (6) menunjukkan rasa tidak hormat atau merendahkan seseorang; (7) mengolok-olok; (8) melebih-lebihkan sesuatu; (9) menghujat atau mengkritik; (10) menunjukkan sesuatu hal yang bernilai rendah. Ke empat, penelitian yang dilakukan oleh Dian Rica Luxelmi, dkk (2012) dengan judul Disfemisme dalam Acara Indonesia Lawyers Club bersimpulan bahwa penelitian ini terfokus pada penggunaan disfemisme dalam acara

Indonesia Lawyers Club. Hasil penelitiannya adalah (1) disfemisme sebagai perantara

untuk menyatakan hal yang tabu atau senonoh, (2) sebagai petunjuk rasa tidak suka atau tidak setuju, (3) sebagai penggambaran negatif pada orang lain, (4) sebagai petunjuk rasa marah atau jengkel, (5) sebagai penunjuk rasa tidak hormat, (6) sebagai sarana mengolok-olok, mencela, atau menghina, (7) sebagai sarana melebih-lebihkan dalam bertutur, (8) sebagai sarana untuk mengritik, dan (9) sebagai penunjuk sesatu hal yang bernilai rendah).

Dari pemaparan di atas, terdapat uraian-uraian penelitian terdahulu yang sejenis dengan penelitian ini. Lewat penelitian-penelitian terdahulu di atas dapat diambil simpulan bahwa penelitian disfemisme pada berita kriminal dalam koran

Jateng Pos edisi September - Desember 2015 belum pernah dilakukan. Selain itu,

(9)

kriminal dalam koran Jateng Pos edisi September - Desember 2015. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian terdahulu di atas yaitu pada penelitian-penelitian terdahulu di atas tidak terdapat analisis disfemisme berbentuk frasa berdasarkan distribusi, yaitu frasa eksosentrik dan frasa endosentrik. Selain itu juga tidak terdapat analisis unsur sintaksis untuk menentukan objek penelitian yaitu kata atau frasa. Dengan demikian hal tersebut dapat menjadi pembeda penelitian ini dan memunculkan kebaruan terhadap penelitian-penelitian sejenis terdahulu di atas. Penelitian ini menghasilkan kebaruan dari penelitian-penelitian terdahulu, yaitu ditemukannya referen peristiwa, referen aktivitas, dan referen keadaan pada penelitian ini. Dengan demikian hal tersebut dapat menjadi pembeda penelitian ini dengan penelitian sejenis yang terdahulu.

Melalui penelitian mengenai disfemisme ini, penulis akan meneliti disfemisme dalam berita kriminal pada koran Jateng Pos edisi September - Desember 2015. Disfemisme dalam berita kriminal dapat dicontohkan pada koran Jateng Pos edisi Selasa, 1 September 2015 halaman 15 terdapat sebuah kalimat,

(3) Adapun ancaman hukumannya adalah lima tahun kurungan penjara.

Frasa yang tepat untuk dilekatkan dalam kalimat tersebut adalah kata

kurungan penjara, meskipun terdapat kata lain yang bermakna sama, misalnya kata bui. Hal tersebut terjadi karena tokoh dalam kalimat tersebut adalah tersangka

kajahatan yang merupakan hal yang dibenci oleh semua orang dan tentunya disertai rasa kebencian. Pendapat tersebut didasarkan pada pengertian disfemisme menurut

(10)

Allan (2006: 31) yang menyatakan bahwa usaha pendengar berkata tentang orang-orang dan hal-hal yang menghalangi dan mengganggu mereka, mereka tidak menyetujui dan berharap meremehkannya, menghina, dan merendahkan. Dari temuan disfemisme di atas berupa frasa yaitu kurungan penjara yang dilekatkan dengan kalimat yang berhubungan dengan orang yang mendapat sanksi karena tindakan yang merugikan orang lain, maka tujuannya adalah untuk meremehkan, merendahkan, dan menghina orang tersebut. Kata kurungan merupakan referen dari binatang. Hal ini jelas ditujukan utuk merndahkan karena manusia dikurung layaknya binatang karena sejatinya manusia derajadnya kebih tinggi daripada binatang.

B. Pembatasan Masalah

Semua permasalahan diperlukan pembatasan masalah agar pembahasannya sesuai dengan rumusan masalah dan tidak terlalu luas permasalahannya. Dengan demikian, penelitian ini dibatasi masalahnya pada (1) bentuk dan (2) referen disfemisme.

C. Perumusan Masalah

Masalah-masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini akan dirumuskan sebagai berikut.

a. Bagaimana bentuk disfemisme dalam berita kriminal pada koran Jateng Pos edisi September 2015- Desember 2015.

b. Bagaimana referen disfemisme dalam berita kriminal pada koran Jateng Pos edisi September 2015- Desember 2015.

(11)

D. Tujuan Penelitian

a. Mendeskripsikan bentuk disfemisme dalam berita kriminal pada koran Jateng

Pos edisi September - Desember 2015.

b. Mendeskripsikan referen disfemisme dalam berita kriminal pada koran Jateng

Pos edisi September - Desember 2015.

E. Manfaat Penelitian

Dalam penelitian disfemisme ini tentunya dihasilkan beberapa manfaat. Manfaat tersebut terdiri dari:

a. Manfaat Teoretis

Manfaat teoretis yang diharapkan dalam penelitian ini adalah hasil penelitian ini mampu mengembangkan ilmu tentang tata makna khususnya disfemisme. Selain itu, penelitian ini dapat digunakan untuk acuan pemecahan masalah pada bidang semantik, khususnya disfemisme.

b. Manfaat Praktis

 Meningkatkan wawasan kepada seluruh siswa, guru, mahasiswa, dan dosen tentang bagaimana bentuk dan referen disfemisme pada koran Jateng Pos edisi September - Desember 2015.

 Peneliti lain mendapat wawasan luas mengenai ilmu tata makna khususnya pengasaran makna atau disfeisme dari segi pembentukan dan referennya.  Redaktur koran Jateng Pos dalam menyajikan sebuah berita dapat memilih

(12)

menggunakan unsur disfemisme agar berita menjadi lebih menarik yang sesuai dengan topiknya.

F. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan dapat mempermudah dan mengarahkan hasil penelitian yang tidak menyimpang dari pembahasan yang diteliti dalam penelitian ini. Sistematika penulisan akan mempengaruhi hasil penelitian menjadi lebih sistematis sehingga mudah untuk dipahami bagian-bagian pembahasannya. Sistematika dalam penelitian ini tersusun atas lima bab. Sistematka kelima bab itu akan dijelaskan sebagai berikut:

Bab pertama adalah pendahuluan. Bab ini mancakup latar belakang masalah, pembatasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penelitian.

Bab ke dua adalah kajian pustaka dan kerangka pikir. Bab ini terdiri atas penelitian-penelitian terdahulu, landasan teori, dan kerangka pikir. Tinjauan studi terdahulu terdiri atas penelitian-penelitian terdahulu yang sejenis dengan penelitian ini. Landasan teori, yaitu teori yang digunakan sebagai landasan dan acuan yang berhubungan langsung dengan masalah yang akan diteliti. Kerangka pikir berisi mengenai cara kerja untuk menyelesaikan masalah yang akan diteliti dalam penelitian ini.

(13)

Bab ke tiga adalah metode penelitian. Bab ini terdiri dari bentuk penelitian, data dan objek penelitian, sumber data, metode dan teknik penyediaan data, klasifikasi data, dan metode dan teknik analisis data.

Bab ke empat adalah analisis dan pembahasan. Bab ini berisi mengenai penjabaran dan pembahasan objek yang berada di dalam data berdasarkan rumusan masalah pada bab pertama.

Bab ke lima adalah penutup. Bab ini berisi megenai simpulan dari hasil dari analisis dan saran.

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Pemeliharaan khusus meliputi pinching, yaitu pembuangan tangkai bunga bagian bawah dengan hanya menyisakan satu kuntum bunga untuk krisan jenis standar, kegiatan ini dilakukan

Dimana semakin tinggi kompetensi pedagogik yang dimiliki oleh guru maka semakin tinggi pula hasil belajar yang didapat oleh siswa, maka penelitian ini menyimpulkan bahwa

Bagi orang tua, diharapkan penelitian ini dapat menjadi acuan dalam melakukan bimbingan serta pengarahan bagi terbentuknya kontrol diri pada anak ( locus of control) melalui

Demikian juga dengan perjalanan Jurnal Musik Fakultas Seni Pertunjukan Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, di tengah-tengah keterbatasan dan kesibukan para

cair contoh titik - titik embun pada daun yang kita lihat pada saat pagi hari.  Ada 12 siswa dari 33 jumlah siswa menjawab kurang benar tapi contohnya. benar dengan jawaban: 3

Salah satu jenis biofarmaka yang dapat ditemukan dalam jumlah sangat terbatas adalah Valerian javanica ( Valeriana hardwickii Wall.) Tanaman ini diketahui bersama

Pauline Weetman, Accounting & Finance Group, University of Edinburgh Business School, William Robertson Building, 50 George Square, Edinburgh EH8 9JY.. E-mail: