commit to user
13 BAB IITINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori
1. Tinjauan Mengenai Akad (Perjanjian) a. Pengertian Akad (Perjanjian)
Akad berasal dari bahasa Arab yang berarti perikatan, perjanjian, dan permufakatan. Istilah perjanjian dalam hukum Indonesia disebut akad dalam hukum Islam (Syamsul Anwar, 2007: 64). Dalam Ensiklopedi Hukum Islam dijelaskan bahwa adanya pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan Kabul (pernyataan menerima
perikatan. Dalam pasal 2 ayat 1Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah (KHES) dijelaskan bahwa akad adalah pertemuan ijab dan qobul sebagai pernyataan kehendak dua pihak atau lebih untuk melahirkan suatu akibat hukum pada objeknya.
antara ijab dan qobul
Sedangkan ikrar merupakan salah satu unsur terpenting dalam pembentukan akad. Ikrar ini berupa ijab dan qobul. Ijab adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak pertama) untuk menawarkan sesuatu. Qobul adalah suatu pernyataan dari seseorang (pihak kedua) untuk menerima atau mengabulkan tawaran dari pihak pertama. Apabila antara ijab dan qobul yang dilakukan oleh kedua pihak saling berhubungan dan bersesuaian, maka terjadilah akad di antara mereka. b. Unsur- Unsur Akad
Telah disebutkan sebelumnya bahwa definisi akad menurut Jumhur Ulama adalah pertalian antara ijab dan qobul yang dibenarkan oleh syariat Islam yang menimbulkan akibat hukum terhadap objeknya. Dari definisi tersebut dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung
commit to user
2005: 47) yaitu :1) Pertalian ijab dan qobul
Ijab adalah pernyataan kehendak oleh suatu pihak (mujib) untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Qobul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qaabil). Ijab dan Qobul ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan.
2) Dibenarkan oleh
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan atau hal- hal yang diatur oleh Allah SWT dalam dan Nabi Muhammad SAW dalam Hadits. Pelaksanaan akad, tujuan akad, maupun objek akad tidak boleh bertentangan dengan syariah. Jika bertentangan, akan mengakibatkan akad itu tidak sah.
3) Mempunyai akibat hukum terhadap objeknya
Akad merupakan salah satu dari tindakan hukum (tasharruf). Adanya akad menimbulkan akibat hukum terhadap objek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.
c. Rukun dan Syarat Akad
Dalam hukum Islam untuk terbentuknya suatu akad (perjanjian) yang sah dan mengikat haruslah dipenuhi rukun akad dan syarat akad.
Rukun akad adalah unsur unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu terwujud karena adanya unsur- unsur tersebut yang membentuknya. Dalam konsepsi hukum Islam, unsur- unsur yang membentuk sesuatu itu disebut rukun.
commit to user
Akad juga terbentuk karena adanya unsur- unsur atau rukun rukun yang membentuknya. Menurut ahli- ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang membentuk akad itu ada empat, yaitu :
1) Para pihak yang membuat akad (al- ain)
Ada dua bentuk al-aqidain, yaitu manusia dan badan hukum. a) Manusia
Dalam ketentuan Islam, manusia yang sudah dapat dibebani hukum disebut dengan mukallaf.
cub, syarat- syarat yang harus dipenuhi oleh manusia untuk dpat menjadi subjek
a. Aqil, yaitu orang yang harus berakal sehat. b. Tamyiz, yaitu orang yang dapat membedakan baik
dan buruk.
c. Mukhtar, yaitu orang yang bebas dari paksaan\ Pada al-aqidain ada tiga komponen yang harus diperhatikan, yaitu ahliyah (kecakapan), wilayah (kewenangan), dan wakalah (perwakilan). Penjelasannya sebagai berikut :
(a) Ahliyah (kecakapan), yaitu kecakapan seseorang untuk memiliki hak dan dikenai kewajiban atasnya dan kecakapan melakukan tasharruf.
(b) Wilayah (kewenangan), yaitu kekuasaan hukum yang pemiliknya dapat bertasharruf dan melakukan akad dan menunaikan segala akibat hukum yang ditimbulkan. Syarat seseorang untuk mendapatkan wilayah akad adalah orang yang cakap bertasharruf secara sempurna. Sedangkan orang yang kecakapan
commit to user
bertindaknya tidak sempurna tidak memiliki wilayah, baik untuk dirinya maupun orang lain untuk melakukan tasharruf (Faturrahman Djamil, 2001: 256-257).
(c) Wakalah (perwakilan), yaitu pengalihan kewenangan perihal harta dan perbuatan tertentu dari seseorang kepada orang lain untuk mengambil tindakan- tindakan tertentu dalam hidupnya.
b) Badan Hukum
Dalam Islam, badan hukum tidak diatur secara khusus. Namun, terlihat pada beberapa dalil menunjukkan adanya badan hukum dengan menggunakan istilah Al-Syirkah, seperti yang tercantum dalam Surat An-Nisa (4): 12, Shaad (38): 24 dan hadits Qudsi. Adanya kerjasama di antara beberapa orang yang menimbulkan kepentingan- kepentingan dari syirkah tersebut terhadap pihak ketiga. Dalam hubungan dengan pihak ketiga inilah timbul bentuk baru dari subjek hukum yang disebut dengan badan hukum.
2) Objek akad (mahallul- )
adalah sesuatu yang dijadikan objek akad dan dikenakan padanya akibat hukum yang ditimbulkan. Bentuk objek akad dapat berupa benda yang berwujud maupun yang tidak berwujud. Syarat- syarat yang harus dipenuhi dalam adalah sebagai berikut
(Gufr 86-89) :
a) Objek perikatan telah ada ketika akad dilangsungkan b) Objek perikatan dibenarkan oleh syariah
c) Objek akad harus jelas dan dikenali d) Objek dapat diserahterimakan
commit to user
3) Tujuan akad ( - )
adalah tujuan dan hukum suatu akad disyariatkan untuk tujuan tersebut. Dlam hukum Islam, tujuan akad ditentukan oleh Allah SWT dalam Al- dan Rosul SAW dalam Hadits. Menurut Ulama Fiqih, tujuan akad dapat dilakukan apabila sesuai dengan ketentuan syariah tersebut (Faturrahman Djamil, 2001: 257-258).
Ahmad Azhar Basyir menentukan syarat- syarat yang harus dipenuhi agar suatu tujuan akad dipandang sah dan mempunyai akibat hukum, yaitu sebagai berikut (Ahmad Azhar Basyir, 2000: 99-100) :
a) Tujuan akad tidak merupakan kewajiban yang telah ada atas pihak- pihak yang bersangkutan tanpa akad yang diadakan.
b) Tujuan harus berlangsung adanya hingga berakhirnya pelaksanaan akad.
c) Tujuan akad harus dibenarkan
4) Pernyataan kehendak para pihak (shigat al- )
Shigat al- adalah berupa ijab dan qobul. Para pihak yang melakukan ikrar ini harus memerhatikan tiga syarat yang harus dipenuhi agar memiliki akibat hukum yaitu (Faturrahman Djamil, 2001: 253) :
a) yaitu tujuan yang terkandung dalam pernyataan itu jelas, sehingga dapat dipahami jenis akad yang dikehendaki.
b) Tawafuq, yaitu adanya kesesuaian antara ijab dan qobul. c) Jazmul iradataini, yaitu antara ijab dan qobul
menunjukkan kehendak para pihak secara pasti, tidak ragu, dan terpaksa.
Sedangkan untuk syarat akad, menurut Suhendi sebagai berikut (Suhendi H. Hendi, 2002: 50) :
commit to user
(1) Kedua orang yang melakukan akad cakap bertindak (ahli). Tidak sah akad orang yang tidak cakap bertindak, seperti orang gila, orang yang di bawah pengampuan.
(2) Yang dijadikan akad dapat menerima hukumannya. (3)
mempunyai hak melakukannya walaupun dia bukan yang memiliki barang.
(4)
(5) Ijab itu berjalan terus, tidak dicabut sebelum qobul. Maka bila orang yang berijab menarik kembali ijabnya sebelum qabul, maka batallah ijabnya.
(6) Ijab dan qobul bersambung sehingga bila seorang yang berijab sudah berpisah sebelum adanya qobul, maka ijab tersebut batal.
d. Bentuk- bentuk Akad
Bahwa para ahli fiqih mengelompokkan berbeda- beda sesuai dengan pemikiran mereka masing- masing. Bentuk akad berdasarkan kegiatan usaha yang sering dilakukan saat ini terbagi dalam tiga bentuk, yaitu (Gemala Dewi dkk, 2013: 105) :
1) Pertukaran
Akad pertukaran terbagi dua, yaitu : pertukaran terhadap barang yang sejenis dan yang tidak sejenis (Gemala Dewi, 2004: 22).
a) Pertukaran barang yang sejenis terbagi dua pula, yaitu: (1) Pertukaran uang dengan uang (sharf) dan
Merupakan penambahan, penukaran, penghindaran, pengalihan, atau transaksi jual beli. Sharf adalah perjanjian jual beli satu valuta dengan valuta lainnya. Ulama fiqih mendefinisikan sharf adalah sebagai memperjualbelikan uang dengan uang yang sejenis maupun tidak sejenis. Dalam literature fiqih klasik,
commit to user
pembahasan ini ditemukan dalam bentuk jual beli dinar dengan dinar, dirham dengan dirham.
(2) Pertukaran barang dengan barang (barter)
Islam pada prinsipnya membolehkan terjadinya pertukaran barang dengan barang (barter). Namun, dalam pelaksanaannya bila tidak memerhatikan ketentuan syariat dapat menjadi barter yang mengandung unsur riba.
b) Pertukaran barang yang tidak sejenis (1) Pertukaran uang dengan barang
(a) Jual beli ( )
i. Jual beli pada umumnya
Merupakan pertukaran harta atas dasar saling rela atau memindahkan milik dengan ganti yang dapat dibenarkan (berupa alat tukas sah).
ii. Jual beli dalam bentuk khusus
Murabahah (jual beli diatas harga pokok) As Salam/As Salaf (jual beli dengan
pembayaran di muka) iii.
Merupakan salah satu bentuk dari jual beli salam, hanya saja objek yang diperjanjikan berupa manufacture order atau kontrak produksi. Istis didefinisikan dengan kontrak penjualan antara pembeli dan pembuat barang.
iv. Jual Beli dalam KHES (2) Pertukaran barang dengan uang
Misalnya sewa (ijarah). Ijarah (Sewa- menyewa) merupakan transaksi terhadap suatu manfaat yang dituju, tertentu, bersifat mubah, dan dapat dimanfaatkan dengan imbalan tertentu.
commit to user
2) Kerja Sama dalam Kegiatan Usaha (Syirkah)
Secara etimologi, asy-syirkah nerarti pencampuran, yaitu pencampuran antara sesuatu dengan yang lainnya, sehingga sulit dibedakan.
3) Pemberian Kepercayaan dalam Kegiatan Usaha a) (titipan)
Menurut Ulama Hanafi, yaitu mengikutsertakan orang lain dalam memelihara harta, baik dengan ungkapan yang jelas, melalui tindakan, maupun melalu isyarat.
mewakilkan orang lain untuk memelihara harta tertentu dengan cara tertentu.
b) Rahn (barang jaminan)
Dalam hukum positif disebut dengan barang jaminan/ agunan.
an rahn dengan menjadikan materi (barang) sebagai jaminan utang, yang dapat dijadikan pembayar utang apabila orang yang berutang tidak bisa membayar utangnya itu.
c) Wakalah (perwakilan)
Menurut para fuqaha, merupakan pemberian kewenangan/ kuasa kepada pihak lain tentang apa yang harus
menjadi pengganti pemberi kuasa selama batas waktu yang ditentukan
d) Kafalah (tanggungan)
menjadikan seseorang penjamin ikut bertanggung jawab atas tanggung jawabseseorang dalam pelunasan atau pembayaran utang, dan dengan demikian keduanya dipandang berutang.
commit to user
e) Hiwalah (pengalihan utang)Merupakan akad pemindahan utang piutang satu pihak kepada pihak lain.
f) Al-Ariyah (pinjam- meminjam)
memanfaatkan barang orang lain tanpa ganti rugi. e. Penggolongan Akad
1)
a) Akad sahih
Akad yang telah memenuhi rukun dan syarat- syaratnya (1) Akad nafiz
Akad yang dilangsungkan dengan memenuhi rukun dan syaratnya dan tidak ada penghalang untuk melaksanakannya.
(2) Akad mawquf
Akad yang dilakukan seseorang yang cakap bertindak hukum, tetapi ia tidak memiliki kekuasaan untuk melangsungkan dan melaksanakan akad itu, seperti akad yang dilakukan oleh anak kecil yang sudah mumayiz. b) Akad yang tidak sahih
Akad yang terdapat kekurangan pada rukun atau syarat- syaratnya, sehingga seluruh akibat hukum akad itu tidak berlaku dan tidak mengikat pihak- pihak yang berakad.
(1) Akad batil
Akad yang tidak memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari Misal objek jual beli tidak jelas.
(2) Akad fasid
Akad yang pada dasarnya disyariatkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. Misal menjual
commit to user
rumah tidak jelas tipe, jenis dan bentuk rumah yang dijual.
2) Dilihat dari segi penamaannya : a) Akad musammah
Akad yang ditentukan nama-
dijelaskan hukum- hukumnya, seperti jual beli, sewa menyewa, perikatan, hibah,wakalah, wakaf, hiwalah,
, wasiat, dan perkawinan. b) Akad ghair musammah
Akad yang penamaannya ditentukan oleh masyarakat sesuai dengan keperluan mereka di sepanjang zaman dan
tempat, seperti
-3) Dilihat dari segi disyariatkannya akad atau tidak (Teungku Muhammad Hasbi Shiddieqy, 2001: 109) :
a) Akad
Akad- -beli,rahn.
b) Akad
Akad- akad yang dilarang syar binatang yang masih dalam kandungan.
4) Dilihat dari sifat bendanya (Teungku Muhammad Hasbi Shiddieqy, 2001: 110) :
a) Akad
Akad yang disyaratkan kesempurnaannya dengan melaksanakan apa yang diakadkan. Misal benda yang dijual diserahkan kepada yang membeli.
b) Akad
Akad yang hasilnya semata- mata berdasarkan akad itu sendiri. Misal benda sudah di wakafkan otomatis menjadi benda wakaf.
5) Dilihat dari bentuk atau cara melakukan akad (Teungku Muhammad Hasbi Shiddieqy, 2001: 110) :
commit to user
a) Akad- akad yang harus dilaksanakan dengan tata cara tertentu. Misal pernikahan yang harus dilakukan dihadapan para saksi.
b) Akad- akad yang tidak memerlukan tata cara. Misal jual beli tidak perlu tempat dan waktu tertentu.
6) Dilihat dari dapat tidaknya dibatalkan akad (Teungku Muhammad Hasbi Shiddieqy, 2001: 111) :
a) Akad yang tidak dapat dibatalkan, yaitu . Akad nikah tidak dapat dicabut, hanya dapat diakhiri dengan jalan- jalan yang ditetapkan
b) Akad yang dapat dibatalkan atas persetujuan kedua belah pihak, sperti jual beli.
c) Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan puhak pertama. Misal rahn dan kafalah.
d) Akad yang dapat dibatalkan tanpa menunggu persetujuan pihak yang kedua, yaitu dan wakala. 7) Dilihat dari segi tukar- menukar hak (Teungku Muhammad
Hasbi Shiddieqy, 2001: 112) : a) Akad
Akad- akad yang berlaku atas dasar timbale balik, seperti jual beli, sewa menyewa.
b) Akad
Akad- akad yang berdasarkan pemberian dan pertolongan, seperti hibah dan
c) Akad yang mengandung pada permulaan tetapi menjadi pada akhirny, seperti qardl dan kafalah.
8) Dilihat dari segi keharusan membayar (Teungku Muhammad Hasbi Shiddieqy, 2001: 113) :
commit to user
Tanggung jawab pihak kedua sesudah barang- barang itu diterimanya. Seperti jual beli, qardh.
b) Akad amanah
Tanggung jawab dipikul oleh empunya, bukan oleh yang memegang barang. Misal syirkah,wakalah.
c) Akad yang dipengaruhi oleh beberapa unsur, dari satu segi yang mengharuskan dhammah, dan dari segi yang lain merupakan amanah, yaitu ijarah, rahn,shulh.
9) Dilihat dari segi tujuan (Teungku Muhammad Hasbi Shiddieqy, 2001: 114) :
a) Yang tujuannya tamlik (untuk memperoleh sesuatu), seperti jual beli, mudharabah.
b) Yang tujuannya mengukuhkan kepercayaan saja, seperti rahn dan kafalah.
c) Yang tujuannya menyerahkan kekuasaan, seperti wakalah,wasiyat.
d) Yang tujuannya memelihara, yaitu
10) Dilihat dari segi waktu berlakunya (Teungku Muhammad Hasbi Shiddieqy, 2001: 114) :
a) Akad fauriyah
Akad- akad yang pelaksanaannya tidak memerlukan waktu yang lama. Misal jual beli, shulh,qardh, dan hibah.
b) Akad mustamirrah
Akad yang pelaksanannya memerlukan waktu yang menjadi unsur asasi dalam pelaksanaannya. Contoh:
dan syirkah. 11) Dilihat dari ketergantungan dengan yang lain :
a) Akad asliyah
Akad yang berdiri sendiri, tidak memerlukan adanya sesuatu yang lain, misal jual beli,
commit to user
Akad yang tidak dapat berdiri sendiri karena memerlukan sesuatu yang lain, seperti rahn,kafalah.
12) Dilihat dari maksud dan tujuannya : a) Akad
Akad yang dimaksud untuk menolong dan murni semata- mata karena mengharap ridha dan pahala dari Allah, sama
Misal hibah,wakaf, ibra, wakalah, kafalah, hawalah, rahn, qirad.
b) Akad tijari
Akad yang dimaksudkan untuk mencari dan mendapatkan keuntungan berdasarkan rukun dan syarat yang harus dipenuhi semuanya. Misal
ijarah muntahiya bittamlik, mudharabah, musyarakah. 2. Tinjauan Mengenai Ijarah Muntahiya Bittamlik
a. Pengertian Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik
1) Pengertian akad pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik berdasarkan undang-undang
Berdasarkan penjelasan pasal 19 ayat (1) UU Perbankan Syariah, yang dimaksud dengan akad Ijarah Muntahiyya Bittamlik adalah akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang (Wangsawidjadja, 2012:267-268).
Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik merupakan salah satu bentuk kegiatan usaha bank syariah atau Lembaga Keuangan Syariah yang dilaksanakan berdasarkan prinsip syariah (prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang
commit to user
memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa dibidang syariah .
2) Pengertian Akad Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik Berdasarkan ketentuan Bank Indonesia
Berdasarkan lampiran surat edaran Bank Indonesia No. 5/26/BPS/2003 tentang Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia halaman 111, yang dimaksud dengan Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah perjanjian sewa-menyewa suatu barang antara lessor/ muajjir (pemberi sewa) dengan (penyewa) yang diakhiri dengan perpindahan hak milik objek sewa (Kamus Istilah Keuangan dan Perbankan Syariah Bank Indonesia, 2006: 21).
Berdasarkan Buku Kodifikasi Produk Perbankan Syariah, Lampiran SEBI No. 10/31/ DPbS tanggal 7 Oktober 2008 Perihal Produk Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah PBI No. 10/17/PBI/2008 tanggal 25 September 2008, yang dimaksud dengan Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah transaksi sewa- menyewa antara pemilik objek sewa dan penyewa untuk mendapatkan imbalan atas objek sewa yang disewakan dengan opsi perpindahan hak milik objek sewa.
Dalam ketentuan butir III.7.d Surat Edaran Bank Indonesia No. 10/14/DPbS tanggal 17 Maret 2008 Perihal Pelaksanaan Prinsip Syariah dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana serta Pelayanan Jasa Bank Syariah ditegaskan bahwa pelaksanaan pengaihan kepemilikan dan atau hak penguasaan objek sewa dapat dilakukan setelah masa sewa yang disepakati oleh bank dan penyewa selesai (Wangsawidjadja, 2012: 268-269).
commit to user
3) Pengertian Akad Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik Berdasarkan Fatwa Dewan Syariah Nasional
Berdasarkan fatwa Dewaan Syariah Nasional No. 27/DSNMUI/ III/2002 tentang Ijarah Muntahiya Bittamlik, yang dimaksud dengan sewa beli (ijarah muntahiya bittamlik), yaitu perjanjian sewa menyewa yang disertai opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa.
4) Pengertian Akad Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik Berdasarkan PSAK No. 107 (Akuntansi Ijarah)
Dalam ketentuan butir 6 PSAK No. 107 tentang Akuntansi Ijarah ditegaskan bahwa perpindahan kepemilikan suatu asset yang di-ijarah-kan dari pemilik ke-pada penyewa dalam Ijarah Muntahiya Bittamlik dilakukan jika seluruh pembayaran sewa atas objek Ijarah yang dialihkan telah diselesaikan dan objek Ijarah telah diserahkan kepada penyewa dengan membuat akad terpisah.
Berdasarkan ketentuan- ketentuan tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa:
a) Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah perjanjian sewa-menyewa antara bank sebagai pemberi sewa dan nasabah sebagai penyewa atas suatu barang yang menjadi objek sewa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa oleh nasabah kepada bank, yang mengikat bank untuk mengalihkan kepemilikan objek sewa kepada penyewa setelah selesai masa sewa. b) Bank syariah wajib melaksanakan pembiayaan berdasarkan akad Ijarah
Muntahiya Bittamlik sesuai prinsip syariah dan ketentuan- ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
c) Dalam transaksi pembiayaan berdasarkan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik tidak dimungkkinkan barang yang dibiayai dibalik nama atas nama nasabah sejak awal sebelum masa sewa berakhir.
commit to user
d) Resiko yang dihadapi bank syariah apabila pelaksanaan pembiayaan dengan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik bertentangan dengan hukum dan prinsp syariah adalah pembatalan Ijarah
b. Landasan Hukum Ijarah Muntahiya Bittamlik 1)
QS Al-Baqarah: 233 (Departemen Agama RI, 2009: 37)
Dan ibu- ibu hendaklah menyusui anak- anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyusui secara sempurna. Dan kewajiban ayah menanggung nafkah dan pakaian mereka dengan cara yang patut. Seseorang tidak dibebani lebih dari kesanggupannya. Janganlah seorang ibu menderita karena anaknya dan jangan pula seorang ayah (menderita) karena anaknya. Ahli waris pun (berkewajiban) seperti itu pula. Apabila keduanya ingin menyapih dengan persetujuan dan permusyawaratan antara keduanya, maka tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin menyusukan anakmu kepada orang lain, maka tidak ada dosa bagimu memberikan pembayaran dengan cara yang patut. Bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah QS Al Qasas: 26 (Departemen Agama RI, 2009: 388)
ayahku! Jadikanlah dia sebagai pekerja (pada kita), sesungguhnya orang yang paling baik yang engkau ambil sebagai pekerja (pada kita) ialah orang yang kuat dan dapat dipercay
QS An Qasas: 27 (Departemen Agama RI, 2009: 388)
ingin menikahkan engkau dengan salah seorang dari kedua anak perempuanku ini, dengan ketentuan bahwa engkau bekerja padaku selama delapan tahun dan jika engkau sempurnakan sepuluh tahun maka itu adalah (suatu kebaikan) darimu, dan aku tidak bermaksud memberatkan engkau. InsyaAllah engkau akan mendapatiku termasuk orang yang bai
QS Ath Thalaq: 6 (Departemen Agama RI, 2009: 559)
Tempatkanlah mereka (para istri) dimana kamu bertempat tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk menyempitkan (hati) mereka. Dan jika mereka (istri- istri yang sudah di talak) itu sedang hamil, maka berikanlah kepada mereka nafkahnya sampai mereka melahirkan kandungannya, kemudian jika mereka menyusukan (anak- anak)mu, maka berikanlah imbalannya kepada mereka; dan musyawarahkanlah
commit to user
diantara kamu (segala sesuatu), dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan, maka perempuan lain boleh menyusukan (anak QS Al-Hadid: 11 (Departemen Agama RI, 2009: 538)
baik, maka Allah akan mengembalikannya berlipat ganda
2) Hadits Nabi Muhammad SAW
a) Ibnu Abbas meriwayatkan dari Nabi bahwa beliau pernah berbekam dan memberi upah orang yang memberkam beliau,
(76), Bab: Obat yang dimasukkan dalam hidung (9)) (Muhammad Fuad Abdul Baqi, 2015: 611).
b) Anas meriwayatkan bahwa ia pernah ditanya mengenai upah
makanan dan menyarankan supaya meringankan beban hamba
(Muhammad Fuad Abdul Baqi, 2015: 611).
c) .
riwayat Ibnu Majah (Al Hafizd Ibnu Hajar Al-318).
d) menceritakan, bahwa Nabi saw.
Pernah bers
dihubungkan oleh Baihaqi melalui jalur Abu Hanifah (Al Hafizd Ibnu Hajar
Al-commit to user
e) Ahmad bin Al-Hasan bin Khirasy telah memberitahukan
Aku mendengar Anas berkata, pembantu yang bertugas sebagai tukang bekam. Setelah atau satu mudd atau dua mudd. Beliau pun membicarakannya, lalu dikurangi dari sebagian pendapatannya. -Nawawi, 2010: 740).
3) Peraturan Perundang- Undangan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan jo.Undang Nomor 10 tentang Perubahan Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syariah;
Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah
Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah Fatwa DSN MUI Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang
al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik
c. Rukun dan Syarat Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik (sewa-beli)
Berikut rukun dan syarat yang terdapat dalam akad Ijarah Muntahiya Bittamlik : (Ismail, 2011: 164)
1) Rukun
a) Penyewa atau dikenal dengan lesse, yaitu pihak yang menyewa objek sewa. Dalam perbankan, penyewa adalah nasabah.
b) Pemilik barang dikenal dengan lessor, yaitu pemilik barang yang digunakan sebagai objek sewa.
commit to user
c) Barang/objek sewa adalah barang yang disewakan.
d) Harga sewa/ manfaat sewa (ujrah) adalah manfaat atau imbalan yang diterima oleh
e) Ijab Kabul, adalah serah terima barang. 2) Syarat
a) Kerelaan dari pihak yang melaksanakan akad.
b) memiliki manfaat dan manfaatnya dibenarkan dalam islam, dapat dinilai atau diperhitugkan, dan manfaat atas transaksi ijarah muntahiya bittamlik harus diberikan oleh lesse kepada lessor.
d. Hak dan Kewajiban Penyewa ( ) dan Pemberi Sewa
( )
Dalam pelaksanaan Ijarah Muntahiya Bittamlik, perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir) wajib membuat . yaitu janji pemindahan kepemilikan objek ijarah muntahiya bittamlik pada akhir masa sewa. yang dibuat pemberi sewa bersifat tidak mengikat bagi penyewa ( ) dan
akad pemindahan kepemilikan .
Hak perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa (muajjir), antara lain adalah (Al Arif Nur Rianto, 2012: 255-257) :
1) Memperoleh pembayaran sewa dari penyewa .
2) Menarik objek ijarah muntahiya bittamlik apabila penyewa tidak mampu membayar sewa sebagaimana diperjanjikan.
3) Pada akhir masa sewa, mengalihkan objek ijarah muntahiya bittamlik kepada penyewa lain yang mampu dalam hal penyewa sama sekali tidak mampu untuk memindahkan kepemilikan objek
commit to user
ijarah muntahiya bittamlik atau memperpanjang masa sewa atau mencari calon penggantinya.
Kewajiban perusahaan pembiayaan sebagai pemberi sewa antara lain:
1) Menyediakan objek ijarah muntahiya bittamlik yang disewakan.
2) Menanggung biaya pemeliharaan objek ijarah muntahiya bittamlik kecuali diperjanjikan lain.
3) Menjamin objek ijarah muntahiya bittamlik tidak terdapat cacat dan dapat berfungsi dengan baik. Hak penyewa antara lain adalah:
1) Menggunakan objek ijarah muntahiya bittamlik sesuai dengan persyaratan-persyaratan yang diperjanjikan. 2) Menerima objek ijarah muntahiya bittamlik dalam
keadaan baik dan siap dioperasikan.
3) Pada akhir masa sewa, memindahkan kepemilikan objek ijarah muntahiya bittamlik, atau memperpanjang masa sewa, atau mencari calon penggantinya dalam hal tidak mampu untuk memindahkan hak kepemilikan atas objek ijarah muntahiya bittamlik atau memperpanjang masa sewa.
4) Membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan. Kewajiban penyewa antara lain adalah:
1) Membayar sewa sesuai dengan yang diperjanjikan. 2) Menjaga dan menggunakan objek ijarah muntahiya
bittamlik sesuai yang diperjanjikan.
3) Tidak menyewakan kembali objek ijarah muntahiya bittamlik kepada pihak lain.
4) Melakukan pemeliharaan kecil (tidak material) terhadap objek ijarah muntahiya bittamlik.
commit to user
e. Mekanisme Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik
Mekanisme Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik adalah merupakan tahapan- tahapan untuk pelaksanaan pembiayaan akad tersebut yaitu sebegai berikut : (Al Arif Nur Rianto, 2012: 257) 1) mengajukan permohonan sewa guna usaha barang
kepada muajjir.
2) Muajjir menyediakan barang yang ingin disewa oleh . 3) Dilaksanakan akad penyewaan, yang berisi spesifikasi barang
yang disewa, jangka waktu, biaya sewa, dan berbagai persyaratan transaksi lainnya. Dilengkapi pula dengan opsi pembelian pada akhir masa kontrak.
4) membayar secara rutin biaya sewa sesuai kesepakatan yang telah ditandatangani kepada muajjir sampai masa kontrak berakhir. Selama proses penyewaan, biaya pemeliharaan ditanggung oleh muajjir.
5) Setelah masa kontrak berakhir, m memiliki opsi pembelian barang kepada muajjir. Apabila opsi tersebut digunakan, barang menjadi milik sepenuhnya.
f. Manfaat dan Resiko Pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik (sewa-beli)
Manfaat yang harus diantisipasi dalam pembiayaan Ijarah Muntahiya
Manfaat dari transaksi al-ijarah untuk bank adalah keuntungan sewa dan kembalinya uang pokok. Adapun resiko yang mungkin terjadi dalam al-ijarah adalah sebagai berikut:
1) Default; nasabah tidak membayar cicilan dengan sengaja. 2) Rusak; asset ijarah rusak sehingga menyebabkan biaya
pemeliharaan bertambah, terutama bila disebutkan dalam kontrak bahwa pemeliharaan harus dilakukan oleh bank. 3) Berhenti; nasabah berhenti ditengah kontrak dan tidak mau
commit to user
kembali keuntungan dan mengembalikan sebagian kepada nasabah.
g. Ijarah Muntahiya Bittamlik Menurut Konsep Fatwa MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002
Ketentuan Umum:
1) Semua rukun dan syarat yang berlaku dalam akad Ijarah (Fatwa DSN No 9/DSN-MUI/IV/2000) berlaku pula dalam akad Ijarah Muntahiya Bittamlik.
2) Perjanjian untuk melakukan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik harus disepakati ketika akad Ijarah ditandatangani.
3) Hak dan kewajiban setiap pihak harus dijelaskan dalam akad.
Ketentuan tentang Ijarah Muntahiya Bittamlik
1) Pihak yang melakukan Ijarah Muntahiya Bittamlik harus melaksanakan akad Ijarah terlebih dahulu. Akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah akad Ijarah selesai.
2) Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad Ijarah
janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan kepemilikan yang dilakukan setelah masa Ijarah selesai.
3) Jika salah satu pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan di antara kedua belah pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan Arbitrase Syariah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah. 4) Fatwa ini berlaku sejak tanggal ditetapkan dengan
ketentuan jika di kemudian hari ternyata kekeliruan, akan diubah dan disempurnakan sebagaimana mestinya.
commit to user
3. Tinjauan Mengenai Bentuk Penyaluran Dana Bank Syariah
Pada penyaluran dana kepada masyarakat, sebagian besar pembiayaan bank syariah disalurkan dalam bentuk barang atau jasa yang dibelikan bank syariah untuk nasabahnya.
Secara garis besar bentuk penyaluran dana pada bank syariah dapat digolongkan menjadi 4 kategori yaitu (Zainudin Ali, 2010: 30) :
a. Pembiayaan Dengan prinsip Jual beli
Pembiayaan dengan prinsip jual beli mempunyai jenis-jenis sebagai berikut (Zainudin Ali, 2010: 30-33) :
1) Pembiayaan murabahah adalah transaksi jual beli, yaitu pihak bank syariah bertindak sebagai penjual dan nasabah sebagai pembeli, dengan harga jual dari bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan dalam persentase tertentu bagi bank syariah sesuai dengan kesepakatan. 2) Pembiayaan salam adalah transaksi jual beli dan barang
yang diperjualbelikan akan diserahkan dalam waktu yang akan datang, tetapi pembayaran kepada nasabah dilakukan secara tunai. Syarat utama adalah barang atau hasil produksi yang akan diserahkan kemudian tersebut dapat ditentukan spesifikasinya secara jelas seperti jenis, macam, ukuran, mutu, dan jumlahnya.
3) Pembiayaan istishna adalah pembiayaan yang menyerupai pembiayaan salam, namun Bank Syariah melakukan pembayaran secara termin atau beberapa kali dalam jangka waktu tertentu sesuai kesepakatan. Syarat utama barang adalah sama dengan dengan pembiayaan salam yaitu spesifikasi barang ditentukan dengan jelas.
b. Pembiayaan dengan prinsip sewa (ijarah)
Pembiayaan yang objeknya dapat berupa manfaat/ jasa (Zainudin Ali, 2010: 33).
commit to user
c. Pembiayaan dengan prinsip bagi hasilAkad-akad investasi bagi hasil yang biasa diaplikasikan pada pembiayaan prinsip bagi hasil mempunyai beberapa jenis sebagai berikut: (Zainuddin Ali, 2010: 30-39)
1) Pembiayaan musyarakah adalah pembiayaan yang dilakukan oleh pihak bank syariah dan/ atau bank muamalah untuk membiayaai suatu proyek bersama antara nasabah dengan bank. Atau dapat diartikan musyarakah adalah perjanjian (aqad) antara dua pihak atau lebih dalam suatu usaha tertentu, yaitu masing-masing pihak akan memberikan kontribusi dengan kesepakatan bila terdapata keuntungan Namun bila terjadi kerugian maka masing-masing pihak mendapat margin dalam bentuk menangggung risiko.
2) Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan yang dilakukan oleh pihak bank syariah sebagai pemilik modal (sahibul mal) untuk membiayai 100 persen kebutuhan dana dari suatu proyek/ usaha tersebut, sementara nasabah sebagai pelaksana proyek (mudharib) sesuai dengan keahlian yang dimilikinya akan menjalankan proyek atau usaha tersebut dan bertanggung jawab atas segala kerugian yang mungkin terjadi.
d. Pembiayaan dengan prinsip akad pelengkap
Pembiayaan prinsip akad pelengkap mempunyai jenis-jenis sebagai berikut (Zainudin Ali, 2010: 36-40) :
1) Al-hawalah adalah pengalihan utang dari orang yang berhutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. 2) Gadai (rahn) adalah bentuk transaksi yang dilakukan oleh
seseorang yang membutuhkan dana, sehingga menggadaikan barang yang dimilikinya sebagai jaminan kepada bank syariah dan atas izin bank syariah orang
commit to user
tersebut dapat menggunakan barang yang digadaikan dengan syarat harus dipelihara dengan baik. Bank syariah akan membebankan biaya jasa gadai sesuai dengan kesepakatan.
3) Garansi bank ( kafalah ) adalah jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua yang ditanggung. Apabila nasabah membutuhkan garansi bank syariah untuk melakukan pekerjaan tertentu, nasabah dapat menempatkan sejumlah uang sebagai jaminan untuk membuka garansi Bank Syariah.
4) Perwakilan (wakalah) adalah penyerahan atau pemberian mandat kepada seseorang yaitu nasabah meminta kepada bank syariah untuk mewakili dirinya melakukan jasa transaksi perbankan seperti transferuang, inkaso, letter of credit dan lain-lain dimana bank syariah akan membebankan biaya jasa sesuai kesepakatan.
commit to user
B. Kerangka PemikiranGambar 2. Bagan Kerangka Pemikiran Adanya kebutuhan untuk
mendirikan gedung layanan umum
Dana yang ada digunakan untuk kebutuhan yang lain
Kebijakan :
1. UU No 10 Tahun 1998 2. UU No 21 Tahun 2008
3. Peraturan Mahkamah Agung No. 02 Tahun 2008
4. Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005
5. Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002
Penerapan Akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dalam sistem
pembiayaan barang modal di Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Solo, dikaji dari aspek :
1. Mekanisme 2. Jaminan
3. Perilaku Nasabah
Memberikan informasi kepada nasabah mengenai akad Ijarah Muntahiya Bittamlik untuk pendirian gedung
commit to user
Keterangan :Bahwa berawal dari adanya kebutuhan yang mendesak untuk mendirikan gedung layanan umum dari masyarakat namun masih terkendala masalah dana yang ada, dimana yang sebenarnya dana tersebut tidak digunakan untuk pendirian gedung tetapi untuk kebutuhan yang lain. Maka kemudian muncul sistem pembiayaan guna mempermudah masyarakat untuk melakukan pembiayaan terhadap pendirian gedung tersebut. Hal tersebut dilakukan oleh Bank Syariah Mandiri yang mana mempunyai sistem pembiayaan Ijarah Muntahiya Bittamlik, merupakan akad penyediaan dana dalam rangka memindahkan hak guna atau manfaat dari suatu barang atau jasa berdasarkan transaksi sewa dengan opsi pemindahan kepemilikan barang. Hal tersebut dilakukan dengan dasar adanya beberapa peraturan yang telah ada, yaitu: UU No 10 Tahun 1998 tentang Perbankan, UU No 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah, Peraturan Mahkamah Agung No 02 Tahun 2008, Peraturan Bank Indonesia Nomor: 7/46/PBI/2005 Tentang Akad Penghimpunan dan Penyaluran Dana Bagi Bank yang Melaksanakan Kegiatan Usaha Berdasarkan Prinsip Syariah serta Fatwa DSN Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang Ijarah Muntahiya Bittamlik.
Dari hal tersebut diatas maka penulis mencoba untuk melakukan penelitian terkait mekanisme, jaminan serta antisipasi terhadap masyarakat yang tidak mau membayar angsuran dalam penerapan akad Ijarah Muntahiya Bittamlik dalam sistem pembiayaan barang modal di Bank Syariah Mandiri Kantor Cabang Solo dimana hasil akhir digunakan untuk memberikan informasi kepada masyarakat mengenai akad Ijarah Muntahiya Bittamlik yang digunakan untuk pendirian gedung.