HUBUNGAN ASUPAN ZAT GIZI DAN PENYAKIT INFEKSI DENGAN
KEJADIAN STUNTING ANAK USIA 24-59 BULAN DI POSYANDU
ASOKA II KELURAHAN BAROMBONG KECAMATAN TAMALATE
KOTA MAKASSAR
Wina Kurnia S1., Irviani Anwar Ibrahim1, Dwi Santy Damayati1
1
Fakultas Ilmu Kesehatan, Universitas Islam Negeri, Makassar
Abstract
Background: Stunting is a chronic nutritional problem that arises as a result of malnutrition which is accumulated in a long time.
Objectives: The research aims to determine the relationship the intake of macro-nutrients (energy and protein), the intake of micromacro-nutrients (vitamin A, vitamin B12, calcium, fe, zinc and phosphorus) and infectious diseases (URI and diarrhea) to stunting case on children aged 24-59 months in posyandu Asoka II coastal areas Barombong Village District of Tamalate Makassar 2014.
Methods: This reasearch is a quantitative research through observational analytic approach with a cross-sectional study design. The total sample is 62 people use a total sampling technique.
Results: The results showed that the majority of the sample (54,8%) had problems of stunting and the rest (45,2%) had normal nutritional status. Based on bivariate analysis, it showed that there was a relationship between energy intake (p = 0,031), and protein (p = 0,014) with stunting case on children aged 24-59 months in posyandu Asoka II coastal areas Barombong Village District. There was no association between intake of vitamin A (p = 0,257), vitamin B12 (p = 0,276), calcium (p = 0,102), fe (p = 0,185), zinc (p = 0,053), phosphorus (p = 0,063), URI (p = 0,09) and diarrhea (p = 0,895) with stunting case on children aged 24-59 months in posyandu Asoka II coastal areas Barombong Village District of Tamalate Makassar.
Conclusions: To prevent the increasing in the prevalence of stunting, parents are expected to pay more attention to their food to avoid a deficiency of certain nutrients to improv hygiene practices/higyene and environmental sanitation.
Keywords: Stunting, nutrition intake, URI, diarrhea, children aged 24-59 months,
coastal areas
PENDAHULUAN
Masalah kekurangan gizi yang mendapat banyak mendapat perhatian akhir-akhir ini adalah masalah gizi kronis dalam bentuk anak pendek (stunting). Stunting didefenisikan sebagai indeks tinggi badan menurut umur (TB/U) kurang dari minus dua standar deviasi (-2 SD) atau dibawah rata-rata standar yang ada dan severe stunting didefenisikan kurang dari -3 SD (ACC/SCN, 2000 dalam Paramita, 2012).
Menurut laporan The Lanchet’s (2008) dalam Paramitha (2012), di dunia ada 178 juta
anak berusia kurang dari lima tahun (balita) yang stunting dengan luas mayoritas di
South-Central Asia dan sub-Sahara Afrika. Prevalensi
balita stunting pada tahun 2007 di seluruh dunia adalah 28,5% dan di seluruh negara berkembang sebesar 31,2 %. Di Indonesia,
trend kejadian stunting pada balita tidak
memperlihatkan perubahan yang bermakna (Paramitha, 2012).
Berdasarkan data Riskesdas kejadian stunting pada balita di Indonesia masih sangat tinggi, yaitu 36,8% (18,8% sangat pendek dan 18,0% pendek) pada tahun 2007 dan menurun
Media Gizi Pangan, Vol. XVIII, Edisi 2, 2014 Asupan Zat Gizi, Stunting, anak umur 24-59 bulan
sedikit menjadi 35,6% (18,5% sangat pendek dan 17,1% pendek) atau lebih dari sepertiga balita di Indonesia mengalami stunting pada tahun 2010 serta terjadi peningkatan lagi pada tahun 2013 yaitu 37,2% (18,0% sangat pendek dan 19,2% pendek).
Menurut Riskesdas (2010) prevalensi di Provinsi Sulawesi Selatan untuk kategori sangat pendek 15,8% dan pendek 23,1%, sehingga prevalensi Stunting di Sulawesi Selatan yaitu 38,9%. Sedangkan menurut Riskesdas (2013) prevalensi stunting di Sulawesi Selatan yaitu sekitar 41%. Masalah kesehatan masyarakat dianggap berat bila prevalensi pendek sebesar 30–39 persen dan serius bila prevalensi pendek ≥40 persen (WHO 2010). Masalah stunting di Sulawesi Selatan ini merupakan masalah yang sangat serius.
Di Kota Makassar prevalensi stunting pada tahun 2007 sebanyak 26,9% (sangat pendek yaitu 16,8% dan pendek 10,1%). Sementara batas Non Public Health Problem yang ditolerir oleh Badan Kesehatan Dunia (WHO 2005) untuk kejadian stunting hanya 20 persen atau seperlima dari jumlah total balita di suatu Negara.
Berdasarkan data sekunder dari puskesmas Barombong, kasus gizi kurang pada bulan April 2014 sebanyak 130 balita dan kasus gizi buruk sebanyak 28 balita dari 1359 jumlah balita. Yang paling banyak kejadian gizi buruk dan gizi kurang berada di 3 posyandu yang terletak di wilayah pesisir kelurahan barombong. Namun yang paling tinggi terletak di posyandu Asoka II dengan kejadian gizi kurang sebanyak 10 orang dan gizi buruk sebanyak 7 orang.
Asupan makanan yang tidak memadai dan penyakit infeksi merupakan penyebab langsung terjadinya masalah gizi kurang (Persagi, 1999 dalam Supariasa 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Aditianti (2010) mengenai faktor determinan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di Indonesia menyatakan bahwa adanya penyakit infeksi dapat memperburuk terjadinya stunting.
Lingkungan permukiman nelayan di kawasan pesisir pada umumnya merupakan kawasan kumuh dengan tingkat pelayanan akan pemenuhan kebutuhan prasarana dan sarana dasar lingkungan yang sangat terbatas, khususnya keterbatasan untuk memperoleh pelayanan sarana air bersih, drainase dan sanitasi, serta prasarana dan sarana untuk mendukung kesehatan (Mahmud, 2007). Masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang cukup tinggi dengan potensi dan kondisi
sumberdaya pesisir dan lautan. Sehingga masyarakat nelayan akrab dengan ketidakpastian yang tinggi karena secara alamiah sumberdaya perikanan bersifat tidak menetap. Tidak menutup kemungkinan bahwa anak yang tinggal di wilayah pesisir dan merupakan anggota keluarga nelayan mempunyai asupan zat gizi yang berbeda dengan anak seusianya yang berada di tempat tinggal yang berbeda, karena menyangkut mengenai konsumsi pangan hewani (kerang, ikan, dan lain-lain) yang cukup tinggi di wilayah pesisir (Hadju, 2013).
Oleh karena itu, penulis tertarik untuk meneliti hubungan asupan zat gizi dan penyakit infeksi dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di Posyandu Asoka II wilayah pesisir Keluarahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun 2014.
BAHAN DAN METODE
Jenis dan Lokasi Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kuantitatif. Lokasi pada penelitian ini yaitu di posyandu Asoka II wilayah pesisir Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar.
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan pada penelitian ini adalah pendekatan analitik observasional dengan desain potong lintang (Cross Sectional Study).
Populasi dan Sampel
Populasi adalah semua anak usia 24-59 bulan di Posyandu Asoka II wilayah pesisir Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar tahun 2014. Sampel adalah anak yang berusia 24-59 bulan. Sampel diperoleh melalui tekhnik Non Probability
Sampling yaitu dengan metode Total Sampling
artinya semua populasi merupakan sampel. Metode Pengumpulan Data
Data primer dalam penelitian ini yaitu data identitas responden, identitas balita, konsumsi makanan balita dan kejadian sakit karena infeksi. Semua data-data tersebut diperoleh dengan wawancara menggunakan kuesioner. Data tinggi badan diperoleh dengan mengukur tinggi badan balita menggunakan
Microtoice dan timbangan berat badan untuk
mengetahui berat badan balita. Data sekunder berupa data jumlah balita dan status gizi balita puskesmas barombong tahun 2014.
penyakit infeksi, formulir recall 24 jam, buku foto makanan dan DKBM. Microtoice
digunakan untuk mengukur tinggi badan (TB) balita dengan ketelitian 0,1 cm. Berat badan diperoleh dengan menggunakan timbangan berat badan dengan ketelitian 0,1 kg. Kuesioner digunakan sebagai pedoman wawancara untuk mengetahui identitas responden, identitas balita dan penyakit infeksi yang diderita oleh balita, formulir recall digunakan untuk mengetahui jenis dan jumlah makanan yang dikonsumsi serta buku foto makanan dan DKBM digunakan untuk memperkirakan ukuran makanan.
Validasi dan Reliabilitasi Instrumen
Uji validitas microtoice dan timbangan berat badan dilakukan dengan pengkalibrasian untuk memastikan tingkat validitas alat ukur yang digunakan sudah baik. Uji validitas kuesioner dilakukan dengan menggunakan
corrected item-total correlation melalui SPSS.
Berdasarkan uji SPSS yang telah dilakukan, diperoleh nilai corrected item-total correlation pada masing-masing pertanyaan dengan nilai signifikansi 5% bernilai lebih besar dari nilai r
product moment.
Uji reliabilitasi microtoice dan timbangan berat badan dilakukan dengan pengulangan pengukuran sebanyak dua kali agar data yang diperoleh dapat dipercaya dan lebih akurat. Dari hasil uji validitas, maka butir-butir soal yang valid kemudian di uji reliabilitasnya. Hasil uji menunjukkan bahwa nilai Cronbach’s Alpha
pada masing-masing variabel dengan nilai signifikansi 5% memiliki nilai lebih besar dari nilai pada tabel r product moment sehingga semua pertanyan dikatakan reliable.
Formulir recall dilakukan 2 kali tidak berturut-turut, buku foto makanan dan DKBM yang digunakan dikelurakan oleh Direktorat Bina Gizi Depkes dan disesuaikan dengan jumlah dan jenis makanan yang dikonsumsi sampel.
Teknik Pengolahan dan Analisis Data Dilakukan editing, coding dan tabulasi dalam mengolah data. Data secara keseluruhan dianalisis dengan menggunakan program komputerisasi yaitu SPSS (System
Paket Sosial Science) meliputi analisis univariat dan analisis bivariat. Data jumlah asupan diperoleh dengan menggunakan program nutrisurvey. Adapun analisa statistik
HASIL PENELITIAN
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Karakteristik Responden
Karakteristik Responden n % Umur (Tahun) 20-24 10 16.1 25-29 17 27.4 30-34 16 25.8 35-39 6 9.6 40-44 9 14.5 45-49 2 3.2 50-54 2 3.2 Pekerjaan IRT 57 91.9 Wiraswasta 4 6.4 Guru 1 1.6 Tingkat Pendidikan Tidak Sekolah 8 12.9 SD/sederajat 28 45.2 SMP/sederajat 11 17.7 SMA/sederajat 13 21.0 Diploma 1 1.6 Sarjana 1 1.6 Jumlah Anggota Keluarga 3-5 orang 42 67.7 > 5 orang 20 32.3 Total 62 100
Tabel 1 menunjukkan bahwa kelompok umur responden paling banyak terdapat pada kelompok umur 25-29 tahun yaitu sekitar 17 orang (27,4%) dari 62 responden sedangkan yang paling sedikit berada pada kelompok umur 45-49 dan 50-54 tahun yaitu masing-masing sebanyak 2 orang (3,2%). Untuk pekerjaan ibu kebanyakan responden merupakan ibu rumah tangga (IRT) atau tidak bekerja yaitu sekitar 57 orang (91,9%) dari 62 responden sedangkan yang paling sedikit adalah guru yaitu hanya 1 orang (1,6%). Sementara untuk tingkat pendidikan kebanyakan responden tingkat pendidikannya SD/Sederajat yakni sekitar 28 orang (45,2%) dari 62 responden sedangkan yang paling sedikit adalah Diploma dan Sarjana yakni masing-masing 1 orang (1,6%). Untuk jumlah anggota keluarga kebanyakan jumlah anggota keluarga responden berada pada kisaran 3-5 orang yaitu sebanyak 42 responden (67,7%) dari 62 responden sedangkan selebihnya atau 20 responden (32,3%) jumlah anggota keluarganya > 5 orang.
Media Gizi Pangan, Vol. XVIII, Edisi 2, 2014 Asupan Zat Gizi, Stunting, anak umur 24-59 bulan
Tabel 2.
Distribusi Frekuensi Karakteristik Sampel
Karakteristik Sampel n % Jenis Kelamin Laki-laki 42 67.7 Perempuan 20 32.3 Umur (Bulan) 24-35 24 38.7 36-47 25 40.3 48-59 13 21.0 Total 62 100
Tabel 2 menunjukkan bahwa kebanyakan sampel berjenis kelamin laki-laki yaitu sebanyak 42 orang (67,7%) dari 62 balita sedangkan sampel berjenis kelamin perempuan sebanyak 20 orang (32,3%). Untuk kelompok umur, kebanyakan sampel berada pada kelompok umur 36-47 bulan yakni sekitar 25 orang (40,3%) dari 62 balita sedangkan paling sedikit sampel berada pada kelompok umur 48-59 bulan yakni sekitar 13 orang (21,0%).
Tabel 3.
Analisis Hubungan Asupan Zat Gizi Makro dengan Kejadian Stunting Anak Usia 24-59 Bulan
Asupan Zat Gizi Makro
Kejadian Stunting Total P Value Normal Stunting n % n % n % Energi Cukup 20 57.1 15 42.9 35 100 0.031 Kurang 8 29.6 19 70.4 27 100 Protein Cukup 25 54.3 21 45.7 46 100 0.014 Kurang 3 18.8 13 81.2 16 100
Tabel 3 menunjukkan analisis hubungan asupan zat gizi makro (energi dan protein) dengan kejadian stunting diperoleh nilai p untuk asupan energi p=0,031 dan protein
p=0,014 maka hipotesis Ha diterima yang
berarti ada hubungan antara asupan zat gizi
makro dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di posyandu Asoka II wilayah pesisir Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate kota Makassar tahun 2014.
Tabel 4.
Analisis Hubungan Asupan Zat Gizi Mikro dengan Kejadian Stunting Anak Usia 24-59 Bulan
Asupan Zat Gizi Mikro
Kejadian Stunting Total P Value Normal Stunting n % n % N % Vitamin A Cukup 13 54.2 11 45.8 24 100 0.257 Kurang 15 39.5 23 60.5 38 100 Vitamin B12 Cukup 26 48.1 28 51.9 54 100 0.276 Kurang 2 25 6 75 8 100 Kalsium Cukup 8 57.1 6 42.9 14 100 0.102 Kurang 20 41.7 28 58.9 48 100 Fe Cukup 9 60 6 40 15 100 0.185 Kurang 19 42.2 28 57.8 47 100 Zinc Cukup 20 55.6 16 44.4 36 100 0.053 Kurang 8 30.8 18 69.2 26 100 Fosfor Cukup 27 50 27 50 54 100 0.063 Kurang 1 12.5 7 87.5 8 100 73
Tabel 4 menunjukkan analisis hubungan antara asupan gizi mikro dengan kejadian
stunting diperoleh nilai p untuk vitamin A nilai p=0,257, vitamin B12 dengan nilai p=0,276,
kalsium dengan nilai p=0,102, fe dengan nilai
p=0,185, zinc dengan nilai p=0,053, dan fosfor
dengan nilai p=0,063, maka hipotesis Ha
ditolak yang berarti tidak ada hubungan yang antara asupan zat gizi mikro dengan kejadian
stunting anak usia 24-59 bulan di posyandu
Asoka II wilayah pesisir Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun 2014.
Tabel 5.
Analisis Hubungan Penyakit Infeksi dengan Kejadian Stunting Anak Usia 24-59 Bulan
Penyakit Infeksi Kejadian Stunting Total P Value Normal Stunting n % n % n % ISPA Ya 1 16.7 5 83.3 6 100 0.209 Tidak 27 48.2 29 51.8 56 100 Diare Ya 7 43.8 9 56.2 16 100 0.895 Tidak 21 45.7 25 54.3 46 100
Tabel 5 menunjukkan analisis hubungan antara penyakit infeksi dengan kejadian
stunting diperoleh masing-masing untuk ISPA
adalah nilai p=0,209 dan diare dengan nilai
p=0,895, maka hipotesis Ha ditolak yang
berarti tidak ada hubungan antara penyakit infeksi dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di posyandu Asoka II wilayah pesisir Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun 2014.
PEMBAHASAN
Asupan Zat Gizi Makro
Berdasarkan analisis bivariat energi dan protein dengan menggunakan uji pearson chi
square diketahui bahwa terdapat hubungan
antara asupan energi (p=0,031) dan protein (p = 0,014) dengan kejadian stunting pada balita usia 24-59 bulan di posyandu Asoka II.
Hal ini sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Hadju, dkk (2007) yang juga menemukan bahwa terdapat hubungan antara asupan energi dengan status gizi menurut indikator TB/U pada anak balita di Kelurahan Tamamaung, Kecamatan Panakkukang, Kota Makassar.
Protein, selain sebagai sumber energi juga berfungsi sebagai zat pembangun tubuh dan zat pengatur di dalam tubuh. Salah satu fungsi utama protein dalam tubuh yaitu pertumbuhan dan pemeliharaan jaringan (Muchtadi 2009). Di dalam tubuh, terdapat hormon pertumbuhan (growth hormone) yang juga dinamakan somatotropik hormone (SH) atau somatotropin yang merupakan molekul protein kecil yang mengandung 188 asam
amino dalam satu rantai dan mempunyai berat molekul 21.500 (Guyton, 2007).
Anindita (2012) dalam penelitiannya juga menemukan hubungan antara asupan protein dengan stunting pada balita di Semarang. Hidayati, dkk (2010), anak batita yang kekurangan asupan protein mempunyai risiko 3,46 kali akan menjadi anak stunting
dibandingkan dengan anak yang asupan proteinnya cukup di Surakarta.
Zat Gizi Mikro
Analisis bivariat hubungan antara asupan gizi mikro dengan menggunakan uji
Pearson Chi Square (Vitamin A, kalsium, fe,
zinc) dan Fisher’s Exact Test (Vitamin B12,
fosfor) diperoleh nilai P untuk vitamin A nilai
p=0,257, vitamin B12 dengan nilai p=0,276,
kalsium dengan nilai p=0,102, fe dengan nilai
p=0,185, zinc dengan nilai p=0,053, dan fosfor
dengan nilai p=0,063, maka Ha ditolak yang berarti tidak ada hubungan yang antara asupan zat gizi mikro dengan kejadian
stunting.
Tidak ada hubungan antara asupan vitamin A dengan kejadian stunting (p=0,257). Sejalan dengan penelitian Faisal (2012) yang menunjukkan tidak ada hubungan antara asupan vitamin A dengan status gizi TB/U. Hasil penelitian Taufiqurrahman (2009) bahwa vitamin A bukan faktor risiko kejadian Stunting pada balita di NTB. Hasil penelitian Faisal (2012) menunjukkan tidak ada hubungan antara asupan vitamin A dengan status gizi TB/U. Hal ini dikarenakan karena vitamin A berkaitan dengan metabolisme zat gizi makro.
Secara teori, fungsi vitamin A ini tidak secara langsung berkaitan dengan pertumbuhan tulang. Kekurangan vitamin A terjadi karena kurangnya konsumsi terhadap sumber makanan yang kaya akan vitamin A. Umumnya, vitamin A yang dikonsumsi oleh anak lebih banyak diperoleh dari susu dan sayuran seperti kangkung dan bayam. Hal ini disebabkan jenis sayuran ini mudah diperoleh. Namun, jumlah yang dikonsumsi hanya sedikit dan kebiasaan anak yang kurang menyukai sayuran sehingga kebutuhan tidak terpenuhi. Kurangnya konsumsi buah juga merupakan penyebab kekurangan vitamin A pada anak karena kemampuan untuk membeli buah sangat rendah juga sebagian besar buah tidak tersedia untuk dikonsumsi sehari-hari.
Analisis bivariat menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara vitamin B12 dengan kejadian stunting dengan nilai
p=0,276. Kekurangan vitamin B12 jarang
terjadi. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan perkembangan anak erat kaitannya dengan kekurangan gizi mikro. Fungsi utama dari vitamin B12 adalah untuk mengubah folat menjadi bentuk aktif, dan dalam fungsi normal metabolisme semua sel, terutama sel-sel saluran cerna pada manusia, sumsum tulang, dan jaringan saraf (Almatsier, 2009). Asam folat merupakan perangsang pertumbuhan yang lebih baik daripada vitamin B12 (Guyton, 2007).
Analisis bivariat menunjukkan tidak ada hubungan antara asupan kalsium dan fosfor dengan kejadian stunting dengan nilai p = 0,102 (kalsium) dan p = 0,063 (fosfor). Menurut Cox (2002) dalam Mulyani (2009) kalsium bersama fosfor terutama berperan untuk memperkuat tulang dan gigi agar tidak mudah patah dan rusak. Sebagian besar (99%) kalsium di dalam tubuh terdapat dalam jaringan keras seperti tulang dan gigi, dan sisanya tersebar dalam tubuh (Muchtadi, 2008). Efek kumulatif dari deplesi kalsium selama bertahun-tahun memberikan kontribusi terhadap frekuensi kejadian osteoporosis pada usia dewasa (Gibney, 2009). Fungsi dan metabolisme antara fosfor dan kalsium sangat erat. Kalsium bersama fosfor bersama-sama dalam proses kalsifikasi yaitu terbentuknya matriks mineral. Dengan demikian, kalsium bersama dengan fosfor lebih berperan dalam memperkuat tulang.
Dalam penelitian ini menunjukkan tidak ada hubungan antara asupan (fe) dengan kejadian stunting pada anak balita dengan nilai
p=0,185. Tidak adanya hubungan antara
asupan fe dengan kejadian stunting
disebabkan jenis asupan fe yang dikonsumsi seperti rendahnya asupan besi non heme yang terdapat pada sayuran. Zat besi juga terdapat dalam pangan nabati (non heme iron) yang pada umumnya mempunyai nilai absorpsi yang lebih rendah dibandingkan dengan absorpsi zat besi yang berasal dari pangan hewani (heme iron). Dengan demikian, terdapatnya anak balita dengan status stunting pada asupan fe yang cukup dapat disebabkan oleh keadaan tersebut. Terdapat pula beberapa faktor penghambat dan pendukung penyerapan fe yaitu tannin yang terdapat dalam teh dapat menghambat penyerapan fe (Almatsier, 2009). Fosfat dapat membentuk endapan besi tidak larut yang menyebabkan besi tersebut tidak dapat diserap (Linder, 2010).
Tidak ada hubungan antara asupan zinc dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di posyandu Asoka II dengan nilai
p=0,053. Hal ini sejalan dengan penelitian
Faisal (2012) zinc tidak berhubungan secara signifikan terhadap status gizi berdasarkan TB/U. Zinc terlibat dalam sejumlah besar metabolisme dalam tubuh. Sebagai contoh, Zn terlibat dalam keseimbangan asam basa, metabolisme asam amino, sintesa protein, sintesa asam nukleat, ketersediaan folat, penglihatan, system kekebalan tubuh, reproduksi, perkembangan dan berfungsinya system saraf. Lebih dari 200 enzim bergantung pada Zn, termasuk didalamnya carbonic anhydrase, alcohol dehidrogenase, alkaline phosphatase, RNA polymerase, DNA polymerase, nukleosida phosphorilase, protein kinase, seperoksida dismutase dan peroylpoly glutamat hydrolase. Dengan melihat penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa zinc sendiri berkaitan dengan metabolisme zat gizi makro. Secara teori, fungsi zinc tidak secara langsung berkaitan dengan pertumbuhan tulang (Faisal, 2012).
Secara umum, dalam penelitian ini, kekurangan zat gizi mikro didominasi oleh anak balita yang termasuk dalam kategori
stunting. Jumlah yang dikonsumsi tidak dapat
menggambarkan jumlah zat gizi yang terserap dalam tubuh dikarenakan adanya kemungkinan gangguan penyerapan dan konsumsi makanan penghambat zat gizi tersebut. Selain itu, pola asuh dan riwayat kelahiran (BBLR) juga berhubungan dengan kejadian stunting. Hal ini dapat terjadi pada anak yang telah mengalami gangguan pertumbuhan sejak dulu dan tidak mampu mengejar pertumbuhan anak seusianya karena tidak didukung dengan asupan yang baik.
Theron et al (2004) dalam Paramitha (2012), asupan makanan bukan satu-satunya penyebab stunting, tetapi penyebabnya bersifat multifaktor. Faktor-faktor seperti kemiskinan, kepadatan penduduk dan kemungkinan kontaminasi makanan berat lahir, serta penyakit infeksi dapat berdampak pada status kesehatan anak.
Penyakit Infeksi
Dalam penelitian dengan menggunakan uji Pearson Chi Square (Diare) dan uji Fisher’s Exact Test (ISPA) menunjukkan tidak ada
hubungan antara penyakit infeksi dengan kejadian stunting pada anak usia 24-59 bulan di posyandu Asoka II dengan nilai p masing-masing diperoleh untuk ISPA adalah 0,209 dan diare dengan nilai p=0,895.
Abuya BA (2012) yang dikutip oleh Anshori (2013), ISPA yang diderita oleh anak biasanya disertai dengan kenaikan suhu tubuh, sehingga terjadi peningkatan kebutuhan zat gizi. Kondisi tersebut apabila tidak diimbangi dengan makanan yang adekuat, maka akan timbul malnutrisi dan gagal tumbuh. Begitupula dengan diare, selama diare terjadi malabsorbsi zat gizi, dehidrasi dan kehilangan zat gizi. Bila kondisi tersebut tidak segera ditangani dan diimbangi asupan makan yang adekuat, maka akan timbul dehidrasi parah, malnutrisi dan gagal tumbuh (Dewey KG, 2012 dalam Nasikhah, 2012).
Tidak adanya hubungan antara penyakit infeksi (ISPA dan diare) dengan kejadian stunting disebabkan oleh durasi sakit yang singkat sehingga tidak mempengaruhi nafsu makan anak. Selain itu, penyakit infeksi yang ditanyakan hanya dalam jangka waktu tiga bulan terakhir (ISPA) dan dua minggu terakhir (diare) yang belum tentu bisa merepresentasikan penyakit infeksi yang telah dialami balita selama hidupnya.
KESIMPULAN
1. Terdapat hubungan yang antara asupan zat gizi makro dengan kejadian stunting anak usia 24-59 bulan di Posyandu Asoka II wilayah pesisir Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun 2014.
2. Tidak ada hubungan antara asupan zat gizi mikro dan penyakit infeksi dengan kejadian
stunting anak usia 24-59 bulan di Posyandu
Asoka II wilayah pesisir Kelurahan Barombong Kecamatan Tamalate Kota Makassar Tahun 2014.
3. Diharapkan kepada orang tua lebih memperhatikan asupan makanan anaknya
sebagai upaya untuk menghindari terjadinya defisiensi zat gizi tertentu serta memperbaiki praktik kebersihan/higyene dan sanitasi lingkungan.
DAFTAR PUSTAKA
Aditianti. Faktor Determinan “Stunting” Pada
Anak Usia 24 – 59 Bulan Di Indonesia. Tesis. Bogor : Institut
Pertanian Bogor, 2010.
Almatsier, Sunita. Prinsip-Prinsip Dasar Ilmu
Gizi. Gramedia: Jakarta Pustaka
Utama, 2009.
Anshori, Husein. Faktor Risiko Kejadian
Stunting pada Anak Usia 12-24
Bulan (Studi di Kecamatan
Semarang Timur). Skripsi.
Universitas Diponegoro : Semarang, 2013
Anindita, Putri. Hubungan Tingkat Pendidikan
Ibu, Pendapatan Keluarga,
Kecukupan Protein & Zinc dengan Stunting (Pendek) Pada Balita Usia 6 – 35 Bulan di Kecamatan Tembalang Kota Semarang. Vol. 1 no. 2 (2012)
http://ejournals1.undip.ac.id/index.ph p/jkm. (Diakses 5 Februari 2014). Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan
Terjemahnya. Jakarta : CV Darus
Sunnah, 2002.
Faisal, Muhammad. Hubungan Asupan Gizi
Mikro Dengan Status Gizi Siswa SD Inpres 2 Pannampu Kecamatan Tallo Kota Makassar. Program Studi Ilmu
Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin : Makassar, 2011
Fitri. Berat Lahir Sebagai Faktor Dominan
Terjadinya Stunting Pada Balita (12-59) Bulan di Sumatera(Analisis Data Riskesdas 2010). Tesis. Depok :
Universitas Indonesia, 2012.
Gibney, J. Michael. Human Nutrition. Oxford : Wily-Black, 2009.
Guyton, C. Arthur. Fisiologi Kedokteran. Jakarta : EGC. 2007.
Hadju, Veni., Renyoet B. Sarah., Rochimiwati, Nur. Hubungan Pola Asuh Dengan
Kejadian Stunting Anak Usia 6-23 Bulan Di Wilayah Pesisir Kecamatan Tallo Kota Makassar. Makassar:
Ilmu Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin Makassar dan Jurusan Gizi Politeknik Kesehatan Kemenkes Makassar, 2013
Hadju, Veny. Hubungan Pola Konsumsi
Dengan Status Hemoglobin Anak
Sekolah Dasar Di Wilayah Pesisir
Kota Makassar Tahun 2013.
Program Studi Ilmu Gizi, Fakultas Kesehatan Masyarakat : Universitas Hasanuddin, 2013
Hidayati, Listyani., Hadi, Hamam., Kumara, Amitya. Kekurangan Energi dan Zat
Gizi Merupakan Faktor Kejadian Stunted Pada Anak Usia 1-3 Tahun yang Tinggal di Wilayah Kumuh Perkotaan Surakarta, vol. 3, no. 1 (
juni 2010,
http://publikasiilmiah.ums.ac.id/handl e/123456789/2315 (Diakses 5 Februari 2014).
Husin, Cut Ruhana. Hubungan Pola Asuh
Anak Dengan Status Gizi Balita Umur 24-59 Bulan Di Wilayah Terkena Tsunami Kabupaten Pidie Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam
Tahun 2008. Tesis. Medan :
Universitas Sumatera Utara, 2008 Linder, Maria C. Biokimia dan Nutrisi
Metabolisme. Jakarta : UI Pres,
2010.
Mahmud, Amir. Model Komunikasi Pembangunan Dalam Penyediaan Prasarana Perdesaan Di Kawasan Pesisir Utara Jawa Tengah (Studi
Kasus Desa Morodemak dan
Purwosari Kabupaten Demak). Tesis :
Universitas Diponegoro. 2007.
Muchtadi, Deddy. Gizi Anti Penuaan Dini. Bandung : Alfabeta, 2008.
Mulyani, Endang. Gambaran Konsumsi Kalsium dan Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Konsumsi
Kalsium Remaja di SMP Negeri 201 Jakarta Barat Tahun 2009. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas Indonesia : Jakarta, 2009
Nasikhah, Roudhotun. Faktor Risiko Kejadian
Stunting Pada Balita Usia 24-36
Bulan di Kecamatan Semarang
Timur. Skripsi : Universitas
Diponegoro. Semarang. 2012. Paramitha, Anisa. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Kejadian
Stunting Pada Balita Usia 25-60 Bulan Di Kelurahan Kalibari Depok 2012. Skripsi. Fakultas Kesehatan
Masyarakat : Universitas Indonesia, 2012.
Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta : Kementrian Kesehatan RI, 2013 Rahim, Fitri Kurnia. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Underweight Pada Balita Umur 7-59 Bulan Di Wilayah Puskesmas Leuwimunding Kabupaten Majalengka Tahun 2011.
Skripsi. UIN Syarif Hidayatullah : Jakarta, 2011.
RISKESDAS. Laporan Hasil Riset Kesehatan
Dasar Indonesia Tahun 2007, 2010,
2013. Jakarta: Departemen
Kesehatan RI, 2008, 2011, 2014. Supariasa, Nyoman., Bakhri Bachiar., Fajar
Ibnu. Penilaian Status Gizi. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran. 2002. Taufiqurrahman., Hamam, Hadi., Julia,
Madarina., Herman, Susilowati.
Defisiensi Vitamin A dan Zinc sebagai Faktor Risiko Kejadian Stunting pada Balita di NTT.
Metodologi Penelitian da Pengembangan Kesehatan Volume XIX. 2009