• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam kelompok ikan berparuh, yang mana istilah tersebut digunakan untuk ikan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN PUSTAKA. dalam kelompok ikan berparuh, yang mana istilah tersebut digunakan untuk ikan"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1. Klasifikasi Ikan Pedang

Ikan pedang (Xiphias gladius) merupakan salah satu spesies yang masuk dalam kelompok ikan berparuh, yang mana istilah tersebut digunakan untuk ikan dengan karakterisasi adanya ekstensi rahang atas yang melebihi rahang bawahnya, sehingga membentuk paruh yang panjang dan lurus seperti pedang/tombak (Nakamura, 1985).

Secara umum, klasifikasi ikan berparuh dapat dibedakan dengan jelas baik secara genetis mapun morfolologis dari tuna (scombroids). Ikan berparuh terdiri dari 2 famili, yakni Xiphiidae (monotypic) dan Istiophoridae yang memiliki 5 genus (Istiophorus, Istiompax, Makaira, Tetrapturus, Kajikia) dan 8 spesies (Collette et al., 2006). Sedangkan ikan pedang (Gambar 2.1) merupakan satu-satunya genus dan spesies dari famili Xiphiidae.

Kerajaan : Animalia Filum : Chordata Super Kelas : Gnathostomata Kelas : Osteichthyes Sub Kelas : Actinopterygii Infra Kelas : Teleostei Divisi : Euteleostei Super Ordo : Acanthopterygii

(2)

Ordo : Perciformes Sub Ordo : Xiphioidei Famili : Xiphiidae Genus : Xiphias

Spesies : Xiphias gladius

Gambar 2.1. Ilustrasi ikan pedang (Xiphias gladius) (Nakamura, 1985)

2.2. Distribusi dan Aspek Biologi Ikan pedang

Ikan pedang termasuk jenis predator puncak yang terdistribusi hampir di seluruh perairan dunia dari 450 LU - 450 LS (Gambar 2.2), baik di perairan tropis, sub tropis maupun perairan yang lebih dingin (Palko et al., 1981), tidak hanya di Samudera Hindia, Pasifik dan Atlantik tetapi juga cukup melimpah di Laut Mediterania, Marmara, Hitam dan Azov (Lu et al., 2006; IOTC, 2009). Hal ini memungkinkan karena spesies ini dapat mentoleransi kisaran temperatur air laut yang tinggi, yakni 6 – 26 0C (Carey dan Robison, 1981).

Spesies ini berukuran 156 – 250 cm, pertama kali matang gonad pada ukuran 170 cm (LJFL) untuk betina dan 120 cm untuk jantan. Ukuran ini setara

(3)

dengan umur 6 – 7 tahun dan 1 – 3 tahun. Ukuran berat rata-rata tertangkap oleh armada rawai tuna di Samudera Hindia berkisar antara 40 – 80 kg (IOTC, 2009).

Gambar 2.2. Distribusi ikan pedang di Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia berdasarkan hasil tangkapan dari armada rawai tuna Jepang. Lingkaran menunjukkan laju tangkap (jumlah ikan per 1.000 mata pancing). Area 1,2,3 merupakan hipotesa konsentrasi stok ikan pedang di Samudera Pasifik (Sumber: Palko et al., 1981)

2.3. Aspek Morfometrik Ikan pedang

Pada umumnya, ikan pedang yang tertangkap langsung diproses di laut. Bagian kepala, sirip, isi perut dibuang dan kemudian dibekukan pada suhu -200 C s.d. -300 C (Su et al., 2005; Murniyati dan Sunarman, 2000). Sebelum dilakukan pengukuran panjang, ikan berparuh kemungkinan telah diproses dengan 10 cara yang berbeda (Prince dan Miyake, 1989; Gambar 2.3). Perbedaan perlakuan ini akan menimbulkan interpretasi data yang berbeda antara panjang utuh dengan panjang setelah diproses, sehingga dibutuhkan persamaan empiris untuk konversi ukuran diantaranya (Prager et al., 1995).

Informasi aspek morfometrik seperti: panjang rata-rata ikan tertangkap, dapat digunakan sebagai dasar manajemen pengelolaan perikanan (Herrera dan

(4)

Pierre, 2011; Neilson et al., 2006), salah satu diantaranya adalah penentuan status stok ikan berparuh (Dowling dan Basson, 2004; Sparre dan Venema, 1999), berdasarkan metode – metode ataupun model – model pengkajian stok yang berbasis data tersebut, seperti FISAT (Gayanilo et al., 2005), COMPLEAT ELEFAN (Gayanilo dan Pauly, 1989), dan LFSA (Sparre dan Venema, 1999).

Gambar 2.3. Beberapa metode dalam pemrosesan ikan berparuh (Sumber: Prince dan Miyake, 1989)

2.4. Pertumbuhan Ikan pedang

Menurut Effendie (2002), istilah pertumbuhan dapat diartikan sebagai pertambahan ukuran panjang atau berat dalam suatu waktu tertentu, sedangkan pertumbuhan bagi populasi sebagai pertambahan jumlah individu. Pertumbuhan tersebut dapat dipengaruhi oleh dua faktor, yakni faktor dalam (endogenous) dan

(5)

faktor luar (exogenous) (Wheeler dan Jones, 1989). Faktor dalam adalah faktor yang sukar dikontrol seperti keturunan, seks, umur, parasit dan penyakit. Sedangkan faktor luar yakni kompetisi, ketersediaan makanan dan suhu perairan (Baudron et al., 2014).

2.4.1. Umur dan Pertumbuhan

Informasi umur dan pertumbuhan ikan adalah elemen utama dalam manajemen perikanan mengingat fungsinya sebagai variabel kunci dalam pendugaan riwayat hidup dan aspek biologi seperti mortalitas dan pertumbuhan (Sun et al., 2010). Beberapa metode untuk menentukan pertumbuhan dari sebuah spesies biasanya menggunakan persamaan matematis yang sederhana, diantaranya adalah Richard's Growth Model (Richards, 1959), Chapman's Growth Model (Chapman, 1961) dan von Bertalanffy Growth Function Model yang banyak digunakan oleh para peneliti perikanan (Widodo dan Suadi, 2005). Model ini dicari dengan menggunakan program Electronic Length Frequency Analysis (ELEFAN) yang merupakan integrasi dari Model Progression Analysis (MPA) dalam software FISAT II (Gayanilo et al. 2005).

2.4.2. Hubungan Panjang Berat

Persamaan hubungan panjang berat ikan dimanfaatkan untuk berat ikan melalui panjangnya dan menjelaskan sifat pertumbuhannya. Berat dapat dianggap sebagai satu fungsi dari panjang. Hubungan panjang dengan berat dirumuskan dengan notasi matematika yang dikemukakan oleh Klawe (1980):

(6)

Menurut Pauly (1983) formula tersebut akan menghasilkan suatu nilai konstanta (b), yaitu harga pangkat yang menunjukkan pola pertumbuhan ikan yang nilainya berada antara 2,5 dan 3,5, biasanya mendekati 3. Pauly (1984) telah membuktikan hal tersebut berdasarkan hasil plotting terhadap data panjang - berat dari berbagai macam jenis ikan dengan jumlah sampel yang sangat besar dan apabila terdapat nilai b<2,5 atau b>3,5 data tersebut kemungkinan berasal dari kelompok sampel yang kecil ataupun terdapat indikasi adanya kesalahan. Ketika b = 3, pertumbuhan berat dinamakan isometrik, yang berarti pertambahan berat selaras dengan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan alometrik positif bila b>3, yang menandakan bahwa pertambahan berat lebih cepat dibandingkan dengan pertambahan panjang. Sedangkan pertumbuhan dinyatakan sebagai pertumbuhan alometrik negatif apabila nilai b<3, ini menandakan bahwa pertambahan panjang lebih cepat dibandingkan pertambahan berat (Pauly, 1984).

2.4.3. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Kematian ikan secara alamiah (natural mortality/M) dapat ditentukan dengan menggunakan formula Pauly's equation model sedangkan kematian total (total mortality/Z) menggunakan metode length converted catch curves yang telah disempurnakan untuk memperkecil bias akibat pertumbuhan musiman (seasonal growth) yang mana keduanya sudah terintegrasi dengan software FISAT II. Berdasarkan dua parameter di atas, maka kematian akibat penangkapan ikan (F) dapat ditentukan dengan mencari selisih antara antara Z dengan M.

(7)

Laju eksploitasi adalah persentase perbandingan antara kematian akibat penangkapan ikan dengan kematian ikan secara natural atau secara formula E=F/Z 2.5. Status Stok Ikan Pedang

Pengkajian stok ikan pedang di Samudera Hindia telah dilakukan oleh IOTC pada tahun 2014, berdasarkan data hasil tangkapan armada rawai tuna Jepang, Taiwan, Korea, Spanyol, Portugis dan Perancis. IOTC (2014) merekomendasikan bahwa MSY (Maksimum Sustainable Yield) untuk ikan pedang di Samudera Hindia tak lebih dari 33.000 ton/tahun dengan kisaran antara 32.000 – 34.000 ton/tahun. Hal ini didasarkan atas kecenderungan penurunan CPUE secara global dari tahun ke tahun dengan tingkat pemanfaatan sudah mencapai padat tangkap (optimum).

2.6. Rawai Tuna 2.6.1. Definisi

Alat tangkap rawai tuna resmi diperkenalkan di Indonesia lebih kurang pada tahun 1954, kemudian pada tahun 1962 usaha penangkapan secara komersial pertama kali diusahakan (Simorangkir, 2000). Rawai tuna merupakan pengembangan teknik pada perikanan pancing. Alat ini bersifat pasif, terentang secara horisontal dan dihanyutkan (drifting) (von Brandt, 1984).

Berdasarkan material yang digunakan, rawai tuna dibedakan menjadi 2, yakni: monofilamen dan multifilament longline (Beverly et al., 2003; Soepriyono, 2009). Menurut Kosasih (2007), perbedaan antar keduanya adalah:

§ Bahan multifilament lebih berat dan mahal, sedangkan bahan monofilamen lebih mudah dirakit dan sesuai untuk kapal yang lebih kecil

(8)

§ Bahan multifilament lebih mudah ditangani dan kuat sehingga secara ekonomis lebih menguntungkan dengan jangka waktu yang panjang

§ Karena bahan monofilamen lebih kecil, halus, dan transparan maka akan memberikan hasil tangkapan yang lebih baik

2.6.2. Konstruksi Rawai Tuna

Rawai tuna terdiri dari tali utama (main line), tali cabang (branch line), mata pancing (hook), tali pelampung (buoy line), pelampung (buoy), lampu pelampung (floating light), bendera (flag) dan tiang (pole) (Soepriyono, 2009) (Gambar 2.4). Keseluruhan daya apung dari pelampung-pelampung harus lebih besar dari total gaya berat seluruh bagian rawai dalam air (Nomura dan Yamazaki, 1975). Menurut Soepriyono (2009), berdasarkan kedalaman mata pancing, rawai tuna dibedakan menjadi: rawai tuna permukaan (surface/drifting longline) dan rawai tuna dalam (deep longline).

Rawai tuna permukaan diatur dengan jangkauan mata pancing terdalam kurang dari 136 m. Terdiri dari 5 tali utama masing-masing berukuran 50 m, 4 tali cabang/pancing masing-masing berukuran 20 m. Satu pelampung ditambah satu tali pelampung dengan panjang 20 m. Target utama adalah madidihang dan ikan berparuh.

Rawai tuna dalam diatur dengan jangkauan mata pancing terdalam lebih dari 200 m. Terdiri dari 11 atau lebih tali utama masing-masing berukuran 50 m, 10 atau lebih tali cabang/pancing, dengan 1 – 2 pelampung yang digabung jadi satu ditambah satu tali pelampung yang panjangnya 20 m atau lebih. Target utamanya adalah tuna mata besar, albakora, tuna sirip biru selatan.

(9)

Gambar 2.4. Spesifikasi alat tangkap rawai tuna yang digunakan oleh kapal – kapal tuna komersial di Indonesia.

Gambar

Gambar 2.1.  Ilustrasi ikan pedang (Xiphias gladius) (Nakamura, 1985)
Gambar 2.2.    Distribusi ikan pedang di Samudera Pasifik, Atlantik dan Hindia  berdasarkan  hasil  tangkapan  dari  armada  rawai  tuna  Jepang
Gambar 2.3.    Beberapa  metode  dalam  pemrosesan  ikan  berparuh  (Sumber:
Gambar 2.4.   Spesifikasi alat tangkap rawai tuna yang digunakan oleh kapal –  kapal tuna komersial di Indonesia

Referensi

Dokumen terkait

Peneliti menemukan pada saat proses pembelajaran motorik kasar dalam kegiatan melompat dari 15 anak terdapat 12 anak yang belum mampu melakukan praktik bermain lompat

Analisis jalur ini memungkinkan dilakukannya analisis terhadap serangkaian hubungan secara simultan sehingga memberikan efisiensi secara statistik (Hair, et al; 1992:17).

Berbeda dengan membangun kernel yang akan digunakan pada media hardisk, Kernel yang akan dibangun pada media floppy harus benar-benar dikustomasi sehingga ukurannya dapat

Warisan Melayu Perak merupakan sebuah koleksi artikel yang memuatkan warisan sejarah orang Melayu Perak yang merangkumi pelbagai aspek seperti sejarah

Kertas kerja audit meliputi semua berkas yang dibuat mulai dari perencanaan sampai dengan konsep laporan hasil audit, antara lain terdiridari: program audit, hasil pemahaman

Dimana Ibu mengetahui ketika anak sedang menangis, mengalami distres, gelisah ataupun marah, selain itu ibu juga akan selalu berada di sisi anaknya dan mengetahui apa yang

Untuk membuktikan secara ilmiah yang didukung oleh data empiris tentang permasalahan atau kesenjangan antara harapan dengan kenyataan dalam hal kualifikasi

Di dalam tulisan ini disajikan pokok-pokok bahasan yang menggambarkan keadaan internal (kekuatan dan kelemahan) dan eksternal (peluang dan ancaman) dari permata konveksi