1
PENGARUH PEMBERIAN PAKAN ALTERNATIF TERHADAP KELANGSUNGAN HIDUP DAN PERTUMBUHAN LARVA LELE DUMBO
(Clarias gariepinus, Burchell)
Daryulia Ningsih, Elfrida dan Yuneidi Basri
Jurusan Budidaya Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta Padang E-mail : yulia@yahoo.co.id
ABSTRACT
This study was conducted to examine the effect of alternative feed on survival rate and growth of dumbo catfish (Clarian gariepinus Burchell). The research was conducted in the Lubuk Basung of Freswater Fish Unit, Departement of Marine and Fisheries, Agam Rgion. Dumbo catfish fry 3 day old were reared for 21 days in density of 10 fish/liter. The method used this study is an experimental method using a completely randomized design with 4 treatments and 3 replications. Treatment A (Tubifex sp), Treatment B (Dough of unripe rinuak fish), treatment C (Dough of unripe chicken liver), and treatment D (Combinations Dough of unripe rinuak fish and dough of unripe chicken liver). The daily of observed to mortality and during first 7 day of grouth larvae. The results of study showed that higher survival rate was obtained in treatment A (93.3%). Higher daily growth rate was obtained in treatment A (22,1 mm).
Key Word: Clarias gariepinus, Tubifex, Rinuak / fish, Chicken liver, Larvae
PENDAHULUAN
Untuk meningkatkan produksi ikan lele, jumlah larva yang dihasilkan hingga jadi benih sangat tergantung pada kecukupan pakan alami. Jenis pakan alami yang paling banyak digunakan adalah cacing sutera. Masalahnya, faktor cuaca mempengaruhi ketersediaan stok cacing di habitatnya atau faktor lain seperti limbah organik di dasar perairan, baik yang dihasilkan pabrik, limbah rumah tangga atau sumber limbah lainnya sebagai makanan cacing. Pasokan cacing yang tidak stabil mempengaruhi produksi benih, sementara upaya budidaya cacing sutera belum
menunjukkan keberhasilan yang menggembirakan.
Dalam kegiatan budidaya lele, penyebaran pelaku usaha banyak yang berada pada daerah yang sulit menjangkau lokasi penyedia cacing sutera karena jarak yang jauh. Jika pembenih lele wilayah Padang tentunya tidak sulit untuk mendapatkan cacing sutera karena dekat ke penyedia cacing sutera. Sementara jika berada di Lubuk Basung atau daerah lain, akan membuat biaya tinggi dan tingkat keselamatan cacing sutera semakin rendah disebabkan mati karena jarak angkut yang jauh. Oleh karena itu, diperlukan bahan baku lokal yang dapat dimanfaatkan untuk pakan
2 larva lele dengan tetap mempertimbangkan
mudah dicerna saluran pencernaan larva, mudah didapatkan, mudah dilaksanakan dan murah harganya. Inovasi teknologi pakan ikan diantaranya menggunakan ikan rinuak (Psilopsis sp) mentah dan hati ayam mentah. Kedua bahan pakan ini memiliki tekstur daging yang halus, lembut dan lunak.
Hasil penelitian Sihombing (2013), larva lele dumbo yang diberi pakan tepung pelet komersil dengan kandungan protein 40% memberikan pertumbuhan panjang mutlak lebih rendah yaitu 10,3 mm, jika dibanding dengan pakan alami cacing sutera dengan kandungan protein 40,18% yang memberikan pertumbuhan panjang mutlak 18,8 mm. Hal ini disebabkan protein pada pakan buatan tersebut sulit dicerna oleh enzim saluran pencernaan larva dan pada pakan buatan tersebut tidak ada enzim yang dapat mendukung proses pencernaan sebagaimana pada pakan alami cacing sutera. Pemberian pakan komersil juga memiliki efek buruk terhadap kualitas air karena menyebabkan kandungan amoniak tinggi pada media pemeliharaan larva. Oleh karena itu, bahan pakan yang digunakan harus mempertimbangkan kandungan enzim pada pakan untuk mempermudah proses pencernaannya.
Untuk mengatasi permasalahan stok cacing sutera sebagai pakan larva lele yang jumlahnya terbatas, perlu dicarikan solusi untuk meningkatkan produksi larva lele,
maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian tentang: “Pengaruh Pemberian Pakan Alternatif Terhadap Kelangsungan Hidup dan Pertumbuhan Larva Lele Dumbo (Clarias gariepinus, Burchell)”
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanan dari tanggal 15 Desember 2013 - 13 Januari 2014 di Balai Benih Ikan (BBI) Lubuk Basung, Dinas Kelautan dan Perikanan Kabupaten Agam Provinsi Sumatera Barat.
Bahan uji yang digunakan dalam penelitian ini adalah larva lele dumbo berumur 3 hari yang berasal dari sepasang induk dan jumlah larva yang digunakan sebanyak 2.400 ekor ( padat tebar 200 ekor/wadah). Sumber air dalam penelitian ini adalah air saluran irigasi yang diendapkan. Wadah yang digunakan untuk pemeliharaan larva adalah akuarium ukuran 80 x 40 x 40 cm sebanyak 12 buah.
Metode penelitian yang dipakai metode eksperimen dengan rancangan acak lengkap (RAL) menggunakan 4 perlakuan dan 3 ulangan. Sebagai perlakuan adalah : Perlakuan A : Cacing sutera hidup; Perlakuan B: Adonan ikan rinuak mentah; Perlakuan C: Adonan hati ayam mentah dan Perlakuan D: Campuran adonan ikan rinuak mentah (50%) dengan adonan hati ayam mentah (50%)
Pelaksanaan Penelitian:
a. Larva lele dumbo berumur 3 hari dimasukkan sebanyak 200 ekor ke dalam
3 masing-masing akuarium yang telah
disiapkan sesuai dengan perlakuan. b. Pemberian pakan dilakukan 3 kali sehari
yaitu pagi, siang dan sore dengan pemberian dosis secara adlibitum.
c. Pengamatan dilakukan selama 21 hari sejak larva ditebar dan setiap hari dilakukan pengamatan mortalitas serta pengukuran panjang setiap 7 hari.
d. Sampel larva untuk pengukuran panjang diambil 10% dari setiap akuarium. Peubah yang diamati adalah kelangsungan hidup dan pertumbuhan larva
lele. Data dianalisis dengan Analisa Varian (Anava) dan Uji Beda Nyata Terkecil (BNT) atau Uji F. Setelah data dianalisis maka diperoleh nilai F Hitung dan kemudian dibandingkan dengan F Tabel dengan tingkat kepercayaan 95% dan 99%.
HASIL DAN PEMBAHASAN Kelangsungan Hidup
Rata-rata kelangsungan hidup larva lele dumbo pada setiap perlakuan dan ulangannya disajikan pada Tabel 1.
.
Tabel 1. Rata-rata kelangsungan hidup larva lele dumbo selama penelitian (%)
Ulangan Perlakuan A B C D 1 92,0 82,0 81,0 81,0 2 94,0 79,0 82,0 83,0 3 94,0 89,0 82,0 86,0 Total 280,0 250,0 245,0 250,0 Rata-Rata 93,3 83,3 81,6 83,3 Keterangan:
A : Cacing sutera hidup. B: Adonan ikan rinuak mentah. C: Adonan hati ayam mentah .
D: Campuran adonan ikan rinuak mentah (50%) dengan adonan hati ayam mentah (50%)
Dari Tabel 1 di atas menunjukkan bahwa kelangsungan hidup larva tertinggi yaitu pada perlakuan A sebesar 93,3%, selanjutnya perlakuan B dan perlakuan D masing-masing sebesar 83,3 %, sedangkan kelangsungan hidup terendah adalah pada perlakuan C yaitu 81,6%. Hasil analisa sidik ragam, menunjukkan bahwa kelangsungan hidup larva lele dumbo antar perlakuan berbeda nyata (F hit > F tab). Pada penelitian ini tingginya angka kelangsungan
hidup pada perlakuan A karena menggunakan pakan alami cacing sutera hidup, sehingga kebersihan air lebih terjaga, sedangkan kelangsungan hidup yang rendah pada perlakuan C (81,6%) diduga disebabkan terjadinya percepatan proses pembusukan sisa pakan oleh bakteri dari adonan hati ayam mentah.
Warna maupun bau air media pemeliharaan pada perlakuan C lebih cepat berubah jika dibanding dengan air media pada perlakuan
4 A. Kandungan amoniak dalam media
pemeliharan larva lele dihasilkan dari proses pembusukkan bahan organik. Sebagaimana menurut Wicaksono (2005), kandungan amoniak dapat menghambat daya serap
haemoglobin terhadap oksigen, yang mengakibatkan ikan mati lemas. Daya racun amoniak terhadap ikan berbeda-beda tergantung daya permeabilitas insang terhadap molekul-molekul beracun tersebut. 74 76 78 80 82 84 86 88 90 92 94 Kelangsungan Hidup (%) A B C D Perlakuan Gambar 1. Grafik rata-rata kelangsungan hidup larva lele dumbo
selama penelitian
Menurut pendapat Zonneveld (1991), kelangsungan hidup yang tinggi juga dipengaruhi oleh pengelolaan kualitas air. Kualitas air yang baik akan mempengaruhi kelangsungan hidup dan pertumbuhan ikan. Pendapat lainnya, Arie (2000), kualitas air menjadikan ikan hidup dengan baik dan tumbuh dengan cepat. Bila kualitas airnya kurang baik dapat menyebabkan ikan menjadi lemah, nafsu makan menurun dan mudah terserang penyakit.
Respon terhadap pakan yang diberikan juga mempengaruhi kelangsungan hidup larva lele. Dari seluruh pakan uji baik perlakuan B, perlakuan C dan perlakuan D,
dapat dilihat respon untuk segera mencaplok makanan sangat lambat jika dibandingkan dengan respon larva pada perlakuan A yang diberikan cacing sutera. Sehingga pada waktu pemberian pakan berikutnya masih ditemui adanya sisa pakan uji untuk masing-masing perlakuan. Konsumsi pakan uji dipengaruhi oleh rasa dan aroma yang mencolok, selain itu dipengaruhi juga oleh faktor eksternal seperti ukuran pakan uji yang disiapkan yaitu dengan cara memblendernya hingga halus, tekstur daging ikan rinuak yang tidak berserat, kehalusan tekstur hati ayam, sedangkan faktor internalnya antara lain ukuran bukaan mulut
93,3
83,3 83,3
5 larva ikan dan pergerakannya yang aktif
(Torrans, 1983 dalam Effendi, 2002). Sedangkan untuk mortalitas terbanyak ditemukan pada perlakuan C dengan jumlah larva yang mati berdasarkan pengamatan harian sebanyak 110 ekor. Tingginya kematian pada perlakuan C ini jika dibandingkan dengan perlakuan lainnya disebabkan oleh kondisi permukaan air ditemukan berbusa-busa dengan aroma air yang berbau dan warna air kusam.
Pada penelitian ini mortalitas larva tidak disebabkan oleh terjadinya kanibalisme, jumlah larva yang berkurang
disebabkan mati karena faktor kualitas air dan bukan hilang karena dimakan sesamanya. Hal ini dapat terlihat saat dilakukannya penyifonan air dan ditemukan bangkai-bangkai larva yang masih utuh. Kanibalisme hanya dapat disebabkan oleh kurangnya makanan yang tersedia dan bervariasinya ukuran larva (Fachrurrozi, 2000).
Pertumbuhan Panjang Mutlak
Rata-rata pertumbuhan panjang mutlak larva lele dumbo disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2. Pertumbahan panjang mutlak larva lele dumbo selama penelitian (mm) Ulangan Perlakuan A B C D 1 22,7 14,0 12,0 13,0 2 23,0 15,0 12,5 13,3 3 20,6 14,8 12,4 12,4 Jumlah 66,3 43,8 36,9 38,7 Rata-Rata 22,1a 14,6b 12,3b 12,9b
Keterangan: - Superscript yang berbeda menyatakan ada perbedaan yang nyata antar perlakuan - Superscript yang sama menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata antar perlakuan
Dari Tabel 2 di atas dapat dilihat bahwa nilai pertumbuhan panjang mutlak tertinggi pada perlakuan A yaitu 22,1 mm, seterusnya perlakuan B yaitu 14,6 mm, perlakuan D yaitu 12,9 mm dan terendah perlakuan C
yaitu 12,3 mm. Data grafik rata-rata pertumbuhan panjang mutlak larva lele dumbo pada saat pengambilan sampel disajikan dalam bentuk grafik sebagaimana gambar 2 berikut.
6 0 5 10 15 20 25 1 8 15 21 Hari ke P anja ng M ut lak (m m ) Perlakuan A Perlakuan B Perlakuan C Perlakuan D
Gambar 2. Grafik rata-rata pertumbuhan panjang mutlak larva lele dumbo selama penelitian
Dari analisa sidik ragam menunjukkan bahwa pertumbuhan panjang mutlak larva lele dumbo antar perlakuan berbeda nyata (F hit > F tab). Dengan demikian hipotesis awal (Ho) ditolak dan hipotesis alternatif (Hi) diterima, sebagaimana hasil Uji Duncan (DMRT) bahwa pertumbuhan panjang mutlak antara perlakuan A dengan perlakuan B, Perlakuan A dengan Perlakuan C serta
perlakuan A dengan perlakuan D memberikan hasil berbeda sangat nyata. Sedangkan perlakuan B dengan C , perlakuan B dengan D serta perlakuan C dengan D memberikan hasil tidak berbeda nyata (non signifikan). Untuk perbandingan kandungan nutrisi pada pakan perlakuan A, B, C dan D dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Perbandingan kandungan protein pakan yang digunakan dalam penelitian
No Parameter Satuan Kode Sampel
A B C D
1 Protein % 40,18 21,05 16,25 16,84
2 Lemak % 12,57 5,93 3,34 4,01
Keterangan:
A. Cacing sutera hidup. B. Adonan ikan rinuak mentah. C. Adonan hati ayam mentah .
D. Campuran adonan ikan rinuak mentah (50%) dengan adonan hati ayam mentah (50%)
Meskipun pada semua pakan uji memiliki protein antara 16,25 – 21,05%, namun tidak memberikan perbedaan yang nyata terhadap pertumbuhan panjang mutlak larva lele karena kandungan protein yang dimilikinya masih ada yang tidak dapat tercerna sepenuhnya oleh sistem pencernaan
larva lele. Terkait dengan tidak tercernanya protein yang ada dalam pakan meskipun nilai proteinnya tinggi dapat dikaitkan sebagaimana pendapat Stroband & Dabrowski (1979) dalam Effendi (2004), yang menyatakan bahwa pada kondisi saluran pencernaan yang masih sangat
7 sederhana, produksi enzim-enzim
pencernaanpun sangat rendah.
Rendahnya aktifitas enzim dan ketiadaan salah satu atau beberapa enzim pencernaan akan sangat mempengaruhi kemampuan cerna larva. Selain itu, aktivitas enzim merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tingkat pertumbuhan ikan secara umum. Aktivitas enzim pencernaan sendiri secara umum bervariasi menurut umur dan faktor fisiologis ikan (Hepher, 1988 dalam Fachrurrozi, 2000) . Perubahan atau variasi aktivitas enzim berhubungan dengan tingkat perkembangan sistem pencernaan dan perbedaan kebutuhan nutrien dalam setiap stadia kehidupan larva (Cahu dan Infante, 1995 dalam Effendi, 2006).
Tingginya angka pertumbuhan panjang mutlak pada perlakuan A yaitu 22,1 mm selain karena memiliki kandungan protein tinggi juga disebabkan karena pakan tersebut dapat dicerna secara sempurna oleh enzim saluran pencernaan larva lele karena dibantu oleh adanya enzim dalam cacing sutera yang diberikan dengan kondisi hidup, sehingga pakan tersebut dapat dikonversi menjadi daging yang mempengaruhi panjang maupun bobotnya. Sedangkan pada pakan uji memiliki kandungan protein lebih rendah sulit dicerna enzim saluran pencernaan larva lele karena diduga enzim yang ada pada pakan tersebut sudah jauh berkurang karena tidak dalam kondisi hidup atau kondisi enzim dalam pakan sudah
terhenti, sehingga hanya sebagian saja yang dapat dikonversi menjadi daging untuk menambah pertumbuhan panjang maupun bobotnya.
KESIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilaksanakan maka dapat disimpulkan antara lain:
1. Kelangsungan hidup larva lele dumbo yang tertinggi adalah perlakuan A (Cacing sutera) 93,3%, selanjutnya perlakuan B (adonan ikan rinuak mentah) 83,3%, perlakuan D (Campuran adonan ikan rinuak mentah 50% dan adonan hati ayam mentah 50%) yaitu 83,3% dan perlakuan C (adonan hati ayam mentah) 81,6%.
2. Pertumbuhan panjang mutlak larva lele dumbo yang yang tertinggi adalah perlakuan A (Cacing sutera) 22,1 mm, selanjutnya perlakuan B (adonan ikan rinuak mentah) 14,6 mm, perlakuan D (Campuran adonan ikan rinuak mentah 50% dan adonan hati ayam mentah 50%) yaitu 12,9 mm dan perlakuan C (adonan hati ayam mentah) 12,3 mm.
3. Penggunaan adonan ikan rinuak mentah masih lebih baik dari pada adonan hati ayam mentah.
DAFTAR PUSTAKA
Arie, Usni, 2000. Budiaya Ikan Bawal. Penebar Swadaya, Jakarta.
8 Effendi,Irzal & K. Sumawidjaja, 2002.
Pemberian Pakan Bagi Larva Ikan Betutu, (Oxyeleotris marmorata Blkr.), pada Dua Minggu di Awal Hidupnya. Jurnal Akuakultur Indonesia, 1(3): 101–107.
Effendi,Irzal, D. Jusadi & A. I. Nirwana, 2004. Kelangsungan Hidup Larva Ikan Betutu (Oxyeleotris marmorata Blkr.), yang diberi Rotifer diperkaya Wortel. Jurnal Akuakultur Indonesia, 3(1): 9-13.
Effendi, Irzal, D.Augustine dan Widanarni, 2006. Perkembangan Enzim Pencernaan Larva Ikan Patin (Pangasius hypophthalmus). Jurnal Akuakultur Indonesia, 5(1): 41-49. Fachrurrozi, 2000. Pengaruh Perendaman
Larva Ikan Patin (Pangasius hypopthal- mus) Umur 7 Hari dalam Larutan 17 Methylestoseron Pada Suhu Berbeda Terhadap Rasio Kelamin, Laju Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup. Skripsi FPIK, Institut Pertanian Bogor.
Wicaksono, Prabowo, 2005. Pengaruh Padat Tebar Terhadap Pertumbuhan dan Kelangsungan Hidup Ikan Nilem ( Osteochilus hasselti C.V) yang dipelihara Dalam Keramba Jaring Apung Waduk Cirata dengan Pakan Perifiton. Skripsi Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. IPB Bogor. Zonneveld, N., E.A Huisman and J.H.
Boon . 1991 . Prinsip-Prinsip Budidaya Ikan. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. 318 p