• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKIBAT HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI YANG MEMUAT KLAUSULA BAKU

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "AKIBAT HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI YANG MEMUAT KLAUSULA BAKU"

Copied!
42
0
0

Teks penuh

(1)

KLAUSULA BAKU

Oleh :

A.A. SRI INDRAWATI, SH., MH. NIP. 1957 1014 1986 01 2001

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR

2018

(2)
(3)

Abstrak

Perjanjian jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayarkan dengan harga yang relatif. Diperjanjikan yang terkadang dibuat dalam bentuk standar/baku, dalam hal pemikiran pihak yang mempunyai kedudukan yang lebih kuat bviasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausa-klausa tertentu yang menguntungkan pihaknya saja dengan pemikiran bagaimana kekuatan mengikat dan perjanjian jual beli yang memuat klausa baku dan perlindungan hukum bagi para pihak.

Dalam penelitian ini menggunakan jenis penelitian normatif, dengan jenis penerapan peraturan perundang-undangan (statute approach) 2 penerapan konsep, dengan menggunakan bahan hukum primer sekunder dan fisik dengan analisis bahan hukum.

Hasil penelitian ini adalah kekuatan mengikat perjanjian jual beli yang memuat klausula baku adalah berlaku sebagai undang-undang bagi yang membuatnya, tidak dapat diputus secara sepihak, oleh para pihak atau undang-undang dan dilaksanakan dengan itikad baik, sehingga memberikan perlindungan hukum bagi para pihak karena telah disepakati oleh kedua belah pihak.

(4)

4

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ... i

DAFTAR ISI ... ii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 7

1.3 Ruang Lingkup ... 7

1.4 Tujuan Penelitian ... 8

1.5 Manfaat Penelitian ... 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 10

BAB III METODE PENELITIAN ... 17

3.1 Jenis Penelitian ... 17

3.2 Jenis Pendekatan ... 18

3.3 Sumber Bahan Hukum ... 18

3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum ... 19

3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum ... 19

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 20

4.1 Kekuatan Mengikat Perjanjian Jual Beli yang Memuat Klausula Baku ... 20

4.2 Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli yang Menggunakan Klausula Baku ... 26

BAB V PENUTUP ... 34

5.1 Kesimpulan ... 34

5.2 Saran-saran ... 35 DAFTAR BACAAN

(5)

1

1.1 Latar Belakang Masalah

Jual beli merupakan suatu kebutuhan yang tidak bisa dihindari, baik olehsetiap individu, dengan tujuan pemenuhan kebutuhan hidupnya sehari-hari dari yang paling sederhana, hingga setiap badan usaha (baik yang berbentuk badan hukum atau tidak berbentuk badan hukum) yang menggunakan sarana jual beli.

Yang dimaksud dengan perjanjian jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatukebendaan, dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan. Demikianlah rumusan yang diberikan pasal 1457 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dan selanjutnya ditulis KUHPerdata. Berdasarkan pada rumusan yang diberikan tersebut bahwa perjanjian jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan kewajiban atau perikatan untuk memberikan sesuatu, yang dalam hal ini terwujud dalam bentuk penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, dan penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual. Oleh karena itu dikatakan dalam jual beli senantiasa terdapat dua sisi hukum perdata, yaitu hukum kebendaan dan hukum perikatan.1 Dikatakan demikian karena pada sisi hukum perikatan, jual beli merupakan suatu bentuk perjanjian yang melahirkan hak dan kewajiban, dan dalam hukum kebendaan berupa bentuk

1

Ahmadi Miru, 2008, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Ahmadi Miru I), h. 126.

(6)

2

penyerahan kebendaan yang dijual oleh penjual, selain penyerahan uang oleh pembeli kepada penjual.

Walaupun dikatakan bersisi dua, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata hanya melihat jual beli dari sisi hukum Perikatannya semata-mata, yaitu dalam bentuk kewajiban dalam lapangan harta kekayaan dari masing-masing pihak secara bertimbal balik satu terhadap yang lainnya. Dan karena itu pula jual beli dimasukkan dalam Buku Ketiga tentang Perikatan.

Perjanjian jual beli pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena mengikat para pihak saat terjadinya kesepakatan para pihak tersebut mengenai unsur esensial dan aksidentalia dari perjanjian tersebut.2

Dikatakan adanya kesepakatan mengenai unsur esensial dan aksidentalia, karena walaupun para pihak sepakat mengenai barang dan harga, jika ada hal-hal lain yang tidak disepakati yang terkait dengan perjanjian jual beli tersebut, jual beli tetap tidak terjadi karena tidak tercapai kesepakatan. Akan tetapi jika para pihak telah menyepakati unsur esensial dari perjanjian jual beli tersebut, yaitu tentang barang yang akan dijual dan harga barang tersebut, dan para pihak tidak mempersoalkan hal lainnya, klausula-klausula yang dianggap berlaku dalam perjanjian tersebut merupakan ketentuan-ketentuan tentang jual beli yang ada dalam perundang-undangan.

Di dalam praktek bisnis, bentuk perjanjian dapat dilihat dari macam-macamnya seperti jual beli, sewa menyewa, tukar menukar dan lain-lain, seperti yang diatur di dalam KUHPerdata. Di samping itu perjanjian juga dapat dilihat

2

(7)

dari segi bentuknya yang disebut dengan perjanjian standar atau perjanjian baku,yang belum ada atau tidak diatur di dalam KUHPerdata. Perjanjian standar ini tumbuh subur dalam praktek masyarakat, karena memang masyarakat sendiri yang menghendaki kehadirannya.

Kontrak baku adalah kontrak yang klausula-klausulanya telah ditetapkan atau dirancang oleh salah satu pihak.3 Penggunaan kontrak baku dalam kontrak-kontrak yang biasanya dilakukan oleh pihak yang banyak melakukan kontrak-kontrak yang sama terhadap pihak lain, didasarkan pada asas kebebasan berkontrak, yang tercantum dalam Pasal 1338 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, bahwa setiap perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.

Asas kebebasan berkontrak tersebut sangat ideal jika para pihak yang terlibat dalam suatu kontrak posisi tawarnya seimbang antara satu dengan yang lain. Apabila dalam perjanjian kedudukan para pihak tidak seimbang, pihak yang lemah biasanya tidak berada dalam keadaan yang betul-betul bebas untuk menentukan apa yang diinginkan dalam perjanjian. Dalam hal demikian pihak yang mempunyai kedudukan lebih kuat biasanya menggunakan kesempatan tersebut untuk menentukan klausula-klausula tertentu dalam kontrak baku, sehingga perjanjian yang seharusnya dibuat atau dirancang oleh para pihak yang terlibat dalam perjanjian, tidak ditemukan lagi dalam kontrak baku karena format dan isi kontrak dirancang oleh yang kedudukannya lebih kuat.

3

(8)

4

Oleh karena yang merancang format dan isi perjanjian adalah pihak yang memiliki kedudukan yang lebih kuat, maka dapat dipastikan bahwa perjanjian tersebut memuat klasula-klausula yang menguntungkan baginya, atau meringankan atau meghapuskan beban-beban, atau kewajiban-kewajiban tertentu yang seharusnya menjadi tanggung jawabnya.

Tumbuh dan berkembangnya perjanjian standar dalam masyarakat adalah dalam rangka efisiensi, baik dari segi waktu maupun biaya, karena transaksi bisnis yang akan dibuat dalam perjanjian standar dilakukan secara berulang-ulang dan terus menerus. Ciri-ciri kehidupan masyarakat yang modern ditandai dengan adanya kecenderungan mendapatkan pelayanan jasa yang secara praktis, efisien dan efektif. Sejalan dengan cerminan kehidupan yang modern tersebut, pelaksanaan perjanjian jual belipun, telah dilingkupi berbagai perjanjian baku.

Seperti pada jual beli antara pelaku usaha dengan konsumen diatur tidak hanya dalam KUHPerdata tetapi juga dalam Undang-Undang No.8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen selanjutnya ditulis (UUPK). Pengaturan jual beli antara pelaku usaha dengan konsumen yang diatur dalam UUPK yang merupakan hukum khusus tersebut dapat mengesampingkan ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata apabila ketentuan yang terdapat dalam KUHPerdata bertentangan dengan ketentuan UUPK. Akan tetapi, jika ketentuan dalam KUHPerdata tidak bertentangan dengan UUPK, ketentuan dalam KUHPerdata tersebut masih tetap berlaku, untuk melengkapi kekurangan-kekurangan tertentu dalam UUPK.

(9)

Walaupun sama-sama merupakan perjanjian jual beli, namun perjanjian jual beli antara pelaku usaha dengan konsumen lebih memberikan kemudahan pada konsumen (pembeli) dibandingkan perlindungan pembeli dalam jual beli pada umumnya karena dalam perjanjian jual beli antara pelaku usaha dengan konsumen banyak membatasi pelaku usaha. Seperti yang diatur dalam UUPK antara lain yang mengatur tentang klausula baku.

Menurut Taryana Soenandar, klausula baku yang diatur dalam Undang-Undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, ternyata jika diteliti pengaturannya salah kaprah atau mungkin tidak efektif.4 Seperti yang terdapat dalam pasal 1 butir 10 yang memberikan definisi sebagai berikut:

"Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat wajib dipenuhi oleh konsumen."

Ketentuan lebih lanjut dari klausula baku diatur dalam Bab V Pasal 18. Ketentuan yang memuat dua larangan, yang pertama larangan mencantumkan klausula baku pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi kualifikasi tertentu. Kedua, larangan mencantumkan klausula baku yang letak dan bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang mengungkapannya sulit dimengerti.

4

Taryana Soenandar, 2004, Prisip-Prinsip Unidroit Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesain Sengketa Bisnis Internasional. Sinar Grafika, Jakarta, h.117.

(10)

6

Penjelasan pasal 18 Undang-Undang Perlindungan Konsumen menyatakan bahwa larangan ini dimaksudkan untuk menempatkan kedudukan konsumen setara dengan pelaku usaha berdasarkan prinsip kebebasan berkontrak.

Ada beberapa kekeliruan dalam pengaturan kontrak baku dalam Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang secara konseptual salah:5

Pertama, pembuat Undang-Undang telah memposisikan konsumen

sebagai pihak yang lemah. Padahal dalam kenyataannya bisa terjadi sebaliknya, Pihak produsen atau pengusaha justru merupakan pihak yang lemah. Misalnya pengusaha kecil, petani, dan pengerajin kecil. Adapun konsumen mungkin adalah tengkulak besar, BUMN, atau mungkin perusahaan multinasional.

Contoh: dalam pola kerjasama subkontrak antara pengusaha kecil dan perusahaan multinasioanal yang telah dilaksanakan di Kabupaten Tegal dibidang kerajinan logam bekerja sama dengan perusahaan Jepang seperti KUBOTA, ASTRA, dan YANMAR. Subkontrak semacam ini biasanya dilakukan secara formal dalam perjanjian tertulis. Jadi dalam hal ini yang menjadi produsen atau pelaku usaha adalah perusahaan kecil sedangkan konsumen atau penggunanya adalah perusahaan multinasional.6

Kedua, penyusun Undang-Undang telah salah kaprah, seolah-olah hanya pengusaha saja yang dapat membuat klausula baku. Padahal sebenarnya konsumenpun dapat mengeluarkan klausula baku. Misalnya, grosir pembeli karya hasil pengerajin kecil, ia mengeluarkan dokumen yang menentukan syarat baku.Justru karena kebebasan berkontraklah para pihak dapat mengajukan klausula masing-masing. Bahkan penyebutan istilah pelaku usaha sangat luas

5

Ibid, h. 118.

6

(11)

seperti produsen awal, produsen setengah jadi, grosir, agen, perantara, toko, dan pengecer.

Perjanjian baku ini merupakan suatu bentuk perjanjian yang sangat teoretis masih mengundang perdebatan, oleh karena itu sangat menarik untuk diadakan suatu penelitian dengan judul "AKIBAT HUKUM TERHADAP PARA PIHAK DALAM PERJANJIAN JUAL BELI YANG MEMUAT KLAUSULA BAKU."

1.2 Rumusan Masalah

Setiap permasalahan memerlukan pemecahan secara tuntas. Supaya masalah-masalah yang timbul dapat cepat terselesaikan, terlebih dahulu masalah tersebut harus dirumuskan secara jelas.

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di depan, untuk memperoleh pembahasan dan hasil penelitian yang terarah maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah kekuatan mengikat dari perjanjian jual beli yang memuat klausula baku?

2. Bagaimanakah perlindungan hukum bagi para pihak pada perjanjian jual beli yang menggunakan kalusula baku?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Agar tidak terjadi penyimpangan di dalam pembahasan ini, maka mengenai ruang lingkup masalah disesuaikan dengan rumusan masalah, yaitu

(12)

8

mengenai kekuatan mengikat dari perjanjian jual beli yang memuat klausula baku, dan perlindungan hukum bagi para pihak pada perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku.

1.4 Tujuan Penelitian

Suatu penelitian haruslah mempunyai tujuan yang hendak dicapai, adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini sebagai berikut:

1. Tujuan Umum

a. Untuk mengetahui kekuatan mengikat dari suatu perjanjian jual beli yang memuat klausula baku.

b. Untuk mengetahui bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku.

2. Tujuan Khusus

Adapun tujuan khusus yang ingin dicapai di dalam penelitian ini sebagai berikut:

a. Untuk lebih memahami kekuatan mengikat dari suatu perjanjian jual beli yang memuat klausula baku.

c. Untuk lebih memahami bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak dalam perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku.

1.5 Manfaat Penelitian

Suatu penelitian haruslah mempunyai manfaat yang hendak diperoleh, adapun manfaat yang hendak diperoleh dari penelitian ini adalah:

(13)

1. Manfaat Teoretis

a. Diharapkan dapat memperdalam pengetahuan hukum, khususnya yang berkaitan dengan perjanjian jual beli yang memuat klausula baku.

b. Diharapkan dapat memberikan gambaran dasar mengenai klausula baku dalam perjanjian jual beli pada umumnya, khususnya berkaitan dengan perlindungan hukum terhadap para pihak.

2. Manfaat Praktis

a. Diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam masalah kekuatan mengikat dari perjanjian jual beli yang memuat klausula baku. b. Diharapkan dapat memberikan informasi tentang perlindungan hukum

terhadap para pihak dalam perjanjian jual beli yang menggnnakan klausula baku.

(14)

10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Di dalam ilmu hukum, masalah ilmu hukum menempatkan kedudukan yang penting dikarenakan akan dapat memberikan suatu sarana untuk merangkum serta memahami masalah yang dianalisa secara lebih baik. Hal yang semulanya tersebar dan berdiri sendiri nantinya dapat disatukan dan dapat ditunjukkan kaitannya antara yang satu dengan yang lainnya, dengan penulisan ini yaitu mengenai Akibat Hukum Terhadap Para Pihak Dalam Perjanjian Jual Beli Yang Memuat Klausula Baku. Bukan Konsumen saja yang perlu mendapatkan perlindungan hukum, pelaku usaha juga perlu mendapatkan perlindungan hukum, khususnya dalam perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku.

Adapun hal-hal yang terkait dengan penelitian ini yaitu menurutUndang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam Pasal 1 angka 10 yang menyatakan bahwa: "Klausula baku adalah setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan/atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen".

Perjanjian sendiri memiliki definisi sesuai dengan pasal 1313 KUHPerdata yaitu "suatu perbuatan dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya dengan satu orang lain atau lebih".

Pada dasarnya setiap orang dapat melakukan perjanjian dengan siapa saja yang dikehendaki sepanjang orang tersebut tidak dilarang oleh undang-undang

(15)

untuk melakukan perjanjian. Pihak-pihak dalam perjanjian ini bisa orang perorangan atau badan usaha yang bukan badan hukum atau badan hukum.

Di dalam teori hukum diakui bahwa sumber hukum mencangkup tidak saja perundang-undangan, kebiasaan, dan putusan pengadilan tetapi juga asas-asas hukum.7 Fungsi asas-asas hukum ialah untuk sejauh mungkin menjaga dan mewujudnyatakan standar nilai atau tolak ukur yang tersembunyi di dalam atau melandasi norma-norma, baik yang tercakup di dalam hukum positif maupun praktik hukum.

Dari uraian mengenai asas-asas hukum, secara singkat dapat dikatakan bahwa fungsi asas perjanjian adalah:

1. Memberikan keterjalinan dari peraturan-peraturan hukum. 2. Memecahkan masalah baru dan membuka bidang hukum baru.

3. Menyustifikasi prinsip-prinsip etikal yang merupakan substansi aturan hukum. 4. Mengkaji ulang ajaran hukum yang ada sehingga dapat memunculkan solusi

baru.

Dalam hukum perjanjian dikenal beberapa asas diantaranya sebagai berikut:8

1. Asas kebebasan berkontrak

Asas kebebasan berkontrak dapat dianalisis dari ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata, yang berbunyi "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya". Asas

7

Herlien Budiono, 2009, Ajaran Umum Hukum Perjaniian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan. Cetakan I, Citra Aditya Bakti, Bandung. h. 37.

8

Salim H.S, 2008, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. Cetakan V, Sinar Grafika, Jakarta, (selanjutnya disingkat Salim H.S I), h.9.

(16)

12

Kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk:

a. Bebas menentukan apakah ia akan melakukan perjanjian atau tidak; b. Bebas menentukan dengan siapa mereka melakukan perjanjian; c. Bebas menentukan isi atau klausula perjanjian;

d. Bebas menentukan bentuk perjanjian;

e. Kebebasan-kebebasan lainnya yang tidak bertentangan dengan peraturan perundaang-undangan.

2. Asas konsensualisme

Asas konsensualisme dapat dilihat dalam Pasal 1320 ayat (1) KUHPerdata. Dalam pasal itu ditentukan bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian, yaitu adanya kesepakatan kedua belah pihak. Maksud asas ini adalah lahirnya suatu kontrak pada saat terjadinya kesepakatan. Apabila telah tercapai kesepakatan para pihak lahirlah suatu kontrak, walaupun kontrak itu belum dilaksanakan saat itu. Asas ini tidak berlaku bagi semua jeniskontrak, karena asas ini hanya berlaku terhadap kontrak konsensual, sedangkan kontrak formal dan riel tidak berlaku.

3. Asas mengikatnya kontrak

Setiap orang yang membuat kontrak, dia terikat untuk memenuhi kontrak tersebut karena kontrak tersebut mengandung janji-janji yang harus dipenuhi dan janji itu mengikat para pihak sebagaimana mengikatnya undang-undang. Hal ini dapat dilihat dalam pasal 1338 ayat (1) yang menentukan bahwa, "Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya."

(17)

4. Asas itikad baik

Ketentuan tentang itikad baik ini diatur dalam Pasal 1338 ayat (3) bahwa perjanjian harus dilakukan dengan itikad baik. Asas itikad merupakan asas bahwa para pihak, yaitu pihak kreditur dan debitur harus melaksanakan substansi kontrak berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan yang baik dari para pihak.

Di dalam lokakarya hukum perikatan yang dilaksanakan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Departemen Kehakiman dari tanggal 17 sampai tanggal 19 Desember 1985 telah berhasil dirumuskan delapan asas hukumperikatan Nasional, kedelapan asas itu adalah:9

1. Asas kepercayaan, mengandung pengertian bahwa setiap orang yang akan mengadakan perjanjian akan memenuhi setiap prestasi yang diadakan di antara mereka di belakang hari.

2. Asas persamaan hukum, bahwa setiap subjek hukum yang mengadakan perjanjian mempunyai kedudukan, hak, dan kewajiban yang sama dalam hukum, mereka tidak dibeda-bedakan satu sama lain.

3. Asas keseimbangan, adalah asas yang menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian.

4. Asas kepastian hukum, perjanjian sebagai figur hukum harus mengandung kepastian hukum. Kepastian ini terungkap dari kekuatan mengikatnya dari perjanjian, yaitu sebagai undang-undang bagi yang membuatnya.

9

(18)

14

5. Asas moral, asas moral ini terkait dengan perikatan wajar, yaitu suatu perbuatan sukarela dari seseorang tidak dapat menuntut hak baginya untuk menggugat prestasi dari pihak debitur.

6. Asas kepatutan, tertuang dalam pasal 1339 KUH Perdata. Asas ini berkaitan dengan ketentuan isi perjanjian.

7. Asas kebiasaan, asas ini dipandang sebagai bagian dari perjanjian. Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk apa yang secara tegas diatur, akan tetapi hal-hal yang menurut kebiasaan lazim diikuti.

8. Asas perlindungan, asas perlindungan mengandung pengertian bahwa kreditur dan debitur harus dilindungi oleh hukum.

Lahirnya perjanjian baku dikarenakan adanya asas kebebasan berkontrak. Dan untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian; 3. Suatu hal tertentu;

4. Suatu sebab yang tidak terlarang10.

Dua syarat pertama mewakili syarat subjektif, yang berhubungan dengan subjek perjanjian, dan dua syarat yang terakhir berhubungan dengat syarat objektif, yang berkaitan dengan objek perjanjian yang disepakati oleh para pihak dan yang akan dilaksanakan sebagai prestasi atau utang dari para pihak.

Ketidakpemenuhan kedua syarat tersebut, membawa akibat bahwa perjanjian tersebut diancam dengan kebatalan, dengan pengertian bahwa setiap

10

(19)

saat dapat dimintakan pembatalan. Pasal 1454 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata menyatakan bahwa: "Dalam semua hal, di mana suatu tuntutan untuk pernyataan batalnya suatu perikatan tidak dibatasi dengan suatu ketentuan undang-undang khusus hingga suatu waktu yang lebih pendek, waktu itu adalah lima tahun".

Di dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, menyebutkan setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Jadi setiap orang mempunyai hak yang sama untuk mendapatkan perlindungan hukum.

Pada Pasal 1 Angka 1 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, "Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberikan perlindungan kepada konsumen".

Pada Pasal 2 Undang-Undang No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, menyebutkan "Perlindungan konsumen berasaskan manfaat, keadilan, keseimbangan, keamanan, dan keselamatan konsumen, serta kepastian hukum".

Perlindungan konsumen diselenggarakan sebagai usaha bersama berdasarkan 5 (lima) asas yang relevan dengan pembangunan nasional, yaitu:11 1. Asas manfaat, dimaksudkan untuk mengamanatkan bahwa segala upaya dalam

menyelenggarakan perlindungan konsumen harus memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi kepentingan konsumen dan pelaku usaha.

11

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, Hukum Pelindungan Konsumen , PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, (selanjutnya disingkat Ahmadi Miru II), h. 115.

(20)

16

2. Asas keadilan, dimaksudkan agar partisifasi seluruh rakyat dapat diwujudkan secara maksimal dan memberikan kesempatan kepada konsumen dan pelaku usaha untuk memperoleh haknya dan melaksanakan kewajibannya secara adil.

3. Asas keseimbangan, dimaksudkan untuk memberikan keseimbangan antara kepentingan konsumen, pelaku usaha, dan pemerintah dalam arti materiil dan spiritual.

4. Asas keamanan dan keselamatan konsumen, dimaksudkan untuk memberi jaminan atas keamanan dan keselamatan kepada konsumen dalammenggunakan, pemakaian, dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang dikonsumsi atau digunakan.

5. Asas kepastian hukum, dimaksudkan agar pelaku usaha maupun konsumen mentaati hukum dan memperoleh keadilan dalam menyelenggarakan perlindungan konsumen, serta negara menjamin kepastian hukum.

(21)

17

3.1 Jenis Penelitian

Soerjono Soekanto, berpendapat bahwa penelitian hukum dapat dibagi dalam:12

1. Penelitian hukum normatif, yang mencakup : a. Penelitian terhadap asas-asas hukum; b. Penelitian terhadap sistematika hukum; c. Penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum; d. Penelitian terhadap sejarah hukum;

e. Penelitian perbandingan hukum.

2. Penelitian hukum sosiologis atau empiris, yang terdiri dari: a. Penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis); b. Penelitan terhadap efektivitas hukum.

Dalam penelitian ini, yang digunakan adalah jenis penelitian hukum normatif, Sunaryati Hartono, mengemukakan bahwa kegunaan metode penelitian hukum normatif ini adalah untuk mengetahui atau mengenal apakah dan bagaimanakah hukum positifnya mengenai suatu masalah tertentu.13 Dalam mengkaji permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini dari sudut pandang hukum normatif, maka akan diketahui hukum positif/ketentuan-ketentuan untuk

12

Bambang Sunggono, 2009, Metodologi Penelitian Hukum , PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.41.

13

Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad Ke-20 Cetakan I, Alumni, Bandung, h.140.

(22)

18

memecahkan masalah yang ada, yang mengatur tentang Perlindungan Hukum dalam Perjanjian Jual Beli dalam kaitannya dengan Klausula Baku.

3.2 Jenis Pendekatan

Dalam pembahasan penulisan ini menggunakan jenis pendekatan Perundang-undangan (The Statute Approach), yaitu dengan mengkaji peristiwa hukum yang terjadi dan mencari pemecahannya dalam perundang-undangan yang berlaku, khususnya yang berhubungan dengan permasalahan yang dibahas, serta pendekatan konseptual (conceptual approach) pendekatan ini beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang dalam ilmu hukum.

3.3 Sumber Bahan Hukum

Dalam pembahasan penulisan ini, data yang digunakan untuk penulisan penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan yang berupa bahan hukum. Bahan hukum diperoleh berdasarkan:

1. Bahan hukum primer, adalah bahan hukum yang diperoleh melalui peraturan perundang-undangan yang ada hubungannya dengan pokok pembahasan di dalam penelitian ini.

2. Bahan hukum sekunder, diperoleh dari buku-buku hukum, hasil penelitian ilmiah di bidang hukum, pendapat pakar hukum dan internet. 3. Bahan hukum tersier, diperoleh dari kamus hukum.

(23)

3.4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Untuk menunjang pembahasan terhadap permasalahan yang diajukan, pengumpulan bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dilakukan dengan cara penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian ini digunakan untuk mendapatkan landasan teoretis berupa pendapat-pendapat para sarjana dan tulisan-tulisan dari para ahli dan peraturan perundang-undangan yang masih berlaku. Data ini diperoleh melalui membaca, memahami beberapa buku serta bahan bacaan lain yang ada relevansinya dengan permasalahan yang dibahas.

3.5 Teknik Analisis Bahan Hukum

Untuk mendapatkan hasil atau jawaban atas permasalahan yang hendak dibahas baik dari bahan hukum primer maupun bahan hukum sekunder, bahan hukum tersebut dianalisis secara diskriptif yaitu menguraikan apa adanya terhadap suatu kondisi atau posisi dari proposisi-proposisi hukum atau non hukum, selanjutnya hasilnya dijabarkan dan dideskripsikan secara sistematis.

(24)

20

BAB IV

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Kekuatan Mengikat Perjanjian Jual Beli yang Memuat Klausula Baku

Undang-undang menentukan bahwa perjanjian yang sah berkekuatan sebagai undang-undang. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.14 Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali, selain kesepakatan kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.

Pada saat ini muncul perjanjian-perjanjian yang dibuat di mana isinya hanya merupakan kehendak dari salah satu pihak saja. Perjanjian seperti itu dikenal dengan sebutan perjanjian baku (standard of contract).

Hondius mengemukakan latar belakang sejarah timbulnya perjanjian baku, bahwa model kontrak baku telah mempunyai sejarah ribuan tahun. Ketika lima ribu tahun yang lalu di Mesir dan Negara Dua Sungai dibuat tulisan-tulisan pertama, hampir pada saat yang sama muncul syarat-syarat kontrak yang dibakukan pertama kali.15

Pitlo juga mengemukakan latar belakang lahirnya perjanjian baku sebagai berikut:

Latar belakang tumbuhnya perjanjian baku adalah keadaan sosial dan ekonomi. Perusahaan yang besar, perusahaan semi pemerintah atau perusahaan-perusahaan pemerintah mengadakan kerjasama dalam suatu organisasi dan untuk kepentingan mereka menentukan syarat-syarat

14

Mariam Darus Badrulzaman, op.cit h.27.

15

(25)

tertentu secara sepihak. Pihak lawannya (wederpartij) yang umumnya mempunyai kedudukan (ekonomi) lemah, baik karena posisinya maupun karena ketidaktahuannya hanya menerima apa yang disodorkan.16

Apakah suatu syarat merupakan syarat baku atau bukan, yang menentukan bukanlah masalah penampilan formalnya, bukan siapa yang telah mempersiapkan syarat baku tersebut, bukan masalah isinya.17 Penekanannya adalah pada fakta bahwa syarat baku itu secara nyata telah digunakan dan ditentukan oleh salah satu pihak tanpa negosiasi dengan pihak lain. Persyaratan terakhir ini berkaitan dengan syarat baku bahwa pihak lain harus menerima secara keseluruhan, sementara syarat lain dari kontrak yang sama dapat dibuat melalui negosiasi antara para pihak.

Biasanya syarat umum tentang pembentukan kontrak berlaku tanpa memperhatikan apakah salah satu atau kedua belah pihak menggunakan syarat baku atau tidak. Ketentuan umum tersebut menentukan bahwa syarat yang diajukan oleh salah satu pihak mengikat pihak lainnya atas dasar penerimaan.

Syarat baku yang termuat dalam perjanjian biasanya akan mengikat hanya atas dasar tanda tangan pada dokumen/perjanjian baik secara keseluruhan maupun sekurang-kurangnya selama syarat-syarat itu direproduksi di atas atau tidak di atas tanda tangan, misalnya, di bagian belakang dari dokumen tersebut. Di lain pihak, syarat baku yang dimuat dalam dokumen terpisah biasanya harus dirajuk secara tegas oleh para pihak yang menginginkan penggunaan syarat itu.

16

Salim H.S III, loc.cit.

17

(26)

22

Perjanjian baku yang dibuat harus memenuhi syarat-syarat sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan 4 syarat, yaitu:

a. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; b. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; c. Suatu hal yang tertentu;

d. Suatu sebab yang halal.

Kesepakatan mereka yang mengikatkan diri adalah asas esensial dari hukum perjanjian. Asas ini dinamakan juga asas "konsensualisme" yang menentukan adanya perjanjian. Asas konsensualisme yang terdapat di dalam Pasal 1320 KUH Perdata mengandung arti "kemauan" (will) para pihak untuk saling berprestasi, ada kemauan untuk saling mengikat diri. Kemauan ini membangkitkan kepercayaan (vertrouwen) bahwa perjanjian itu dipenuhi. Asas kepercayaan ini merupakan nilai etis yang bersumber pada moral. Manusia terhormat akan memelihara janjinya kata Eggens.18

Asas konsensualisme ini mempunyai hubungan yang erat dengan asas kebebasan berkontrak dan asas kekuatan mengikat yang terdapat di dalam Pasal 1338 ayat 1 KUH Perdata ketentuan ini berbunyi "Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuamya." Semua mengandung arti meliputi seluruh perjanjian, baik yang namanya dikenal maupun yang tidak dikenal oleh undang-undang.

18

(27)

Asas kebebasan berkontrak berkaitan erat dengan isi perjanjian, yaitu kebebasan menentukan "apa" dan dengan "siapa" perjanjian itu diadakan. Perjanjian yang dibuat sesuai dengan Pasal 1320 KUHPerdata ini mempunyai kekuatan mengikat.

Meninjau masalah apakah Perjanjian Jual Beli yang memuat klausula baku mempunyai kekuatan mengikat. Dalam perpustakaan hukum telah dicoba untuk mencari dasar mengikatnya perjanjian dengan syarat-syarat baku. Pertama-tama ada ajaran penakluk kemauan (wilsonderwerping) dari Zeylemaker. Ia berpendapat bahwa:19 "Orang mau karena orang merasa takluk kepada satu pengaturan yang aman, disusun secara ahli dan tidak sepihak, atau karena orang tidak dapat berbuat lain daripada takluk, tetapi orang mau dan orang tahu bahwa orang mau."

Sedangkan menurut Stain, pihak peserta lain tidak mau takluk kepada syarat-syarat yang tidak menguntungkan dia, melainkan kepada klausula yang pantas. Selanjutnya Stain mengatakan bahwa, “Kebutuhan praktis dari lalulintas hukum memaksa satu kesimpulan bahwa pihak lain terikat pada semua syarat, tanpa mempertimbangkan apakah ia mengetahui syarat-syarat itu.”20

Asser Rutten mengatakan bahwa,21 "Setiap orang yang menandatangani perjanjian, bertanggung jawab pada isi dan apa yang ditandatanganinya." Jika ada orang yang membubuhkan tanda tangan pada formulir perjanjian baku, tanda tangan itu akan membangkitkan kepercayaan bahwa yang bertanda tangan

19

Salim H.S II, op.cit, h.81.

20

Salim H.S II, loc.cit.

21

(28)

24

mengetahui dan menghendaki isi formulir yang ditandatangani, tidak mungkin orang menandatangani apa yang tidak diketahui isinya.

Hampir selalu perjanjian baku/standar ditandatangani tanpa dibaca terlebih dahulu atau diketahui isinya. Namun kenyataan telah ditandatangani akta perjanjian baku menimbulkan kepercayaan pada pihak lawan bahwa penandatanganan betul mengetahui serta menghendaki apa yang telah dinyatakan dengan menandatangani aktanya. Yurisprodensi di Belanda (sejak 1926) telah mengakui sahnya akta-akta perjanjian baku/standar dan orang tidak dapat menyangkal akan hal tidak diketahui apa yang telah ditandatangani.22

Penandatanganan suatu kontrak berarti bahwa para pihak sudah setuju dengan kontrak tersebut, termasuk sudah setuju dengan isinya. Ketentuan ini menyimpulkan bahwa sebelum menandatangani suatu kontrak, para pihak mestilah terlebih dahulu membaca kontrak dan mengerti terhadap isi kontrak. Inilah yang disebut dengan kewajiban membaca isi kontrak.

Hondius di dalam disertasinya mempertahankan bahwa, perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat, berdasarkan "kebiasaan" (gebruik) yang berlaku di dalam masyarakat dan lalu lintas perdagangan.23

Adapun Sutan Remy Sjahdeini berpendapat bahwa:

Keabsahan berlakunya perjanjian baku tidak perlu dipersoalkan oleh karena perjanjian baku eksistensinya sudah merupakan kenyataan, yaitu dengan telah dipakainya perjanjian baku secara meluas dalam dunia bisnis lebih dari 80 tahun lamanya. Kenyataan itu terbentuk karena perjanjian baku memang lahir dari kebutuhan masyarakat sendiri. Dunia bisnis tidak

22

Herlien Budiono, op.cit, h.83.

23

Ahmadi Miru II, op.cit, h.117.

(29)

dapat berlangsung tanpa perjanjian baku. Perjanjian baku dibutuhkan oleh dan karena itu diterima oleh masyarakat.24

Ahmadi Miru dan Sutarman Yodo, berpendapat bahwa perjanjian baku tetap merupakan perjanjian yang mengikat para pihak yang menandatanganinya.25 Walaupun harus diakuai bahwa klausula yang terdapat dalam perjanjian baku banyak mengalihkan beban tanggung gugat dari pihak perancang perjanjian baku kepada pihak lawannya, namun setiap kerugian yang timbul di kemudian hari akan tetap ditanggung oleh para pihak yang harus bertanggung gugat berdasarkan klausula perjanjian tersebut, kecuali jika klausula tersebut merupakan klausula yang dilarang berdasarkan Pasal 18 UUPK, yang menyatakan bahwa:

1. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran.

24

Salim H.S II, op.cit, h.82.

25

(30)

26

2. Pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti.

3. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) dinyatakan batal demi hukum. 4. Pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan

dengan Undang-undang ini.

Perjanjian Jual Beli yang menggunakan klausula baku, yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam (Pasal 1320 KUHPerdata), dan tidak dilarang/bertentangan dengan Undang-Undang, yaitu Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, maka berdasarkan Pasal 1338 KUHPerdata, perjanjian tersebut telah mempunyai kekuatan hukum yang sama dengan kekuatan suatu undang-undang.

Perjanjian berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak artinya perjanjian mempunyai kekuatan mengikat dan memaksa serta memberikan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang membuatnya. Pihak-pihak harus mentaati perjanjian itu sama dengan mentaati undang-undang, jika ada pihak yang melanggar perjanjian yang mereka buat, ia dianggap sama dengan melanggar undang-undang, sehingga diberi akibat hukum tertentu yaitu sanksi hukum. Jadi siapa yang melanggar perjanjian tersebut dapat dituntut dan diberi hukuman seperti yang telah ditetapkan dalam undang-undang (perjanjian).

4.2 Perlindungan Hukum Bagi Para Pihak dalam Perjanjian Jual Beli yang Menggunakan Klausula Baku

Perlindungan Hukum adalah segala daya upaya yang dilakukan secara sadar oleh setiap orang maupun lembaga pemerintah, swasta yang bertujuan

(31)

mengusahakan pengamanan, penguasaan dan pemenuhan kesejahteraan hidup sesuai dengan hak-hak asasi yang ada.26

Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), merupakan suatu instrumen hukum yang bertujuan untuk melindungi konsumen. Dalam hal perjanjian jual beli barang atau jasa, hak dan kewajiban konsumen telah diatur oleh UUPK, yang merupakan sebuah produk hukum yang mengatur secara khusus tentang konsumen. Bila dicermati, mengenai asas hukum yaitu azas lex specialis derograte lex generalis, UUPK menjadi instrumen hukum yang secara khusus dipakai jika terjadi persengketaan antara konsumen dan pelaku usaha. Walaupun sebenarnya bisa digunakan KUHPerdata untuk mengaturnya, namun dalam KUHPerdata tidak dikenal istilah konsumen, selain UUPK memang diundangkan dengan tujuan memberi perlindungan terhadap konsumen. Namun sebenarnya UUPK ini tidak hanya mengatur tentang perlindungan konsumen saja, tetapi juga mengatur tentang perlindungan terhadap pelaku usaha dari tindakan konsumen yang beritikad tidak baik terhadap pelaku usaha.

Perlindungan hukum terhadap pelaku usaha dapat ditemui dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, yang menyatakan "pelaku usaha yang memproduksi barang dibebaskan dari tanggung jawab atas kerugian yang diderita konsumen, apabila:

a. Barang tersebut terbukti seharusnya tidak diedarkan atau tidak dimaksudkan untuk diedarkan;

26

Indoskripsi, 2009, "Tinjauan Umum Perlindungan Hukum", Diakses Tanggal 6 Agustus 2010, URL ://oneindoskripsi.com/

(32)

28

b. Cacat barang timbul di kemudian hari;

c. Cacat barang timbul karena ditaatinya ketentuan mengenai kualifikasi barang; d. Kelalaian yang diakibatkan oleh konsumen;

e. Lewat jangka waktu penuntutan 4 (empat) tahun sejak barang dibeli atau lewatnya jangka waktu yang diperjanjikan."

Klausula baku menurut UUPK pasal 1 angka 10 menyatakan "Setiap aturan atau ketentuan dan syarat-syarat yang telah dipersiapkan dan ditetapkan terlebih dahulu secara sepihak oleh pelaku usaha yang dituangkan dalam suatu dokumen dan atau perjanjian yang mengikat dan wajib dipenuhi oleh konsumen."

Menurut Taryana Soenandar pengaturan klausula baku dalam UUPK tersebut tidak efektif.27 Karena penyusun undang-undang telah salah kaprah, seolah-olah hanya pelaku usaha saja yang bisa membuat klausula baku, padahal konsumen pun bisa membuat klausula baku.

Ini dikarenakan dalam prakteknya, yang sering dirugikan karena klausula baku adalah konsumen. Karena biasanya konsumen seringkali mengalami ketidakpuasan dalam pemakaian barang atau jasa, ketidakpuasan tersebut biasanya diakibatkan karena cacat pada produk, layanan jasa yang tidak sesuai dengan yang diiklankan, dan masih banyak hal lainnya. Akan tetapi konsumen seringkali kesulitan untuk mengajukan klaim, menukar atau mendapatkan ganti rugi atas barang atau jasa yang tidak sesuai dengan yang mereka harapkan. Salah satu faktor yang menyebabkan konsumen kesulitan untuk mengajukan klaim yaitu adanya klausula baku yang biasanya tercantum pada bukti transaksi. Contoh

27

(33)

klausula baku yang tercantum dalam bukti transaksi biasanya memuat "barang

yang sudah dibeli tidak dapat dikembalikan atau ditukar."

Klausula baku yang tertuang dalam bukti transaksi yang dilakukan para pelaku usaha, memberikan kesan pelaku usaha tidak bertanggung jawab terhadap cacat atau kerusakan barang serta ketidakpuasan konsumen. Menghadapi hal mi konsumen cenderung bersikap pasrah tidak berdaya atau bahkan tidak menyadari pencantuman klausula baku dalam bukti transaksi yang diberikan pelaku usaha. Hal tersebut dikarenakan konsumen merasa sangat membutuhkan barang atau jasa tersebut.

Walaupun UUPK cuma mengatur klausula baku seolah-olah hanya bisa dibuat oleh pelaku usaha saja untuk melindungi konsumen. Bukan berarti seseorang bebas melakukan atau membuat perjanjian baku, khususnya perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku. Untuk memberikan perlidungan bagi para pihak dalam perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku dapat ditemui dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu perjanjian yang dibuat harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian sebagai berikut: 1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;

2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu hal tertentu; dan

4. Dikarenakan suatu sebab yang halal.

Syarat no. 1 (satu) atau kesepakatan mereka yang mengikatkan diri dan syarat no. 2 (dua) kecakapan membuat suatu perikatan disebut sebagai syarat

subjektif, yaitu syarat untuk subjek hukum atau orangnya, apabila salah satu dari kedua syarat tersebut tidak dapat dipenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan.

(34)

30

Sedangkan syarat no.3 (tiga) atau suatu hal tertentu dan syarat no.4 (empat) suatu sebab yang halal disebut syarat objektif, yaitu syarat untuk objek hukum atau bendanya, jika salah satu dari kedua syarat tidak dipenuhi maka perjanjian tersebut batal demi hukum.

Perjanjian yang batal demi hukum (void/void ab initio) adalah perjanjian yang dari semula sudah batal, hal ini berarti tidak pernah ada perjanjian tersebut, sedangkan perjanjian yang dapat dimintakan pembatalannya (voidable) adalah perjanjian yang dari semula berlaku tetapi perjanjian ini dapat dimintakan pembatalannya dan bila tidak dimintakan pembatalannya maka perjanjian itu tetap berlaku.

Perjanjian yang tidak memenuhi syarat-syarat tersebut tidak akan diakui oleh hukum, walaupun diakui oleh pihak-pihak yang membuatnya. Selagi pihak-pihak mengakui dan mematuhi perjanjian yang mereka buat, kendati pun tidak memenuhi syarat-syarat, perjanjian itu berlaku antara mereka. Apabila sampai suatu ketika ada pihak yang tidak mengakuinya, sehingga menimbulkan sengketa, maka Hakim akan membatalkan atau menyatakan perjanjian itu batal.28

Perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku yang dibuat/dipersiapkan terlebih dahulu oleh salah satu pihak, di mana pihak lain dalam perjanjian tersebut tidak mempunyai kesempatan atau hanya sedikit kesempatan untuk bernegosiasi atau mengubah klausula-klausula yang sudah dibuat oleh salah satu pihak tersebut, pihak yang kepadanya disodorkan perjanjian baku tersebut tidak mempunyai kesempatan untuk bernegosiasi dan berada hanya pada posisi menerima atau menolaknya. Jika pihak yang disodorkan perjanjian baku tersebut menerima, penerimaan tersebut harus berdasarkan kehendak bebas,

28

Abdulkadir Muhammad, op.cit, h.228.

(35)

artinya tidak ada paksaan, tekanan dari pihak mana pun juga, betul-betul atas kemauan sukarela para pihak. Dalam pengertian persetujuan kehendak termasuk juga tidak ada kehilafan dan tidak ada penipuan. Dikatakan tidak ada paksaan apabila orang yang melakukan perbuatan itu tidak berada di bawah ancaman, baik dengan kekerasan jasmani maupun dengan upaya menakut-nakuti, misalnya akan membuka rahasia, sehingga dengan demikian orang itu terpaksa menyetujui perjanjian. (Pasal 1324 KUHPerdata).

Dikatakan tidak ada kehilafan atau kekeliruan atau kesesatan apabila salah satu pihak tidak hilaf atau tidak keliru mengenai pokok perjanjian atau sifat-sifat penting objek perjanjian atau mengenai orang dengan siapa diadakan perjanjian itu. Menurut ketentuan (Pasal 1322 ayat 1 dan 2 KUHPerdata) kekeliruan atau kehilafan tidak mengakibatkan batal suatu perjanjian, kecuali apabila kekeliruan atau kehilafan itu terjadi mengenai hakikat benda yang menjadi pokok perjanjian, atau mengenai sifat khusus/keahlian khusus diri orang dengan siapa diadakan perjanjian.

Dikatakan tidak ada penipuan apabila tidak ada tindakan menipu menurut arti undang-undang. Menurut ketentuan Pasal 1328 KUHPerdata, penipuan yang dapat dijadikan alasan untuk membatalkan perjanjian adalah tipu muslihat dari salah satu pihak sedemikian rupa, sehingga terang dan nyata membuat pihak lainnya tertarik untuk membuat perjanjian. Sedangkan jika tidak dilakukan tipu muslihat itu, pihak lainnya tidak akan membuat perjanjian itu.

Jika di dalam perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku terdapat unsur paksaan, kehilafan atau penipuan, maka berarti di dalam perjanjian

(36)

32

itu terjadi cacat pada kesepakatan, oleh karena itu perjanjian tersebut dapat dimintakan pembatalannya kepada Hakim. Menurut ketentuan Pasal 1454 KUHPerdata, “Pembatalan dapat dimintakan dalam tenggang waktu lima tahun, dalam hal ada paksaan dihitung sejak hari paksaan itu berhenti, dalam hal ada kehilafan dan penipuan dihitung sejak hari diketahuinya kehilapan dan penipuan itu”.29

Selain syarat untuk sahnya suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yang harus dipenuhi. Perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku tersebut juga tidak boleh bertentangan dengan Undang-Undang, ketertiban umum, dan kesusilaan yang baik. Di dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, telah ditentukan berbagai larangan dalam pembuatan atau mencantumkan klausula baku dalam setiap dokumen dan/atau perjanjian. Pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang membuat atau mencantumkan klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian apabila:

a. Menyatakan pengalihan tanggung jawab pelaku usaha;

b. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen;

c. Menyatakan bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali uang yang dibayarkan atas barang dan/atau jasa yang dibeli oleh konsumen;

d. Menyatakan pemberian kuasa dari konsumen kepada pelaku usaha baik secara langsung maupun tidak langsung untuk melakukan segala tindakan sepihak yang berkaitan dengan barang yang dibeli oleh konsumen secara angsuran;

e. Mengatur perihal pembuktian atas hilangnya kegunaan barang atau pemanfaatan jasa yang dibeli oleh konsumen;

29

(37)

f. Memberi hak kepada pelaku usaha untuk mengurangi manfaat jasa atau mengurangi harta kekayaan konsumen yang menjadi objek jual beli jasa;

g. Menyatakan tunduknya konsumen kepada peraturan yang berupa aturan baru, tambahan, lanjutan dan/atau pengubahan lanjutan yang dibuat sepihak oleh pelaku usaha dalam masa konsumen memanfaatkan jasa yang dibelinya;

h. Menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli konsumen secara angsuran.

Di samping itu, pelaku usaha dilarang mencantumkan klausula baku yang letak atau bentuknya sulit terlihat atau tidak dapat dibaca secara jelas, atau yang pengungkapannya sulit dimengerti. Setiap klausula baku yang telah ditetapkan oleh pelaku usaha pada dokumen atau perjanjian yang memenuhi larangan di atas, dinyatakan batal demi hukum. Dan pelaku usaha wajib menyesuaikan klausula baku yang bertentangan dengan Undang-undang ini.

(38)

34

BAB V PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Perlindungan hukum bagi para pihak dalam perjanjian jual beli yang memuat klausula baku adalah mendapat perlindungan hukum Preventif, yangb mana telah dituangkan dalam isi/pokok perjanjian yang memuat hak-hak kewajiban para pihak serta adanya sanksi yang tegas dan para pihak sepakat menyetujuinya yang dibuktikan dengan tandatangan para pihak. Disamping itu juga para pihak mendapat perlindungan hukumRepresif, yang mana disepakati bila terjadi sengketa diantara mereka akan diselesaikan secara litigasi atau nonlitigasi.

2. Para pihak dalam perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku mendapatkan perlindungan hukum berdasarkan Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu perjanjian yang dibuat tersebut harus memenuhi syarat sahnya suatu perjanjian, khususnya mengenai syarat kesepakatan. Kesepakatan tersebut diperoleh tanpa adanya unsur paksaan, kehilafan dan penipuan. Selain itu dalam perjanjian jual beli yang menggunakan klausula baku juga mendapatkan perlindungan hukum yang terdapat dalam Pasal 18 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Apabila suatu perjanjian dibuat tidak memenuhi ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata, atau bertentangan dengan ketentuan lainnya seperti Undang-Undang Perlindungan Konsumen, perjanjian

(39)

tersebut adalah cacat atau tidak sah dan membawa akibat hukum bahwa perjanjian tersebut dapat dibatalkan melalui pengadilan atau batal demi hukum, tergantung dari cacatnya, apa pada syarat subjektif atau pada syarat objektif.

5.2 Saran-Saran

1. Setiap perjanjian atau kontrak idealnya harus memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak. Namun, kenyataannya tidak selalu demikian. Kadang-kadang ada pihak yang dirugikan hanya karena sudah "terlanjur" menandatanganinya. Oleh karena itu bila hendak membuat surat perjanjian atau kontrak dengan pihak lain, jangan buru-buru membubuhkan tanda tangan, cermati terlebih dahulu isinya pasal demi pasal, pahami hak dan kewajiban para pihak yang tertuang di dalamnya. 2. Para pihak yang ingin mengadakan perjanjian, khususnya perjanjian jual

beli yang menggunakan klausula baku, kesepakatan yang didapat dalam perjanjian sebaiknya diperoleh tanpa adanya unsur paksaan, kehilafan dan penipuan sehingga perjanjian tersebut diperoleh atas kehendak bebas para pihak.

(40)

DAFTAR BACAAN

I. BUKU-BUKU

Anonim, 2008, Kamus Hukum, Citra Umbara, Bandung.

Abdulkadir Muhammad, 2000, Hukum Perdata Indonesia. Cetakan III, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Ahmadi Miru 2008, Hukum Kontrak dan Perancangan Kontrak. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

________, dan Sutarman Yodo, 2008, Hukum Perlindungan Konsumen, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Amiruddin dan H. Zainal Asikin, 2008, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Bambang Sunggono 2009, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Bambang Waluyo, 2002, Penelitian Hukum dalam Praktek. Cetakan III, Sinar Grafika, Jakarta.

Gunawan Widjaja, dan Kartini Muljadi, 2004, Jual Beli. Cetakan II, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

Herlien Budiono 2009, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.

Johannes Ibrahim dan Lindawaty Sewu, 2004, Hukum Bisnis Dalam Persepsi Manusia Modern, Rafika Aditama, Bandung.

Kansil. C.S.T. dan Christine S.T. Kansil, 2004, Modul Hukum Perdata Termasuk Asas-Asas Hukum Perdata. Cetakan IV, Pradnya Paramita, Jakarta.

Libertus Jehani, 2007, Pedoman Praktis Membuat Surat Perjanjian Beserta Contoh-Contoh, Cetakan III. Visimedia, Jakarta.

Mariam Darus Badrulzaman, 2005, Aneka Hukum Bisnis. Cetakan II, Alumni, Bandung.

Munir Fuady 2008, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, Cetakan III, Citra Aditya Bakti, Bandung.

(41)

Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cetakan IV, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Salim H.S, 2006, Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.

________, 2008, Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cetakan V, Sinar Grafika, Jakarta.

________, H. Abdullah dan Wiwiek Wahyuningsih, 2008, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), Cetakan IV, Sinar Grafika, Jakarta.

Soeroso, R, 2009, Pengantar Ilmu Hukum , Cetakan XI, Sinar Grafika, Jakarta. Subekti. R, 1979, Aneka Perjanjian, Alumni, Bandung.

________, 1994, Pokok-Pokok Hukum Perdata. Cetakan ke-26, Intermasa, Jakarta.

________, 2004, Perbandingan Hukum Perdata, Pradnya Paramita, Jakarta.

Suharnoko, 2004, Hukum Perjanjian Teori dan Analisis Kasus. Cetakan III, Kencana, Jakarta.

Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada Akhir Abad ke-20, Cetakan I, Alumni, Bandung.

Taryana Soenandar 2004, Prinsip-Prinsip Unidroit Sebagai Sumber Hukum Kontrak dan Penyelesaian Sengketa Bisnis Internasional, Cetakan I, Sinar Grafika, Jakarta.

II. INTERNET

Indoskripsi, 2009, "Tinjauan Umum Perlindungan Hukum", Diakses Tanggal 6 Agustus 2010, URL ://oneindoskripsi.com/

Rosa Agustina T. Pangaribuan, "Asas Kebebasan Berkontrak dan Batas-Batasnya dalam Hukum Perjanjian", Diakses Tanggal 20 September 2010, URL: hhtp://www.theceli.com/

Sihar Roni Sirait, 2008, "Klausula Baku dalam Kontrak Baku", Diakses Tanggal 20 September 2010, URL : http://goldencontract.blogspot.com/

(42)

III. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), dengan tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan, diterjemahkan oleh R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, 2004, Cetakan ke-34, Pradnya Paramita, Jakarta.

Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 Tentang Perlindungan Konsumen, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 42).

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 Tentang Jabatan Notaris (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor 117, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4432).

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini menyimpulkan bahwa model pembelajaran Inkuiri Terbimbing berpengaruh nyata terhadap hasil belajar Biologi siswa kelas VIII SMP Islam Diponegoro

Adapun cara pengelolaan premi yang dibayarkan oleh peserta yang dengan akad tijaroh dengan diinvestasikan dan hasil investasi dibagikan kepada peserta dan

Dalam interaksi ini dosen berperan sebagai penggerak atau pembimbing, sedangkan mahasiswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing. Proses interaksi ini akan berjalan dengan

dilakukan oleh UPT Museum Negeri Provinsi Sumatera Utara belum berjalan secara maksimal, dari segi strategi komunikasi secara internal sudah tergolong bagus namun

Program Director yang berada dalam devisi program, telah mampu bekerja sama dengan devisi lain (seperti devisi teknik, devisi marketing, devisi administrasi dan umum, serta para

2) Expressive device; native speakers of English change the pitch and stress of particular parts of utterances, vary volume and speed, and show by other physical

[r]

Proteksi suplemen VCO menggunakan formaldehid memberikan hasil yang lebih baik pada ransum yakni pakan sumber lemak dan protein tidak banyak terdegradasi dalam rumen namun