• Tidak ada hasil yang ditemukan

GAYA PELATIH EMOSI AYAH IBU HUBUNGANNYA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "GAYA PELATIH EMOSI AYAH IBU HUBUNGANNYA DENGAN KECERDASAN EMOSIONAL DAN PRESTASI AKADEMIK MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA INSTITUT PERTANIAN BOGOR"

Copied!
92
0
0

Teks penuh

(1)

MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ARYANI DELANITA

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(2)
(3)

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi Gaya Pelatih Emosi Ayah Ibu Hubungannya dengan Kecerdasan Emosional dan Prestasi Akademik Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor adalah karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan mupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2012

Aryani Delanita NIM I24080068

(4)
(5)

ABSTRACT

ARYANI DELANITA. Parental Emotional Style and Its Relation Between Emotional Intelligence and Academic Achievement of Human Ecology Faculty Bogor agricultural university’s students. Supervised by DIAH KRISNATUTI.

Adolescent with good academic achievement not necessarily had good emotional intelligence also. Emotional intelligence could be developed through the pattern of parental emotional style that were carried out by parents. The objective of the research was to analyze parental emotional style, emotional intelligence, and student’s academic achievement at human ecology faculty Bogor agricultural university. This research used cross sectional study design with proportional random sampling method that involved 77 students of the human ecology faculty. Results of the research showed parental emotional style was negatively correlatte with family size. Woman’s emotional intelligence was higher than men’s. Father’s parental emotional style was positively correlated with self regulation and empathy. Mother’s parental emotional style was positively correlated with empathy. Father’s occupation was positively correlated with adolescent’s self-regulation and mother’s occupation was negatively correlated with adolescent’s self-awareness. Parental emotional style was positively correlated with emotional intelligence. Parental emotional style and emotional intelligence did not have significant relationship with student’s academic achievement.

Keywords: adolescent, emotional coaching, father’s parental emotional style

ABSTRAK

ARYANI DELANITA. Gaya Pelatih Emosi Ayah Ibu Hubungannya dengan Kecerdasan Emosional dan Prestasi Akademik Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI.

Remaja dengan prestasi akademik baik belum tentu memiliki kecerdasan emosional yang baik pula. Kecerdasan emosional dapat dikembangkan melalui gaya pelatih emosi yang dilakukan orang tua. Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis gaya pelatih emosi, kecerdasan emosional, dan prestasi akademik mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Penelitian ini menggunakan desain cross sectional study dengan metode proporsional random

sampling yang melibatkan 77 mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (FEMA). Hasil

penelitian menunjukkan gaya pelatih emosi berhubungan negatif besar keluarga. Kecerdasan emosional remaja perempuan lebih baik dari remaja laki-laki. Gaya pelatih emosi ayah berhubungan positif signifikan dengan penagturan diri dan empati. Gaya pelatih emosi ibu berhubungan positif dengan empati. Ayah yang bekerja berhubungan positif signifikan dengan pengaturan diri remaja dan ibu yang bekerja berhubungan negatif signifikan dengan kesadaran diri remaja. Gaya pelatih emosi juga berhubungan positif signifikan dengan kecerdasan emosional. Gaya pelatih emosi dan kecerdasan emosional tidak berhubungan dengan prestasi akademik mahasiswa.

(6)
(7)

RINGKASAN

ARYANI DELANITA. Gaya Pelatih Emosi Ayah Ibu Hubungannya dengan Kecerdasan Emosional dan Prestasi Akademik Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Dibimbing oleh DIAH KRISNATUTI.

Penelitian ini secara umum bertujuan untuk menganalisis pola asuh emosi, kecerdasan emosional, dan prestasi akademik mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah (1) mengidentifikasi gaya pelatih emosi yang diterapkan orang tua menurut persepsi contoh, (2) mengukur tingkat kecerdasan emosional contoh (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial), (3) mengukur prestasi akademik contoh, (4) menganalisis hubungan variabel gaya pelatih emosi, kecerdasan emosional, dan prestasi akademik.

Desain penelitian adalah cross sectional study. Pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juli- Agustus 2012. Lokasi penelitian ditentukan secara

purposive yaitu Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Metode

penarikan contoh dilakukan secara proportional random sampling, jumlah contoh yang diambil sebanyak 77 mahasiswa angkatan 47 (2010) dengan pertimbangan mahasiswa angkatan 47 yang saat ini menjalani semester lima sudah cukup memiliki pengalaman tentang kehidupan dan kegiatan akademik di kampus.

Data primer dalam penelitian ini meliputi karakteristik contoh, karakteristik keluarga, pola asuh emosi, kecerdasan emosional, dan prestasi akademik yang diperoleh melalui wawancara dengan kuesioner. Data sekunder dalam penelitian ini adalah daftar nama mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) yang diperoleh dari komisi pendidikan tiap departemen. Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry data, dan cleaning data. Analisis data yang dilakukan adalah analisis deskriptif, uji beda paired sample T test, dan uji korelasi Pearson.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebih dari separuh contoh berjenis kelamin perempuan yang berusia 20 tahun dan merupakan anak pertama dalam keluarga. Lebih dari separuh keluarga contoh (57,1%) termasuk dalam kategori keluarga sedang (5-7 orang). Hampir seluruh orang tua contoh berada pada kategori dewasa madya (41-60 tahun). Persentase terbesar pendidikan ayah adalah S1/sarjana dan persentase terbesar pendidikan ibu adalah tamat SMA. Mayoritas pekerjaan ayah contoh (35%) adalah wiraswasta sedangkan ibu contoh tidak bekerja atau sebagai ibu rumah tangga. Mayoritas pendapatan keluarga contoh (42,9%) berada pada kisaran Rp1.000.000-Rp3.000.000 per bulan.

Gaya pelatih emosi terbagi menjadi empat, yaitu disapproving style,

dismissing style, laissez faire, dan emotional coaching. Gaya pelatih emosi yang

dilakukan ayah dan ibu mayoritas berada pada gaya emotional coaching dengan persentase 44,2 persen untuk ayah dan 65,1 persen untuk ibu. Terdapat 19,4 persen ayah dan 10,3 persen ibu yang melakukan pola asuh emosi jenis laissez

faire, 364 persen ayah yang melakukan pola asuh emosi jenis dismissing dan ibu

sebanyak 24,6 persen, dan tidak terdapat orang tua yang melakukan pola asuh emosi jenis disapproving.

Kecerdasan emosional memiliki lima dimensi, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Sebanyak 74,0

(8)

persen contoh memiliki kecerdasan emosional pada kategori tinggi, 26,0 persen contoh memiliki kecerdasan emosional pada kategori sedang, dan tidak ada contoh yang memiliki kecerdasan emosional kategori rendah. Lebih dari separuh contoh memiliki Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) lebih dari 2,75.

Hasil uji korelasi menunjukkan bahwa gaya pelatih emosi berhubungan negatif dengan besar keluarga. Kecerdasan emosional berhubungan positif signifikan dengan jenis kelamin. Pekerjaan ayah berhubungan positif signifikan dengan pengaturan diri remaja dan pekerjaan ibu berhubungan negatif signifikan dengan kesadaran diri remaja. Terdapat hubungan yang positif signifikan antara gaya pelatih emosi dengan kecerdasan emosional. Gaya pelatih emosi ayah berhubungan positif signifikan dengan kecerdasan emosional dimensi pengaturan diri dan empati. Gaya pelatih emosi ibu berhubungan positif signifikan dengan empati. Tidak terdapat hubungan yang signifikan antara gaya pelatih emosi dan kecerdasan emosional dengan prestasi akademik remaja. Kecerdasan emosional dimensi keterampilan sosial berhubungan negatif signifikan dengan prestasi akademik.

Beberapa saran yang disampaikan dalam penelitian ini diantaranya: orang tua perlu untuk menambah wawasan tentang gaya pelatih emosi. Ibu yang bekerja tetap mementingkan perkembangan anak dengan cara meningkatkan kualitas hubungan dengan anak diantara sedikitnya kuantitas waktu yang tersedia. Keterampilan sosial yang masih dalam kategori rendah perlu ditingkatkan dengan cara memperbanyak acara atau training soft skill. Ruang lingkup responden diperluas dengan proporsi yang seimbang antara perempuan dan laki-laki serta menambahkan variabel keterlibatan orang tua dalam pendidikan anak dan hubungan orang tua dengan sekolah.

(9)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012

Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian dan seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

(10)
(11)

GAYA PELATIH EMOSI AYAH IBU HUBUNGANNYA DENGAN

KECERDASAN EMOSIONAL DAN PRESTASI AKADEMIK

MAHASISWA FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

ARYANI DELANITA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains

pada Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

DEPARTEMEN ILMU KELUARGA DAN KONSUMEN

FAKULTAS EKOLOGI MANUSIA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

(12)
(13)

Judul Skripsi

: Gaya Pelatih Emosi Ayah Ibu Hubungannya dengan

Kecerdasan

Emosional

dan

Prestasi

Akademik

Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian

Bogor.

Nama : Aryani Delanita

NIM

: I24080068

Disetujui,

Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S

Pembimbing

Diketahui,

Dr. Ir. Hartoyo, M.Sc

Ketua Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen

(14)
(15)

PRAKATA

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala kasih dan anugerah-Nya sehingga skripsi yang berjudul “Gaya Pelatih Emosi Ayah Ibu Hubungannya dengan Kecerdasan Emosional dan Prestasi Akademik Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor” dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana sains di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi Manusia, Institut Pertanian Bogor. Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dr. Ir. Diah Krisnatuti, M.S sebagai dosen pembimbing skripsi yang telah memberikan bimbingan, arahan, dan saran.

2. Dr. Ir. Istiqlaliyah Muflikhati, M.Si selaku dosen pemandu seminar yang telah memberikan saran untuk perbaikan skripsi penulis.

3. Dr. Ir. Lilik Noor Yuliati,MFSA dan Alfiasari, SP,Msi selaku dosen penguji yang telah memberikan masukan dan koreksi untuk perbaikan skripsi penulis.

4. Ir. Melly Latifah, MSi, sebagai dosen pembimbing akademik penulis selama ini.

5. Semua dosen departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) yang telah memberikan ilmu selama tiga tahun serta staf Komisi Pendidikan IKK yang telah membantu selama ini.

6. Papa, mama, dan adik yang telah memberikan kasih sayang dan dukungan kepada penulis selama ini.

7. Seluruh teman-teman IKK 45 yang telah berbagi suka dan duka selama tiga tahun ini, khususnya Atika dan Olivia yang selama ini telah membantu dan memberikan dukungan terhadap penulis.

8. Teman-temanku Liza, Resya, Nindyta, dan teman kos Pondok Nuansa Sakinah yang telah mengisi hari-hari dan terus membantu penu lis sampai saat ini.

9. Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia angkatan 47 yang telah bersedia menjadi responden dari penelitian penulis.

10. Kepada semua pihak yang tidak dapat disebutkan semua namanya yang telah membantu dan memberikan semangat kepada penulis.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, walaupun demikian penulis tetap mengharapkan skripsi ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya.

Bogor, Desember 2012

(16)
(17)

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

PENDAHULUAN ... 1 Latar Belakang ... 1 Perumusan Masalah ... 3 Tujuan Penelitian ... 5 Manfaat Penelitian ... 5 TINJAUAN PUSTAKA ... 7 Prestasi Akademik ... 7 Kecerdasan Emosional ... 8

Gaya Pelatih Emosi ... 10

Dismissing style ... 10 Disaproving style ... 11 Laissez faire ... 12 Emotional coaching ... 13 Remaja ... 13 KERANGKA PEMIKIRAN ... 17 METODE PENELITIAN... 19

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian ... 19

Jumlah dan Cara Pemilihan Responden ... 19

Jenis dan Cara Pengumpulan Data ... 20

Pengolahan dan Analisis Data ... 21

Definisi Operasional ... 23

HASIL PENELITIAN ... 25

Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 25

Karakteristik Responden ... 26

Karakteristik Keluarga ... 27

Gaya Pelatih Emosi ... 29

Gaya Pelatih Emosi Ayah ... 29

Gaya Pelatih Emosi Ibu ... 31

Kecerdasan Emosional ... 32 Kesadaran Diri ... 32 Pengaturan Diri... 33 Motivasi ... 35 Empati ... 36 Keterampilan Sosial ... 37 Prestasi Akademik ... 38

Hubungan Antar Variabel ... 38

Hubungan Karakteristik dengan Kecerdasan Emosional ... 38

Hubungan Karakteristik dengan Gaya Pelatih Emosi ... 39 Hubungan Gaya Pelatih Emosi dengan

(18)

Kecerdasan Emosional ... 39

Hubungan Kecerdasan Emosional dan Gaya Pelatih Emosi dengan Prestasi Akademik ... 40

PEMBAHASAN ... 41

SIMPULAN DAN SARAN ... 45

Simpulan ... 45 Saran ... 46 DAFTAR PUSTAKA ... 47 LAMPIRAN ... 51 RIWAYAT HIDUP ... 71 xi

(19)

DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Jenis dan cara pengumpulan data ... 20

2. Pengkategorian variabel penelitian ... 21

3. Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin ... 26

4. Sebaran contoh berdasarkan usia ... 26

5. Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran dalam keluarga ... 27

6. Sebaran keluarga berdasarkan usia ayah dan ibu ... 27

7. Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan ibu .... 27

8. Sebaran ayah berdasarkan jenis pekerjaan ayah ... 28

9. Sebaran ibu berdasarkan jenis pekerjaan ibu ... 28

10. Sebaran keluarga berdasarkan pendapatan keluarga ... 29

11. Sebaran keluarga berdasarkan besar keluarga ... 29

12. Sebaran contoh berdasarkan gaya pelatih emosi ... 29

13. Sebaran contoh berdasarkan gaya pelatih emosi ayah ... 30

14. Sebaran contoh berdasarkan gaya pelatih emosi ibu ... 31

15. Uji beda gaya pelatih emosi ayah dan ibu ... 32

16. Sebaran contoh berdasarkan kecerdasan emosional ... 32

17. Sebaran contoh berdasarkan kesadaran diri ... 33

18. Sebaran contoh berdasarkan kategori dimensi kesadaran diri ... 33

19. Sebaran contoh berdasarkan pengaturan diri ... 34

20. Sebaran contoh berdasarkan kategori dimensi pengaturan diri ... 34

21. Sebaran contoh berdasarkan motivasi ………... 35

22. Sebaran contoh berdasarkan kategori motivasi ... 36

23. Sebaran contoh berdasarkan empati ... 36

24. Sebaran contoh berdasarkan kategori dimensi empati ... 37

25. Sebaran contoh berdasarkan keterampilan sosial ... 37

26. Sebaran contoh berdasarkan kategori dimensi keterampilan sosial ... ... 38

27. Sebaran contoh berdasarkan prestasi akademik ... 38

28. Koefisien korelasi karakteristik dengan kecerdasan emosional ... 39

29. Koefisien korelasi karakteristik dengan gaya pelatih emosi ... 39

30. Hubungan gaya pelatih emosi dengan kecerdasan Emosional ... 40

31. Hubungan kecerdasan emosional dan gaya pelatih emosi dengan prestasi akademik ... 40

(20)

DAFTAR GAMBAR

No Halaman

1. Kerangka Pemikiran Gaya Pelatih Emosi Ayah Ibu dan Hubungannya dengan Kecerdasan Emosional dan Prestasi Akademik Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian

Bogor ... 18 2. Kerangka Penarikan Contoh ... 19

(21)

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman

1. Kuesioner penelitian ... 53

2. Nilai koefisien korelasi pearson antar variabel penelitian ... 63

3. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh emosi ayah ... 65

4. Sebaran contoh berdasarkan pola asuh emosi ibu ... 68

(22)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Banyak hal yang perlu dipersiapkan untuk memasuki era globalisasi yaitu, era dimana pertukaran budaya, seni, dan kemajuan ilmu pengetahuan terjadi sangat pesat dan bebas. Salah satu hal yang perlu dipersiapkan adalah memiliki sumber daya manusia yang berkualitas tinggi tidak hanya dari segi IQ (Intelligence Quotient) melainkan juga EQ (Emotional Quotient), kesehatan yang prima, handal, serta berdaya saing tinggi. Proses pembentukan sumber daya manusia yang berkualitas dimulai dari kegiatan sehari-hari dalam keluarga dengan menjalankan fungsi sosialisasi dan pengasuhan anak. Keluarga sebagai unit terkecil dalam masyarakat memiliki peranan penting sebagai pendidik pertama dan utama setiap anak.

Namun demikian, kenyataan yang terjadi di lapangan saat ini menunjukkan orang tua yang hanya memikirkan cara untuk mengoptimalkan kecerdasan intelektual anak (IQ) dan sedikit mengabaikan aspek kecerdasan emosional (EQ). Padahal menurut Goleman (2007) EQ menyumbang 80 persen bagi keberhasilan hidup di masa dewasa sedangkan IQ hanya menyumbang 20 persen dari keberhasilan hidup seseorang. Anak-anak yang mempunyai masalah dalam kecerdasan emosinya, akan mengalami kesulitan belajar, bergaul, dan tidak dapat mengontrol emosinya. Anak-anak yang bermasalah ini sudah dapat dilihat sejak usia prasekolah dan kalau tidak ditangani akan terbawa sampai usia dewasa. Sebaliknya para remaja yang berkarakter atau mempunyai kecerdasan emosional tinggi akan terhindar dari masalah-masalah umum yang dihadapi oleh remaja seperti kenakalan, tawuran, narkoba, minuman keras, perilaku seks bebas, dan sebagainya.

Sekarang ini dapat dilihat bahwa orang yang memiliki IQ tinggi belum tentu sukses dan hidup bahagia. Orang dengan IQ tinggi tetapi emosinya tidak stabil dan mudah marah sering keliru dalam menentukan dan memecahkan persoalan hidup karena tidak dapat berkonsentrasi. Emosi yang tidak berkembang dan terkuasai akan menimbulkan berbagai konflik. Emosi yang kurang terolah juga menyebabkan seseorang tidak konsisten terhadap keputusannya (Goleman 2007).

Disisi lain, beberapa orang yang tidak memiliki IQ tinggi, karena ketekunan dan emosinya yang seimbang akan sukses dalam belajar dan bekerja. Orang yang memiliki kecerdasan emosional tinggi akan berupaya menciptakan

(23)

keseimbangan diri dan lingkungannya, mengusahakan kebahagiaan dari dalam dirinya sendiri, dapat mengubah sesuatu yang buruk menjadi lebih baik, serta mampu bekerja sama dengan orang lain yang mempunyai latar belakang yang beragam.

Kecerdasan emosional dapat dipelajari dan guru pertama yang dapat mengajarkan mengenai emosi kepada anak adalah orang tua. Pola interaksi antara orang tua dengan anak dalam sebuah keluarga untuk mengajar, membimbing, dan mendidik dengan suatu tujuan tertentu dinamakan gaya pengasuhan (parenting style). Gaya pengasuhan merupakan cara yang khas dalam menyatakan pikiran dan perasaan dalam berinteraksi antara orang tua dengan anaknya. Gaya pengasuhan yang diterapkan orang tua dalam keluarga sangat penting bagi anak karena pengaruhnya sangat besar pada kehidupan anak di masa depan. Pola asuh yang keliru dapat menjadikan anak bermasalah (Gottman & DeClaire, 1997). Lingkungan keluarga merupakan tempat orang tua melakukan bimbingan, pengasuhan, dan pemberian kasih sayang secara langsung maupun tidak langsung akan membawa dampak yang cukup besar terhadap perkembangan moral anak. Kondisi lingkungan keluarga dengan model pola asuh tertentu akan memengaruhi cara bertutur kata, cara bersikap, dan pola tingkah laku anak termasuk perkembangan jiwanya. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa pola asuh orang tua (parenting style) memiliki pengaruh yang besar terhadap perkembangan anak (Collins & Kuczaj, 1991).

Orang tua dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosional anak dengan memberikan pelatihan emosi pada anak yang disebut dengan istilah “emotion coaching”. Anak yang orang tuanya secara baik dan stabil memraktekkan emotion coaching akan memperoleh nilai yang lebih tinggi secara akademik bila dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak secara baik dan stabil dalam memberikan emotion coaching (Gottman & DeClaire, 1997). Hasil penelitian lain menunjukkan kecerdasan emosional bisa dijadikan prediktor kuat atas keberhasilan akademik karena kecerdasan emosional berkaitan dengan kompetensi individual yang mengarah pada perilaku yang task-oriented atau berorientasi pada tugas (Schickedanz 1995).

Kecerdasan intelektual anak (IQ) dalam hal ini dibahas sebagai capaian prestasi akademik. Kualitas mahasiswa dapat dilihat dari prestasi akademik yang diraihnya. Prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan

(24)

3

ataupun kemampuan akademik yang bertambah selama beberapa waktu yang tidak disebabkan oleh proses pertumbuhan tetapi karena adanya situasi atau kegiatan belajar, sehingga prestasi akademik dapat dipandang sebagai bukti usaha yang diperoleh mahasiswa. Hasil penelitian Abimsara (2000) menunjukkan terdapat hubungan yang positif antara kecerdasan emosional dan prestasi akademik. Hal ini juga ditunjang oleh hasil penelitian Low dan Nelson (2004) yang mengatakan tingkat kecerdasan emosional menjadi faktor kunci dalam pencapaian prestasi akademik seseorang.

Perumusan Masalah

Saat ini tuntutan globalisasi semakin mendesak bangsa Indonesia untuk meningkatkan Sumber Daya Manusia (SDM) terutama di bidang pendidikan baik laki-laki maupun perempuan. HDI (Human Development Index) adalah pengukuran perbandingan dari harapan hidup, melek huruf, pendidikan, dan standar hidup untuk semua negara di seluruh dunia. HDI digunakan untuk mengklasifikasikan apakah sebuah negara termasuk negara maju, negara berkembang, atau negara terbelakang. HDI Indonesia pada tahun 2011 menempati peringkat 124 dari 187 negara yang menggambarkan bahwa pembangunan manusia di Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara asia tenggara lainnya, seperti Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Filipina (Maulia, 2011).

Pola pembangunan SDM di Indonesia selama ini terlalu mengedepankan IQ (kecerdasan intelektual) dalam hal ini prestasi akademik dan materialisme tetapi mengabaikan EQ (kecerdasan emosional). Pada umumnya masyarakat Indonesia memang memandang IQ paling utama dan menganggap EQ hanya sebagai pelengkap. Fenomena ini sering tergambar dalam pola asuh dan arahan pendidikan yang diberikan orang tua dan juga instansi pendidikan. Hal tersebut menjadikan banyak remaja yang memiliki prestasi akademik baik tetapi tidak stabil secara emosi dan berperilaku menyimpang.

Ketidakseimbangan antara EQ dan IQ bisa menimbulkan beberapa masalah seperti kenakalan pelajar. Kenakalan pelajar adalah perilaku menyimpang dari aturan dan norma yang berlaku secara umum dimana kenakalan itu bisa berupa pelanggaran lalu lintas, narkoba, seks bebas, mencuri atau merampas barang milik orang lain, dan sebagainya. Data populasi kenakalan remaja di Indonesia pada tahun 2004 berkisar 193.115 anak dan

(25)

terdapat pelaporan kenakalan remaja setiap 28,17 menit di daerah Jabodetabek (Kusuma 2006).

Remaja sebagai generasi penerus memang dihadapkan pada tuntutan intelektual, selalu berperilaku baik, dan tuntutan untuk memenuhi harapan dari lingkungan sekitarnya. Disinilah pentingnya para remaja mengembangkan kecerdasan emosional secara baik dan tidak hanya mementingkan prestasi akademiknya agar remaja bisa sukses dalam hidupnya baik dalam pekerjaan maupun keluarga.

Berdasarkan permasalahan diatas, terdapat pertanyaan yang ingin ditemukan jawabannya melalui penelitian ini yaitu:

1. Bagaimana karakteristik mahasiswa dan keluarganya? 2. Bagaimana gaya pelatih emosi yang diterapkan orang tua?

3. Bagaimana kecerdasan emosional mahasiswa Institut Pertanian Bogor? 4. Bagaimana prestasi akademik mahasiswa Institut Pertanian Bogor?

(26)

5

Tujuan Penelitian Tujuan Umum

Tujuan Umum dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gaya pelatih emosi ayah ibu hubungannya dengan kecerdasan emosional dan prestasi akademik mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor

Tujuan Khusus

1. Mengidentifikasi gaya pelatih emosi yang diterapkan ayah ibu menurut persepsi contoh

2. Mengukur tingkat kecerdasan emosional contoh (kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial)

3. Mengukur prestasi akademik contoh

4. Menganalisis hubungan gaya pelatih emosi, kecerdasan emosional, dan prestasi akademik

Manfaat Penelitian

1. Bagi peneliti, penelitian ini bermanfaat sebagai sarana berlatih untuk memelajari fenomena yang terjadi di masyarakat sehingga diharapkan dapat mengaplikasikan ilmu yang telah didapat dibangku kuliah agar bermanfaat bagi orang banyak.

2. Bagi para orang tua, penelitian ini diharapkan bermanfaat sebagai suatu kajian mengenai gaya pengasuhan pelatih emosi dan kecerdasan emosional serta hubungannya dengan prestasi akademik remaja.

3. Bagi remaja, sebagai sumber informasi tentang kecerdasan emosional dan prestasi akademik yang dimilikinya untuk dapat digunakan dalam membantu meningkatkan kualitas dirinya.

4. Bagi institusi pendidikan, penelitian ini dapat dijadikan referensi untuk meningkatkan kualitas yang berkaitan dengan kecerdasan emosional dan prestasi akademik mahasiswa.

5. Bagi masyarakat, penelitian ini dapat dijadikan sumber informasi yang berkaitan dengan hubungan gaya pelatih emosi dan kecerdasan emosional dengan prestasi akademik remaja sehingga masyarakat diharapkan memiliki pemahaman yang lebih baik mengenai hal ini.

(27)
(28)

7

TINJAUAN PUSTAKA

Prestasi Akademik

Prestasi akademik adalah istilah untuk menunjukkan suatu pencapaian tingkat keberhasilan tentang suatu tujuan, akibat proses belajar yang telah dilakukan oleh seseorang secara optimal (Setiawan 2006). Sobur (2006) menjelaskan prestasi akademik merupakan perubahan dalam hal kecakapan tingkah laku, ataupun kemampuan yang dapat bertambah selama beberapa waktu dan tidak disebabakan oleh proses pertumbuhan, tetapi karena adanya situasi belajar. Perwujudan bentuk hasil proses belajar tersebut dapat berupa pemecahan lisan maupun tulisan, dan keterampilan serta pemecahan masalah langsung dapat diukur atau dinilai dengan menggunakan tes yang standar. Nilai-nilai tersebut akan menunjukkan apakah prestasi akademik seseorang termasuk kategori tinggi atau rendah.

Ciri individu yang memiliki keinginan berprestasi tinggi menurut Sobur (2006) antara lain: a) memiliki tanggung jawab pribadi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan; b) adanya kebutuhan untuk mendapatkan umpan balik atas pekerjaan yang dilakukan sehingga dapat diketahui dengan cepat hasil yang diperoleh dari kegiatannya, lebih baik atau lebih buruk; c) menghindari tugas-tugas yang sulit atau terlalu mudah, akan tetapi memilih tugas-tugas yang tingkat kesulitannya sedang; d) inovatif, yaitu dalam melakukan suatu pekerjaan dilakukan dengan cara yang berbeda, efisien, dan lebih baik dari cara sebelumnya. Hal ini dilakukan agar individu mendapat cara yang lebih baik dan menguntungkan dalam mencapai tujuan; e) tidak menyukai keberhasilan yang bersifat kebetulan atau karena tindakan orang lain, dan ingin merasakan kesuksesan yang disebabkan oleh tindakan individu itu sendiri.

Faktor yang memengaruhi prestasi akademik Rola (2006) diacu dalam Sahputra (2009): a) keluarga dan kebudayaan: besarnya kebebasan yang diberikan orang tua kepada anaknya, jenis pekerjaan orang tua, jumlah serta urutan anak dalam keluarga memiliki pengaruh yang sangat besar dalam perkembangan prestasi. Produk-produk kebudayaan pada suatu daerah seperti cerita rakyat yang sering mengandung tema prestasi bisa meningkatkan semangat; b) jenis kelamin: prestasi akademik yang tinggi biasanya diidentikkan dengan maskulinitas, sehingga banyak wanita yang belajar tidak maksiamal khususnya jika wanita tersebut berada diantara pria. Pada wanita terdapat

(29)

kecenderungan takut akan kesuksesan yang artinya pada wanita terdapat kekhawatiran bahwa dirinya akan ditolak oleh masyarakat apabila dirinya memperoleh kesuksesan, namun sampai saat ini konsep tersebut masih diperdebatkan; c) peranan konsep diri: konsep diri merupakan bagaimana individu berpikir tentang dirinya sendiri. Apabila individu percaya bahwa dirinya mampu untuk melakukan sesuatu maka individu akan termotivasi untuk melakukan hal tersebut sehingga berpengaruh dalam tingkah lakunya; d) pengakuan dan prestasi: individu akan bekerja keras jika dirinya merasa dipedulikan oleh orang lain. Dimana prestasi sangat dipengaruhi oleh peran orang tua, keluarga, dan dukungan lingkungan tempat dimana individu berada. Individu yang diberi dorongan untuk berprestasi akan lebih realistis dalam mencapai tujuannya.

Selain keempat faktor diatas, motivasi hasil belajar juga memengaruhi prestasi akademik. Jika motivasi individu untuk berhasil lebih kuat daripada motivasi untuk tidak gagal, maka individu akan segera merinci kesulitan-kesulitan yang akan dihadapinya. Sebaliknya, jika motivasi individu untuk tidak gagal lebih kuat maka individu akan mencari soal yang lebih mudah (Soemanto, 2006). Menurut hasil penelitian Schickedanz (1995), anak yang orang tuanya tidak melakukan pengasuhan dengan baik dan bersikap pasif memiliki prestasi akademik yang kurang baik.

Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional atau emotional intelligence merupakan suatu kemampuan mengenali perasaan diri sendiri dan orang lain, kemampuan memotivasi diri sendiri, dan kemampuan mengelola emosi dengan baik pada diri sendiri dan dalam hubungan dengan orang lain. Kecerdasan emosional sebagai kemampuan memantau dan mengendalikan perasaan diri sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan-perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan (Goleman 1999).

Kecerdasan emosional mencakup pengendalian diri, semangat, dan ketekunan, serta kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, kesanggupan untuk mengendalikan dorongan hati dan emosi, tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir untuk membaca perasaan terdalam orang lain (empati) dan berdoa, untuk memelihara hubungan

(30)

9

dengan sebaik-baiknya, kemampuan untuk menyelesaikan konflik, serta untuk memimpin diri dan lingkungan sekitarnya (Fitri 2008).

Daengsari (2009) menjelaskan bahwa pada dasarnya, perkembangan emosi dipengaruhi perkembangan beberapa aspek seperti fisik-motorik, kognitif, maupun sosial. Sifat bawaan atau tempramen anak, pola asuh, dan lingkungan sosial tempat anak dibesarkan juga berpengaruh terhadap perkembangan emosinya.

Emosi ternyata banyak memengaruhi fungsi-fungsi psikis seperti pengamatan, tanggapan, pemikiran, dan kehendak. Seseorang akan mampu melakukan pengamatan atau pemikiran dengan baik jika disertai dengan emosi yang baik pula. Seseorang juga akan memberikan tanggapan yang positif terhadap suatu objek manakala disertai dengan emosi yang positif juga. Sebaliknya, seseorang akan melakukan pengamatan atau tanggapan negatif terhadap suatu objek, jika disertai dengan emosi negatif terhadap objek tersebut (Ali & Asrori 2009).

Model six seconds yang dijelaskan oleh Hastuti (2008) menyebutkan bahwa ada sebelas indikator yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kecerdasan emosional seorang anak yaitu: (1) memiliki kemampuan mengekspresikan emosi dan memahami emosi orang lain; (2) kemampuan mengelola emosi; (3) kemampuan memberikan empati pada orang lain; (4) bersikap mandiri; (5) mudah beradaptasi dengan beragam situasi dan kondisi; (6) disukai lingkungannya; (7) memiliki orientasi untuk mencari solusi; (8) mudah berteman dan berbagi; (9) bersikap gigih; (10) bersikap penolong dan; (11) menghormati orang lain.

Lima dasar kecakapan emosi dan sosial (Goleman 1999): 1) kesadaran diri: mengetahui apa yang dirasakan pada suatu saat dan menggunakannya untuk memandu pengambilan keputusan diri sendiri; memiliki tolak ukur yang realistis atas kemampuan diri dan kepercayaan diri yang kuat; 2) pengaturan diri: menanganani emosi diri sedemikian rupa sehingga berdampak positif pada pelaksaan tugas; peka terhadap kata hati dan sanggup menunda kenikmatan sebelum tercapainya suatu sasaran; mampu pulih kembali dari tekanan emosi; 3) motivasi: menggunakan hasrat yang paling dalam untuk menggerakkan dan menuntun diri menuju sasaran, membantu diri mengambil inisiatif dan bertindak sangat efektif untuk bertahan menghadapi kegagalan dan frustasi; 4) empati: merasakan yang dirasakan orang lain, mampu memahami perspektif orang lain,

(31)

menumbuhkan hubungan saling percaya, dan menyelaraskan diri dengan bermacam-macam orang; 5) keterampilan sosial: menangani emosi dengan baik ketika berhubungan dengan orang lain dan dengan cermat membaca situasi dan jaringan sosial; berinteraksi dengan lancar; menggunakan keterampilan-keterampilan ini untuk memengaruhi, memimpin, bermusyawarah, menyelesaikan perselisihan, dan untuk menjaga kerja sama dan bekerja dalam tim.

Menurut Goleman (2007) IQ hanya menyumbang kira-kira dua puluh persen bagi faktor-faktor yang mendukung kesuksesan dalam hidup seseorang sedangkan sisanya yaitu delapan puluh persen diperoleh dari EQ. Goleman juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional seseorang dapat dilihat dari kemampuan dalam memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati dan tidak melebih-lebihkan kesenangan, mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stress tidak melumpuhkan kemampuan berpikir, berempati, dan berdoa.

Gaya Pelatih Emosi

Pada sebuah keluarga, interaksi antara orang tua dengan anaknya melibatkan pola tingkah laku tertentu dari orang tua. Pola interaksi antara orang tua dengan anak dalam sebuah keluarga untuk mengajar, membimbing dan mendidik dengan suatu tujuan tertentu dinamakan gaya pengasuhan (parenting

style). Gaya pengasuhan merupakan cara yang khas dalam menyatakan pikiran

dan perasaan dalam berinteraksi antara orang tua dengan anaknya.

Penelitian tentang gaya pengasuhan orang tua telah dilakukan sejak tahun 1930-an. Salah seorang peneliti yang teorinya banyak digunakan hingga sekarang adalah teori pola asuh emosi dari John Gottman. John Gottman (2007) dalam Dini (2010) mengidentifikasi empat gaya pengasuhan, yaitu: dismissing

style, disapproving style, laissez faire style, dan emotional coaching. Keempat

gaya pengasuhan tersebut memiliki ciri khasnya sendiri dan masing-masing memberikan efek yang berbeda terhadap tingkah laku dan kecerdasan emosional anak.

Dismissing style (pengabai)

Orang tua tidak memiliki kesadaran dan kemampuan untuk mengatasi emosi anak, takut lepas kendali, tidak tahu teknik untuk mengatasi emosi negatif anak, dan percaya bahwa emosi negatif sebagai cerminan buruknya ketrampilan pengasuhan. Menurut Gottman & De Claire (1997) tipe orang tua pengabai

(32)

11

emosi tidak mendukung perkembangan kecerdasan emosional anak. Orang tua merasa tidak nyaman jika anak merasa sedih atau marah. Mereka sangat yakin bahwa emosi negatif merupakan sesuatu yang berbahaya atau tidak penting, dan sebaiknya dihindari.

Ciri dismissing style (Gottman & De Claire 1997) adalah: a) orang tua memperlakukan perasaan anak sebagai hal yang tidak penting; b) orang tua melepaskan diri atau mengabaikan perasaan-perasaan anak; c) orang tua menginginkan agar emosi-emosi negatif anak hilang dengan cepat; d) orang tua menggunakan pengalih perhatian untuk menutup emosi anak; e) orang tua memperlihatkan sedikit minat pada apa yang ingin disampaikan oleh anak; f) orang tua barangkali tidak mempunyai kesadaran akan emosi-emosinya sendiri dan orang lain; g) orang tua merasa tidak nyaman, penuh rasa takut, cemas, terganggu, sakit hati, atau kewalahan dengan emosi-emosi anak; h) orang tua takut lepas kendali secara emosional; i) orang tua memusatkan perhatian lebih pada bagaimana mengatasi emosi dan bukan pada makna emosi itu sendiri; j) orang tua berpendapat bahwa emosi-emosi itu merugikan atau beracun; k) orang tua berpendapat bahwa jika memusatkan perhatian pada emosi negatif maka hanya akan memperburuk keadaan; l) orang tua tidak mengetahui dengan pasti bagaimana atau apa yang harus dilakukan untuk menghadapi emosi anak; m) orang tua percaya bahwa emosi negatif berarti bahwa seorang anak tidak dapat menyesuaikan diri dengan baik; n) orang tua berpendapat emosi negatif anak secara buruk mencerminkan orang tua mereka; o) orang tua menganggap kecil perasaan-perasaan anak dan meremehkan peristiwa yang menimbulkan emosi tersebut; p) orang tua tidak menyelesaikan masalah bersama dengan anak melainkan membiarkannya karena seiring berjalannya waktu maka sebagian besar masalah akan selesai dengan sendirinya

.

Disapproving style (tidak menyetujui)

Gaya pengasuhan ini mirip dengan dismissing style dan biasanya dilakukan dengan cara yang lebih negatif, dimana orang tua tidak hanya mengabaikan, menyangkal, atau meremehkan emosi negatif anaknya tapi juga tidak menyetujui perbuatan anak. Sikap penolakan dari orang tua menjelaskan bahwa emosi merupakan sesuatu yang tidak dapat diterima sehingga mereka mencoba untuk memahami emosi anak dengan mendisiplinkan atau menghukum anak terkait dengan apa yang mereka rasakan.

(33)

Contoh disapproving style (Hastuti, 2008): a) orang tua menganggap kesedihan anak sebagai upaya agar orang tua merasa kasihan padanya; b) orang tua menghukum dan mengucilkan jika anak marah; c) orang tua mencemaskan anak dan menganggapnya memiliki kepribadian negatif jika anak merasa sedih; d) orang tua menganggap bahwa emosi negatif itu harus dibatasi waktunya dan harus dikendalikan sehingga tidak baik jika anak mengungkapkan kemarahan; e) orang tua memukul anak atau menilainya sebagai anak yang tidak hormat kepada orang tua jika anak marah; f) orang tua memiliki anggapan bahwa saat anak marah, maka hal itu dilakukan anak sebagai upaya untuk mendapatkan keinginannya; g) orang tua menganggap anak keras kepala ketika anak mengungkapkan kesedihan; h) orang tua berpendapat bahwa emosi negatif itu membuat orang lemah.

Laissez faire style

Menurut Gottman (2007) dalam Dini (2010) gaya laissez-faire merupakan suatu kebebasan bagi seorang anak dalam mengekspresikan apa yang mereka rasa, baik kebahagiaan, kemarahan, atau kesedihan. Akan tetapi laissez-faire tidak memberikan batasan terhadap kebebasan tersebut dan hanya ada sedikit bimbingan. Orang tua dengan gaya pengasuhan seperti ini sebenarnya menerima ungkapan atau ekspresi emosi anak, namun gagal dalam memberitahukan kepada anak bagaimana mengatasi perasaan yang mereka rasakan. Menurut Gottman & De Claire (1997), ciri orang tua yang menerapkan

laissez faire style adalah: a) orang tua mendengarkan saat anak bersedih namun

tidak dapat melakukan apapun selain menghibur anak; b) orang tua tidak mampu mengajarkan cara mengenal emosi; c) orang tua tidak dapat memberikan arahan tentang tingkah laku tertentu; d) orang tua tidak menentukan batasan sehingga terlalu mudah memberikan izin; e) orang tua tidak memiliki kesadaran dan pengetahuan tentang bagaimana anak mereka dapat belajar dari pengalaman emosional.

Ciri diatas menunjukkan orang tua dengan gaya pengasuhan laissez faire

style memiliki kedudukan yang hampir sama dengan orang tua dengan gaya

pengasuhan disapproving style dan dismissing style. Oleh sebab itu, anak dari orang tua laissez faire tidak mampu belajar mengatur emosi, seringkali anak tidak memiliki kemampuan untuk menenangkan diri sendiri saat mereka marah, sedih, dan gelisah.

(34)

13

Emotional coaching

Menurut Gottman dan DeClaire (1997) emotional coaching merupakan suatu proses dimana orang tua dengan aktif mendengarkan ungkapan perasaan anaknya, menerima perasaan anaknya serta memberikan bimbingan, batasan perilaku, dan membantu anak menyelesaikan permasalahannya agar anak dapat belajar bagaimana mengendalikan perasaan atau emosi yang dirasakannya dengan cara yang benar. Hal paling mendasar dalam emotion coaching yang perlu dimiliki oleh orang tua adalah perasaan empati yaitu kemampuan orang tua untuk menempatkan diri mereka dalam kedudukan anak mereka dan memberi tanggapan sesuai dengan situasi tersebut.

Emotion coaching adalah suatu proses dimana orang tua mendengarkan dan

menerima ungkapan perasaan anaknya, memberikan bimbingan serta mengajarkan kepada anaknya bagaimana mengendalikan perasaannya dengan cara yang sesuai. Emotion coaching dapat diberikan oleh orang tua untuk membantu mengembangkan kecerdasan emosional anak. Orang tua dapat melatih emosi anaknya dengan menenangkan perasaan anak, mendengarkan, memahami pemikiran, dan perasaan yang dirasakan anak serta membantu anak untuk memahami dirinya sendiri.

Remaja

Kata adolescence atau remaja berasal dari bahasa latin adolescere (kata bendanya, adolescentia yang berarti remaja) yang berarti “tumbuh” atau “tumbuh menjadi dewasa” (Hurlock 1980). Orang-orang barat menyebut remaja dengan istilah “puber” sedangkan orang Amerika menyebutnya “adolesensi” dan keduanya merupakan transisi dari masa anak-anak menjadi dewasa (Zulkifli 1995). Menurut (Zulkifli 1995), anak-anak yang berusia dua belas atau tiga belas tahun sampai dengan sembilan belas tahun berada dalam masa pertumbuhan remaja sehingga tidak mau lagi diperlakukan sebagai anak-anak, tetapi dilihat dari pertumbuhan fisiknya anak-anak tersebut juga belum dapat dikatakan orang dewasa. Sedangkan Monks (2001) menjelaskan bahwa remaja adalah individu yang berusia antara 12-21 tahun yang sedang mengalami masa peralihan dari masa anak-anak ke masa dewasa, dengan pembagian 12-15 tahun masa remaja awal, 15-18 tahun masa remaja pertengahan, dan 18-21 tahun masa remaja akhir.

Piaget (1969) diacu dalam Hurlock (1980) menjelaskan bahwa masa remaja adalah usia dimana individu berintegrasi dengan masyarakat dewasa

(35)

atau usia dimana anak tidak lagi merasa dibawah tingkat orang-orang yang lebih tua melainkan berada dalam tingkatan yang sama, sekurang-kurangnya dalam masalah hak. Steinberg (1993) menyatakan bahwa remaja perempuan lebih mudah terkena pengaruh orang lain atau figur otoritas, apabila dibandingkan dengan remaja laki-laki.

Ciri-ciri masa remaja menurut Zulkifli (1995) antara lain: a) pertumbuhan fisik terjadi dengan cepat bahkan lebih cepat dibandingkan dengan masa anak-anak; b) perkembangan seksual. Tanda-tanda perkembangan seksual pada anak laki-laki diantaranya alat produksi sperma mulai beroperasi, mengalami mimpi pertama yang tanpa sadar mengeluarkan sperma (biasanya terjadi ketika berusia tiga belas tahun yang merupakan awal dari masa pubertas dan masa itu akan berakhir pada sekitar usia 21 tahun), sedangkan pada anak perempuan antara lain mendapatkan menstruasi (datang bulan) yang pertama sehingga rahim sudah bisa dibuahi (biasanya terjadi ketika usia dua belas tahun yang merupakan awal masa pubertas dan masa itu akan berakhir pada sekitar usia sembilan belas tahun); c) cara berpikir kausalitas yang menyangkut hubungan sebab dan akibat. Remaja sudah mulai berpikir kritis sehingga ia akan melawan bila orang tua, guru, dan lingkungan masih menganggapnya sebagai anak kecil; d) emosi yang meluap-luap atau keadaan emosi yang masih labil sangat erat kaitannya dengan keseimbangan hormon. Emosi remaja lebih kuat dan lebih menguasai diri mereka daripada pikiran yang realistis; e) mulai tertarik kepada lawan jenis dan mulai berpacaran. Secara biologis anak perempuan lebih cepat matang daripada anak laki-laki; f) menarik perhatian lingkungan dengan berusaha mendapatkan status dan peranan seperti kegiatan remaja di kampung-kampung yang diberi peranan; g) terkait dengan kelompok sehingga tidak jarang orang tua dinomorduakan sedangkan kelompoknya dinomorsatukan.

Tugas-tugas perkembangan bagi seorang remaja menurut (Havighurst 1972, diacu dalam Hurlock 1980) antara lain:

1. Mancapai hubungan baru dan yang lebih matang dengan teman sebaya baik pria maupun wanita.

2. Mencapai peran sosial sebagai pria maupun wanita.

3. Menerima keadaan fisiknya dan menggunakan tubuhnya secara efektif.

(36)

15

5. Mencapai kemandirian emosional dari orang tua dan orang-orang dewasa lainnya.

6. Mempersiapkan karir ekonomi.

7. Mempersiapkan perkawinan dan keluarga.

8. Memperoleh perangkat nilai dan sistem etis sebagai pegangan untuk berperilaku dan mengembangkan ideologi.

(37)
(38)

17

KERANGKA PEMIKIRAN

Perkembangan kecerdasan emosional dipengaruhi oleh beberapa aspek seperti fisik-motorik, kognitif, dan sosial. Selain itu sifat bawaan dan tempramen anak, pola asuh, dan lingkungan sosial tempat anak dibesarkan juga berpengaruh terhadap perkembangan emosi. Sifat bawaan atau tempramen anak dapat dilihat dari karakteristik anak yang terdiri dari usia, jenis kelamin, dan urutan kelahiran dalam keluarga. Lingkungan sosial juga dapat dilihat dari karakteristik keluarga mahasiswa yaitu usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga. Kecerdasan emosional mempunyai lima dimensi, yaitu kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, keterampilan sosial.

Orang tua dapat membantu mengembangkan kecerdasan emosional anak dengan memberikan gaya pelatih emosi pada anak. Kecerdasan emosional memiliki lima dimensi, yaitu: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial. Gaya pelatih emosi ada empat jenis, yaitu dismissing

style, disapproving style, laissez faire style, dan emotional coaching. Orang tua

yang secara baik memraktekkan emotional coaching akan memiliki anak yang memperoleh nilai yang lebih tinggi secara akademik bila dibandingkan dengan anak yang orang tuanya tidak secara baik memberikan emotional coaching (Gottman & DeClaire, 1997), hasil penelitian lain menujukkan kecerdasan emosional bisa dijadikan prediktor kuat dari keberhasilan akademik dan terdapat hubungan yang positif antara keduanya (Abisamra, 2000).

Secara umum penelitian ini dilakukan untuk melihat gaya pelatih emosi ayah ibu hubungannya dengan kecerdasan emosional dan prestasi akademik mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor. Kerangka pemikiran dapat dilihat lebih jelas pada Gambar 1.

(39)

Gaya pelatih emosi:  Dismissing style Disapproving style Laissez faire style Emotional coaching

Prestasi akademik

Gambar 1: Gaya Pelatih Emosi Ayah Ibu Hubungannya dengan Kecerdasan Emosional dan Prestasi Akademik Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Kecerdasan emosional:  Kesadaran diri  Pengaturan diri  Motivasi  Empati  Keterampilan sosial Karakteristik keluarga:  Usia orang tua  Pendidikan orang tua  Pekerjaan orang tua  Pendapatan keluarga  Besar keluarga Karakteristik anak:  Usia anak  Urutan kelahiran  Jenis kelamin

(40)

19

METODE PENELITIAN

Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian

Penelitian ini menggunakan desain Cross Sectional Study yaitu penelitian yang dilakukan pada satu waktu. Lokasi penelitian di kampus Institut Pertanian Bogor (IPB), Dramaga, Kabupaten Bogor, Provinsi Jawa Barat. Pemilihan lokasi ditentukan secara purposive dengan pertimbangan lokasi penelitian adalah salah satu universitas terkemuka di Indonesia. Pemilihan fakultas yaitu Fakultas Ekologi Manusia (FEMA) juga dilakukan secara purposive dengan pertimbangan FEMA merupakan fakultas paling baru yang dibentuk IPB dan dalam masa perkembangan serta peningkatan akreditasi. Waktu pengambilan data dilaksanakan pada bulan Juli – Agustus 2012.

Jumlah dan Cara Pemilihan Responden

Populasi dalam penelitian ini adalah mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia angkatan 47 (angkatan 2010, yang saat ini menjalani semester lima) sehingga dirasa cukup memiliki pengalaman tentang kehidupan dan kegiatan akademik di kampus. Penarikan contoh dilakukan secara proporsional random

sampling. Jumlah contoh yang diambil sebanyak 77 mahasiswa menggunakan

rumus Slovin (1960): ( ) Keterangan: N= populasi n= sampel d2= 0,1 Purposive

Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh

Purpossive

Pemilihan universitas

Mahasiswa FEMA angkatan 47 (N=331)

Gizi Masyarakat (n=129) Ilmu Keluarga dan Konsumen (n=62) Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (n=140) n= 9 n= 21 n= 1 n= 13 n= 7 n= 25 Laki-laki (n=38) Perempuan (n=91) Laki-laki (n=4) Perempuan (n=58) Laki-laki (n=30) Perempuan (n=110)

(41)

Jenis dan Cara Pengumpulan Data

Jenis data yang dikumpulkan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari contoh yang mencakup kecerdasan emosional, gaya pelatih emosi, prestasi akademik, karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, dan urutan kelahiran), dan karakteristik keluarga (usia orang tua, pekerjaan orang tua, pendidikan orang tua, pendapatan keluarga, dan besar keluarga) dengan alat bantu kuesioner. Data sekunder adalah data yang diperoleh dan/atau diolah oleh pihak lain, seperti daftar nama mahasiswa fakultas ekologi manusia angkatan 47. Tabel 1 menunjukkan jenis dan cara pengumpulan data.

Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data

No Variabel dan Dimensi Jenis Data Cara Pengambilan Data Sumber I. Karakteristik keluarga 1 2 3 4 5 6 7 8 Usia ayah Usia ibu Pendidikan ayah Pendidikan ibu Pekerjaan ayah Pekerjaan ibu Pendapatan keluarga Besar keluarga Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer Primer

II. Karakteristik contoh

9 Jenis kelamin Primer

10 Usia Primer

11 Urutan kelahiran Primer

III. Kecerdasan emosional

12 Kesadaran diri Primer 13 Pengaturan diri Primer

14 Motivasi Primer Wawancara Nadhirin (2009) 15 Empati Primer dengan

kuesioner 16 Keterampilan sosial Primer

IV. Gaya pelatih emosi

17 Disapproving style Primer 18 Dismissing style Primer 19 Laissez faire Primer 20 Emotional coaching Primer

V. Prestasi akademik

21 Indeks prestasi akademik (IPK) Primer

VI Daftar nama mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia angkatan 47

Sekunder Komisi pendidikan departemen

(42)

21

Pengolahan dan Analisis Data

Instrumen penelitian yang telah disusun, kemudian diuji realibilitas dan validitasnya. Uji realibilitas merupakan konsistensi dan stabilitas nilai hasil pengukuran tertentu disetiap kali pengukuran dilakukan pada hal yang sama. Validitas merupakan suatu skala pengukuran yang dapat mengukur apa yang seharusnya diukur dan inferensi yang dihasilkan mendekati kebenaran (Sarwono 2012). Nilai Cronbach alpha dari kecerdasan emosional sebesar 0,776 dari 50 item pernyataan dan gaya pelatih emosi sebesar 0,942 dari 40 item pernyataan. Data yang diperoleh diolah melalui proses editing, coding, scoring, entry,

cleaning, dan analyzing. Tabel 2 menunjukkan pengkategorian variabel

penelitian.

Tabel 2 Pengkategorian variabel penelitian

Variabel Skala Data Kategori

1. Karakteristik keluarga

Usia ayah (tahun) Ordinal [1] Dewasa muda (18-40 tahun) Usia ibu (tahun) Ordinal [2] Dewasa madya (41-60 tahun) [3] Dewasa tua ( > 60 tahun) Besar keluarga (orang) Ordinal [1] Keluarga kecil (≤ 4 orang)

[2] Keluarga sedang (5-7 orang) [3] Keluarga besar (≥ 8 orang) Pendidikan ayah Ordinal [1] Tamat SD/sederajat

[2] Tamat SMP/sederajat Pendidikan ibu Ordinal [3] Tamat SMA/sederajat

[4] Tamat D1/sederajat [5] Tamat D3/sederajat [6] Tamat S1

[7] Tamat S2 [8] Tamat S3

Pekerjaan ayah Nominal [1] Karyawan swasta [2] Wiraswasta

[3] Pegawai Negeri Sipil [4] Pensiun

[5] Petani

Pekerjaan ibu Nominal [1] Ibu rumah tangga

[2] Karyawan swasta

[3] Wiraswasta

[4] Pegawai Negeri Sipil [5] Pensiun

[6] Petani

Pendapatan keluarga (rupiah) Interval [1] < Rp 1.000.000 [2] 1.000.000-3.000.000 [3] 3.000.001-6.000.000 [4] 6.000.001-9.000.000 [5] > 9.000.000

2. Karakteristik contoh Usia contoh (tahun)

Jenis kelamin Rasio Nominal [1] 18 tahun [2] 19 tahun [3] 20 tahun [4] 21 tahun [1] laki-laki

(43)

Urutan kelahiran Nominal

[2] perempuan [1] sulung [2] tengah [3] bungsu

3. Kecerdasan emosional (skor) Ordinal [1] Rendah (50-100) [2] Sedang (101-150) [3] Tinggi (151-200) 4. Gaya pelatih emosi Ordinal [1] Disaproving

[2] Dismissing [3] Laissez faire [4] Emotional coaching 5. Prestasi akademik (IPK) Ordinal [1] < 2.00

[2] 2.00-2.75 [3] > 2.75

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan program Microsoft

Excel dan SPSS. Data pengukuran dianalisis menggunakan analisis secara

deskriptif dan inferensia. Analisis deskriptif digunakan untuk melihat sebaran karakteristik keluarga (usia orang tua, pendidikan orang tua, pekerjaan orang tua, besar keluarga, pendapatan keluarga), karakteristik contoh (usia, jenis kelamin, urutan kelahiran), kecerdasan emosional, gaya peltih emosi, dan prestasi akademik.

Uji korelasi yang digunakan pada penelitian ini adalah Uji Korelasi

Pearson. Uji korelasi digunakan untuk melihat hubungan antara kecerdasan

emosional, gaya pelatih emosi, dan prestasi akademik. Selain itu juga digunakan uji beda pada gaya pelatih emosi ayah dan gaya pelatih emosi ibu. Variabel kecerdasan emosional menggunakan analisis deskriptif, selanjutnya menggunakan interval kelas menggunakan rumus:

Keterangan : = Interval

Setelah itu, kecerdasan emosional dikategorikan menjadi tiga yaitu, rendah, sedang, dan tinggi. Sedangkan untuk gaya pelatih emosi dikategorikan menjadi empat yaitu, disapproval style, dismissing style, laissez faire, dan

emotional coaching berdasarkan gaya pelatih yang paling sering diterapkan oleh

orang tua.

Gaya pelatih emosi

Kuesioner gaya pelatih emosi dalam penelitian ini terdiri dari 40 pernyataan dengan empat pilihan respon yang masing-masing respon

(44)

23

menunjukkan jenis gaya pelatih emosi, untuk mengetahui kecenderungan jenis gaya pelatih emosi dilakukan skoring yaitu, masing-masing bernilai satu untuk setiap jenis respon. Hasil skoring selanjutnya dijumlahkan sehingga diperoleh jenis gaya pelatih emosi yang mendapatkan skor paling tinggi. Gaya pelatih emosi dengan skor tertinggi itulah yang dijadikan gaya pelatih emosi yang diterapkan orang tua.

Kecerdasan emosional

Kuesioner kecerdasan emosional terdiri dari 50 item pernyataan yang terdiri atas 10 item pernyataan untuk setiap dimensi. Skor jawaban setiap pernyataan yaitu, 4 (sangat setuju), 3 (setuju), 2 (tidak setuju), dan 1(sangat tidak setuju).

Prestasi akademik

Data prestasi akademik adalah nilai indeks prestasi dan indeks prestasi kumulatif dari semester 1 sampai semester 4.

Definisi Operasional

Pendidikan orang tua adalah jenjang pendidikan formal yang pernah ditempuh, mulai dari SD, SMP, SMA, sampai perguruan tinggi.

Pekerjaan adalah jenis kegiatan yang rutin dilakukan sehari-hari untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga yang meliputi pekerjaan utama dan sampingan.

Usia ayah dan ibu adalah usia terakhir ayah dan ibu saat penelitian dilaksanakan dan dinyatakan dalam tahun.

Besar keluarga adalah jumlah anggota keluarga yang masih menjadi tanggungan orang tua, dinyatakan dalam orang.

Pendapatan keluarga adalah sejumlah uang yang diterima dari seluruh anggota keluarga yang bekerja, baik melalui pekerjaan utama maupun sampingan dan diukur dalam rupiah/bulan menurut persepsi contoh. Kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang mengendalikan

perasaan diri sendiri dan orang lain, serta menggunakan perasaan itu untuk memandu pikiran dan tindakan. Lima dimensi kecerdasan emosional yaitu: kesadaran diri, pengaturan diri, motivasi, empati, dan keterampilan sosial.

(45)

Kesadaran diri adalah kemampuan contoh untuk mengetahui perasaan apa yang dirasakan pada satu waktu.

Pengaturan diri adalah cara contoh untuk menangani emosi diri yang dirasakan.

Motivasi adalah hasrat dari dalam diri contoh yang menggerakkan dan menuntun contoh menuju sasaran.

Empati adalah kemampuan contoh untuk merasakan dan memahami perasaaan orang lain.

Keterampilan sosial adalah kemampuan contoh untuk menangani emosi diri ketika berhadapan dengan orang lain.

Gaya pelatih emosi adalah gaya interaksi yang terjadi antara orang tua dengan anak dalam hal pola asuh secara emosi.

Dismissing style adalah gaya pelatih emosi orang tua yang tidak memiliki kesadaran untuk mengatasi emosi anak.

Disapproving style adalah gaya pelatih emosi orang tua yang tidak menyetujui, meremehkan, dan menyangkal emosi anak.

Laissez faire adalah gaya pelatih emosi orang tua yang memberikan kebebasan pada anak untuk mengekspresikan emosi tanpa memberikan batasan.

Emotional coaching adalah gaya pelatih emosi orang tua yang menerima, memberikan bimbingan, dan batasan terhadap emosi yang dirasakan anak.

Prestasi akademik adalah capaian akademik contoh yang diukur melalui indeks prestasi kumulatif hingga semester terakhir yang dituntaskan.

(46)

25

HASIL DAN PEMBAHASAN

Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor (FEMA IPB) merupakan fakultas yang termuda di IPB, dibentuk pada 2 Agustus 2005 berdasarkan Surat Keputusan Rektor No. 112/K13/OT/2005. Pembentukan FEMA IPB sejalan dengan berbagai perubahan yang terjadi di IPB memasuki era otonomi perguruan tinggi (IPB BHMN) yang memiliki kewenangan untuk untuk membentuk program studi, departemen dan fakultas baru. FEMA IPB merupakan fakultas ekologi manusia pertama dan satu-satunya di Indonesia serta satu dari tiga fakultas ekologi manusia yang ada di Asia Tenggara. Dua fakultas lainnya adalah College of Human Ecology, University of Philippines at Los Banos (UPLB) dan Faculty of Human Ecology, Universiti Putra Malaysia (UPM). FEMA beralamat di Jl. Kamper Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680.

FEMA IPB terdiri dari tiga departemen, yaitu Departemen Gizi Masyarakat (GM) yang beralamat di Gedung FEMA, Kampus IPB Dramaga Jl. Lingkar Akademik, Bogor 16680, Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen (IKK) yang beralamat di Gedung GMSK Lantai 2, Kampus IPB Dramaga Jl. Lingkar Akademik, Bogor 16680, dan Departemen Komunikasi dan Pengembangan Masyarakat (KPM) yang beralamat di Gedung FEMA Wing 1 Lantai 5 Jl. Kamper Kampus IPB Dramaga, Bogor 16680. Departemen GM dan IKK adalah pengembangan dari Departemen GMSK Faperta, sedangkan Departemen KPM pengembangan dari Program Studi KPM Departemen Sosek Faperta IPB.

Departemen GM mempunyai kompetensi dalam pengembangkan ilmu gizi (human nutrition) dan aplikasinya di keluarga dan masyarakat (community

nutrition) yang mengaitkan pertanian, pangan, gizi, dan kesehatan dalam upaya

peningkatan kualitas manusia. Departemen IKK bergerak pada pengembangan ilmu dan teknologi di bidang keluarga dan konsumen untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga dengan fokus pada pengembangan kualitas anak serta pemberdayaan keluarga dan konsumen. Departemen KPM memiliki mandat dalam pengembangan ilmu sosiologi, antropologi, psikologi, kependudukan, komunikasi, ekologi manusia, pendidikan penyuluhan, dan pengembangan masyarakat untuk mendorong pemberdayaan masyarakat pertanian, peternakan, kehutanan, perikanan, dan pesisir.

(47)

Fasilitas penunjang kegiatan belajar mahasiswa yang terdapat di fakultas ekologi manusia adalah ruang kelas modern yang dilengkapi dengan perangkat audio visual, perpustakaan, laboratorium komputer, akses internet, ruang baca, laboratorium keluarga dan anak, laboratorium pertumbuhan dan laboratorium konsumen, klinik ilmu gizi, laboratorium analisa ilmu kimia dan ilmu gizi, laboratorium biokimia dan fisiologi, laboratorium percobaan makanan, laboratorium organoleptic, pendidikan ilmu gizi, diet, dan masak-memasak.

Karakteristik Responden Jenis Kelamin

Contoh dalam penelitian ini berjumlah 77 orang yang terdiri dari 17 orang laki-laki dengan persentase 22,1 persen dan 60 orang perempuan dengan persentase 77,9 persen.

Tabel 3 Sebaran contoh berdasarkan jenis kelamin

Jenis Kelamin n %

Laki-laki 17 22,1

Perempuan 60 77,9

Total 77 100,0

Usia

Usia contoh berkisar antara 18-21 tahun. Lebih dari separuh contoh (63,6%) berusia 20 tahun dan hanya 1,3 persen yang berusia 18 tahun dan 21 tahun. Usia 18-21 tahun masuk dalam fase remaja akhir (Monks 2001).

Tabel 4 Sebaran contoh berdasarkan usia

Usia Contoh n % 18 tahun 1 1,3 19 tahun 20 tahun 21 tahun 26 49 1 33,8 63,6 1,3 Total 77 100,0 Urutan Kelahiran

Berdasarkan urutan kelahiran dalam keluarga, tersebar mulai anak pertama hingga anak keenam dengan persentase terbesar (45,5%) sebagai anak pertama. Anak pertama dalam sebuah keluarga digambarkan sebagai anak yang lebih dewasa, penolong, mengalah, dan lebih cemas (Santrock 2003). Hurlock (1978) anak pertama lebih merasa tidak pasti, tidak mudah percaya, lihai, bergantung, bertanggung jawab, berkuasa, iri hati, konservatif, kurang adanya dominasi dan agresifitas, mudah dipengaruhi, mudah merasa senang, sensitive,

(48)

27

murung, introvert, sangat terdorong berprestasi, membutuhkan afiliasi, pemarah, manja, dan mudah terlibat dalam gangguan perilaku.

Tabel 5 Sebaran contoh berdasarkan urutan kelahiran dalam keluarga

Urutan Kelahiran n % Sulung Tengah Bungsu 35 20 22 45,5 26,0 28,6 Total 77 100,00 Karakteristik Keluarga Usia ayah dan ibu

Usia ayah dan ibu dalam penelitian ini mengacu pada Hurlock (1980), usia dewasa dikelompokkan menjadi tiga kategori, yaitu: dewasa muda (18-40 tahun), dewasa madya (41-60 tahun), dan dewasa tua (> 60 tahun). Tabel 6 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga memiliki ayah pada usia dewasa madya (97,4%). Sama dengan usia ayah, sebanyak 93,5 persen keluarga memiliki ibu pada usia dewasa madya. Berdasarkan hal tersebut dapat dikatakan bahwa usia ayah dan ibu berada pada usia produktif.

Tabel 6 Sebaran keluarga berdasarkan usia ayah dan ibu

Usia Ayah Ibu

n % n %

Dewasa muda (18-40 tahun) 0 0,0 5 6,5 Dewasa madya (41-60 tahun) 75 97,4 72 93,5 Dewasa tua (>60 tahun) 2 2,6 0 0,0

Total 77 100,0 77 100,0

Min-max (tahun) 41-62 37-59

Rataan ± std. (tahun) 50,51 ± 4,82 46,90 ± 4,55 Pendidikan Ayah dan Ibu

Pendidikan ayah dan ibu dalam penelitian ini dilihat dari lama pendidikan yang ditempuh pada pendidikan formal. Tabel 7 menunjukkan bahwa sebesar 37,7 persen ayah lulus S1 dan 39,0 persen ibu lulus SMA/sederajat. Jenjang pendidikan tertinggi yang dicapai ibu adalah S2 (3,9%) dan jenjang pendidikan tertinggi yang dicapai ayah adalah S3 (1,3%).

Tabel7 Sebaran keluarga berdasarkan tingkat pendidikan ayah dan ibu

Pendidikan Ayah Ibu

n % n % Tamat SD/sederajat 4 5,2 6 7,8 Tamat SMP/sederajat 2 2,6 5 6,5 Tamat SMA/sederajat 28 36,4 30 39,0 D1 0 0 4 5,2 D3/diploma 8 10,4 6 7,8

(49)

Pendidikan Ayah Ibu n % n % S1/sarjana 29 37,7 23 29,9 S2 5 6,5 3 3,9 S3 1 1,3 0 0 Total 77 100,0 77 100,0 Min-max 1-8 1-7 Rataan ± std. 4,53 ± 1,75 4,04 ± 1,73 Pekerjaan Ayah

Pekerjaan ayah pada penelitian ini cukup beragam. Proporsi terbesar ayah bekerja sebagai wiraswasta (35,1%), persentase terkecil untuk pekerjaan ayah adalah petani dan ada juga ayah yang sudah pensiun (6,5%).

Tabel 8 Sebaran ayah berdasarkan jenis pekerjaan ayah

Jenis Pekerjaan n % Karyawan swasta 21 27,3 Wiraswasta 27 35,1 PNS 19 24,7 Pensiun Petani 5 5 6,5 6,5 Total 77 100,0 Pekerjaan Ibu

Tabel 9 menunjukkan bahwa lebih dari separuh keluarga memiliki ibu yang tidak bekerja atau hanya sebagai ibu rumah tangga. Ibu yang tidak bekerja akan memiliki kuantitas waktu yang cukup melakukan pengasuhan yang baik pada anak. Kuantitas waktu yang digunakan dalam pengasuhan pun akan berhubungan dengan kualitas pengasuhan.

Tabel 9 Sebaran ibu berdasarkan jenis pekerjaan ibu

Jenis Pekerjaan n %

Tidak bekerja/ ibu rumah tangga 46 59,7

Karyawan swasta 8 10,4 Wiraswasta 8 10,4 PNS 13 16,9 Pensiun Petani 1 1 1,3 1,3 Total 77 100,0 Pendapatan Keluarga

Tabel 10 menunjukkan pendapatan keluarga berkisar antara Rp500.000-Rp15.000.000 per bulan. Mayoritas pendapatan keluarga contoh (42,9%) berada pada kisaran Rp1.000.000-Rp3.000.000 per bulan, sedangkan untuk pendapatan keluarga kurang dari Rp 1.000.000 sebesar 3,9 persen.

Gambar

Gambar  1:  Gaya  Pelatih  Emosi  Ayah  Ibu  Hubungannya  dengan  Kecerdasan  Emosional  dan  Prestasi Akademik  Mahasiswa Fakultas Ekologi Manusia Institut Pertanian Bogor Kecerdasan emosional:  Kesadaran diri  Pengaturan diri  Motivasi  Empati  Kete
Gambar 2 Kerangka Penarikan Contoh
Tabel 1 Jenis dan cara pengumpulan data  No  Variabel dan Dimensi  Jenis
Tabel 2 Pengkategorian variabel penelitian
+7

Referensi

Dokumen terkait

Oleh karena itu, berdasarkan persentase yang diperoleh dari hasil verifikasi kesesuaian antara data prakiraan potensi terjadinya thunderstorm dengan kondisi aktual

The research is focused on the development a tool for converting IOTNE into IOTED and apply the tool to obtain EDM in the Indonesian industrial sector based on the 2008

Nominal Value : IDR 22,000,000,000.00 Maturity Date : 28 September 2019 Interest Type : FIXED. Interest Freq : 3 MONTHS

Alih fungsi lahan sawah terus meningkat akibat kebutuhan lahan permukiman yang semakin bertambah. Kondisi tersebut berdampak pada sistem pertanian dan pengairan. Di area

Penerapan Pengembangan SDM PT Surya Artha Nusantara Finance sudah menempatkan manajemen manusia pada level isu strategi yang tinggi dan menerapkan cara analisis,

Manusia memiliki dua belahan otak yakni otak kiri dan otak kanan dan yang baru-baru ini masih hangat di perbincangkan adalah otak tengah otak tengah berfungsi sebagai

Rasio minyak jahe : tepung gadung (1 : 3) dengan suhu 30 o C dan waktu 60 menit adalah kondisi modifikasi terbaik yang diperoleh dari penelitian ini, dimana tepung gadung yang

Nusantara bukanlah bahan ajar biasa artinya, nilai-nilai itu tidak dijadikan pokok bahasan yang dikemukakan seperti halnya ketika mengajarkan suatu konsep, teori,