• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASEAN Financial Inclusion Rabu, 24 September 2014

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "ASEAN Financial Inclusion Rabu, 24 September 2014"

Copied!
13
0
0

Teks penuh

(1)

ASEAN Financial Inclusion

Rabu, 24 September 2014

Para pemimpin negara-negara kawasan Asia Tenggara telah menyerukan disusunnya suatu rencana strategis untuk mempercepat dan mewujudkan visi menggandakan Financial Inclusion di

kawasan ASEAN pada tahun 2020. Sebuah pendekatan regional untuk Financial Inclusion telah diidentifikasi sebagai salah satu faktor penting bagi pembangunan nasional di banyak negara ASEAN.

Selain itu, hal ini juga menjadi strategi penting untuk mendukung tujuan yang lebih luas dari integrasi ekonomi kawasan sebagaimana tercantum dalam cetak biru ASEAN Economic Community (AEC). Financial sector deepening adalah merupakan salah satu tujuan utama dalam AEC

blueprint. Hal ini terutama berpengaruh pada capital and capacity constraint pada sistem keuangan di beberapa negara ASEAN, seperti Kamboja, Laos, Myanmar, dan Viet Nam (CLMV). Akan tetapi,

hal ini tentunya harus dilakukan secara paralel dengan negara-negara ASEAN yang Financial Inclusion-nya telah mapan

melalui pertumbuhan yang inklusif dan pembangunan yang merata.

Secara global, adanya peningkatan jangkauan layanan jasa keuangan dan komitmen terhadap Financial

Inclusion telah berhasil mendorong dan mempercepat tercapai Financial Inclusion. Hal ini kiranya sejalan dengan dimulainya AEC pada tahun 2015. Oleh karenanya, tahun 2014 menjadi

sebuah milestone yang menentukan

dikarenakan tahun ini merupakan akhir dari Millennium

Development Goals (MDGs) dan awal dari inisiatif Post-2015 Development Agenda. Penguatan kerja sama kawasan ASEAN

akan berperan dalam mendefinisikan dan mengimplementasikan kerangka pembangunan

kawasan pasca 2015. Hubungan kerja sama regional, termasuk South-South Cooperation akan menjadi jembatan penghubung antara

tujuan global dan kepentingan nasional.

Diagram

Persentase penduduk usia 15 ke atas (15+)

yang memiliki rekening pada lembaga keuangan formal

Sumber: Global Financial Inclusion Database (2011)

Menurut UN Capital

Development Fund (2014), dalam konteks pencapaian MDGs, kawasan ASEAN secara keseluruhan telah meraih kesuksesan yang cukup diperhitungkan. Akan tetapi, ketimpangan (gap) yang besar

masih terjadi diantara negara-negara dalam kawasan, dan kemiskinan masih

melanda beberapa negara. Kiranya masih terdapat development gap yang signifikan antara negara kaya dan negara miskin di kawasan ASEAN. UN Capital

Development Fund (2014) mencatat adanya perbedaan kondisi perekonomian dan pasar keuangan pada tiap-tiap negara anggota ASEAN. Terutama bila dilihat dari

rendahnya rasio aset keuangan terhadap GDP yang mencerminkan size dan competitiveness sektor keuangan negara tersebut. Secara umum,

kondisi tersebut mencerminkan adanya beragam tantangan yang dihadapi guna meraih visi AEC sebagai kawasan yang highly

(2)

competitive market and production base dalam perekonomian global. UN Capital Development Fund (2014) menekankan urgensi financial regulatory

reform dalam skala besar dalam rangka pembangunan sektor keuangan dan

menciptakan peluang bagi negara-negara CLMV untuk melakukan upaya financial deepening dalam pasar keuangan mereka.

Diagram

Ratio Aset Sektor Keuangan terhadap GDP

Sumber:Â Global Financial Development Database (2013)

Sumber: Global Financial Inclusion Database (2011)

Definisi Financial Inclusion

Sistem keuangan yang baik memiliki tujuan utama yaitu memberikan layanan simpanan (savings),

fasilitas pembayaran (payment), kredit, dan risk management kepada

individu atau perusahaan. Sistem keuangan yang inklusif adalah ketika jumlah individu atau perusahaan yang menggunakan jasa keuangan memiliki proporsi yang relatif sangat tinggi dibandingkan total jumlah individu atau perusahaan. Tanpa sistem keuangan yang inklusif, masyarakat harus mengandalkan jumlah tabungannya yang sangat terbatas untuk melakukan investasi atau memulai usaha baru, serta perusahaan-perusahaan hanya dapat mengandalkan keuntungan dari pendapatan yang mereka peroleh untuk meningkatkan kapasitas produksinya. Kondisi tersebut bisa mendorong terjadinya income inequality dan

melambatnya pertumbuhan ekonomi (World Bank, 2014).

Menurut World Bank (2014), Financial inclusion dan akses terhadap layanan jasa keuangan adalah dua permasalahan yang berbeda. Financial

Inclusion didefinisikan sebagai proporsi individu atau perusahaan yang menggunakan layanan jasa keuangan. Financial

Inclusion memiliki multi-dimensi, merefleksikan beragam macam layanan keuangan, mulai dari fasilitas pembayaran, rekening tabungan, kredit, asuransi, dana pension, dan pasar modal. Financial

Inclusion juga berbeda antara individu dan perusahaan.

Rendahnya penggunaan layanan jasa keuangan bukan berarti

tidak terdapat akses terhadap layanan keuangan. Sebagian masyarakat mungkin saja memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan pada tingkatan harga yang terjangkau, namun memilih untuk tidak menggunakan layanan jasa keuangan tertentu, sementara banyak masyarakat lainnya tidak memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan dikarenakan biaya untuk mendapatkan layanan yang tinggi dan tak terjangkau atau dikarenakan tidak tersedianya layanan jasa keuangan yang dibutuhkan karena adanya keterbatasan regulasi dan aturan hukum,

(3)

ketidakpastian pasar, dan hambatan budaya.

Derajat Financial

Inclusion sebuah wilayah dipengaruhi oleh kebutuhan atau permintaan akan

layanan jasa keuangan dan/atau adanya hambatan bagi individual atau perusahaan untuk mengakses layanan jasa keuangan. Secara global, World Bank (2014) menjelaskan bahwa sekitar 50 persen orang memiliki satu atau lebih rekening bank, dan sisanya tergolong unbanked

atau tidak menggunakan jasa perbankan.

Beck et al (2007) dan Bruhn et al (2009)

berpandangan bahwa pembangunan sektor keuangan telah menjadi bagian penting dalam agenda pembangunan pada tingkat global. Hal ini mencakup pada upaya untuk

melakukan financial deepening yang berpengaruh

kuat terhadap pertumbuhan ekonomi. Terlebih lagi, akhir-akhir ini pembangunan sektor keuangan difokuskan pada Financial

Inclusion guna meningkatkan persentase penduduk yang memiliki akses terhadap layanan jasa keuangan formal dan sebagai alat yang efektif dalam pengentasan kemiskinan.

Diagram

Komponen Financial Inclusion

Sumber: Alliance for Financial Inclusion (2010)

Financial Inclusion merupakan konsep yang multi-faceted dan terdiri atas beberapa komponen, yang semuanya relevan dengan agenda pembangunan di sebuah negara. Bank Indonesia (2014) memandang bahwa untuk mengetahui sejauh mana perkembangan proses Financial Inclusion diperlukan

suatu ukuran kinerja. Alliance for Financial Inclusion (2010) secara umum mendefinisikan kompleksitas Financial

Inclusion ke dalam 4 (empat) komponen, sebagai berikut:

- Access

Komponen ini terutama menekankan pada kemampuan untuk

menggunakan layanan jasa keuangan dan produk-produk yang disediakan oleh lembaga keuangan formal. Untuk memahami tingkatan akses atas jasa keuangan dibutuhkan analisa dan pengetahuan mengenai potensi hambatan-hambatan yang terjadi ketika membuka dan menggunakan rekening bank untuk segala urusan, serta

(4)

biaya dan lokasi pelayanan bank.

Quality

Sebagai ukuran atas kesesuaian jasa atau produk keuangan

terhadap kebutuhan konsumen, komponen kualitas mencakup pengalaman konsumen yang ditunjukkan dalam opini dan sikap tentang produk-produk jasa keuangan yang tersedia bagi mereka. Kualitas akan menjadi alat ukur hubungan antara penyedia jasa keuangan dan konsumen, serta pilihan-pilihan produk keuangan yang tersedia dan tingkat pemahaman konsumen atas implikasi dari produk keuangan pilihannya.

Usage

Tidak hanya menekankan pada penggunaan layanan perbankan, komponen usage lebih memfokuskan pada

aspek permanence and depth dari layanan dan produk sektor keuangan di sebuah negara. Dengan kata lain, komponen usage menjelaskan secara

detail mengenai frekuensi dan durasi penggunaan layanan dari sebuah produk jasa keuangan. Selain itu, komponen usage juga mengukur kombinasi

produk-produk keuangan yang digunakan oleh rumah tangga atau individu.

- Welfare

Salah satu komponen tersulit adalah mengukur dampak dari

suatu produk atau layanan jasa keuangan terhadap konsumen, seperti perubahan pada pola konsumsi, aktivitas usaha dan investasi, serta kesejahteraan.

Tabel

Indikator Financial Inclusion di Indonesia

Sumber: Bank Indonesia (2014)

(5)

Financial Services di negara-negara CLMV

Zhuang et al

(2009) menjelaskan bahwa kesenjangan yang signifikan dalam economic size and structure terjadi antara negara-negara CLMV dan

negara lain dalam kawasan. Untuk mengatasi tantangan-tantangan yang dihadapi

oleh pasar keuangan di negara-negara CLMV tersebut, kiranya upaya financial sector deepening dapat memainkan peran penting khususnya dalam mempercepat tercapainya Financial Inclusion.

Kondisi geografis negara-negara ASEAN menciptakan prospek

yang baik bagi pembangunan ekonomi yang didorong oleh tingginya volume perdagangan intra-regional dan aliran

modal dalam kawasan. Terlebih lagi bergabungnya Myanmar memberikan peluang unik untuk mempercepat pertumbuhan di seluruh kawasan. Posisi strategis kawasan

ASEAN juga dipengaruhi oleh pusat-pusat pertumbuhan di kawasan lain, seperti

RRT, Jepang dan Korea yang mendorong terbentuknya pilar kerja sama Asia Timur ASEAN Plus Three (ASEAN+3). Terlebih

lagi, adanya kemiripan diantara pasar keuangan di kawasan dan negara CLMV memberikan peluang terjadinya peer-to-peer

learning, serta negara-negara tersebut bisa mengambil manfaat dari beragam

kebijakan yang berlaku di beberapa negara berkembang dalam skema South-South Cooperation.

Demirguc-Kunt (2005) menjelaskan bahwa peningkatan akses masyarakat terhadap layanan sektor keuangan tidak hanya pro growth tetapi juga pro poor, mengurangi kesenjangan pendapatan dan kemiskinan. Studi di beberapa negara menunjukkan bahwa negara-negara yang memiliki sistem keuangan formal yang kuat dan efisien mampu menurunkan tingkatÂ

kesenjangan pendapatan dan tingkat kemiskinan relatif lebih cepat. Derajat Financial Inclusion di sebuah negara

mencerminkan kompleksitas antara demand

and supply di pasar keuangan negara tersebut. Dalam rangka membentuk sektor keuangan yang sesuai dengan permintaan, kiranya dibutuhkan pemahaman yang mendalam tentang kebutuhan masyarakat tersebut, inovasi yang tepat guna dan tepat sasaran, serta regulasi yang kuat.

Jumlah tabungan (saving)

di beberapa negara ASEAN relatif tinggi, dimana pinjaman (loan) menjadi produk layanan keuangan yang paling sering digunakan.

Namun demikian, jika dilihat dari tingkat tabungan (saving) dan jumlah rekening bank, terlihat adanya kecenderungan masyarakat untuk memilih

menggunakan informal and non-bank

services sebagai penyedia jasa keuangan. Kondisi tersebut sesuai dengan penelitian Collins et al (2009) bahwa masyarakat

berpenghasilan rendah cenderung menggunakan produk informal financial institutions. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian

besar masyarakat tidak sepenuhnya berada diluar sistem keuangan formal, hanya saja mereka mungkin berada diluar jangkauan pasar keuangan formal atau tidak terlayani oleh produk-produk yang disediakan oleh sektor keuangan formal.

Tabel

Sektor Keuangan di beberapa negara ASEAN

Sumber: World Bank Global Findex (2013)

(6)

Â

Dari sisi  supply of financial services, sejumlah

bank di banyak negara di kawasan ASEAN memiliki beberapa perbedaan, terutama dalam hal ketersediaan layanan perbankan. UN Capital Development Fund (2014) mencontohkan jumlah pemilik rekening bank per 1000 orang di Kamboja hanyalah 108, dimana nilai tersebut lebih rendah dari nilai rata-rata untuk negara

berpenghasilan rendah di kawasan Sub-sahara Afrika. Perbedaan mencolok juga terjadi dalam hal jumlah ATM per kapita dimana negara-negara CLMV hanya memiliki kurang dari 10 persen jumlah ATM di Thailand. Angka-angka tersebut menggambarkan banyak hambatan yang dihadapi oleh sebagian masyarakat

berpenghasilan rendah dalam menjangkau lokasi pelayanan bank, mesin-mesin ATM, atau bentuk layanan perbankan lainnya. Akhirnya banyak dari mereka lebih

memilih bentuk layanan lain yang disediakan oleh informal financial institutions, meskipun terkadang lebih mahal biayanya.

UN Capital Development Fund (2014) menegaskan bahwa strategi untuk mengembangkan Financial Inclusion di

kawasan harus memperhatikan kondisi politik-ekonomi di tiap negara dan antar

negara anggota ASEAN, sehingga dapat memaksimalkan kebijakan yang diambil dalam rangka mempercepat proses Financial

Inclusion. Hal ini tentunya menjadikan penerapan ‘international best practice’ sebagai sebuah solusi harus disesuaikan dengan kondisi lingkungan politik-ekonomi masing-masing wilayah.

Diagram

Persentase penduduk usia 15 ke atas (15+) yang memiliki tabungan (savings)

Sumber: Global Financial Inclusion Database (2011)

Â

Financial Inclusion di Indonesia

Menurut Booklet of

Indonesian Financial Inclusion (2014), Financial

(7)

Inclusion adalah segala upaya yang dilakukan untuk menghilangkan segala

bentuk hambatan yang dihadapi masyarakat dalam menggunakan jasa-jasa keuangan. Financial inclusion juga merupakan

strategi nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan, dan stabilitas sistem keuangan.

Survei Bank Dunia (2010) menunjukkan bahwa hanya 49

persen rumah tangga di Indonesia yang memiliki akses terhadap lembaga keuangan formal. Bank Indonesia melalui Household

Balance Sheet Survey (2011) menunjukkan bahwa hanya 48 persen rumah tangga di Indonesia yang menyimpan tabungan mereka pada lembaga keuangan formal. Akses yang buruk terhadap jasa keuangan disebabkan oleh rendahnya pendapatan,

rumitnya prosedur layanan perbankan, kurangnya pengetahuan dan informasi mengenai layanan lembaga keuangan, tingginya biaya administrasi layanan jasa keuangan, dan sulitnya akses transportasi menuju lokasi bank berada.

Financial inclusion telah menjadi agenda

penting pada tatanan internasional dan nasional. Di tingkat internasional, financial inclusion telah menjadi pokok pembahasan di G20, OECD, AFI, APEC dan ASEAN. Sementara itu, di tingkat

nasional, Presiden Indonesia pada KTT ASEAN 2011 telah menyatakan komitmennya untuk mewujudkan National Strategy for

Financial Inclusion.

Dalam National

Strategy for Financial Inclusion, upaya financial

inclusion mencakup 6 (enam) pilar, yaitu edukasi keuangan, fasilitas

keuangan publik, pemetaan layanan keuangan, kebijakan/regulasi pendukung, fasilitas distribusi dan kelembagaan, dan perlindungan konsumen. Untuk mewujudkan program financial inclusion yang

berkesinambungan dan meningkatkan akses terhadap jasa keuangan, kiranya dibutuhkan koordinasi yang baik antara Bank Indonesia dan K/L terkait,

prioritas pelaksanaan program yang tepat, serta pengawasan pelaksanaan program yang ketat.

Diagram

Indikator Financial

Inclusion di ASEAN (Persentase penduduk usia 15 tahun ke atas)

Sumber: World Bank (2012)

Peranan Penting Financial Inclusion di Indonesia

Keberhasilan pembangunan nasional salah satunya ditandai

dengan terbentuknya sistem keuangan yang stabil dan memberikan manfaat bagi semua lapisan masyarakat. Dalam hal ini, lembaga keuangan memainkan peran penting melalui fungsi intermediary guna

(8)

mendorong pertumbuhan ekonomi, pemerataan distribusi pendapatan, pengentasan kemiskinan, dan stabilitas sistem keuangan. Namun demikian, seringkali cepatnya perkembangan industri keuangan sering kali tidak diimbangi dengan akses

terhadap layanan keuangan yang memadai. Disamping itu, akses terhadap layanan keuangan merupakan salah satu prasyarat pokok bagi masyarakat untuk bisa terlibat dalam sistem ekonomi di sebuah wilayah.

Akses publik terhadap jasa keuangan di Indonesia termasuk dalam kategori moderate dibandingkan

negara-negara berkembang lainnya. Akses publik terhadap jasa keuangan di

Indonesia relatif lebih baik dari dua negara emerging giants, India dan RRT, namun lebih rendah dibandingkan Thailand, Malaysia, dan Korea Selatan. Hal ini berarti masih banyak peluang untuk

menjadikan sistem keuangan menjadi lebih inklusif dan memberikan social advantages. Akses terhadap layanan keuangan adalah permasalahan yang kompleks yang mencakup masyarakat

sebagai konsumen dan lembaga keuangan sebagai produsen. Hal ini membutuhkan pendekatan multi dimensi untuk meningkatkan akses terhadapa lembaga keuangan.

Dalam pembangunan ekonomi di Indonesia, perbankan

memainkan peran penting sebagai mesin penggerak aktivitas financial inclusion dikarenakan perbankan Indonesia memiliki share mencakup 80 persen kegiatan dalam

pasar keuangan di Indonesia. Akan tetapi, financial

inclusion bukan hanya tugas Bank Indonesia, tetapi juga Pemerintah dalam rangka membuka akses terhadap layanan keuangan kepada masyarakat seluas-luasnya.

Diagram

Financial Inclusion Strategy di Indonesia

Sumber:

Bank Indonesia (2014)

Upaya pengembangan financial

inclusion di Indonesia memiliki beberapa tujuan, sebagai berikut:

Menjadikan strategi financial inclusion sebagai bagian dari strategi besar

pembangunan ekonomi, penanggulangan kemiskinan, pemerataan pendapatan dan stabilitas sistem keuangan

Financial inclusion adalah strategi untuk

mencapai tujuan pembangunan ekonomi yang lebih luas, yaitu penanggulangan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat, serta bagian dari strategi untuk mencapai stabilitas sistem keuangan. Kelompok miskin dan marjinal

merupakan kelompok yang memiliki keterbatasan akses ke layanan keuangan. Tujuan financial inclusion adalah memberikan

(9)

akses ke jasa keuangan yang lebih luas bagi setiap penduduk, namun terdapat kebutuhan untuk memberikan fokus lebih besar kepada penduduk miskin.

Menyediakan jasa dan produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat

Konsep keuangan inklusif harus dapat memenuhi semua

kebutuhan yang berbeda dari segmen penduduk yang berbeda melalui serangkaian layanan holistik yang menyeluruh.

Meningkatkan pengetahuan masyarakat mengenai layanan keuangan

Hambatan utama dalam keuangan inklusif adalah tingkat melek

keuangan yang rendah. Pengetahuan ini penting agar masyarakat merasa lebih aman berinteraksi dengan lembaga keuangan.

Meningkatkan akses masyarakat ke layanan keuangan

Hambatan bagi orang miskin untuk mengakses layanan

keuangan umumnya berupa masalah geografis dan kendala administrasi. Menyelesaikan permasalahan tersebut akan menjadi terobosan mendasar dalam menyederhanakan akses ke jasa keuangan.

Memperkuat sinergi antara bank, lembaga keuangan mikro, dan lembaga keuangan bukan bank

Pemerintah harus menjamin tidak hanya pemberdayaan kantor

cabang, tetapi juga peraturan yang memungkinkan perluasan layanan keuangan formal. Oleh karena itu, sinergi antara Bank, Lembaga Keuangan Mikro (LKM), dan Lembaga Keuangan Bukan Bank menjadi penting khususnya dalam mendukung pencapaian stabilitas sistem keuangan.

Mengoptimalkan peran teknologi informasi dan

komunikasi (TIK) untuk memperluas cakupan layanan keuangan

Teknologi dapat mengurangi biaya transaksi dan memperluas

sistem keuangan formal melampaui sekedar layanan tabungan dan kredit. Namun, pedoman dan peraturan yang jelas perlu ditetapkan untuk menyeimbangkan perluasan

jangkauan dan resikonya.

Tabel

(10)

Karakteristik Kelompok Sasaran

Sumber : Bank Indonesia (2014)

Â

National

Strategy for Financial Inclusion di Indonesia

Financial Inclusion merupakan strategi

pembangunan nasional untuk mendorong pertumbuhan ekonomi melalui pemerataan pendapatan, pengentasan kemiskinan serta stabilitas sistem keuangan. Strategi yang berpusat pada masyarakat ini perlu menyasar kelompok yang mengalami

hambatan untuk mengakses layanan keuangan. National Strategy for Financial Inclusion secara eksplisit memiliki kelompok sasaran

dengan kebutuhan terbesar atau belum dipenuhi atas layanan keuangan, yaitu tiga kategori penduduk (orang miskin berpendapatan rendah, orang miskin

bekerja/miskin produktif, dan orang hampir miskin) dan tiga lintas kategori (pekerja migran, perempuan, dan penduduk daerah tertinggal).

World Bank (2010) mengungkapkan setidaknya terdapat empat

jenis layanan jasa keuangan yang dianggap vital bagi kehidupan masyarakat, yakni layanan penyimpanan dana, layanan kredit, layanan sistem pembayaran dan asuransi termasuk di dalamnya dana pensiun. Keempat aspek inilah yang menjadi persyaratan mendasar yang harus dimiliki setiap masyarakat untuk memperoleh kehidupan yang lebih baik. Peningkatan akses masyarakat kepada lembaga keuangan tersebut tentunya merupakan permasalahan yang kompleks dan memerlukan

koordinasi lintas sektoral yang melibatkan otoritas perbankan, jasa keuangan

non bank dan K/L lain yang menaruh perhatian pada upaya pengentasan kemiskinan, sehingga diperlukan kebijakan komprehensif serta menyeluruh dalam suatu National Financial Inclusion Framework.

Menurut Bank Indonesia (2014), pengembangan Financial Inclusion di

Indonesia kiranya dibangun di atas 6 (enam) pilar, sebagai berikut:

(1)Â Edukasi Keuangan

(2)Â

Fasilitas Keuangan Publik

(3)Â

Pemetaan Informasi Keuangan

(4)Â Kebijakan/Peraturan

(11)

yang mendukung

(5)Â Fasilitas

Intermediasi dan Saluran Distribusi

(6)Â Perlindungan Konsumen

Keeenam pilar tersebut selanjutnya dijabarkan kedalam

program-program yang telah disesuaikan dengan kelompok-kelompok sasaran dan kategori penduduk yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia dan K/L terkait. Tabel diatas menggambarkan beberapa contoh program yang telah dilakukan. Berbagai inisiatif telah dilaksanakan oleh K/L terkait dalam rangka implementasi National Financial Inclusion Framework. Hal ini menunjukkan komitmen dari

berbagai K/L terkait untuk secara aktif berupaya mengimplementasikan

rencana-rencana masa depan serta program-program akan datang yang berkaitan dengan pembanguan Financial Inclusion di

Indonesia.

Tabel

Contoh program berdasarkan kelompok saran

Sumber:

Bank Indonesia (2014)

Penutup

Dalam rangka mendorong peningkatan penggunaan layanan

jasa keuangan oleh masyarakat, kiranya diperlukan suatu kebijakan untuk:

mengatasi kegagalan pasar yang disebabkan oleh asimetri informasi dan abuse of power; mendorong inovasi layanan jasa keuangan guna meminimalkan biaya yang ditanggung konsumen dan

produsen; serta memberikan pendidikan keuangan dan perlindungan terhadap konsumen sehingga masyarakat dapat menentukan produk keuangan yang sesuai dengan kebutuhan mereka dan terhindar kerugian. Pemerintah dapat mengurangi dampak dari kegagalan pasar dan mendorong Financial

Inclusion dengan cara membangun kerangka hukum dan regulasi yang tepat,

mendukung perkembangan iklim bisnis, mempromosikan persaingan usaha yang sehat dan fair, serta memfasilitasi

berbagai macam skema bisnis guna mendorong Financial Inclusion.

Kemajuan teknologi menjanjikan adanya perluasan Financial Inlusion di sebuah negara. Biaya transaksi bisa menjadi penghambat Financial

Inclusion ketika para penyedia jasa keuangan menderita kerugian akibat

melayani konsumen dengan penghasilan rendah. Inovasi teknologi, seperti mobile banking, internet banking, dan kartu debit/kredit bisa membantu mengurangi

(12)

biaya transaksi dalam sistem keuangan. Namun demikian, kemanfaatan inovasi teknologi bagi pengembangan Financial

Inclusion kiranya sangat bergantung pada tingkat pembangunan sektor keuangan, ukuran pasar, struktur pendapatan dan sosial, serta ketersediaan infrastruktur pendukung.

Produk-produk keuangan harus didesain sesuai dengan

kondisi pasar, kebutuhan konsumen, dan mampu menjadi solusi atas masalah yang berkembang guna mendorong tingkat penggunaan layanan jasa keuangan. Penyesuaian bentuk usaha dan saluran distribusi dalam industri keuangan juga dapat

meningkatkan Financial Inclusion dengan

cara mengurangi biaya pada layanan keuangan. Regulasi pemerintah dapat mempengaruhi desain produk dan bentuk usaha pada industri keuangan. Oleh karenanya, pemerintah harus mampu menciptakan keseimbangan antara menjaga stabilitas keuangan dan memberikan ruang bagi kemajuan inovasi di sektor keuangan dalam rangka menghadirkan Financial

Inclusion yang lebih besar.

Beberapa temuan menunjukkan bahwa pemerintah memiliki

peranan dalam menentukan standar mengenai transparansi, mengatur aspek-aspek dalam menjalankan usaha, dan memantau efektivitas mekanisme perlindungan konsumen. Guna menghindari adanya conflict

of interest, regulasi sistem keuangan harus dipisahkan dengan regulasi tentang perlindungan konsumen. Persaingan juga menjadi bagian penting dari perlindungan

konsumen karena hal ini mencipatakan mekanisme punishment and reward bagi para pelaku sektor keuangan dalam pasar

keuangan serta memberikan konsumen pilihan untuk mendapatkan pelayanan yang terbaik.

Pemerintah juga dapat memberikan subsidi guna

meningkatkan akses masyarakat terhadap layanan jasa keuangan dan mengambil beberapa kebijakan untuk mendorong Financial

Inclusion. Namun demikian, seringkali hal tersebut justru menghasilkan tingkat utang (debt levels) yang

tinggi terutama di daerah pedesaan. Restrukturisasi utang kiranya diperlukan

guna menghindari adanya gagal bayar serta guna mengurangi resiko akibat terjadinya moral hazard.

Â

Referensi

1. Â

Demirguc-Kunt

(2005), Financial Sector Development as

an Essential Determinant for Achieving the MDGs: Increasing Private Credit Shown to Reduce Income Inequality, World Bank, Washington D.C.

2.  Bank

Indonesia (2014), Booklet of Indonesian

Financial Inclusion, Financial Inclusion Development Group, Jakarta

3.  Bankable

Frontier Associates (2010), Financial inclusion measurement for regulators: Survey design and implementation, Alliance for Financial

(13)

Inclusion (AFI) Policy Paper, Bangkok

4. Â

Beck, Demirguc-Kunt dan Levine (2007), Finance,

Inequality and the Poor: Cross-Country Evidence, Journal of Economic Growth 12(1): 27-49

5. Â

Bruhn dan Love (2009), The Economic

Impact of Banking the Unbanked: Evidence from Mexico, World Bank Policy Research Working Paper 4981

6.  Collins,

Morduch, Rutherford, dan Ruthven (2009), Portfolios

of the Poor: How the World’s Poor Live on $2 a Day, Princeton University Press, New Jersey

7.  UN

Capital Development Fund (2014), Doubling

Financial Inclusion in the ASEAN Region by 2020, Asia Pacific Regional Centre (APRC), Bangkok

8.  World

Bank (2014), Financial Inclusion, Global

Financial Development Report, Washington D.C.

9.  Zhuang

et al (2009), Financial Sector Development, Economic Growth, and Poverty Reduction: A Literature Review, ADB Report, Manila

Referensi

Dokumen terkait

Transmission Electron Microscope (TEM) merupakan suatu teknikmikroskopi yang bekerja dengan prinsip menembakkan elektron ke lapisan tipis sampel, yang selanjutnya

Mengingat bahwa perairan Indonesia masih luas dan potensi lestari yang masih berada sangat jauh di atas hasil produksi tangkapan tuna saat ini, maka peluang untuk meningkatkan

Dalam menyelesaikan laporan tugas akhir yang berjudul Perancangan Pusat Rehabilitasi Pengguna Narkoba di Kabupaten Malang ini, saya menyadari bahwa banyak pihak yang telah

Data yang sudah terkempul kemudian direkapitulasi dan dideskripsikan untuk mengetahui tingkat pengetahuan Mahasiswa prodi PJKR peserta PLP UNY tahun 2019 yang digunakan

Bahwa dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, khususnya Pasal 210 ayat (4) yang menentukan pengaturan lebih lanjut

Tindakan Tony Broer tersebut melahirkan konsep dan nilai praktis yang lebih dominan dari penampakan politik tubuh, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain, sehingga

Kegiatan inti, meliputi : (1) menyampikan informasi umum tetang aturan main dalam pembelajaran kooperatif STAD, (2) mengorganisasikan siswa ke dalam kelompok-kelompok kecil

Mengenai permohonan Praperadilan karena adanya benda yang disita yang tidak termasuk alat pembuktian, pihak- pihak yang diberi wewenang untuk mengajukan permohonan