1
MANAJEMEN PRIVASI DI NEW MEDIA
(Studi Kasus Pengelolaan Privasi Oleh Remaja Desa Padang, Grobogan dalam Menggunakan Media Sosial Facebook)
Nurul Indriyani1
Drs. Aryanto Budhy Sulihyantoro, M.Si.
Program Studi Ilmu Komunikasi, Universitas Sebelas Maret
Jalan Ir. Sutami 36. Kentingen, Jebres, Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia 57126 1Email: [email protected]
ABSTRAK
Perkembangan teknologi di era digital seperti ini mendorong masyarakat semakin
gemar beraktifitas di media sosial, tak terkecuali remaja. Media sosial kini seolah telah
menjadi bagian dari ‘gaya hidup’ remaja. Salah satu media sosial yang masih sering digunakan remaja adalah Facebook. Bukan hanya dapat digunakan untuk berkomunikasi saja, Facebook juga dapat digunakan untuk membagikan informasi apapun kepada publik, seperti foto, video, nomor telepon, dan lain sebagainya. Tidak sedikit dari hal tersebut merupakan bagian dari privasi yang seharusnya tidak perlu dibagikan ke publik. Privasi merupakan suatu hal yang sangat penting. Setiap orang memiliki sebuah rasa kepemilikan informasi tentang diri sendiri, dan mereka juga memiliki hak untuk mengendalikan informasi tersebut. Namun sayangnya masih banyak remaja yang kurang paham dengan apa yang dimaksud privasi sehingga melakukan terlalu banyak pengungkapan di media sosial Facebook yang berujung pada penyalahgunaan privasi dan berbagai tindak kejahatan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana pengelolaan privasi yang dilakukan oleh remaja khususnya remaja Desa Padang, Grobogan dalam menggunakan media sosial Facebook. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan metode studi kasus. Teori yang digunakan adalah Communication Privacy Management (CPM) yang dicetuskan oleh Sandra Petronio. CPM membahas mengenai tekanan antara keterbukaan dan rahasia pribadi, antara sesuatu yang bersifat publik dan rahasia dalam hubungan. Ada lima asumsi dalam teori tersebut yang mendasari seseorang untuk membuka atau menutupi informasi yang ia miliki, yaitu informasi privat, batasan privat, kontrol dan kepemilikan, sistem manajemen berdasarkan aturan, dan rasio-risiko keuntungan. Dari hasil penelitian, peneliti menyimpulkan bahwa ternyata masih banyak remaja di Desa Padang, Grobogan yang belum dapat mengelola privasi dengan baik sehingga mereka banyak mengungkapkan informasi pribadi di media sosial seperti Facebook. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya; mayoritas remaja disana belum paham mengenai privasi dan pentingnya menjaga privasi, sehingga mereka membagikan apa saja tanpa memikirkan risiko yang bisa saja terjadi ke depan. Minimnya sosialisasi dari beberapa pihak seperti orang tua, guru, dan pemerintah setempat juga menjadikan kurangnya kewaspadaan remaja tentang bahaya dan risiko yang mengancam di internet khususnya media sosial sebagai platform hiburan.
2 PENDAHULUAN
Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah cara berinteraksi individu dengan individu yang lain. Internet telah menjadi ruang digital baru yang menciptakan ruang kultural. Hingga saat ini jumlah pengguna internet di Indonesia terus mengalami peningkatan. Laporan terbaru We Are Social, perusahaan asal Inggris bekerjasama dengan Hootsuite, per Januari 2021, pengguna internet Indonesia mencapai 202,6 juta pengguna dari 274,9 juta jiwa total penduduk Indonesia. Artinya, sekitar 73,7% masyarakat Indonesia telah mengakses internet ( https://inet.detik.com/cyberlife/d-5407210/pengguna-internet-indonesia-tembus-2026-juta. Diakses pada 25 Februari 2021). Menariknya, dari 202,6 juta pengguna internet tersebut, 170 juta diantaranya merupakan pengguna aktif media sosial ( https://inet.detik.com/cyberlife/d-5407834/pengguna-aktif-medsos-ri-170-juta-bisa-main-3-jam-sehari. Diakses pada 25 Februari 2021).
Media sosial merupakan salah satu bentuk dari perkembangan internet. Sebuah media yang bersifat online di mana masyarakat bisa saling bercerita, berpartisipasi, berbagi, membentuk jejaring (network), dan berbagai kegiatan lainnya (Nugroho, 2020:78). Popularitas media sosial ini dipacu oleh kebutuhan manusia untuk berkomunikasi jarak jauh dengan mudah dan cepat. Maka tak heran jika media sosial begitu banyak diminati dan diakses oleh hampir semua kelompok masyarakat, termasuk remaja. Dalam data We Are Social dan Hootsuite, hingga Januari 2021, sebanyak 30,7% pengguna media sosial berasal dari kelompok masyarakat dengan rentang usia 18-24 tahun, 12,5% usia 13-17 tahun, dan sisanya merupakan pengguna media sosial dari kelompok usia dewasa dan orang tua ( https://inet.detik.com/cyberlife/d-5407834/pengguna-aktif-medsos-ri-170-juta-bisa-main-3-jam-sehari. Diakses pada 25 Februari 2021). Jika mengacu definisi remaja menurut Mappiare (dalam Ali dan Asrori, 2004:9) bahwa seseorang dikatakan remaja apabila masih berusia 12 hingga 21 tahun, itu artinya hampir sebagian pengguna media sosial di Indonesia adalah kelompok remaja.
Penggunaan media sosial di kalangan remaja saat ini memang menjadi sesuatu yang tidak dapat dihindari lagi. Media sosial seolah telah menjadi bagian dari ‘gaya hidup’ bagi remaja. Hampir setiap hari remaja mengakses media sosial. Aktivitas yang sering dilakukan diantaranya adalah untuk mencari informasi, terhubung dengan teman
3
(lama dan baru), membagikan informasi pribadi (seperti menceritakan kegiatan yang dilakukan, membagikan foto dan video, dan check in tempat atau membagikan lokasi terkini), serta sebagai hiburan (Triastuti dkk, 2017:56). Dari banyak media sosial yang kini hadir, Facebook di Indonesia masih menjadi media sosial dengan jumlah pengguna paling banyak, yaitu sebesar 140 juta penguna, mengungguli Youtube dan Instagram yang hanya memiliki 107 juta dan 85 juta pengguna ( https://inet.detik.com/cyberlife/d-5407834/pengguna-aktif-medsos-ri-170-juta-bisa-main-3-jam-sehari. Diakses pada 25 Februari 2021).
Facebook sepertinya telah menjadi teman dekat bagi generasi internet saat ini. Ada banyak hal yang dapat dilakukan seseorang hanya dengan melalui satu media sosial tersebut. Kemudahan untuk menghubungkan satu orang dengan orang lain secara terus menerus menjadikan jaringan pertemanan itu semakin luas. Ditambah, terdapat fitur-fitur menarik yang mendukung interaksi di Facebook, seperti wall, kotak update status,
check in tempat, timeline, fitur suka dan komentar, messanger, grup, marketplace, dan
masih banyak lagi—sehingga menjadikan Facebook sebagai media sosial yang banyak diminati. Namun selain memberikan kemudahan bagi penggunanya, Facebook ternyata juga mengundang kekhawatiran dan bahaya jika tidak digunakan dengan baik. Terlebih jika yang mengakses adalah kelompok remaja yang notabene belum matang secara emosional dan gemar mengisi waktu luang dengan berselancar di Facebook. Too Much
Information (TMI) atau terlalu banyak informasi, salah satunya. Remaja yang mengisi
waktu luangnya dengan mengakses media sosial secara tidak sadar mengungkapkan terlalu banyak informasi mengenai kehidupan pribadi mereka, sehingga menyebabkan masalah seperti kerentanan terhadap cyberbul-lies. Hal itu dikarenakan media sosial menambah volume dan frekuensi konten, terutama pada ranah yang jauh lebih personal dan mudah dilihat oleh siapa saja. Kondisi ini diperburuk ketika remaja memanfaatkan media sosial untuk mengisi waktu luang, yang akhirnya menyebabkan adiksi. Lebih lanjut, TMI kemudian menyebabkan potensi perilaku lain yang disebut FOMO (Fear Of
Missing Out) atau takut ketinggalan informasi. FOMO mendorong remaja untuk terus
mencari dan berbagi informasi dari internet melalui media sosial, sehingga remaja rentan dengan berbagai tindak kejahatan, seperti pencurian identitas, invasi privasi, penipuan, kekerasan, cyber bullying, ujaran kebencian, penyebaran konten pornografi, pelecehan seksual, dan berbagai tindak kejahatan lainnya (Triastuti dkk, 2017:56).
4
Kasus-kasus penyalahgunaan Facebook untuk tindak kejahatan memang telah terjadi di banyak daerah di Indonesia, tak terkecuali di daerah pedesaan. Minimnya fasilitas hiburan di desa, seperti mall, bioskop, atau tempat wisata lain, serta akses ke tempat hiburan yang jauh, membuat masyarakat desa—terutama remaja—menjadikan media sosial sebagai sarana untuk memenuhi kebutuhan hiburan mereka. Padahal, akses ke media sosial secara terus menerus tanpa diimbangi dengan pengetahuan justru hanya akan menimbulkan berbagai permasalahan. Seperti yang terjadi di Desa Padang, Kecamatan Tanggungharjo, Kabupaten Grobogan. Seorang remaja 19 tahun asal desa tersebut, Zuzun, mengaku pernah ditipu oleh orang yang tak dikenal gara-gara mencantumkan nomor telepon di akun Facebook miliknya. Menurut pengakuan Zuzun, pada Juli 2020 lalu, ia dihubungi melalui WhatsApp oleh seseorang yang mengaku sebagai teman SMA-nya untuk dibelikan pulsa dan berjanji akan segera diganti uangnya. Karena percaya, Zuzun pun membelikan pulsa. Namun karena tak kunjung diganti uang pulsa itu, Zuzun menghubungi temannya tersebut melalui Facebook, dan ternyata nomor yang menghubungi Zuzun tersebut bukan nomor temannya, melainkan nomor orang tak dikenal yang sengaja melakukan penipuan.
“Beberapa bulan lalu Mbak, Juli kayaknya, aku dihubungi orang lewat WA, ngaku temenku sekolah pas masih sekolah SMA di Jragung. Dia ngaku dapet nomorku dari FBku katanya. Yo emang tak cantumkan nomorku disana karena aku kan nyambi jualan online ya. Dia nyuruh aku beliin pulsa. Terus emm janji duite diganti. Yo tak turuti Mbak, soale kan ning WA iku fotone foto koncoku kan. Eh ternyata dudu Mbak. Karena duite gak lek ndang diganti, temenku tak hubungi lewat Facebook. Eh temenku bilang iku bukan nomore. Dan aku yakin fotone koncoku iku foto lek download ning FB. Mungkin nyari di daftar temanku, terus diambil fotone. Yo lumayan sih Mbak duit pulsane kalau buat jajan.” (Hasil Wawancara dengan Zuzun, 26 Februari 2021)
Contoh lain yang juga terjadi di Desa Padang, Grobogan, seorang remaja berusia 15 tahun, Kayla, mengaku informasi pribadi yang ia tampilkan di akun Facebook miliknya disalahgunakan oleh orang lain. Orang tersebut membuat akun Facebook yang bahkan sama persis seperti Facebook milik Kayla. Nama, foto, alamat tempat tinggal, dan informasi pribadi lainnya yang tercantum dalam akun palsu itu sama seperti yang Kayla tampilkan di akun Facebooknya. Selain menggunakan informasi yang sama persis, akun palsu tersebut juga mengunggah konten-konten negatif sehingga seolah-olah itu adalah tindakan Kayla.
5
“Aku dulu pas seneng-senenge pake Facebook, emm umur 13 apa 14 tahun yo Mbak, seneng upload foto, status opo ngono lah, dan lain-lain gitu lah. Terus suatu saat emm akun bodong muncul Mbak, atas namaku, fotoku, omahe podho, wis pokoke podho kabeh lah sama Facebookku. Aku ngerti ada akun itu karena temenku emm banyak yang di add. Terus tak buka kan Mbak, lah kok iyo podho kabeh, dan bahkan emm apa ya emm akun itu update status jelek-jelek gitu loh Mbak. Kan aku malu, takut dikira aku, padahal bukan akunku. Saru-saru juga kadang. Saiki wis ilang, tapi yo gak ngerti iku ulahe sopo.” (Hasil Wawancara
dengan Kayla, 26 Februari 2021)
Dari beberapa contoh di atas, jika dicermati, peristiwa tindak kejahatan itu bermula dari pengungkapan privasi yang dilakukan remaja kepada publik di Facebook, termasuk kepada orang yang baru dikenal melalui media sosial tersebut. Padahal privasi merupakan sesuatu hal yang penting sebab hal ini memungkinkan kita untuk merasa terpisah dari orang lain, dan menjadi pemilik sah dari informasi mengenai diri kita (West dan Turner, 2007:252). Namun ternyata masih banyak remaja yang kurang paham mengenai apa yang disebut dengan privasi, sehingga melakukan terlalu banyak pengungkapan di media sosial Facebook yang berujung pada penyalahgunaan privasi dan berbagai tindak kejahatan. Disamping itu, fitur-fitur yang disediakan Facebook dianggap memancing pengguna untuk melakukan pengungkapan privasi terlalu banyak. Kehadiran media sosial seperti Facebook di kalangan remaja memang membuat ruang privat seseorang melebur dengan ruang publik. Pergeseran budaya telah terjadi di kalangan remaja. Para remaja tidak segan-segan mengunggah segala informasi pribadinya untuk disampaikan kepada orang lain melalui akun media sosialnya. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak RI tahun 2017 (dalam Triastuti dkk, 2017:46), beberapa informasi pribadi yang secara sadar dibagikan remaja di media sosial meliputi nama asli, data kelahiran, data sekolah, foto dan video pribadi, alamat email dan nomor telepon, alamat rumah serta lokasi mereka. Bahkan remaja juga seringkali tidak memikirkan keamanan mereka ketika mengunggah informasi tersebut. Kaburnya batasan antara ruang privat dan publik ini berdampak negatif terutama pada banyak kasus remaja. Perundungan, kekerasan, pelecehan seksual, serta tindak kejahatan lain yang tragisnya berujung nyawa, justru menjadi simalakama dari kehadiran media sosial bagi remaja.
Fenomena pengungkapan privasi oleh kalangan remaja di media sosial Facebook merupakan sebuah gambaran bahwa informasi yang seseorang miliki dapat menimbulkan risiko bagi pemiliknya karena pengelolaan yang kurang baik. Maka dari
6
itu, memutuskan apa yang akan diungkapkan dan apa yang harus disembunyikan menjadi hal penting yang harus dilakukan sebelum seseorang melakukan
self-disclosure. Meski pengungkapan diri merupakan jembatan untuk menjalin hubungan
dengan orang lain, namun akan ada risiko yang harus dibayar jika mengungkapkan informasi pribadi pada orang yang salah, waktu yang tidak tepat, atau mengatakan terlalu banyak. Dengan begitu, sebuah manajemen untuk mengatur privasi di media sosial Facebook sangat penting dilakukan.
Teori manajemen privasi komunikasi atau Communication Privacy Management (CPM) yang dicetuskan Sandra Petronio menjadi sebuah penjelasan untuk manajemen yang tepat dalam menggunakan media sosial Facebook. CPM membahas tekanan antara keterbukaan dan rahasia pribadi, antara sesuatu yang bersifat ‘publik’ dan ‘rahasia’ dalam hubungan. Menurut Petronio, individu-individu yang terlibat dalam hubungan terus mengatur batasan-batasan antara apa yang umum dan pribadi, antara perasaan-perasaan tersebut yang ingin mereka bagi dengan orang lain dan tidak ingin mereka bagi. Permainan antara kebutuhan untuk berbagi dan kebutuhan untuk melindungi diri seseorang ini hadir dalam setiap hubungan dan mengharuskan orang tersebut untuk menegosiasikan dan menyelaraskan batasan-batasan mereka (Littlejohn dan Foss, 2009:306). Teori CPM ini akan peneliti gunakan untuk mengetahui bagaimana manajemen privasi yang dilakukan oleh remaja khususnya remaja di Desa Padang, Grobogan dalam menggunakan media sosial Facebook, serta apa alasan remaja mengungkapkan privasi diri di media sosial tersebut.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif dengan pendekatan metode studi kasus. Populasi dalam penelitian ini adalah remaja usia 12 hingga 21 tahun di Desa Padang, Kecamatan Tangungharjo, Kabupaten Grobogan yang menggunakan Facebook. Peneliti mendapatkan populasi ini dengan cara terjun langsung ke lapangan. Melalui pendataan SDGs (Sustainable Development Goals) Desa yang diadakan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi RI yang mana salah satu poinnya mengenai perilaku berinternet masyarakat, peneliti menemukan bahwa dari 684 remaja usia 12 hingga 21 tahun di Desa Padang, ada 104 remaja diantaranya yang menggunakan dan mencantumkan nama akun Facebooknya dalam
7
pendataan tersebut. Dari situlah kemudian peneliti dapat menarik angka populasinya, yaitu sebesar 104 remaja. Sementara sampelnya berjumlah 10 informan yang diambil berdasarkan teknik purposive sampling dengan kriteria yaitu remaja usia 12 hingga 21 tahun di Desa Padang, telah menggunakan Facebook minimal satu tahun, dan merupakan pengguna aktif Facebook, pengguna yang membuka Facebook setiap hari, giat memberikan like, komentar, maupun membagikan postingan orang lain, dan pernah mengunggah status/konten baik berupa teks atau tulisan, foto, video, melakukan check
in tempat dalam waktu 6 bulan terakhir, terhitung sejak bulan Januari sampai Juni 2021.
Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan melalui dua cara, yaitu wawancara mendalam dan dokumentasi. Sumber data dalam penelitian ini berasal dari data primer yaitu hasil wawancara mendalam dengan informan, dan data sekunder yang diambil dari dokumen screenshot aktivitas informan di Facebook. Selain itu, data sekunder dalam penelitian ini juga diperoleh melalui buku, jurnal ilmiah, surat kabar, atau dokumen lain yang relevan dengan penelitian mengenai manajemen privasi di media baru. Kemudian tahapan analisis data dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data, kondensasi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan/verifikasi. Sementara untuk validitas data menggunakan triangulasi teknik, yaitu mengecek data kepada sumber yang sama dengan teknik yang berbeda, yakni dengan menggabungkan teknik wawancara dan dokumentasi.
PEMBAHASAN
Penelitian ini melibatkan sepuluh informan berdasarkan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, yaitu remaja usia 12 hingga 21 tahun di Desa Padang, telah menggunakan Facebook minimal satu tahun, dan merupakan pengguna aktif Facebook, yaitu pengguna yang membuka Facebook setiap hari, giat memberikan like, komentar, maupun membagikan postingan orang lain, dan pernah mengunggah status/konten baik berupa teks atau tulisan, foto, video, melakukan check in tempat dalam waktu 6 bulan terakhir, terhitung sejak bulan Januari sampai Juni 2021. Hasil penelitian ini dibahas dengan menggunakan teori Communication Privacy Management (CPM) agar dapat menjawab rumusan masalah; yaitu mengenai bagaimana manajemen privasi oleh remaja Desa Padang, Grobogan dalam menggunakan media sosial Facebook dan apa alasan remaja mengungkapkan informasi pribadi mereka di media sosial tersebut.
8
Manajemen Privasi Oleh Remaja Desa Padang, Grobogan dalam Menggunakan Media Sosial Facebook
Remaja dan media sosial adalah dua hal yang tak terpisahkan. Media sosial seolah telah menjadi bagian dari ‘gaya hidup’ remaja. Hampir setiap hari remaja mengakses media sosial. Salah satu media sosial yang masih sering digunakan remaja adalah Facebook. Bukan hanya dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain, melalui Facebook remaja juga dapat membagikan informasi apapun kepada publik, seperti foto, video, nomor telepon, dan lain sebagainya. Bahkan, melalui Facebook, orang lain dapat mengetahui dimana remaja tersebut tinggal, siapa saja anggota keluarganya, dengan siapa ia berteman, apa yang sedang ia kerjakan, dan tempat mana saja yang sudah atau sedang dikunjungi. Tidak sedikit dari hal tersebut merupakan bagian dari privasi yang seharusnya tidak perlu dibagikan ke publik.
Privasi merupakan suatu hal yang sangat penting. Setiap orang memiliki sebuah rasa kepemilikan informasi tentang diri sendiri, dan mereka juga memiliki hak untuk mengendalikan informasi tersebut. Seperti yang diungkapkan Louis Alvin Day (dalam Mufid, 2009:188), privasi didefinisikan sebagai hak untuk dibiarkan atau hak untuk mengontrol publikasi yang tidak diinginkan tentang urusan personal seseorang. Ketika seseorang mengungkapkan informasi pribadi kepada orang lain, maka orang tersebut menjadi pemilik kedua dari informasi yang diungkapkan, dan kepemilikan bersama itu memiliki hak-hak dan kewajibannya sendiri (Littlejohn dan Foss, 2009:307). Namun ternyata masih banyak remaja yang kurang paham mengenai apa yang disebut dengan privasi, sehingga melakukan terlalu banyak pengungkapan di media sosial Facebook yang berujung pada penyalahgunaan privasi dan berbagai tindak kejahatan.
Dari hasil penelitian yang peneliti lakukan terhadap sepuluh remaja di Desa Padang, Grobogan, dengan kriteria yang telah ditentukan sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa ternyata masih banyak remaja Desa Padang, Grobogan yang belum dapat mengelola privasi dengan baik sehingga mereka banyak mengungkapkan informasi pribadi di media sosial seperti Facebook. Untuk memperoleh pemahaman yang lebih mendalam, topik pembahasan pada penelitian ini akan diuraikan dengan menggunakan teori Communication Privacy Management (CPM). Teori yang dicetuskan oleh Sandra Petronio ini membahas tekanan antara keterbukaan dan rahasia
9
pribadi, antara sesuatu yang bersifat publik dan rahasia dalam hubungan (Littlejohn dan Foss, 2009:307). Ada lima asumsi dalam teori tersebut yang mendasari seseorang untuk membuka atau menutupi informasi yang ia miliki, yaitu informasi privat, batasan privat, kontrol dan kepemilikan, sistem manajemen berdasarkan aturan, dan rasio-risiko keuntungan. Berikut ini pembahasannya:
a. Informasi Privat (Private Information)
Asumsi pertama menjelaskan, seseorang ketika melakukan komunikasi dengan orang lain melalui pembukaan. Konsep pembukaan ini diartikan sebagai aspek yang pertama kali terjadi pada diri seseorang. Orang biasanya akan membuka informasi mengenai hal-hal yang berarti yang sifatnya privat. Di dalam penelitian ini, pembukaan informasi privat seseorang di media sosial Facebook ditunjukkan melalui tampilan nama akun, foto profil, dan foto sampul. Secara garis besar, semua informan—dalam hal ini remaja—bersedia menunjukkan informasi privat berupa identitas data diri mereka secara umum ke publik melalui profil yang ditampilkan di akun Facebook masing-masing. Pembukaan mengenai informasi privat tersebut pada intinya dilakukan agar mereka dapat dikenali oleh orang lain di media sosial Facebook, dapat saling terhubung dan memulai komunikasi. Orang akan semakin yakin bahwa akun tersebut asli jika pemilik akun mencantumkan lebih banyak informasi pribadi yang sesuai, seperti nama akun, foto yang ditampilkan, serta informasi lain yang menggambarkan identitas diri dari si pemilik akun tersebut.
b. Batasan Privat (Private Boundaries)
Asumsi kedua menjelaskan mengenai batasan privat. Asumsi ini bergantung pada metafora batasan untuk menjelaskan bahwa terdapat garis antara bersikap publik dan privat. Pada satu sisi, orang menyimpan informasi privat untuk diri mereka sendiri, dan pada sisi yang lain, mereka membuka beberapa informasi privat kepada orang lain di dalam hubungan sosial. Ketika informasi privat dibagikan, batasan disekelilingnya menjadi batasan kolektif
(collective boundary), dan informasi itu tidak hanya mengenai diri, tetapi juga
10
seorang individu dan tidak dibuka, maka batasannya disebut dengan batasan personal (personal boundary).
Sesuai dengan penjelasan tersebut, seluruh informan dalam penelitian ini setuju dengan adanya batasan antara informasi yang boleh dibagikan dengan informasi yang tidak boleh dibagikan kepada publik. Mereka menjelaskan hal itu perlu dilakukan, terutama di media sosial seperti Facebook, agar informasi yang mereka miliki tidak bocor dan disalahgunakan oleh orang lain. Masing-masing informan membangun batasan privat yang berbeda-beda dalam menggunakan media sosial Facebook. Batasan privat ini berisi informasi yang hanya boleh diketahui oleh informan saja dan tidak boleh diketahui oleh siapapun, termasuk orang terdekat informan sekalipun. Dalam penelitian ini, beberapa informasi yang menjadi batasan privat informan di Facebooknya meliputi informasi terkait masalah pribadi, keluarga, pekerjaan, status hubungan dan kontak pribadi, seperti nomor HP dan alamat email. Berbagai batasan privat tersebut dibuat sendiri oleh informan dengan alasan-alasan tertentu, seperti agar tidak diketahui oleh orang lain, untuk melindungi diri, menghindari penyalahgunaan informasi pribadi, hingga untuk menjaga citra diri di masyarakat.
c. Kontrol dan Kepemilikan (Control and Ownership)
Asumsi ketiga berkaitan dengan kontrol dan kepemilikan. Pada intinya, asumsi ini bergantung pada gagasan bahwa orang merasa memiliki informasi privat mengenai diri mereka sendiri. Sebagai pemilik informasi, mereka percaya bahwa mereka harus ada dalam posisi untuk mengontrol siapa saja (jika memang ada) yang boleh mengakses informasi itu. Dalam penelitian ini, peneliti menyimpulkan hanya sebagian informan yang melakukan kontrol terhadap informasi privatnya di media sosial Facebook, sementara sebagian yang lain justru mengabaikannya. Ada beberapa cara yang dilakukan informan untuk mengontrol informasi privat mereka tersebut antara lain dengan lebih selektif dalam memilih teman, membatasi siapa saja yang dapat melihat isi postingan, menghapus tanda, dan melakukan pemblokiran terhadap pengguna Facebook lain yang dianggap mengganggu. Peneliti menilai bahwa beberapa
11
cara yang dilakukan informan tersebut merupakan langkah yang tepat. Sebagai pemilik informasi, mereka akan berusaha semaksimal mungkin untuk mengontrol informasi privat yang telah dibagikannya dengan harapan informasi tersebut tidak bocor dan disalahgunakan oleh orang lain.
Sementara itu, sebagian informan lain justru mengabaikan dan tidak melakukan kontrol terhadap informasi privat mereka di Facebook dengan alasan Facebook menurut mereka sebagai hiburan dan wadah untuk menyampaikan sesuatu, sehingga mereka merasa tidak perlu mengontrol akun Facebooknya karena sudah menjadi risiko sebagai pengguna media sosial jika apa yang mereka ungkapkan di Facebook dilihat oleh publik. Padahal menurut pengamatan peneliti, masih banyak informan yang belum dapat membedakan antara informasi yang boleh dibagikan dan informasi yang tidak boleh dibagikan, sehingga ketika semua informasi pribadi dibagikan dan tidak dilakukan kontrol, maka dikhawatirkan akan terjadi penyalahgunaan informasi pribadi dan tindak kejahatan lain.
d. Sistem Manajemen Berdasarkan Aturan (Rule-Based Management System) Asumsi keempat adalah sistem manajemen berdasarkan aturan. Sistem ini merupakan kerangka untuk memahami keputusan yang dibuat orang mengenai informasi privat. Aturan ini terdiri dari karakteristik aturan privasi dan turbulensi batasan.
1) Karakteristik Aturan Privasi
Di dalam karakteristik aturan privasi sendiri ada beberapa kriteria keputusan yang digunakan untuk mengembangkan aturan-aturan privasi, yang meliputi kriteria budaya, motivasi, kontekstual, dan rasio-risiko keuntungan.
- Budaya
Kriteria berdasarkan budaya ini tergantung pada norma untuk privasi dan keterbukaan di dalam suatu budaya. Orang dituntun di dalam harapan mereka akan privasi dengan adanya nilai-nilai yang mereka pelajari dalam budaya mereka. Yang peneliti temukan dari penelitian ini, budaya Jawa mengajarkan seseorang agar menjadi orang yang gampang srawung atau gampang diajak berinteraksi dengan siapa saja. Budaya ini menjadi
12
salah satu motif yang mendorong informan untuk melakukan lebih banyak pembukaan informasi pribadi kepada orang lain, termasuk melalui media sosial seperti Facebook, karena sebagai orang Jawa, ia harus menjadi orang yang gampang srawung.
- Motivasi
Orang membuat keputusan untuk membuka sesuatu berdasarkan motivasi mereka. Secara umum, motivasi informan dalam membuka informasi pribadi di media sosial Facebook adalah karena menganggap Facebook sebagai wadah untuk berekspresi dan menyampaikan apa saja yang tidak dapat disampaikan dalam kehidupan nyata (real life).
- Kontekstual
Kontekstual memiliki pengaruh pada keputusan yang diambil orang mengenai privasi. Dalam penelitian ini, Facebook sebagai konteks komunikasi mempengaruhi orang untuk melakukan pengungkapan karena banyak fitur yang disediakan, contohnya fitur check in tempat,
picture sharing, video sharing, live, dan masih banyak lagi. Beragam
fitur yang disediakan Facebook memang membuat seluruh informan dalam penelitian ini selalu penasaran dan tertarik untuk menggunakannya. Fitur-fitur Facebook tersebut memang seperti jebakan yang memancing mereka untuk terus melakukan pengungkapan informasi pribadi yang lebih banyak disana.
- Rasio-Risiko Keuntungan
Yang terakhir, aturan-aturan dikembangkan berdasarkan rasio-risiko keuntungan. Maksudnya adalah bahwa orang mengevaluasi risiko dibandingkan dengan keuntungan dari pembukaan suatu informasi. Namun hal tersebut sepertinya kurang sesuai dengan temuan penelitian ini. Seluruh informan dalam penelitian ini sebenarnya paham mengenai risiko yang mungkin terjadi ketika mereka mengungkapkan terlalu banyak informasi pribadi di media sosial Facebook, namun mayoritas mereka cenderung mengabaikan risiko-risiko tersebut dengan alasan bahwa Facebook sekedar sebagai hiburan. Selain itu, mereka yang mengabaikan risiko-risiko tersebut juga mengaku belum pernah
13
mendapatkan masalah terkait penyalahgunaan privasi sehingga mereka tidak begitu khawatir dengan risiko yang mungkin terjadi. Peneliti menyimpulkan bahwa ternyata masih banyak remaja di Desa Padang yang belum paham mengenai pentingnya menjaga privasi. Menurut pengamatan peneliti, hal tersebut disebabkan beberapa hal, diantaranya SDM di Desa Padang masih rendah sehingga kesadaran tentang privasi masih sering diabaikan, dan tidak ada sosialisasi baik dari orang tua, guru, maupun pemerintah setempat mengenai pentingnya menjaga privasi untuk melindungi diri. Dengan rendahnya pengetahuan dan kesadaran akan pentingnya menjaga privasi itulah yang membuat masyarakat—terutama remaja—di Desa Padang sering mengabaikan risiko-risikonya.
2) Turbulensi Batasan
Menurut teori CPM ini, turbulensi batasan muncul ketika aturan-aturan koordinasi batasan tidak jelas atau ketika harapan orang untuk manajemen privasi berkonflik antara satu dengan lainnya. Aturan batasan tidak selalu berjalan dengan lancar, dan orang-orang yang terlibat dapat mengalami benturan atau yang disebut sebagai turbulensi. Sesuai dengan teori tersebut, beberapa informan dalam penelitian ini pun pernah mengalami turbulensi batasan. Mereka membuat batasan-batasan privasi mereka sendiri, namun ketika dalam situasi tertentu, mereka justru melanggar sendiri batasan privasi tersebut. Ditambah, di usia remaja emosi mereka juga belum stabil, sehingga mereka tidak berpikir lebih jauh mengenai apa yang mereka bagikan di Facebook.
e. Dialektika Manajemen (Management Dialectics)
Asumsi kelima adalah dialektika manajemen, yang menjelaskan bentuk ketegangan-ketegangan ketika pengambilan keputusan dalam diri seseorang, yaitu antara keinginan untuk mengungkapkan informasi pribadi atau menutupinya. Ketika ketegangan dalam pengambilan keputusan terjadi dalam diri seseorang, sesungguhnya telah terjadi pengelolaan dialektika dalam diri individu tersebut. Dari hasil penelitian, peneliti hanya menemukan dua
14
informan yang mengungkapkan bahwa mereka pernah mengalami dialektik tersebut. Di satu sisi, informan ingin membagikan contact person (berupa nomor HP dan alamat email) di Facebook, tapi di sisi lain mereka mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin terjadi jika membagikan informasi pribadi tersebut.
Semua informan dalam penelitian ini sebenarnya pernah mengalami dialektik, berada pada ketegangan antara keinginan untuk mengungkapkan atau menutupi informasi pribadinya di media sosial Facebook, namun kebanyakan dialektika tersebut tidak berhubungan dengan privasi. Dialektika yang dialami umumnya lebih kepada kelayakan dan manfaat dari informasi yang diunggah, serta bagaimana respon orang yang menerima itu. Sementara konsep privasi tidak membahas mengenai hal itu. Dialektik yang dimaksud disini lebih berfokus pada pertimbangan yang dilakukan informan untuk mengungkapkan atau menutupi informasi pribadi di akun Facebooknya.
Dari pembahasan hasil penelitian yang dijabarkan berdasarkan asumsi-asumsi dasar dalam teori CPM di atas, semakin memperjelas kesimpulan bahwa sebenarnya masih banyak remaja di Desa Padang, Grobogan yang belum dapat mengelola privasi dengan baik sehingga mereka banyak mengungkapkan informasi pribadi di media sosial Facebook. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor yang peneliti temukan, diantaranya:
Mayoritas remaja belum paham mengenai apa yang disebut privasi, sehingga belum dapat membedakan antara mana informasi yang boleh dibagi dan mana informasi yang tidak boleh dibagi ke publik
Mayoritas remaja belum paham mengenai pentingnya menjaga privasi
Kurangnya perhatian dari pihak lain seperti orang tua, guru dan pemerintah setempat dalam memberikan sosialisasi mengenai pentingnya menjaga privasi
Dengan demikian, tidak heran jika banyak remaja di Desa Padang, Grobogan yang dengan sukarela membagikan informasi pribadi mereka di media sosial seperti Facebook, karena mereka belum dapat membedakan mana informasi yang boleh dibagi dan mana informasi yang tidak seharusnya dibagi ke publik. Seperti beberapa contoh unggahan informasi pribadi yang peneliti temukan pada akun Facebook remaja Desa Padang, Grobogan berikut ini:
15 Gambar 1
Contoh Unggahan Informasi Privat Remaja di Facebook
Sumber: Akun Facebook Rohibb Fakk
Gambar 2
Contoh Unggahan Informasi Privat Remaja di Facebook
Sumber: Akun Facebook Ilham Noi’se
Dua contoh di atas merupakan contoh unggahan informasi pribadi yang dibagikan remaja di media sosial Facebook. Kedua remaja tersebut secara cuma-cuma membagikan nomor WhatsApp mereka kepada publik tanpa memikirkan risiko-risiko yang dapat terjadi akibat dari tindakan tersebut. Jika diperhatikan, dalam unggahan itu remaja juga menandai beberapa pengguna Facebook lain, yang artinya unggahan tersebut juga akan muncul di profil pengguna Facebook yang ia tandai dan sangat
16
mungkin untuk dilihat oleh lebih banyak orang di Facebook. Tidak berhenti disitu, kedua unggahan tersebut justru mendapat banyak komentar dari pengguna Facebook lain yang juga menuliskan nomor WhatsApp mereka. Setelah peneliti amati satu persatu profil Facebooknya, mereka yang membagikan nomor WhatsApp di kolom komentar pada kedua unggahan tersebut tidak lain adalah kelompok remaja juga.
Gambar 3
Contoh Pengungkapan Informasi Privat Remaja pada Kolom Komentar di Facebook
Sumber:
Akun Facebook Rohibb Fakk
Sumber:
Akun Facebook Ilham Noi’se
Selain membagikan nomor WhatsApp kepada publik di Facebook seperti contoh di atas, peneliti juga menemukan banyak remaja di Desa Padang, Grobogan, yang membagikan informasi pribadi lainnya di media sosial Facebook. Informasi pribadi itu meliputi informasi sekolah, alamat rumah, tanggal lahir, tempat kerja, motto hidup, foto dan video pribadi, tag lokasi, bahkan anggota keluarga. Hilangnya batas ruang privat dan publik di media sosial ini kerap menimbulkan konsekuensi negatif untuk remaja. Kemudahan akses media sosial juga menyebabkan banyak remaja menjadi impulsif atau memiliki dorongan untuk melakukan suatu tindakan tanpa memikirkan konsekuensinya
17
terlebih dahulu. Remaja umumnya mengenali potensi bahaya yang terjadi jika terlalu banyak mengungkapkan informasi pribadi di media sosial seperti Facebook. Namun mereka seringkali mengabaikan itu karena merasa belum pernah mendapat masalah terkait penyalahgunaan informasi pribadi dan menganggap media sosial sebagai hiburan semata. Selain itu, apa yang remaja ketahui hanya sebatas pada ‘penyalahgunaan informasi pribadi’, tanpa mengenali bentuk-bentuk dari penyalahgunaan informasi pribadi tersebut. Hal itu tentu juga berbahaya. Dikhawatirkan akan ada remaja yang menjadi korban dari penyalahgunaan informasi pribadi namun tidak merasa bahwa dirinya sebagai korban karena minimnya pengetahuan tentang privasi. Padahal, sangat penting bagi remaja untuk memikirkan risiko yang mungkin terjadi jika membagikan informasi pribadi mereka ke media sosial, seperti pencuarian identitas, penipuan, kekerasan, cyberbullying, penyebaran konten-konten pornografi, pelecehan seksual, dan masih banyak lagi.
Alasan Remaja Mengungkapkan Privasi di Media Sosial Facebook
Dari hasil penelitian ini, peneliti menemukan beberapa hal yang menjadi alasan remaja tidak segan-segan mengungkapkan informasi pribadi mereka di media sosial Facebook, diantaranya sebagai berikut:
a. Remaja Belum Paham Mengenai Privasi
Pertama karena remaja sebenarnya belum paham mengenai apa yang dimaksud dengan privasi dan pentingnya menjaga privasi, sehingga remaja banyak mengungkapkan apa saja (termasuk yang berkaitan dengan privasinya) di Facebook tanpa memikirkan risikonya.
b. Membangun Kelompok Pertemanan
Di usia remaja, pada umumnya mereka ingin memiliki banyak teman, termasuk di media sosial seperti Facebook. Oleh karena itu, membuka lebih banyak informasi pribadi mengenai identitas mereka menjadi salah satu cara yang dilakukan remaja agar akun Facebook miliknya banyak dilirik dan diikuti orang lain. Bahkan tidak jarang juga remaja menambahkan informasi seputar hobi dan minatnya di profil Facebook agar dapat bergabung dengan komunitas atau lingkaran pertemanan yang memiliki frekuensi sama dengannya.
18
Pada usia remaja, tampil eksis menjadi sebuah kebutuhan agar diakui keberadaan mereka. Ketika remaja merasa kurang eksis di dunia nyata, media sosial seperti Facebook menjadi wadah bagi remaja untuk menunjukkan eksistensi tersebut melalui unggahan-unggahannya. Pada unggahan-unggahan tersebut, remaja seringkali membagikan informasi-informasi yang sifatnya pribadi tanpa memikirkan terlebih dahulu konsekuensinya.
d. Pengalihan dari Realitas yang Tidak Sesuai Harapan
Bagi remaja, media sosial seperti Facebook merupakan tujuan untuk melarikan diri dari berbagai masalah. Ketika tidak ada orang yang dapat diajak berbicara di lingkungan sekitarnya, mereka akan segera mengungkapkan segala sesuatunya di Facebook, sekalipun itu menyangkut hal-hal yang bersifat privasi. Apalagi jika apa yang ia bagikan mendapat respon dari orang lain, maka remaja akan mengungkapkan kembali informasi pribadinya di Facebook karena ia merasa nyaman dan memiliki teman disana.
KESIMPULAN
1. Secara garis besar, masih banyak remaja Desa Padang, Grobogan yang belum dapat mengelola privasi dengan baik sehingga mereka banyak melakukan pengungkapan informasi pribadi di media sosial Facebook. Hal itu disebabkan oleh beberapa faktor diantaranya; mayoritas remaja disana belum paham betul mengenai apa yang dimaksud dengan privasi dan pentingnya menjaga privasi. Remaja belum dapat membedakan mana informasi yang boleh dibagikan dan mana informasi yang seharusnya tidak dibagikan ke publik, sehingga mereka membagikan apa saja tanpa memikirkan risiko yang bisa saja terjadi ke depan. Minimnya sosialisasi dari beberapa pihak seperti orang tua, guru, dan pemerintah setempat juga menjadikan kurangnya kewaspadaan remaja tentang bahaya dan risiko yang mengancam di internet khususnya media sosial sebagai
platform hiburan. Jika dilihat dari teori Communication Privacy Management
(CPM), ada lima asumsi yang mendasari remaja untuk mengungkapkan atau menutupi informasi pribadi mereka di media sosial Facebook:
- Informasi Privat; dapat disimpulkan bahwa remaja dalam penelitian ini bersedia menunjukkan informasi privat berupa identitas data diri mereka
19
secara umum ke publik melalui profil yang ditampilkan di akun Facebook masing-masing. Tujuannya sama, yaitu agar dapat dikenali oleh orang lain, dapat saling terhubung, dan memulai komunikasi.
- Batasan Privat; remaja setuju dengan adanya batasan antara informasi yang boleh dibagikan dengan informasi yang tidak boleh dibagikan kepada publik. Beberapa informasi yang menjadi batasan privat remaja di Facebooknya meliputi informasi terkait masalah pribadi, keluarga, pekerjaan, status hubungan dan kontak pribadi, seperti nomor HP dan alamat email.
- Kontrol dan Kepemilikan; hanya sebagian remaja dalam penelitian ini yang melakukan kontrol terhadap informasi privatnya di media sosial Facebook. Sementara sebagian yang lain justru mengabaikan dengan alasan Facebook menurut mereka sebagai hiburan dan wadah untuk menyampaikan sesuatu, sehingga mereka merasa tidak perlu mengontrol akun Facebooknya karena sudah menjadi risiko sebagai pengguna media sosial jika apa yang mereka ungkapkan di Facebook dilihat oleh publik. - Sistem Manajemen Berdasarkan Aturan; ada dua aturan yang
digunakan disini yaitu karakteristik aturan privasi dan turbulensi batasan. (1) Dalam karateristik aturan privasi, peneliti menemukan empat kriteria keputusan yang mempengaruhi remaja mengungkapkan privasi di Facebook, yaitu budaya, motivasi, kontekstual, dan rasio-risiko keuntungan. (2) Turbulensi batasan; remaja dalam penelitian ini seringkali mengalami turbulensi batasan. Mereka membuat batasan-batasan privasi mereka sendiri, namun ketika dalam situasi tertentu, mereka justru melanggar sendiri batasan privasi tersebut. Ditambah pada usia remaja tersebut, emosi mereka belum stabil sehingga mereka tidak berpikir lebih jauh mengenai apa yang mereka bagikan di Facebook. - Dialektika Manajemen; peneliti hanya menemukan dua remaja yang
mengungkapkan bahwa mereka pernah mengalami dialektik tersebut. Di satu sisi, remaja ingin membagikan contact person (berupa nomor HP dan alamat email) di Facebook, tapi di sisi lain mereka mempertimbangkan risiko-risiko yang mungkin terjadi jika membagikan
20
informasi pribadi tersebut. Sementara remaja yang lain justru menjelaskan dialektik pada kelayakan dan manfaat dari informasi yang diunggah, serta bagaimana respon orang yang menerima itu. Sementara konsep privasi tidak membahas mengenai hal itu.
2. Ada beberapa alasan kuat yang mendasari remaja mengungkapkan informasi pribadi mereka di media sosial Facebook; (a) pertama karena remaja sebenarnya belum paham mengenai privasi dan pentingnya menjaga privasi. (b) Kedua, agar dapat bergabung dengan komunitas atau lingkaran pertemanan yang memiliki frekuensi sama dengannya. (c) Alasan selanjutnya untuk menunjukkan eksistensi diri adalah melalui unggahan-unggahan di media sosial, meski tidak sedikit informasi yang diunggah merupakan bagian dari privasi. (d) Terakhir, bagi remaja, media sosial seperti Facebook merupakan tujuan untuk melarikan diri dari berbagai masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Muhammad dan Muhammad Asrori. (2004). Psikologi Remaja. Jakarta: Bumi Akasara.
Haryanto, Agus Tri. (2021, 23 Februari). Pengguna Aktif Medsos RI 170 Juta, Bisa Main 3 Jam Sehari. DetikInet.
https://inet.detik.com/cyberlife/d-5407834/pengguna-aktif-medsos-ri-170-juta-bisa-main-3-jam-sehari. Diakses
pada 25 Februari 2021.
Haryanto, Agus Tri. (2021, 23 Februari). Pengguna Internet Indonesia Tembus 202,6 Juta. DetikInet. https://inet.detik.com/cyberlife/d-5407210/pengguna-internet-indonesia-tembus-2026-juta. Diakses pada 25 Februari 2021.
Littlejohn, Stephen dan Karen A. Foss. (2009). Theories of Human Communication (9th
Edition). Illinois City: Waveland Press.
Nugroho, Catur. (2020). Cyber Society: Teknologi, Media Baru, dan Disrupsi
Informasi. Jakarta: Kencana.
Triastuti, Endah, dkk. (2017). Kajian Dampak Penggunaan Media Sosial Bagi Anak
dan Remaja. Depok: Pusat Kajian Komunikasi FISIP UI.
West, Richard dan Lynn H. Turner. (2007). Introducing Communication Theory: