• Tidak ada hasil yang ditemukan

Mempertanyakan legalitas Pilkada "Wani Pira".

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Mempertanyakan legalitas Pilkada "Wani Pira"."

Copied!
1
0
0

Teks penuh

(1)

WACANA

BERNAS

JOGJA

Jumat

Legi,21

Februari 2014

HALAMAN 4

Oleh:

Hendra Kurniawan

Mempertanyakan

Lr

Pilkada"Wani

Plra''

SEBELUM reformasi

bergulir

maka kepala daerah entah gubernur

maupun

bupati/walikota ditunjuk

langsung oleh pemerintah. Mereka

yang menduduki jabatan

ini

biasa-nya dari kalangan pejabat karier yang

telah

lama duduk dalam biroktasi maupun

militer.

Dengan demikian para kepala daerah tunduk menjadi

pelaksana

kebijakan pusat

tanpa

memiliki

kewenangan yang leluasa

untuk

mengatur

dan

mengelola daerahnya

sendiri. Ditambah

de-ngan sistem sentralisasi

yang

diterapkan

oleh

pemerintah pada

waktu

itu

semakin

menghambat

perkembangan daerah. Tidak heran

jika

banyak daerah yang tertinggal

padahal

memiliki

potensi

dan

ke-kayaan alam yang melimpah ruah.

Semangat Reformasi 1998 mem-bawa wacana baru mengenai

pelak-sanaan otonomi daerah dan

kebijak-an

desentralisasi. Gagasan

ini

di-dasari pemikiran agar daerah-daerah

dapat

lebih

berkembang dengan

mengelola

potensi yang ada

di

wilayahnya secara

mandiri.

Tentu semua

ini

berujung pada cita-cita

untuk

meratakan

tingkat

kesejah-teraan rakyat dan mewujudkan

wel-fare

state.

Pelaksanaan

otonomi

daerah

yang

seluas-luasnya berpengaruh besar terhadap sistem

pemerintah-an.

Masyarakat cenderung

meng-hendaki agar kepala daerah yang

memimpin

daerahnya merupakan

putra

daerah.

Mereka yang

asli

daerah dianggap

lebih

mengerti

potensi dan kebutuhan daerah.

Un-tuk

itulah muncul

usulan untuk

menyelenggarakan

pemilihan

ke-pala daerah secara langsung.

Pemilihan kepala

daerah

(pil-kada) diatur melalui PP No. 6 Tahun

2005 mengenai pemilihan, penge-sahan, pengangkatan, dan

pember-hentian

kepala daerah

dan wakil

kepala daerah. Peraturan pemerintah

ini

kemudian

diperbarui

dengan

dikeluarkannya

PP

No.

17 Tahun 2005. Kabupaten Kutai Kartanegara

merupakan daerah

yang

pertama

kalinya

menyelenggarakan pilkada

pada tanggal

I

Juni 2005.

KekuasaanMK

Sejak

UUD

1945 diamandemen, maka keluarlah peraturan mengenai

lembaga Mahkamah

Konstitusi

(MK). Dalam P asal 24C

UUD

1945, salah satu yang menjadi tugas dari

MK

ialah memutus perselisihan

ten-tang hasil pemilu (termasuk pilkada). Sengketa hasil pilkada antar calon kepala daerah yang berlaga bukan

hal

yang jarang terjadi. Umumnya

pilkada yang memenangkan kembali

kepala daerah incumbent paling

banyak menuai tudingan

kecurang-komitmennya

dalam

menegakkan keadilan, kebenaran, dan kejujuran.

Masyarakat

tentu terhenyak

saat

mendengar

berita

Akil

Mochtar, sang

ketua

MK

yang

tertangkap

tangan menerima suap pilkada. Jelas

ini

merupakan aib yang mencoreng wajah hukum di Indonesia. Seorang

hakim konstitusi bahkan dipercaya

memimpin lembaga

yudikatif

ter-tinggi

di

negara

ini

telah

mati

nuraninya.

Selama menjabat sebagai Ketua

MK di

sepanjang tahun 2013,

Akil

diduga

telah

memanipulasi peme-nangan 11 sengketa pilkada di

Kali-mantan Tengah.

Tak

tanggung-kasar dan nekad. Perbuatan

Akil

ini

bukan hanya berkutat pada

soal

korupsi,

namun

putusan-putusan

MK

yang

diambil oleh

Akil

patut dipertanyakan.

Kemenangan pasangan calon

kepala daerah

yang

bersengketa bukan ditentukan oleh kejujuran dan keadilan namun lembaran-lembaran

uang yang telah berbicara. Lantas benarkah kepala daerah

yang kini

menjabat sesuai dengan pilihan yang dikehendaki rakyatnya? Barangkali

secara hukum, putusan

MK

tersebut

legal,

namun

jauh lebih

dalam

muncul

kegelisahan

di

manakah legalitas sang kepala daerah

di

hati rakyat?

Kita

harus ingat bahwa

di

repu-blik ini,

rakyat

adalah pemegang kedaulatan tertinggi. Tentu saja

ini

berarti para pemimpin

di

negeri

ini

merupakan pelayan rakyat,

penyam-bung lidah rakyat, dan penjelmaan

dari

kehendak rakyat. Maka ketika

kekuasaan diperoleh

melalui

uang, legalitas sang penguasa patut diper-tanyakan. Gagasan otonomi daerah

dan

pelaksanaan

pilkada

telah

gagal. Bukan cita-cita

menyejahtera-kan rakyat yang diraih, justru korupsi

dan

permainan

uang yang

me-rajalela.

Kementerian Dalam Negeri

(Ke-mendagri)

merilis

data

terbaru

mengenai mengguritanya korupsi di

daerah. Tercatat sejak tahun 2005 hingga Oktober 2013, sebanyak 309 kepala daerah

di

Tanah

Air

terjerat

kasus korupsi.

Rencana

pemilu

serentak ba:

rangkali dapat menjadi solusi per-tama, namun

politik

uang bukan hal

yang

mudah diberangus. Apabila

pola perilaku politik "wani pira" terus

berlangsung maka adagium

vox

populi, vox dei tidak ada artinya lagi

di

negara

yang konon

men-qanut paham demokrasi

ini.

***

Hendra

Kurniawan

\lPd,

l)osur

Pendidikan Sejarah

I I

rt it c rsit.ts

Sanata

Dharnu

Yogtol'.t,t

r

an.Petahana yang kinerjanya pada

periode pertama mendapat banyak sorotan dan dianggap belum dapat mewirjudkan harapan rakyat namun

dengan mudahnya

berhasil

men-duduki kembali

singgasana tentu

menimbulkan kecurigaan.

Tak

ja-rang para pesaing

yang

mencium

adanya

indikasi

kecurangan dan

merasa dirugikan tidak tinggal diam.

Mereka berjuang

di

hadapan

MK.

Demi

kekuasaan, segala cara tentu

akan ditempuh para

calon

kepala daerah yang bersengketa

ini

untuk memenangkan persidangan.

Dengan kekuasaan mutlaknya,

MK

mewujudkan

diri

layaknya

"tuhan".

Apapun yang diputuskan

MK sifarnya absolut dan tidak dapat diganggu gugat maupun digagalkan

oleh

kekuasaan

lain.

Peluang

ini

benar-benar menggoda para hakim

konstitusi untuk

menanggalkan

tanggung, mahar yang diminta oleh

Akil

antara Rp 2 miliar hingga Rp 5

miliar.

Bahkan

sebelum

tertangkap

tangan, untuk memenangkan seng-keta pilkada Jawa Timur,

Akil

me-nyebut angka

Rp

10

miliar

sebagai

mahar.

Tidak

hanya

Kalimantan

Tengah dan Jawa

Timcr,

Akil

juga

menjadi

tersangka dugaan

suap sengketa pilkada Lebak

di

Banten, pencucian uang, dan dugaan

grati-fikasi dari

sejumlah kasus pilkada

yang

pernah ditanganinya.

Ucapan

Akil

sewaktu

masih

menjabat sebagai

juru

bicara

MK

tentang cara menghukum koruptor dengan memiskinkan

dan

memo-tong

jari

tangan saat

ini

menjadi bumerang.

Korupsi melalui

peng-aturan

putusan sengketa pilkada

yang dilakukan oleh

Akil

merupakan

Referensi

Dokumen terkait

FSC Recycled: FSC-certified reclaimed material based on exclusive input from reclaimed sources, and supplied with a percentage claim or credit claim. FSC Recycled material

Bisa dikatakan bahwa untuk memahami teks agama, kita tidak bisa mengklaim bahwa teks tersebut sudah berbentuk dan berbahasa seperti itu dari awalnya (dari Tuhan), namun

Adanya legitimasi yang kuat dari warga, atau adanya penerimaan sebagai satu- satunya aturan main dalam membangun dan melaksanakan pemerintahan tersebut ditandai oleh

Tanya Eggers (2010) menambahkan bahwa bentuk stimulasi dapat berupa pertanyaan–pertanyaan terbuka. Pertanyaan terbuka adalah pertanyaan yang tidak mempunyai satu

Kebutuhan bahan baku untuk produksi*……. XXX Persediaan akhir bahan baku……….. XXX + Jumlah kebutuhan bahan baku……… XXX Persediaan awal bahan baku……… XXX - Pembelian

Namun demikian, tentunya sebagai pendidik muslim juga akan berusaha mengenalkan unsur-unsur yang bersifat ghaib (abstrak) agar anak-anak tidak bersifat materialistik

[r]

Pola perilaku konsumtif memiliki empat dimensi yaitu (a) pemenuhan keinginan, yaitu rasa puas yang tidak pernah habis dan semakin meningkat terhadap K-pop