• Tidak ada hasil yang ditemukan

PEMAKNAAN LIRIK LAGU “MOBIL BERGOYANG” (Studi Semiologi Tentang Pemaknaan Lirik Lagu “Mobil Bergoyang” yang Dipopulerkan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi).

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "PEMAKNAAN LIRIK LAGU “MOBIL BERGOYANG” (Studi Semiologi Tentang Pemaknaan Lirik Lagu “Mobil Bergoyang” yang Dipopulerkan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi)."

Copied!
88
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

Oleh :

NUR AFIKA RACHMAWATI NPM. 0843010177

YAYASAN KESEJ AHTERAAN PENDIDIKAN DAN PERUMAHAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN” J AWA TIMUR

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

(2)

Disusun Oleh :

NUR AFIKA RACHMAWATI

NPM. 0843010177

Telah disetujui untuk mengikuti Ujian Skr ipsi

Menyetujui,

Pembimbing Utama

Dr a. Her lina Suksmawati, MSi

NIP. 19641225 199309 2001

Mengetahui,

DEKAN

(3)

Setiap malam di pinggir pantai mobil bergoyang Tidak di pantai, tidak di hotel, orang bercinta Setiap malam di bawah lampu yang remang-remang Ada patroli tapi tak peduli yang penting hepi

Reff :

Ada yang genit ada yang centil ada yang nakal Dan ada pula kaum wanita penjaja cinta Cari yang enak tak perlu mahal di hotel-hotel Biar di pantai di setiap mobil nikmat bercinta

Yang penting senang bergoyang bergoyang Di setiap mobil digoyang digoyang

Dipeluk cium merangsang merangsang Biarkan orang ah tegang ah tegang

Asalkan senang bukan kepalang Duh aduh sayang terasa melayang

(4)

Oleh :

NUR AFIKA RACHMAWATI

NPM. 0843010177

Telah dipertahankan dihadapan dan diterima oleh Tim Penguji Skr ipsi

J ur usan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Univer sitas Pembangunan Nasional “Veteran” J awa Timur

Pada Tanggal 13 J uni 2012

Pembimbing Utama

Tim Penguji

1.

Ketua

Dra. Herlina Suksmawati, MSi

Ir. H. Didiek Tr anggono, M.Si

NIP. 19641225 199309 2001

NIP. 19581225 199001 1001

2.

Sekr etaris

Dra. Herlina Suksmawati, MSi

NIP. 19641225 199309 2001

3.

Anggota

Dra. Dyva Claretta, M.Si

NPT. 366019400251

Mengetahui,

DEKAN

(5)

Dalam lirik lagu “Mobil Bergoyang” yang dinyanyikan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi, lagu tersebut menggambarkan tentang pornografi yang mengarah pada hubungan seks (seks bebas). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna pornografi pada lirik lagu “Mobil Bergoyang” yang dinyanyikan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi.

Metode analisis data dalam penelitian ini menggunakan metode penelitian bersifat kualitatif-interpretatif semiologi dari Roland Barthes, yaitu metode signifikasi dua tahap (two order of signification). Yang dianalisis menggunakan lima macam kode pembacaan menurut Barthes, yaitu kode Hermeneutik, kode Semik, kode Simbolik, kode Proaretik, kode Gnomik. Untuk pemaknaan sebuah tanda sehingga dapat mengetahui tanda denotatif dan tanda konotatifnya. Dalam tahap kedua dari tanda konotatif akan muncul mitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitar.

Kesimpulan pada pemaknaan lirik lagu “Mobil Bergoyang” yang dinyanyikan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi ini adalah makna tentang pornografi

NUR AFIKA RACHMAWATI, LYRICS MEANING (Semiology Study meaning lyr ics of the song " Mobil Ber goyang" fr om Lia MJ featur ing Asep Rumpi)

In the lyrics of the song "Mobil Bergoyang" by Lia MJ featuring Asep Rumpi, the song describes about pornography that leads to sex (Free Sex). The purpose of this study was to determine the meaning of pornography on the lyrics of the song "Mobil Bergoyang" sung by Lia MJ featuring Asep Rumpi.

Methods of data analysis in this study using a qualitative research method of interpretive semiology of Ronald Barthes, the significance of two-stage method (two orders of signification). Analyzed using five kinds of code reading by Barthes, the hermeneutic code, Semic code, Symbolic Code, proaretic code, Gnomic code. For the meaning of a sign so that it can find and mark connotative denotative sign. In the second phase of connotative signs that mark will appear myths relating to the cultural community around.

Conclusion on the meaning of the lyrics to "Mobil Bergoyang" by Lia MJ featuring Asep Rumpi is meaning of the pornography that leads to sex that occurs in social life.

(6)

Bismillahirrahmanirrohim. Segala puji bagi Allah SWT atas segala rahmat,

hidayah, dan karunia-nya kepada penulis sehingga skripsi dengan judul PEMAKNAAN LIRIK LAGU “MOBIL BERGOYANG” (Studi Semiologi Tentang Pemaknaan Lir ik Lagu “Mobil Ber goyang” yang Dipopulerkan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi) dapat terselesaikan dengan baik.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ibu Herlina Suksmawati, MSi selaku Dosen Pembimbing utama yang telah meluangkan waktunya untuk memberikan bimbingan, nasehat serta motivasi kedapa penulis. Dan penulis juga banyak menerima bantuan dari berbagai pihak, baik itu berupa moril, spiritual maupun materiil. Untuk itu penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Dra. Hj. Suparwati, M.Si, selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

2. Juwito, S.Sos, M.Si, selaku Ketua Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

3. Drs. Saifuddin Zuhri, M.Si, selaku Sekretaris Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jawa Timur.

(7)

mama.

6. Mas angga dan Adek anggi, terima kasih sudah mendukung dalam menyelesaikan skripsi ini.

7. Sahabatku “OLIF”, Oka, Litha, Ing, terima kasih banyak untuk nasehat, kritik, doa, dukungan, perjuangan, ketulusan, pengetian, semangat, inspirasi, dan apapun yang kalian lakukan untukku yang tak dapat kuingat.

8. Mas Herman Satria, yang selalu menemani, mendukung, dan memberikan semangat setiap hari buat penulis sehingga skripsi ini dapat terselesaikan tepat waktu.

9. Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu per satu oleh penulis.

Penulis menyadari bahwa di dalam penyusunan skripsi ini banyak terdapat kekurangan. Untuk itu kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat diharapkan demi kesempurnaan skripsi ini. Akhirnya, dengan segala keterbatasan yang penulis miliki semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak umumnya dan penulis pada khususnya.

Surabaya, Juni 2012

(8)

DAFTAR ISI

Halaman HALAMAN J UDUL

HALAMAN PERSETUJ UAN UJ IAN SKRIPSI HALAMAN PENGESAHAN SKRIPSI

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

ABSTRAK ... vi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 8

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 8

1.3.1 Tujuan Penelitian ... 8

1.3.2 Manfaat Penelitian ... 9

BAB II KAJ IAN PUSTAKA... 10

2.1 Landasan Teori ... 10

2.1.1 Musik ... 10

2.1.2 Lirik Lagu ... 11

2.1.3 Definisi Pornografi ... 12

2.1.4 Pornografi ... 14

(9)

2.1.6 Kategorisasi ... 21

2.1.7 Pendekatan Semiotika ... 22

2.1.8 Semiologi Ronald Barthes ... 24

2.1.8.1 Kode Pembacaan ... 33

2.1.9 Makna Dalam Kata ... 35

2.1.10 Perubahan Makna dan Ambiguitas ... 36

2.2 Kerangka Berpikir ... 38

BAB III METODE PENELITIAN ... 40

3.1 Metode Penelitian ... 40

3.2 Corpus ... 41

3.3 Unit Analisis ... 43

3.4 Teknik Pengumpulan Data ... 44

3.5 Metode Analisis Data ... 44

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 47

4.1 Gambaran Umum Objek Peneliti ... 47

4.2 Lirik Lagu “Mobil Bergoyang” menurut semiologi Roland Barthes ... 51

4.3 Penyajian dan Analisis Data ... 52

4.3.1 Penyajian Data ... 52

4.3.2 Analisis Data ... 53

(10)

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 75

5.1 Kesimpulan ... 75

5.2 Saran... 75

DAFTAR PUSTAKA ... 77

(11)

1.1 Latar Belakang Masalah

Komunikasi adalah suatu usaha untuk memperoleh makna, tanda-tanda adalah basis dari seluruh komunikasi (Sobur, 2004 : 15). Manusia dengan perantara tanda-tanda, dapat melakukan komunikasi dengan sesamanya. Banyak hal yang bisa dikomunikasikan di dunia ini, termasuk juga melalui sebuah karya seni. Sebuah karya seni memerlukan sebuah media dalam menyampaikan pesannya, salah satunya adalah musik dan lagu.

Jhon Storey dalam bukunya mempunyai asumsi yang dibuat bahwa musik sebagai sebuah industri, industri musik menentukan nilai guna produk-produk yang dihasilkan. Paling jauh, khalayak secara pasif mengkonsumsi apa yang ditawarkan oleh industri musik. Paling buruk, mereka menjadi korban budaya, yang secara ideologis dimanipulasi melalui musik yang mereka konsumsi. Seperti argumen Leon Rosselson menyatakan bahwa industri musik memberikan “publik apa yang mereka inginkan” (Storey, 2007 : 121). Jelas terlihat bahwa musik diciptakan, direkam, dirilis, diedarkan, dan dijual mempuyai pertimbangan hanya mengikuti selera pasar atau publik atau konsumen tanpa mempertimbangkan faktor ideologi sebuah musik dan lagu dari penciptanya sendiri.

(12)

dengan “telinga” pasar atau yang bersifat easy listening. Hal tersebut dapat membuat matinya sebuah kreatifitas seni yang keluar dari hati yang paling dalam yang kemudian dituangkan dalam sebuah lagu baik dari segi lirik maupun aransemennya. Yang pada akhirnya banyak dari para musisi yang berusaha menciptakan lagunya tanpa menginginkan campur tangan dari pihak perusahaan rekaman. Hal tersebut dimaksudkan agar para musisi dapat bebas bergerak dan berkarya tanpa adanya campur tangan dari perusahaan rekaman yang hanya bertujuan bisnis dan mencari keuntungan dari lagu-lagu yang telah diciptakan untuk dapat dijual kepada publik.

Musik sebagaimana dapat disimpulkan dari pendapat Soerjono Soekanto (Rachmawati, 2001 : 1) bahwa musik berkaitan erat dengan dengan setting sosial kemasyarakatan dan gejala khas akibat interaksi sosial dimana lirik lagu menjadi penunjang dalam musik tersebut dalam menjembatani isu-isu sosial yang terjadi.

Salah satu hal terpenting dalam sebuah musik adalah keberadaan lirik lagunya, karena melalui lirik lagu, pencipta lagu ingin menyampaikan pesan yang merupakan pengekspresian dirinya terhadap fenomena-fenomena yang terjadi di lingkungan sekitar, dimana dia berinteraksi didalamnya.

(13)

tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah keyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003 : 8)

Suatu lirik lagu dapat menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat, sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto (Rachmawati, 2000 : 1) yang menyatakan :

“Musik berkaitan erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.”

Berdasarkan kutipan diatas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula dengan situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.

Untuk menyampaikan sebuah pesan tidak hanya tulisan yang dijadikan acuan sebagai tanda untuk berinteraksi dalam menyikapi pesan tersebut, tetapi makna yang terkandung didalam pesan tersebut yang bias menggugah. Dan bukan hanya instrument ataupun vokalika yang mendukung, tapi faktor moment ketika pesan itu kapan harus disampaikan.

(14)

Pengaruh media dan televisi seringkali dibuat contoh oleh remaja-remaja saat ini dalam perilakunya sehari-hari. Misalnya remaja-remaja yang menonton film remaja yang berkebudayaan barat, mereka melihat perilaku seks itu menyenangkan dan dapat diterima lingkungan. Hal itu pun ditiru oleh mereka, terkadang mereka tanpa memikirkan adanya perbedaan kebudayaan, nilai serta norma-norma dalam lingkungan masyarakat yang berbeda.

Mengangkat masalah seks sebenarnya tidak terlepas dari keingintahuan masyarakat akan masalah yang selama ini dianggap sebagai hal yang tabu. Ketabuan membuat orang tidak berani mengungkapkan secara terbuka. Akibatnya, seks dianggap sebagai sesuatu yang begitu rahasia dan misterius. Inilah yang menjadikan seks sebagai sesuatu yang fenomenal, kontroversial dan membuat orang untuk ingin tahu lebih banyak.

Seks mengandung pengertian yang khas, intim dan mesra dalam kaitannya dengan bermacam-macam hubungan antara pria dan wanita. Seks bukanlah sesuatu yang menakutkan karena seks merupakan karunia dari Tuhan yang dipergunakan untuk melestarikan kehidupan di muka bumi, dan seks dapat dikatakan sebagai kenikmatan bagi setiap orang, asal dilakukan dalam konteks yang sebenarnya yaitu ikatan pernikahan. Tetapi bila seks disalahgunakan akan menimbulkan kesengsaraan, rasa bersalah, gelisah, dimanfaatkan, takut, dan lain sebagainya.

(15)

Banyak kejadian yang kita dengar dan kita lihat, dimana orang melakukan hubungan seks bebas bukanlah sesuatu yang membanggakan karena mempunyai resiko yang tinggi salah satunya yaitu hamil diluar nikah.

Menurut Dokter sarlito perilaku seksual pada awalnya dilakukan adalah saling berciuman, saling meraba tubuh, saling membuka baju dan yang terakhir kemudian melakukan senggama. Langkah awal sebelum melakukan kegiatan seksual adalah dari ajakan untuk berkencan dahulu atau berpacaran yang dapat dilakukan dirumah hingga ketempat-tempat hiburan. Hingga menciptakan hubungan intim yang diteruskan dengan mulai beerpelukan, saling meraba atau hingga kearah yang lebih intim.

Di sadari atau tidak, akhir-akhir ini kita di suguhkan dengan banyaknya kemunculan lagu-lagu dangdut “modern”. Lagu dengan lirik-lirik yang dapat di katakan sangat berani. Mungkin hal ini di lakukan karena para pekerja seni di musik dangdut merasa kalah dengan hadirnya fenomena

boyband, girlband, pop melayu yang lebih di sukai masyarakat. Namun hal ini

jangan menjadi alasan untuk membuat lagu-lagu dangdut bermateriakan konten dewasa, karena lagu-lagu itu akan banyak sekali di perdengarkan di warung-warung, di televisi dan media lain. Untuk mendapatkannya juga bukan hal sulit di saat pembajakan dapat di lakukan dengan begitu mudahnya.

(16)

masyarakat, dan lagu itu tidak hanya di dengarkan oleh orang dewasa tetapi anak-anak juga mendengarkan itu.

Kekuatan lirik lagu dalam menggugah birahi memang bisa menaikkan popularitas lagu menjadi lebih laris di pasaran. Lirik lagu yang muatan pornografi berpotensi ditiru oleh orang lain, terutama anak-anak dan remaja. Menurut aktivis peduli anak Seto Mulyadi, hal itu menimbulkan dampak yang negatif bagi anak-anak, apalagi apresiasinya terhadap sebuah lagu. Mereka tentu saja tidak mengerti makna lirik lagu tersebut. Jika mereka menyanyikannya dan ditanya apa maknanya, mereka tidak bisa menjawabnya, bisa saja mendapat ejekan dari lingkungan. Hal inilah yang akan berdampak pada pribadi anak. Memang secara tidak langsung dampaknya akan terjadi kepada si anak, namun kita tidak akan pernah tahu ketika dalam benak mereka masih ada rasa penasaran untuk ingin tahu.

(17)

luar nikah dan prahara rumah tangga yang berpotensi ditiru oleh orang lain terutama anak-anak dan remaja.

http://m.okezone.com/read/2012/02/29/386/584515/ini-dia-lirik-lagu-porno-yang-dicekal/

Sedangkan dalam lagu “Mobil bergoyang” yang dinyanyikan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi menunjukkan adanya permasalahan yaitu menggambarkan perilaku seks bebas dan bagaimana hubungan intim antar lawan jenis itu dilakukan. Dampak sosial dari lagu tersebut mengakibatkan seks bebas pada kalangan segala usia pada masyarakat umum, dan akan membuat remaja melakukan hubungan yang melanggar hukum dan tidak sesuai dengan norma dan etika.

(18)

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah bagaimanakah pemaknaan lirik lagu “Mobil Bergoyang” yang dinyanyikan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi. Untuk menganalisa sistem tanda komunikasi berupa lirik lagu tersebut, peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif melalui pendekatan semiologi dari teori Roland Barthes.

1.2 Per umusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang diuraikan diatas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah : Bagaimana pemaknaan yang terkandung dalam lirik lagu “Mobil Bergoyang” yang dinyanyikan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi?

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 1.3.1 Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui pemaknaan yang terkandung dalam lirik lagu “Mobil Bergoyang” yang dinyanyikan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi.

1.3.2 Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teor itis

(19)

tanda komunikasi berupa lirik lagu dengan pendekatan semiologi. Dan bisa menambah wawasan bagi pendengar musik dangdut untuk mengetahui makna yang disampaikan.

2. Manfaat Pr aktis

(20)

2.1 Landasan Teor i 2.1.1 Musik

Musik dan lagu merupakan salah satu budaya manusia yang menarik dibandingkan dengan budaya-budaya manusia yang lain dari sisi humanistik, musik atau lagu bisa menjadi sarana untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam hasrat akan seni dan kreasi. Dari sisi sosial, lagu bisa disebut sebagai cermin dari tatanan sosial yang ada dalam masyarakat saat lagu tersebut diciptakan. Dari sisi ekonomi, lagu tersebut merupakan sebuah komoditi yang menguntungkan (Rakhmat, 1993 : 19).

Sistem tanda musik adalah oditif, namun untuk mencapai pendengarnya, pengubah musik mempersembahkan kreasinya dengan perantara pemain musik, adanya tanda-tanda perantara, yakni musik yang dicatat dalam partitur orchestra. Hal ini sangat memudahkan dalam menganalisis karya musik sebagai teks. Itulah sebabnya mengapa penelitian musik terarah pada sintaksis.

(21)

2.1.2 Lir ik Lagu

Lirik lagu dalam musik yang sebagaimana bahasa, dapat menjadi sarana atau media komunikasi untuk mencerminkan realitas sosial yang beredar dalam masyarakat. Lirik lagu, dapat pula sebagai sarana untuk sosialisasi dan pelestarian terhadap suatu nilai. Oleh karena itu, ketika sebuah lirik lagu di aransir dan diperdengarkan kepada khalayak juga mempunyai tanggung jawab yang besar atas tersebar luasnya sebuah kenyakinan, nilai-nilai, bahkan prasangka tertentu (Setianingsih, 2003 : 7-8).

Suatu lirik lagu dapat menggambarkan realitas sosial yang terjadi di masyarakat. Sejalan dengan pendapat Soerjono dalam Rachmawati (2001 : 1) yang menyatakan :

“ Musik berkaitan erat dengan setting sosial kemasyarakatan tempat dia berada. Musik merupakan gejala khas yang dihasilkan akibat adanya interaksi sosial, dimana dalam interaksi tersebut manusia menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Disinilah kedudukan lirik sangat berperan, sehingga dengan demikian musik tidak hanya bunyi suara belaka, karena juga menyangkut perilaku manusia sebagai individu maupun kelompok sosial dalam wadah pergaulan hidup dengan wadah bahasa atau lirik sebagai penunjangnya.”

Berdasarkan kutipan diatas, sebuah lirik lagu dapat berkaitan erat pula dengan situasi sosial dan isu-isu sosial yang sedang berlangsung di dalam masyarakat.

(22)

lagu berada didalamnya, kemudian merefleksikannya dalam sistem tanda berupa lirik lagu. Maka, dapat dikatakan bahwa lirik lagu “Mobil Bergoyang” yang dinyanyikan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi merupakan proses komunikasi yang mewakili seni karena terdapat pesan yang terkandung dalam simbol lirik lagu tersebut yang sengaja digunakan oleh komunikator sebagai pencipta lagu untuk disampaikan kepada komunikan dengan bahasa yang vulgar/porno. Namun dalam hal ini bahasa verbal yang berupa kata-kata yang tertuang dalam teks lirik lagu.

2.1.3 Definisi Por nogr afi

Masalah tubuh perempuan sebagai obyek porno, sebenarnya telah lama menjadi polemik dihampir semua masyarakat disebabkan karena adanya dua kutub dalam menilai tubuh manusia (terutama perempuan) sebagai obyek seks (Bungin, 2006 : 332).

(23)

gambar-gambar porno. Sejak saat itu pornografi menjadi sangat sering digunakan untuk menandai gambar-gambar porno pada saat itu sampai saat ini.

Dalam lirik lagu “Mobil Bergoyang” digambarkan adegan hubungan intim (seks) secara vulgar, pembenaran terhadap perilaku seks di luar nikah dan prahara rumah tangga yang berpotensi ditiru oleh orang lain terutama anak-anak dan remaja. Pornografi adalah gambar-gambar perilaku seks dan lebih banyak menonjolkan tubuh dan alat kelamin manusia. Sifatnya yang seronok, jorok/vulgar, membuat orang yang melihatnya terangsang secara seksual. Bentuk pornografi adalah seperti foto, poster, gambar video, film, tulisan, termasuk pula dalam bentuk alat visual lainnya yang memuat gambar atau kegiatan seksual (porno).

(24)

Menurut Bungin (2005 : 124) konsep porno yang paling umum dikenali karena sifatnya yang mudah dikenal, mudah ditampilkan dan mudah dicerna.

2.1.4 Por nogr afi

Pornografi berasal dari bahasa Yunani, istilah ini terdiri dari kata

porne yang berarti wanita jalang dan graphos atau graphien yang berarti

gambar atau tulisan, pornografi menunjuk pada gambar atau foto yang mempertontonkan bagian-bagian terlarang tubuh perempuan. Pengertian ini secara eksplisit menunjukkan bahwa pornografi selalu dan hanya berkaitan dengan tubuh perempuan. Dalam konteks Indonesia, kata porno berubah menjadi cabul, sementara istilah pornografi sendiri diartikan sebagai bentuk penggambaran tingkah laku secara erotis dengan lukisan untuk membangkitkan nafsu birahi atau bahan yang dirancang dengan sengaja dan semata-mata untuk membangkitkan nafsu birahi dalam seks (Lutfan, 2006 : 11).

Menurut Johan Suban, pornografi dapat dipahami sebagai suatu penyajian seks secara terisolir dalam bentuk tulisan, gambar, video, pertunjukkan dan kata-kata ucapan dengan maksud untuk merangsang nafsu birahi (Lutfan, 2006 :13).

(25)

dapat memasukkan suatu gambar, tulisan, atau apapun dalam kategori pornografi atau tidak, yaitu (Lutfan, 2006 : 39) :

1. Terdapat unsur kesengajaan untuk membangkitkan nafsu birahi orang lain.

2. Bertujuan atau mengandung maksud untuk merangsang nafsu birahi (artinya, sejak semula memang sudah ada rencana/maksud di benak pembuat atau pelaku untuk merangsang nafsu birahi khalayak atau setidaknya dia tahu kalau hasilnya dapat menimbulkan rangsangan di pihak lain).

3. Produk tersebut tidak mempunyai nilai lain kecuali sebagai sexual

simultant semata-mata.

4. Berdasarkan standar kontemporer masyarakat setempat, termasuk sesuatu yang tidak pantas diperlihatkan atau diperagakan secara umum.

Dari berbagai kenyataan empiris dan melalui pertimbangan yang matang, serta merujuk pada rumusan-rumusan pengertian yang sudah ada sebelumnya. Menurut Lutfan Muntaqo, pornografi dapat dirumuskan sebagai berikut :

(26)

Kebutuhan tubuh akan seks mempunyai keunikan dan sekaligus persoalan tersendiri, ia dihujat tetapi juga dibutuhkan, ia ingin mengekspresikan (norma/adat), kenyakinan (agama) dan seterusnya yang selama ini terbentuk dan menjadi acuan teologis-normatif bagi setiap komunitas (Lutfan, 2006 : 159).

Teks pornografi mendefinisikan hasrat-hasrat erotik dengan mengasingkannya dari konteks makna alamiahnya, selain terluput juga dari analisi estetika. Sebagai teks, pornografi biasanya memanfaatkan dan mereduksi tubuh perempuan sebagai tanda. Menurut Thelma McCormack dalam buku Kasiyan bahwa ada beberapa ciri yang menonjol dari teks pornografi, diantaranya adalah pertama, pornografi melakukan pelanggaran atas kaidah-kaidah sosial baku, karena ia menampilkan bentuk-bentuk perilaku seksual yang tidak diterima bagi masyaraktnya. Kedua, pelanggaran atas kaidah-kaidah sosial baku di dalam pornografi ditampilkan seolah-olah ia merupakan bagian alamiah dari kehidupan sehari-hari, seakan-akan ia memang diperbolehkan dan dipraktikkan secara luas oleh masyarakat (2008 : 258-259).

Pornografi umumnya dikaitkan dengan tulisan dan penggambaran, karena cara seperti itulah yang paling banyak ditemukan dalam mengekspos masalah seksualitas. Pornografi dapat diartikan sebagai :

(27)

2. Bahan/materi yang menonjolkan seksualitas secara eksplisit terang-terangan dengan maksud utama membangkitkan gairah seksual. 3. Tulisan atau gambar yang dimaksudkan untuk membangkitkan nafsu

birahi orang yang melihat atau membaca.

4. Tulisan atau penggambaran mengenai pelacuran.

5. Penggambaran hal-hal cabul melalui tulisan, gambar atau tontonan yang bertujuan mengeksploitasi seksualitas.

Dampak dari pornografi bagi masyarakat sangat luas, baik psikologis, sosial, etis maupun teologis. Secara psikologis, pornografi membawa beberapa dampak. Antara lain, timbulnya sikap dan perilaku antisosial. Selain itu kaum pria menjadi lebih agresif terhadap kaum perempuan. Yang lebih parah lagi bahwa manusia pada umumnya menjadi kurang responsif terhadap penderitaan, kekerasan dan tindakan-tindakan perkosaan. Akhirnya, pornografi akan menimbulkan kecenderungan yang lebih tinggi pada penggunaan kekerasan sebagai bagian dari seks.

(28)

muda sehingga mereka tidak lagi menghargai hakikat seksual, perkawinan dan rumah tangga.

Dari segi etika atau moral, pornografi akan merusak tatanan norma-norma dalam masyarakat, merusak keserasian hidup dan keluarga dan masyarakat pada umumnya dan merusak nilai-nilai luhur dalam kehidupan manusia seperti nilai kasih, kesetiaan, cinta, keadilan, dan kejujuran. Nilai-nilai tersebut sangat dibutuhkan masyarakat sehingga tercipta dan terjamin hubungan yang sehat dalam masyarakat. Sedangkan secara rohani dan teologis dapat dikatakan bahwa pornografi akan merusak harkat dan martabat manusia sebagai citra sang Pencipta/Khalik yang telah menciptakan manusia dengan keluhuran seksualitas sebagai alat Pencipta untuk meneruskan generasi manusia dari waktu ke waktu dengan sehat dan terhormat.

(http://www.menegpp.go.id/index.php?option=com_content&view=artic le&id=125:qpornografiq-dalam-budaya-indonesia&catid=38:artikel-perempuan&Itemid=114)

Berdasarkan Undang-Undang No 44/2008 tentang Pornografi, khususnya Pasal 17, yang menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

(29)

2.1.5 Undang-Undang Dasar Por nogr afi

UUD RI nomor 44 Tahun 2008 mengemukakan beberapa pasal mengenai pornografi, diantaranya :

Bab I

Kententuan Umum 1. Pasal 1

Pornografi adalah gambar, sketsa, ilustrasi foto, tulisan, suara, bunyi, gambar bergerak, animasi, kartun, percakapan, gerak tubuh, atau bentuk pesan lainnya melalui berbagai bentuk media komunikasi dan /atau pertujukan dimuka umum, yang memuat kecabulan atau eksploitasi seksual yang melanggar norma kesusilaan dalam masyarakat.

Bab 2

Larangan dan Pembatasan 2. Pasal 4

2.1 Ayat 1

Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak, menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat :

(30)

c. Masturbasi atau onani

d. Ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan

e. Alat kelamin, dan f. Pornografi anak. 2.2 Ayat 2

Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang : a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang

mengesankan ketelanjangan

b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin

c. mengeksploitasi atau memamerkan aktivitas seksual, dan menawarkan atau mengiklankan, baik langsung maupun tidak langsung layanan seksual.

3. Pasal 8

Setiap orang dilarang dengan sengaja atau atas persetujuan dirinya menjadi obyek atau model yang mengandung muatan pornografi. 4. Pasal 17

Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib melakukan pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

(31)

a. melakukan pemutusan jaringan pembuatan dan penyebarluasan produk pornografi atau jasa pornografi, termasuk pemblokiran pornografi melalui internet

b. melakukan pengawasan terhadap pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi

c. melakukan kerja sama dan koordinasi dengan berbagai pihak, baik dari dalam maupun dari luar negeri, dalam pencegahan pembuatan, penyebarluasan, dan penggunaan pornografi.

6. Pasal 27 ayat 1

Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan dan/atau membuat dapat diaksesnya Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik yang memiliki muatan yang melanggar kesusilaan.

2.1.6 Kategor isasi

(32)

1. Kata Merangsang

Adalah kata-kata dalam lirik lagu yang dapat merangsang pendengarnya.

2. Kata Aktivitas Seks

Adalah kata-kata dalam lirik lagu yang secara jelas menunjukkan adanya kegiatan seks.

3. Kata Mengarah Ke Aktivitas Seks

Adalah kata-kata dalam lirik lagu yang mengarah ke aktivitas seks. Sehingga orang yang mendengarkan lagu tersebut dapat membayangkan atau mengimajinasikan apa yang dituliskan dalam lirik lagu tersebut.

2.1.7 Pendekatan Semiotika

Semiotika sebagai suatu model dari ilmu pengetahuan sosial memahami dunia sebagai sistem hubungan yang memiliki unit dasar yang disebut dengan ‘tanda’. Tanda-tanda adalah perangkat yang kita pakai dalam upaya berusaha mencari jalan dunia ini, di tengah-tengah manusia, dan bersama-sama manusia. Semiotika pada dasarnya hendak mempelajari bagaimana kemanusiaan (humanity), memaknai hal-hal (things).

Secara etimologis istilah semiotik berasal dari kata Yunani

semeion yang berarti “tanda”. Tanda itu sendiri didefinisikan sebagai

(33)

terminologis, semiotik dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari sederetan luas objek-objek, peristiwa-peristiwa, seluruh kebudayaan sebagai tanda (Eco, 1979 : 6).

Bagi seseorang yang tertarik dengan semiotik, maka tugas utamanya adalah mengamati (observasi) terhadap fenomena-gejala di sekelilingnya melalui berbagai tanda yang dilihatnya. Tanda sebenarnya representasi dari gejala yang memiliki sejumlah kriteria seperti, nama (sebutan), peran, fungsi, tujuan, dan keinginan.

Menurut Littejohn (1996 : 64) dalam Sobur (2001 : 15) tanda-tanda (signs) adalah basis dari seluruh komunikasi dengan sesamanya. Tanda-tanda adalah perangkat yang dipakai dalam upaya berusaha mencari jalan di dunia ini, ditengah-tengah manusia, dan bersama manusia.

(34)

beberapa definisi diatas maka semiotika dan semiosis adalah ilmu atau proses yang berhubungan dengan tanda.

Pada dasarnya semiosis dapat dipandang sebagai suatu proses tanda yang dapat diberikan dalam istilah semiotika sebagai suatu hubungan antara lima istilah :

S (s, i, e, r, c)

S adalah semiotik relation (hubungan semiotik); s untuk sign (tanda); i untuk interpreter (penafsir); e untuk effect atau pengaruh (misalnya suatu disposisi dalam i akan bereaksi dengan cara tertentu terhadap r pada kondisi-kondisi tertentu c karena s); r untuk reference (rujukan); dan c untuk context (konteks) atau conditions (kondisi).

2.1.8 Semiologi Ronald Bar thes

(35)

Sedangkan pendekatan karya strukturalis memberikan perhatian tehadap kode-kode yang digunakan untuk menyusun makna. Strukturalisme merupakan suatu pendekatan yang secara khusus memperhatikan struktur karya seni. Fenomena kesastraan dan estetika didekati sebagai sistem tanda-tanda (Budiman, 2003 : 11).

Linguistik merupakan ilmu tentang bahasa yang sangat berkembang menyediakan metode dan peristilahan dasar yang dipakai oleh seseorang semiotikus dalam mempelajari semua sistem-sistem sosial lainnya. Semiologi adalah ilmu tentang bentuk, sebab ia mempelajari pemaknaan secara terpisah dari kandungannya (Kurniawan, 2001 : 156). Di dalam semiologi, seseorang diberikan kebebasan di dalam memaknai sebuah tanda.

Dalam pengkajian tekstual, Barthes menggunakan analisis naratif struktural yang dikembangkannya. Analisis naratif struktural secara metodologis berasal dari perkembangan awal atas apa yang disebut linguistik struktural sebagaimana perkembangan akhirnya dikenal sebagai semiologi teks atau semiotika. Jadi secara sederhana analisis naratif struktural dapat disebut juga sebagai semiologi teks karena memfokuskan diri pada naskah. Intinya sama yakni mencoba memahami makna suatu karya dengan menyusun kembali makna-makna yang tersebar dengan suatu cara tertentu (Kurniawan, 2001 : 89).

(36)

asli tanda, membutuhkan keaktifan pembaca agar berfungsi. Barthes secara panjang lebar mengulas apa yang sering disebut sebagai sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas sistem lain yang telah ada sebelumnya (Sobur, 2004 : 68-69).

Sastra merupakan contoh paling jelas sistem pemaknaan tataran kedua yang dibangun di atas bahasa sebagai sistem yang pertama. Sistem kedua ini oleh Barthes disebut konotatif, yang dalam Mythologies-nya secara tegas ia bedakan dari denotatif atau sistem pemaknaan tataran pertama. Barthes menggambarkannya dalam sebuah peta tanda :

Gambar 2.1 Peta Tanda Ronald Barthes 1. Signifier (penanda) 2. Signified (petanda)

3. Denotative Sign (tanda denotatif)

4. Connotative Signifier (penanda konotatif) 5. Connotative Signified

(petanda konotatif)

6. Connotative sign (tanda konotatif)

Sumber : Paul Cobley & Litza Jansa, 1999 dalam Alex Sobur, 2004 : 69

Dari peta Barthes di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda(2). Akan tetapi, pada saat bersamaan tanda denotatif adalah juga petanda konotatif (4). Dengan kata lain, hal tersebut merupakan unsur material : hanya jika Anda mengenal tanda “singa”, barulah konotasi seperti harga diri, kegarangan, dan keberanian menjadi mungkin (Cobley & Janz, 1999 : 51 dalam Sobur, 2004 :69).

(37)

inilah sumbangan Barthes yang sangat berarti bagi penyempurnaan semiologi Saussure, yang hanya berhenti pada tatanan denotatif.

Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya”, bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap. Akan tetapi, di dalam semiologi Ronald Barthes dan pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama sementara, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan dengan demikian, sensor atau represi politis. Sebagai reaksi yang paling ekstrim melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya. Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna bagi sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah (Budiman, 1999 : 22 dalam Sobur, 2004 : 70-71).

(38)

yang berlaku dalam suatu periode tertentu (Budiman, 2001 : 28 dalam Sobur, 2004 : 1). Di dalam mitos juga terdapat pola tiga dimensi penanda, petanda, dan tanda. Namun, sebagai suatu sistem yang unik, mitos dibangun oleh suatu rantai pemaknaan tataran kedua. Di dalam mitos pula petanda dapat memiliki beberapa penanda, sehingga dalam praktiknya terjadilah pemunculan sebuah konsep secara berulang-ulang dalam bentuk yang berbeda. Mitologi mempelajari bentuk-bentuk tersebut (Sobur, 2004 : 71).

Menurut Bertens (2001) tanda adalah suatu kesatuan dari suatu bentuk penanda atau petanda. Penanda adalah “bunyi yang bermakna” atau “coretan yang bermakna”. Jadi penanda adalah aspek material dari bahasa : apa yang dikatakan, apa yang didengar, dan apa yang ditulis atau dibaca. Petanda adalah gambaran mental, pikiran, atau konsep. Jadi petanda adalah aspek mental dari bahasa. Yang harus diperhatikan adalah bahwa dalam tanda bahasa yang konkret kedua unsur tersebut tidak dapat dilepaskan. Tanda bahasa selalu mempunyai dua segi

signifier (penanda) dan signified (petanda). Suatu penanda tanpa petanda

(39)

sebuah konsep dan citra suara (sound image), bukan menyatakan sesuatu nama. Suara yang muncul dari sebuah kata yang diucapkan merupakan penanda (signifier), sedangkan konsepnya adalah petanda (signified). Dua unsur ini tidak dapat dipisahkan, memisahkannya hanya akan menghancurkan “kata” tersebut (Sobur, 2004 : 47).

Semiologi Ronald Barthes tersususn atas tingkatan-tingkatan sistem bahasa. Umumnya Barthes membuatnya dalam dua tingkatan bahasa, bahasa pada tingkat pertama adalah sebagai objek dan bahasa tingkat kedua yang disebut metabahasa. Bahasa ini merupakan suatu sistem tanda yang memuat penanda dan petanda tingkat pertama sebagai petanda baru nada taraf yang lebih tinggi. Sistem tanda pertama kadang disebutnya sebagai konotasi atau sistem retoris atau mitologi. Fokus kajian Barthes terletak pada sistem tanda tingkat kedua atau metabahasa (Kurniawan, 2001 : 115).

(40)

merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, dan lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna (Sobur, 2004 : 70).

Konotasi dan metabahasa adalah cerminan berlawanan satu sama lain. Metabahasa adalah operasi yang membentuk mayoritas bahasa-bahasa ilmiah yang berperan sistem riil, dan dipahami sebagai petanda di luar kesatuan penanda-penanda asli, diluar alam deskriptif. Sedangkan konotasi meliputi bahasa-bahasa yang sifat utamanya sosial dalam hal pesan literatur memberi dukungan bagi makna kedua dari sebuah tatanan artifisila atau ideologis secara umum (Kurniawan, 2001 : 68).

(41)

konotasi merupakan pemaknaan tatanan kedua dari petanda, maka mitos pemaknaan tatanan kedua dari petanda (Fiske, 2006 : 121).

Gambar 2.2 Dua Tatanan Petandaan Barthes Sumber : Fiske, 2006 : 121-123

Pada tatanan kedua, sistem tanda dari tatanan pertama disisipkan ke dalam sistem nilai budaya.

Barthes menegaskan bahwa cara kerja pokok mitos adalah untuk menaturalisasikan sejarah. Ini menunjukkan kenyataan bahwa mitos sebenarnya merupakan produk kelas sosial yang mencapai dominasi melalui sejarah tertentu. Mitos menunjukkan maknanya sebagai alami, dan bukan bersifat historis atau sosial. Mitos memistifikasi atau mengaburkan asal-usulnya sehingga memiliki dimensi, sambil menguniversalisasikannya dan membuat mitos tersebut tidak bisa diubah, tapi juga cukup adil (Fiske, 2006 : 123).

Untuk membuat ruang atensi yang lebih lapang bagi deseminasi makna dan pluralitas teks, maka Barthes mencoba memilah-milah penanda-penanda pada wacana naratif ke dalam serangkaian fragmen ringkas dan beruntun yang disebutnya sebagai leksi-leksia (lexias), yaitu

Denotasi Penanda

Petanda

Mitos Konotasi Bentuk

(42)

satuan-satuan pembacaan (unit of reading) dengan panjang pendek yang bervariasi. Sepotong bagian teks yang apabila dibandingkan dengan teks lain disekitarnya adalah sebuah leksia. Akan tetapi sebuah leksia sesungguhnya bisa berupa apa saja, kadang hanya berupa satu-dua patah kata kadang kelompok kata, kadang beberapa kalimat, bahkan sebuah paragraf, tergantung pada ke”gampang”annya (convenience) saja. Dimensinya tergantung kepada kepekatan dari konotasi-konotasinya yang bervariasi sesuai dengan momen-momen teks. Dalam proses pembacaan teks, leksia-leksia tersebut dapat ditemukan baik pada tataran kontrak pertama diantara pembaca dan teks maupun pada saat satuan-satuan itu dipilah-pilah sedemikian rupa sehingga diperoleh aneka fungsi pada tatanan-tatanan pengorganisasian yang lebih tinggi (Budiman, 2003 : 54).

(43)

Dalam hal ini “pembacalah” yang memberikan makna dan penafsiran. “Pembaca” mempunyai kekuasaan absolut untuk memaknai sebuah hasil karya (lirik lagu) yang dilihatnya, bahkan tidak harus sama dengan maksud pengarang. Semakin cerdas pembaca itu menafsirkan, semakin cerdas pula karya lirik dalam lagu itu memberikan maknanya. Wilayah kajian “teks” yang dimaksud Barthes memang sangat luas, mulai bahasa verbal seperti karya sastra hingga fashion atau cara berpakaian. Barthes melihat seluruh produk budaya merupakan teks yang bisa dibaca secara otonom dari pada penulisnya.

2.1.8.1 Kode Pembacaan

Segala sesuatu yang bermakna tergantung pada kode. Menurut Ronald Barthes di dalam teks setidaknya beroperasi lima kode pokok yang di dalamnya semua penanda tekstual (baca : leksia) dapat dikelompokkan. Setiap atau masing-masing leksia dapat dimasukkan ke dalam salah satu dari lima buah kode ini. Kode-kode ini menciptakan sejenis jaringan. Adapun kode-kode pokok tersebut yang dengannya seluruh aspek tekstual yang signifikasi dapat dipahami, meliputi aspek sintagmatik dan semantik sekaligus, yaitu menyangkut bagaimana bagian-bagiannya berkaitan satu sama lain dan terhubung dengan dunia luar teks.

(44)

kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik (kode kultural) (Sobur, 2004 :65).

1. Kode Hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur terstruktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian di dalam cerita (Sobur, 2004 : 65).

2. Kode Semik (makna konotatif), yaitu menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat kumpulan satuan konotasi melekat, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” (Sobur, 2004 : 65-66).

(45)

4. Kode Proaretik atau kode tindakan/ perlakuan dianggapnya sebagai perlengkapan utama teks yang dibaca orang; artinya, antara lain semua teks yang bersifat naratif (Sobur, 2004 : 66). 5. Kode Gnomik atau kode kultural (budaya) banyak jumlahnya.

Kode ini merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub badaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasikan (Sobur, 2004 : 66).

2.1.9 Makna dalam Kata

Istilah makna (meaning) merupakan kata dan istilah yang membingungkan. Untuk menjelaskan isilah makna, harus dilihat dari segi kata, kalimat dan apa yang dibutuhkan oleh pembicara untuk berkomunikasi secara bentuk kebahasaan. Istilah makna meskipun membingungkan, sebenarnya lebih dengan kata. Sering kita berkata, apa artinya kata ini, apakah artinya kalimat itu? (Patede, 2001 : 79).

(46)

Kata merupakan momen kebahasaan yang bersama-sama dalam kalimat menyampaikan pesan dalam suatu komunikasi. Secara teknis, kata adalah satuan ujaran yang berdiri sendiri yang terdapat di dalam kalimat, dapat dipisahkan, dapat ditukar, dapat dipindahkan dan mempunyai makna serta digunakan untuk berkomunikasi. Makna dalam kata yang dimaksud disini, yakni berbentuk yang sudah dapat diperhitungkan sebagai kata atau dapat disebut sebagai makna leksikal yang terdapat di dalam kamus (Pateda, 2001 : 34).

2.1.10 Per ubahan Makna dan Ambiguitas

Bahasa berkembang terus sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa. Telah diketahui bahwa pemakaian bahasa telah diwujudkan di dalam bentuk kata dan kalimat. Manusialah yang menggunakan kata dan kalimat itu dan manusia pula menambah kosa kata yang sesuai dengan kebutuhannya (Pateda, 2001 : 156).

(47)

Telah dikemukakan bahwa bahasa berkembang sesuai dengan perkembangan pemikiran pemakai bahasa, karena manusia menggunakan kata-kata dan kalimat dan berubah terus, maka dengan sendirinya makna pun berubah. Dengan kata lain terjadi perubahan (Pateda, 2001 : 158).

Perubahan terjadi karena manusia sebagai pemakai bahasa menginginkannya. Pembicara membutuhkan kata, manusia membutuhkan kalimat untuk berkomunikasi. Ia membutuhkan kata baru, kadang-kadang karena belum ditemukan kata baru yang telah ada, atau boleh jadi ia mengubah makna kata yang ada sehingga muncul kata-kata yang bermakna ganda (Pateda, 2001 : 158).

Setiap kata mengandung makna. Makna itu ada yang sudah jelas, tetapi ada juga yang maknanya kabur. Setiap kata dapat saja mengandung lebih dari satu makna. Dapat saja sebuah kata mengacu pada sesuatu yang berbeda sesuai dengan lingkungan pemakainya. Hubungan makna tampak pula jika kata akan dirangkaikan satu dengan yang lain sehingga akan terlihat makna dalam pemakai bahasa (Pateda, 2001 : 200).

(48)

disebut ambiguitas. Dengan kata lain, sifat konstruksi yang dapat diberi dari satu tafsiran. Dan kalau diamati lebih cermat, baik kata maupun kalimat memang masih menimbulkan keraguan pada kita. Keraguan itu hilang jika pembicara mengukuhkan makna kata atau kalimat yang diujarkannya (Pateda, 2001 : 200).

2.2 Ker angka Ber pikir

Setiap individu memiliki latar belakang yang berbeda-beda dalam memaknai suatu peristiwa atau objek. Hal ini dikarenakan latar belakang pengalaman (field of reference) dan pengetahuan (frame of experience) yang berbeda-beda pada setiap individu tersebut. Dalam menciptakan sebuah pesan komunikasi, dalam hal ini pesan disampaikan dalam bentuk lagu maka pencipta lagu juga tidak terlepas dari dua hal tersebut.

Begitu juga peneliti dalam memaknai tanda dan lambang yang ada dalam obyek, juga berdasarkan pengalaman dan pengetahuan yang dimiliki peneliti melakukan pemaknaan terhadap tanda dan lambang berbentuk tulisan pada lirik lagu “Mobil Bergoyang” dalam menggambarkan pornografi dengan menggunakan metode semiologi dari Roland Barthes, sehingga akhirnya dapat diperoleh hasil dari pemaknaan lirik lagu tersebut.

(49)

sign) terdiri atas penanda (signifier) dan petanda (signified). Dan pada tataran

kedua tanda denotatif (denotative sign) juga merupakan penanda konotatif (konotative signifier) sehingga muncul petanda konotatif (konotative signified) yang akan membentuk tanda konotatif (konotative sign). Dalam tahap kedua dari tanda konotatif akan muncul mitos yang menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitar. Kemudian teks akan dimaknai dengan menggunakan lima kode Barthes, yaitu kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik (kode kultural) untuk pemaknaan melalui pembacaan dari kode-kode tersebut akan di ungkap substansi dari pesan dibalik lirik lagu “Mobil Bergoyang”.

Gambar 2.3

(50)

3.1 Metode Penelitian

Penelitian ini termasuk jenis penelitian kualitatif. Artinya data yang digunakan merupakan data kualitatif yaitu tidak menggunakan data atas angka-angka, melainkan berupa pesan-pesan verbal (tulisan) yang terdapat pada lirik lagu “Mobil Bergoyang”. Data-data kualitatif tersebut berusaha diinterpretasikan dengan rujukan, acuan, atau referensi-referensi secara ilmiah.

Alasan digunakan metode kualitatif interpretatif berdasarkan beberapa faktor yaitu menyesuaikan metode kualitatif lebih mudah apabila berhadapan dengan kenyataan ganda dan metode ini lebih peka dan lebih dapat menyesuaikan diri dengan banyak penajaman pengaruh bersama dan terhadap pola-pola nilai yang dihadapi (Moleong, 2002 :5). Menurut Bogdan dan Moleong (2002 : 5) menggunakan kualitatif sebagai berikut :

Metode kualitatif merupakan prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata lisan dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Pendekatan ini diarahkan pada individu secara holistik (utuh). Jadi dalam hal ini tidak boleh mengisolasikan individu ke dalam variabel atau hipotesis, tetapi memandangnya sebagai kebutuhan.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini bersifat kualitatif interpretatif, akan mendekonstruksi tanda-tanda dengan menggunakan metode semiologi dari Roland Barthes, yaitu metode signifikasi dua tahap

(51)

pada tatanan kedua tanda denotatif (denotative sign) juga merupakan penanda konotatif (connotative signifier) sehingga muncul petanda konotatif

(connotative signified) yang akan membentuk tanda konotatif (connotative

sign). Dalam tahap kedua dari tanda konotatif akan muncul mitos yang

menandai masyarakat yang berkaitan dengan budaya sekitar.

Dengan semiotika kita berurusan dengan tanda, dengan tanda-tanda kita mencoba mencari keteraturan di tengah dunia yang centang perenang ini, setidaknya agar kita mempunyai pegangan. “Apa yang dikerjakan oleh semiotika adalah mengerjakan kita bagaimana menguraikan aturan-aturan tersebut dan membawa pada sebuah kesadaran” (Sobur, 2003:16).

3.2 Cor pus

(52)

konteks yang beraneka ragam sehingga memungkinkan untuk memahami banyak aspek dari sebuah teks yang tidak dapat ditangkap atas dasar suatu analisis yang bertolak dari unsur tertentu yang terpisah dan berdiri sendiri dari teks yang bersangkutan (Arkoun dalam Ahmad, 2001:53). Kelebihan teori di atas menyimpulkan bahwa mendekati teks kita tidak didahului oleh anggapan atau interpretasi tertentu sebelumnya.

Corpus adalah suatu himpunan terbatas atau juga “berbatas” dari unsur yang memiliki sifat yang bernama atau tunduk pada aturan yang sama karena itu dapat dianalisis sebagai keseluruhan (Arkoun dalam Ahmad, 2001:43). Sedangkan corpus dalam penelitian ini adalah lirik lagu dengan judul “Mobil Bergoyang” yang dipopulerkan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi.

Dengan melakukan penghayatan dan mengekspresikan perasaannya ke dalam lagu tersebut. Lirik lagu “Mobil Bergoyang” selengkapnya sebagai berikut :

Lir ik lagu “Mobil Ber goyang” Setiap malam di pinggir pantai mobil bergoyang Tidak di pantai, tidak di hotel, orang bercinta Setiap malam di bawah lampu yang remang-remang Ada patroli tapi tak peduli yang penting hepi

Reff :

(53)

Biar di pantai di setiap mobil nikmat bercinta

Yang penting senang bergoyang bergoyang Di setiap mobil digoyang digoyang

Dipeluk cium merangsang merangsang Biarkan orang ah tegang ah tegang

Asalkan senang bukan kepalang Duh aduh sayang terasa melayang

Setiap malam di pinggir pantai mobil bergoyang Tidak di pantai, tidak di hotel, di mobil oke Repeat Reff 2x

3.3 Unit Analisis

(54)

senang bukan kepalang, duh aduh sayang terasa melayang, dll.

3.4 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini berasal dari data primer dan sekunder yang diperoleh dari :

1. Data Primer : pengumpulan data dalam penelitian ini dilakukan dengan cara mendengarkan lirik lagu “Mobil Bergoyang” yang dipopulerkan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi, kemudian membaca serta memahami kata-perkata dari lirik tersebut. Yang kemudian ditulis kembali oleh peneliti untuk dijadikan bahan penelitian.

2. Data Sekunder : pengumpulan data sekunder dengan melalui penggunaan bahan referensi, seperti buku-buku, artikel dan internet untuk memperoleh berbagai hal yang berhubungan dengan objek kajian yang diteliti.

3.5 Metode Analisis Data

(55)

tanda dalam lirik lagu sehingga mengetahui tanda denotatif dan konotatifnya. Kelima kode tersebut adalah :

1. Kode Hermeneutika atau kode teka-teki berkisar pada harapan untuk mendapatkan “kebenaran” bagi pertanyaan yang muncul dalam teks. Kode teka-teki merupakan unsur terstruktur yang utama dalam narasi tradisional. Di dalam narasi ada suatu kesinambungan antara pemunculan suatu peristiwa teka-teki dan penyelesaian di dalam cerita (Sobur, 2004 : 65).

2. Kode Semik (makna konotatif), yaitu menawarkan banyak sisi. Dalam proses pembacaan, pembaca menyusun tema suatu teks. Ia melihat bahwa konotasi kata atau frase tertentu dalam teks dapat dikelompokkan dengan konotasi kata atau frase yang mirip. Jika kita melihat kumpulan satuan konotasi melekat, kita menemukan suatu tema di dalam cerita. Perlu dicatat bahwa Barthes menganggap denotasi sebagai konotasi yang paling kuat dan paling “akhir” (Sobur, 2004 : 65-66).

3. Kode Simbolik merupakan aspek pengkodean fiksi yang paling khas bersifat struktural, atau tepatnya menurut konsep Barthes, pasca struktural. Hal ini didasarkan pada gagasan bahwa makna berasal dari beberapa oposisi biner atau pembedaan baik dalam taraf bunyi menjadi fonem dalam proses produksi wicara, maupun taraf oposisi psikoseksual yang melalui proses (Sobur, 2004 : 66).

(56)

merupakan acuan teks ke benda-benda yang sudah diketahui dan dikodifikasi oleh budaya. Menurut Barthes, realisme tradisional didefinisi oleh acuan ke apa yang telah diketahui. Rumusan suatu budaya atau sub badaya adalah hal-hal kecil yang telah dikodifikasikan (Sobur, 2004 : 66).

Dari penggabungan aspek tersebut, kemudian dapat ditarik kesimpulan suatu makna yang sebenarnya. Dan dari data yang diperoleh akan diinterpretasikan oleh peneliti sesuai dengan teori Roland Barthes yang mengenai pemaknaan dalam lirik lagu “Mobil Bergoyang”.

(57)

4.1 Gambaran Umum Objek Peneliti

Lagu-lagu yang ada di indonesia khususnya dangdut sering kali lirik dan syairnya berbau porno dan vulgar, hal itulah yang membuat gerah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) akhirnya mencekal lagu “Mobil Bergoyang” yang dinyanyikan oleh Lia MJ dengan Asep Rumpi. Lagu tersebut menggambarkan perilaku seks bebas dan bagaimana hubungan intim antar lawan jenis itu dilakukan.

Dari kata-kata yang dipilih sebagai sebuah lirik, memang sangat vulgar karena menggambarkan perilaku seks bebas dan tidak peduli dengan apa yang berlaku di masyarakat. Maka tak heran sepertinya jika lagu ini tak luput dari sorotan KPI.

Pencekalan lagu yang dilakukan oleh KPI disebabkan lirik lagu tersebut mengandung muatan seks secara eksplisit. Pencekalan ini hanya pada lagunya dan bukan pada artis yang menyanyikannya, bahkan KPI tidak segan-segan untuk memberi peringatan kepada stasiun TV atau radio yang menyiarkan lagu-lagu yang masuk daftar cekal. Ada sanksi dan teguran bagi stasiun tv atau radio yang menyiarkan lagu tersebut,

(58)

dan martabat manusia Indonesia.

Materi lagu tersebut juga sesungguhnya bertentangan dengan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3/SPS) tahun 2009 yakni Pasal 9 (penghormatan terhadap norma kesopanan dan kesusilaan), Pasal 17 (pelarangan adegan seksual), Pasal 18 (seks di luar nikah) dan Pasal 19 (Muatan seks dalam lagu dan video klip).

Lagu-lagu tersebut sebagian besar menggambarkan adegan hubungan intim (seks) secara vulgar, pembenaran terhadap perilaku seks di luar nikah dan prahara rumah tangga yang berpotensi ditiru oleh orang lain terutama anak-anak dan remaja. http://www.klik-galamedia.com/lirik-lagu-porno-indonesia-seni-atau-sensasi

Maraknya lagu dangdut dengan lirik bermuatan seksual mengundang keprihatinan banyak pihak . Cekal yang dilakukan oleh beberapa Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Daerah seperti Nusa Tenggara Barat, Bali, Jawa Barat, dan Yogyakarta atas lagu dangdut tersebut dinilai wajar, dan sesuai koridor hukum. Seperti pada lagu “Mobil Bergoyang” dengan kandungan lirik “Cari yang enak tak perlu mahal di hotel-hotel/ biar di pantai di setiap mobil nikmat bercinta/ yang penting senang bergoyang bergoyang/ di setiap mobil digoyang digoyang/ dipeluk cium merangsang merangsang/ biarkan orang ah tegang ah tegang”. http://www.jabarprov.go.id/index.php/subMenu/informasi/berita/detailberita/4180

(59)

remaja.

Apakah ini pemicu merajalelanya hubungan seksual bebas, gaya hidup hedonis, dan kebiasaan buruk lainnya yang biasa terjadi di tengah masyarakat? Tentu, bisa ya, bisa tidak. Atau, bisa jadi tidak sepenuhnya benar. Tetapi, lagu dangdut dengan lirik “tercemar” juga ikut andil menyumbang efek negatif pada hal itu. Meskipun, ada juga lagu-lagu dangdut populer masa kini yang masih relatif “aman” dan “sehat” untuk didengarkan.

Pengamat musik Denny Syakri menyebutkan kalau lagu berlirik porno itu jelas-jelas hanya mencari sensasi saja, namun mereka tidak memikirikan dampak kedepannya. Karena lagu dengan lirik nyeleneh akan mudah di ingat oleh masyarakat. Perlu diingat, lagu itu tidak hanya di dengarkan oleh orang dewasa tetapi anak-anak juga mendengarkan itu.

http://music.lintas.me/go/surabayapagi.com/lagu-dangdut-yang-dilarang-kpi/

Lagu Vulgar Dangdut Por no Mobil Ber goyang Dicekal

Karena dianggap vulgar dan porno lagu Mobil Ber goyang yang dinyanyikan pedangdut Lia MJ dan lagu Pengen Dibolongi yang dibawakan pedangdut Aan Anisa kenal cekal KPID. Setelah dicekal di wilayah Provinsi Jawa barat, Jawa Tengah pun ikut mencekal lagu dangdut hot itu.

(60)

terhadap materi isi lagu tersebut terdapat muatan pornografi.

“Lirik lagu Mobil Bergoyang dan Pengen Dibolongi terdapat muatan cabul, penggambaran adegan persetubuhan, penyaran hubungn seks bebas,” katanya di Semarang, Minggu (29/1).

Zaenal menyatakan, bahwa 2 lagu dangdut itu melanggar Pasal 36 ayat 5 UU Penyiaran, serta melanggar Pasal 17 dan Pasal 19 Standar Program Siaran (SPS). Lembaga penyiaran (LP) radio dan TV yang melanggar, serta masih menyiarkan 2 lagu porno itu akan dikenakan sanksi berupa teguran tertulis, atau bahkan penghentian sementara mata acara tersebut.

“KPID telah mengeluarkan larangan penyiaran lagu tersebut. Bila ada radio dan TV yang melanggar dikenai sanksi lebih berat, bisa dicabut izin siaran,” tandasnya.

Sebelumnya KPID Jateng juga telah melarang penyiaran lagu Belah Duren, Cucakrowo dan Wanita Lubang Buaya. Untuk itu, Zaenal mengimbau kepada pimpinan LP radio dan TV di Jateng agar berhati-hati dalam menyiarkan program siarannya. Supaya senantiasa memperhatikan UU Penyiaran dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3-SPS).

(61)

Salah satu area yang dirambah Barthes dalam studinya tentang tanda adalah peran dari pembaca. Roland Barthes sebagai salah satu seorang pengikut Saussure membuat model sistematika dalam menganalisa makna dari tanda-tanda. Fokus perhatian Barthes lebih bertujuan pada gagasan tentang signifikasi dua tahap terhadap tanda (two step of significations).

Tahap pertama, tanda merupakan hubungan antara signifier dan signified. Barthes menyebut sebagai denotasi, yaitu makna yang paling nyata dari tanda selanjutnya tahap kedua inilah makna konotasi dari tanda, hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaan. Dengan kata lain denotasi adalah apa yang digambarkan tanda terhadap suatu objek, sedangkan konotasi adalah bagaimana cara menggambarkannya (Fiske, 1990 :72).

Pada lirik lagu “Mobil Bergoyang”, signifikasi dua tahap (two step of

signification) yang dikemukakan Barthes sebagai berikut :

1. Signifier (penanda) :

4. Connotative Signifier (penanda konotatif) : Kata-kata yang bermakna paling nyata

5. Connotative Signified

(petanda konotatif) : Konsep

baru yang muncul dari pembaca terhadap kata-kata yang bermakna paling nyata

6. Connotative sign (tanda konotatif) : Kata-kata tersebut adalah konsep pembaca

Gambar 4.1 Peta Tanda Roland Barthes

(62)

konotatif tidak sekedar memiliki makna tambahan namun juga mengandung kedua bagian tanda denotatif yang melandasi keberadaannya (Sobur, 2003 : 68-69).

4.3 Penyajian dan Analisis Data 4.3.1 Penyajian Data

Berdasarkan kata-kata yang terdapat dalam lirik lagu ”Mobil Bergoyang” yang dipopulerkan oleh Lia MJ feat Asep Rumpi, maka dari hasil pengamatan tersebut, kemudian akan disajikan makna yang tersirat dalam lirik lagu ”Mobil Bergoyang” tersebut. Berikut ini adalah lirik lagu ”Mobil Bergoyang” yang selanjutnya akan diinterpretasikan dan dianalisis berdasarkan landasan teori semiologi Roland Barthes.

“Mobil Ber goyang” Bait 1

Setiap malam di pinggir pantai mobil bergoyang Tidak di pantai, tidak di hotel, orang bercinta Setiap malam di bawah lampu yang remang-remang Ada patroli tapi tak peduli yang penting hepi

Reff : Bait 2

(63)

Yang penting senang bergoyang bergoyang Di setiap mobil digoyang digoyang

Dipeluk cium merangsang merangsang Biarkan orang ah tegang ah tegang Bait 4

Asalkan senang bukan kepalang Duh aduh sayang terasa melayang Bait 5

Setiap malam di pinggir pantai mobil bergoyang Tidak di pantai, tidak di hotel, di mobil oke Repeat Reff 2x

4.3.2 Analisis Data

Pemaknaan lirik lagu “Mobil Bergoyang” oleh peneliti dilakukan pejabaran makna tiap kalimat yang terdiri dari rangkaian kalimat. Tentunya dalam memaknai pesan terkandung dalam lirik lagu “Mobil Bergoyang”, berdasarkan pengetahuan (frame of reference) dan pengalaman (field of

experience) dari peneliti. Setiap kata tertentu mengandung suatu makna

baik denotatif maupun konotatif. Disini peneliti berpedoman pada kamus lengkap bahasa Indonesia untuk menentukan makna yang telah disepakati bersama.

(64)

masyarakat umum.

Leksia adalah suatu satuan bacaan tertentu yang didapat dengan memotong-motong teks didalam lirik lagu “Mobil Bergoyang” sebagai objek dan bahan penelitian, supaya mendapatkan dan menemukan makna yang ada untuk dapat diproduksikan dan digambarkan oleh sang pembaca. Leksia ini dapat berupa satu kata, beberapa kata, satu kalimat, beberapa kalimat, satu paragraph dan beberapa paragraph. Kalimat-kalimat tersebut di analisis dengan beracuan pada lima kode pembacaan Roland Barthes yaitu : kode hermeneutik (kode teka-teki), kode semik (makna konotatif), kode simbolik, kode proaretik (logika tindakan), dan kode gnomik (kode kultural) yang membangkitkan suatu badan pengetahuan tertentu.

Pemaknaan J udul

Mobil bergoyang

Mobil : Kendaraan darat yang digerakkan oleh tenaga mesin, beroda empat atau lebih (selalu genap), biasanya menggunakan bahan bakar minyak untuk menghidupkan

Bergoyang : Goyang, berayun-ayun 1. Penanda : Mobil

bergoyang

2. Petanda : Konsep tentang kendaraan beroda empat yang bergerak berayun-ayun.

3. Tanda denotatif : Kendaraan beroda empat

4. Penanda konotatif : Kendaraan beroda empat yang disalah gunakan fungsinya

5. Petanda konotatif : Konsep tentang mempertegas

perbuatan 6. Tanda konotatif : Kendaraan beroda empat yang

digunakan untuk melakukan sesuatu (hubungan seks)

(65)

kalimat ini terdapat kata mobil bergoyang dan menimbulkan pertanyaaan apa yang dilakukan di dalam mobil tersebut?. Makna konotasinya adalah kendaraan beroda empat yang disalahgunakan fungsinya oleh segala usia dalam masyarakat umum. Dan melakukan hubungan yang melanggar hukum dan tidak sesuai dengan norma dan etika.

Pemaknaan Bait 1

Setiap malam di pinggir pantai mobil bergoyang

Tidak di pantai, tidak di hotel, orang bercinta

Setiap malam di bawah lampu yang remang-remang

Ada patroli tapi tak peduli yang penting hepi

Bait 1, kalimat k e-1 : Setiap malam di pinggir pantai mobil ber goyang

Malam : Waktu setelah matahari terbenam hingga matahari terbit Pantai : Tepi laut

Mobil : Kendaraan darat yang digerakkan oleh tenaga mesin, beroda empat atau lebih (selalu genap), biasanya menggunakan bahan bakar minyak untuk menghidupkan

(66)

mobil bergoyang tepi laut dengan menggunakan kendaraan beroda empat yang bergerak berayun-ayun.

3. Tanda denotatif : Kebiasaan yang dilakukan di tepi laut

4. Penanda konotatif : Kebiasaan 5. Petanda konotatif : Konsep tentang mempertegas

perbuatan 6. Tanda konotatif : Kendaraan beroda empat yang

digunakan untuk melakukan sesuatu (hubungan seks) sebagai kebiasaan yang dilakukan di tepi laut

Gambar 4.3 Peta Tanda Roland Bar thes bait 1 kalimat 1

Pada kalimat pertama ini termasuk kode Hermeneutik karena pada kalimat ini terdapat kata mobil bergoyang dan menimbulkan pertanyaaan apa yang dilakukan di dalam mobil tersebut?. Kode Semik karena terdapat kata pantai yang berarti tempat yang digunakan untuk melakukan seks bebas. Kode Simbolik karena dalam lirik tersebut terdapat kata yang merupakan simbol yaitu mobil, yang memiliki arti kendaraan darat yang digerakkan oleh tenaga mesin dan beroda empat. Kode Proaretik yang berarti kebiasaan yang dilakukan pada malam hari. Kode Gnomik, melakukan perbuatan yang menjadi budaya seks bebas pada saat ini.

(67)

ber cinta 3. Tanda denotatif : Dimana saja bisa

4. Penanda konotatif : Tempat mana pun bisa 5. Petanda konotatif : Konsep tentang tempat melakukan sesuatu (seks)

6. Tanda konotatif : Melakukan sesuatu (seks) bisa dilakukan di tempat mana pun

Gambar 4.4 Peta Tanda Roland Bar thes bait 1 kalimat 2

Pada kata orang bercinta termasuk dalam kode Hermeneutik karena menimbulkan pertanyaan apa yang dilakukan orang pada saat bercinta?. Kode Semik, karena terdapat kata pantai dan hotel yang berarti tempat yang digunakan untuk melakukan seks bebas. Kode

Proaretik, karena terdapat kalimat tidak di pantai, tidak di hotel yang

berarti di tempat mana pun orang bisa melakukan sesuatu (seks). Kode

Simbolik, karena terdapat kata orang yang berarti kata penggolong

untuk manusia. Kode Gnomik yang berarti melakukan sesuatu (seks) yang melanggar norma-norma dan agama.

Gambar

Gambar 2.1 Peta Tanda Ronald Barthes
Gambar 2.2 Dua Tatanan Petandaan Barthes Sumber : Fiske, 2006 : 121-123
Gambar 2.3 Bagan kerangka pikir peneliti tentang pemaknaan lirik lagu “Mobil Bergoyang”
Gambar 4.4 Peta Tanda Roland Barthes bait 1 kalimat 2
+3

Referensi

Dokumen terkait

Makna yang terkandung dalam lirik lagu boyband cekat – cekot ini adalah tentang perasaan iri hati terhadap boyband yang sedang menjadi fenomena di Tanah air.. Boyband

Sesuai dengan fokus masalah yang akan diteliti yaitu “Bagaimana makna dan mitos yang terkandung dalam lirik lagu “Jablay” yang dipopulerkan oleh Titi Kamal, dimana dalam

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan mengetahui representasi seksualitas dalam lirik lagu “Cinta Satu Malam” yang dibawakan oleh “Melinda” dengan menggunakan Semiologi

Kesimpulan pada pemaknaan lirik lagu “ Drama Keadilan “ yang dipopulerkan oleh Saykoji ini adalah banyaknya permasalahan – permasalahan yang dialami negara

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan dan menyebutkan sumber... Lirik lagu “Rindu” yang dibawakan penyanyi Agnes

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di utarakan tersebut di atas, maka pokok permasalahan dalam penelitian ini adalah :“Bagaimanakah pemaknaan dalam lirik

Dari perumusan masalah yang telah diuraikan di atas, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui makna lirik lagu “Rindu” yang dipopulerkan oleh Agnes

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui makna kritik social pada lirik lagu “Bobrokisasi Borokisme” yang dibawakan oleh Slank.. Metode analisis data dalam