• Tidak ada hasil yang ditemukan

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.6 (September 2020) Tema/Edisi : Hukum Agraria (Bulan Kesembilan)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.6 (September 2020) Tema/Edisi : Hukum Agraria (Bulan Kesembilan)"

Copied!
79
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis Volume 1 Nomor 6 (September 2020) Tema Hukum Agraria (Bulan Kesembilan)

Pemimpin Umum : Ivan Drago, S.H.

Editorial : Fazal Akmal Musyarri, S.H., M.H. Desain : Jacky Leonardo

Kontributor : Guardino Ibrahim Fahmi Harvi Fikri Ramesa Hary Stiawan Vanessa Virgonia Distribusi : Andriani Larasati, S.H.

Guardino Ibrahim Fahmi, S.H.

Okta Zeruya Samdra Pandapotan, S.H.

Redaksi Jurnal Hukum Lex Generalis Klinik Hukum Rewang Rencang

Jl. Borobudur Agung No.26 Malang, Kode Pos 65142 Telp: 087777844417

Email: jhlg@rewangrencang.com Website: Https://jhlg.rewangrencang.com/

Isi Jurnal Hukum Lex Generalis dapat Dikutip dengan Menyertakan Sumbernya (Citation is permitted with acknowledgement of the source)

(3)

DAFTAR ISI

Guardino Ibrahim Fahmi dkk.

Reformasi Pengadaan Lahan Pembangunan Infrastruktur Melalui SPAT Sebagai Upaya Meminimalisir Kesenjangan Pembangunan Infrastruktur Antar Wilayah di Indonesia ... 1 Harvi Fikri Ramesa

Analisis Makna Kata Keseimbangan dalam Pasal 9 (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ... 23 Hary Stiawan

Pengaturan Perjanjian Sewa-Menyewa Ruang di Atas dan di Bawah Permukaan Tanah (Studi Perbandingan Negara Indonesia, Negara Amerika Serikat dan Negara Belanda) ... 60 Vanessa Virgonia dkk.

Hak Menguasai dari Desa Atas Tanah, Hak-Hak Individual atas Tanah, Konversi Hak Atas Tanah Swapraja ... 82

(4)

KATA PENGANTAR DIREKTUR UTAMA REWANG RENCANG

Tanah merupakan unsur esensial yang senantiasa dibutuhkan umat manusia. Keberadaan tanah yang maha penting ini, tidak dapat lepas dari peranan hak-hak atas tanah yang melekat padanya. Hak atas tanah tersebut disematkan, dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi tiap subjek hukum yang memiliki maupun menguasai tanah di wilayah Indonesia. Tapi Agraria tidak hanya membahas perihal tanah, melainkan pula apa yang terkandung didalamnya, pun demikian dengan yang mengelilinginya. Dalam Jurnal ini akan dibahas secara detail segmentasi bidang-bidang agraria yang tidak biasa. Terimakasih bagi para penulis yang telah memberikan sumbangsih penelitiannya. Dan kepada para pembaca, Selamat Membaca.

Malang, 23 September 2020

Ivan Drago, S.H. CEO Rewang Rencang

(5)

KATA PENGANTAR EDITORIAL

Selamat bahagia para pembaca, rekan sivitas akademika, praktisi dan masyarakat umum pemerhati hukum. Selamat datang di Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Jurnal ini kami buat sebagai bentuk dedikasi kami terhadap dunia keilmuan hukum untuk menampung karya-karya tentang Hukum. Adapun lima tujuan utama Jurnal Hukum Lex Generalis sebagai berikut:

1. Sebagai wadah penampung karya yang berhubungan dengan ilmu hukum; 2. Sebagai sarana memperluas wawasan pemerhati hukum;

3. Sebagai glosarium, ensiklopedia atau kamus umum ilmu hukum; 4. Sebagai garda rujukan umum untuk keperluan sitasi ilmiah;

5. Sebagai referensi ringan terkhusus bagi sivitas akademika yang berbahagia. Kami sangat senang jika anda sekalian dapat memanfaatkan wawasan dan ilmu yang termuat dalam Jurnal ini. Sebagai penutup, Editorial berterimakasih banyak kepada para pihak yang telah mensukseskan Jurnal Hukum Lex Generalis yang terbit pada bulan Agustus 2020 bertema “Hukum Agraria” dan akan terbit setiap bulan dengan tema atau topik berbeda, semoga dapat berlanjut hingga kesempatan berikutnya.

Malang, 22 September 2020

Fazal Akmal Musyarri, S.H., M.H. Dewan Editorial RR : JHLG

(6)

Undangan untuk Berkontribusi

Dewan Editorial Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis mengundang para akademisi hukum, praktisi hukum, pemerhati hukum dan masyarakat umum untuk menyumbang karya-karyanya baik berupa makalah, opini hukum, esai, dan segala bentuk karya tulis ilmiah untuk dimuat dalam edisi-edisi JHLG dengan

tema berbeda setiap bulannya. Untuk informasi lebih lanjut silahkan akses: Https://jhlg.rewangrencang.com/

(7)

Indonesia

REFORMASI PENGADAAN LAHAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR MELALUI SPAT SEBAGAI UPAYA MEMINIMALISIR KESENJANGAN PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR ANTAR WILAYAH DI INDONESIA

Guardino Ibrahim Fahmi dan Fazal Akmal Musyarri

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : guardinoibrahim@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Fahmi, Guardino Ibrahim. Reformasi Pengadaan Lahan Pembangunan Infrastruktur Melalui

SPAT sebagai Upaya Meminimalisir Kesenjangan Pembangunan Infrastruktur Antar Wilayah di Indonesia. Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.6 (September 2020).

ABSTRAK

Pembebasan lahan merupakan problematika yang mempengaruhi pembangunan infrastruktur di Indonesia. Berbagai permasalahan tentang pembebasan lahan dapat menghambat perkembangan ekonomi dan menambah kesenjangan pembangunan di Indonesia. Berbagai upaya telah dilakukan oleh Pemerintah untuk terus mendukung dan mensukseskan program pembebasan lahan. Masalah yang sering dihadapi dalam proses pengadaan tanah adalah sengketa pertanahan disamping sengketa hukum. Berbagai sengketa yang ada berpotensi menghambat pembangunan suatu proyek infrastruktur, bahkan tak jarang proyek infrastruktur tersebut menjadi terbengkalai hingga bertahun-tahun. Disinilah untuk selanjutnya penegakan atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum diharapkan dapat menjadi sarana kelancaran proses pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum, khususnya infrastruktur. Menurut undang-undang a quo, pengadaan tanah untuk infrastruktur ditetapkan oleh Gubernur melalui surat keputusan untuk menunjuk suatu wilayah sebagai lahan pembangunan infrastruktur. Apabila terdapat keberatan, maka akandiajukan gugatan ke PTUN. Apabila terdapat sisa pengadaan tanah yang belum dibebaskan, maka akan kembali ke siklus administrasi awal. Hal tersebut tentu membuat penyelesaian sengketa menjadi lebih lama dan rumit sehingga terkesan kurang efektif. Terlebih lagi, apabila suatu infrastruktur yang akan dibangun merupakan proyek strategis pemerintah. Sehingga penulis menggagas suatu grand design berupa Sistem Peradilan Agraria Terpadu (SPAT) yang mengkolaborasikan antara beberapa ranah hukum, mengingat hukum agraria sulit dikategorisasi ke dalam ranah hukum perdata, hukum pidana, maupun hukum admimistrasi. Penangananan hukum agraria tidak dapat ditangani melalui hukum acara yang ada saat ini, sehingga membutuhkan hukum acara yang lebih khusus dan terpadu. Metode penelitian yang digunakan ialah dengan yuridis normatif,

(8)

dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konsep. SPAT adalah sistem peradilan terpadu khusus untuk mengadili sengketa di bidang hukum agraria, yang tidak hanya menggunakan hukum positif dalam peraturan perundang-undangan, namun juga mengakomodasi hukum adat yang berlaku. SPAT diimplementasikan melalui Pengadilan Agraria dengan memberdayakan hakim khusus ekspertasi hukum agraria. Dalam sengketa agraria khususnya persiapan pengadaan lahan untuk tanah yang akan dibangun infrastruktur, pemerintah mengajukan permohonan penetapan lahan. Lalu pengadilan membuktikan dengan melakukan peninjauan empiris mengenai lahan yang akan ditetapkan sebagai lahan infrastruktur. Dikarenakan berlaku terhadap masyarakat maupun masyarakat hukum adat, sehingga hukum yang digunakan tidak hanya hukum positif namun juga hukum yang berlaku di masyarakat suatu daerah. Dengan dibentuk dan diimplementasikannya SPAT ini diharapkan dapat mempercepat pembangunan infrastruktur sehingga kesenjangan antar wilayah di Indonesia dapat diminimalisir.

Kata Kunci : Pembangunan Infrastruktur, Pengadaan Lahan, Sistem Peradilan Agraria Terpadu (SPAT)

(9)

Indonesia

A. PENDAHULUAN

Infrastruktur berperan sebagai roda penggerak pertumbuhan perekonomian Indonesia.1 Namun dalam pengadaan infrastruktur tersebut, pembebasan tanah untuk proyek merupakan problematika yang sering terjadi khususnya dalam hal pembayaran ganti rugi terhadap tanah yang akan dibebaskan.2 Hal tersebut dapat

disebabkan karena tidak tercapainya kesepakatan harga antara pemilik tanah dengan pemerintah.3 Di satu sisi, pemerintah terkadang menetapkan nominal ganti

rugi lebih rendah4, namun di sisi lain juga dapat disebabkan masyarakat yang

terlalu “nakal” karena menuntut besaran harga yang terlalu tinggi5.

Terhambatnya pembangunan infrastruktur khususnya infrastruktur dengan skala prioritas tinggi berimplikasi pada terganggunya kepentingan umum6. Padahal, Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria menyatakan secara tegas bahwasannya “Semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial”.7 Mengingat keadilan sosial merupakan poin penting dalam Pancasila, maka diperlukan solusi atas pengadaan tanah khususnya dalam hal penentuan keadilan antara pemerintah dengan pemilik tanah. Penulis menggagas grand design Sistem Peradilan Agraria Terpadu (SPAT) yang diwujudkan dalam karya tulis berjudul “Reformasi Pengadaan Lahan Pembangunan Infrastruktur Melalui SPAT sebagai Upaya Meminimalisir Kesenjangan Pembangunan Infrastruktur Antar Wilayah di Indonesia”.

1 Abdul Haris, Pengaruh Penatagunaan Tanah Terhadap Keberhasilan Pembangunan

Infrastruktur dan Ekonomi, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional, Jakarta, 2009, Hlm.1.

2 Ujang Bahar, Permasalahan Pembayaran Ganti Rugi Pengadaan Tanah Bagi

Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Jurnal Hukum dan Pembangunan, Tahun

ke-38, No.1 (Januari-Maret 2008), Hlm.126.

3 Bambang Istijono, Lahan Menjadi Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Pembangunan

untuk Kepentingan Umum, Jurnal Rekayasa Sipil, Vol.10, No.2 (Oktober 2014), Hlm.59.

4 Letezia Tobing, Langkah Hukum Bila Tak Sepakat Besaran Ganti Rugi Pembebasan

Tanah, diakses dari

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5283c878ea908/langkah-hukum-bila-tak-sepakat-besaran-ganti-rugi-pembebasan-tanah, diakses pada 12 Maret 2018, jam 10.48 WIB.

5 Pusdatin, Pembebasan Lahan untuk Proyek Tol Sudah Bisa Gunakan Perpres, diakses

dari http://www3.pu.go.id/berita/3279/PEMBEBASAN-LAHAN-UNTUK-PROYEK-TOL-SUDAH-BISA-GUNAKAN-PERPRES, diakses pada 12 Maret 2018, jam 10.16 WIB.

6 Evi Fajriantina Lova, Pengadaan Tanah dalam Pembangunan Infrastruktur Jalan Tol

oleh Badan Usaha Milik Negara (Persero), Universitas Brawijaya, Malang, 2016, Hlm.4.

7 Indonesia (1), Undang-Undang tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, UU No.5

(10)

1. Rumusan Masalah

Rumusan masalah yang ditarik dalam karya tulis ini meliputi :

1. Bagaimana kondisi pengadaan lahan pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini?

2. Bagaimana konsep reformasi sistem pengadaan lahan infrastruktur melalui SPAT sebagai upaya meminimalisir kesenjangan pembangunan infrastruktur antar wilayah di Indonesia?

2. Tujuan

Adapun tujuan dari dibuatnya karya tulis ilmiah ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui kondisi pengadaan lahan pembangunan infrastruktur

di Indonesia saat ini.

2. Untuk mengetahui konsep reformasi sistem pengadaan lahan infrastruktur melalui SPAT sebagai upaya meminimalisir kesenjangan pembangunan infrastruktur antar wilayah di Indonesia.

3. Manfaat

1. Manfaat Teoritis

Diharapkan dapat mendorong kajian mengenai urgensi problematika dan solusi atas ganti rugi pengadaan lahan pembangunan infrastruktur. 2. Manfaat Aplikatif

a. Bagi Akademisi

Penelitian ini bermanfaat bagi civitas akademika guna merumuskan penelitian lebih lanjut tentang Sistem Peradilan Agraria Terpadu (SPAT).

b. Bagi Pemerintah

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai bahan masukan dalam optimalisasi penguatan dan penegakan hukum agraria dalam pengadaan lahan pembangunan infrastruktur di Indonesia kedepannya. c. Bagi Masyarakat

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan wawasan kepada masyarakat mengenai pengadaan lahan infrastruktur di Indonesia.

(11)

Indonesia

B. TINJAUAN PUSTAKA 1. Hukum Agraria

Istilah agraria berasal dari kata akker (Bahasa Belanda), agros (Bahasa Yunani) berarti tanah pertanian, agger (Bahasa Latin) berarti tanah atau sebidang tanah, agrarius (Bahasa Latin) berarti perladangan, persawahan, pertanian,

agrarian (Bahasa Inggris) berarti tanah untuk pertanian.8 S.J. Fockema Andrea

merumuskan Agrarische Recht atau hukum agraria sebagai keseluruhan peraturan-peraturan hukum mengenai usaha dan tanah pertanian, tersebar dalam berbagai bidang hukum (hukum perdata, hukum pemerintahan) yang disajikan sebagai satu kesatuan untuk keperluan studi tertentu.9

Berdasarkan kedua pendapat pakar hukum tersebut dapat disimpulkan bahwa hukum agraria adalah hukum yang mengatur tentang tanah baik berkaitan dengan urusan keperdataan maupun pemerintahan (administratif) beserta institusi-institusi yang berwenang atas hal tersebut. Hukum Agraria Keperdataan adalah keseluruhan dari ketentuan hukum yang bersumber pada hak perorangan dan badan hukum yang memperbolehkan, mewajibkan, melarang diperlakukan perbuatan hukum yang berhubungan dengan tanah sebagai objeknya.10 Pada dasarnya hukum agraria dapat digolongkan menjadi hukum administrasi, perdata, ataupun pidana. Acara peradilan hukum agraria dilakukan di pengadilan negeri.

Hukum agraria merupakan salah satu hukum yang digunakan untuk mengatur penggunaan dan pemanfaatan hasil dari alam. Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), dijelaskan pengertian agraria meliputi bumi, air, dan ruang angkasa serta kekayaan alam yang terkandung di dalamnya (Pasal 1 ayat (2)). Sementara itu pengertian bumi meliputi permukaan bumi (yang di sebut tanah), tubuh bumi di bawahnya serta yang berada dibawah air (Pasal 1 ayat (4) jo. Pasal 4 ayat (1)).7

8 Urip Santoso, Hukum Agraria Kajian Kompherhensif, Penerbit Kencana Prenadamedia

Group, Jakarta, 2013, Hlm.1.

9 Samun Ismaya, Pengantar Hukum Agraria, Penerbit Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011,

Hlm.6.

(12)

Boedi Harsono menyatakan hukum agraria bukan hanya merupakan satu perangkat bidang hukum. Hukum agraria merupakan satu kelompok berbagai bidang hukum yang masing-masing mengatur hak-hak penguasaan atas sumber-sumber daya alam tertentu yang termasuk pengertian agraria. Kelompok berbagai bidang hukum tersebut terdiri atas11 :

a. Hukum Tanah yang mengatur hak-hak penguasaan atas tanah dalam arti permukaan bumi.

b. Hukum Air yang mengatur hak-hak penguasaan air.

c. Hukum Pertambangan yang mengatur hak-hak penguasaan atas bahan- bahan galian yang dimaksud oleh Undang-Undang Pertambangan. d. Hukum Perikanan yang mengatur hak-hak penguasaan atas kekayaan

alam yang terkandung didalam air.

e. Hukum Penguasaan Atas Tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang mengatur hak-hak penguasaan atas tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa yang dimaksudkan oleh Pasal 48 UUPA.

2. Hukum Acara

Hukum Acara adalah kumpulan ketentuan-ketentuan dengan tujuan memberikan pedoman dalam usaha mencari kebenaran dan keadilan bila terjadi perkosaan atas suatu ketentuan hukum dalam hukum materiil yang berarti memberikan kepada hukum acara suatu hubungan yang mengabdi kepada hukum materiil.12 Dapat dikatakan juga bahwa hukum formil atau hukum acara merupakan suatu alat penegak hukum materiil.13 Hukum acara pada dasarnya juga merupakan perwujudan nyata bagaimana jalannya sistem peradilan yang ada di Indonesia, baik itu sistem peradilan pidana ataupun perdata atau hukum yang digunakan untuk mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara mengajukan perkara dan mengetahui cara-cara hakim memutus kasus.

11 Urip Santoso, Op.Cit, Hlm.5-6.

12 R. Soeroso, Praktik Hukum Acara Perdata (Tata Cara dan Proses Persidangan),

Penerbit Sinar Grafika, Jakarta, 1994, Hlm.3.

13 Melay, Hukum Formil Dan Materil, Kekuasaan Kehakiman, Peradilan, Surat Kuasa,

diakses dari http://mediasi.mahkamahagung.go.id/questions/question/hukum-formil-dan-materil-kekuasaan-kehakiman-peradilan-surat-kuasa/, diakses pada 13 Maret 2018, jam 19.07 WIB.

(13)

Indonesia

Menurut Kansil, Hukum Acara ialah Hukum Formal (Hukum Proses atau Hukum Acara) yaitu hukum yang memuat peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-cara melaksanakan dan mempertahankan hukum materiil atau peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke pengadilan dan bagaimana cara-caranya hakim memberi keputusan.14

Kemudian menurut E. Utrecht bahwa Hukum Acara adalah hukum yang menujukkan cara bagaimana peraturan-peraturan hukum materiil yang dipertahankan dan diselengarakan.15 Menurut Van Kan, Hukum Acara atau

Hukum Formal adalah hukum yang hanya mempunyai arti turunan; hanya dipergunakan untuk menjamin pelaksanaan dari kaidah materiil yang telah ada.16

Menilik pengertian yang disampaikan para ahli, dapat disimpulkan bahwa Hukum Acara yaitu peraturan hukum yang mengatur tentang cara bagaimana mempertahankan, menjalankan, dan melaksanakan peraturan hukum material atau mengetahui peraturan-peraturan yang mengatur bagaimana cara-caranya mengajukan sesuatu perkara ke pengadilan mengetahui cara-caranya hakim memberi keputusan dalam suatu peradilan. Kekuasaan peradilan disini dapat diartikan sebagai kekuasaa lembaga kehakiman dalam menyelesaikan dan memutuskan suatu perkara dan juga memberikan keputusan seadil-adilnya bagi mereka yang menuntut keadilan untuk ditegakkan.

Asas dalam hukum acara dapat ditemui Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman yang dalam Pasal 1 undang-undang tersebut menyatakan bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum keadilan berdasarkann Pancasila, demi terselenggaranya negara Hukum Republik Indonesia”. Dalam pasal tersebut disebutkan bahwa kekuasaan Kehakiman secara terarah dan ajeg, bebas dari campur tanga kekuasaan lembaga negara lainnya tidak berarti dapat sewenang-wenang dan absolut menyelenggarakan tugasnya melainkan wajib memperhatikan secara benar “Perasaan adil bangsa dan rakyat Indonesia”.

14 Sudarsono, Pengantar Tata Hukum Indonesia, Penerbit Rineka Cipta, Jakarta, 1991,

Hlm.58.

15 Sudarsono, Ibid, Hlm.59. 16 Sudarsono, Ibid, Hlm.60.

(14)

3. Pembanguan Infrastruktur

Definisi infrastruktur dalam kamus besar bahasa Indonesia dapat diartikan sebagai sarana dan prasarana umum. Sarana secara umum diketahui sebagai fasilitas publik seperti rumah sakit, jalan, jembatan, sanitasi, telepon, dan sebagainya. Dalam ilmu ekonomi infrastruktur merupakan wujud dari public capital (modal publik) yang dibentuk dari investasi yang dilakukan pemerintah. Infrastruktur tersebut meliputi jalan, jembatan, dan saluran pembuangan.17

Menurut Grigg (1998) infrastruktur merupakan sistem fisik yang menyediakan transportasi, pengairan, drainase, bangunan gedung, dan fasilitas publik lainnya, yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia baik kebutuhan sosial maupun kebutuhan ekonomi. Dalam hal ini, hal-hal yang terkait dengan infrastruktur tidak dapat dipisahkan satu sama lainnya. Sistem lingkungan dapat terhubung karena adanya infrastruktur yang menopang antara sistem sosial dan sistem ekonomi. Ketersediaan infrastruktur memberikan dampak terhadap sistem sosial dan sistem ekonomi yang ada di masyarakat. Maka infrastruktur perlu dipahami sebagai dasar-dasar dalam mengambil kebijakan.18

Infrastruktur merupakan suatu wadah untuk menopang kegiatan-kegiatan dalam satu ruang. Ketersediaan infrastruktur memberikan akses mudah bagi masyarakat terhadap sumber daya sehingga dapat meningkatkan efisiensi dan produktivitas dalam melakukan kegiatan sosial maupun ekonomi. Dengan meningkatnya efisiensi otomatis, secara tidak langsung meningkatkan perkembangan ekonomi dalam suatu wilayah. Sehingga menjadi sangat penting peran infrastruktur dalam perkembangan ekonomi.

Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2004-2009 dijelaskan tentang konsep pembangunan infrastruktur yang merupakan bagian integral dari pembangunan nasional. Infrastruktur merupakan roda penggerak pertumbuhan ekonomi. Kedepannya, pendekatan pembangunan infrastruktur berbasis pendekatan kewilayahan semakin penting untuk diperhatikan dan dilakukan demi tercipta pemerataan pembangunan dan mereduksi kesenjangan.

17 N. Gregory Mankiw, Teori Makro Ekonomi, Penerbit Erlangga, Jakarta, 2000, Hlm.38. 18 Robert J. Kodoatie, Pengantar Manajemen Infrastruktur dalam Muhammad Amin

Cakrawijaya, Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan terhadap Perkembangan Ekonomi Kawasan Pedesaan, UNDIP Institutional Repository, Semarang, 2013, Hlm.8.

(15)

Indonesia

C. PEMBAHASAN

1. Kondisi Pengadaan Lahan Infrastruktur di Indonesia Saat Ini

Manusia memerlukan tanah karena tanah memberikan banyak manfaat bagi kehidupan manusia baik yang bernilai ekonomis maupun non ekonomis.19 Tanah

merupakan suatu komponen yang tidak bisa lepas dari kehidupan masyarakat. Peran tanah dalam setiap sendi dan aktifitas kehidupan menjadi faktor pendukung yang sangat kuat. Pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah, memiliki sisi positif dan negatif jika hal tersebut tidak disesuaikan dengan pertimbangan dan langkah yang tepat. Sejalan dengan perkembangan zaman, permasalahan yang muncul dari kegiatan yang dilakukan pemerintah terkait dengan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum infrastruktur, tidak sesederhana yang dibayangkan karena adanya faktor yuridis dan non yuridis.

Dewasa ini, hampir tidak ada kegiatan pembangunan yang tidak memerlukan lahan. Lahan tanah yang digunakan dapat berupa tanah yang dikuasai negara atau tanah yang dimiliki dengan suatu hak oleh suatu obyek hukum yang dapat berupa hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan atau hak pakai. Tantangan yang dihadapi oleh pelaksana pembangunan di daerah, selain masalah kinerja kontraktor, kinerja konsultan, koordinasi dengan pihak terkait yang berhubungan dengan kelancaran suatu pekerjaan adalah masalah penyediaan lahan tanah yang terkena tapak bangunan.20 Sebagai contoh pembangunan bendungan dan saluran irigasi di Sawah Laweh Tarusan untuk mengairi sawah lebih dari 3.200 hektar di Kabupaten Pesisir Selatan, yang terbengkalai selama delapan bulan sejak kontrak ditandatangani oleh PPK Kementerian Pekerjaan Umum dan Kontraktor PT. Adhi Karya karena masih terdapat lahan belum bebas.21

19 Priska Yulita Raya, Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan

Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012, Jurnal Hukum, Vol.9 (2014), Hlm.1.

20 Bambang Istijono, Lahan Menjadi Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Jurnal Rekayasa Sipil, Vol.10 No.2 (Oktober 2014),

Hlm.1.

21 M. Joni, Jaringan Irigasi Sawah Laweh Tarusan Pessel Mampu Melayani Ribuan Hektar

Sawah Masyarakat, diakses dari

http://berita.pesisirselatankab.go.id/berita/detail/jaringan-irigasi-sawah-laweh-tarusan-pessel--mampu-melayani-ribuan-hektar-sawah-masyarakat, diakses pada 14 Maret 2018, jam 06.46 WIB.

(16)

Pengadaan tanah pembangunan untuk kepentingan umum banyak dilakukan melalui pemberian ganti rugi tanah, bangunan dan tanaman, yang mana mekanismenya diatur dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012. Dimana dalam peraturan tersebut dijelaskan bahwa dalam pemberian ganti rugi tanah harus berdasarkan dengan beberapa asas yang berlaku. Substansi Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum didasarkan pada beberapa asas hukum yang meliputi22 :

a. Asas Kemanusiaan, pengadaan tanah harus memberikan perlindungan serta penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, harkat dan martabat setiap warga negara dan penduduk Indonesia secara proposional.

b. Asas Keadilan, memberikan jaminan penggantian yang layak kepada pihak yang berhak dalam proses pengadaan tanah sehingga mendapatkan kesempatan untuk dapat melangsungkan kehidupan yang lebih baik. c. Asas Kemanfaatan, hasil pengadaan tanah mampu memberikan manfaat

secara luas bagi kepentingan masyarakat, bangsa dan negara.

d. Asas Kepastian, memberikan kepastian hukum tersedianya tanah dalam proses pengadaan tanah untuk pembangunan dan memberikan jaminan kepada pihak yang berhak untuk mendapatkan ganti kerugian yang layak. e. Asas Keterbukaan, pengadaan tanah untuk pembangunan dilaksanakan

dengan memberikan akses kepada masyarakat untuk mendapatkan informasi yang berkaitan dengan pengadaan tanah.

f. Asas Kesepakatan, proses pengadaan tanah dilakukan dengan musyawarah para pihak tanpa unsur paksaan untuk mendapatkan kesepakatan bersama.

g. Asas Keikutsertaan, dukungan dalam penyelenggaraan pengadaan tanah melalui partisipasi masyarakat, baik secara langsung, sejak perencanaan sampai dengan kegiatan pembangunan.

h. Asas Kesejahteraan, pengadaan tanah untuk pembangunan dapat memberikan nilai tambah bagi kelangsungan kehidupan pihak yang berhak dan masyarakat secara luas.

i. Asas Keberlanjutan, kegiatan pembangunan dapat berlangsung secara terus menerus, berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang diharapkan.

j. Asas Keselarasan, pembangunan tanah untuk pembangunan dapat seimbang dan sejalan dengan kepentingan masyarakat dan negara.

22 Bambang Istijono, Lahan Menjadi Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Jurnal Rekayasa Sipil, Vol.10, No.2, (Oktober 2014),

(17)

Indonesia

Dengan berdasarkan kepada beberapa asas yang disebutkan diatas pemerintah mengharapkan akan adanya suatu norma hukum yang mengatur tentang pembebasan lahan yang berdasarkan pada Undang-undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan tanah bagi pembangunan untuk kepentingan umum. Tapi pada kenyataanya muncul berbagai masalah yang berkenaan dengan pembebeasan lahan yang semakin memperburuk hubungan pemerintah dan masyarakat dan menyebabkan terhambatnya pembangunan untuk kepentingan umum atau yang dapat disebut juga infrastruktur.

Sebagian besar permasalahan tanah yang terjadi dewasa ini adalah tidak tercapainya kesepakatan harga antara pemilik tanah dan Pemerintah, dimana Pemerintah mengacu kepada NJOP dan nilai appraisal harga tanah.23 Penilaian harga tanah dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dilakukan oleh tim penilai. Tim penilai sendiri sampai saat ini masih dipertanyakan apakah merupakan appraisal independen yang berasal dari Kantor jasa Penilai Publik (KJPP) atau merupakan appraisal yang berlisensi dan berasal dari pemerintah itu sendiri.

Pada Pasal 28 Peraturan Kepala BPN RI Nomor 3 Tahun 2007 yang menegaskan “Tim Penilai Harga Tanah melakukan penilaian harga tanah berdasarkan pada NJOP atau nilai nyata/ sebenarnya dengan memperhatikan NJOP tahun berjalan, dan dapat berpedoman pada variabel-variabel dalam ketentuan peraturan perundang-undangan sebagai berikut :

a. Lokasi dan letak tanah. b. Status tanah.

c. Peruntukan tanah.

d. Kesesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata ruang wilayah atau perencanaan ruang wilayah atau kota yang telah ada.

e. Sarana dan prasarana yang tersedia.

f. Faktor lainnya yang mempengaruhi harga tanah.

23 Bambang Istijono, Lahan Menjadi Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan

Pembangunan untuk Kepentingan Umum, Jurnal Rekayasa Sipil, Vol.10, No.2, (Oktober 2014),

(18)

Setelah Lembaga/Tim Penilai Harga Tanah melakukan penilaian berdasarkan NJOP dengan memperhatikan beberapa variabel tersebut di atas. Kemudian hasil penilaiannya diserahkan kepada Panitia Pengadaan Tanah Kabupaten/Kota. Untuk dipergunakan sebagai dasar musyawarah antara instansi pemerintah yang memerlukan tanah dengan para pemilik tanah.

Ketidakjelasan penafsiran atas definisi kata “Tim Penilai” membuat adanya permohonan pengujian undang-undang terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Pengujian tersebut berakhir dengan ditolaknya permohonan yang terdaftar dalam register NO 42/PUU-XII/2014. Penolakan permohonan penujian undang-undang ini membuat kesan seolah pemerintah ingin bermain aman dalam proses penilaian harga tanah. Namun, beberapa kalangan masyarakat yang menyadari adanya ketimpangan dalam hal tersebut memilih untuk mensiasati penilaian tanah dengan menyewa appraisal independen yang berasal dari Kantor jasa Penilai Publik (KJPP) untuk dapat menyeimbangi nominal appraisal yang disediakan oleh pihak pemerintah.

Banyaknya masalah yang dihadapkan dalam pembebasan lahan membuat Undang-Undang Nomor 2 tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum pada kenyataanya belum bisa mengatasi semua masalah yang ada di lapangan. Penilaian harga tanah yang tidak sesuai dengan harapan pemilik tanah atau dinilai tidak seimbangnya nilai tanah yang ditawakan pemerintah, membuat para pemilik tanah untuk menolak program pembebasan lahan yang dilakukan oleh pemerintah.

Penolakan masyarakat akan program pembebasan lahan tersebut jika dipandang dari sisi positif merupakan suatu bentuk penuntutan hak atas suatu barang atau benda yang dimiliki oleh masyarakat. Tapi jika dipandang dari sisi negatif dengan adanya penolakan program pembebasan lahan ini, pembangunan infrastruktur ditengah masyarakat menjadi terhambat dan berlangsung lebih lama. Sehingga menghambat potensi akan kemajuan dalm bidang penyediaan fasilitas publik. Terdapat potensi sulitnya mengusahakan pemerataan pembangunan infrastruktur yang saat ini timpang di banyak wilayah di Indonesia.

(19)

Indonesia

2. Reformasi Sistem Pengadaan Lahan Infrastruktur Melalui SPAT sebagai Upaya Meminimalisir Kesenjangan Pembangunan Infrastruktur Antar Wilayah di Indonesia

Hukum agraria dalam pembidangan hukum tidak hanya bersinggungan dengan ranah hukum privat secara murni. Penerapan hukum agraria di Indonesia tidak hanya identik pada hukum dalam peraturan perundang-undangan, namun juga berdampingan dengan hukum adat sehingga hukum agraria di Indonesia merupakan pluralisme hukum yang terunifikasi.24 Dalam hal pembangunan

infrastruktur yang merupakan kepentingan umum, hukum agraria juga dapat berdampingan dengan hukum administrasi karena berkaitan dengan pembebasan lahan yang memerlukan tahapan yang tidak dapat dilakukan secara sewenang-wenang. Hukum agraria juga berhubungan dengan hukum tata negara.25

Di sisi lain, pengadilan yang memiliki kompetensi untuk mengadili permasalahan agraria pada saat ini adalah Pengadilan Negeri dalam hal terdapat sengketa tanah serta Pengadilan Tata Usaha Negara apabila berkaitan dengan keputusan pejabat publik. Mengingat spesialnya hukum agrarian yang mencakup beberapa bidang hukum, terdapat urgensi pembentukan peradilan agraria yang terintegrasi. Penulis mengusulkan konsep Sistem Peradilan Agraria Terintegrasi yang merupakan reformasi menyeluruh penegakan hukum agraria di Indonesia. Terkhusus dalam hal pengadaan lahan infrastruktur dengan pembebasan tanah dimana problematika dasarnya adalah sulitnya mencapai kata sepakat dalam besaran ganti rugi nominal harga tanah yang akan dijadikan lahan infrastruktur.

Maka peradilan agraria diharapkan dapat menjadi institusi yang mengadili kasus secara adil karena kasus yang berhubungan dengan pembebasan tanah merupakan kasus yang telah berlarut-larut. SPAT kedepannya tidak hanya berfokus pada pengadaan lahan namun juga menjembatani konflik agraria antara pemerintah, masyarakat, serta masyarakat hukum adat. Mengingat rumitnya kajian mengenai hukum agraria, seharusnya terdapat pengadilan khusus yang memiliki kompetensi agraria.

24 Muhammad Bakri, Unifikasi dalam Pluralisme Hukum Tanah di Indonesia (Rekonstruksi

Konsep Unifikasi dalam UUPA), Jurnal Kertha Patrika, Vol.33, No.1 (Januari 2008), Hlm.1.

25 Wibowo Tunardy, Pengertian Hukum Agraria, diakses dari

(20)

Mengenai pembebasan tanah untuk pengadaan lahan infrastruktur, di dalam Pasal 25 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, disebutkan bahwasannya apabila terdapat sisa tanah yang belum selesai pengadaannya atau dalam penjelasan pasal ini yang dimaksud “sisa tanah” adalah tanah yang belum dilepaskan haknya dari pihak yang berhak sampai jangka waktu penetapan berakhir, proses pengadaan tanah sisa tersebut harus diajukan dari awal agar menjamin keabsahan pengadaan.26 Padahal mengacu pada pasal sebelumnya yang berkaitan dengan proses pengadaan tanah harus melalui tahapan yang rumit. Sehingga penggunaan mekanisme proses pengadaan tanah yang harus melewati tahapan awal merupakan mekanisme yang tidak mangkus dan sangkil sehingga diperlukan gebrakan pembaharuan. Reformasi tersebut dapat memanfaatkan sistem peradilan terpadu.

Proses pengadilan merupakan proses yang adil dalam hal pengadaan tanah, dikarenakan sifat hukum agraria yang multidimensional. Sehingga dalam sistem peradilan agraria terpadu, hakim seharusnya tidak hanya mempertimbangkan hukum positif dalam peraturan perundang-undangan tertulis sebagai dasar argumentasi, namun juga menitikberatkan pada hukum adat yang notabene hukum tidak tertulis yang hidup di masyarakat hukum adat. Hal ini sesuai dengan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang menyatakan “Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat”27 yang mana pasal tersebut masih belum diejawantahkan secara maksimal oleh hakim.28 Hakim harus mempertimbangkan secara matang antara pemerintah dengan masyarakat dan/atau masyarakat hukum adat yang tinggal di tanah yang akan dibebaskan guna pengadaan lahan pembangunan infrastruktur. Penegakan hukum agraria dengan melibatkan hukum adat merupakan tantangan bagi hakim karena hukum adat di Indonesia variatif dilihat dari pembagiannya klasifikasinya.

26 Indonesia (2), Undang-Undang tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk

Kepentingan Umum, UU No.2 Tahun 2012, LN Tahun 2012 No.22, TLN No.5280, Ps.25 jo.

bagian penjelasan pasal 25.

27 Indonesia (3), Undang-Undang tentang Kekuasaan Kehakiman, UU No.48 Tahun 2009,

LN Tahun 2009 No.157, TLN No.5076, Ps.5 ayat (1).

28 Muhammad Yasin, Masalah Independensi Hakim dan Rasa Keadilan Masyarakat,

diakses dari www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3026/masalah-independensi-hakim-dan-rasa-keadilan-masyarakat, diakses pada 12 Maret 2018, jam 22.36 WIB.

(21)

Indonesia

Hal ini jika dihubungkan dengan kesepakatan para pihak mengenai besaran atau nominal ganti rugi harga objek yang dibebaskan, maka pengadilan agraria melakukan pembuktian dengan secara aktif memantau dan mengkalkulasikan ganti rugi sehingga baik masyarakat maupun pemerintah dapat bersikap adil tanpa melebihkan ataupun mengurangi nilai objek. Dalam hal ini, hakim dapat melibatkan Tim Penilai Independen. Apabila sengketa lahan merupakan sengketa antara pemerintah dengan masyarakat, permasalahan utama adalah mengenai nilai objek yang akan dijadikan lahan untuk pembangunan infrastruktur. Maka yang dibuktikan adalah kerugian riil yang harus ditanggung oleh pemilik tanah apabila tanah tersebut dibebaskan kepada pemerintah, serta mempertimbangkan anggaran untuk proyek pembangunan infrastruktur. Apabila ternyata terbukti masyarakat yang melebihkan nilai objek, maka pengadilan bukan memberikan sanksi namun memaksa masyarakat tersebut untuk melepaskan objek dengan nilai yang telah ditawarkan oleh pemerintah. Sebaliknya, apabila pemerintah yang ternyata terbukti bermaksud membeli tanah dengan nilai yang tidak layak atau dibawah standar harga hingga terindikasi terdapat praktik KKN atau penggelapan anggaran, maka selain harus memberikan ganti rugi yang wajar, pemerintah juga harus memberikan Government Social Responsibility atau tanggung jawab sosial dari pemerintah, dapat berupa jaminan sosial ataupun dana penunjang sosial lain.

Selain itu dalam praktiknya apabila sulit ditemukan kesepakatan antara pemerintah dengan masyarakat mengenai besaran ganti rugi dari nominal harga jual tanah yang akan menjadi lahan infastruktur, pada umumnya jika musyawarah tidak mencapai mufakat pemerintah dapat melakukan pembebasan sepihak dengan cara menentukan besaran ganti rugi kemudian menitipkannya ke pengadilan negeri setempat.29 Mekanisme seperti ini disebut sebagai mekanisme konsinyasi.

Konsinyasi adalah penawaran pembayaran tunai diikuti dengan penyimpanan sebagaimana diatur dalam 1404 BW sampai 1412 BW.30 Dalam hal konsinyasi tersebut ternyata dirasa tidak adil, maka dalam SPAT juga terdapat mekanisme upaya hukum lanjutan disertai pembuktiannya.

29 Sonny Djoko Marlijanto, Konsinyasi Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah untuk

Kepentingan Umum, Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2010, Hlm.4.

30 Abshoril Fithry dan Sjaifurrachman, Tinjauan Yuridis tentang Tanah Hak Milik yang

Digunakan Oleh Negara untuk Kepentingan Umum, Jurnal Jendela Hukum Fakultas Hukum

(22)

Sedangkan apabila sengketa agraria melibatkan antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat, maka yang harus dibuktikan bukan cenderung pada harga dari objek yang akan dijadikan lahan pembangunan infrastruktur, namun lebih cenderung kepada eksistensi dari masyarakat hukum adat dan lahan yang menjadi kekuasaan atau menjadi wilayah tempat tinggal dari masyarakat hukum adat tersebut. Berdasarkan Pasal 18B Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menyatakan31 :

“Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat serta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatu dalam undang-undang”

Sehingga titik tekannya berada pada eksistensi dari suatu kesatuan masyarakat hukum adat, karena hanya masyarakat hukum adat yang masih hidup dan memiliki hukum adat yang diakui hukumnya oleh konstitusi Indonesia.

Selain membuktikan eksistensi kesatuan masyarakat hukum adat, dalam memutus perkara sengketa pembebasan tanah untuk pengadaan lahan infrastruktur juga mempertimbangkan hukum adat yang berlaku di suatu wilayah. Sehingga tidak mutlak sengketa agraria yang melibatkan pemerintah dengan masyarakat hukum adat harus mengalahkan salah satu pihak secara telak, namun hakim dapat mempertimbangkan untuk membagi suatu tanah sehingga dapat dinikmati masyarakat hukum adat serta dapat digunakan untuk pembangunan infrastruktur kepentingan umum yang tentu disertai ganti rugi oleh pemerintah. Dalam penentuan tersebut hakim dituntut tidak hanya menggunakan peraturan perundang-undangan tertulis yang berkaitan dengan hukum agraria atau hanya dasar yang berkaitan dengan masyarakat hukum adat, namun juga menggunakan aturan hukum adat yang diterapkan oleh suatu kesatuan masyarakat hukum adat dalam hal memutuskan pembagian yang adil suatu tanah untuk tempat tinggal masyarakat hukum adat serta untuk pembangunan infrastruktur demi kepentingan umum. Sehingga keberadaan hukum adat dalam unifikasi hukum agraria di Indonesia benar-benar dimanfaatkan oleh penegak hukum guna mengimplementasikannya dalam kasus agraria, yang berdasarkan pada amanat Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman.

31 Indonesia (4), Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, UUD

(23)

Indonesia

Dikarenakan penegakan hukum agraria merupakan hukum yang spesial karena tidak hanya mencakup hukum privat, namun juga bersinggungan dengan hukum adat dan hukum administrasi, maka diperlukan pula reformasi dalam sistem penegakan hukum yang menurut Lawrence Mier Friedman, terdapat tiga komponen utama yang harus termuat yaitu substansi, struktur dan kultur.32 Dari

segi substansi, pada dasarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria merupakan ketentuan yang telah komprehensif mengatur mengenai sistem hukum agraria di Indonesia dan ideal sebagai hukum materiil. Namun dikarenakan hukum agraria merupakan hukum yang spesial karena bersinggungan dengan banyak bidang hukum dan tidak terbatas pada hukum privat, maka seharusnya terdapat ketentuan hukum bersifat formil. Hukum formil atau hukum acara adalah hukum yang menunjuk cara mempertahankan atau cara menjalankan peraturan dalam hukum materiil.33

Kekhususan hukum acara yang digunakan dalam Sistem Peradilan Agraria Terpadu merupakan implementasi ideal dari sifat hukum agraria yang tidak hanya terbatas berkaitan dengan satu bidang hukum saja, namun juga bersentuhan dengan banyak bidang hukum sehingga hukum acara yang digunakan lebih baik bersifat khusus. Terdapat pembuktian langsung oleh hakim dengan peninjauan empiris ke lapangan untuk melihat kondisi objek yang akan dibebaskan haknya guna pembangunan infrastruktur. Hakim memerintahkan akuntan independen menilai jumlah kerugian yang harus ditanggung oleh pemilik tanah apabila objek tersebut dilepaskan haknya, beserta bangunan dan objek lain yang berada dalam lingkup tanah tersebut. Selain itu hakim juga bersifat aktif (Domini Litis

Principle) untuk dapat memberi keadilan substansial proporsional34, mengingat

pada dasarnya terdapat ketidakseimbangan kedudukan antara para pihak karena diasumsikan masyarakat dalam posisi yang lemah dibanding pemerintah.35

32 Lawrence M. Friedman dalam Esmi Warasih, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis,

Penerbit PT Suryandaru Utama, Semarang, 2005, Hlm.30.

33 Bagja Waluya, Konsep Dasar Ilmu Hukum, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung,

2001, Hlm.9.

34 Aju Putrijanti, Prinsip Hakim Aktif (Domini Litis Principle) dalam Peradilan Tata Usaha

Negara, Jurnal MMH, Jilid 42, No.3 (Juli 2013), Hlm.320.

35 Sudut Hukum, Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara, diakses dari

https://www.suduthukum.com/2017/07/pengertian-peradilan-tata-usaha-negara.html, diakses pada 13 Maret 2018, jam 00.25 WIB.

(24)

Dikarenakan khususnya hukum acara yang dibutuhkan, maka secara struktur juga membutuhkan reformasi dengan cara membentuk badan pengadilan khusus yang memiliki kompetensi untuk mengadili perkara yang berkaitan dengan agraria dalam Sistem Peradilan Agraria Terpadu yaitu Pengadilan Agraria. Pengadilan Negeri yang selama ini merupakan pintu gerbang perkara agraria masih kurang optimal dalam penegakan hukum agraria dikarenakan lamanya proses peradilan, biaya yang tidak murah serta penyelesaian yang condong pada pihak dengan alas hak daripada condong kepada rakyat.36 Hukum agraria merupakan hukum yang luas yang tidak hanya mencakup tanah saja, karena pada esensinya hukum agraria bukan hanya merupakan satu tetapi sekelompok perangkat bidang hukum.37

Pengadilan Agraria nantinya berada dibawah kekuasaan Mahkamah Agung berdasarkan Pasal 1 angka 8 Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman yang mana pasal tersebut mengatur mengenai pengadilan khusus. Pembentukan Pengadilan Agraria secara yuridis juga didukung oleh Pasal 24 ayat (1) UUD NRI 1945 yang mengatur tentang kekuasaan kehakiman, serta TAP MPR IX/2001.38

Pembentukan Pengadilan Agraria dalam Sistem Peradilan Agraria Terpadu atau disingkat SPAT diharapkan dapat mengakomodasi penegakan hukum agraria yang bersifat multidimensional.

Selain itu untuk mengisi Pengadilan Agraria, diperlukan personalia hakim yang memiliki latar pendidikan hukum konsentrasi agraria atau terkait dengan agraria sehingga tidak hanya berfokus pada peraturan perundang-undangan namun juga mempertimbangkan hukum adat sebagai salah satu bagian dari unifikasi hukum agraria. Hakim yang diangkat untuk mengisi personil Pengadilan Agraria dapat berasal dari hakim karir, hakim non karir, maupun hakim ad hoc.39 Dengan diimplementasikannya Sistem Peradilan Agraria Terpadu ini diharapkan dapat meminimalisir problematika pengadaan lahan infrastruktur yang berkeadilan sosial berdasarkan peraturan perundang-undangan dan hukum adat.

36 Muhammad Busyrol Fuad, Quo Vadis Hukum Pertanahan Nasional : Urgensi

Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan dalam Penyelesaian Konflik Agraria yang Berkeadilan, e-Journal Lentera Hukum, Vol.4, Issue 3 (2017), Hlm.193.

37 Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Penerbit Djambatan, Jakarta, 2008, Hlm.8. 38 Endah Sulastri dan Teguh Tresna Dewa, Urgensi Pembentukan Pengadilan Khusus

Agraria, Jurnal Cita Hukum, Vol.3, No.2 (Desember 2015), Hlm.307.

39 Adi Condro Bawono, Pengertian Hakim Karir, Nonkarier, dan Hakim Ad Hoc, diakses

dari www.hukumonline.com/klinik/detail/cl641/hakim-karir-dan-non-karir, diakses pada 13 Maret 2018, jam 01.12 WIB.

(25)

Indonesia

D. PENUTUP

Berdasarkan paparan karya tulis ilmiah diatas, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Pengadaan tanah bagi kepentingan umum yang dilakukan oleh pemerintah, memiliki sisi positif dan negatif jika hal tersebut tidak disesuaikan dengan pertimbangan dan langkah yang tepat. Dewasa ini, hampir tidak ada kegiatan pembangunan yang tidak memerlukan lahan. Mekanisme pengadaan lahan untuk kepentingan umum diatur dalam peraturan perundang-undangan khususnya dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dan Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum yang pada prakteknya memunculkan berbagai masalah yang semakin memperburuk hubungan pemerintah dan masyarakat dan menyebabkan terhambatnya pembangunan untuk kepentingan umum atau yang dapat disebut juga infrastruktur.

2. Sistem Peradilan Agraria Terpadu (SPAT) adalah grand design yang ditawarkan penulis sebagai jawaban atas penegakan hukum agraria yang multidimensional khususnya dalam hal pengadaan lahan pembangunan infrastruktur untuk kepentingan umum yang selama ini dipenuhi oleh problematika sengketa lahan. SPAT tertanam dalam Pengadilan Agraria yang merupakan pengadilan khusus yang menangani perkara agraria termasuk dalam hal pembebasan tanah yang riskan. SPAT menggunakan hukum acara khusus mengingat hukum agraria tidak hanya berkaitan dengan hukum privat, namun juga hukum administrasi dan hukum adat. SPAT mengadili perkara khusus di bidang pertanahan termasuk dalam hal sengketa tanah pengadaan lahan infrastruktur antara pemerintah dengan masyarakat maupun antara pemerintah dengan masyarakat hukum adat. SPAT diharap dapat menjadi upaya reformasi penegakan hukum agraria di Indonesia khususnya dalam hal pengadaan lahan infrastruktur untuk kepentingan umum.

(26)

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Harsono, Boedi. 2008. Hukum Agraria Indonesia. (Jakarta: Penerbit Djambatan). Haris, Abdul. 2009. Pengaruh Penatagunaan Tanah Terhadap Keberhasilan

Pembangunan Infrastruktur dan Ekonomi. (Jakarta: Perencanaan

Pembangunan Nasional).

Ismaya, Samun. 2011. Pengantar Hukum Agraria. (Yogyakarta: Penerbit Graha Ilmu).

Kodoatie, Robert J.. 2013. Pengantar Manajemen Infrastruktur dalam Muhammad Amin Cakrawijaya, Evaluasi Program Pembangunan Infrastruktur Pedesaan terhadap Perkembangan Ekonomi Kawasan Pedesaan. (Semarang: UNDIP Institutional Repository).

Lova, Evi Fajriantina. 2016. Pengadaan Tanah dalam Pembangunan Infrastruktur Jalan Tol oleh Badan Usaha Milik Negara (Persero). (Malang: Universitas Brawijaya).

Mankiw, N. Gregory. 2000. Teori Makro Ekonomi. (Jakarta: Penerbit Erlangga). Marlijanto, Sonny Djoko. 2010. Konsinyasi Ganti Rugi dalam Pengadaan Tanah

untuk Kepentingan Umum. (Semarang: Fakultas Hukum Universitas Diponegoro).

Santoso, Urip. 2013. Hukum Agraria Kajian Kompherhensif. (Jakarta: Penerbit Kencana Prenadamedia Group).

Soeroso, R.. 1994. Praktik Hukum Acara Perdata (Tata Cara dan Proses Persidangan). (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika).

Sudarsono, 1991. Pengantar Tata Hukum Indonesia. (Jakarta: Penerbit Rineka Cipta).

Warasih, Esmi. 2005. Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis. (Semarang: Penerbit PT Suryandaru Utama).

Waluya, Bagja. 2001. Konsep Dasar Ilmu Hukum. (Bandung: Universitas Pendidikan Indonesia).

Jurnal

Bahar, Ujung. 2008. Permasalahan Pembayaran Ganti Rugi Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Jurnal Hukum dan Pembangunan. Tahun ke-38. No.1 (Januari-Maret 2008).

Bakri, Muhammad. 2008. Unifikasi dalam Pluralisme Hukum Tanah di Indonesia (Rekonstruksi Konsep Unifikasi dalam UUPA). Jurnal Kertha Patrika. Vol.33. No.1 (Januari 2008).

Busyrol Fuad, Muhammad. 2017. Quo Vadis Hukum Pertanahan Nasional : Urgensi Pembentukan Peradilan Khusus Pertanahan dalam Penyelesaian Konflik Agraria yang Berkeadilan. e-Journal Lentera Hukum. Vol.4. Issue 3 (2017).

Fithry, Abshoril dan Sjaifurrachman. 2016. Tinjauan Yuridis tentang Tanah Hak Milik yang Digunakan Oleh Negara untuk Kepentingan Umum. Jurnal Jendela Hukum Fakultas Hukum Unija. Vol.3. No.1 (April 2016).

Istijono, Bambang. 2014. Lahan Menjadi Faktor Penghambat dalam Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Jurnal Rekayasa Sipil. Vol.10. No.2 (Oktober 2014).

(27)

Indonesia

Putrijanti, Aju. 2013. Prinsip Hakim Aktif (Domini Litis Principle) dalam Peradilan Tata Usaha Negara. Jurnal MMH. Jilid 42. No.3 (Juli 2013).

Raya, Priska Yulita. 2014. Kepentingan Umum Dalam Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Berdasarkan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012. Jurnal Hukum. Vol.9 (2014).

Sulastri, Endah dan Teguh Tresna Dewa. 2015. Urgensi Pembentukan Pengadilan Khusus Agraria. Jurnal Cita Hukum. Vol.3, No.2 (Desember 2015)

Website

Condro Bawono, Adi. 2018. Pengertian Hakim Karir, Nonkarier, dan Hakim Ad Hoc. diakses dari www.hukumonline.com/klinik/detail/cl641/hakim-karir-dan-non-karir. diakses pada 13 Maret 2018.

Joni, M. 2018 Jaringan Irigasi Sawah Laweh Tarusan Pessel Mampu Melayani

Ribuan Hektar Sawah Masyarakat. diakses dari

http://berita.pesisirselatankab.go.id/berita/detail/jaringan-irigasi-sawah-laweh-tarusan-pessel--mampu-melayani-ribuan-hektar-sawah-masyarakat. diakses pada 14 Maret 2018.

Melay, Hukum Formil Dan Materil, Kekuasaan Kehakiman, Peradilan, Surat

Kuasa. diakses dari

http://mediasi.mahkamahagung.go.id/questions/question/hukum-formil-dan-materil-kekuasaan-kehakiman-peradilan-surat-kuasa/. diakses pada 13 Maret 2018.

Pusdatin, Pembebasan Lahan untuk Proyek Tol Sudah Bisa Gunakan Perpres, diakses dari http://www3.pu.go.id/berita/3279/PEMBEBASAN-LAHAN-UNTUK-PROYEK-TOL-SUDAH-BISA-GUNAKAN-PERPRES. diakses pada 12 Maret 2018.

Sudut Hukum. 2018. Pengertian Peradilan Tata Usaha Negara. diakses dari

https://www.suduthukum.com/2017/07/pengertian-peradilan-tata-usaha-negara.html. diakses pada 13 Maret 2018.

Tobing, Letezia. Langkah Hukum Bila Tak Sepakat Besaran Ganti Rugi

Pembebasan Tanah. diakses dari

http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5283c878ea908/langkah-hukum-bila-tak-sepakat-besaran-ganti-rugi-pembebasan-tanah. diakses pada 12 Maret 2018

Tunardy, Wibowo. 2018. Pengertian Hukum Agraria, diakses dari www.jurnalhukum.com/pengertian-hukum-agraria/. diakses pada 12 Maret 2018.

Yasin, Muhammad. 2018. Masalah Independensi Hakim dan Rasa Keadilan

Masyarakat. diakses dari

www.hukumonline.com/klinik/detail/cl3026/masalah-independensi-hakim-dan-rasa-keadilan-masyarakat. diakses pada 12 Maret 2018.

Sumber Hukum

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2043.

(28)

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2012 Nomor 22. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5280.

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157. Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076.

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 71 tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Lembaran Negara Tahun 2012 Nomor 156.

Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Ketentuan Pelaksanaan Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum Sebagaimana Telah Diubah Dengan Peraturan Presiden Nomor 65 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 36 Tahun 2005 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

(29)

ANALISIS MAKNA KATA KESEIMBANGAN DALAM PASAL 9 (1) UNDANG-UNDANG NOMOR 2 TAHUN 2012 TENTANG PENGADAAN

TANAH BAGI PEMBANGUNAN UNTUK KEPENTINGAN UMUM

Harvi Fikri Ramesa

Universitas Brawijaya

Korespondensi Penulis : harvirameaa@gmail.com

Citation Structure Recommendation :

Ramesa, Harvi Fikri. Analisis Makna Kata Keseimbangan Dalam Pasal 9 (1) Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

Rewang Rencang : Jurnal Hukum Lex Generalis. Vol.1. No.6 (September 2020).

ABSTRAK

Pengadaan tanah ialah suatu kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian kepada pihak yang berhak. Dasarnya ialah pengadaan tanah harus memperhatikan Prinsip Keseimbangan, dan hal itu secara implisit dijelaskan dalam Pasal 9 (1). Makna kata keseimbangan dalam pasal tersebut tidak dijelaskan apa maksudnya. Sehingga timbul kekaburan norma, yang mengakibatkan terjadinya ketidakpastian hukum dan berdampak terhadap bagaimana upaya menyeimbangkan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat dalam pembangunan. Ketidakjelasan pasal tersebut kemudian diajukan Uji Materiil ke Mahkamah Konstitusi. Putusan MK Nomor 50 Tahun 2012 tentang Pengujian Pasal 9 (1) dan beberapa pasal dalam undang-undang tersebut ditolak seluruhnya. Konsekuensinya, prinsip keseimbangan tidak hadir dalam proses pengadaan tanah. Hal itu dibuktikan dengan tingginya angka konflik agraria di sektor Infrastruktur. Konsorsium Pembaruan Agraria mencatat pada tahun 2017 terdapat 94 konflik agraria yang disebabkan oleh pembangunan infrastruktur. Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif, dan mendasarkan kepada bahan hukum primer serta sekunder, kemudian proses analisisnya menggunakan teknik analisis bahan hukum yaitu interpretasi hukum, yang bertujuan untuk menguraikan dan mengetahui maksud kata keseimbangan dalam Pasal 9 (1). Dalam penyusunan analisis makna kata keseimbangan ini digunakan model penalaran induksi atau dari umum ke khusus. Dari hasil penelitian ini menghasilkan suatu temuan atau simpulan bahwa prinsip keseimbangan yang ideal dalam pengadaan tanah harus ada baik dalam segi substansi pengaturan pengadaan tanah dan segi prosedural pengadaan tanah. Untuk mewujudkan keseimbangan yang ideal di antara dua segi tersebut, ada tiga hal yang harus diperhatikan, yakni Penghormatan terhadap Hak Asasi Manusia, Partisipasi Masyarakat dan Ganti rugi yang layak.

(30)

Umum

A. PENDAHULUAN

Tanah dan kehidupan saling berkaitan dan mempengaruhi. Notonogoro menjelaskan relasi tanah dengan kehidupan perorangan dan masyarakat, ialah hubungan yang bersifat kedwitunggalan dan tidak dapat dipisahkan.1 Terdapat

suatu istilah terkenal untuk menjelaskan relasi tersebut, yaitu “di mana ada tanah di situ ada kehidupan”. Istilah itu memberikan arti bahwa tanah adalah suatu hal yang “sakral” dalam kehidupan. Pandangan sakral terhadap tanah ini dapat dilihat dari hubungan masyarakat, khususnya masyarakat adat terhadap tanahnya yang mempunyai unsur religius-magis yang merupakan ciri khas dan dimiliki dalam relasi masyarakat adat dengan tanahnya.2 Selain itu menurut Gunawan Wiradi, tanah merupakan basis bagi teraihnya kuasa-kuasa ekonomi, sosial dan politik.3

Berdasarkan Pasal 33 UUD NRI 1945 jo. Pasal 2 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria (UUPA), negara sebagai entitas tertinggi diamanatkan untuk menguasai sumber daya alam, termasuk tanah. Penguasaan atas sumber daya alam oleh negara ini melahirkan konsep Hak Menguasai Negara (HMN) yang memberi wewenang kekuasaan tertinggi kepada negara untuk menguasai dan mengatur hubungan hukum terhadap sumber daya alam yang ada di Republik Indonesia. HMN juga yang menjadi legitimasi atas semua hak-hak atas tanah dalam Pasal 16 ayat (1) UUPA. Tetapi, hak atas tanah tersebut mempunyai fungsi sosial yang melekat pada semua hak atas tanah.4 Fungsi sosial hak atas tanah kemudian menjadi salah satu dasar pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum. Atas dasar Pasal 6 tersebut juga, ketika negara memerlukan tanah untuk kepentingan umum atau masyarakat, maka pemegang hak harus merelakan tanahnya untuk diambil oleh negara dengan cara yang sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Salah satunya cara yang sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan ialah dengan menggunakan mekanisme pengadaan tanah dengan disertai ganti kerugian.

1 Notanogoro dalam Maria S.W. Sumardjono, Kebijakan Pertanahan; Antara Regulasi dan

Implementasi, Penerbit Buku Kompas, Jakarta, 2007, Hlm.42.

2 Unsur religius magis ini merupakan unsur yang menandai adanya hubungan yang purba

terkait tanah dengan kehidupan. Contohnya bisa dilihat dari pandangan masyarakat adat Suku Malind di Papua yang menganggap tanah ialah ibu. Dan juga masyarakat Samin di Pegunungan Kendeng yang membuat suatu metafora dan menganggap tanah sebagai “Ibu Bumi”.

3 Gunawan Wiradi, Seluk Beluk Masalah Agraria, STPN Press dan SAINS Institute,

Yogyakarta, 2009, Hlm.56.

(31)

Pengaturan tersebut dalam hukum positif Indonesia termaktub dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum menjelaskan bahwasannya pengadaan tanah adalah kegiatan menyediakan tanah dengan cara memberi ganti kerugian yang layak dan adil kepada pihak yang berhak.5 Pengertian tersebut berimpilikasi terhadap kewajiban penyelenggaraan musyawarah dalam pengadaan tanah, khususnya dalam penentuan ganti kerugian. Prinsip musyawarah tersebut harus tercermin dalam proses pengadaan tanah, karena musyawarah adalah dasar untuk melakukan penyerahan atau pelepasan hak dalam tahap akhir pengadaan tanah.

Pengadaan tanah sebagai bentuk dari kebijakan publik harus dijelaskan dalam relasinya antara negara c.q. Pemerintah dan rakyat dalam proses pengambilan tanah untuk kepentingan umum. Legitimasi tersebut dalam konteks di Indonesia ialah dengan Hak Menguasai Negara. Dengan dasar tersebut, tentu pemerintah memiliki keabsahan untuk menguasai tanah untuk kepentingan umum. Legitimasi konstitusional tersebut tentu harus dibatasi dengan dua hal, yaitu Bahwa hal itu dilakukan semata demi kepentingan umum dan bahwa kepada pemegang hak harus disertai ganti rugi.6 Penjelasan di atas memiliki dimensi terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat dalam proses pengadaan tanah dan juga terhadap pandangan masyarakat tentang tanah sebagai suatu hal yang vital. Sehingga pengambilan tanah atau pengadaan tanah harus dilaksanakan dengan proses penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan memperhatikan aspek keseimbangan. Aspek keseimbangan dalam pengadaan tanah diatur secara tegas di dalam Pasal 9 (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum, yang berbunyi sebagai berikut:

“Penyelenggaran pengadaan tanah untuk kepentingan umum harus memperhatikan keseimbangan antara kepentingan pembangunan dan kepentingan masyarakat.”

5 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi

Pembangunan untuk Kepentingan Umum.

6 Maria S.W. Soemardjono, Dinamika Pengaturan Pengadaan Tanah di Indonesia,

(32)

Umum

Prinsip keseimbangan dalam pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai “keseimbangan” yang dituju oleh pembuat undang-undang. Begitu juga dalam penjelasan pasal tersebut pun tidak dijelaskan apa maksud atau arti dari keseimbangan. Sehingga menimbulkan ketidakpastian hukum bagi masyarakat selaku pemilik hak atas tanah atau pihak yang berhak. Dampaknya ialah yang menjadi salah satu sebab yang menimbulkan konflik terkait pengadaan tanah. Secara teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, ketidakjelasan suatu pasal ini memperlihatkan adanya kesenjangan antara asas-asas dalam UUPA dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum dalam pembentukan norma, khususnya Pasal 9 (1) terkait keseimbangan apa yang dituju.7

Pada tahun 2013 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), ELSAM WATCH, KIARA, dan lembaga non pemerintah lainnya (dalam hal ini yang merasa dirugikan atas ketentuan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum) mengajukan permohonan Judicial Review (uji materiil) terhadap Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Salah satu pasal yang dimohonkan ialah Pasal 9 ayat (1) untuk dimintakan bertentangan dengan UUD NRI 1945. Dalam positanya (apa yang didalilkan) terhadap Pasal 9 (1), pemohon mendalilkan bahwa arti kata “keseimbangan” dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum ini tidaklah jelas dan mempertanyakan bagaimana keseimbangan itu akan diwujudkan, sehingga dampaknya akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan rusaknya tatanan negara hukum, karena Pemerintah bisa dengan sepihak menyatakan pengadaan tanah telah seimbang antara kepentingan pembangunan dan masyarakat.8

7 Untuk memahami kesenjangan antara asas dan norma ini, salah satu contohnya dari

kesenjangan asas dan norma ini ialah bahwa UU Pengadaan Tanah tidak menggunakan mekanisme pencabutan hak sebagai mekanisme terakhir ketika tanah itu benar-benar dibutuhkan dan lokasi tidak dapat dipindah. UU Pengadaan Tanah untuk menyelesaikan hal tersebut menggunakan mekansisme peradilan, dengan segala sesuatunya diserahkan kepada pengadilan.

8 Fakta atau Posita dari Pemohon dalam pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012

tentang Pengadaan Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 dalam Putusan Nomor 50/PUU-1/2013.

(33)

Kritik mengenai berlakunya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum lebih menunjukkan hal-hal yang bersifat pragmatis, atau dalam istilah Maria Sumardjono yaitu “Pragmatisme UU Pengadaan Tanah”. Hal tersebut tentu jauh dari tujuan dari kata keseimbangan yang ada dalam Pasal 9 (1). Aspek keseimbangan adalah salah satu aspek paling krusial dalam pengadaan tanah, khususnya dalam menerjemahkan “keseimbangan antara kepentingan umum/individu dan kepentingan pembangunan dan masyarakat”. Titik temu keseimbangan itu harus dicari baik dari segi substansial maupun prosedural dalam rumusan pasal-pasalnya, sehingga tujuan dari proses pengadaan tanah untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat bisa tercapai. Karena adalah suatu keniscayaan bahwa pembangunan yang ada harus bisa mencerminkan keseimbangan dan mensejahterakan rakyatnya. Berdasarkan latar belakang di atas bahwa rumusan masalah yang diangkat dalam penelitian ini ialah “Bagaimana analisis terhadap makna kata Keseimbangan dalam Pasal 9 (1) UU No. 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah bagi Pembangunan dan Kepentingan Umum?”.

B. Metode Penelitian

Jenis penelitian yang digunakan dalam tulisan ini ialah yuridis normatif atau penelitian hukum doktrinal, dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan konseptual. Jenis bahan hukum yang digunakan ialah bahan hukum primer yaitu peraturan perundang-undangan yang terkait, bahan hukum sekunder yaitu teks-teks atau literatur yang relevan dengan penelitian ini, dan bahan hukum tersier yang meliputi kamus hukum dan kamus yang terkait. Kemudian teknik penelusuran bahan hukum ialah dengan cara menginventarisasi dan mengklasifikasi lalu disesuikan dengan permasalahan yang dibahas, yakni makna kata keseimbangan di Pasal 9 (1) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan untuk Kepentingan Umum. Jenis analisis bahan hukum adalah dengan menggunakan metode deskriptif analitis dan menggunakan teknik interpretasi hukum, di mana ada teknik interpretasi unutk menganalisis kata keseimbangan, yaitu meliputi Interpretasi Gramatikal, Interpretasi Sistematis dan Interpretasi Teleologis.

(34)

Umum

C. PEMBAHASAN

1. Hak Menguasai Tanah oleh Negara dalam Pengadaan Tanah Untuk Pembangunan Kepentingan Umum

Uraian ini akan berfokus kepada konsepsi hak menguasai tanah oleh negara dalam pengadaan tanah. Hak Menguasai tanah oleh negara merupakan penjabaran dari Hak Menguasai Negara pada Pasal 33 (3) UUD NRI 1945 yang menjadi dasar dari setiap kebijakan mengenai agraria. Akan tetapi ruang lingkup bahasannya ialah agraria dalam arti tanah.

Hak menguasai tanah oleh negara mempunyai dua sisi, yaitu dalam arti publik dan privat. Kemudian dalam konteks pengadaan tanah sendiri masuk ke dalam kriteria tindakan publik atau privat. Untuk memperjelas hal ini, perlu diketahui terlebih dahulu mengenai dimensi publik dan privat dalam hak menguasai tanah oleh negara. Dalam uraiannya di buku “Hukum Agraria: Sejarah pembentukan dan Pelaksanaanya”, Boedi Harsono menyatakan dengan tegas bahwa Hak Menguasai Negara, dalam hal ini hak menguasai tanah negara ialah suatu hak yang mengandung dimensi publik.9 Konskuensi dari hak menguasai tanah oleh negara berisfat publik ini sekaligus juga menyatakan bahwa kepimilikan tanah oleh negara dilarang, karena hal tersebut sudah tidak berlaku lagi pasca hadirnya Pasal 33 (3) UUD 1945 dan kemudian Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria.

Dalam konteks pengadaan tanah untuk kepentingan umum, hak menguasai tanah oleh negara dijabarkan dalam bentuk peraturan perundang-undangan. Sejarahnya bisa dilacak mulai dari Peraturam Menteri Dalam Negeri Nomor 14 Tahun 1974 tentang Pembebasan Tanah hingga yang berlaku sekarang, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2012 tentang Pengadaan Tanah Bagi Pembangunan Untuk Kepentingan Umum. Undang-undang yang terakhir ini yang merupakan bentuk baru dari penjabaran hak menguasai tanah oleh negara selaku organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat (bangsa) bertindak sebagai badan penguasa.10

9 Hal ini sesuai dengan interpretasi otentik mengenai Hak Menguasai Negara yang

dimaksud dalam UUD NRI 1945, sebagai suatu hubungan hukum publik semata. Hubungan tersebut dilandasi oleh istilah “dikuasai”. dalam Boedi Harsono, Sejarah Pembentukan

Undang-Undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaanya, Penerbit Djambatan, Jakarta, 1997, Hlm.232.

10 Lihat Penjelasan Umum II Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Pokok-Pokok

Referensi

Dokumen terkait

Public list of mills potentially connected to Innospec Inc palm oil & palm kernel oil derivatives supply chain Reporting Period: January 2020– December 2020.. The 872

Tujuan dilakukannya penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh perlakuan pendahuluan berupa perendaman dalam larutan asam sitrat dan natrium metabisulfit

Sampel diambil secara random berdasarkan kelompok (kelas). Data hasil penelitian dianalisis secara statistik. Data berasal dari nilai pretest, postest dan gain kelas

Mendeskripsikan dan menganalisis besarnya kontribusi kedisiplinan belajar dan kreativitas secara bersama-sama terhadap hasil belajar mata pelajaran Perakitan Komputer

Sehingga harus diutamakan bagaimana memilih peralatan sampling yang tepat untuk mendapatkan sampel tanah atau sampel lain akan berpengaruh pada ketepatan hasil analisa....

Performance assessment bertujuan untuk mengetahui seberapa baik subyek belajar telah mampu mengaplikasikan pengetahuan dan keterampilannya sesuai dengan sasaran

Di dunia, terdapat dua sistem hukum yang banyak digunakan oleh negara-negara yaitu Civil Law atau Eropa Kontinental dan Common Law atau Anglo Saxon. Dua sistem hukum tersebut

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat- Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Praktik Kerja Industri Pengolahan Pangan (PKIPP) yang merupakan