BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN SEWA MENYEWA
A. Pengertian Perjanjian Sewa-Menyewa
Pasal 1313 KUH Perdata bahwa perjanjian adalah “suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”. Dari ketentuan pasal di atas, pembentuk Undang-undang tidak menggunakan istilah perjanjian tetapi memakai kata persetujuan. Yang menjadi masalah adalah apakah kedua kata tersebut yaitu perjanjian dan persetujuan memiliki arti yang sama.
Menurut R. Subekti, “Suatu perjanjian juga dinamakan persetujuan, karena dua pihak itu setuju untuk melakukan sesuatu”.
81. Hanya menyangkut sepihak saja
Dapat dikatakan bahwa dua perkataan (perjanjian dan persetujuan) itu adalah sama artinya.
Berdasarkan kedua pendapat ini dapat disimpulkan bahwa perjanjian sama pengertiannya dengan persetujuan. Oleh karena itu, persetujuan dalam Pasal 1313 KUH Perdata dapat dibaca dengan perjanjian.
Menurut para sarjana, antara lain Abdul Kadir Muhammad bahwa rumusan perjanjian dalam KUH Perdata itu kurang memuaskan, karena mengandung beberapa kelemahannya yaitu.
Hal ini diketahui dari perumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata kerja
“mengikatkan” sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak dari kedua belah pihak. Seharusnya perumusan itu “saling mengikatkan diri”, jadi ada konsensus antara pihak-pihak.
2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsesus
8 R. Surbekti, Op.Cit, hal. 1
Dalam pengertian “perbuatan” termasuk juga tindakan melaksanakan tugas tanpa kuasa (zaakwaarneming), tindakan melawan hukum (onrechtmatige daad) yang tidak mengandung konsesus. Seharusnya dipakai kata “persetujuan”.
3. Pengertian perjanjian terlalu luas
Pengertian perjanjian dalam pasal tersebut di atas terlalu luas, karena mencakup juga pelangsungan perkawinan, janji kawin, yang diatur dalam lapangan hukum keluarga. Padahal yang dimaksud adalah hubungan antara debitur dan kreditur dalam lapangan harta kekayaan saja. Perjanjian yang dikehendaki oleh Buku Ketiga KUH Perdata sebenarnya hanyalah perjanjian yang bersifat kebendaan bukan perjanjian yang bersifat personal.
4. Tanpa menyebut tujuan
Dalam perumusan pasal itu tidak di sebutkan tujuan mengadakan perjanjian, sehingga pihak-pihak mengikatkan diri tidak jelas untuk apa.
9Sudikno Mertokusumo mengatakan bahwa perjanjian adalah “hubungan antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan hukum”.
10M. Yahya Harahap mengatakan perjanjian adalah “hubungan hukum kekayaan/harta benda antara dua orang atau lebih, yang memberi kekuatan hak pada satu pihak untuk memperoleh prestasi dan sekaligus mewajibkan pada pihak lain untuk menunaikan prestasi”.
11R. Wirjono Prodjodikoro mengatakan perjanjian adalah “suatu perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal atau untuk tidak melakukan sesuatu hal, sedang pihak lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu”.
129 Abdul Kadir Muhammad, Hukum Perikatan, Alumni, Bandung, 2002, hal. 78
10 Sudikno Mertokusumo, Mengenai Hukum, Liberty, Yogyakarta, 2008, hal. 97.
11 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 6
12 R. Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang Hak Atas Tanah. Intermasa, Jakarta, 2002, hal. 11
Berdasarkan beberapa pengertian perjanjian tersebut di atas dapat diambil
kesimpulan bahwa unsur-unsur yang membentuk pengertian perjanjian adalah :
1. Terdapatnya para pihak yang berjanji;
2. Perjanjian itu didasarkan kepada kata sepakat / kesesuaian hendak;
3. Perjanjian merupakan perbuatan hukum atau hubungan hukum;
4. Terletak dalam bidang harta kekayaan;
5. Adanya hak dan kewajiban para pihak;
6. Menimbulkan akibat hukum yang mengikat;
Berdasarkan 6 unsur tersebut ada hal yang perlu diperjelas, misalnya perubahan konsep perjanjian yang menurut paham KUH Perdata dikatakan perjanjian hanya merupakan perbuatan (handeling), selanjutnya oleh para sarjana disempurnakan menjadi perbuatan hukum (rechtshandeling) dan perkembangan terakhir dikatakan sebagai hubungan hukum (rechtsverhoudingen). Jadi para ahli hukum perdata hendak menemukan perbedaan antara perbuatan hukum dengan hubungan hukum. Perbedaan ini bukan hanya mengenai istilahnya saja tetapi lebih kepada subtansi yang dibawa oleh pengertian perjanjian itu.
Sudikno Mertokusumo menjelaskan :
Perbedaan perbuatan hukum dan hubungan hukum yang melahirkan konsep perjanjian sebagai berikut : bahwa perbuatan hukum (rechtshandeling) yang selama ini di maksudkan dalam pengertian perjanjian adalah satu perbuatan hukum bersisi dua (een tweezijdigerechtshandeling) yakni perbuatan penawaran (aanbod) dan penerimaan (aanvaarding). Berbeda halnya kalau perjanjian dikatakan sebagai dua perbuatan hukum yang masing-masing berisi satu (twee eenzijdige rechtshandeling) yakni penawaran dan penerimaan yang didasarkan kepada kata sepakat antara dua orang yang saling berhubungan untuk menimbulkan akibat hukum, maka konsep perjanjian yang demikian merupakan suatu hubungan hukum (rechtsverhoudingen).
1313 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit, hal. 7-8
Sehubungan dengan perkembangan pengertian perjanjian tersebut, Purwahid Patrik menyimpulkan bahwa “perjanjiian dapat dirumuskan sebagai hubungan hukum antara dua pihak dimana masing-masing melakukan perbuatan hukum sepihak”.
14Jadi jelaslah bahwa yang menjadi subjek perjanjian adalah kreditur dan debitur. Perjanjian itu tidak hanya harus antara seorang debitur dengan seorang kreditur saja, tetapi beberapa orang kreditur berhadapan dengan seorang debitur atau sebaliknya. Juga jika pada mulanya kreditur terdiri dari beberapa orang kemudian yang tinggal hanya seorang kreditur saja berhadapan dengan seorang debitur juga tidak menghalangi perjanjian itu.
Perjanjian merupakan perbuatan hukum yang melahirkan hubungan hukum yang terletak di dalam lapangan hukum harta kekayaan diantara dua orang atau lebih yang menyebabkan pihak yang satu berhak atas sesuatu dan pihak lain mempunyai kewajiban untuk melakukan atau memberi sesuatu. Atau dengan kata lain pihak yang mempunyai hak disebut kreditur, sedangkan pihak yang mempunyai kewajiban disebut debitur.
15
1. Ada pihak-pihak minimal dua pihak
Berdasarkan perumusan perjanjian, maka suatu perjanjian mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
Dikatakan pihak bukan orang karena mungkin sekali dalam suatu perikatan terlibat lebih dari dua orang, tetapi pihaknya tetap dua.
2. Ada persetujuan antara para pihak, mengenai :
a. Tujuan
14 Purwahid Patrik, Pembahasan Perkembangan Hukum Perjanjian, Seminar Nasional Asosiasi Pengajar Hukum Perdata/Dagang, Fakultas Hukum UGM, Yogyakarta, 2000, hal.15.
15 Djanius Djamin dan Syamsul Arifin., Bahan Dasar Hukum Perdata, Akademi Keuangan dan Perbankan Perbanas Medan, 2001, hal.153.
b. Prestasi
c. Bentuk tertentu lisan/tulisan
d. Syarat tertentu yang merupakan isi perjanjian
Dalam perjanjian itu sendiri terdapat 3 (unsur), yaitu sebagai berikut : 1. Unsur essensialia
Unsur essensialia adalah unsur perjanjian yang selalu harus ada di dalam suatu perjanjian, unsur mutlak, dimana tanpa adanya unsur tersebut, perjanjian tidak mungkin ada. Dengan demikian unsur ini penting untuk terciptanya perjanjian, mutlak harus ada agar perjanjian itu sah sehingga merupakan syarat sahnya perjanjian.
2. Unsur naturalia;
Unsur naturalia adalah unsur lazim melekat pada perjanjian, yaitu unsur yang tanpa diperjanjikan secara khusus dalam perjanjian secara diam-diam dengan sendirinya dianggap ada dalam perjanjian karena sudah merupakan bawaan atau melekat pada perjanjian. Dengan demikian, unsur ini oleh undang-undang diatur tetapi oleh para pihak dapat disingkirkan. Jadi sifat unsur ini adalah aanvullendrecht (hukum mengatur).
3. Unsur accidentalia
Unsur accidentalia adalah unsur yang harus dimuat atau disebut secara tegas dalam perjanjian. Unsur ini ditambahkan oleh para pihak dalam perjanjian artinya undang–undang tidak mengaturnya. Dengan demikian unsur ini harus secara tegas diperjanjikan para pihak.
16Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan diri untuk memberikan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari sesuatu barang, selama suatu waktu tertentu dengan pembayaran sesuatu harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi pembayarannya.
Demikianlah definisi yang diberikan oleh Pasal 1548 KUHPerdata mengenai perjanjian sewa menyewa. Jadi dapat diambil suatu kesimpulan bahwa dalam
16 J.Satrio. Hukum Perjanjian. Citra Aditya Bhakti, Bandung, 2002, hal.67-72.
sewa-menyewa ada tiga unsur sesuai dengan Pasal 1548 KUHPerdata tersebut, yaitu:
1. Adanya suatu benda.
2. Adanya harga tertentu.
3. Adanya suatu jangka waktu tertentu.
Karena yang diserahkan oleh yang menyewakan kepada penyewa bukanlah hak milik atas benda, melainkan hanyalah hak nikmat saja, maka yang menyewakan tidak perlu pemiliknya sendiri dari benda yang disewakannya, cukuplah bilamana yang menyewakan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan pengelolaan (exploitasi) yang bersangkutan, misalnya: seseorang yang memiliki nikmat hasil.
Sewa menyewa, seperti halnya dengan jual beli dan perjanjian lain pada umumnya, adalah suatu perjanjian konsensual, artinya ia sudah sah mengikat pada detik tercapainya kata sepakat mengenai unsur-unsur pokoknya, yaitu barang dan harga. Kewajiban pihak yang satu adalah menyerahkan barangnya untuk dinikmati oleh pihak yang lain, sedangkan kewajiban pihak yang terakhir ini adalah membayar “harga sewa”, jadi barang diserahkan tidak untuk dimiliki, akan tetapi dipakai, dan dinikmati kegunaannya. Dengan demikian maka penyerahan hanya bersipat menyerahkan kekuasaan belaka atas barang yang disewa itu.
1717 R. Subekti. Op.Cit, hal. 51-52
Kewajiban pihak yang menyewakan adalah menyerahkan barang untuk
dinikmati dan bukannya menyerahkan hak milik atas barang itu, maka ia tidak
usah pemilik dari barang tersebut, dengan demikian maka seorang yang
mempunyai hak nikmat hasil, dapat secara sah menyewakan barang yang
dikuasainya dengan hal tersebut.
Seorang yang diserahi suatu barang untuk dipakainya tanpa kewajiban membayar suatu kewajiban apapun, maka yang terjadi, adalah suatu perjanjian pinjam pakai. Jika si pemakai barang diwajibkan membayar, maka bukan lagi pinjam pakai yang terjadi, tetapi sewamenyewa.
Dasar hukum sewa-menyewa adalah sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1548, yang berbunyi sewa-menyewa ialah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya kenikmatan dari suatu barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran sesuatu harga, yang oleh pihak tersebut belakangan itu disanggupi pembayarannya. Sedangkan yang dimaksud dengan barang, adalah semua jenis barang, baik barang bergerak maupun barang tidak bergerak dapat disewakan sebagaimana bunyi Pasal 1549 (2) Kitab Undang- Undang Hukum Perdata.
B. Syarat Sahnya Suatu Perjanjian
KUHPerdata menentukan empat syarat yang harus ada pada setiap perjanjian, sebab dengan dipenuhinya syarat-syarat inilah suatu perjanjian itu berlaku sah.
Adapun keempat syarat sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1320 KUH.
Perdata tersebut adalah :
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.
2. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian.
3. Suatu hal tertentu.
4. Suatu sebab yang halal.
Keempat hal tersebut dikemukakan sebagai berikut : 1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
Syarat yang pertama sahnya kontrak adalah adanya kesepakatan atau konsensus para pihak. Kesepakatan ini diatur dalam Pasal 1320 ayat (1) KUH Perdata. Kesepakatan adalah persesuaian pernyataan kehendak antara satu orang atau lebih dengan pihak lainnya. Sesuai itu adalah pernyataannya, karena kehendak itu tidak dapat dilihat/diketahui orang lain. Ada lima cara terjadinya persesuaian pernyatan kehendak yaitu dengan:
a. Bahasa tidak sempurna dan tertulis;
b. Bahasa yang sempurna dan lisan;
c. Bahasa yang tidak sempurna asal dapat diterima oleh pihak lawan.
Karena kenyataannya, seringkali seseorang menyampaikan dengan bahasa tidak sempurna tetapi dimengerti oleh pihak lawannya;
d. Bahasa isyarat asal dapat diterima oleh pihak lawannya;
e. Diam atau membisu, tetapi asal dapat dipahami atau diterima pihak lawan.
18Pada dasarnya, cara yang paling banyak dilakukan oleh para pihak, yaitu dengan bahasa yang sempurna secara lisan dan tertulis. Tujuan pembuatan perjanjian secara tertulis adalah agar memberikan kepastian hukum bagi para pihak dan sebagai alat bukti yang sempurna, dikala timbul sengketa di kemudian hari. Di dalam kesepakatan terdapat pendapat-pendapat seperti :
a. Teori pernyataan yaitu kesepakatan terjadi pada saat yang menerima tawaran menulis surat atau telegram, yang menyatakan bahwa ia menerima tawaran itu.
b. Teori pengiriman yaitu kesepakatan terjadi pada saat surat atau telegram dikirim kepada yang menawarkan bahwa tawarannya
18 Salim H. S, Perkembangan Hukum Kontrak Innominaat di Indonesia. Sinar Grafika, Jakarta, 2003, hal. 33
diterima, atau yang menerima tawaran mengirim surat, telegram kepada yang menawarkan.
c. Teori pengetahuan yaitu kesepakatan terjadi pada saat yang menawarkan mengetahui bahwa tawarannya diterima.
d. Teori penerimaan yaitu kesepakatan terjadi pada saat yang menawarkan betul-betul mengetahui dengan menerima jawaban bahwa tawarannya diterima.
e. Teori pengetahuan yang objektif yang menawarkan secara objektif mengetahui yaitu menurut akal yang sehat dapat menganggap bahwa yang menerima tawaran itu telah membaca surat dari yang menawarkan.
f. Teori kepercayaan yaitu kesepakatan dianggap telah terjadi pada saat yang menerima tawaran itu percaya bahwa tawarannya itu betul yang dimaksud. Kalau menurut teori kehendak tidak mungkin tejadi kesepakatan karena apa yang dikehendaki kedua belah pihak tidak bersesuaian.
19Seseorang dikatakan telah memberikan persetujuan/sepakatnya, jika seseorang itu memang menghendaki apa yang disepakati. Karena suatu persetujuan pada dasarnya tidak mungkin timbul tanpa kehendak dari para pihak.
Dengan kata lain sepakat sebenarnya merupakan pertemuan antara dua kehendak, dimana kehendak orang yang satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Kesepakatan bebas diantara para pihak itu pada prinsipnya adalah pertanggungjawaban dari asas konsensualitas.
Persesuaian kehendak antara dua belah pihak menimbulkan perikatan, karena hukum hanya mengatur perbuatan nyata daripada manusia. Dengan kata lain adanya kesesuaian kehendak saja antara dua orang belum melahirkan suatu perjanjian, karena kehendak itu harus harus dinyatakan, harus nyata bagi orang
19 Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, Mandar Maju, Bandung, 2004, hal.
56
lain, dan harus dapat dimengerti pihak lain.
20Menurut Mariam Darus Badrulzaman, pengertian sepakat yang tertulis sebagai pernyataan kehendak yang disetujui (overeenstemende wilsverklaring) antara para pihak. Pernyataan tersebut adalah pernyataan dari pihak yang menawarkan dinamakan penawaran dan pernyataan pihak yang menerima penawaran dinamakan akeptasi. Selanjutnya penting untuk diperhatikan adalah bahwa yang dimaksud sepakat dalam Pasal 1320 KUH.Perdata adalah sepakat Kehendak itu harus saling bertemu dan untuk saling bisa ketemu harus dinyatakan.
Sepakat itu inti sebenarnya adalah suatu penawaran yang disampaikan kepada lawan pihaknya, untuk memperoleh persetujuan dari lawan pihaknya tersebut. Dalam hal pihak lawan dari pihak yang melakukan penawaran penerima penawaran yang diberikan, maka tercapailah kesepakatan tersebut. Sedangkan jika pihak yang melakukan penawaran tidak menyetujui penawaran yang disampaikan tersebut, maka ia dapat mengajukan penawaran balik, yang memuat ketentuan- ketentuan yang dianggap dapat dipenuhi atau yang sesuai dengan kehendaknya yang dapat dilaksanakan dan diterima olehnya. Dalam hal yang demikian maka kesepakatan belum tercapai. Saat penerimaan yang paling akhir dari serangkaian penawaran atau bahkan tawar menawar yang disampaikan dan dimajukan oleh para pihak, adalah, saat tercapainya kesepakatan. Hal ini adalah benar untuk perjanjian konsensuil, dimana kesepakatan dianggap terjadi pada saat penerimaan dari penawaran yang disampaikan terakhir. Dengan kata lain suatu penawaran dan persetujuan itu bisa datang dari kedua belah pihak secara timbal balik.
20 J.Satrio, Op.Cit, hal 165
pada saat akan lahirnya perjanjian, bukan pada saat pelaksanaannya. Dalam perjanian konsensuil, KUH.Perdata menentukan bahwa segera setelah terjadi kesepakatan, maka lahirlah perjanjian, pada saat yang bersamaan juga menerbitkan perikatan di antara para pihak yang telah bersepakat dan berjanji tersebut.
212. Kecakapan untuk membuat suatu perjanjian
Kecakapan bertindak adalah kecakapan atau kemampuan untuk melakukan perbuatan hukum. Perbuatan hukum adalah perbuatan yang akan menimbulkan akibat hukum. Orang-orang yang akan mengadakan perjanjian haruslah orang- orang yang cakap dan mempunyai wewenang untuk melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang ditentukan oleh undang-undang. Dalam KUHPerdata terdapat dua istilah tidak cakap dan tidak berwenang yaitu:
a. Tidak cakap adalah orang yang umumnya berdasar ketentuan undang- undang tidak mampu membuat sendiri perjanjian-perjanjian dengan akibat hukum yang lengkap seperti orang yang belum dewasa, orang yang di bawah kuratil (pengampuan), sakit jiwa dan lain sebagainya.
b. Tidak berwenang adalah orang itu cakap tetapi ia tidak dapat melakukan perbuatan hukum tertentu misal Pasal 1467-1470, 1601i, 1678, dan 1681.
22Pasal 1329 KUHPerdata dinyatakan bahwa ketidak cakapan seseorang merupakan kekecualian dalam membuat perikatan. Pasal 1330 KUHPerdata, tidak cakap untuk membuat perjanjian-perjanjian adalah:
a. Orang-orang yang belum dewasa;
b. Mereka yang di bawah pengampuan;
21 Kartini Muljadi dan Gunawan Wijaja, Perikatan yang Lahir dari Perjanjian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 2010, hal. 97
22Ibid, hal. 62
c. Istri (Pasal 1330 KUHPerdata). Akan tetapi dalam perkembangannya istri dapat melakukan perbuatan hukum, sebagaimana yang diatur dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 jo. SEMA No.31 Tahun 1963.
Mengenai orang-orang yang belum dewasa telah ditentukan dalam Pasal 330, belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur genap dua puluh satu tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin. Apabila perkawinan itu telah dibubarkan sebelum umur mereka genap dua puluh satu tahun maka mereka tidak kembali lagi dalam kedudukan belum dewasa. Di bawah pengampuan ditentukan dengan jelas dalam Pasal 443 KUHPerdata. Setiap orang dewasa yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata harus ditahan di bawah pengampuan, jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seseorng juga dapat ditaruh ke dalam pengampuan karena kebodohannya. Orang gila yang dirawat di rumah sakit jiwa telah diatur tersendiri tetapi ia pun dianggap tidak cakap untuk membuat perikatan.
Mengenai ketidakwenangan seseorang dalam melakukan perbuatan hukum, akibat hukumnya tidak diatur lebih lanjut tetapi demi perlindungan kepentingan umum maka akibat hukum dari perbuatan yang tidak memiliki kewenangan adalah batal demi hukum karena merupakan pelanggaran terhadap peraturan undang-undang telah ditentukan. Sedangkan untuk orang yang belum dewasa dan di bawah pengampuan karena ketidakcakapannya itu untuk melindungi orang- orang yang bersangkutan maka perbuatannya dapat dibatalkan karena alasan tersebut.
3. Suatu hal tertentu
Di dalam berbagai literatur disebutkan bahwa yang menjadi objek perjanjian adalah prestasi (pokok perjanjian). Prestasi adalah apa yang menjadi kewajiban bagi para debitur dan apa yang menjadi hak kreditur. Prestasi ini terdiri dari perbuatan positif dan negatif. Prestasi terdiri atas:
a. Memberikan sesuatu;
b. Melakukan sesuatu;
c. Tidak melakukan sesuatu (Pasal 1234 KUHPerdata);
Prestasi melakukan sesuatu dan tidak melakukan sesuatu dapat bersifat positif dan bisa pula bersifat negatif. Bersifat positif jika isi perjanjian ditentukan untuk melakukan sesuatu/ berbuat sesuatu. Hal ini timbul misalnya dalam perjanjian kerja seperti yang diatur dalam Pasal 1603 KUHPerdata. Pekerja wajib sedapat mungkin melakukan pekerjaan sebaik-baiknya. Sedangkan bersikap negatif adalah perjanjian yang memperjanjikan untuk tidak berbuat/melakukan sesuatu. Sewa-menyewa yang diatur dalam Pasal 1550 ayat (3) KUHPerdata merupakan salah satu perjanjian bersifat negatif. Yang menyewakan harus membiarkan si penyewa menikmati barang sewaan secara tenteram selama jangka waktu sewa masih berjalan.
Objek perjanjian harus dapat ditentukan maksudnya suatu yang logis dan
praktis. Itulah sebabnya Pasal 1320 KUHPerdata menentukan, objek/prestasi
perjanjian harus memenuhi syarat, yaitu objeknya harus tertentu atau sekurang-
sekurangnya objek itu mempunyai jenis tertentu seperti yang dirumuskan dalam
Pasal 1333 KUHPerdata. Oleh karena objek atau jenis objek merupakan
persyaratan dalam mengikat perjanjian dengan sendirinya perjanjian demikian
tidak sah jika seluruhnya objek tidak tertentu. Misalnya memperjanjikan
seseorang untuk membangun rumah tanpa sesuatu petunjuk petunjuk apapun, baik mengenai letak, besarnya dan jenis bahan bangunannya. Perjanjian semacam ini tidak mempunyai kekuatan mengikat. Dengan demikian dapat dimengerti, agar perjanjian itu memenuhi perbuatan memenuhi kekuatan hukum yang sah, bernilai dan mempunyai kekuatan yang mengikat, prestasi yang jadi objek perjanjian harus tertentu. Sekurang-kurangnya jenis objek itu harus tertentu.
4. Suatu sebab yang halal
Syarat suatu sebab yang halal ini mempunyai dua fungsi yaitu: yang
pertama perjanjian harus mempunyai sebab, tanpa syarat ini perjanjian batal dan
yang kedua perjanjian itu sebabnya harus yang halal, kalau tidak halal perjanjian
batal. Pasal 1335 dan 1337 KUHPerdata terdapat sebab yang bermacam-macam
yaitu: tanpa sebab, sebab yang halal, sebab yang palsu, sebab yang halal. Undang-
undang tidak memberikan pegangan yang pasti tentang pengertian apa itu sebab
dalam perjanjian. Sebab dalam arti hukum ini tidak boleh dicampur-aduk dengan
sebab dalam arti hukum alam. Dengan tidak adanya sebab, maka apa yang hendak
dicapai oleh para pihak adalah lenyap pula dalam kenyataan dan tidak dapat
dilaksanakan misalnya pihak-pihak membuat perjanjian yang melaksanakan
perjanjian terdahulu, padahal perjanjian yang terdahulu sudah dibatalkan sehingga
para pihak bermaksud melaksanakan perjanjian yang sebetulnya sudah tidak ada,
merupakan perjanjian tanpa sebab.Perjanjian dengan sebab yang tidak halal
adalah bertentangan dengan Pasal 1337 KUHPerdata, yaitu dilarang oleh undang-
undang atau bertentangan dengan kesusilaan atau ketertiban umum. Dilarang oleh
undang-undang yaitu perjanjian dibuat bertentangan dengan hukum pemaksa dari
hukum perdata. Bertentangan dengan kesusilaan yaitu suatu perjanjian akan
memberikan sesuatu, misalnya apabila ia memberikan suaranya dalam pemilihan kepala desa atau dapat dikatakan perjanjian suap-menyuap.
Bertentangan dengan ketertiban umum yaitu segala perjanjian untuk melepaskan kewajiban memberikan nafkah (alimentasi) antara orang tua dan anak.Setelah melihat penjabaran mengenai syarat-syarat sahnya perjanjian, maka dalam syarat-syarat tersebut terdapat 2 (dua) unsur yaitu syarat subjektif dan syarat objektif. Syarat yang pertama dan kedua disebut syarat subjektif, karena menyangkut pihak-pihak yang mengadakan perjanjian. Sedangkan syarat ketiga dan syarat keempat disebut syarat objektif, karena menyangkut objek perjanjian.
Apabila syarat pertama dan kedua tidak terpenuhi maka perjanjian itu dapat dibatalkan. Artinya, bahwa salah satu pihak dapat mengajukan kepada pengadilan untuk membatalkan perjanjian yang disepakatinya. Tetapi apabila para pihak tidak ada yang keberatan maka perjanjian itu tetap dianggap sah. Sedangkan syarat ketiga dan keempat apabila tidak terpenuhi maka perjanjian itu batal demi hukum.
Artinya, bahwa dari semula perjanjian itu dianggap tidak sah.Di dalam hukum kontrak Amerika ditentukan empat syarat sahnya kontrak, yaitu :
a. Adanya penawaran dan penerimaan;
b. Persesuaian kehendak;
c. Prestasi; dan
d. Kemampuan hukum para pihak dan pokok persoalan yang sah.
23Berdasarkan syarat-syarat sahnya perjanjian tersebut di atas, kedua syarat pertama yaitu sepakat mereka yang mengikatkan diri dan kecakapan untuk membuat perjanjian dinamakan syarat subjektif karena kedua syarat tersebut mengenai subjek perjanjian.
23Salim H.S, Op.Cit, hal 35
Syarat subjektif adalah suatu syarat yang menyangkut pada subjek- subjek perjanjian itu atau dengan perkataan lain, syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh mereka yang membuat perjanjian, hal ini meliputi kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya dan kecakapan pihak yang membuat perjanjian.
241. Semua persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang- undang bagi mereka yang membuatnya.
Apabila syarat subjektif tidak dipenuhi, maka perjanjiannya bukan batal demi hukum tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Syarat ketiga dan syarat keempat yaitu suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal jika tidak dipenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi huku m.
Akibat perjanjian yang telah memenuhi syarat-syarat sahnya perjanjian disebutkan dalam Pasal 1338 KUH. Perdata yang menyebutkan :
2. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak atau karena alasan-alasan yang oleh undang- undang dinyatakan cukup untuk itu.
3. Persetujuan-persetujuan hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya.
Perjanjian yang dibuat secara sah yaitu memenuhi syarat-syarat Pasal 1320 KUHPerdata berlaku sebagai Undang-Undang bagi para pihak yang membuat perjanjian. Artinya pihak-pihak harus mentaati isi perjanjian seperti mereka mentaati undang-undang sehingga melanggar perjanjian yang mereka buat dianggap sama dengan melanggar Undang-Undang. Perjanjian yang
24 Ibid, hal.36
dibuat secara sah mengikat pihak-pihak dan perjanjian tersebut tidak boleh ditarik kembali atau membatalkan harus memperoleh persetujuan pihak lainnya.
C. Pihak yang Terkait dalam Perjanjian Sewa Menyewa
Pihak yang terlibat dalam perjanjian sewa menyewa adalah pihak yang menyewakan dan pihak penyewa. Pihak yang menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak penyewa, sedangkan pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan.
1. Pihak yang menyewakan
Pihak menyewakan adalah orang atau badan hukum yang menyewakan barang atau benda kepada pihak lainnya untuk dinikmati kegunaan benda tersebut kepada penyewa. Pihak yang menyewakan barang atau benda tidak harus pemilik benda sendiri tidak harus pemilik benda sendiri tetapi semua orang yang atas dasar hak penguasaan untuk memindahkan pemakaian barang ke tangan orang lain. Hal tersebut dikarenakan di dalam sewa menyewa yang diserahkan kepada pihak penyewa bukanlah hak milik atas suatu barang melainkan hanya pemakaian barang ke tangan orang lain. Hal tersebut dikarenakan di dalam sewa menyewa yang diserahkan kepada pihak penyewa bukanlah hak milik atas suatu barang melainkan hanya pemakaian atau pemungutan atas hasil dari barang yang disewakan.
2. Pihak Penyewa
Pihak penyewa adalah orang atau badan hukum yang menyewa barang atau benda dari pihak yang menyewakan.
25D. Hak dan Kewajiban Para Pihak dalam Perjanjian Sewa Menyewa
Pasal 1550 KUHPerdata, bahwa pihak yang menyewakan mempunyai Kewajiban:
1. Menyerahkan benda atau barang yang disewakan kepada si penyewa.
2. Memelihara benda atau barang yang disewakan sedemikian rupa sehingga dapat dipakai untuk keperluan yang dimaksudkan.
3. Memberikan kepada si penyewa kenikmatan tenteram dan damai dari barang yang disewakan, selama berlangsungnya perjanjian sewa-menyewa, dan tidak adanya cacat yang merintangi pemakaian barang yang disewa.
4. Selama berlangsungnya perjnjian sewa-menyewa, melakukan pembetulan- pembetulan pada barangnya yang disewakan yang perlu dilakukan, terkecuali pembetulan-pembetulan kecil yang menjadi kewajiban si penyewa.
5. Ia juga harus menanggung si penyewa, terhadap semua cacat dari barang yang disewakan yang merintangi pemakaian barang itu, walapun pihak yang menyewakan itu sendiri tidak mengetahuinya pada waktu dibuatnya perjanjian sewa menyewa. Jika cacat-cacat itu telah mengakibatkan sesuatu kerugian bagi sipenyewa maka kepadanya pihak yang menyewakan diwajibkan memberikan ganti rugi (Pasal 1551 dan Pasal 1552 KUHPerdata).
25http://myklangenan.blogspot.co.id/2 diakses pada tanggal 21 Maret 2017
Kewajiban memberikan kenikmatan dan ketentraman kepada si penyewa, dimaksud sebagai kewajiban pihak yang menyewakan untuk menanggulangi atau menangkis tuntutan-tuntutan hukum dari pihak ketiga, misalnya membantah hak si penyewa untuk memakai barang yang disewakan. Kewajiban tersebut tidak meliputi pengamanan terhadap gangguan-gangguan fisik, misalnya orangorang melempari rumahnya dengan batu atau tetangga membuang sampah di pekarangan yang disewa dan lain sebagainya.
Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1556 KUHPerdata yang berbunyi: Pihak yang menyerahkan tidaklah diwajibkan menjamin si penyewa terhadap rintangan- rintangan dalam kenikmatannya yang dilakukan oleh orang-orang pihak ke tiga dengan peristiwa-peristiwa tanpa mengajukan suatu hak atas barang yang disewa dengan tidak mengurangi hak si penyewa untuk menuntut sendiri orang itu.
Pihak yang menyewakan, berhak atas:
1. Uang sewa yang harus di bayar oleh penyewa pada waktu tertentu sesuai dengan perjanjian sewa-menyewa.
2. Pandbeslag, yaitu penyitaan yang dilakukan oleh Pengadilan atas permohonan yang menyewakan mengenai perobot- perabot rumah yang berada dirumah yang disewakan, dalam hal penyewa menunggak uang sewa rumah untuk dilelang dalam hal penyewa tidak membayar lunas tunggakan uang sewa itu.
26Kewajiban penyewa menurut Pasal 1560 KUHPerdata adalah:
1. Memakai barang yang disewakan sebagai seorang kepala keluaraga yang baik sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang itu menurut perjanjian sewamenyewa.
2. Membayar uang sewa pada waktu dan tempat yang telah disetujui dalam perjanjian sewa-menyewa.
26 M. Yahya Harahap, Op.Cit, hal. 61.
3. Melengkapi dengan perabot rumah secukupnya bilamana obyek perjanjian sewa-menyewa itu rumah tinggal. Jika tidak, sebagaimana Pasal 1581 KUHPerdata, penyewa dapat dipaksa untuk mengosongkan rumah yang disewanya itu dengan perantaraan pengadilan, kecuali penyewa dapat memberi jaminan cukup untuk pembayaran sewa.
Perlengkapan rumah sewa dengan perabot cukup banyak dimaksudkan sebagai jaminan pembayaran, yang dapat disita oleh pengadilan (pandbeslag), apabila yang menyewakan menuntut penyewa dimuka pengadilan dalam hal penyewa menunggak pembayaran uang sewa.
4. Melakukan reparasi atau perbaikan kecil sehari-hari sesuai Pasal 1583 KUHPerdata.
27Penyewa berhak atas:
1. Penyerahan barang dalam keadaan terpelihara sehingga barang itu dapat dipergunakan untuk keperluan yang diperlukan.
2. Jaminan dari yang menyewakan mengenai kenikmatan tenteram dan damai dan tidak adanya cacat yang merintangi pemakaian barang yang disewanya.
28Kewajiban untuk memakai barang sewaan sebagai seorang kepala keluarga yang baik berarti kewajiban untuk memakainya seakan-akan itu barang kepunyaannya sendiri. Jika si penyewa memakai barang yang disewakan untuk suatu keperluan lain dari pada yang menjadi tujuan pemakaiannya, atau suatu keperluan sedemikian rupa hingga dapat menerbitkan kerugian kepada pihak yang menyewakan, maka pihak ini, menurut keadaan, dapat meminta pembatalan sewanya (Pasal 1561 KUHPerdata). Misalnya, sebuah rumah kediaman, dipakai untuk perusahaan atau bengkel mobil. Kalau yang disewa itu sebuah rumah kediaman, maka si penyewa diwajibkan memperlengkapi rumah itu dengan perabot rumah secukupnya, jika tidak, ia dapat dipaksa untuk mengosongkan
27 Ibid, hal.62
28 Ibid, hal.63.