7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Imunisasi
Imunisasi adalah suatu upaya untuk menimbulkan/meningkatkan kekebalan seseorang secara aktif terhadap suatu penyakit, sehingga bila suatu saat terpajan dengan penyakit tersebut tidak akan sakit atau hanya mengalami sakit ringan. Imunisasi bisa mencegah beberapa penyakit infeksi penyebab kematian atau kecacatan. Secara umun tujuan imunisasi antara lain untuk menurunkan morbiditas (angka kesakitan) dan mortalitas (angka kematian) pada anak dan balita, selain itu imunisasi sangat efektif untuk mencegah penyakit menular. Jenis imunisasi dasar yang diwajibkan oleh pemerintah antara lain imunisasi hepatitis B, BCG, DPT, Polio, dan Campak. Manfaat imunisasi diantaranya dapat mencegah beberapa penyakit infeksi penyebab kematian dan kecacatan, serta mengurangi penyebaran infeksi, sebab imunisasi membentuk antibodi spesifik yang melindungi tubuh dari serangan penyakit (Kemenkes,2013).
2.2 Imunisasi Lanjutan
Imunisasi lanjutan merupakan imunisasi ulangan untuk mempertahankan tingkat kekebalan atau untuk memperpanjang masa perlindungan.Imunisasi lanjutan dapat diberikan pada anak bawah usia tiga tahun (batita), anak usia sekolah dasar, dan wanita usia subur (Permenkes, 2013).
Berdasarkan instruksi dari Menteri Kesehatan tahun 2013 anak diberikan imunisasi lanjutan Diptheria Pertusi Tetanus-Heptitis B-Hemophilus Influenza Type
8
B (DPT/HB/HIB) yang disebut dengan imunisasi pentavalen yang diberikan
pada anak usia 1,5- 2 tahun dan imunisasi campak yang diberikan pada anak usia 2-3 tahun. Saat itu pelaksanaan Imunisasi lanjutan hanya di 4 provinsi antara lain Jawa Barat, DI Yogyakarta, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (Kemenkes, 2013).
Pemberian imunisasi lanjutan yang terdiri dari Imunisasi DPT-HB,Hib yang merupakan bagian dari pemberian imunisasi dasar pada bayi sebanyak tiga dosis. Vaksin DPT-HB,Hib merupakan pengganti vaksin DPT-HB sehingga memiliki jadwal yang sama dengan DPT-HB. Pemberian imunisasi lanjutan DPT-HB-Hib diberikan pada anak usia 1,5 tahun (18 bulan) yang sebelumnya sudah melakukan imunisasi DPT-HB maupun DPT-HB-Hib tiga dosis. Bagi anak batita yang belum mendapat DPT-HB tiga dosis dapat diberikan DPT-HB,Hib pada usia 18 bulan dan imunisasi lanjutan DPT-HB- Hib diberikan minimal 12 bulan dari DPT-HB-Hib dosis ketiga. Imunisasi lanjutan Campak diberikan pada anak usia 2 tahun (24 bulan). Apabila anak belum pernah mendapatkan imunisasi Campak sebelumnya (saat bayi), maka pemberian imunisasi lanjutan Campak dianggap sebagai dosis pertama. Selanjutnya harus dilakukan pemberian Imunisasi Campak dosis kedua minimal 6 bulan setelah dosis pertama.
Berikut adalah jadwal pemberian imunisasi lanjutan pada anak batita (Perdhaki,2015).
Tabel 2.1 Jadwal Pemberian Imunisasi Lanjutan
Umur Jenis Imunisasi Interval Minimum Setelah Imunisasi Dasar
1.5 Tahun (18 Bulan) DPT-HB-Hib 12 Bulan dari DPT-HB-Hib3 2 Tahun (24 Bulan) Campak 6 Bulan dari campak dosis pertama
2.2.1 Imunisasi DPT/HB/HIB (Pentavalen)
9
Imunisasi DPT/HB/HIB atau yang berdasarkan intruksi menteri kesehatan tahun 2013 disebut dengan imunisasi pentavalen adalah gabungan dari vaksin DPT-HB (DPT Combo) yang ditambah dengan vaksin HIB. Adapun manfaat dari imunisasi pentavalen diantaranya untuk pencegahan terhadap difteri, tetanus, pertusis (batuk rejan), hepatitis b, dan infeksi haemophilus influenza tipe b secara simultan.Vaksin DPT/HB/HIB terbukti aman dan memiliki efikasi yang tinggi, tingkat kekebalan yang protektif akan terbentuk pada bayi yang sudah mendapat tiga dosis imunisasi DPT/HB/HIb (Dinkes Provinsi Bali,2013).
Pemberian imunisasi DPT/HB/HIB pada tahap awal hanya di berikan pada bayi usia 2,3,4 bulan yang belum mendapat imunisasi DPT/HB. Sedangkan untuk bayi yang sudah mendapat imunisasi DPT/HB sesampai dosis ke tiga hanya di berikan imunisasi lanjutan DPTHB/HIB sebanyak satu dosis, pada usia 1,5 tahun (18 bulan). Kontra indikasi pada pemberian imunisasi pentavalen yaitu anak dengan panas tinggi dengan suhu >38ºC disertai batuk pilek. Selain itu kejang atau gejala kelainan otak pada bayi baru lahir atau kelainan saraf serius lainnya juga merupakan kontra indikasi terhadap komponen pertusis (Dinkes Provinsi Bali, 2013).
Dosis pemberian imunisasi pentavalen yaitu 0,5 ml dengan penyuntikan secara intramuscular. Suntikan diberikan pada paha anterolateral pada bayi dan di lengan kanan atas pada anak batita saat pemberian imunisasi lanjutan. Efek samping dari pemberian imunisasi ini biasanya sakit, bengkak dan kemerahan pada lokasi suntikan, dan dapat berlangsung sampai 3 hari. Biasanya demam juga dapat terjadi setelah pemberian imunisasi pentavalen (Dinkes Provinsi Bali, 2013).
10
2.2.2 Imunisasi Campak
Imunisasi campak adalah imunisasi yang diberikan pada bayi mulai usia 9 bulan sebagai dosis awal yang bertujuan untuk memberikan kekebalan pada tubuh terhadap virus myxovirus viridae measles. Gejala seseorang terserang virus campak adalah demam, bercak kemerahan, batuk, pilek, konjungtivitis(mata merah), selanjutnya timbul ruam pada muka dan leher, kemudian menyebar ke seluruh tubuh. Komplikasi penyakit campak adalah terjadinya diare hebat, peradangan pada telinga, dan infeksi saluran nafas (pneumonia).
Imunisasi campak lanjutan diberikan pada anak usia 2 tahun (24 bulan). Apabila anak belum pernah mendapatkan imunisasi campak sebelumnya saat bayi, maka pemberian imunisasi lanjutan campak dianggap sebagai imunisasi dosis pertama dan anak tersebut harus mendapatkan imunisasi ulangan sebagai imunisasi campak dosis kedua minimal 6 bulan setelah dosis pertama (Dinkes Provinsi Bali,2013).
Kontra indikasi pemberian imunisasi campak adalah apabila anak mengalami demam dengan suhu >38ºC disertai batuk pilek dan jika anak alergi tehadap telur juga tidak diperkenankan diberikan imunisasi canpak. Dosis dan cara pemberian imunisasi campak adalah vaksin campak yang telah dilarutkan hanya dapat digunakan selama 6 jam, selanjutnya imunisasi campak diberikan dengan dosis 0,5 ml dengan penyuntikan secara subkutan. Penyuntikan diberikan pada lengan kiri atas, pertengahan M.
Deltoideus. Efek samping dari imunisasi campak antara lain terjadi demam dan
11
kemerahan pada kulit setelah hari 7-10 yang terjadi selama 2-4 hari (Dinkes Provinsi Bali, 2013).
2.2.3 Kelengkapan Imunisasi Lanjutan
Seorang anak dikatakan lengkap dalam memperoleh imunisasi apabila anak tersebut sudah mendapatkan imunisasi lanjutan yang terdiri dari imunisasi DPT-HB- HIB lanjutan pada usia 18 bulan dan imunisasi campak lanjutan pada saat usia 24 bulan.
Imunisasi lanjutan tersebut dapat diberikan paling lambat saat anak berusia 36 bulan (3 Tahun).
2.3 Faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi lanjutan
Adapun lima faktor yang mempengaruhi kelengkapan imunisasi lanjutan seperti yang telah dikelompokan dibawah ini.
2.3.1 Faktor predisposisi
1). Pengetahuan
Pengetahuan merupakan hasil dari tahu setelah seseorang melakukan pengindraan terhadap objek tertentu. Pengindraan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Pengetahuan adalah berbagai gejala yang ditemui dan di peroleh manusia melalui pengamatan akal. Sebagian besar pengetahuan diperoleh melalui penglihatan dan pendengaran (Notoatmodjo, 2012).
12
Berdasarkan hasil penelitian Adzaniyah dkk (2014) yang berjudul Faktor Yang Mempengaruhi Kelengkapan Imunisasi Dasar Di Kelurahan Krembang Utara diperoleh hasil bahwa ada hubungan antara tingkat pengetahuan terhadap kelengkapan imunisasi pada bayi atau balita dan tingkat pengetahuan yang kurang beresiko 8,700 kali menyebabkan ketidaklengkapan imunisasi pada bayi atau balita dibandingkan ibu yang memiliki tingkat pengetahuan yang baik.
Pengetahuan orang tua (Ibu) tentang imunisasi lanjutan yang di maksud dalam penelitian ini adalah kemampuan ibu untuk menjawab beberapa pertanyaan yang diberikan mencakup pemberian imunisasi lanjutan yang meliputi jenis-jenis imunisasi lanjutan, efek samping dari pemberian imunisasi lanjutan, waktu pemberian imunisasi lanjutan, cara pemberian imunisasi lanjutan, manfaat pemberian imunisasi lanjutan dan cara perawatan setelah diberikan imunisasi. Pengukuran pengetahuan penulis menggunakan pengkategorian menurut Machfoedz (2009) yaitu:
1. Baik, bila subjek mampu menjawab dengan benar ≥ 75% dari seluruh pernyataan.
2. Kurang, bila subjek mampu menjawab dengan benar <75 % dari seluruh pertanyaan
2). Pengertian Sikap
Sikap (attitude) Sikap adalah respons tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan (senang-tidak senang, setuju-tidak setuju, baik-tidak baik dan sebagainya) (Notoatmodjo, 2012).
13
Sikap orang tua (Ibu) yang dimaksud dalam penelitian ini adalah respon dari ibu terhadap pernyataan yang diberikan mencakup pemberian imunisasi lanjutan yang meliputi jenis-jenis imunisasi lanjutan, efek samping dari pemberian imunisasi lanjutan, waktu pemberian imunisasi lanjutan, manfaat pemberian imunisasi lanjutan dan cara perawatan setelah diberikan imunisasi. Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung ataupun tidak langsung. Pengukuran secara langsung dapat dilakukan dengan memberikan pertanyaan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu objek. Sedangkan pengukuran tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan- pernyataan hipotesis, kemudian ditanyakan bagaimana pendapat responden (Notoatmodjo, 2012).
Berdasarkan penelitian Jannah dkk (2014) dalam penelitian faktor yang berhubungan dengan status imunisasi campak pada batita di wilayah kerja Puskesmas Mangarabombang Kabupaten Takalar. Pengolahan data menggunakan program SPSS 16, dengan analisis data dilakukan menggunakan uji chi square dan uji phi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak ada hubungan antara umur pekerjaan, dan pendidikan dengan status imunisasi campak dan ada hubungan antara pengetahuan dan sikap dengan status imunisasi campak.
2.3.2 Faktor Pemungkin
1). Akses Orang Tua ke Puskesmas
Puskesmas adalah unit pelaksana teknis dinas kesehatan kabupaten/kota yang bertanggung jawab menyelenggarakan pembangun kesehatan di wilayah kerjanya
14
(Permenkes, 2013). Posyandu adalah suatu wadah komunikasi dalam pelayanan kesehatan masyarakat dari Keluarga Berencana, dari masyarakat, oleh masyarakat, dan untuk masyarakat dengan dukungan pelayananserta pembinaan teknis dari petugas kesehatan dan keluarga. Akses ke pelayanan kesehatan adalah pelayanan kesehatan itu harus dapat dicapai oleh masyarakat, tidak terhalang oleh keadaan geografis, sosial, ekonomi, organisasi, dan bahasa. Sedangkan yang dimaksud akses orang tua ke pelayanan kesehatan (puskesmas) adalah jarak antara tempat tinggal dan lokasi puskesmas yang dapat menghalangi orang tua membawa anaknya ke puskesmas untuk mendapatkan imunisasi lanjutan.
Berdasarkan penelitian Mandowa (2014) yang berjudul faktor-faktor yang berhubungan dengan kepatuhan ibu dalam pemberian imunisasi dasar di wilayah kerja Puskesmas Tamalanrea, dengan menggunakan tehnik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah tehnik non probability sampling dengan uji purposive sampling diperoleh hasil penelitian yang menunjukan adanya hubungan jarak rumah dengan kepatuhan ibu dalam pemberian imunisasi dasar dan terdapat hubungan jumlah anak dengan kepatuhan ibu dalam pemberian imunisasi dasar.
2.3.3 Faktor Penguat
1). Peran Petugas Kesehatan
Menurut Peraturan Pemerintah No 32 tahun 1996 tentang tenaga kesehatan, dimana tenaga kesehatan adalah setiap orang yang mengabdikan diri dalam bidang kesehatan, serta memiliki pengetahuan dan/atau memiliki keterampilan melalui
15
pendidikan di bidang kesehatan yang untuk jenis tertentu memerlukan kewenangan untuk melakukan upaya kesehatan. Upaya kesehatan adalah setiap kegiatan untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah dan/atau masyarakat. Peran petugas kesehatan yaitu memberikan informasi tentang imunisasi, manfaat dan pentingnya imunisasi lanjutan untuk anak serta memberikan konseling, informasi, edukasi (KIE) yang jelas kepada orang tua dan keluarga. Peran petugas kesehatan dapat diketahui melalui pertanyaan yang diberikan kepada responden tentang seberapa sering petugas kesehatan memberikan informasi dan KIE kepada responden.
Berdasarkan penelitian Zakiyah (2014) dalam penelitiannya yang berjudul hubungan antara peran petugas kesehatan dengan cakupan imunisasi per antigen tingkat puskesmas di Kabupaten Jember diperoleh hasil dengan analisa data menggunakan uji korelasi Spearman Rank (Rho) menunjukan bahwa ada hubungan antara peran petugas kesehatan dengan cakupan imunisasi Polio 1 dan ada hubungan antara peran petugas kesehatan dengan cakupan imunisasi Polio 4 dan ada hubungan antara peran petugas kesehatan dengan cakupan imunisasi DPT/HB 3.
2). Peran Kader Posyandu
Kader adalah tenaga yang berasal dari masyarakat, dipilih oleh masyarakat dan bekerja bersama untuk masyarakat secara sukarela (Mantra,1983). Peran kader adalah kesiapan atau kehadiran dari kader posyandu untuk membantu menjelaskan atau menyiapkan konsultasi dan pendidikan kesehatan tentang imunisasi di pusat kesehatan pada ibu-ibu yang memiliki bayi dimana keberadaannya sangat dirasakan. Peran kader dalam masyarakat antara lain untuk memberikan informasi kepada masyarakat agar
16
berperilaku atau mengadopsi perilaku kesehatan dengan cara pesuasi, bujukan, himbauan, ajakan, memberikan bentuk intervensi atau upaya yang ditujukan kepada perilaku, agar perilaku tersebut kondusif untuk kesehatan. Berdasarkan penelitian Nugroho dkk (2008) yang berjudul Hubungan antara pengetahuan dan motivasi kader Posyandu dengan keaktifan kader Posyandu di Desa Dukuh Tengah Kecamatan Ketanggungan Kabupaten Brebes, diperoleh hasil uji statistik bahwa ada hubungan antara pengetahuan kader posyandu dengan keaktifan kader Posyandu, ada hubungan antara motivasi kader posyandu dengan keaktifan kader Posyandu.