Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
i
ii
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank Hak Cipta pada penulisHak Penerbitan pada penerbit
dilarang memperbanyak/memproduksi sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun tanpa izin tertulis dari pengarang dan/atau penerbit.
Kutipan pasal 72:
Sanksi pelanggaran Undang-undang Hak Cipta (UU No. 10 Tahun 2012) 1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak melakukan perbuatan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal (49) ayat (1) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/(atau) denda paling sedikit Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan atau dendan paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana paling lama 5 (lima) tahun dan/ atau denda paling banyak Rp. 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
iii
Intan Pelangi, S.H.,LL.M.
iv
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank PenulisIntan Pelangi, S.H.,LL.M.
Desain Cover
Team Laduny Creative
Lay OutTeam Laduny Creative
ISBN.978-602-6539-40-3 90 hal.; 15 cm X 23 cm.
Dicetak dan diterbitkan oleh:
CV. LADUNY ALIFATAMA (Penerbit Laduny) Anggota IKAPI
- Perum JSP Blok V 6 No. 11 Tejoagung, Metro – Lampung.
- Jl. Ki Hajar Dewantara No. 49 Iringmulyo, Metro – Lampung.
Telp. : (0725) 7855820, 085269012121– 085769001000
Email : penerbitladuny@gmail.com
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
v KATA PENGANTAR
Saya ingin melihat bangsa ini menjadi besar dan maju, layaknya negara-negara lain dibelahan Asia, Eropa, hingga Amerika. Hal inilah yang mendasari penulisan buku yang saat ini dapat dinikmati. Buku ini bukanlah buku diktat melainkan buku referensi yang bersifat pengayaan dalam bidang hukum perdata bagi pembaca.
Penulis berterimakasih kepada orang tua, anak, serta sahabat yang telah banyak memberikan dukungan, semangat, serta doa sehingga buku ini dapat terselesaikan. Ungkapan terimakasih juga penulis sampaikan kepada Penerbit Laduny Alifatama yang telah bersedia menerbitkan buku ini.
Akhir kata, sebagai Hamba Allah SWT yang tak luput dari kesalahan maka penulis memohon kesediaan dari para pembaca maupun Saudara sekalian untuk dapat memberikan masukan demi kesempurnaan buku ini.
Metro, Medio Mei 2017 Teriring salam penulis,
Intan Pelangi, S.H.,LL.M.
vi
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit BankDAFTAR ISI
Kata Pengantar ... v
Daftar Isi ... vi
BAB I PENDAHULUAN ... 1
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN A. Pengertian Perjanjian ... 7
B. Asas-Asas Hukum Perjanjian ... 10
C. Syarat Sahnya Perjanjian ... 16
D. Unsur-Unsur Perjanjian ... 25
E. Wanprestasi Dalam Perjanjian ... 26
F. Berakhirnya Perjanjian ... 28
BAB III TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit ... 31
B. Bentuk Perjanjian Kredit ... 33
C. Sifat Perjanjian Kredit ... 34
D. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit ... 34
E. Hak dan Kewajiban Para Pihak ... 35
F. Jenis Perjanjian Kredit ... 36
G. Jaminan Dalam Perjanjian Kredit ... 37
BAB IV TINJAUAN UMUM TENTANG ASAS I’TIKAD BAIK A. Pengertian Asas I’tikad baik ... 41
B. Fungsi I’tikad Baik Dalam Pelaksanaan Kontrak ... 41
C. Pembagian Asas I’tikad Baik ... 45
BAB V TINJAUAN UMUM TENTANG KLAUSULA BAKU A. Pengertian Perjanjian Baku ... 47
B. Ciri-Ciri Perjanjian Baku ... 51
C. Mengikatnya Perjanjian Baku Bagi Para Pihak ... 54
BAB VI PEMBAHASAN ... 65
BAB VII PENUTUP A. Kesimpulan ... 77
B. Saran ... 77
DAFTAR PUSTAKA
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
1 BAB I
PENDAHULUAN
Usaha rakyat dalam skala kecil dan menengah sebagai bagian integral dunia usaha nasional mempunyai kedudukan, potensi, dan peranan yang sangat penting serta strategis dalam mewujudkan pembangunan nasional pada umumnya dan tujuan pembangunan ekonomi pada khususnya. Sektor usaha kecil dan menengah merupakan sektor kegiatan usaha yang mampu memperluas lapangan kerja dan memberikan pelayanan ekonomi yang luas pada masyarakat, serta dapat berperan dalam proses pemerataan, peningkatan pendapatan masyarakat serta mendorong pertumbuhan ekonomi.
Perkembangan dunia usaha terutama usaha kecil dan menengah telah memacu kompleksitas perkembangan dunia perbankan. Hal ini dapat dilihat pada persaingan antar bank yang semakin kompetitif dan ini menciptakan suatu sistem persaingan baru dalam dunia bisnis perbankan. Untuk menjalankan usahanya, selain didasarkan pada kemampuan keuangan pribadi pengusaha yang bersangkutan, tidak jarang pinjaman dari lembaga perbankan menjadi suatu pilihan untuk tetap melanjutkan usaha.
Pemanfaatan jasa keuangan dari perbankan yang berbentuk kredit biasanya dibuat dalam bentuk perjanjian baku, yang memuat berbagai syarat dan \ketentuan dalam klausul yang telah dibakukan. Perjanjian ini telah disusun terlebih dahulu oleh pihak perbankan, untuk kemudian ditawarkan kepada para calon nasabah. Pada fase ini konsumen hanya memiliki dua pilihan yakni menandatangani (take it) atau tidak menandatangani (leave it).
Semua ketentuan-ketentuan yang tercantum didalamnya telah
ditentukan secara sepihak oleh perbankan tanpa ada suatu
negosiasi terlebih dahulu dengan calon nasabah. Perjanjian yang
dituangkan pada selembar kertas tersebut hanya memiliki bagian
2
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bankkosong pada identitas debitur, jumlah kredit, dan tanggal dimulainya kredit.
Landasan dari suatu perjanjian terletak pada asas kebebasan berkontrak, yang terdapat dalam Pasal 1320 jo Pasal 1337 KUHPerdata. Sedangkan perangkat aturan hukum mengenai perjanjian kredit adalah sbagai berikut: KUHPerdata BAB XIII, mengenai perjanjian pinjam meminjam uang; UU Perbankan No.7 tahun 1992, ayat (1-4); KepMenDag No.34/KP/11/1980; perjanjian meminjam dalam Undang-Undang Melepas Uang; perjanjian pinjam uang dalam Undang-Undang Riba (woeker ordonantie S.193 N:524).
Keberadaan perjanjian baku dalam perjanjian kredit perbankan bukan merupakan hal baru bahkan telah bertahan selama bertahun-tahun. Mengenai perjanjian baku ini, beberapa ahli hukum berpendapat dan diantaranya adalah; A.Pitlo, yang mengatakan bahwa perjanjian standar adalah suatu perjanjian paksaan.
1Sebab menurutnya, kebebasan pihak-pihak yang dijamin oleh Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata sudah dilanggar, lantaran pihak yang lemah terpaksa menerima perjanjian ini karena mereka tidak mampu berbuat lain. Mariam.D.Badrulzaman
2, mengemukakan bahwa perjanjian standar bertentangan dengan asas hukum perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1320 jo Pasal 1338 KUHPerdata maupun kesusilaan, disisi lain perjanjian ini dapat tumbuh dan berkembang dalam praktek di masyarakat karena keadaan menghendakinya. Menguatkan pendapat tersebut, Hondius
3menyatakan bahwa perjanjian baku mempunyai kekuatan mengikat berdasarkan kebiasaan yang berlaku di lingkungan masyarakat dan lalu lintas perdagangan.
1
Mariam.D.Badrulzaman,1991,Perjanjian Kredit Bank,PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,hlm.37.
2
Ibid,hlm.38.
3
S.R.Sjahdeini,1999,Kebebasab Berkontrak dan Perlindungan yang
2
Ibid,hlm.38.
3
S.R.Sjahdeini,1999,Kebebasab Berkontrak dan Perlindungan yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian kredit Bank di Indonesia,Institut Bankir Indonesia, Jakarta,hlm.69.Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
3
Hal yang mendasari alasan dari pembakuan penyusunan perjanjian ini selain sebagai alasan praktis juga demi melindungi kepentingan pribadi dari pihak bank sendiri. Hal ini tentu saja dapat dimaklumi mengingat begitu banyak transaksi yang harus dilakukan dan betapa tidak efisiennya waktu apabila setiap transaksi yang dilakukan harus terlebih dahulu dihadapkan pada proses negosiasi.
Disisi lain, pihak bank juga dapat menekan tingkat risiko dengan adanya perjanjian yang telah dibakukan syarat dan semua ketentuan yang terkandung didalamnya.
Namun dengan keberadaan perjanjian kredit yang telah dibakukan isi dan susunannya, kemudian justru mengabaikan kepentingan debitur (nasabah) akan perlindungan hukum khususnya terhadap klausula baku yang sifatnya unconscionable clause. Unconscionable clause, penyalahgunaan keadaan (misbruik van omstandigheden) dan iktikad baik (good faith) , merupakan suatu asas yang sama-sama tumbuh dan berkembang dalam hukum perjanjian. Meskipun dari ketiganya memiliki tolak ukur yang berlainan antara satu sama lain.
Suatu perjanjian dapat digolongkan dalam unconscionable clause ketika didapati suatu posisi tawar yang tidak seimbang yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak yang lebih dominan untuk kemudian menciptakan suatu keuntungan yang tidak adil , tetapi pihak yang lebih lemah menerima saja perjanjian tersebut karena sudah tidak memiliki pilihan lain
4. Menurut Van Dunne, dikutip oleh H.Panggabean, penyalahgunaan keadaan itu berhubungan dengan terjadinya kontrak (pernyataan kehendak secara tidak bebas) dan tidak terikat dengan isi perjanjian
5.
Sebagaimana telah diketahui bersama pula bahwa iktikad baik adalah niat dari pihak yang satu untuk tidak merugikan pihak yang lain dalam perjanjian, serta tidak merugikan kepentingan
4
Lum Kit Wye & Victor Yeo,Contract Law,Butterworths Asia,Singapura,hlm.17.
5
Henry Panggabean,2001,Penyalahgunaan Keadaan (Misbruik Van
Omstandigheden) Sebagai Alasan (Baru) Untuk Pembatalan Perjanjian,Liberty,Yogyakarta,hlm.42-43.4
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bankumum. Asas iktikad baik ini dilaksanakan sejak para pihak menghendaki suatu perjanjian hingga setelah perjanjian itu dibuat.
Dalam KUHPerdata Pasal 1338 ayat (3), yang harus diterapkan oleh seluruh pihak yang mengadakan suatu perjanjian tanpa terkecuali.
Iktikad baik yang dimaksud dalam Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata tersebut adalah bahwa pelaksanaan dari suatu perjanjian harus berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan norma kesusilaan yang berlaku. Makna dari kepatutan dan kesusilaan tersebut hingga saat ini belum ada undang-undang yang mengatur rumusannya secara lengkap. Oleh sebab itu, tidak ada ketetapan batasan pengertian mengenai istilah tersebut. Tetapi jika dilihat dari arti katanya, kepatutan artinya kepantasan, kelayakan, kesesuaian, kecocokan; sedangkan kesusilaan artinya kesopanan, keadaban. Dari arti kata ini dapat digambarkan kiranya kepatutan dan kesusilaan sebagai nilai yang patut, pantas, layak, sesuai, cocok, sopan, dan beradab sebagaimana sama-sama dikehendaki oleh masing-masing pihak yang mengadakan perjanjian.
6Asas iktikad baik merupakan suatu asas dimana debitur (nasabah) dan kreditur (bank) harus melaksanakan substansi perjanjian berdasarkan kepercayaan atau keyakinan yang teguh atau kemauan baik dari para pihak. Asas iktikad baik ini sangat mendasar dan penting untuk diperhatikan terutama didalam membuat suatu perjanjian, maksud dari suatu iktikad baik disini adalah bertindak sebagai pribadi yang baik. Iktikad baik dalam suatu pengertian yang sangat subyektif dapat diartikan sebagai suatu kejujuran seseorang, yaitu apa yang terletak pada seseorang pada waktu diadakan perjanjian. Sedangkan iktikad baik dalam perspektif obyektif yaitu bahwa pelaksanaan suatu perjanjian itu harus didasarkan pada norma kepatutan atau apa yang dirasa sesuai dengan yang patut didalam masyarakat.
7Munir Fuady
6
Abdulkadir Mohammad,1992,Hukum Perikatan, PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,hlm.19.
7
A.Qirom Syamsuddin M.,Pokok-Pokok Hukum Perjanjian Beserta
Perkembangannya,hlm.19.Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
5
mengatakan, rumusan dari Pasal 1338 ayat (3) tersebut mengidentifikasikan bahwa sebenarnya iktikad baik bukan merupakan syarat sahnya suatu kontrak sebagaimana syarat yang terdapat dalam pasal 1320 KUHPerdata. Unsur iktikad baik hanya diisyaratkan dalam hal “pelaksanaan” dari suatu kontrak, bukan pada “perbuatan” suatu kontrak. Sebab unsur iktikad baik dalam hal suatu kontrak sudah dapat dicakup oleh unsur kausa yang legal dari Pasal 1320 KUHPerdata tersebut.
88
Munir Fuady,2000,Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum BIsnis),
PT.Citra Aditya Bakti,Bandung,hlm.81.
6
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit BankAsas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
7 BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN
A. Pengertian perjanjian
Perjanjian diatur dalam Buku III Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) pada BAB II, yaitu mengenai aturan- aturan umum perjanjian yang terdiri dari 4 (empat) bagian dan dimulai dari Pasal 1313 sampai dengan Pasal 1351 Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), serta BAB V-XVIII, yang memuat ketentuan khusus yaitu peraturan mengenai perjanjian yang banyak dipakai dalam masyarakat dan sudah mempunyai nama-nama tertentu. Pada ketentuan khusus adakalanya terdapat ketentuan-ketentuan yang hanya mengulangi apa yang telah diatur dalam aturan umum perjanjian, maka apabila dalam aturan umum dan ketentuan umum tersebut terdapat pertentangan yang digunakan adalah ketentuan khusus sesuai dengan asas lex speciali derogate legi generali.
Pengunaan istilah perjanjian berasal dari terjemahan Bahasa Belanda yakni dari kata overeenkomst yang berasal dari kata overeenkomen yang berarti setuju atau sepakat. Kitab Undang- Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) mengartikan overeenkomst ini sebagai perjanjian. Pengertian perjanjian menurut Pasal 1313 KUHPerdata yaitu:
“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih”.
Pengertian tersebut banyak sekali menuai kritik dari para ahli hukum perdata. Para ahli hukum perdata tersebut berpendapat bahwa definisi atau batasan perjanjian tersebut dalam Pasal 1313 KUHPerdata dianggap tidak lengkap atau tidak sempurna karena disatu sisi terlalu sempit dan disisi lain makna tersebut terlalu luas.
Dikatakan tidak lengkap karena hanya menyebutkan persetujuan
8
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Banksepihak saja, dikatakan sangat luas karena dengan dipergunakannya kata “perbuatan” tercakup juga perbuatan sukarela (zaakwaarneming) dan perbuatan melawan hukum.
Maka dari itu, perlu kiranya diadakan perbaikan mengenai definisi tersebut sebagai berikut;
a. perbuatan harus diartikan sebagai perbuatan hukum, yaitu perbuatan yang bertujuan untuk menimbulkan akibat hukum,
b. menambahkan perkataan “atau saling mengikatkan dirinya”
kedalam Pasal 1313 KUHPerdata.
Sehingga menurut R.Setiawan, yang menerjemahkan oveereenkomst sebagai persetujuan perumusannya menjadi:
“persetujuan adalah suatu perbuatan hukum, dimana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya atau saling mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih”.
Menurutnya, penggunaan istilah persetujuan lebih tepat mengingat KUHPerdata menganut asas konsensualisme atau dengan kata lain oveereenkomst pada asasnya terjadi dengan adanya kata sepakat dan kata sepakat itu timbul karena adanya kesesuaian kehendak diantara para pihak.
9Subekti sendiri mengartikan mengenai pengertian perjanjian adalah sebagai berikut:
“suatu perjanjian adalah suatu peristiwa dimana seseorang berjanji kepada seseorang yang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan suatu hal”.
Menurutnya, pengertian perjanjian masih memiliki suatu kelemahan karena suatu peristiwa belum tentu selalu dikehendaki oleh kedua belah pihak. Padahal dalam perjanjian, akibat hukum dikehendaki oleh para pihak.
109
R.Setiawan,1994,Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Bina Cita,Bandung,hlm.49.
10
R.Subekti,1992,Hukum Perjanjian,Intermasa,Jakarta,hlm.1.
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
9
Sudikno Mertokusumo, pengertian perjanjian (oveereenkomst) adalah hubungan hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.
Maksudnya bahwa dua pihak tersebut sepakat untuk menentukan peraturan atau kaidah atau hak dan kewajiban yang harus mereka laksanakan. Kesepakatan tersebut untuk menimbulkan akibat hukum, yaitu apabila hak dan kewajiban tersebut dilanggar maka akibat hukumnya bagi si pelanggar akan dikenakan sanksi.
11Sudikno Mertokusumo, menjelaskan bahwa dalam suatu perjanjian tersebut sudah mengandung unsur akibat hukum, karena perjanjian tersebut dibuat karena adanya hubungan hukum oleh para pihak yaitu dengan adanya kata sepakat yang sudah barang tentu adanya suatu tujuan yang diinginkan oleh para pihak.
Purwahid Patrik, mengatakan bahwa pengertian perjanjian yang terdapat dalam Pasal 1313 KUHPerdata kurang lengkap bahkan terlalu luas dan banyak mengandung kelemahan- kelemahan. Kelemahan yang dimaksud oleh Purwahid Patrik adalah sebagai berikut:
1. Hanya menyangkut perjanjian sepihak saja
Hal ini dapat diketahui dari rumusan “satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya”. Kata “mengikatkan” merupakan kata kerja yang sifatnya hanya datang dari satu pihak saja, tidak datang dari kedua belah pihak.
Sedangkan maksud perjanjian itu mengikatkan diri dari kedua belah pihak sehingga nampak kekurangannya dimana setidak-tidaknya perlu adanya rumusan “saling mengikatkan diri”. Jadi jelas nampak adanya konsensus atau kesepakatan antara kedua belah pihak yang membuat perjanjian.
11
Sudikno Mertokusumo,1996,Mengenal Hukum Suatu Pengantar,
Liberty,Yogyakarta,hlm.10.
10
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank2. Kata perbuatan mencakup juga tanpa konsensus atau kesepakatan
Dalam pengertian, perbuatan termasuk juga tindakan;
a. Mengurus kepentingan orang lain (zaakwaarneming), b. Perbuatan melawan hukum.
12Menilik pada pernyataan pendapat para ahli diatas maka dapat ditarik kesimpulan bahwa mengenai definisi perjanjian tersebut terdapat kesamaan, yaitu adanya suatu perbuatan hukum dan kata saling mengikatkan diri yang melahirkan adanya kesepakatan dari kedua belah pihak. Pendapat-pendapat tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa mengenai definisi perjanjian tersebut mencakup:
1) Perjanjian merupakan perbuatan hukum yang menimbulkan akibat hukum.
2) Dalam perjanjian harus terdapat dua pihak atau lebih yang saling mengikatkan diri, yaitu debitur dan kreditur.
3) Dalam suatu perjanjian harus ada prestasi yang mengikat yang melahirkan hak dan kewajiban kedua belah pihak.
4) Terdapat tujuan yang dikehendaki oleh para pihak.
B. Asas-Asas Hukum Perjanjian 1. Asas Konsensualisme
Berdasarkan asas ini, maka suatu perjanjian itu lahir sejak adanya kata sepakat diantara para pihak. Asas konsensualisme dapat ditemui pada Pasal 1338 ayat (1) juga Pasal 1320 butir (1) KUHPerdata sebagai berikut:
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
12
Purwahid Patrik,1994,Dasar-Dasar Hukum Perikatan,Bandung:Mandar
Maju,hlm.45.
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
11
Berdasarkan kedua pasal tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya perjanjian telah lahir sejak saat tercapainya kesepakatan antara para pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan kata lain, perjanjian itu lahir apabila sudah tercapai kesepakatan dari para pihak mengenai hal-hal pokok yang menjadi obyek perjanjian dan tidak perlu adanya formalitas tertentu selain yang telah ditentukan undang- undang.
Namun dalam asas konsensualisme ini terdapat pengecualian yaitu oleh undang-undang ditetapkan formalitas tertentu untuk beberapa macam perjanjian dengan ancaman batalnya perjanjian tersebut apabila tidak memenuhi bentuk yang ditetapkan. Misalnya; dalam perjanjian hibah yang berupa benda tidak bergerak harus dengan akta notaris, perjanjian perdamaian harus dengan bentuk tertulis, perjanjian yang pembuatannya menggunakan formalitas-formalitas tertentu disebut dengan perjanjian formil. Pengecualian lain uga berlaku pada perjanjian riil. Dalam perjanjian riil, lahirnya perjanjian terjadi pada saat obyek perjanjian diserahkan secara nyata, misalnya; perjanjian penitipan barang (Pasal 1694 KUHPerdata), perjanjian pinjam pakai (Pasal 1740 KUHPerdata), perjanjian pinjam pakai sampai habis (Pasal 1754 KUHPerdata).
Hal utama yang dapat disimpulkan dari Pasal 1338 jo
Pasal 1320 KUHPerdata mengenai asas konsensualisme adalah
bahwa salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kata
sepakat. Hal ini karena dalam pasal tersebut tidak disebutkan
formalitas tertentu disamping kesepakatan yang tercapai itu,
maka kemudian dapat dicapai kesimpulan bahwa setiap
perjanjian itu sudah sah atau mengikat apabila sudah tercapai
kesepakatan mengenai hal-hal yang pokok dari perjanjian itu.
12
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank2. Asas Kebebasan Berkontrak
Asas ini berkaitan sangat erat dengan isi, bentuk, dan jenis dari perjanjian yang dibuat. Asas ini terdapat dalam Pasal 1338 ayat (1) KUHPerdata yang menyatakan bahwa:
“semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Kata “semua” dalam asas ini mengandung 5 (lima) makna yaitu;
a. Setiap orang bebas untuk mengadakan atau tidak mengadakan perjanjian
b. Setiap orang bebas mengadakan perjanjian dengan siapapun
c. Setiap orang bebas menentukan bentuk perjanjian yang dibuatnya
d. Setiap orang bebas menentukan isi, dan syarat-syarat perjanjian yang dibuatnya
e. Setiap orang bebas untuk mengadakan pilihan hukum, maksudnya bebas untuk memilih pada hukum mana perjanjian yang dibuat akan tunduk.
Buku III KUHPerdata menganut “asas kebebasan
berkontrak” dalam hal membuat perjanjian, artinya bahwa
orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja asal tidak
melanggar ketentuan undang-undang, kesusilaan, dan
ketertiban umum. Asas ini dapat disimpulkan dari Pasal 1338
KUHPerdata yang menyatakan bahwa segala perjanjian yang
dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi
mereka yang membuatnya. Hal sesungguhnya yang
dimaksudkan oleh pasal ini adalah menyatakan bahwa tiap
perjanjian “mengikat” kedua belah pihak. Buku III KUHPerdata
pada umumnya hanya merupakan “hukum pelengkap” yang
dalam arti konkrit dapat disimpangi oleh perjanjian yang
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
13
dibuat para pihak. Jadi setiap orang leluasa untuk membuat perjanjian apa saja selain yang diatur dalam Buku III KUHPerdata asal tidak melanggar undang-undang, ketertiban umum, dan kesusilaan. Namun karena Buku III KUHPerdata pada umumnya hanya merupakan hukum pelengkap, maka Buku III KUHPerdata menganut “sistem terbuka”, yang artinya setiap orang dapat mengadakan perjanjian-perjanjian lain selain yang diatur didalam KUHPerdata. Lain halnya dengan Buku II yang menganut “sistem tertutup”, artinya orang tidak dapat membuat atau memperjanjikan hak-hak kebendaan lain, selain yang diatur dalam KUHPerdata.
133. Asas Pacta Sunt Servanda
Asas ini berhubungan dengan akibat suatu perjanjian dan diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) dan ayat (2) KUHPerdata. Asas tersebut dapat disimpulkan dari kata:
“………berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”.
Dengan adanya asas ini berarti para pihak harus mentaati perjanjian yang telah mereka buat seperti halnya mentaati undang-undang, maksudnya apabila diantara para pihak ada yang melanggar perjanjian tersebut maka pihak tersebut dianggap melanggar undang-undang yang tentunya akan dikenai sanksi hukum. Oleh karena itu akibat dari asas pacta sunt servanda adalah perjanjian itu tidak dapat ditarik tanpa persetujuan pihak lain yang terlibat didalam perjanjian.
Hal ini disebutkan dalam Pasal 1338 ayat (2) KUHPerdata, sebagai berikut:
“suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan-
13
Komariah,2002,Hukum Perdata,UMM Press,Malang,hlm.139.
14
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bankalasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu”.
4. Asas I’tikad Baik
Asas i’tikad baik berkaitan dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Asas ini menghendaki bahwa apa yang telah diperjanjikan oleh para pihak harus dilaksanakan dengan memenuhi tuntutan keadilan dan tidak melanggar kepatutan.
Kepatutan didalam perjanjian dimaksudkan agar jangan sampai dalam pemenuhan kepentingan salah satu pihak terdesak, tetapi harus ada keseimbangan antara berbagai kepentingan pihak-pihak yang bersangkutan. Sedangkan keadilan mempunyai makna bahwa kepastian untuk mendapatkan apa yang sudah diperjanjikan namun untuk pemenuhan janji tersebut harus memperhatikan norma-norma yang berlaku. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata yaitu:
“suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan iktikad baik”.
Dalam hal ini iktikad baik mempunyai 2 (dua) pengertian yaitu:
a. I’tikad baik dalam arti subyektif
I’tikad baik dalam arti subyektif dapat ditemukan pada lapangan hukum benda dan hukum perikatan. Hal ini dapat terlihat pada Pasal 1977 KUHPerdata, dimana iktikad baik diartikan sebagai kejujuran seseorang dalam melakukan suatu perbuatan hukum yaitu yang terletak pada sikap batin seseorang pada waktu diadakan perbuatan hukum.
b. I’tikad baik dalam arti obyektif
I’tikad baik dalam arti obyektif mengandung makna
bahwa pelaksanaan suatu perjanjian harus didasarkan pada
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
15
norma, kepatutan atau apa yang dirasakan sesuai dengan yang patut dalam masyarakat. Pelaksanaan perjanjian tersebut harus tetap berjalan dengan mengindahkan norma-norma kepatutan dan kesusilaan serta harus berjalan diatas yang benar. Pasal 1338 ayat (3) KUHPerdata memberikan suatu kebebasan pada hakim untuk mengawasi pelaksanaan perjanjian agar jangan sampai didalam pelaksanaan tersebut melanggar norma atau kaidah-kaidah kepatutan dan keadilan yang sudah barang tentu memiliki barasan-batasan tersendiri
5. Asas Kepribadian
Asas yang tercantum dalam Pasal 1315 dan Pasal 1340 KUHPerdata berhubungan dengan subyek hukum yang memiliki kaitan dengan pelaksanaan perjanjian. Asas perjanjian ini mengandung makna bahwa perjanjian hanya mengikat pribadi bagi orang-orang yang membuatnya dan tidak dapat membawa akibat bagi orang lain yang bukan merupakan pihak dalam perjanjian. Pasal 1315 KUHPerdata menyatakan bahwa:
“Pada umumnya tidak seorang dapat mengikatkan diri atas nama sendiri atau meminta ditetapkannya suatu janji daripada untuk dirinya sendiri”.
Asas kepribadian kemudian dipertegas pula dalam Pasal 1340 KUHPerdata sebagai berikut:
“Suatu perjanjian hanya berlaku antara pihak-pihak yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat membawa rugi kepada pihak-pihak ketiga; tidak dapat pihak-pihak ketiga mendapat menfaat karenanya, selain dalam hal yang diatur oleh Pasal 1317”.
Berdasarkan ketentuan Pasal 1340 KUHPerdata dapat
disimpulkan bahwa perjanjian hanya mengikat para pihak
dalam perjanjian saja. Dengan demikian dapat dibenarkan
16
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bankbahwa dalam suatu perjanjian tidak boleh menimbulkan hak dan kewajiban terhadap pihak ketiga, juga tidak boleh mendatangkan kepentingan hingga kerugian kecuali telah ditentukan lain oleh undang-undang. Hanya saja kemudian terdapat pengecualian terhadap asas kepribadian ini, yaitu mengenai janji terhadap pihak ketiga sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 1340 KUHPerdata. Pengecualian tersebut terdapat dalam Pasal 1317 KUHPerdata sebagai berikut:
“Lagipun diperbolehkan juga untuk meminta ditetapkannya suatu janji guna kepentingan seorang pihak ketiga, apabila suatu penetapan janji, yang dibuat oleh seorang untuk dirinya sendiri, atau suatu pemberian yang dilakukannya kepada seorang lain, memuat suatu janji yang seperti itu. Siapa yang telah memperjanjikan sesuatu seperti itu, tidak boleh menariknya kembali, apabila pihak tersebut telah menyatakan hendak mempergunakannya”.
C. Syarat Sahnya Perjanjian
Pasal 1320 KUHPerdata, menentukan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi 4 (empat) syarat yaitu:
1. Sepakat Mereka yang Mengikatkan Dirinya
Sepakat merupakan pertemuan antara dua kehendak dimana kehendak pihak yng satu saling mengisi dengan apa yang dikehendaki pihak lain. Sepakat atau persetujuan kehendak diantara para pihak tersebut adalah mengenai hal- hal pokok dalam suatu perjanjian. Dengan demikian mereka menghendaki sesuatu yang berlainan atau satu sama lain secara timbal balik, artinya pihak yang lain mempertemukan kehendak yang berbeda untuk mencapai suatu tujuan.
Kesepakatan diantara para pihak harus merupakan
kesepakatan yang bebas, yang artinya benar-benar atas
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
17
kemauan sukarela dari para pihak yang mengadakan perjanjian. Sehingga sepakat yang diberikannya bukan karena kekhilafan, paksaan, penipuan.
Dalam Pasal 1321 KUHPerdata menyatakan:
“Tiada sepakat yang sah apabila sepakat itu diberikan karena kekhilafan, atau diperolehnya dengan paksaan, atau penipuan”.
Suatu kesepakatan yang diperoleh karena 3 (tiga) hal diatas maka dapat dikatakan perjanjian yang terjadi mengandung cacat kehendak.
Pasal 1322 KUHPerdata, dijelaskan mengenai kekhilafan yang menyatakan bahwa kekhilafan tidak mengakibatkan batalnya suatu perjanjian selain apabila kekhilafan itu terjadi mengenai hakekat barang yang menjadi pokok perjanjian.
Kehilafan itu tidak menjadi sebab kebatalan, jika kehilafan itu hanya terjadi mengenai dirinya orang dengan siapa orang bermaksud membuat perjanjian itu telah dibuat terutama karena mengingat dirinya orang tersebut.
Ada 2 (dua) macam kekhilafan berdasarkan Pasal 1322 KUHPerdata, yaitu:
1) Kekhilafan mengenai orang dengan siapa seseorang mengikatkan dirinya (error in persona).
2) Kekhilafan mengenai hakekat bendanya (error in substantia).
Selain faktor khilaf, suatu perjanjian dapat dibatalkan karena adanya suatu paksaan sebagaimana tertuang dalm Pasal 1324 KUHPerdata yang menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan paksaan adalah apabila perbuatan tersebut dapat menimbulkan rasa takut dan ancaman bagi dirinya maupun harta kekayaannya.
Kemudian suatu faktor lagi yang dapat menjadi
pendorong terhadap pembatalan perjanjian yaitu faktor
penipuan terhadap salah satu pihak sehingga dengan adanya
18
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bankpenipuan itu pihak yang tertipu membuat perjanjian dengan pihak yang menipu. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1328 KUHPerdata.
Berpedoman pada adanya kemungkinan pernyataan kehendak yang tidak selalu sama dengan kehendak sebenarnya maka, timbul persoalan mengenai cara penentuan tercapainya kata sepakat. Cara yang sering digunakan untuk menentukan terjadinya kata sepakat adalah dengan menggunakan teori sebagai berikut:
a. Teori kehendak (wilstheorie)
Teori ini lebih menekankan pada faktor kehendak.
Menurut teori ini, jika ada pernyataan kehendak yang berbeda dengan kehendak yang sesungguhnya maka pihak yang menyatakan kehendak tersebut tidak terikat pada pernyataan tersebut.
b. Teori pernyataan (verklaringstheorie)
Dasar pokok pegangan dalam teori ini adalah apa yang dinyatakan oleh para pihak. Teori ini tidak memperhatikan apakah pernyataan kehendak itu sama dengan kehendak yang sebenarnya atau tidak.
c. Teori kepercayaan (vetrouwenstheorie)
Teori ini menyatakan bahwa kata sepakat terjadi jika ada pernyataan kehendak yang secara obyektif dapat dipercaya.
Selain teori yang digunakan untuk menentukan
tercapainya kata sepakat, ada teori lain yang mengatur
mengenai saat dan tempat terjadinya kesepakatan yang
melahirkan perjanjian. Hal ini berdasarkan pada adanya
kemungkinan bila suatu perjanjian terjadi tanpa hadirnya para
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
19
pihak atau salah satu pihak yang membuat perjanjian, maka digunakanlah teori sebagai berikut:
1) Teori pernyataan (utingstheorie)
Menurut teori ini, perjanjian terjadi pada saat pihak yang menerima penawaran (akseptor) telah menulis surat jawaban yang menyatakan bahwa ia menerima penawaran tersebut.
2) Teori pengiriman (verzendingstheorie)
Teori pengiriman menyatakan bahwa perjanjian terjadi pada saat dikirimkannya surat jawaban penerimaan penawaran dari akseptor.
3) Teori pengetahuan (vernemingstheorie)
Teori ini mengemukakan bahwa perjanjian terjadi setelah pihak yang menawarkan mengetahui bahwa penawarannya telah diketahui oleh pihak lain.
4) Teori penerimaan (ontvangstheorie)
Menyatakan bahwa perjanjian terjadi pada saat diterimanya surat jawaban penerimaan penawaran oleh orang yang menawarkan.
5) Teori Geobjectiverde vernemingstheorie
Pitlo, menyatakan bahwa saat terbentuknya perjanjian adalah saat pengiriman secara wajar atau masuk akal dapat menganggap bahwa pihak yang dikirimi surat sudah mengetaui surat penerimaan tersebut.
2. Cakap untuk membuat suatu perikatan
Pasal 1329 KUHPerdata, dikemukakan bahwa pada
prinsipnya setiap orang adalah cakap untuk membuat suatu
20
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bankperjanjian, kecuali jika oleh undang-undang dinyatakan tidak cakap membuat perjanjian. Mereka yang oleh undang-undang tidak cakap membuat perjanjian, sebagaimana diatur oleh Pasal 1330 KUHPerdata adalah sebagai berikut:
a. Orang-orang yang belum dewasa,
Mereka yang dari sisi usia belum mencapai umur 21 tahun dan belum pernah melangsungkan perkawinan.
b. Mereka yang ditaruh dibawah pengampuan,
Dibawah pengampuan adalah orang-orang yang harus diwakili oleh seorang pengampu ataupun kuratornya apabila ia akan melakukan perbuatan hukum. Orang yang dapat ditaruh dibawah pengampuan antara lain disebabkan karena gila, dungu, lemah akal, pemabuk, pemboros.
c. Orang perempuan dalam hal-hal tertentu yang ditentukan oleh undang-undang.
Pasal 108 dan Pasal 110 KUHPerdata, menyebutkan bahwa seorang perempuan bersuami tidak boleh melakukan perbuatan hukum tertentu tanpa izin dari suaminya.
Namun dalam Undang-Undang Nomor 1 tahun 1974 tentang Perkawinan Pasal 31 ayat (1) menyatakan bahwa:
“Hak dan kedudukan istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan dirumah tangga dari pergaulan hidup bersama dalammasyarakat”.
Kemudian dalam ayat (2) mengemukakan:
“Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.
Pada saat sekarang seorang wanita yang telah bersuami
boleh melakukan perbuatan hukum tanpa harus mendapat izin
terlebih dahulu dari suami. Pasal 1330 KUHPerdata butir (3),
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
21
berdasarkan pada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 3 tahun 1963, menyatakan bahwa orang-orang perempuan dinyatakan cakap untuk melakukan perbuatan hukum dan dipertegas lagi dengan Undang-Undang Perkawinan Pasal 31 ayat (1) yang berbunyi:
“Hak dan keduduka istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”
Menurut KUHPerdata Pasal 330, yang dianggap orang yang sudah dewasa dan karenanya oleh hukumdianggap cakap jika:
1) Sudah genap berumur 21 tahun.
2) Sudah kawin, meskipun belum genap berumur 21 tahun.
3) Sudah kawin dan kemudian bercerai meskipun belum genap berumur 21 tahun.
Kemudian dengan keluarnya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, tentang Perkawinan maka, diubah menjadi 18 tahun atau sudah pernah melangsungkan perkawinan.
Ketentuan mengenai umur dewasa 18 tahun ini berlaku bagi seluruh Warga Negara Indonesia tanpa membeda-bedakan golongan penduduknya dan hal ini dapat dilihat pada Pasal 47 jo Pasal 50 KUHPerdata. Dengan demikian umur dewasa 21 tahun sebagaimana ditentukan dalam KUHPerdata sudah tidak berlaku lagi. Umur dewasa 18 tahun ini juga telah ditentukan oleh Mahkamah Agung dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 477K/SIP/1976, tanggal 13 Oktober 1976
14.
3. Suatu hal tertentu
Maksud dari suatu hal tertentu dalam suatu perjanjian adalah obyek dari suatu perjanjian, suatu pokok dari
14
Munir Fuady,Op.Cit. ,hlm.65.
22
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bankdiadakannya suatu perjanjian. Pada suatu perjanjian, obyek perjanjian harus tertentu dan setidak-tidaknya dapat ditentukan.
Pokok perjanjian ini tdak harus ditentukan secara individual tetapi cukup dapat ditentukan menurut jenisnya.
Hal ini menurut ketentuan Pasal 1333 KUHPerdata yang berbunyi:
“Suatu perjanjian harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang paling sedikit ditentkan jenisnya. Tidaklah menjadi halangan bahwa jumlah barang tidak tentu, asal saja jumlah itu terkamudian dapat ditentukan atau dihitung”.
Dalam pasal tersebut terkandung pengertian bahwa perjanjian atas suatu barang yang baru akan ada diperbolehkan.
Kemudian dalam Pasal 1334 ayat KUHPerdata menyatakan:
“Barang-barang yang baru akan ada dikemudian hari dapat menjadi pokok suatu perjanjian”
Barang-barang yang baru akan ada dapat dibedakan menjadi 2 (dua) yaitu;
1) Barang yang baru akan ada dalam pengertian mutlak, yaitu barang yang lahir pada saat lahirnya perjanjian sama sekali belum ada,
2) Barang yang baru akan ada dalam pengertian nisbi, yaitu barang sudah ada pada saat lahirnya perjanjian tapi pada pihak tertentu barang tersebut masih merupakan suatu harapan untuk dimiliki.
4. Suatu sebab yang halal
Para pembentuk undang-undang tidak memberikan
definisi tentang suatu sebab yang halal dalam pasal-pasal pada
Kitab Undang-Undang Hukum perdata. Menurut yurisprudensi,
yang dimaksud dengan “sebab” adalah sesuatu yang akan
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
23
dicapai oleh para pihak dalam perjanjian atau sesuatu yang menjadi tujuan perjanjian.
Sangat perlu dibedakan secara tegas antara sebab dan motif. Motif adalah alasan yang mendorong batin seseorang untuk melakukan suatu hal. Sedangkan sebab adalah tujuan daripada persetujuan. Sebab dalam utang piutang dengan bunga adalah bahwa pihak yang satu ingin mendapatkan uang dan pihak yang lain menerima bunga. Pada jual beli, yang satu mendapatkan barang yang lain mendapatkan uang dari harganya
15.
Syarat suatu sebab yang halal ini mempunyai 2 (dua) fungsi yaitu;
1) Perjanjian harus mempunyai sebab, tanpa syarat ini perjanjian batal,
2) Sebabnya harus halal, jika tidak halal maka perjanjian batal.
Kemudian dalam Pasal 1336 KUHPerdata, disebabkan dengan adanya perjanjian mempunyai sebab atau kausa yaitu:
a. Perjanjian dengan sebab yang halal.
b. Perjanjian dengan sebab yang palsu atau terlarang.
c. Perjanjian tanpa sebab.
Perjanjian dengan sebab yang halal disini maksudnya bahwa isi dari perjanjian itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1337 KUHPerdata:
“Suatu sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik, atau ketertiban umum”.
Dilarang oleh undang-undang yaitu perjanjian dibuat bertentangan dengan hukum pemaksa dari hukum perdata.
Bertentangan dengan kesusilaan yaitu, suatu perjanjian itu akan memberikan sesuatu apabila ia memberikan suaranya dalam
15
R.Setiawan,Op.Cit. ,hlm.62.
24
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bankpemilihan Kades atau dapat dikatakan perjanjian suap- menyuap. Bertentangan dengan ketertiban umum yaitu, segala perjanjian untuk melepaskan kewajiban nafkah (alimentasi) antara orang tua dan anak
16.
Perjanjian dengan sebab yang palsu (terlarang) termasuk dalam pengertian sebab yang tidak halal. Suatu sebab dikatakan palsu apabila sebab tersebut diadakan oleh para pihak untuk menutupi atau menyelubungi sebab yang sebenarnya, sebab yang terlarang maksudnya sebab yang bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, dan ketertiban umum.
Suatu perjanjian tanpa sebab dapat terjadi apabila tujuan yang dimaksud oleh para pihak pada saat dibuatnya perjanjian tidak akan dicapai. Dalam Pasal 1335 KUHPerdata disebutkan bahwa:
“Suatu perjanjian tanpa sebab atau yang telah dibuat karena suatu sebab yang palsu atau terlarang tidak mempunyai kekuatan”.
Dengan demikian perjanjian itu tidak akan pernah ada atau batal demi hukum.
Keempat syarat sahnya perjanjian yang telah disebutkan diatas, maka syarat yang pertama (1) dan syarat yang kedua (2) disebut dengan syarat subyektif, yaitu syarat yang menyangkut subyeknya. Syarat subyektif ini apabila tidak dipenuhi maka perjanjian dapat dimintakan pembatalan.
Meminta pembatalan dalam hal seorang anak yang belum dewasa adalah anak itu sendiri bila ia kelak dewasa atau orang tua atau walinya dan untuk seorang yang berada dibawah pengampuan (curatele) adalah pengampunya (curator).
Seorang yan telah memberikan kesepakatan secara tidak bebas maka orang itu sendiri yang dapat meminta pembatalan perjanjian. Batas waktu pembatalan perjanjian ini tidak dapat berlaku selamanya dan menurut Pasal 1454 KUHPerdata,
16
Purwahid Patrik,Op.Cit.,hlm.64.
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
25
ditentukan sampai dengan batas waktu 5 (lima) tahun. Selama pembatalan tersebut belum dilaksanakan maka perjanjian itu masih tetap berlaku sebagai perjanjian yang sah dan mengikat kedua belah pihak yang membuatnya.
Syarat yang ketiga (3) dan syarat keempat (4) disebut dengan syarat obyektifdisebut syarat obyektif sebab syarat ini berkaitan dengan obyeknya. Apabila syarat obyektif ini tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut batal demi hukum. Artinya perjanjian tersebut tanpa dimintakan pembatalannya oleh hakim sudah batal dengan sendirinya atau dengan kata lain perjanjian tersebut dianggap tidak pernah terjadi.
D. Unsur-Unsur Perjanjian
Suatu perjanjian itu harus memenuhi 3 (tiga) macam unsur:
1. Unsur essentialia
Unsur essentialia adalah unsur yang sangat penting yang harus ada dalam suatu perjanjian.
Misalnya: harus adanya kata sepakat dalam suatu perjanjian.
2. Unsur Naturalia
Unsur ini adalah unsur yang sewajarnya ada didalam suatu perjanjian jika tidak dikesampingkan oleh kedua belah pihak.
Misalnya: penjual wajib menjamin cacat tersembunyi atas barang yang dijualnya. Namun kewajiban ini dapat dikesampingkan bila telah ada kesepakatan kedua belah pihak.
3. Unsur Accidentalia
Unsur ini merupakan suatu unsur yang hanya ada
apabila telah dikehendaki oleh kedua belah pihak.
26
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit BankMisalnya: dalam suatu perjanjian tidak dibutuhkan bentuk tertentu dan para pihak bebas menentukan perjanjian akan dibuat secara lisan atau dengan akta notaris.
E. Wanprestasi Dalam Perjanjian
Wanprestasi adalah tidak terlaksananya prestasi karena kesalahan debitur, baik kelalaian maupun suatu kesengajaan.
Bentuk dari wanprestasi adalah sebagai berikut:
1. Tidak terlaksananya prestasi sama sekali
Debitur sama sekali tidak memberikan prestasi. Hal ini bisa disebabkan karena debitur memang tidak mau berprestasi (secara subyektif tidak ada gunanya lagi untuk berprestasi) atau dapat juga disebabkan karena memnag debitur secara obyektif tidak mungkin berprestasi sekalipun ia mau melakukannya.
2. Melaksanakan prestasi yang tidak tepat waktu atau debitur terlambat berprestasi
Pada tahap ini, debitur berprestasi, obyek prestasinya benar, tetapi tidak sesuai dengan waktu yang sebagaimana diperjanjian. Jika obyek prestasinya masih berguna bagi kreditur, maka dalam hal ini debitur dianggap lalai atau mora.
3. Memenuhi prestasi tetapi tidak sesuai atau debitur keliru berprestasi
Pada pristiwa ini, debitur dalam pikirannya telah memberikan prestasi sebagaimana mestinya, tetapi dalam kenyataannya yang diterima oleh kreditur lain dari yang telah diperjanjikan.
Kreditur membeli bawang putih tapi justru dikirim
bawang merahdalam hal demikian kita tetap beranggapan
bahwa debitur tidak berprestasi. Jadi, dalam kelompok tidak
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
27
berprestasi termasuk juga didalamnya adalah “penyerahan yang tidak sebagaimana mestinya” dalam arti sesuai dengan yang diperjanjikan.
17Untuk mengatakan debitur wanprestasi, maka diperlukan adanya suatu pernyataan lalai (ingebrekstelling) , yaitu pernyataan dari kreditur agar debitur melaksanakan prestasi dalam waktu tertentu. Pernyataan atau teguran ini dapat disebut sebagai somasi (somatie) . Berdasarkan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 1963, salinan surat gugatan dapat dianggap sebagai somasi.
Selain berisi teguran kreditur agar debitur berprestasi, didalamnya juga harus disebutkan dasar teguran.
Tidak seluruh wanprestasi harus dimulai dengan adanya somasi. Hal ini dikarenakan adanya wanprestasi tanpa somasi, yaitu:
1) Adanya fataal termijn (ketentuan batas waktu) dalam perjanjian,
2) Jika prestasi berupa tidak berbuat sesuatu, 3) Debitur mengakui dirinya wanprestasi.
Apabila debitur tidak memenuhi perikatannya (wanprestasi) ataupun pada perikatan-perikatan dimana pernyataan lalai disampaikan kepada debitur tetapi tidak diindahkan, maka debitur dinyatakan tidak memenuhi perikatan
18.
Hak-hak kreditur apabila terjadi wanprestasi:
b. Hak menuntut pemenuhan perikatan (nakomen).
c. Hak menuntut pemutusan perikatan (out binding).
d. Hak menuntut ganti rugi (schade vergoeding).
e. Hak menuntut perikatan dengan ganti rugi.
17
J.Satrio,1993,Hukum Perikatan (Perikatan Pada Umumnya), Alumni,Bandung,hlm.122-133.
18
M.D.Badrulzaman,1983,KUHPerdata Buku III tentang Hukum Perikatan
Dengan Penjelasan, Alumni,Bandung,hlm.26.28
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bankf. Hak menuntut pemutusan pembatalan atau pemutusan perikatan dengan ganti rugi.
Ganti rugi adalah mengembalikan keadaan kreditur seperti semula seandainya debitur tidak wanprestasi. Pasal 1243 KUHPerdata, merinci kerugian (dalam arti luas) kedalam 3 (tiga) kategori sebagai berikut;
1. biaya-biaya (kosten), 2. kerugian (schaden), 3. bunga (interessen).
Menurut Pasal 1246 KUHPerdata, ganti rugi dapat diberikan berdasarkan pada:
a. Kerugian yang nyata-nyata diderita.
b. Keuntungan yang seharusnya diperoleh.
Kedua hal diatas telah dicakup didalam pengertian “biaya, kerugian, dan bunga”. Biaya adalah pengeluaran-pengeluaran nyata, kerugian adalah berkurangnya kekayaan kreditur sebagai akibat dari ingkar janji, dan bunga adalah keuntungan yang seharusnya diperoleh kreditur apabila debitur tidak wanprestasi
19.
F. Berakhirnya Perjanjian
Hapusnya perjanjian harus dibedakan dengan hapusnya perikatan, karena suatu perikatan dapat hapus sedangkan perjanjian yang merupakan sumbernya masih ada. Misalnya: dalam perjanjian jual beli, dengan dibayarnya harga maka perikatan mengenai pembayaran menjadi hapus sedangkan perjanjiannya belum karena perikatan mengenai penyerahan barang belum terlaksana. Jika semua perikatan yang ditimbulkan dari perjanjian itu hapus seluruhnya, maka perjanjian tersebut juga berakhir dalam hal ini hapusnya tersebut dari hapusnya perikatan- perikatannya.
19
R.Setiawan,Op.Cit,hlm.23.
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
29
Sebaliknya, hapusnya perjanjian dapat juga mengakibatkan hapusnya perikatan-perikatannya, yaitu apabila perjanjian hapus dengan berlakunya surut, misalnya sebagai akibat dari pembatalan berdasarkan wanprestasi (Pasal 1266 KUHPerdata), maka semua perikatan yang telah terjadi menjadi hapus dan perikatan itu tidak perlu lagi dipenuhi. Begitu pula terhadap perikatan yang telah dipenuhi harus ditiadakan tetapi dapat juga terjadi bahwa perjanjian hapus untuk waktu selanjutnya sehingga kewajiban- kewajiban yang telah ada tetap ada. Misalnya, dalam perjanjian sewa-menyewa yaitu dengan pernyataan mengakhiri akan tetapi perikatan untuk membayar uang sewa atas sewa yang telah dinikmati tidak ikut berakhir atau hapus.
Kemudian untuk memberikan gambaran yang lebih jelas maka berikut ini akan diterangkan mengenai sebab-sebab hapusnya atau berakhirnya perjanjian yaitu:
1. Ditetapkan dalam perjanjian oleh para pihak, maksudnya adalah bahwa perjanjian tersebut hapus apabila para pihak telah menentukan saat berakhirnya perjanjian itu.
2. Undang-undang menentukan batas berlakuknya perjanjian, misalnya; menurut Pasal 1066 KUHPerdata menyatakan bahwa para ahli waris dapat mengadakan perjanjian untuk selama waktu tertentu supaya tidak melakukan pemecahan harta warisan. Akan tetapi waktu perjanjian tersebut dibatasi masa berlakunya hanya untuk 5 (lima) tahun.
3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu maka perjanjian akan hapus.
4. Pernyataan menghentikan perjanjian (opzegging) , hal ini dapat dilakukan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Opzegging hanya ada pada perjanjian yang bersifat sementara. Misalnya; perjanjian kerja, perjanjian sewa menyewa.
5. Perjanjian hapus karena putusan hakim, dalam hal ini
dapat kita lihat contohnya pada perjanjian sewa menyewa
30
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bankrumah tidak menentukan jangka waktu berakhirnya sewa sehingga menimbulkan kesulitan untuk menghentikan sewa menyewa tersebut, maka hal ini dapat diputuskan dengan putusan Pengadilan Negeri.
6. Tujuan perjanjian telah tercapai, apabila tujuan perjanjian tersebut telah tercapai maka perjanjian tersebut berakhir.
Misal, dalam jual beli motor, apabila motor telah diserahkan dan harga telah dibayar maka perjanjian jual beli tersebut telah berakhir.
7. Dengan perjanjian para pihak, perjanjian akan hapus
dengan adanya perjanjian antara para pihak yang
membuatnya. Misalnya; dalam perjanjian sewa menyewa
rumah dimana para pihak menentukan batas sewa akan
berakhir setelah 5 (lima) tahun.
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
31 BAB III
TINJAUAN UMUM TENTANG PERJANJIAN KREDIT
A. Pengertian Kredit dan Perjanjian Kredit
Secara etimologi, kata kredit berasal dari Bahasa Yunani yaitu “credere” yang mempunyai arti kepercayaan, sedangkan pengertian kredit menurut Pasal 1 angka 12, Undang-Undan Nomor 7 tahun 1992, adalah sebagai berikut;
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan ang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan jumlah bunga, imbalan atau pembagian hasil keuntungan”.
Pengertian kredit diatas mengalami sedikit perubahan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 1998 tentang Perbankan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 angka 11:
“Kredit ialah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka wktu tertentu dengan pemerian bunga”.
Melihat pada dua pengertian diatas, terlihat adanya suatu pebedaan mengenai kontraprestasi yang akan diterima. Semula kontraprestasi dari kredit tersebut dapat berupa bunga, imbalan atau hasil keuntungan, sedangkan pada ketentuan yang baru kontraprestasi hanya berupa bungan saja.
Menurut Thomas Suyatno, unsur-unsur kredit terdiri atas 4
(empat) hal. Unsur-unsur tersebut adalah:
32
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Banka. Kepercayaan, yaitu keyakinan dari si pemberi kredit bahwa prestasi yang diberikannya baik dalam bentuk uang, barang, atau jasa akan benar-benar diterimanya kembali dalam jangka waktu tertentu dimasa yang akan datang.
b. Tenggang waktu, yaitu suatu masa yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima pada masa yang akan datang.
c. Degree of risk, yaitu tingkat resiko yang akan dihadapi sebagai akibat dari adanya jangka waktu yang memisahkan antara pemberian prestasi dengan kontraprestasi yang akan diterima di kemudian hari.
d. Prestasi atau obyek kredit itu tidak hanya diberikan dalam bentuk uang tetapi juga dapat berupa barang atau jasa.
Namun, transaksi-transaksi kredit yang berkaitan dengan uanglah yang sering kita jumpai dalam praktek.
20Istilah perjanjian kredit tidak ditemukan pengaturannya dalam KUHPerdata maupun Undang-Undang Perbankan, tetapi istilah ini ditemukan dalam instruksi pemerintah yang ditujukan bagi masyarakat bank, yaitu dalam Pedoman Kebijaksanaan di Bidang Perkreditan (Instruksi Presidium Kabinet Nomor 15/EK/10 tanggal 13 Oktober 1966) jo Surat Edaran Bank Negara Indonesia Unit I Nomor 2/539/UPK/Pemb tanggal tanggal 8 Oktober 1966 dan Surat Edaran Bank Negara Indonesia Nomor 2/643/UPK/Pemb tanggal 20 Oktober 1966. Dalam instruksi tersebut pemerintah mewajibkan kepada bank agar menyelenggarakan akad perjanjian kredit. Menurut Mariam Darus Badrulzaman, perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam uang dengan bank sebagai salah satu pihaknya.
21Sehingga dari definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit adalah perjanjian pinjam meminjam uang antara bank dengan pihak lain atau debitur yang menimbulkan hak
20
Thomas Suyatno,et.al,1993,Dasar-Dasar Perkreditan,Gramedia Pustaka Utama,Jakarta,hlm.12-13.
21
Mariam D. Badrulzaman,Op.Cit,hlm.23.
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank
33
dan kewajiban bagi kedua belah pihak, dimana pihak kreditur (bank) wajib menyerahkan sejumlah uang dan berhak atas pelunasan utang dari debitur, sedangkan debitur berhak menerima kredit apabila permohonan kreditnya dikabulkan oleh pihak bank dan wajib mengembalikan kredit tersebut dalam jangka waktu yang telah ditentukan.
B. Bentuk Perjanjian Kredit
Perjanjian kredit wajib dituangkan dalam bentuk format perjanjian secara tertulis. Bentuk dan format dari perjanjian kredit diserahkan sepenuhnya kepada pihak bank yang bersangkutan sehingga dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian baku. Pemohon kredit hanya dapat dimintai pendapatnya apakah dapat menerima syarat-syarat yang disebutkan dalm blanko atau formulir perjanjian kredit atau tidak.
Isi dari blanko atau formulir perjanjian tersebut tidak diperbincangkan dengan pemohon. Meskipun perjanjian kredit merupakan perjanjian baku, namun dalam rumusannya harus tetap mengindahkan asas-asas umum perjanjian. Dalam praktek, bentuk dan materi perjanjian kredit antara satu bank dengan bank yang lain tidak sama, hal tersebut terjadi dalam rangka menyesuaikan dengan kebutuhan dan tingkat kepentingan masing-masing bank.
Namun demikian, pada dasarnya materi dalam perjanjian kredit harus memenuhi 6 (enam) syarat minimal, yaitu;
1. jumlah utang, 2. besarnya bunga, 3. waktu pelunasan, 4. cara pembayaran, 5. klausula opeisbaarheid, 6. barang jaminan.
2222
Hasanuddin Rahman,Aspek-Aspek Hukum Pemberian Kredit Perbankan di
Indonesia,hlm.159.34
Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit BankC. Sifat Perjanjian Kredit
Menurut Mariam D.Badrulzaman, perjanjian kredit bank adalah perjanjian pendahuluan (voorvereenkomst) dari penyerahan uang. Perjanjian pendahuluan ini merupakan hasil permufakatan antara pemberi dan penerima pinjaman mengenai hubungan- hubungan hukum antara keduanya. Perjanjian ini bersifat konsensuil obligatoir, sedangkan penyerahannya sendiri adalah riil.
Pada saat penyerahan uang dilakukan, barulah berlaku ketentuan yang dituangkan dalam model perjanjian kredit pada kedua pihak.
23Jadi dapat disimpulkan bahwa perjanjian kredit merupakan perjanjian yang konsensuil dan obligatoir. Bersifat konsensuil karena perjanjian kredit terjadi setelah ada kata sepakat antara bank sebagai pemberi kredit dengan nasabah debitur sebagai penerima kredit. Sedangkan sifat obligatoir yaitu bahwa sejak terjadi perjanjian kredit maka timbul hak dan kewajiban para pihak yang mengadakan perjanjian. Jadi, perjanjian kredit belum menyebabkan berpindahnya uang dari pemberi kredit kepada penerima kredit. Adapun uang baru berpindah setelah dilakukan penyerahan. Penyerahan uang ini bersifat riil, yang berarti dengan penyerahan uang barulah berlaku ketentuan-ketentuan yang berlaku didalam perjanjian kredit.
Untuk mengetahui sifat perjanjian kredit bank tidak cukup dengan hanya melihat pada KUHPerdata dan Undang-Undang Perbankan saja, tetapi harus melihat pada ketentuan-ketentuan yang berlaku atau digunakan dalam praktek perbankan.
D. Pihak-Pihak Dalam Perjanjian Kredit
Pihak-pihak dalam perjanjian kredit meliputi semua pihak yang mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian. Pihak-pihak
23
Miriam D.Badrulzaman,1981,Perjanjian Baku (Standar) Perkembangan di
Indonesia,Alumni,Bandung,hlm.28.Asas I’tikad Baik Pada Klausula Baku Perjanjian Kredit Bank