11 BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA BERPIKIR
A. Kajian Pustaka
1. Matematika
Sipahelut dan Pabolo (2019) menyatakan bahwa matematika merupakan ilmu yang memiliki struktur dan keterkaitan yang kuat dan jelas antar konsepnya sehingga memungkinkan siswa terampil berpikir rasional, sedangkan Susanto (Rahayu, Palobo, Nurhayati, Riyana, & Johanis, 2018) berpendapat bahwa matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir, berargumentasi, memberikan dukungan serta pengembangan ilmu pengetahuan. Pendapat lain oleh Soedjadi (Jumadi, 2018) memandang bahwa matematika merupakan ilmu yang bersifat abstrak, aksiomatik, dan deduktif. Matematika sebagai ilmu kompleks yang penyampaiannya bisa dalam bentuk bahasa lisan, simbol, tabel, grafik, dan media lainnya (Hayati, Sutiarso, & Dahlan, 2019). Johnson dan Rising (Suherman, Suryadi, Herman, Prabawanto, & Rohayati, 2001) berpendapat bahwa matematika adalah pola berpikir, pola mengorganisasikan, pembuktian yang logik. Berdasarkan pendapat Sipahelut, Susanto, Soedjadi, Hayati dan Suherman pengertian matematika pada penelitian ini adalah ilmu yang terstruktur yang memiliki komponen- komponen yang saling berkaitan yang digunakan untuk meningkatkan pola pikir dimana penyampaiannya dalam bentuk simbol, tabel, grafik dan lainnya.
De Lange (Hayati, 2019) menyebutkan beberapa kompetensi atau kemampuan yang harus dipelajari dan dikuasai para siswa selama proses pembelajaran matematika dikelas sebagai berikut:
a. Berpikir dan bernalar secara matematis (mathematical thinking and reasoning)
b. Beragumentasi secara matematis (mathematical argumentation) commit to user
Siswa dapat memahami pembuktian, mengetahui bagaimana cara membuktikan, mengikuti, dan menilai rangkaian argumentasi, memiliki kemampuan menggunakan heuristics (strategi), dan menyusun argumentasi.
c. Berkomunikasi secara matematis (mathematical communication)
Siswa dapat menyatakan ide dan gagasan secara lisan, tulisan, maupun bentuk lain serta mampu memahami pendapat dan ide orang lain.
d. Pemodelan (modelling)
Siswa dapat menyusun model matematika dari suatu situasi, menginterpretasi model matematika dalam konteks lain atau pada kenyataan sesungguhnya, bekerja dengan model-model, memvalidasi model, serta menilai model matematika yang sudah disusun.
e. Penyusunan dan pemecahan masalah (problem posing dan solving) Siswa dapat menyusun, memformulasikan, mendefinisikan, dan memecahkan masalah dengan berbagai cara.
f. Representasi (representation)
Siswa dapat membuat, mengartikan, mengubah, membedakan, dan menginterpretasi representasi dan bentuk matematika lain serta memahami hubungan antar bentuk atau representasi tersebut.
g. Simbol (symbol)
Siswa dapat menggunakan bahasa dan operasi yang menggunakan simbol baik formal maupun teknis.
h. Alat dan teknologi (tools and technology)
Siswa dapat menggunakan alat bantu dan alat ukur termasuk menggunakan dan megaplikasikan teknologi yang diperlukan.
Departemen Pendidikan Nasional (Muniroh, 2017) menyatakan bahwa matematika diajarkan pada tingkat sekolah dasar sampai menengah bertujuan agar siswa memiliki beberapa kemampuan sebagai berikut:
a. Siswa mampu memahami konsep matematika, menjelasakan keterkaitan antar konsep dan mengaplikasikan konsep atau algoritma, secara luwes, akurat, efesien, dan tepat dalam memecahkan masalah. commit to user
b. Siswa dapat menggunakan penalaran pada pola dan sifat, menggunakan manipulasi matematika dalam membuat generalisasi, menyusun buku, atau menjelaskan gagasan dan pernyataan matematika.
c. Siswa dapat memecahkan masalah yang meliputi kemampuan memahami masalah, merancang model matematika, menyelesaikan model dan menafsirkan solusi yang diperoleh.
d. Siswa dapat mengkomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram, atau media lain untuk memperjelas keadaan atau masalah.
e. Siswa memiliki sikap mengharagai kegunaan matematika untuk memperjelas keadaan atau masalah.
f. Siswa memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, yaitu memiliki rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan masalah.
2. Kemampuan Komunikasi Matematis
Secara harfiah komunikasi berarti pemberitahuan, pembicaraan, percakapan, pertukaran pikiran, atau hubungan. Komunikasi secara istilah dapat diartikan sebagai interaksi sosial melalui simbol dan sistem penyampaian pesan dari satu pihak kepada pihak lain agar terjadi pengertian bersama (Nurrokhim, Rahmi, & Fitraini, 2019). Barelson dan Steiner (Syarifah, Sujatmiko, & Setiawan, 2017) berpendapat bahwa komunikasi merupakan proses transmisi informasi, gagasan, emosi, keterampilan dan sebagainya dengan menggunakan simbol kata kata gambar grafis atau angka.
Komunikasi menjadikan ide sebagai objek refleksi, penyempurnaan, diskusi, dan revolusi (Rustam & Handayani, 2017; Werdiningsih, Masrukan,
& Junaedi, 2019). Shanon (Perwitasaria & Surya, 2017) mendefinisikan komunikasi sebagai bentuk interaksi manusia yang saling mempengaruhi satu sama lain, baik secara sengaja maupun tidak, dan memiliki sifat tidak terbatas pada bentuk komunikasi verbal, tetapi juga dalam hal ekspresi wajah, seni, lukisan, dan teknologi. Berdasarkan pendapat Nurrokhim, Barelson, Steiner, commit to user
Rustam, dan Shanon pengertian komunikasi dalam penelitian ini adalah proses penyampaian informasi atau gagasan dalam bentuk lisan ataupun tulisan dari individu satu ke individu lainnya.
Proses komunikasi juga dapat membantu membangun makna, memberikan gagasan, dan menerbitkan gagasan. Ketika siswa melakukan komunikasi siswa tersebut belajar untuk menjelaskan dan meyakinkan gagasan sebagai pemahaman yang dimilikinya kepada orang lain (Yulian, 2018).
Kemampuan komunikasi juga merupakan salah satu kompetensi yang harus dicapai pada pembelajaran matematika. Kemampuan ini biasa disebut dengan kemampuan komunikasi matematis. Lim dan Chew (Rakhman, Suryadi, & Prabawanto, 2019) menyebutkan bahwa dengan komunikasi yang efektif, siswa dapat memecahkan masalah secara efisien dan dapat menjelaskan konsep dan kemampuan matematika kepada teman atau guru mereka. Komunikasi matematika sebagai dasar untuk memecahkan masalah sehingga siswa dapat mengeksplorasi, menyelidiki dan merumuskan ke dalam model matematika (Siregar, Surya, Syahputra, & Sirait, 2018).
The National Mathematics Teachers Council (NCTM) (Riyati &
Suparman, 2019) menyatakan bahwa program pembelajaran di taman kanak- kanak hingga sekolah menengah harus memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengatur dan mengkonsolidasikan ide dan gagasan matematika dengan mengkomunikasikannya; mengkomunikasikan pikiran akurat siswa secara logis dan jelas kepada teman, guru, dan orang lain; melakukan analisis dan evaluasi matematika dari pandangan matematika orang lain; dan menggunakan bahasa yang tepat untuk mengekspresikan ide yang tepat.
NCTM (Yaniawati, 2019) juga menyebutkan bahwa siswa yang dapat mempelajari matematika sebagai alat komunikasi dapat memodelkan situasi menggunakan lisan, tulisan, gambar, grafik, dan metode aljabar;
berpikir dan menjelaskan pemikiran yang dimiliki tentang ide-ide dan situasi matematika; mengembangkan pemahaman umum tentang ide-ide matematika, termasuk peran definisi; commit to user menggunakan keterampilan membaca,
mendengarkan, dan melihat untuk menafsirkan, dan mengevaluasi ide-ide matematika; mendiskusikan ide-ide matematika dan membuat asumsi dan alasan yang meyakinkan; menghargai nilai notasi matematika dan perannya dalam pengembangan ide-ide matematika.
Schoen (Hendriana, Rohaeti, & Sumarmo, 2018: 60) mengemukakan bahwa komunikasi matematis adalah kemampuan dalam menjelaskan algoritma, memecahan masalah, mengkontruksi dan menjelaskan sajian fenomena dunia nyata secara grafik, verbal, persamaan, tabel serta memberikan dugaan tentang gambar-gambar geometri. Within (Rahmat et al., 2019) menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis merupakan kesanggupan atau kecakapan seorang siswa untuk dapat menyatakan dan menafsirkan gagasan matematika secara lisan, tertulis, atau mendemonstrasikan apa yang ada dalam soal matematika.
Berdasarkan pendapat Schoen dan Within pengertian kemampuan komunikasi matematis pada penelitian ini adalah kemampuan seseorang dalam menyampaikan gagasan/ide matematika secara lisan atau tulisan yang disajikan dalam bentuk grafik, tabel, diagram, simbol-simbol atau model matematika.
Greenes dan Schulman (Surya, Syahputra, & Juniati, 2018) menyatakan bahwa komunikasi matematika menjadi kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi matematika; modal keberhasilan bagi siswa dan penyelesaian dalam eksplorasi dan penyelidikan matematika; wadah bagi siswa untuk berkomunikasi dengan temannya untuk mendapatkan informasi, berbagi pemikiran dan penemuan, bertukar pikiran, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan orang lain. Kemampuan komunikasi matematis yang baik menunjukkan pemahaman yang baik terhadap konsep matematika yang dipelajari (Azizah, Usodo, & Saputro, 2020).
Proses komunikasi matematika dapat membantu membangun dan mengembangkan pemahaman siswa melalui representasi ide-ide matematika secara verbal dan tertulis (Lomibao, Luna, & Namoco, 2016). Komunikasi commit to user
matematika mengacu pada kemampuan untuk menggunakan bahasa matematika untuk mengekspresikan ide dan argumen matematika secara tepat, ringkas dan logis (Sumarsih, Budiyono, & Indriati, 2018).
Komunikasi matematis memiliki tiga aspek penting yang harus diperhatikan. Pertama, keakuratan informasi dimana keakuratan diperlukan agar informasi yang disampaikan tidak keliru. Kedua, kelengkapan informasi dimana suatu informasi dikatakan lengkap apabila informasi tentang ide/pengetahuan matematika dalam menyelesaikan masalah matematika disampaikan secara utuh. Ketiga, kelancaran dimana siswa diharapkan tidak berhenti ketika mengkomunikasikan pemahaman matematikanya.
Asiskin (Fajriah, Hartono, & Sari, 2017) menyebutkan beberapa peran komunikasi dalam pembelajaran matematika yaitu sebagai berikut: (1) dapat mengeksplorasi ide-ide matematika dari berbagai perspektif, mempromosikan pemikiran siswa dan meningkatkan kemampuan siswa untuk melihat koneksi dari berbagai alur matematika; (2) dapat digunakan untuk mengukur dan mencerminkan pemahaman matematika siswa; (3) dapat mempromosikan siswa untuk mengatur dan menggabungkan ide-ide matematika; (4) dapat meningkatkan konstruksi pengetahuan matematika, penalaran, kepercayaan diri dan keterampilan sosial; dan (5) dapat mempromosikan komunikasi matematis yang inklusif.
Baroody (Ansari, 2016; Prafianti, Dasari, & Jupri, 2018) menyebutkan ada dua alasan mengapa komunikasi matematik perlu ditumbuhkembangkan. Pertama, mathematics as language, artinya matematika tidak hanya sekedar alat bantu untuk berpikir, alat untuk menemukan pola, memecahkan masalah, atau mengambil kesimpulan namun matematika juga sebagai alat yang berharga untuk mengkomunikasikan berbagai ide secara jelas, tepat dan cermat. Kedua, mathematics learning as social activity, artinya matematika sebagai wahana interaksi antar siswa dan juga komunikasi antar guru dan siswa.
Elliott dan Kenney (Ratnaningsih, Hermanto, & Kurniati, 2019) menyebutkan bahwa kemampuan komunikasi matematis memiliki tiga aspek commit to user
yaitu aspek writing, aspek drawing, dan aspek mathematical expressions.
Kemampuan komunikasi tertulis (writing) adalah kemampuan dalam menyampaikan gagasan/ide matematika secara tulisan menggunakan bahasa sendiri dengan tepat dan mudah dipahami. Kemampuan komunikasi gambar (drawing) yaitu kemampuan dalam menyampaikan gagasan/ide matematika secara tulisan yang disajikan dalam bentuk gambar, grafik, tabel, dan diagram. Kemampuan komunikasi ekspresi matematika (mathematical expressions) yaitu kemampuan dalam menyampaikan gagasan/ide matematika pada situasi nyata atau peristiwa sehari-hari ke dalam bahasa, simbol atau model matematika. National Council of Teachers of Mathematics (Hendriana et al., 2018: 60) mengemukakan tujuan mengembangkan kemampuan komunikasi matematis dalam pembelajaran, diantaranya yaitu:
a. Mengorganisasikan dan menggabungkan cara berpikir matematik, mendorong belajar konsep baru dengan cara menggambar objek, menggunakan diagram, menulis, dan menggunakan simbol matematis;
b. Mengomunikasikan pemikiran matematika secara logis dan jelas sehingga mudah dimengerti;
c. Menganalisis dan mengevaluasi pemikiran matematik dan strategi lain bereksplorasi mencara cara dan strategi lain dalam menyelesaikan masalah;
d. Menggunakan bahasa matematik untuk mengekspresikan ide-ide dengan benar.
Kemampuan komunikasi matematis seseorang dapat diukur dengan menggunakan beberapa indikator. Sumarmo (Firdaus, 2019; Hendriana et al., 2018) menyebutkan indikator-indikator kemampuan komunikasi matematis sebagai berikut:
a. Menyatakan suatu benda-benda nyata, situasi dan peristiwa sehari-hari ke dalam bentuk model matematika (gambar, tabel, diagram, grafik, ekspresi aljabar),
b. Menjelaskan ide dan model matematika (gambar, tabel, diagram, grafik, ekspresi aljabar) ke dalam bahasa biasa,
c. Menjelaskan dan membuat pertanyaan matematika yang dipelajari, d. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika,
e. Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis, f. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi dan
generalisasi.
commit to user
Adapun indikator komunikasi matematis yang berdasarkan NCTM (Lubis, 2018; Rahmawati, 2018) adalah:
a. Kemampuan mengekspresikan ide-ide matematis melalui lisan, tulisan, dan mendemonstrasikannya serta menggambarkannya secara visual.
b. Kemampuan memahami, menginterprestasikan, dan mengevaluasi ide-ide matematis baik secara lisan, tulisan, maupun dalam bentuk visual lainnya.
c. Kemampuan dalam menggunakan istilah-istilah, notasi-notasi matematika dan struktur-strukturnya untuk menyajikan ide-ide, menggambarkan hubungan- hubungan dengan model model situasi.
Ross (Ernaningsih & Wicasari, 2017; Maulida, Ningsih, & Bastian, 2018) menyebutkan indikator kemampuan komunikasi matematis tertulis adalah sebagai berikut:
a. Menggambarkan situasi masalah dan menyatakan solusi masalah menggunakan gambar, tabel, bagan , dan ekspresi aljabar.
b. Menyatakan hasil dalam bentuk tertulis.
c. Menggunakan representasi menyeluruh untuk menyatakan suatu konsep matematika dan solusinya.
d. Membuat situasi matematika dengan menyediakan ide dan keterangan dalam bentuk tertulis.
e. Menggunakan bahasa dan simbol matematika dengan tepat.
Cai, Lane, dan Jacobsin (Husna & Maudi, 2016) juga menyatakan bahwa kemampuan komunikasi matematis tertulis terdiri dari tiga indikator, yaitu:
a. Menulis matematis: Pada kemampuan ini siswa dituntut untuk dapat menuliskan penjelasan dari jawaban permasalahannya secara matematis, masuk akal, jelas serta tersusun secara logis dan sistematis.
b. Menggambar secara matematis: Pada kemampuan ini siswa dituntut untuk dapat melukiskan gambar, diagram, dan tabel secara lengkap dan benar.
c. Ekspresi matematik: Pada kemampuan ini siswa diharapkan mampu untuk memodelkan permasalahan matematis secara benar, kemudian melakukan perhitungan atau mendapat solusi secara lengkap dan benar.
Berdasarkan beberapa indikator yang telah dipaparkan penelitian ini menggunakan indikator kemampuan komunikasi matematis sebagai berikut:
Tabel 2.1 Indikator kemampuan komunikasi matematis
Aspek Indikator
Written Text Menyatakan dan menjelaskan suatu situasi, gambar atau model matematis ke commit to user
Aspek Indikator
dalam bentuk ide matematis secara tulisan dengan bahasa sendiri
Drawing Menyatakan suatu situasi atau ide matematis ke dalam bentuk gambar, grafik, tabel, atau diagram
Mathematical Expressions Menyatakan suatu situasi atau ide matematis ke dalam bentuk simbol atau model matematis dan menyelesaikannya
Kemampuan komunikasi matematis setiap orang berbeda-beda sehingga berdasarkan High School Math Communication GRC Rubic membagi tingkatan komunikasi matematika sebagai berikut:
a. Does Not Meet
1) Student provides only superficial explanations or explanations that do not match solutions (siswa hanya memberikan penjelasan singkat yang tidak sesuai dengan solusi).
2) Concept/context connections are absent or inappropriate to prompt (hubungan konsep atau konteks tidak ada atau tidak sesuai dengan yang diminta).
3) Mathematical language is missing or generally inappropriate to the task (siswa tidak menggunakan bahasa matematika atau menggunakan bahasa matematika, tetapi tidak sesuai dengan tugas).
b. Approaching
1) Student explanations are fragmented with omissions in logic, details or coherent flow (siswa melakukan sebagian penjelasan dengan kesalahan pada logika, detail atau aliran yang koheren).
2) Concept/context explanations are vague, incomplete or inconsistent (penjelasan konsep dan konteks tidak jelas atau tidak konsisten).
3) Basic mathematical language is present but not at levels appropriate to the prompt or level of course (telah menggunakan bahasa matematika dasar, tetapi belum sesuai dengan tingkatannya).
c. Meets the Standar
commit to user
1) Student explanations are complete and logical but may lack details, and/or coherent flow in presentation (penjelasan siswa lengkap dan logis, tetapi kurang detail dan berhubungan).
2) Conceptual or contextual understanding is inferred but not explicit (pemahaman konsep disimpulkan, tetapi tidak eksplisit).
3) The student is accurate but inconsistent in the use of mathematical content language appropriate to prompt and level of course (siswa akurat, tetapi tidak konsisten dalam konteks penggunaan bahasa matematika yang tepat).
d. Avanced Understanding
1) The student demonstrates the ability to explain, construct and critique mathematical reasoning with concise, detailed, logical and complete arguments (siswa menunjukkan kemampuan menjelaskan, membangun, bernalar, penalaran yang kritis dengan argumen yang ringkas, terperinci, logis, dan lengkap).
2) The student demonstrates the ability to effectively communicate conceptual understanding and contextual interpretation of results (siswa menunjukkan kemampuan untuk mengkomunikasikan pemahaman konseptual dan interpretasi hasil secara efektif).
3) The student consistently uses accurate mathematical content language with sophistication appropriate to prompt and level of course (siswa konsisten dalam menggunakan bahasa matematika yang akurat dan sesuai dengan tingkatannya).
Level kemampuan komunikasi matematis siswa dapat dilihat dari Maryland Math Communication Rubric sebagai berikut:
Tabel 2.2 Rubrik penilaian kemampuan komunikasi matematis
Level Deskripsi
Sangat Baik
Menggunakan bahasa matematika (istilah, simbol, tanda, dan / atau representasi) yang sangat efektif, akurat, dan menyeluruh, untuk menggambarkan operasi, konsep, dan proses.
Baik Menggunakan bahasa matematika (istilah, simbol, tanda, dan / commit to user
Level Deskripsi
atau representasi) yang sebagian efektif, akurat, dan menyeluruh untuk menggambarkan operasi, konsep, dan proses.
Cukup Baik
Menggunakan bahasa matematika (istilah, simbol, tanda dan / atau representasi) yang minimal efektif dan akurat, untuk menggambarkan operasi, konsep, dan proses
Kurang Baik
Jawaban yang diberikan salah Tidak Baik Jawaban tidak terbaca atau kosong
Suzanne Lane juga membuat rubrik kemampuan komunikasi matematis yang disebut Quasar General Rubric (Lane, 1993). Rubrik tersebut berisi level kemampuan komunikasi sebagai berikut:
Tabel 2.3 Rubrik penilaian kemampuan komunikasi matematis
Level Deskripsi
Sangat Baik Memberikan respons lengkap dengan penjelasan atau deskripsi yang jelas, tidak ambigu; dapat mencakup diagram yang sesuai dan lengkap; dapat berkomunikasi secara efektif ; menyajikan argumen pendukung yang kuat yang logis dan lengkap; dapat menjelaskan dengan contoh
Baik Memberikan respons yang cukup lengkap dengan penjelasan atau deskripsi yang cukup jelas; dapat mencakup diagram yang hampir lengkap dan sesuai; dapat berkomunikasi secara efektif; menyajikan argumen pendukung yang logis, tetapi mungkin mengandung beberapa kesalahan kecil
Cukup Baik Membuat kemajuan yang signifikan menuju penyelesaian masalah, tetapi penjelasan atau uraiannya mungkin agak ambigu atau tidak jelas; membuat diagram yang tidak jelas;
komunikasi mungkin agak kabur atau sulit ditafsirkan; dan argumen mungkin tidak lengkap atau mungkin didasarkan pada premis yang secara logis tidak baik
Kurang Baik Memiliki jawaban yang sedikit benar dan tidak diselesaikan;
penjelasan atau deskripsi mungkin sulit dipahami; mungkin termasuk diagram yang secara tidak tepat menggambarkan situasi masalah, atau diagram mungkin tidak jelas sulit untuk ditafsirkan
Tidak Baik Berkomunikasi secara tidak efektif; kata-kata tidak mencerminkan masalah; gambar yang disajikan salah
Level kemampuan komunikasi matematis dapat dilihat dari Maine Holistic Rubric for Mathematics sebagai berikut: commit to user
Tabel 2.4 Rubrik penilaian kemampuan komunikasi matematis
Level Deskripsi
Sangat Baik Solusi yang tepat dan strategi yang sesuai ditunjukkan atau dijelaskan dan solusi ditampilkan dengan label atau deskripsi yang benar
Baik Strategi yang lengkap dan tepat ditunjukkan atau dijelaskan, tetapi solusi yang diberikan salah karena kesalahan komputasi atau kesalahan sederhana lainnya atau tidak ada solusi yang diberikan;
solusi yang benar diberikan tanpa strategi solusi atau penjelasan yang ditampilkan; solusi yang tepat dan strategi yang sesuai ditunjukkan atau dijelaskan, tetapi tidak diberi label dengan benar
Cukup Baik Beberapa bagian dari strategi yang sesuai ditunjukkan atau dijelaskan, tetapi beberapa elemen utama tidak ada; beberapa bagian dari strategi yang sesuai ditunjukkan atau dijelaskan, tetapi terdapat beberapa bagian yang tidak sesuai; strategi yang tepat ditunjukkan atau dijelaskan, tetapi diterapkan secara tidak benar
Kurang Baik Terdapat jawaban yang diberikan, tetapi jawaban tidak akan mengarah pada solusi yang benar; jawaban yang diberikan salah
Tidak Baik Tidak ada pekerjaan atau solusi yang ditampilkan atau dijelaskan; beberapa data dari masalah disalin
Berikut ini rubrik penilaian kemampuan komunikasi matematis yang digunakan pada penelitian ini.
Tabel 2.5 Rubrik penilaian kemampuan komunikasi matematis
Level
Aspek kemampuan
Written Text Drawing Mathematical Expressions Tidak
Baik
Tidak ada jawaban Tidak ada jawaban Tidak ada jawaban Kurang
Baik
Siswa menuliskan penjelasan dengan menggunakan ba- hasa sendiri, tetapi penjelasan yang di- berikan susah dipa- hami, tidak benar dan tidak jelas
Siswa dapat melu- kiskan gambar, di- agram, grafik atau tabel, tetapi tidak benar
Siswa tidak dapat membuat model ma- tematika dan menye- lesaikan masalah de- ngan menggunakan bahasa matematika (simbol, istilah, tanda atau rumus)
Cukup Baik
Siswa menuliskan penjelasan dengan
Siswa dapat melu- kiskan gambar, di-
Siswa dapat membuat model matematika commit to user
Level
Aspek kemampuan
Written Text Drawing Mathematical Expressions menggunakan ba-
hasa sendiri, tetapi penjelasan yang di- berikan hanya se- bagian yang benar, tidak lengkap dan tidak jelas
agram, grafik atau tabel, tetapi tidak jelas atau tanpa ke- terangan
dan menyelesaikan masalah dengan mengunakan bahasa matematika (simbol, istilah, tanda atau rumus), tetapi masih salah dalam per- hitungan
Baik Siswa menuliskan penjelasan dengan menggunakan ba- hasa sendiri deng- an benar dan jelas, tetapi tidak leng- kap
Siswa dapat melu- kiskan gambar, di- agram, grafik atau tabel dengan jelas, tetapi masih salah dalam memberikan keterangan
Siswa dapat membuat model matematika dan menyelesaikan masalah dengan menggunakan bahasa matematika (simbol, istilah, tanda atau rumus) dengan benar, tetapi kurang lengkap Sangat
Baik
Siswa menuliskan penjelasan dengan menggunakan ba- hasa sendiri deng- an benar, jelas dan lengkap
Siswa dapat melu- kiskan gambar, di- agram, grafik atau tabel dengan jelas dan benar
Siswa dapat membuat model matematika dan menyelesaikan masalah dengan menggunakan bahasa matematika (simbol, istilah, tanda atau rumus) dengan benar dan lengkap
3. Gaya Berpikir
Berpikir dapat diartikan sebagai suatu proses yang dikerjakan oleh otak untuk mencari jawaban, ide ataupun suatu persoalan (Ananda, Fauzi, &
Yamin, 2018). Manullang dan Milfayetty (Depary & Mukhtar, 2013) berpendapat bahwa berpikir adalah sebuah proses mencari kebenaran, walaupun hasilnya terbatas pada sudut pandang, tergantung pada indra.
Sagala (Isyrofinnisak, 2020) berpikir berarti proses menentukan hubungan- hubungan secara bermakna antara aspek-aspek dari suatu bagian pengetahuan. Berdasarkan pendapat dari Ananda, Manullang dan Sagala pengertian berpikir pada penelitian ini merupakan proses yang dilakukan commit to user
seseorang untuk memperoleh jawaban, ide atau mengelola informasi untuk menyelesaikan suatu persoalan.
Gaya berpikir adalah cabang psikologi yang mengkaji tentang cara yang disukai individu dalam menggunakan kemampuan atau keterampilan yang dimilikinya untuk mengatasi masalah yang dihadapinya (Khambali, Rasyid, & Rafli, 2019). Albrecht (Hasanuddin, 2019) menjelaskan gaya berpikir adalah sebagai cara seseorang dalam memproses pengetahuan, membentuk ide, mengaplikasikan nilai, menyelesaikan masalah dan mengekspresikan diri. Gaya berpikir merupakan perpaduan antara bagaimana seseorang menerima dan mengolah informasi yang diperolehnya di dalam otak (Deporter & Hernacki, 2015). Berdasarkan pendapat Khambali, Albrecht, dan Deporter pengertian gaya berpikir pada penelitian ini adalah cara seseorang dalam menerima dan memproses informasi serta menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah.
Anthony Gregorc menyebutkan bahwa ada dua kemungkinan dominasi otak yaitu:
a. Persepsi Konkret dan Abstrak
Persepsi merupakan cara menerima informasi atau menangkap sesuatu hal secara pribadi. Ginnis (Munahefi, Kartono, Waluya, &
Dwijanto, 2020) menyebutkan karakteristik orang yang bertipe konkret sebagai berikut:
1) fokus pada realitas fisik;
2) menyimpan informasi secara langsung;
3) lebih berkonsentrasi pada apa yang dilihat, dirasa, didengar, dicium, dan disentuh;
4) tidak tertarik dengan ide-ide yang berupa khayalan; dan 5) cenderung obyektif;
Karakteristik orang yang bertipe abstrak yaitu sebagai berikut:
1) Dapat dengan cepat mengubah pengalaman menjadi pemikiran abstrak;
2) memahami apa yang tidak dapat dilihat dengan sesungguhnya; commit to user
3) cenderung subyektif;
4) menggunakan kemampuan intuisi, intelektual, dan imajinasi; dan 5) lebih cepat dalam menangkap informasi yang abstrak.
b. Kemampuan pengaturan secara sekuensial (linear) dan acak (nonlinear) Pengaturan merujuk pada cara di mana orang mengorganisir dan menyimpan data. Ginnis (Munahefi et al., 2020) menyebutkan karakteristik orang dengan sekuensial sebagai berikut:
1) mengatur informasi secara sistematis, berurutan, dan linear;
2) logis dan praktis;
3) pemikir yang linear, terstruktur, langkah demi langkah yang akan mengejar satu ide atau jalan pikiran pada satu waktu;
4) menyukai metode belajar satu demi satu secara berurutan;
5) lebih suka mempunyai suatu rencana dan mengikutinya daripada bertumpu kepada dorongan-dorongan hati.
Orang dengan karakteristik acak adalah sebagai berikut:
1) mengatur informasi tanpa rangkaian tertentu, seperti memulai di tengah-tengah atau memulai dari bagian akhir dan kembali kepermulaan;
2) menyimpan segala sesuatu di mana-mana, tanpa irama atau alasan, tetapi dapat membuat kaitan spontan dan lompatan kreatif yang tidak pernah dilakukan oleh orang sekuensial;
3) menyimpan informasi dalam kategori yang masuk akal bagi dirinya tapi tidak untuk orang lain;
4) cenderung berpikir dalam potongan besar, membuat kaitan saat ini yang tidak sama dengan sebelumnya; dan
5) menyukai cara belajar yang spontan.
Gregorc membagi empat tipe gaya berpikir sebagai berikut:
a. Gaya Berpikir Sekuensial Konkret (SK)
Pemikir sekuensial konkret berpegang pada kenyataan dan proses informasi dengan cara yang teratur, linear dan sekuensial. Pemikir sekuensial konkret selalu menggunakan indra fisik seperti indra commit to user
penglihatan, pendengaran, peraba, perasa dan penciumannya untuk melihat sebuah realitas. Pemikir SK memperhatikan dan mengingat detail, mengingat fakta-fakta, informasi, rumus- rumus, dan aturan-aturan khusus dengan mudah. Cara belajar terbaiknya adalah dengan menggunakan catatan atau makalah. Siswa sekuensial konkret mengatur tugas-tugas menjadi proses tahap demi tahap dan berusaha keras untuk mendapatkan kesempurnaan dalam setiap tahap. Pemikir sekuensial konkret sangat menyukai pengarahan dan prosedur khusus dan mengalami kesulitan saat bekerja dengan konsep abstrak, imajinasi, ketika tidak ada batasan dan kepastian yang jelas, dan di lingkungan yang tidak beraturan (Deporter & Hernacki, 2015: 128). Tobias (Munahefi et al., 2020) menyebutkan karakteristik pemikir sekuensial konkret sebagai berikut:
1) cermat,spesifik, dan konsisten;
2) mampu menyerap informasi apa adanya;
3) selalu meminta pengarahan yang lebih rinci untuk memastikan bahwa mereka melakukan tugasnya dengan benar;
4) bekerja dengan sistematis;
5) menyukai lingkungan yang rapi dan teratur;
6) mencermati sesuatu sampai hal yang sekecil-kecilnya;
7) menyelaraskan beberapa gagasan agar lebih efisien dan ekonomis;
8) menghasilkan sesuatu yang konkret dari gagasan yang abstrak;
9) membuat rutinitas dan aturan untuk mengerjakan sesuatu.
b. Gaya Berpikir Sekuensial Abstrak (SA)
Pemikir sekuensial abstrak berpikir dalam konsep dan menganalisis informasi. Sebelum membuat keputusan para pemikir sekuensial abstrak menganalisis masalah dengan logika. Realitas bagi para pemikir sekuensial abstrak adalah dunia teori metafisis dan pemikiran abstrak. Pemikir sekuensial abstrak sangat menghargai orang- orang dan peristiwa-peristiwa yang teratur rapi serta memiliki proses berpikir yang logis, rasional dan intelektual. Membaca dan melakukan commit to user
penelitian secara mendalam merupakan aktivitas yang digemari oleh pemikir sekuensial abstrak. Pemikir sekuensial abstrak sangat tertarik untuk mengetahui sebab-sebab di balik akibat, memahami teori dan konsep serta cenderung lebih suka bekerja sendiri daripada berkelompok (Deporter & Hernacki, 2015: 134).
Ginnis (Masruroh, 2018) berpendapat bahwa siswa dengan gaya berpikir sekuensial abstrak paling baik belajar melalui riset akademis terstruktur. Siswa tersebut suka dibimbing untuk melihat kaitan antara ide-ide, alasan mengapa hal tertentu menjadi kasus dan teori yang berada di belakang konsep. Gaya berpikir sekuensial abstrak adalah gaya belajar mempunyai kemampuan penalaran yang tinggi dan cenderung kritis dan analitis karena memiliki daya imajinasi yang kuat. Pada umumnya mereka menangkap pelajaran atau informasi secara abstrak dan tidak memerlukan peragaan yang konkret. Tobias (Munahefi et al., 2020) menyebutkan karakteristik pemikir sekuensial abstrak sebagai berikut:
1) mampu mengumpulkan data sebanyak mungkin sebelum membuat keputusan;
2) menganalisis dan meneliti gagasan;
3) lebih menyukai pengarahan secara tertulis;
4) mempelajari suatu kejadian dengan cara pengamatan;
5) memerlukan waktu yang cukup untuk menyelesaikan suatu tugas;
6) menggambarkan urutan peristiwa secara logis;
7) menggunakan fakta untuk membuktikan suatu teori;
8) menggunakan informasi yang sudah diteliti dengan tepat dan baik;
9) mudah memahami sesuatu apabila mempelajarinya dengan mengamati, bukan mengerjakannya;
10) selalu menggunakan alasan yang logis;
11) hidup dalam dunia gagasan yang abstrak;
12) menyelesaikan suatu persoalan sampai tuntas.
commit to user
c. Gaya Berpikir Acak Konkret (AK)
Pemikir acak konkret mempunyai sikap eksperimental yang diiringi dengan perilaku yang kurang terstruktur. Pemikir ini juga berpegang pada realitas dan tertarik melakukan pendekatan coba-salah (trial and error) sehingga para pemikir acak konkret sering melakukan lompatan intuitif yang diperlukan untuk pemikiran kreatif yang sebenarnya. Pemikir acak konkret mempunyai dorongan kuat untuk menemukan alternatif dan mengerjakan segala sesuatu dengan cara mereka sendiri serta cenderung tidak mempedulikan waktu jika sedang dalam situasi yang menarik. Pemikir acak konkret lebih terorientasi pada proses daripada hasil sehingga proyek-proyek sering kali tidak berjalan sesuai dengan yang direncanakan karena terdapat kemungkinan- kemungkinan yang muncul (Deporter & Hernacki, 2015: 130).
Ginnis (Masruroh, 2018) berpendapat bahwa siswa dengan gaya berpikir acak konkret berkembang melalui kerja yang praktis dan akhir yang terbuka (open ended) serta cenderung menolak pengarahan, batas waktu dan petunjuk. Pemikir acak konkret ingin bekerja dengan metode dan skala waktunya sendiri dan tidak terlalu tertarik dengan hal-hal yang memerlukan penalaran abstrak. Tobias (Munahefi et al., 2020) menyebutkan karakteristik pemikir acak konkret sebagai berikut:
1) mengilhami orang lain untuk bertindak;
2) selalu ingin memecahkan masalah dengan cara baru;
3) selalu bertindak tanpa dipikirkan terlebih dahulu;
4) memberi sumbangsih berupa gagasan yang tak lazim dan kreatif;
5) lebih suka mempelajari yang diperlukan;
6) menerima keragaman tipe manusia;
7) berani mengambil resiko;
8) mengembangkan dan menguji coba berbagai pemecahan masalah;
9) menggunakan pengalaman hidup yang nyata untuk belajar;
10) menggunakan wawasan dan naluri untuk memecahkan masalah;
11) suka berpetualang dan cepat bertindak berdasarkan firasat; commit to user
12) mencoba mencari jawaban sendiri.
d. Gaya Berpikir Acak Abstrak (AA)
Pemikir acak abstrak mengatur informasi melalui refleksi dan berkiprah di dalam lingkungan tidak teratur yang berorientasi pada orang.
Dunia “nyata” untuk siswa acak abstrak adalah dunia perasaan dan emosi yang dapat berpengaruh dalam belajar. Pemikir acak abstrak lebih suka menerima penjelasan atau perintah dalam proses belajar. Pemikir acak abstrak dapat mengingat dengan sangat baik jika informasi yang dipersonifikasikan dan merasa dibatasi ketika berada dilingkungan yang sangat teratur. Pemikir acak abstrak mengalami peristiwa secara holistik (berpikir secara menyeluruh dengan mempertimbangkan segala aspek yang mungkin mempengaruhi tingkah laku manusia atau suatu kejadian).
Para pemikir ini perlu melihat gambar secara keseluruhan sekaligus, bukan bertahap. Dengan cara ini, pemikir acak abstrak terbantu jika mengetahui bagaimana segala sesuatu terhubung dengan keseluruhannya sebelum masuk ke dalam detail. Orang dengan cara berfikir seperti ini bekerja dengan baik dalam situasi-situasi yang kreatif dan harus bekerja lebih giat dalam situasi yang lebih teratur (Deporter & Hernacki, 2015:
132).
Ginnis (Masruroh, 2018) berpendapat bahwa pemikir acak abstrak paling baik belajar melalui kerja kelompok yang tidak terstruktur.
Pemikir ini suka berbicara, menjabarkan pemikiran, merefleksi sesuatu, membayangkan, mencari ide, membuat hubungan personal. Tobias (Munahefi et al., 2020) menyebutkan karakteristik pemikir acak abstrak sebagai berikut:
1) memiliki sifat kepekaan, imajinatif, idealis, sentimentil, spontan, fleksibel yang tinggi;
2) suka bertanya pada orang lain sebelum mengambil keputusan;
3) menciptakan situasi damai dengan orang lain;
4) dapat bekerja sama dengan orang lain;
5) melakukan sesuatu sesuai dengan caranya sendiri; commit to user
6) memiliki banyak prinsip umum yang luas;
7) menitikberatkan pada perasaan dan emosi;
8) menjaga hubungan pertemanan dengan siapa saja;
9) akan meminta pendapat dan pertimbangan orang lain saat bimbang;
10) berperan serta dengan antusias dalam pekerjaan yang mereka sukai;
11) tidak terganggu dengan lingkungan yang kacau;
12) mengambil keputusan dengan perasaan, bukan dengan pikiran.
B. Kerangka Berpikir
National Council of Teacher Mathematics (NCTM) berpendapat bahwa terdapat lima kompetensi dalam pembelajaran matematika yaitu pemecahan masalah matematis, komunikasi matematis, penalaran matematis, koneksi matematis, dan representasi matematis (Rahmawati, Bernard, & Akbar, 2019).
Mahmudi (Nugraha & Pujiastuti, 2019) menyebutkan bahwa dalam pembelajaran matematika siswa diharapkan dapat mengomunikasikan gagasan dengan simbol, tabel, diagram atau media lain untuk memperjelas keadaan suatu masalah. Hal ini menunjukkan bahwa kemampuan komunikasi sangat penting untuk dikuasai oleh siswa.
Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan untuk memahami simbol, ide, struktur, diagram, angka, tabel dan kalimat matematika untuk selanjutnya menggunakannya dalam pemecahan masalah dan mengungkapkannya kembali dalam pembelajaran matematika di kelas (Maulani, Suyono, & Noornia, 2017). Pendapat lain oleh Veva, Usodo, dan Pramesti (2018) menyatakan bahwa komunikasi matematis merupakan suatu cara siswa untuk mengungkapkan ide-ide atau gagasan matematis baik secara lisan, tertulis, gambar, diagram, grafik, menggunakan benda nyata, menyajikan dalam bentuk aljabar, atau menggunakan simbol matematika.
Berdasarkan analisis kemampuan komunikasi dari penelitian terdahulu seperti yang dilakukan oleh Rahmawati et al (2019) didapatkan bahwa tingkat kemampuan komunikasi siswa SMK masih belum cukup baik dan tergolong rendah karena terdapat dua indikator soal yaitu indikator menyatakan peristiwa commit to user
sehari-hari dalam bahasa matematika dan indikator menghubungkan grafik dengan ide matematik dalam kategori rendah. Hal tersebut juga serupa dengan hasil penelitian Sari, Kusnandi dan Suhendra (2017) menunjukkan bahwa tingkat pencapaian kemampuan komunikasi matematis siswa masih rendah yang disebabkan karena siswa tidak terbiasa menyampaikan atau menulis ide matematika mereka secara sistematis. Azizah dan Maulana (2018) juga dalam penelitiannya menunjukkan bahwa secara kemampuan komunikasi siswa belum mencapai ketuntasan pada tiap indikator kemampuan komunikasi matematis.
Kemampuan komunikasi matematis dapat dipengaruhi beberapa faktor, salah satunya adalah gaya berpikir. Ketika anak merasakan (perceive), melakukan penyandian (encoding), merepresentasikan, dan menyimpan informasi dari dunia sekitarnya, maka anak tersebut sedang melakukan proses berpikir (Ngilawajan, 2013). Gaya berpikir merupakan cara seseorang dalam menerima dan memproses informasi serta menggunakan kemampuan yang dimilikinya untuk menyelesaikan masalah. Gregorc membagi gaya berpikir menjadi empat yaitu sekuensial konkret, sekuensial abstrak, acak konkret dan acak abstrak. Penelitian oleh Insyrofinnisak (2020) mendapatkan bahwa kemampuan komunikasi siswa dengan gaya berpikir sekuensial abstrak dan acak abstrak lebih baik dibandingkan dengan siswa yang memiliki gaya belajar sekuensial konkret dan acak konkret. Hal ini ditunjukkan dari pencapaian terhadap tiap indikator kemampuan komunikasi seperti indikator mengubah suatu permasalahan matematis ke dalam kalimat matematika, menyusun konjektur, menyusun argumen atau merumuskan defini generalisasi dan menjelaskan solusi dari permasalahan matematika yang dinyatakan dalam bentuk gambar. Penelitian lain oleh Rahmy, Usodo, dan Slamet (2019) mendapatkan bahwa kemampuan komunikasi matematika siswa yang memiliki gaya berpikir sekuensial konkret dan sekuensial abstrak mampu mengatur dugaan yang sama, membuat argumen, mengeksplorasi ide-ide, merumuskan generalisasi, tetapi masih mengalami kesulitan dalam menyajikan matematika dalam bahasa mereka sendiri. Sementara itu, siswa dengan gaya berpikir abstrak konkret dan abstrak acak mampu mengekspresikan ide dan merumuskan generalisasi, tetapi masih mengalami kesulitan dalam membangun dugaan. commit to user
Berdasarkan hasil beberapa penelitian yang telah dipaparkan dapat diperoleh gambaran bahwa gaya berpikir sekuensial konkret mampu menuangkan semua potensi yang ada pada dirinya termasuk mengelola memori yang tersimpan dalam ingatan dan cenderung mengalami kesulitan dalam berpikir abstrak sehingga hanya dapat memenuhi indikator kemampuan komunikasi drawing dan mathematical expressions. Siswa dengan gaya berpikir sekuensial abstrak memiliki penalaran yang tinggi sehingga dapat menangkap informasi yang abstrak. Siswa dengan tipe gaya berpikir tersebut diduga dapat memenuhi ketiga indikator kemampuan komunikasi matematis yaitu written text, drawing, dan mathematical expressions. Siswa dengan gaya berpikir acak abstrak cenderung tidak menyukai informasi yang disajikan secara sistematis dan tidak menyukai penjadwalan sehingga lebih mementingkan pengalaman hidup yang berharga.
Siswa dengan tipe gaya berpikir tersebut diduga hanya dapat memenuhi indikator kemampuan komunikasi written text. Siswa dengan gaya berpikir acak konkret mampu menerima pelajaran abstrak tetapi tidak tertarik dengan hal-hal yang membutuhkan penalaran abstrak. Siswa dengan tipe gaya berpikir tersebut diduga dapat memenuhi indikator kemampuan komunikasi drawing dan mathematical expressions.
commit to user
Gambar 2.1 Kerangka berpikir penelitian
Siswa diberikan angket gaya berpikir dan tes kemampuan komunikasi matematis
Kemampuan komunikasi matematis berdasarkan tipe gaya berpikir
Sekuensial Konkret (SK)
Sekuensial Abstrak (SA)
Acak Abstrak (AA)
Acak Konkret (AK)
Siswa SK mampu membuat model matematika dari suatu masalah dan merepresentasikan
ke dalam gambar grafik
Siswa SA mampu menuliskan langkah penyelesaian dengan
teks tertulis, menggambar grafik dan membuat model
matematika dari suatu masalah
Siswa AA mampu menuliskan langkah penyelesaian masalah menggunakan teks tertulis
Siswa AK mampu mengubah masalah ke dalam bentuk
model matematika dan mampu membuat gambar
grafik dari suatu model matematika
commit to user