• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Kelinci"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA Kelinci

Kelinci (Oryctolagus cuniculus) diklasifikasikan dalam kingdom Animalia, filum Chordata, kelas Mammalia, ordo Lagomorpha, famili Leporidae, genus Oryctolagus dan spesies cuniculus. Kelinci lokal, Orytolagus cuniculus, terdiri dari beberapa subspesies yang awalnya berasal dari Barat Daya Eropa dan Afrika Utara (De Blas dan Wiseman, 1998).

Menurut Farrel dan Raharjo (1984), di Indonesia terdapat bangsa kelinci lokal yang lebih kecil dari kelinci impor. De Blas dan Wiseman (1998) menyatakan bahwa kelinci relatif lebih mudah untuk dipelihara, dikelola pada tempat yang lebih kecil dan mampu memenuhi kebutuhan daging bagi manusia.

McNitt et al. (2000), menyatakan bahwa kelinci cukup rentan terhadap penyakit pada usus yaitu enteritis dan diare. Kelinci sangat sensitif terhadap faktor palatabilitas. Persyaratan nutrisi kelinci dipengaruhi oleh fisiologi saluran pencernaan kelinci. Kelinci memfermentasikan mikroba dalam sekum dan mengonsumsi isi sekum yang disebut Cecothrophy. Cecotrophy biasanya terjadi satu atau dua per periode 24 jam, umumnya pada malam hari yang nantinya akan dimakan kembali. Konsumsi feses lunak menghasilkan sumber protein dan vitamin B yang tersedia bagi mikroba. Tabel 1 menunjukkan persentase zat makanan dalam ransum komplit untuk kelinci dalam masa pertumbuhan. Gambar 1 menunjukkan saluran pencernaan kelinci. Kebutuhan ternak kelinci berdasarkan status fisiologis ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 1. Persentase Zat Makanan dalam Ransum Komplit yang Digunakan untuk Kelinci dalam Masa Pertumbuhan

Analisa % Bahan Kering

Serat kasar 14-18

Acid Detergent Fiber 16-21

Neutral Detergent Fiber 27-42

WICW (water insoluble cell-wall) / (dinding sel yang tidak larut air: lignin, selulosa, hemiselulosa dan pectin)

28-47

Pati 10-20

Protein kasar 13-18

Sumber: Gidenne (2003)

(2)

4 Gambar 1. Saluran Pencernaan Kelinci (Cheeke dan Dierenfeld, 2010)

Tabel 2. Kebutuhan Zat Makanan Kelinci

Zat Makanan Pertumbuhana Penggemukanb

Energi tercerna (kcal) 2500 2786,6

TDN (%) 65 -

Energi metabolis (kkal) - 2652,8

Serat kasar (%) 10-12 15,0 – 16,7

Lemak (%) 2 -

Protein Kasar (%) 16 16,1 - 18,0

NDF (%) - 35.6 - 38,9

ADF (%) - 17,8 - 20,5

ADL (%) - 6,1

Ca (%) 0,4 0,54

P (%) 0,22 0,36

Sumber: a: NRC (1977), b: Cheeke (2005)

(3)

5 Daun Rumput Gajah

Rumput gajah (Pennisetum purpureum) disebut juga Elephant grass, atau Napier grass. Karakteristik morfologi rumput gajah adalah tumbuh tegak, merumpun lebat, tinggi dapat mencapai 7 m, berbatang tebal dan keras, daun panjang, dan berbunga seperti es lilin. Kandungan zat makanan dalam rumput gajah terdiri atas 19,9% bahan kering, 10,2% protein kasar, 1,6% lemak, 34,2% serat kasar, 11,7% abu dan 42,3% bahan ekstrak tanpa nitrogen (Rukmana, 2005).

Rukmana (2005), juga menyatakan bahwa rumput gajah mempunyai beberapa varietas yaitu varietas Afrika dan Hawai. Varietas Afrika ditandai dengan batang dan daun kecil, tumbuh tegak, berbunga, dan produksi lebih rendah dibandingkan varietas Hawai. Varietas Hawai ditandai dengan batang dan daun lebar, pertumbuhan rumpun sedikit melebar, produksi cukup tinggi dan berbunga.

Tabel 3 menunjukkan kandungan zat makanan rumput gajah berdasarkan bahan kering.

Tabel 3. Kandungan Zat Makanan Daun Rumput Gajah

Zat Makanan (%) Sumber

Ansah et al. (2010) Hartadi et al. (1980)

Bahan kering 49,99 17,00

Abu 7,76 10,10

Protein kasar 12,22 3,60

Serat kasar - 32,50

Lemak kasar - 1,20

Beta-N - 52,70

NDF 70,86 -

ADF 46,85 -

ADL 10,58 -

Hemiselulosa 24,01 -

Selulosa 36,28 -

(4)

6 Kelobot Jagung

Menurut Tangendjaja dan Wina (2008), kelobot atau kulit jagung merupakan hasil samping jagung dengan proporsi terkecil yaitu sebesar 10%, tetapi mempunyai kecernaan bahan kering secara in vitro lebih tinggi (68%) dibandingkan limbah jagung lainnya yaitu batang, daun, dan tongkol jagung masing-masing memiliki nilai kecernaan 51, 58, dan 60%. Data yang hampir sama dilaporkan oleh Anggraeny et al.

(2006), limbah jagung dari batang berkisar antara 55,40%-62,3%, dari daun 22,6%- 27,4% dan dari kelobot antara 11,9%-16,4%. Parakkasi (1995) menyatakan bahwa setelah panen, kelobot jagung dapat digunakan sebagai makanan ternak. Kelobot jagung antara lain dapat berfungsi sebagai pelindung biji jagung dan tongkol, untuk mempertahankan kesegaran sehingga tidak akan terlampau keras untuk dikunyah ternak. Tabel 4 menunjukkan kandungan zat makanan dalam kelobot jagung berdasarkan bahan kering.

Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Kelobot Jagung Zat Makanan

(%)

Sumber

Tangendjaja dan Wina (2008) Cheva-Isarakul et al. (2001)

Bahan kering 50-55 17,79

Abu - 3,87

Protein kasar 2,80 5,41

Serat kasar - -

Lemak kasar - 1,51

Beta-N - -

NDF - 77,47

ADF - 38,73

Limbah Tanaman Ubi Jalar (Ipomea batatas)

Aregheore (2005) menyatakan bahwa dulu ubi jalar ditanam untuk diamanfatkan umbinya, sedangkan bagian daun dianggap sebagai sampah dan kurang dimanfaatkan. Saat ini ubi jalar ditanam oleh petani kecil sebagai tanaman dwiguna.

Bagian yang merambat digunakan untuk pakan ternak dan umbinya digunakan untuk pangan. Potensi produksi bahan kering per hektar dari beberapa varietas ubi jalar bisa mencapai 4,3-6,0 ton/ha dan limbah tanaman ubi jalar (daun, tangkai daun dan

(5)

7 batang) menyumbang sekitar 64% dari biomasa segar. Limbah tanaman ubi jalar mengandung 11-17% protein kasar dan kecernaan yang relatif lebih dari 62%.

Limbah tanaman ubi jalar sebagai sumber hijauan, mampu meningkatkan asupan pakan dan bobot badan. Limbah tanaman ubi jalar dikaitkan dengan produktivitas, palatabilitas dan kadar protein kasar serta kadar air yang tinggi. Kandungan zat makanan dalam limbah tanaman ubi jalar berdasarkan bahan kering ditunjukkan pada Tabel 5.

Tabel 5. Kandungan Zat Makanan Limbah Tanaman Ubi Jalar Zat Makanan

(%)

Sumber

Cuong et al. (2008) Aregheore (2005) Katongole et al.(2008)

Bahan kering 11,4 37.3 19,7

Protein kasar 23,6 18.3 11,2

Abu 8,4 8.6 11,7

Lemak kasar - - 2,2

NDF 43,1 39.6 40,9

ADF 33,0 20.3 30,3

ADL - 6.8 8,0

Kecernaan Zat Makanan

Hewan tidak dapat mengekstrak semua zat makanan yang ada dalam pakan.

Nilai aktual zat makanan yang dimakan tergantung pada penggunaannya dalam tubuh. Pertimbangan pertama dalam menentukan nilai aktual nutrisi adalah kecernaaan, karena nutrisi yg tidak dicernakan tidak masuk ke dalam tubuh dengan tepat (Ensiminger, 1977).

Makanan yang dicerna adalah bagian yang tidak dikeluarkan dan diperkirakan diserap oleh ternak. Daya cerna dapat diukur dengan menggunakan metode in vivo dan in vitro. Palatabilitas dan kualitas yang ditunjukkan oleh daya cerna dan nilai zat makanan tergantung pada jenis yang dipakai di lingkungan iklim tersebut, metode yang digunakan, dan umur penggunaan bahan pakan (Williamson dan Payne, 1993).

(6)

8 Kecernaan Bahan Kering (KCBK) dan Bahan Organik (KCBO)

Menurut Damron (2006), bahan kering ditentukan dengan memanaskan sampel pakan sampai semua air menguap. Persentase dari sampel yang tidak mengandung air ini kemudian disebut sebagai bahan kering sampel. Kecernaan bahan organik merupakan faktor yang penting yang dapat menentukan nilai pakan.

Nilai kecernaan bahan organik suatu pakan dapat menentukan kualitas pakan tersebut (Sutardi, 1980). Menurut Parakkasi (1999), kecernaan bahan kering dan organik dipengaruhi oleh konsumsi dan kadar NDF. Nilai kecernaan bahan kering kelinci yang diberi ransum berbentuk pellet yaitu sebesar 47% (Chekee, 1987).

Kecernaan Protein Kasar (KCPK)

Kecernaan protein kasar dipengaruhi oleh tingginya kadar protein kasar dalam ransum (Garcia et al., 1993). Kecernaan bahan makanan akan cenderung meningkat, serta kualitas protein sangat penting bagi kelinci karena konsumsi akan meningkat jika ransum mengandung protein yang berkualitas tinggi (Lang, 1981).

Peningkatan kandungan polisakarida non-pati dari pakan telah berhubungan dengan penurunan daya cerna protein kasar, kandungan dinding sel tidak selalu berkaitan dengan daya cerna protein. Sehubungan dengan pakan komplit, kecernaan protein kasar bervariasi sesuai dengan bahan pakan daripada komposisi kimia.

Kecernaan protein kasar pakan kelinci dipengaruhi oleh umur kelinci. Studi tentang kecernaan ditentukan pada umur yang berbeda (dari menyapihan pada umur 28 hari sampai 11 minggu). Kecernaan protein kasar menurun setelah penyapihan untuk selang nilai yang stabil sekitar minggu kedelapan sampai minggu kesembilan, dengan penurunan yang lebih lambat dari minggu kelima. Efek ini umum untuk semua komponen pakan, tetapi penurunan kecernaan protein kasar adalah lebih tinggi daripada penurunan koefisien cerna bahan organik pakan (De Blas dan Wiseman, 1998).

Kecernaan Serat Kasar (KCSK)

Kelinci adalah hewan herbivora monogastrik, fisiologi pencernaan yang baik disesuaikan dengan asupan tinggi dinding sel tanaman. Serat pakan adalah komponen utama dari pakan kelinci (bahkan dalam produksi intensif % BK) dan tergantung dari berbagai teknik analisis dari 15% - 50% (Gidenne, 2003).

(7)

9 Van soest (1994) menyatakan bahwa kecernaan serat kasar erat hubungannya dengan kemampuan ternak untuk menghasilkan sumber energi. Kandungan serat yang tinggi akan mengurangi nilai kecernaan dan berhubungan dengan produksi VFA sebagai sumber energi.

Serat memiliki hubungan positif dengan tingkat konsumsi, kenaikan tingkat serat akan menurunkan tingkat kecernaan, ternak akan mengonsumsi lebih banyak pakan agar dapat memenuhi kebutuhan energi. Masalah utama dalam penggunaan serat kasar adalah kadar lignin yang tidak dapat dicerna bervariasi dengan prosedur analisis serat kasar (Parakkasi, 1995). Anggorodi (1979) menyatakan bahwa umumnya semakin tinggi suatu bahan mengandung serat kasar semakin rendah daya cerna dari bahan makanan tersebut.

Ternak akan mengonsumsi pakan dalam jumlah lebih banyak jika bersumber dari hijauan dengan protein kasar dan mineral tinggi, sedangkan serat kasar lebih rendah, dan menghasilkan kurang beban panas dalam tubuh sehingga meningkatkan jumlah yang dimakan (Williamson dan Payne, 1993). Koefisien cerna serat kasar pada kelinci yaitu sebesar 14% (De Blas dan Wiseman, 1998).

Kecernaan Neutral Detergent Fiber (KCNDF)

NDF terdiri dari empat komponen kimia utama. Secara kuantitatif selulosa dan hemiselulosa komponen terbesar dan berpotensi dicerna, namun struktur kimianya kompleks. Komponen utama lain dari NDF adalah lignin dan cutin, yang hampir tidak dapat dicerna, baik di rumen dan usus halus. Lignin dan cutin menghambat pencernaan yang mendasari dan atau berhubungan dengan selulosa atau hemiselulosa baik dengan pelindung fisik atau kimia. Meningkatnya level NDF dalam pakan kelinci persilangan masa pertumbuhan menurunkan berat badan harian dan kecernaan nutrien, dengan level NDF: 37%, 41%, 45%, 49%, 53%, dan 57%

(NDF dalam % bahan kering). Level NDF sebanyak 41% dalam pakan memberikan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi dan manfaat lebih baik bagi produsen (Dong dan Giang, 2008). Koefisien cerna NDF pada kelinci lokal persilangan menurut Dong dan Giang (2008) dengan level NDF pakan dalam bahan kering yang diujikan sebesar 37%, 41%, 45%, 49%, 53% dan 57% secara berurutan adalah 50,9%, 54,1%, 48,5%, 47,1%, 46,5% dan 42,3%.

(8)

10 Kecernaan Acid Detergent Fiber (KCADF)

ADF adalah serat yang tidak larut dalam larutan deterjen asam dan NDF adalah serat yang tidak larut dalam deterjen netral yang erat hubungannya dengan konsumsi dan tersedianya Net Energy (NE) dan Digestible Energy (DE). ADF dan NDF digunakan untuk mengestimasi secara langsung penampilan ternak dan oleh karena itu, lebih bermanfaat dibandingkan serat kasar (Parakkasi, 1995).

Penyediakan pakan berserat untuk kelinci tumbuh sangat penting untuk menghindari gangguan pencernaan. Selulosa dan lignin yang sulit dicerna berperan dalam mengurangi diare pada kelinci masa pertumbuhan. Penggabungan sumber serat yang mudah dicerna dalam pakan kelinci mencakup tujuan ganda yaitu sebagai sumber pati yang dimanfaatkan untuk pertumbuhan, dan dapat meningkatkan kesehatan pencernaan hewan. Kecernaan serat mudah dicerna yang tinggi, mungkin juga memiliki peran lain dalam menstimulasi aktivitas flora sekum pada kelinci muda (Dong dan Giang, 2008). Koefisien cerna ADF yang dilaporkan oleh Dong dan Giang, 2008) pada level pemberian NDF sebanyak 37%, 41%, 45%, 49%, 53%

dan 57% masing-masing adalah 47,9%, 47,8%, 40,4%, 35,8%, 31,9% dan 26,7%.

Gambar

Tabel 1. Persentase Zat Makanan  dalam Ransum Komplit yang Digunakan untuk   Kelinci dalam Masa Pertumbuhan
Tabel 2. Kebutuhan Zat Makanan Kelinci
Tabel 3  menunjukkan kandungan zat makanan  rumput gajah berdasarkan bahan  kering.
Tabel 4. Kandungan Zat Makanan Kelobot Jagung   Zat Makanan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Hijauan makanan ternak (HMT) merupakan sumber utama pakan serat untuk ternak ruminansia, dan dapat disubstitusi dengan pakan serat lainnya yang berasal dari

Koefisien cerna beberapa unsur nutrisi yang penting bagi ternak seperti BO, protein kasar dan energi kasar berada pada kisaran sedang sampai tinggi, sehingga sebagai hijauan

Serat kasar yang tinggi juga dapat mempengaruhi proses pencernaan dimana serat yang mempunyai kecernaan yang rendah akan sulit untuk dicerna sehingga mempengaruhi konsumsi pakan

Dapat disimpulkan bahwa kecernaan bahan kering, bahan organik, protein kasar dan serat kasar kelinci yang mendapat ransum mengandung bungkil inti sawit dengan

Pemberian makanan penguat pada ternak domba pada prinsipnya adalah untuk menyempurnakan kekurangan zat-zat pakan yang terkandung pada hijauan, karena protein dapat diperoleh

Ternak kambing dapat beradaptasi dengan baik pada daerah yang memiliki sumber pakan hijauan yang kurang baik dan dapat menjadi sumber penyedia daging yang

Pengaruh jenis pupuk terhadap kandungan bahan kering, protein kasar dan serat kasar titonia (Tithonia deversifolia) sebagai pakan hijauan yang di tanam pada

Kendala utama dari pemanfaatan jerami padi sebagai salah satu bahan pakan ternak adalah kandungan serat kasar tinggi dan protein serta daya cerna yang rendah.. Untuk