• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI SUMATERA UTARA TESIS YOGI SYAHPUTRA

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI SUMATERA UTARA TESIS YOGI SYAHPUTRA"

Copied!
103
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

YOGI SYAHPUTRA 167018001

MAGISTER ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2020

(2)

TESIS

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Magister Sains dalam Program Studi Magister Ilmu Ekonomi pada Fakultas Ekonomi dan

Bisnis Universitas Sumatera Utara

Oleh:

YOGI SYAHPUTRA 167018001/MIE

PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU EKONOMI FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2020

(3)
(4)

Tanggal Lulus : 22 Januari 2020 Telah Diuji pada

Tanggal : 22 Januari 2020

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Murni Daulay, SE,M.Si Anggota : Dr. Dede Ruslan, M.Si

Prof. Dr. lic. rer. reg. Sirojuzilam Hasyim, SE Dr. M. Safii, M.Si

Irsad, SE, M.Soc.Sc,PhD

(5)
(6)

Nama : Yogi Syahputra

Tempat/Tanggal Lahir : Medan, 17 Oktober 1994 Jenis Kelamin : Laki-laki

Agama : Islam

Orang Tua

Ayah : Tugianto

Ibu : Ir. Yulizar Lubis, M.MA Status Pernikahan : Belum Kawin

Pekerjaan : PNS

Alamat : Jl. Grafika Komp. Wartawan No. 27, Medan

Pendidikan :

- SD Pertiwi Medan, Tamat Tahun 2006 - SMP Pertiwi Medan, Tamat Tahun 2009 - SMA N 3 Medan, Tamat Tahun 2012

- S1 Ekonomi Pembangunan Universitas Sumatera Utara, Tamat Tahun 2016

(7)

ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI PROVINSI SUMATERA UTARA

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dalam kurun waktu 1993 sampai dengan 2018 dan mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan mempengaruhi ketimpangan tersebut.

Data yang digunakan peneliti adalah data sekunder yang terdiri dari data runtut waktu dari 1993 sampai dengan 2018 yang diperoleh dari Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.

Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara yang diukur dengan indeks Williamson dalam kurun waktu 1993 sampai dengan 2018 cenderung berfluktuatif. Berdasarkan hasil output pengolahan data dapat disimpulkan bahwa investasi berpengaruh negatif dan tidak signifikan terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Angkatan kerja berpengaruh positif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Alokasi dana bantuan pembangunan daerah berpengaruh negatif dan signifikan terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Investasi, angkatan kerja, alokasi dana bantuan pembangunan daerah secara bersama-sama (simlutan) berpengaruh signifikan terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara. Ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara dapat dijelaskan oleh variasi dari ketiga variabel independen yaitu investasi, angkatan kerja, alokasi dana bantuan pembangunan daerah sebesar 80,7 persen sedangkan sisanya sebesar 19,3 persen dijelaskan faktor-faktor lainnya di luar model.

Kata kunci: Investasi, Angkatan Kerja, Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah, Ketimpangan Pembangunan

(8)
(9)

KATA PENGANTAR

Penulis mengucapkan puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa yang telah memberikan berkah-Nya kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan tesis ini.

Selama melakukan penelitian dan penulisan tesis ini, penulis banyak memperoleh bantuan moril dan materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH, M.Hum selaku Rektor Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Ramli, SE, MS selaku Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Irsyad, SE, M.Soc.Sc, PhD selaku Ketua Program Studi Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara dan selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan..

4. Ibu Dr. Murni Daulay, SE, M.Si selaku Ketua Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

5. Bapak Dr. Dede Ruslan, M.Si selaku Anggota Komisi Pembimbing yang telah membimbing dan mengarahkan penulis dalam menyelesaikan penulisan tesis ini.

6. Bapak Prof. Dr. lic. rer. reg. Sirojuzilam Hasyim, SE selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan.

7. Bapak Dr. M. Safii, M.Si selaku Komisi Pembanding atas saran dan kritik yang diberikan.

8. Orang Tua yang saya cintai dan saya sayangi yang telah memberikan kasih sayang dan segala dukungan baik moril maupun materiil.

9. Bapak/Ibu Karyawan Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara yang telah memberi waktu untuk memberi data kepada penulis.

10. Bapak/Ibu dan Staf Pegawai Magister Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Sumatera Utara yang telah membantu penulis hingga tesis ini dapat selesai.

(10)

11. Teman-teman Magister Ilmu Ekonomi yang telah membantu penulis dalam menyelesaikan tesis ini khususnya angkatan 2016.

Penulis menyadari Tesis ini masih banyak memiliki kekurangan dan jauh dari kesempurnaan. Namun harapan penulis semoga Tesis ini bermanfaat kepada seluruh pembaca. Semoga kiranya Tuhan Yang Maha Esa memberkati kita semua.

Amin.

Medan, 11 Januari 2020 Penulis,

Yogi Syahputra

(11)

DAFTAR ISI

Halaman

ABSTRAK ... ii

ABSTRACT ... iii

KATA PENGANTAR ... iv

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

DAFTAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah ... 16

1.3. Tujuan Penelitian ... 16

1.4. Manfaat Penelitian ... 17

BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi ... 18

2.2. Teori Pembangunan Ekonomi Daerah ... 19

2.3. Konsep Ketimpangan Ekonomi Antar Daerah ... 23

2.4. Indeks Williamson ... 33

2.5. Investasi ... 34

2.6. Angkatan Kerja ... 35

2.7. Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah ... 36

2.8. Penelitian Terdahulu ... 37

2.9. Kerangka Konseptual ... 42

2.10. Hipotesis... 44

BAB III METODE PENELITIAN 3.1. Ruang Lingkup Penelitian ... 46

3.2. Jenis dan Sumber Data... 46

3.3. Definisi Operasional Variabel Penelitian ... 46

3.3.1. Variabel Dependen ... 47

3.3.2. Variabel Independen ... 48

3.4. Metode Analisis Data ... 48

3.4.1. Model Analisis... ... 49

3.4.2. Uji Asumsi Klasik... 49

3.4.3. Uji Kesesuaian (Test of Goodness Fit)... 51

BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Gambaran Umum Provinsi Sumatera Utara ... 55

4.2. Lokasi dan Keadaan Geografis Provinsi Sumatera Utara .. 56

4.3. Perkembangan Investasi di Provinsi Sumatera Utara... 57

4.4. Perkembangan Angkatan Kerja di Provinsi Sumatera Utara... 59

4.5. Perkembangan Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah di Provinsi Sumatera Utara... 61

(12)

4.6..Perkembangan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi

di Provinsi Sumatera Utara... 64

4.7. Pengujian Asumsi Klasik... 66

4.8. Hasil Regresi Linear Berganda... 70

4.9. Pembahasaan... 75

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ... 81

5.2. Saran ... 81

DAFTAR PUSTAKA ... 83

LAMPIRAN... 86

(13)

DAFTAR TABEL

No. Tabel Judul Halaman

1.1. Indeks Rasio Gini antar Provinsi di Indonesia

Tahun 2014 – 2018 (%)... 5

1.2. Investasi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2018 (Milyar Rupiah)... 12

1.3. Angkatan Kerja Provinsi Sumatera Utara Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Golongan Umur dan Kegiatan Selama Seminggu yang Lalu Tahun 2018... 13

2.1. Tingkat Ketimpangan antar Wilayah ... 33

2.2. Penelitian Terdahulu... 37

4.1. Perkembangan Investasi di Provinsi Sumatera Utara... 58

4.2. Perkembangan Angkatan Kerja di Provinsi Sumatera Utara. 60

4.3. Perkembangan Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah di Provinsi Sumatera Utara... 63

4.4. Perkembangan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara... 65

4.5. Hasil Regresi Investasi, Angkatan Kerja, Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah terhadap Ketimpangan Pembangunan Ekonomi... 71

4.6. Hasil Regresi Investasi, Angkatan Kerja, Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah terhadap Ketimpangan Pembangunan Ekonomi... 73

4.7. Koefisien F Probability... 74

(14)

DAFTAR GAMBAR

No. Gambar Judul Halaman

1.1. Indeks Rasio Gini Provinsi di Sumatera Utara

Tahun 2014 – 2018 (%)... 6

1.2. Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2018 (%)... 10

1.3. Investasi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2018 (Milyar Rupiah)... 12

2.1. Kerangka Konseptual... 44

4.1. Perkembangan Investasi di Provinsi Sumatera Utara... 59

4.2. Perkembangan Angkatan Kerja di Provinsi Sumatera Utara. 60

4.3. Perkembangan Alokasi Dana Bantuan Pembangunan Daerah di Provinsi Sumatera Utara... 64

4.4. Perkembangan Ketimpangan Pembangunan Ekonomi di Provinsi Sumatera Utara... 66

4.5. Uji Multikolinearitas... 67

4.6. Uji Normalitas... 68

4.7. Uji Heterokedastisitas... 68

4.8. Uji Autokorelasi... 69

(15)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Lampiran

Judul Halaman

1 Data Penelitian... 86

2 Hasil Output Pengolahan Data... 87

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Perjalanan pembangunan ekonomi telah menimbulkan berbagai macam perubahan terutama pada struktur perekonomian. Perubahan struktur ekonomi merupakan salah satu karakteristik yang terjadi dalam pertumbuhan ekonomi pada hampir setiap negara maju. Berdasarkan catatan sejarah tingkat pertumbuhan sektoral ini, termasuk pergeseran secara perlahan dari kegiatan-kegiatan pertanian menuju ke kegiatan non pertanian dan akhir-akhir ini, dari sektor industri ke sektor jasa (Arsyad, 2010:75). Pembangunan daerah sebagai integral dari pembangunan nasional merupakan suatu proses perubahan yang terencana dalam upaya mencapai sasaran dan tujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang didalamnya melibatkan seluruh kegiatan yang ada, melalui dukungan masyarakat di berbagai sektor.

Pertumbuhan ekonomi yang cepat akan menimbulkan ketimpangan distribusi pendapatan, hal ini dikarenakan tidak memperhatikan apakah pertumbuhan tersebut lebih besar atau lebih kecil dari tingkat pertumbuhan penduduk, atau perubahan struktur ekonomi. Proses lajunya pertumbuhan ekonomi suatu daerah ditunjukkan dengan menggunakan tingkat pertambahan PDRB (produk domestik regional bruto), sehingga tingkat perkembangan PDRB per kapita yang dicapai masyarakat seringkali sebagai ukuran kesuksessan suatu daerah dalam mencapai cita-cita untuk menciptakan pembangunan ekonomi (Sukirno, 2009). Secara makro pertumbuhan dan peningkatan PDRB dari tahun ke tahun merupakan indikator dari keberhasilan pembangunan daerah yang dapat dikategorikan dalam

(17)

berbagai sektor ekonomi, yaitu: pertanian, pertambangan dan penggalian, industri pengolahan, listrik, gas dan air bersih, bangunan, perdagangan, perhotelan dan restoran, pengangkutan dan komunikasi, keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, sektor jasa lainnya. Semakin besar sumbangan yang diberikan oleh masing-masing sektor ekonomi terhadap PDRB suatu daerah, maka akan dapat melaksanakan pertumbuhan ekonomi ke arah yang lebih baik.

Gap theory atau teori kesenjangan dilihat dalam kaca mata ilmu sosial terjadi

saat sumber daya yang ada di dalam suatu masyarakat tidak tersebar secara merata, yang menimbulkan pola-pola khusus berdasarkan kategori-kategori yang ditetapkan secara sosial (Smith, 2000). Kesenjangan sosial dihasilkan oleh perbedaan kekuasaan, agama, kekerabatan, martabat, ras, etnisitas, gender, usia dan golongan. Kesenjangan sosial berkaitan dengan kesenjangan ekonomi, yang biasanya dideskripsikan atas dasar distribusi pemasukan atau kekayaan yang tidak merata, merupakan jenis kesenjangan sosial yang sering diteliti (Kuncoro, 2001).

Ilmu ekonomi dan sosiologi secara aktif menggunakan pendekatan-pendekatan yang berbeda untuk meneliti dan menjelaskan kesenjangan ekonomi. Namun, sumber daya alam dan sosial selain sumber daya ekonomi murni juga tak tersebar secara merata dalam sebagian besar masyarakat dan dapat menghasilkan status sosial yang berbeda-beda. Norma-norma alokasi dapat berdampak pada distribusi hak dan kewajiban, kekuasaan sosial, akses pada barang-barang publik seperti pendidikan atau sistem yudisial, perumahan, transportasi, kredit dan jasa keuangan seperti perbankan dan barang dan jasa sosial lainnya.

Ketimpangan, pemerataan, dan infrastruktur sebenarnya telah dikenal cukup lama di Indonesia, misalnya melatarbelakangi program padat karya berbagai pembangunan infrastruktur, seperti jalan, sungai, irigasi, listrik, telepon,

(18)

pelayanan kesehatan, pendidikan dan lain-lain. Ketimpangan yang paling lazim dibicarakan adalah ketimpangan ekonomi. Ketimpangan ekonomi sering digunakan sebagai indikator perbedaan pendapatan per kapita rata-rata, antar kelompok tingkat pendapatan, antar kelompok lapangan kerja, dan atau antar wilayah. Pendapatan per kapita rata-rata suatu daerah dapat disederhanakan menjadi produk domestik regional bruto dibagi dengan jumlah penduduk. Cara lain yang bisa digunakan adalah dengan mendasarkan kepada pendapatan personal yang didekati dengan pendekatan konsumsi (Widiarto, 2001).

Dalam pengukuran ketimpangan pembangunan ekonomi regional digunakan indeks williamson. Ketimpangan ekonomi regional di Indonesia yang diukur dengan indeks williamson dari tahun 1971 hingga tahun 1990 berkisar antara 0,396 sampai 0,484. Hal ini menunjukkan ada peningkatan ketimpangan ekonomi regional tetapi masih relatif sedang. Indek ketimpangan ekonomi regional dari Tahun 1991 hingga 1997 berkisar 0,643 sampai 0,671 berarti mengalami kenaikan cukup tinggi (Sjafrizal, 2008).

Studi empiris dari Brodjonegoro (1999) dan Mahi (2000) dengan menggunakan PDRB per kapita menurut harga konstan 1993 menunjukkan bahwa indeks williamson tahun 1995 tercatat sebesar 0,716. Pada tahun 1996, indeks williamson mengalami penurunan mecapai 0,712. Dan Tahun 1997, indeks williamson mengalami kenaikan mencapai 0,713 sebagai akibat dari krisis ekonomi di Indonesia (Tambunan, 2001).

Namun demikian, Kabupaten/Kota di Indonesia yang memiliki keuntungan relatif besar dari sumber daya alam hanya 6 propinsi (20%) dan dari 350 Kabupaten/Kota tidak sampai 20 kabupaten/kota (5%) yang menikmati bagi hasil yang besar (Simanjuntak, 2001). Gejala tersebut sesuai dengan kesimpulan dari

(19)

penelitian yang dilakukan oleh united nations support facility for Indonesian recovery (UNSFIR), yang menyatakan bahwa perbedaan yang mencolok antara

kekayaan daerah dengan kesejahteraan masyarakatnya pada daerah-daerah yang kaya sumber daya alam tersebut telah menumbuhkan kesadaran kolektif masyarakat terhadap sesuatu yang seharusnya dinikmati, yang disebut aspirasi terhadap ketidakmerataan (inequality). Aspirasi ini mencerminkan adanya rasa ketidakadilan yang muncul bila tingkat kesejahteraan masyarakat di daerah yang kaya sama atau bahkan lebih rendah dari masyarakat Indonesia pada umumnya (Tadjoeddin, 2001). Di Kalimantan Timur sebanyak 915 desa atau 72,7 persen dari 1.295 desa tergolong miskin. Sementara di Provinsi Riau 20 persen dari 4,2 juta penduduknya hidup dalam kondisi prasejahtera dan hampir 70 persen angkatan kerjanya berpendidikan rendah.

Alat pengukuran lain ketimpangan pembangunan ekonomi regional menggunakan rasio gini (gini ratio). Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.25/MEN/IX/2009 tentang tingkat pengembangan pemukiman transmigrasi, gini rasio merupakan ukuran pemerataan pendapatan yang dihitung berdasarkan kelas pendapatan dalam 10 kelas pendapatan. Semakin jauh jarak garis kurva lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat ketidakmerataannya. Sebaliknya semakin dekat jarak kurva lorenz dari garis diagonal, semakin tinggi tingkat pemerataan distribusi pendapatannya.

Perkembangan indeks rasio gini antar Provinsi di Indonesia dapat dilihat pada Tabel 1.1.

(20)

Tabel 1.1.

Indeks Rasio Gini antar Provinsi di Indonesia Tahun 2014 – 2018 (%)

Provinsi 2014 2015 2016 2017 2018

Aceh 0,229861 0,23368 0,23403 0,22847 0,22326

Sumatera Utara 0,219097 0,22986 0,2191 0,22569 0,2184 Sumatera Barat 0,23125 0,22951 0,22326 0,21875 0,21736

Riau 0,254167 0,25347 0,24097 0,22569 0,23403

Jambi 0,232986 0,24479 0,24132 0,23229 0,23229 Sumatera Selatan 0,270833 0,24097 0,24653 0,25208 0,24271 Bengkulu 0,246875 0,25938 0,24688 0,24306 0,24896 Lampung 0,235417 0,25278 0,25069 0,2316 0,23333 Kep. Bangka Belitung 0,207639 0,19375 0,19549 0,19375 0,19201 Kep. Riau 0,291319 0,2441 0,24514 0,24063 0,23229 DKI Jakarta 0,301042 0,29583 0,28056 0,28542 0,27222 Jawa Barat 0,281597 0,29201 0,28299 0,27639 0,28194 Jawa Tengah 0,265278 0,26528 0,25104 0,25347 0,25521 Di Yogyakarta 0,296528 0,29618 0,2934 0,30278 0,29965 Jawa Timur 0,268056 0,28403 0,27917 0,2816 0,26042 Banten 0,284375 0,27326 0,27292 0,26424 0,26111

Bali 0,297569 0,26944 0,25694 0,26493 0,25729

Nusa Tenggara Barat 0,266667 0,25278 0,25139 0,26007 0,26493 Nusa Tenggara Timur 0,246528 0,23854 0,24236 0,24931 0,24653 Kalimantan Barat 0,275347 0,23056 0,23333 0,22778 0,23056 Kalimantan Tengah 0,248264 0,21736 0,23507 0,23264 0,23819 Kalimantan Selatan 0,237847 0,23854 0,23715 0,24097 0,2375 Kalimantan Timur 0,246181 0,2191 0,22326 0,23021 0,2375 Kalimantan Utara 0,221098 0,21111 0,21007 0,21563 0,21076 Sulawesi Utara 0,298611 0,25486 0,26563 0,27431 0,26597 Sulawesi Tengah 0,251389 0,25833 0,24618 0,24306 0,23021 Sulawesi Selatan 0,303125 0,2875 0,28681 0,29028 0,27257 Sulawesi Tenggara 0,280556 0,27083 0,27431 0,27708 0,27813 Gorontalo 0,300347 0,28507 0,28785 0,28993 0,28472 Sulawesi Barat 0,253472 0,25174 0,25521 0,24063 0,25556 Maluku 0,236458 0,23542 0,24028 0,23056 0,23229 Maluku Utara 0,224653 0,19653 0,2066 0,22465 0,23056 Papua Barat 0,293056 0,30139 0,26875 0,26979 0,27257 Papua 0,301042 0,28229 0,27396 0,27604 0,27153 Indonesia 0,284722 0,28125 0,27465 0,27222 0,2684

Sumber: Badan Pusat Statistik

(21)

Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 1.1.

Indeks Rasio Gini Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014 – 2018 (%) Provinsi Sumatera Utara terdiri atas 33 Kabupaten/Kota memiliki latar belakang perbedaan antar wilayah. Perbedaan ini berupa perbedaan karakteristik alam, sosial, ekonomi, dan sumber daya alam yang penyebarannya berbeda di setiap Kabupaten/Kota. Perbedaan tersebut menjadi hambatan dalam pemerataan pembangunan ekonomi, dikarenakan terkonsentrasinya suatu kegiatan perekonomian yang berdampak meningkatnya pertumbuhan ekonomi di beberapa Kabupaten/Kota yang memiliki sumber daya alam yang melimpah. Kekayaan alam yang dimiliki seharusnya dapat menjadikan nilai tambah dalam meningkatkan pembangunan ekonomi. Kelebihan yang dimiliki tersebut diharapkan memberikan dampak menyebar (spread effect). Hanya saja kekayaan alam ini tidak dimiliki oleh seluruh wilayah di Provinsi Sumatera Utara secara merata. Hal inilah yang menjadi salah satu penyebab timbulnya ketimpangan atau kesenjangan antar daerah.

0,212 0,214 0,216 0,218 0,22 0,222 0,224 0,226 0,228 0,23 0,232

2014 2015 2016 2017 2018

Rasio Gini

%

Tahun

(22)

Berdasarkan Tabel 1.1., tren indeks ketimpangan rasio gini dari tahun ke tahun berfluktuasi. Indeks ketimpangan rasio gini Provinsi Sumatera Utara sebasar 0,219097 pada tahun 2014, sedangkan pada tahun 2015 indeks ketimpangan rasio gini naik sebesar 0,22986. Pada tahun 2016 indeks ketimpangan turun sebesar 0,2191, selanjutnya di tahun 2017 dan 2018 indeks ketimpangan masing-masing sebesar 0,22569 dan 0,2184. Angka ini lebih kecil dari Provinsi Papua Barat yang mana pada tahun 2015 dan 2018 indeks ketimpangan masing-masing sebesar 0,30139 dan 0,27257.

Berdasarkan Adelman dan Morris (1973) dalam Arsyad (2010) mengemukakan 8 faktor yang menyebabkan ketidakmerataan ketimpangan (distribusi pendapatan) di negara-negara sedang berkembang, yaitu:

1..Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita.

2..Inflasi di mana pendapatan uang bertambah tetapi tidak diikuti secara proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang.

3..Ketidakmerataan pembangunan antar daerah melalui alokasi dana bantuan pembangunan daerah.

4. Investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive), sehingga persentase pendapatan modal dari tambahan harta lebih

besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah.

5. Rendahnya mobilitas sosial.

6..Pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga barang hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis.

(23)

7..Memburuknya nilai tukar (term of trade) bagi negara-negara sedang berkembang dalam perdagangan dengan negara-negara maju, sebagai akibat ketidakelastisan permintaan negara-negara terhadap barang ekspor negara- negara sedang berkembang.

8..Hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga, dan lain-lain.

Ketimpangan di Provinsi Sumatera Utara disebabkan oleh perbedaan pada karakteristik alam, sosial, ekonomi, dan sumber daya alam yang penyebarannya berbeda di setiap Kabupaten/Kota. Secara ekonomi hal tersebut dilihat pada nilai PDRB Kabupaten/Kota, investasi, angkatan kerja, dan alokasi dana bantuan pembangunan daerah. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, perekonomian Provinsi Sumatera Utara pada 2018 sebesar 5,18 persen, lebih tinggi dibandingkan 2017 yaitu sebesar 5,12 persen. Percepatan ini terutama bersumber dari meningkatnya permintaan domestik berkaitan dengan realisasi belanja pemerintah daerah yang optimal di akhir triwulan IV 2018. Secara sektoral, terbatasnya pertumbuhan ekonomi bersumber dari industri pengolahan serta konstruksi. Perlambatan pertumbuhan ekonomi ini oleh investasi dan konsumsi rumah tangga. Sejalan dengan laju pertumbuhan ekonomi Sumatera Utara yang meningkat pada 2018, kondisi ketenagakerjaan dan kesejahteraan di Provinsi Sumatera Utara juga membaik. Beberapa indikator mengkonfirmasi antara lain tingkat pengangguran terbuka (TPT) menurun sebesar 5,56 persen pada tahun 2018, yang sebelumnya pada tahun 2017 sebesar 5,60 persen, tingkat kemiskinan juga menurun dari 9,28 persen pada tahun 2017 menjadi 8,94 persen pada tahun 2018. Hal ini mengindikasikan bahwa kualitas pertumbuhan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara membaik. Sementara itu, alokasi dana bantuan

(24)

pembangunan daerah yang terdiri dari dana alokasi umum pada tahun 2018 sebesar Rp2629,22 milyar dan dana alokasi khusus pada tahun 2018 sebesar Rp4082,13 milyar.

Ketimpangan memiliki dampak positif maupun dampak negatif. Dampak positif dari adanya ketimpangan adalah dapat mendorong wilayah lain yang kurang maju untuk dapat bersaing dan meningkatkan pertumbuhannya, guna meningkatkan kesejahteraannya. Sedangkan dampak negatif dari ketimpangan yang ekstrim antara lain inefisiensi ekonomi, melemahkan stabilitas social, dan solidaritas, serta ketimpangan yang tinggi, pada umumnya dipandang tidak adil (Todaro, 2004). Ketimpangan menyebabkan inefisiensi ekonomi, sebab ketimpangan yang tinggi, tingkat tabungan secara keseluruhan di dalam perekonomian cenderung rendah, karena tingkat tabungan yang tinggi biasanya ditemukan pada kelas menengah. Meskipun orang kaya dapat menabung dalam jumlah yang lebih besar, mereka biasanya menabung dalam bagian yang lebih kecil dari pendapatan mereka, dan tentunya menabung dengan bagian yang lebih kecil lagi dari pendapatan marjinal mereka (Todaro, 2004). Dampak negatif inilah yang menyebabkan ketimpangan yang tinggi menjadi salah satu masalah dalam pembangunan dalam menciptakan kesejahteraan di suatu wilayah. Pertumbuhan ekonomi merupakan salah satu indikator dari kesejahteraan masyarakat. Di mana ketika suatu wilayah memiliki pertumbuhan yang tinggi, maka wilayah tersebut dapat dikatakan wilayah yang makmur.

Nilai PDRB atas harga berlaku tahun 2018 sebesar Rp741,19 triliun sedangkan atas harga konstan 2010 sebesar Rp512,77 triliun. Berdasarkan Gambar 1.2. pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara yang diukur berdasarkan kenaikan PDRB atas harga konstan 2010 pada tahun 2018

(25)

dibandingkan tahun 2017 meningkat sebesar 5,18 persen. Pertumbuhan ini sedikit lebih tinggi dibanding pertumbuhan tahun 2017 yang tumbuh 5,12 persen.

Sedangkan jika dibandingkan dengan tahun 2016, konstan sebesar 5,18 persen.

Namun ditengah ekonomi global yang tidak pasti, pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara dapat disimpulkan dalam kondisi relatif baik.

Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 1.2.

Pertumbuhan Ekonomi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2018 (%) Kinerja ini didorong oleh meningkatnya permintaan dari luar negeri khususnya minyak kelapa sawit dan karet yang menjadi komoditas unggulan Provinsi Sumatera Utara. Tingkat konsumsi rumah tangga terjaga, di mana inflasi relatif stabil. Pembentukan modal tetap bruto mengalami akselerasi.

Pemerintah dalam tiga tahun terakhir genjarnya melaksanakan pembangunan infrastuktur seperti: jalan, rel kereta api, dermaga, pelabuhan dan sebagainya. Hal ini memberikan dampak positif terhadap gairah bisnis dan sentimen positif luar negeri.

5 5,05 5,1 5,15 5,2 5,25

2014 2015 2016 2017 2018

Petumbuhan Ekonomi

%

Tahun

(26)

Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara yang cenderung meningkat menunjukan bahwa Provinsi Sumatera Utara sudah mampu melaksanakan pembangunan ekonomi dengan baik. Akan tetapi, hal ini tidak serta-merta mengindikasikan bahwa pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara terjadi secara merata. Terlebih dulu perlu diperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi ini disebabkan karena kontribusi seluruh masyarakat, atau hanya sebagian masyarakat saja.

Ketimpangan ekonomi antar daerah secara absolut maupun ketimpangan relatif antara potensi dan tingkat kesejahteraan tersebut dapat menimbulkan masalah dalam hubungan antar daerah. Falsafah pembangunan ekonomi yang dianut pemerintah jelas tidak bermaksud membatasi arus modal (bahkan yang terbang ke luar negeri saja hampir tidak dibatasi). Arus modal mempunyai logika sendiri untuk berakumulasi di lokasi-lokasi yang mempunyai prospek return atau tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi, dan tingkat risiko yang lebih rendah.

Sehingga tidak dapat dihindari jika arus modal lebih terkonsentrasi di daerah- daerah kaya sumber daya alam dan kota-kota besar yang prasarana dan sarananya lebih lengkap.

Investasi merupakan perpindahan modal, di mana cenderung meningkatkan ketimpangan regional. Di wilayah maju, permintaan yang meningkat akan merangsang investasi yang pada gilirannya akan meningkatkan pendapatan dan menyebabkan putaran kedua investasi dan seterusnya. Lingkup investasi yang lebih baik pada sentra-sentra pengembangan dapat menciptakan kelangkaan modal di wilayah terbelakang Myrdal dalam (Jhingan, 2010). Kelangkaan modal ini akan menyebabkan ketimpangan antara wilayah yang maju dangan wilayah terbelakang.

(27)

Di Provinsi Sumatera Utara, perkembangan investasi yang diproksi melalui pembentukan modal tetap bruto (gross fixed capital formation) mengalami peningkatan dari tahun ke tahun. Berikut Tabel 1.2., yang menunjukan perkembangan investasi di Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2014 sampai tahun 2018.

Tabel 1.2.

Investasi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2018 (Milyar Rupiah)

Tahun Investasi (Miliar Rupiah)

2014 124.148,57

2015 128.952,21

2016 135.207,98

2017 143.203,73

2018 157.883,64

Sumber: Badan Pusat Statistik

Sumber: Badan Pusat Statistik

Gambar 1.3.

Investasi Provinsi Sumatera Utara Tahun 2014-2018 (Milyar Rupiah) Terlihat dari Tabel 1.2., yang menjelaskan perkembangan investasi di Provinsi Sumatera Utara tahun dari tahun 2014 sampai dengan tahun 2018.

Ditinjau dari sisi pembentukan modal tetap bruto, nilai investasi mengalami tren

0,00 20.000,00 40.000,00 60.000,00 80.000,00 100.000,00 120.000,00 140.000,00 160.000,00 180.000,00

2014 2015 2016 2017 2018

Investasi

Tahun Milyar Rp

(28)

peningkatan setiap tahunnya, terbukti sepanjang tahun 2014 hingga tahun 2018 nilai investasi terus meningkat dan stabil. Pada tahun 2017 dan tahun 2018 nilai investasi sebesar Rp143.203,73 milyar dan Rp157.883,64 milyar.

Di sisi lain gelombang pencari kerja juga mengalir mengejar kesempatan ke kota-kota besar, ke daerah-daerah yang kaya potensi. Hal ini menjadi masalah kepadatan penduduk bagi daerah yang menerima pencari kerja dari daerah-daerah miskin ke kota-kota besar. Oleh karena di kota-kota besar tersebut relatif banyak golongan ekonomi lemah dari penduduk asli ataupun dari daerah-daerah lain dapat mengakibatkan saling berebut tempat dan peluang antar kelompok daerah asal (Munir, 2003).

Tabel 1.3.

Angkatan Kerja Provinsi Sumatera Utara Berumur 15 Tahun ke Atas Menurut Golongan Umur dan Kegiatan Selama Seminggu yang Lalu

Tahun 2018 Golongan

Angkatan Kerja

Jumlah TPAK TPT Umur

Bekerja Pengangguran Angkatan (%) (%) Terbuka Kerja

15-19 386.776 104.331 491.107 79 21

20-24 782.073 147.814 929.887 84 16

25-29 834.078 53.410 887.488 94 6

30-34 813.160 36.175 849.335 96 4

35-39 811.721 19.970 831.691 98 2

40-44 759.996 12.931 772.927 98 2

45-49 701.037 6.708 707.745 99 1

50-54 592.464 8.596 601.060 99 1

55-59 468.831 2.957 471.788 99 1

60+ 578.295 3.135 581.430 99 1

Jumlah 6.728.431 396.027 7.124.458 94 6

Sumber: Sumatera Utara dalam Angka 2019, Badan Pusat Statistik Sumatera Utara

Tabel 1.3. diketahui bahwa jumlah angkatan kerja di Provinsi Sumatera Utara mencapai 7.124.458 jiwa, pengangguran terbuka sebesar 396.027 jiwa, jumlah

(29)

angkatan kerja yang bekerja 6.728.431 yang menunjukkan aktivitas ekonomi angkatan kerja di Provinsi Sumatera Utara sangat tinggi dan berperan dalam pembangunan.

Penetapan pelaksanaan otonomi daerah dan desentralisasi fiskal yang diatur dalam UU No. 22 tahun 1999 tentang pemerintah daerah dan UU No. 25 tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah, kemudian direvisi oleh UU No. 32 tahun 2004 dan UU No. 33 tahun 2004 tentang pemerintah daerah, di mana pemerintah daerah diberikan wewenang untuk dapat mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan, pemberdayaan dan peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah dengan memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada dasarnya dalam melaksanakan pembangunan diperlukan sumber dana.

Dana bantuan pembangunan daerah merupakan sumber keuangan untuk melakukan pembangunan daerah. Untuk mencapai keberhasilan suatu program pembangunan sangat tergantung pada pemanfaatan sumberdaya yang tersedia.

Namun potensi dan pemanfaatan sumber daya tersebut bervariasi antar daerah.

Sejalan dengan hal tersebut, menurut Marisa dan Hutabarat (2008) mengidentifikasikan bahwa ketimpangan dan variasi distribusi pendapatan mempunyai hubungan yang positif dengan distribusi penguasaan faktor-faktor produksi. Dengan demikian tidak mengherankan bila keberhasilan pembangunan antar daerah berbeda-beda. Sehingga perlu adanya campur tangan pemerintah pusat untuk mengurangi ketimpangan pembangunan antar daerah, misal dengan

(30)

memberikan bantuan kepada daerah untuk mempercepat pembangunan daerah.

Alokasi dana bantuan dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah merupakan pengeluaran pembangunan pemerintah pusat ke daerah Kabupaten/Kota.

Alokasi dana bantuan pembangunan Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2018 berdasarkan laporan Sumatera Utara dalam angka 2019 sebesar Rp6.711,35 milyar, yang mana terdiri dari dana alokasi umum sebesar Rp2.629,22 milyar dan dana alokasi khusus sebesar Rp4.082,13 milyar.

Untuk itulah diperlukan pembangunan daerah yang merupakan bagian dari pembangunan nasional. Guna meningkatkan pembangunan nasional harus didukung dengan pembangunan daerah yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dalam rangka mewujudkan keserasian dan keseimbangan pembangunan nasional.

Pembangunan pada hakekatnya merupakan upaya terencana dan terprogram yang dilakukan secara terus menerus untuk menciptakan masyarakat yang lebih baik. Pembangunan dapat dilakukan melalui pendekatan wilayah (pembangunan wilayah) atau pendekatan sektoral (pembangunan daerah). Pembangunan daerah lebih menekankan pada pendekatan daerah secara administrasi dan pendekatan sektoral, yang diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menserasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar perkotaan, antar perdesaan yang pelaksanaannya disesuaikan dengan prioritas daerah serta pengembangan daerah seoptimal mungkin dengan memperhatikan dampak pembangunan.

Dari latar belakang di atas, maka pada penelitian ini mengambil judul

“ANALISIS KETIMPANGAN PEMBANGUNAN EKONOMI DI

PROVINSI SUMATERA UTARA”, untuk menghitung seberapa besar tingkat ketimpangan yang terjadi di Provinsi Sumatera Utara dan pengaruh variabel

(31)

investasi, angkatan kerja, dan alokasi dana bantuan pembangunan Kabupaten/Kota terhadap ketimpangan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah investasi berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara?

2. Apakah angkatan kerja berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara?

3. Apakah alokasi dana bantuan pembangunan daerah berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara?

4. Apakah investasi, angkatan kerja, dan alokasi dana bantuan pembangunan daerah berpengaruh secara bersama-sama (simultan) terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara?

1.3. Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Menganalisis pengaruh investasi terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

2. Menganalisis pengaruh angkatan kerja terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

3. Menganalisis pengaruh alokasi dana bantuan pembangunan daerah terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

(32)

4. Menganalisis pengaruh investasi, angkatan kerja, dan alokasi dana bantuan pembangunan daerah secara bersama-sama (simultan) terhadap ketimpangan pembangunan ekonomi di Provinsi Sumatera Utara.

1.4. Manfaat Penelitian

Setiap penelitian diharapkan dapat bermanfaat bagi semua pihak yang membacanya maupun yang secara langsung terkait didalamnya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini sebagai bahan pembelajaran yang bermanfaat untuk dapat memperluas pengetahuan dan wawasan peneliti tentang analisis tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi dan mengembangkan ilmu pengetahuan terutama dalam bidang yang diteliti serta sebagai referensi bagi mahasiswa Jurusan Magister Ilmu Ekonomi, Fakultas Ekonomi dan Bisnis, Universitas Sumatera Utara dalam menambah wawasan dan apresiasi yang berhubungan dengan tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi.

2. Manfaat Praktis

Memberikan sumbangan pemikiran kepada Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah Provinsi Sumatera Utara serta Pemerintah Daerah Kabupaten dan Kota tentang variabel yang signifikan berpengaruh terhadap ketimpangan pembangunan antar daerah di Provinsi Sumatera Utara. Dengan demikian memudahkan Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah untuk memilih alternatif kebijakan yang akan diambil untuk mengurangi tingkat ketimpangan pembangunan ekonomi antar daerah.

(33)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pembangunan dan Pertumbuhan Ekonomi

Todaro (2004) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi bertumpu pada proses peningkatan produksi barang dan jasa dalam kegiatan ekonomi masyarakat.

Sedangkan pembangunan ekonomi mengandung pengertian yang lebih luas dan mencakup perubahan pada tata susunan ekonomi masyarakat secara menyeluruh.

Pembangunan merupakan proses transformasi yang dalam perjalanan waktu ditandai dengan perubahan strktural yakni perubahan pada landasan kegiatan ekonomi maupun pada kerangka susunan ekonomi masyarakat yang bersangkutan.

Pada umumnya pembangunan selalu disertai dengan pertumbuhan, tetapi pertumbuhan belum tentu disertai dengan pembangunan. Pada tingkat permulaan, pembangunan ekonomi dibarengi pula dengan pertumbuhan dan sebaliknya (Irwan dan Suparmoko, 2003).

Selama tiga dasawarsa perhatian utama pembangunan pada cara mempercepat tingkat pertumbuhan pendapatan nasional, baik negara maju/kaya maupun negara terbelakang/miskin, baik yang menganut sistem kapitalis, sosialis maupun campuran selalu mengutamakan pertumbuhan ekonomi. Seperti diketahui bahwa suatu keberhasilan program pembangunan di negara berkembang sering dimulai berdasarkan tinggi rendahnya tingkat pertumbuhan output dan pendapatan nasional. Baik buruknya kualitas kebijakan pemerintah dan tinggi rendahnya mutu aparat di bidang ekonomi secara keseluruhan biasanya diukur berdasarkan kecepatan pertumbuhan output yang dihasilkan. Namun demikian penyebaran pertumbuhan pendapatan tersebut masih sangat terbatas jangkauannya, kekuatan

(34)

antara negara maju dan negara berkembang tidak seimbang sehingga cenderung memperlebar jurang kesenjangan antara kelompok negara kaya dan negara miskin.

Di negara berkembang perhatian utama terfokus pada dilema antara pertumbuhan dan pemerataan. Pembangunan eknomi mensyaratkan GNP yang lebih tinggi dan juga pertumbuhan yang lebih tinggi merupakan sauatu pilihan yang harus diambil. Namun yang menjadi masalah adalah bukan hanya soal bagiamana caranya memacu pertumbuhan, tetapi juga siap melaksanakan dan berhak menikmati hasilnya. Dengan demikian pembangunan ekonomi tidak semata-mata diukur berdasarkan peningkatan GNP secara keseluruhan, tetapi harus memperhatikan distribusi pendapatan telah meyebar ke segenap penduduk/lapisan masyarakat, serta siapa yang telah menikmati hasil-hasilnya (Todaro, 2004).

2.2. Teori Pembangunan Ekonomi Daerah

Pembangunan ekonomi daerah merupakan proses pemerintah daerah dan masyarakat daerah mengelola sumber-sumber daya yang ada dan membentuk suatu pola kemitraan antara pemerintah daerah dengan sektor swasta untuk menciptakan lapangan kerja baru dan untuk mendorong perkembangan kegiatan ekonomi (pertumbuhan ekonomi) dalam suatu wilayah tertentu (Arsyad, 2010).

Saat ini tidak ada suatu teori yang mampu menjelaskan pembangunan ekonomi daerah secara komperhensif. Namun demikian ada beberapa teori yang secara parsial dapat membantu untuk memahami arti penting pembangunan ekonomi daerah. Pada hakikatnya, inti dari teori tersebut berkisar pada metode dalam menganalisis perekonomian suatu daerah dan teori-teori yang membahas tentang faktor-faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi disuatu daerah

(35)

tertentu. Secara Umum pendapat-pendapat yang mendasari bidang teori pembangunan eknomi regional yang masing-masing mempunyai asumsi yang berbeda yaitu sebagai berikut:

1. Model Neo Klasik

Model Neo Klsik mendasarkan analisa pada peralatan fungsi produksi, sama halnya dengan analisis pertumbuhan ekonomi nasional. Kelompok Neo Klasik berpendapat bahwa unsur-unsur yang menentukan pertumbuhan ekonomi regional adalah modal, tenaga kerja, kemajuan teknologi. Namun demikian ada kekhususnya teori pertumbuhan regional Neo Klasik yaitu membahas secara mendalam pengaruh dari perpindahan penduduk/migrasi dan lalu lintas modal terhadap pertumbuhan ekonomi regional. Kesimpulan dari model Neo Klasik adalah terdapat hubungan antara pertumbuhan dari suatu negara dengan perbedaan kemakmuran daerah (regional disparity) pada negara yang bersangkutan.

Kelompok Neo Klasik mengatakan bahwa pada saat proses pembangunan baru dimulai (negara yang sedang berkembang), tingkat perbedaan kemakmuran antara wilayah cenderung menjadi tinggi (divergence). Ketika proses pembangunan telah berjalan dalam waktu lama (negara yang telah berkembang) maka perbedaan tingkat kemakmuran antara wilayah cenderung menurun (convergen). Alasan dikemukakan adalah bahwa lalu lintas orang dan lalu lintas modal di negara yang sedang masih belum lancar sehingga proses penyesuaian ke arah tingkat keseimbangan pertumbuhan belum dapat terjadi. Belum lancarnya fasilitas perhubungan dan komunikasi serta masih kuatnya tradisi yang menghalangi mobilitas penduduk, biasanya merupakan faktor utama yang menyebabkan belum lancarnya arus perpindahan orang dan modal antar daerah. Sedangkan di negara- negara maju, proses penyesuaian tersebut terjadi dengan lancar karena telah

(36)

tersedianya fasilitas perhubungan dan komunikasi. Kebenaran pendapat ini mula- mula diselidiki secara empiris oleh Williamson pada tahun 1965.

2. Model Peyebab Kumulatif

Teori ini pada mulanya dikemukakan oleh Myrdal yang mengkritik teori Neo Klasik mengenai pertumbuhan yang stabil. Myrdal menyatakan bahwa perbedaan tingkat kemajuan pembangunan ekonomi antar wilayah selamnya akan menimbulkan adanya bachwas effect yang mendominasi spread effect dan pertumbuhan ekonomi regional merupakan proses yang tidak ekulibrium (disequilibrium). Perbedaan utama dari teori Neo Kalisk dan teori dari Myrdal adalah, yang pertama menggunakan constant return to scale dan kedua menggunakan increasing return to scale. Perbedaan tingkat pertumbuhan antara wilayah mungkin akan menjadi sangat besar jika increasing return to scale berlangsung terus. Menurut Kaldor bahwa prisnsip-prinsip dari peyebab kumulatif adalah penyederhanaan dari increasing return to scale di perusahaan. Kondisi daerah-daerah di sekitar kota yang semakin buruk menunjukkan konsep dasar dari teori ini. Kekuatan-kekuatan pasar cenderung memperparah kesenjangan antara daerah-daerah tersebut (maju versus terbelakang). Daerah yang maju mengalami akumulasi keunggulan kompetitif dibanding daerah-daerah lain. Hal ini disebut Myrdal sebagai backwash effects. Berdasarkan kondisi ini maka penganut teori cummulative causation berpendapata bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak dapat hanya diserahkan pada kekuatan pasar, sehingga perlu dilakukan melalui campur tangan yang efektif dari pemerintah.

(37)

3. Teori Basis Ekonomi

Teori basis ekonomi, biasa disebut analisis basis digunakan untuk mengidentifikasi pendapatan yang berasal dari sektor basis pendapatan regional akan langsung meningkat bila sektor basis mengalami perluasan, sedangkan kesempatan kerja baru terasa dalam jangka panjang. Teori ini menyatakan bahwa faktor penentu utama pertumbuhan ekonomi suatu daerah adalah berhubungan langsung dengan permintaan akan barang dan jasa dari luar daerah. Petumbuhan industri-industri yang menggunakan sumber daya lokal termasuk tenaga kerja dan bahan baku untuk di ekspor akan menghasilkan kekayaan daerah dan penciptaan peluang kerja. Keunggulan dari metode ini adalah dapat secara cepat mengetahui sektor-sektor yang menjadi andalan/basis komparatif suatu perekonomian daerah.

Kelemahan model ini adalah didasarkan pada permintaan eksternal bukan internal.

Pada akhirnya akan menyebabkan ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kekuatankekuatan pasar secara nasional maupun global. Namun demikian, model ini berguna untuk menentukan keseimbangan antara jenis-jenis industri dan sektor yang dibutuhkan masyarakat untuk mengembangkan stabilitas ekonomi.

4. Teori Tempat Sentral

Teori tempat sentral menanggap bahwa ada hirarki tempat. Setiap tempat sentral didukung oleh sejumlah tempat yang lebih kecil yang menyediakan sumberdaya (industri dan bahan baku). Tempat sentral tersebut merupakan suatu permukiman yang menyediakan jasa-jasa bagi penduduk daerah yang mendukungnya.

(38)

2.3. Konsep Ketimpangan Ekonomi antar Daerah

Ketidakmerataan distribusi pendapatan dari sudut pandangan ekonomi dibagi menjadi:

1. Ketimpangan pembangian pendapatan antar golongan penerima pendapatan (size distribution oncome);

2. Ketimpangan pembagian pendapatan antar daerah perkotaan dan daerah pedesaan (urban-rural income disparities);

3. Ketimpangan pembagian pendapatan antar daerah (regional income disparities);

Ketimpangan pembangunan antar daerah dengan pusat dan antar daerah dengan daerah lain adalah merupakan suatu yang wajar, karena adanya perbedaan dalam sumber daya dan awal pelaksanaan pembangunan antar daerah. Analisis yang menghubungkan tahap pembangunan ekonomi dan distribusi pendapatan serta ungkapan pertumbuhan versus pemerataan sebenarnya dipicu oleh sebuah penemuan yang dimulai oleh Kuznet pada tahun 1955. Kuznet menghubungkan laju pertumbuhan berbagai negara maju dan negara sedang berkembang dengan mengamati data time series untuk Amerika, Inggris dan Jerman serta data cross section yang mencakup tiga negara tersebut ditambah India, Srilangka serta Puerto

Rico dan pada hasil pengamatan tersebut Kuznet menemukan sebuah pola yang berbentu U terbalik. Pola tersebut mensyaratkan bahwa pada tahap awal perkembangan (diwakili oleh PDB per kapita yang masih rendah), maka proses pertumbuhan diikuti oleh semakin memburuhnya distribusi pendapatan dan setelah mencapai titik tertentu, pembangunan akan diikuti oleh membaiknya pemerataan. Pembangunan dengan hasil seperti yang digambarkan oleh hipotesisi U terbalik, sebagian besar didasarkan pada model pembangunan dualistik.

(39)

Model pembangunan dualistik ini (Suharto, 2001) berdasarkan artikel terkenal tentang ekonomi surplus tenaga kerja dari Artur Lewis, yang memperbaharuhi model kalsik. Menurut model pembangunan pembangunan yang diajukan Lewis (Todaro, 2004), perekonomian terbelakang terdiri 2 sektor yaitu:

1. Sektor tradisionil yaitu sektor pedesaan sub sistem yang kelebihan penduduk dan ditandai dengan produktivitas marjinal tenaga kerja sama dengan nol. Hal ini merupakan situasi yang memungkinkan Lewis untuk mendefinisikan kondisi surplus tenaga kerja sebagai suatu fakta bahwa sebagaian tenaga kerja tersebut ditarik dari sektor pertanian dan sektor tersebut tidak akan kehilangan outputnya sedikitpun.

2. Sektor industri perkotaan modern yang tingkat produktivitasnya tinggi dan menjadi tempat penampungan tenaga kerja yang ditransfer sedikit demi sedikit dari sektor subsistem. Perhatian utama dari model ini diarahkannya pada terjadinya proses pengalihan tenaga kerja, serta pertumbuhan output dan peningkatan penyerapan tenaga kerja di sektor modern. Pengalihan tenaga kerja dan pertumbuhan kesempatan kerja tersebut dimungkinkan oleh adanya perluasan ouput pada sektor modern. Adapun laju atau kecepatan terjadinya perluasan tersebut ditentukan oleh tingkat investasi dibanding industri dan akumulasi modal secara keseluruhan di sektor modern. Peningkatan investasi itu sendiri dimungkinkan oleh adanya kelebihan keuntungan sektor modern dari selisih upah dengan asumsi para kapitalis yang berkecimpung dalam sektor modern tersebut bersedia menanamkan kembali seluruh keuntungannya. Hal ini dapat meningkatkan pangsa keuntungan pada pendapatan nasional. Tingkat upah di sektor industri perkotaan (sektor modern) diasumsikan konstan dan berdasarkan suatu premis tertentu, jumlahnya ditetapkan melebihi tingkat rata-rata upah sektor

(40)

pertanian subsisten tradisional (Todaro, 2004). Distribusi fungsional berpindah dari penghasilan upah. Pola distribusi berbentuk U dari permulaan dan lebih lanjut tidak ada trade off antara pertumbuhan dan distribusi pendapatan. Pertumbuhan hanya menentukan berapa cepat sebuah negara melewati U.

Teori Lewis ini kemudian disempurnakan oleh Gustav Ranis dan John Fei.

Model pembangunan ekonomi Ranis-Fei (Jhingan, 2010) bukan saja terperinci menunjukkan pengaruh dari perubahan produktivitas tenaga kerja di sektor modern kepada corak proses pembangunan akan tetapi menunjukkan juga akibat kemajuan tingkat produktivitas kegiatan-kegiatan di sektor pertanian terhadap pembangunan ekonomi yang akan tercipta. Di dalam mengemukakan teorinya Fei dan Rei membuat asumsi scbagai berikut:

1. Terdapat sektor pertanian tradional yang pasif dan industri yang aktif;

2. Output sektor pertanian adalah fungsi dari tanah dan buruh saja;

3. Di sektor modal tidak terdapat akumulasi modal selain dalam bentuk penggarapan tanah kembali;

4. Persediaaan atau penawaran tanah bersifat tetap;

5. Kegiatan pertanian ditandai dengan hasil (return to scale) yang tetap dengan buruh sebagai faktor variabel;

6. Diasumsikan bahwa produktivitas marginal buruh adalah nol, Jika penduduk melampaui jumlah dimana produktivitas marginal buruhnya nol, buruh dapat dialihkan ke sektor industri tanpa mengurangi output pertanian;

7. Output sektor industri adalah fungsi dari modal dan buruh saja;

8. Pertumbuhan penduduk dianggap sebagai fenomena eksogen;

9. Upah nyata di sektor industri dianggap tetap dan sama dengan tingkat pendapatan nyata (sebelumnya) sektor pertanian, yang disebut upah institusional;

(41)

10.Pekerja masing-masing sektor hanya mengkonsumsikan produk-produk pertanian.

Berdasarkan asumsi tersebut maka Fei dan Ranis menelaah pembangunan ekonomi surplus tenaga kerja menjadi 3 tahap, yaitu:

1. Tahap pertama, para penganggur tersamar, yang tidak menambah output pertanian, dialihkan ke sektor industri dengan upah institusional yang sama.

2. Tahap kedua, pekerja pertanian menambah output pertanian tetapi memproduksi lebih kecil dari upah institusional yang mereka peroleh. Para pekerja ini dialihkan ke sektor industri. Jika migrasi pekerja ini berlangsung terus, akan dicapai suatu titik dimana pekerja pertanian menghasilkan output yang sama dengan upah institusional.

3. Tahap ketiga, dan merupakan awal pertumbuhan swasembada pada saat buruh pertanian menghasilkan lebih besar daripada perolehan upah intitusional. Pada tahap ini kelebihan buruh sudah terserap dari sektor pertanian menuju komersial.

Kuznet menyebutkan bahwa diantara faktor-faktor sosial, ekonomi dan politik yang mempengaruhi pola U, terdapat faktor penting yaitu terpusatnya modal pada kelompok pendapatan tinggi dan adanya pergeseran penduduk dari sektor pertanian tradisional menuju sektor industri modern. Banyak penelitian susulan yang mencoba membantah atau mendukung penemuan Kuznets tersebut.

Satu dekade setelah adanya hipotesa Kuznet, Williamson membuat suatu langkah dengan menganalisis hubungan antara distribusi pendapatan dan pertumbuhan ekonomi pada tingkat region di suatu negara. Williamson menjadi orang pertama yang mencoba membuktikan hipotesis U terbalik dengan menggunakan data antar wilayah. Dengan mendasarkan analisisnya pada pengalaman impiris di 24 negara selama kurun waktu 1950-1960, ia

(42)

membuktikan bahwa kesenjangan antar wilayah akan memberikan pengaruh negatif pada kelangsungan pertumbuhan ekonomi. Williamson juga menjelaskan hipotesa U terbalik pada lingkup wilayah bahwa pada saat pendapatan pendapatan perkapita meningkat, akan terjadi peningkatan kesenjangan wilayah, lalu bertahan dalam jangka waktu tertentu dan kemudian menurun. Implikasi yang dapat diturunkan bahwa ketimpangan pendapatan antar regional merupakan konsekuensi dari pembangunan dan akan hilang dengan sendirinya sejalan dengan kedewasaan pembangunan itu sendiri. Williamson menganalisa empat faktor yang mendasari pola U terbalik dalam pengembangan wilayah yaitu: sumber daya alam, perpindahan tenaga kerja, perpindahan modal, kebijakan pemerintah pusat. Williamson menyatakan bahwa ketersediaan sumber daya alam yang berbeda akan menimbulkan pertumbuhan wilayah yang tidak seimbang pada tahap awal pembangunan. Hipotesa-U terbalik menyimpulkan bahwa kekuatan hukum ekonomi akan menyeimbangkan kesenjangan antar daerah.

Menurut teori neo klasik ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut dapat mencapai keseimbangan kembali dengan sendirinya, karena daerah-daerah tertinggal akan dengan sendirinya konvergen dengan daerah yang lebih maju.

Para ekonom neo klasik seperti Solow, Suan dan Meade mengajukan model pertumbuhan dengan menggunakan beberapa asumsi (Sukirno, 2009) sebagai berikut (1) full employment; (2) persaingan sempurna; (3) komoditi homogen;

(4) ongkos transportasi nol; (5) constant return to scale antar wilayah; (6) supply tenaga kerja tetap; (7) tingkat teknologi tetap;

Berdasarkan asumsi tersebut, maka tingkat upah merupakan fungsi langsung dari rasio kapital dan tenaga kerja, sehingga akan terjadi pergerakan tenaga kerja

(43)

dari daerah yang tingkat upahnya rendah ke daerah yang tingkat upahnya tinggi.

Sementara modal bergerak sebaliknya.

Kekuatan konvergensi potensial lainnya antara lain alokasi sumber daya di daerah yang berangkat dari sektor upah rendah (seperti sektor pertanian) ke sektor dengan upah yang tinggi, dengan produktivitas tinggi akan menaikkan pendapatan rata-rata perkapita serta adanya ciri-ciri kematangan dalam daerah- daerah yang sudah lama berpendapatan tinggi yang dapat memperlambat kenaikan pendapatan perkapita di masa mendatang.

Salah satu kelompok hibrida dari teori pertumbuhan regional yang jelas-jelas mengakui bahwa pertumbuhan regional itu mungkin saja bersifat divergen dan bukannya konvergen, adalah teori-teori centre-periphery dari Hirschman, Friedman dan Myrdal. Myrdal dan Hirschman dalam teorinya tentang kesenjangan pembangunan ekonomi menyatakan bahwa kekuatan divergensi adalah lebih kuat daripada kekuatan konvergensi dalam pola pertumbuhan ekonomi. Argumen umum dari teori dapat dijelaskan dengan membandingkan peruntungan dari dua daerah, A dan B. Pada mulanya daerah A berkembang lebih cepat daripada B, karena ia mempunyai kemanfaatan-kemanfatan alamiah dan/atau buatan manusia. Akan tetapi bertentangan dengan banyak teori pertumbuhan, divergensi ini mungkin tidak akan hilang dengan sendirinya dan proses ini malahan dapat menjadi kumulatip, dimana yang kaya bertambah kaya dan yang miskin bertambah miskin. Menurut Myrdal (Sukirno, 2009) dalam jangka panjang pendapatan perkapita antar daerah cenderung timpang.

Perbedaan tersebut menurutnya disebabkan adanya dua faktor yaitu backwash effect dan spread effect. Pembangunan ekonomi antar wilayah akan menimbukan adanya backwash effect yang mendominasi spread effect dan pertumbuhan

(44)

ekonomi regional merupakan proses yang tidak ekuilibrium. Spread effect adalah kekuatan yang menuju konvergensi antara daerah-daerah kaya dan daerah daerah miskin. Dengan bertumbuhnya daerah kaya, maka bertambah pula permintaannya terhadap produk dari daerah yang tertinggal seperti hasil pertanian dan hasil industri barang konsumsi, dengan demikian akan yang menimbulkan pertumbuhan. Myrdal menyatakan sebab-sebab kurang mampunya daerah terbelakang berkembang secepat daerah yang maju. Hal tersebut disebabkan karena keadaan backwash effect, yang menyebabkan daerah terbelakang menghadapi lebih banyak hambatan dalam mengembangkan ekonominya. Dari masa ke masa daerah yang lebih maju akan menjadi daya penarik bagi penduduk daerah terbelakang, untuk mengadakan migrasi karena adanya keyakinan untuk mendapatkan gaji yang lebih baik/prasarana sosial yang lebih baik di daerah yang lebih maju.

Pada umumnya yang melakukan migrasi adalah kaum muda, berpendidikan dan berpengalaman cukup dan dengan demikian yang tertinggal di daerah terbelakang adalah golongan penduduk yang tingkat kecakapan maupun produktivitas rendah sehingga menyebabkan potensi yang lebih terbatas dalam menggalakkan pembangunan.

Demikian pula karena ketidaktersediaan institusi finansial dan prospek investasi yang suram akan menggiring kapital keluar menuju daerah yang maju.

Berdasarkan keadaan ini, maka penganut teori cummulative causation berpendapat bahwa peningkatan pemerataan pembangunan antar daerah tidak dapat hanya diserahkan pada kekuatan pasar, sehingga perlu dilakukan melalui campur tangan yang aktif dari pemerintah.

(45)

Hirschman berkeyakinan bahwa terjadinya konsentrasi pembangunan disebabkan oleh faktor-faktor di daerah maju yang mempengaruhi dan menghambat pembangunan di daerah tertinggal. Faktor-faktor yang menghambat itu dinamakan polarization effect, namun juga terdapat kekuatan yang bersumber di daerah maju yang akan mempengaruhi pembangunan di daerah tertinggal yang disebut tricling down effect , tetapi kekuatan ini biasanya jauh lebih rendah daripada polarization effect.

Sementara Freedman menyatakan bahwa atas dasar kenyataan pada sejarah proses pembangunan spasial menekankan bahwa pembangunan ekonomi mempunyai kecenderungan untuk berkonsentrasi pada suatu daerah yang diawali oleh arus urbanisasi yang kemudian diikuti oleh pembangunan sarana dan prasarana.

Perroux menyatakan bahwa pembangunan ekonomi yang tidak merata terjadi di berbagai daerah, tetapi mengelompok pada pusat-pusat pertumbuhan dan hal ini akan menentukan perkembangan ekonomi daerah lain yang lebih lambat perkembangan ekonominya.

Teori pusat pengembangan (growth poles theory) akan dapat merupakan salah satu alat yang ampuh untuk mencapai tujuan pembangunan regional yang saling bertolak belakang yaitu pertumbuhan dan pemerataan pembangunan keseluruh pelosok daerah (Sjafrizal, 2008). Teori ini dapat menggabungkan kebijakan dan program pembangunan wilayah dan perkotaan secara terpadu.

Menurut Perroux, konsep pole decroisumce lebih banyak menyangkut konsep economic region daripada geographic region, karena itu suatu pusat pengembangan seringkali didefinisikan sebuah suatu konsentrasi industri pada suatu tempat tertentu yang kesemuanya saling berkaitan melalui hubungan input

(46)

dan output industri utama. Konsentrasi dan saling keterkaitan adalah merupakan dua faktor penting dalam setiap pusat pengembangan karena melalui faktor ini akan dapat diciptakan berbagai bentuk agglomerution economies yang dapat menunjang pertumbuhan dari industri-industri yang bersangkutan melalui penurunan ongkos produksi. Keuntungan aglomerasi yang merupakan kekuatan dari setiap pusat pengembangan dapat dibagi menjadi atas 3 jenis yaitu sebagai berikut:

1. Scale economies yaitu semacam keuntungan yang dapat timbul karena pusat pengembangan memungkinkan perusahaan industri yang tergabung di dalamnya beroperasi dalam skala besar, karena ada jaminan bahan baku dan pasar.

2. Locatization economies yang dapat timbul akibat adanya keterkaitan antar industri, sehingga kebutuhan bahan baku dan pemasaran dapat dipenuhi dengan mengeluarkan ongkos angkut yang minimum.

3. Urbanization economies yang timbul karena fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi dapat dipergunakan secara bersama sehingga pembebanan ongkos untuk masing-masing perusahaan industi dapat dilakukan serendah mungkin.

Kesimpulan yang dihasilkan bahwa bila kegiatan ekonomi yang saling berkaitan dikonsentrasikan pada suatu tempat tertentu maka pertumbuhan ekonomi dari daerah yang bersangkutan dapat ditingkatkan lebih cepat dibandingkan kalau tersebar dan berpencar. Dengan demikian bila pusat pengembangan didirikan pada suatu daerah yang relatif masih kurang berkembang dibandingkan daerah- daerah lainnya maka laju pertumbuhan pada daerah yang bersangkutan dapat ditingkatkan sehingga perbedaan kemakmuran antar wilayah secara bertahap akan tercapai. Akan tetapi kebijaksanaan tersebut tidak jarang malah menimbulkan kepincangan pembangunan wilayah yang makin tinggi.

(47)

Kebijaksanaan pusat pengembangan yang dilakukan oleh suatu negara dapat dikatakan berhasil dari segi pandangan nasional tetapi gagal dalam dari sudut pembangunan wilayah. Kebijaksanaan pusat pengembangan yang hanya tertuju pada beberapa tempat saja bila tidak hati-hati dapat memperbesar jurang kemakmuran antara penduduk yang berada di dalam pusat dan dengan yang berada di luarnya.

Teori Hechsher-Ohlin yang dikenal sebagai teori H-O menjelaskan pula penyebab kesenjangan antar daerah. Hechsher-Ohlin mencoba menjawab mengapa perdagangan cenderung pada suatu wilayah tertentu dan menuju pada polarisasi. Hechsher-Ohlin percaya pada endowment factor yang dimiliki masing-masing daerah, sehingga daerah mempunyai comparative adventage dibanding yang lain dan ini dapat menaikan pendapatan daerah tersebut. Hilhorst menyangkal pendapat teori H-O yang menyatakan keunggulan comparative sebagai penyebab terjadinya perdagangan inter-regional. Menurut Hilhorst dalam, ada faktor-faktor lain sebagai penyebab perdagangan inter-regional misalnya kelancaran transportasi dan komunikasi muncul dan kebijaksanaan pemerintah yang menyebabkan kemudahankemudahan serta adanya jalinan kerjasama antar sesama rekanan usaha. Dengan adanya transportasi dan komunikasi, faktor-faktor produksi yang inmobil (tidak bergerak) diantara dua wilayah mulai hilang dan faktor endowment cenderung merata.

Kebijakan alokasi investasi regional menjadi penting bila tujuan pembangunan wilayah yang dicapai yaitu peningkatan pertumbuhan ekonomi dan pemerataan, karena dengan hal itu dapat ditentukan prioritas-prioritas yang akan dilaksanakan (Sjafrizal, 2008:17). Dalam hal pemerataan, Rahman berpendapat bahwa unsur pemerataan pembangunan antar wilayah dapat

(48)

dipertimbangkan melalui pelaksanaan switching policy. Bila menurut analisa alokasi anggaran perlu lebih banyak diarahkan pada daerah yang relatif maju, maka setelah mencapai titik tertentu maka prioritas alokasi anggaran harus dibelokkan ke daerah yang kurang maju. Dengan demikian unsur pertumbuhan dan unsur pemerataan akan dapat dipertimbangkan secara sekaligus.

2.4. Indeks Williamson

Indeks williamson merupakan salah satu alat ukur untuk mengukur tingkat ketimpangan daerah yang semula dipergunakan oleh Jeffrey G. Wlliamson.

Perhitungan indeks wlliamson didasarkan pada data PDRB masing-masing daerah digunakan rumus Hasil pengukuran dari nilai Indeks Williamson ditunjukkan oleh angka 0 sampai angka 1 atau 0 < VW < 1. Jika indeks williamson semakin mendekati angka 0 maka semakin kecil ketimpangan pembangunan ekomoni dan jika indeks Wlliamson semakin mendekati angka 1 maka semakin melebar ketimpangan pembangunan ekonomi (Sjafrizal, 2008). Untuk mengetahui besarnya ketimpangan yang terjadi maka diperlukan tingkat ketimpangan antar wilayah sebagai berikut:

Tabel 2.1.

Tingkat Ketimpangan antar Wilayah

Indeks Ketimpangan

>1 Sangat Tinggi

0,7 – 1 Tinggi

0,4 – 0,69 Menengah

≤0,39 Rendah

Sumber: Perencanaan Pembangunan Ekonomi Daerah (Sjafrizal, 2008)

(49)

Formula perhitungannya adalah sebagai berikut:

Keterangan:

Untuk Kecamatan:

yi = PDRB per kapita di Kecamatan i

y = PDRB per kapita rata-rata Kabupaten/Kota fi = Jumlah penduduk Kecamatan i

n = Jumlah penduduk di Kabupaten/Kota Untuk Kabupaten/Kota:

yi = PDRB per kapita di Kabupaten/Kota i y = PDRB per kapita rata-rata Provinsi fi = Jumlah penduduk di Kabupaten/Kota i n = Jumlah penduduk di Provinsi

Untuk Provinsi:

yi = PDRB per kapita di Provinsi i y = PDRB per kapita rata-rata Negara fi = Jumlah penduduk di Provinsi i n = Jumlah penduduk di Negara 2.5. Investasi

Investasi merupakan penanaman modal di suatu perusahaan tertentu.

Penanaman modal bersumber dari penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal luar negeri atau juga pembentukan modal tetap bruto. Dengan adanya penambahan investasi baik dari dalam negeri maupun luar negeri maka dapat menyerap tenaga kerja. Hal ini dikarenakan dalam proses produksi barang dan jasa meningkat yang pada giliranya akan menyerap angkatan kerja. Sehingga tenaga kerja tersebut memperoleh upah, dan tenaga kerja tersebut mempunyai daya beli. Dengan semakin banyak investasi yang digunakan untuk melakukan

Referensi

Dokumen terkait

PEMANFAATAN BIJI KELOR (Moringa oleifera Lamk.) SEBAGAI BIOFLOKULAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA LIMBAH CAIR.. INDUSTRI KERAMIK DINOYO MALANG

with respect to body weight and body mass index in overweight or obese pre-diabetic

PEMANFAATAN BIJI KELOR (Moringa oleifera Lamk.) SEBAGAI BIOFLOKULAN LOGAM BERAT Hg, Pb DAN Cr PADA LIMBAH CAIR.. INDUSTRI KERAMIK DINOYO MALANG

This study combines both the philological and historical qualitative method and quasi experimental quantitative method to observe the history of cupping in

Dalam bidang pendidikan masih banyak yang bertumpu pada operasional pendidikan di sekolah dan lembaga agama, belum menyebar ke berbagai dimensi, dilihat dari

Dari dermaga di luwe kemudian dilanjutkan dengan jalan darat menuju lokasi WIUP sejauh 9 km yang dapat ditempuh dengan kendaraan roda empat.. PERHITUNGAN CADANGAN TERTAMBANG

Pada hari ini Selasa tanggal Dua Puluh Lima bulan September Tahun Dua Ribu Dua Belas, kami yang bertanda tangan dibawah ini Panitia Pengadaan Barang dan Jasa Dinas Bina Marga

In this conference, educators and teachers from Africa, America, Asia, Australia and Europe continents come together to share their research and practices on improving the