• Tidak ada hasil yang ditemukan

Akibat Hukum Kepailitan Pewaralaba terhadap Perjanjian Waralaba dalam Bidang Industri Makanan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2016

Membagikan "Akibat Hukum Kepailitan Pewaralaba terhadap Perjanjian Waralaba dalam Bidang Industri Makanan"

Copied!
115
0
0

Teks penuh

(1)

AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PEWARALABA TERHADAP

PERJANJIAN WARALABA DALAM BIDANG INDUSTRI MAKANAN

S K R I P S I

Disusun dan Diajukan Sebagai Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

MARIA THERESIA BR S NIM: 110200430

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

(2)

AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PEWARALABA TERHADAP PERJANJIAN WARALABA DALAM BIDANG INDUSTRI MAKANAN

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai salah satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

OLEH :

MARIA THERESIA BR SITOMPUL

NIM: 110200430

DEPARTEMEN : HUKUM EKONOMI

KETUA DEPARTEMEN

WINDHA, S.H., M.Hum

NIP.197501122005012002

Dosen Pembimbing I, Dosen Pembimbing II,

Ramli Siregar, S.H., M.Hum Windha, S.H., M.Hum

NIP.195303121983031002 NIP.197501122005012002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

(3)

ABSTRAK

AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PEWARALABA TERHADAP PERJANJIAN WARALABA DALAM INDUSTRI MAKANAN

*) Maria Theresia Br S **) Ramli Siregar ***) Windha

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan pewaralaba pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Pewaralaba pailit kehilangan seluruh hak keperdataannya untuk mengurus dan menguasai seluruh harta kekayaannya yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. Kendatipun demikian, putusan penyataan pailit tidak mengakibatkan pewaralaba kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya, namun hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja yang meliputi kekayaan pewaralaba pada saat putusan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Oleh sebab itu, mengenai waralaba sebagai salah satu bentuk sistem bisnis dalam hukum positif di Indonesia, kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam bidang industri makanan, penting untuk diteliti.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data secara studi pustaka (library research), yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder biasa serta mempelajari sumber-sumber atau bahan dalam penulisan skripsi ini, misalnya buku-buku ilmiah, peraturan perundang-undangan, artikel dari internet, jurnal hukum dari internet dan lain-lain yang memiliki kaitan dengan skripsi ini.

Kesimpulan skripsi ini adalah bahwa dalam penerapan akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam industri makanan maka didapatkan penemuan hukum berkaitan dengan kedudukan hukum para pihak dalam perjanjian waralaba yang berlaku di Indonesia adalah berdiri sendiri, akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam bidang industri makanan adalah pembatalan dan penghapusan perjanjian waralaba setelah putusan pailit, kepailitan pewaralaba tidak otomatis menjadikan terwaralaba menjadi pailit, dalam hal pihak yang dirugikan karena penghapusan perjanjian tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditur konkuren untuk mendapatkan ganti rugi.

Kata Kunci : Kepailitan pewaralaba, perjanjian waralaba

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Pembimbing I

(4)

KATA PENGANTAR

Syalom,

Puji syukur penulis panjatkan yang tiada hentinya kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat dan rahmat-Nya yang telah memberikan kesempatan dan menghantarkan penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan skripsi ini.

Skripsi ini berjudul: “Akibat Hukum Kepailitan Pewaralaba terhadap

Perjanjian Waralaba dalam Bidang Industri Makanan”.

Skripsi ini ditulis guna memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum, Departemen Hukum Ekonomi, Universitas Sumatera Utara.Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak terlepas dari kesulitan dan hambatan, namun berkat perhatian, bimbingan, dorongan dan bantuan dari semua pihak, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Dengan ini, izinkan penulis menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, S.H., M.Hum, sebagai Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, S.H., M.H, sebagai Pembantu Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

3. Bapak Syafruddin Hasibuan, S.H., M.H, sebagai Pembantu Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

(5)

4. Bapak Dr. O.K. Saidin, S.H., M.Hum, sebagai Pembantu Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

5. Ibu Windha, S.H., M.Hum, sebagai Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan selaku Dosen Pembimbing II yang banyak memberikan bimbingan dan saran-saran dalam penyelesaian skripsi.

6. Bapak Ramli Siregar, S.H., M.Hum., sebagai Dosen Pembimbing I yang banyak memberikan bimbingan dan saran-saran dalam penyelesaian skripsi ini.

7. Bapak Dr. Hamdan, S.H., M.H, selaku Dosen Penasehat Akademik penulis yang sudah banyak memberikan masukan dan bimbingan selama masa perkuliahan di Fakultas Hukum USU.

8. Bapak dan Ibu Dosen selaku staf pengajar dan seluruh administrasi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan.

9. Seluruh staf Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum USU.

10.Kepada ayahanda tercinta, AB Sitompul dan Ibunda tersayang R br Manullang, yang telah memberikan doa restu, kasih sayang, nasihat,perhatian,semangat baik berupa moril maupun materil, dan memberikan kesempatan kepada penulis untuk berjuang menuntut ilmu sehingga dapat menyelesaikan studi di Fakultas Hukum USU ini.

11.Kepada adik-adikku tercinta; Tian Cahyana Sitompul, Lasta Manjouito Sitompul, Martogi Nathan Andrew Sitompul, dan Anita Manullang yang

(6)

selalu memberikan doa, mendampingi dan mendukung penulis agar dapat menyelesaikan skripsi ini.

12.Kepada opung tercinta, yang selalu memberikan petuah, dukungan dan doa restu selama penulis menjalani studi di Fakultas Hukum USU.

13.Kepada saudara-saudaraku yang memberikan semangat dan doa selama penulisan skripsi ini.

14.Kepada teman-temanku, khususnya teman-teman Grup C stambuk 2011 yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas segalanya. 15.Kepada semua pihak yang berpartisipasi dalam membantu penulisan

skripsi ini.

Akhir kata, penulis menyadari banyak kekurangan dan salah perkataan dalam skripsi ini sehingga masih jauh dari kata sempurna, penulis mengharapkan segala masukan dan saran yang membangun agar lebih baik lagi di kesempatan yang akan datang. Atas perhatiannya, penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, April 2015 Penulis

Maria Theresia br Sitompul

(7)

DAFTAR ISI

ABSTRAK……….………..………. i

KATAPENGANTAR ………..……... ii

DAFTAR ISI ………..… v

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang ………. 1

B. Perumusan Masalah ……….………. 4

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ………. 4

D. Keaslian Penulisan ………...……… 5

E. Tinjauan Kepustakaan ………..…….. 6

F. Metode Penelitian ………... 11

G. Sistematika Penulisan ………..………. 14

BAB II WARALABA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK SISTEM BISNIS DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA A. Waralaba Sebagai Suatu Bentuk Perjanjian ………..…. 16

B. Hak dan Kewajiban Antara Pewaralaba dengan Terwaralaba dalam Perjanjian Waralaba ……….…… 32

C. Hambatan dalam Pelaksanaan Perjanjian Waralaba Sebagai Bentuk Sistem Bisnis ………...……..……... 38

(8)

BAB III KEPAILITAN PEWARALABA MENURUT

UNDANG-UNDANG NOMOR 37 TAHUN 2004 TENTANG

KEPAILITAN DAN PENUNDAAN KEWAJIBAN

PEMBAYARAN UTANG

A. Syarat dan Prosedur Kepailitan Pewaralaba ………... 47 B. Akibat Hukum Kepailitan Pewaralaba ……….….…. 55 C. Berakhirnya Kepailitan Pewaralaba ………..…… 63

BAB IV AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PEWARALABA

TERHADAP PERJANJIAN WARALABA DALAM BIDANG

INDUSTRI MAKANAN

A. Karakteristik Industri Makanan ………..…….. 73 B. Akibat Hukum Kepailitan Pewaralaba Terhadap Perjanjian

Waralaba dalam Bidang Industri Makanan ………..……… 79

C. Perlindungan Hukum bagi Terwaralaba Untuk Menjaga

Kelangsungan Usaha dalam Bidang Industri Makanan…... 91

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan …...………...………...… 99

B. Saran ………...…………..………. 101

DAFTAR PUSTAKA ……….………. vii

(9)

ABSTRAK

AKIBAT HUKUM KEPAILITAN PEWARALABA TERHADAP PERJANJIAN WARALABA DALAM INDUSTRI MAKANAN

*) Maria Theresia Br S **) Ramli Siregar ***) Windha

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan pewaralaba pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Pewaralaba pailit kehilangan seluruh hak keperdataannya untuk mengurus dan menguasai seluruh harta kekayaannya yang telah dimasukkan ke dalam harta pailit. Kendatipun demikian, putusan penyataan pailit tidak mengakibatkan pewaralaba kehilangan kecakapannya untuk melakukan perbuatan hukum pada umumnya, namun hanya kehilangan kekuasaan atau kewenangannya untuk mengurus dan mengalihkan harta kekayaannya saja yang meliputi kekayaan pewaralaba pada saat putusan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Oleh sebab itu, mengenai waralaba sebagai salah satu bentuk sistem bisnis dalam hukum positif di Indonesia, kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam bidang industri makanan, penting untuk diteliti.

Penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian hukum normatif dengan menggunakan data secara studi pustaka (library research), yaitu dengan cara meneliti bahan pustaka atau data sekunder biasa serta mempelajari sumber-sumber atau bahan dalam penulisan skripsi ini, misalnya buku-buku ilmiah, peraturan perundang-undangan, artikel dari internet, jurnal hukum dari internet dan lain-lain yang memiliki kaitan dengan skripsi ini.

Kesimpulan skripsi ini adalah bahwa dalam penerapan akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam industri makanan maka didapatkan penemuan hukum berkaitan dengan kedudukan hukum para pihak dalam perjanjian waralaba yang berlaku di Indonesia adalah berdiri sendiri, akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam bidang industri makanan adalah pembatalan dan penghapusan perjanjian waralaba setelah putusan pailit, kepailitan pewaralaba tidak otomatis menjadikan terwaralaba menjadi pailit, dalam hal pihak yang dirugikan karena penghapusan perjanjian tersebut, yang bersangkutan dapat mengajukan diri sebagai kreditur konkuren untuk mendapatkan ganti rugi.

Kata Kunci : Kepailitan pewaralaba, perjanjian waralaba

*) Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara **) Dosen Pembimbing I

(10)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Bisnis waralaba atau franchise sedang berkembang sangat pesat di Indonesia dan sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit dan sebagai bisnis yang efisien dan dapat dijalankan serta dikembangkan oleh siapa saja karena pemasaran usaha yang telah dikenal luas dalam masyarakat. Pengertian waralaba menurut Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang waralaba (selanjutnya disebut PP No. 42 Tahun 2007) dalam Pasal 1 angka 1 yaitu :1

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau

badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian

waralaba.”

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 juga menyebutkan bahwa waralaba diselenggarakan harus berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia dan dalam hal perjanjian ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia. Perjanjian waralaba memuat klausula paling sedikit :2

1

Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Bab I, Pasal 1 angka 1.

2

Ibid., Pasal 5.

(11)

a. Nama dan alamat para pihak; b. Jenis Hak Kekayaan Intelektual; c. Kegiatan usaha;

d. Hak dan kewajiban para pihak;

e. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan, dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba;

f. Wilayah usaha;

g. Jangka waktu perjanjian; h. Tata cara pembayaran imbalan;

i. Kepemilikan, perubahan kepemilikan, dan hak ahli waris; j. Penyelesaian sengketa; dan

k. Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian. Sistem usaha waralaba mengenal para pihak yaitu ;3 pertama, Franchisor atau pemberi waralaba/pewaralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya; kedua, Franchisee atau penerima waralaba/terwaralaba, adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pemberi waralaba.

Mengantisipasi adanya kecenderungan dunia usaha yang bangkrut dan untuk menjaga kepastian hukum bagi para pihak yang mengikatkan diri dalam perjanjian waralaba, yang berakibat pada tidak dapat dipenuhinya kewajiban-kewajiban yang sudah jatuh tempo, maka pemerintah melakukan perubahan-perubahan yang cukup signifikan dalam peraturan perundang-undangan, salah satunya adalah dengan merevisi Undang-Undang Kepailitan yang ada.4

3

Ibid., Pasal 1.

4

(12)

Latar belakang pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan (selanjutnya disebut Perpu No. 1 Tahun 1998), tidak lain berkaitan dengan kondisi perekonomian pada masa itu. Pada satu sisi, Indonesia membutuhkan kepercayaan dunia Internasional terhadap iklim bisnis Indonesia, dan di lain pihak para kreditur membutuhkan suatu aturan hukum yang cepat dan pasti bagi penyelesaian piutang-piutangnya pada berbagai perusahaan Indonesia yang berada dalam kondisi bangkrut. Apabila mengandalkan penyelesaian utang-piutang berdasarkan peraturan yang lama maka akan memakan waktu yang lama, berbelit-belit dan tidak menjamin kepastian hukum.5 Perpu No. 1 Tahun 1998 kemudian disahkan dalam bentuk Undang-Undang yaitu Undang-Undang-Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 1998 Tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang (selanjutnya disebut UU No. 4 Tahun 1998). Kemudian disempurnakan menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disebut UUK dan PKPU).6

Pada prinsipnya, sebagai konsekuensi dari ketentuan Pasal 22 UUK dan PKPU, maka setiap dan seluruh perikatan antara pewaralaba yang dinyatakan pailit dengan pihak ketiga yang dilakukan sesudah pernyataan pailit, tidak akan dan tidak dapat dibayar dari harta pailit, kecuali bila perikatan-perikatan tersebut

5

Sunarmi, Hukum Kepailitan (Medan: USU Press, 2009), hlm. 3.

6

(13)

mendatangkan keuntungan bagi harta kekayaan itu. Gugatan-gugatan yang diajukan dengan tujuan untuk memperoleh pemenuhan perikatan dari harta pailit, selama dalam kepailitan, yang secara langsung diajukan kepada debitur pailit, hanya dapat diajukan dalam bentuk laporan untuk pencocokan.7

B. Perumusan Masalah

Adapun rumusan masalah yang akan dibahas dalam penulisan skripsi ini adalah: 1. Bagaimana waralaba sebagai salah satu bentuk sistem bisnis dalam hukum

positif di Indonesia ?

2. Bagaimana kepailitan menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ?

3. Bagaimana akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam industri makanan?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun penulisan ini dilakukan dengan tujuan dan manfaat yang hendak dicapai, yaitu :

1. Tujuan penulisan

Berdasarkan perumusan masalah sebagaimana yang telah diuraikan diatas, maka tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah :

a. Untuk mengetahui bentuk waralaba sebagai suatu bentuk sistem bisnis dalam hukum positif yang berkembang di Indonesia

7

(14)

b. Untuk mengetahui secara paham bentuk kepailitan menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Pembayaran Utang

c. Untuk mengetahui akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam industri makanan

2. Manfaat penulisan

Adapun manfaat dari penulisan skripsi ini adalah : a. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memperkaya dan menambah wawasan ilmiah bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum, khususnya pengetahuan ilmu hukum ekonomi.

b. Secara praktis

Ditinjau dari permasalahan, penulis mengharapkan dapat memberi manfaat sebagai berikut :

1) Bagi pewaralaba (franchisor), agar memiliki pengetahuan dalam gugatan yang diajukan kepada kreditur dan memahami akibat hukum kepailitan terhadap perjanjian waralaba.

2) Bagi terwaralaba (franchisee), agar memahami akibat hukum dari pewaralaba yang pailit.

D. Keaslian Penulisan

Berdasarkan hasil penelitian di Perpustakaan di Universitas Sumatera Utara dan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, ternyata tidak ditemukan

judul yang membahas mengenai “Akibat Hukum Kepailitan Pewaralaba Terhadap

(15)

1. Akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba dalam bidang industri makanan

2. Perlindungan hukum bagi pembeli harta debitur pailit sebelum terjadinya kepailitan

3. Analisis permohonan kepailitan Perum oleh Menteri Keuangan

Dengan demikian jika dilihat kepada permasalahan yang ada dalam penelitian ini, maka dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan karya ilmiah yang asli, apabila ternyata dikemudian hari ditemukan judul yang sama, maka dapat dipertanggung jawabkan sepenuhnya.

E. Tinjauan Pustaka

Pasal 1 angka 1 UUK dan PKPU, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan pewaralaba Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini“.8

Syarat-syarat yuridis agar debitur dapat dinyatakan pailit adalah sebagai berikut:9

1. Adanya utang; debitur yang mempunyai dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih krediturnya;

8

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Pasal 1 angka 1.

9

(16)

2. Minimal satu dari utang sudah jatuh tempo; 3. Minimal satu dari utang dapat ditagih; 4. Adanya kreditur dan kreditur lebih dari satu; 5. Pernyataan pailit dilakukan oleh pengadilan;

6. Permohonan pailit diajukan oleh pihak yang berwenang;

7. Syarat-syarat yuridis lainnya yang disebutkan dalam undang-undang kepailitan.

Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 mensyaratkan bahwa permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh pihak yang berwenang, bahkan panitera wajib tidak menerima permohonan pernyataan pailit apabila diajukan oleh pihak yang tidak berwenang. Berdasarkan Undang-undang Kepailitan, pihak-pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit antara lain:10

1. Debitur

Dalam setiap hal disyaratkan bahwa debitur mempunyai lebih dari satu orang kreditur, karena merasa tidak mampu atau sudah tidak dapat membayar utang-utangnya, dapat mengajukan permohonan pailit. Debitur harus membuktikan bahwa ia mempunyai dua atau lebih kreditur serta juga membuktikan bahwa ia tidak dapat membayar salah satu atau lebih utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih. Apabila debitur telah menikah, maka harus ada persetujuan pasanganya, karena hal ini menyangkut harta bersama, kecuali tidak ada pencampuran harta.

10

(17)

2. Kreditur

Dua orang kreditur atau lebih, baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama, dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit selama memenuhi syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang. Kreditur yang mengajukan permohonan pernyataan pailit bagi debitur harus memenuhi syarat bahwa hak tuntutannya terbukti secara sederhana atau pembuktian mengenai hak kreditur untuk menagih juga dilakukan secara sederhana.

3. Kejaksaan

Apabila permohonan pernyataan pailit mengandung unsur atau alasan untuk kepentingan umum maka, permohonan harus diajukan oleh Kejaksaan. Kepentingan umum yang dimaksud dalam undang-undang adalah kepentingan bangsa dan Negara dan/atau kepentingan masyarakat luas.

4. Bank Indonesia

Bank Indonesia adalah satu-satunya pihak yang dapat mengajukan permohonan pernyataan pailit jika debiturnya adalah bank. Pengajuan permohonan pernyataan pailit bagi bank sepenuhnya merupakan kewenangan Bank Indonesia dan semata-mata didasarkan atas penilaian kondisi keuangan dan kondisi perbankan secara keseluruhan, oleh karena itu tidak perlu dipertanggung jawabkan.

5. Badan Pengawas Pasar Modal

(18)

pasar modal, karena lembaga tersebut melakukan kegiatan yang berhubungan dengan dana masyarakat yang diinvestasikan dalam efek di bawah pengawasan badan pengawas pasar modal.

6. Menteri keuangan

Permohonan pernyataan pailit harus diajukan oleh Menteri Keuangan apabila debitur adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik.

Akibat hukum kepailitan adalah:11

1. Kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan. Debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan.

2. Perjanjian timbal balik yang belum atau baru sebagian dipenuhi, pihak yang mengadakan perjanjian dengan debitur dapat meminta kepada kurator untuk memberikan kepastian tentang kelanjutan pelaksanaan perjanjian tersebut dalam jangka waktu yang disepakati oleh kurator dan pihak tersebut.

Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan pengertian waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan

11

(19)

dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba.12

Perjanjian waralaba mengenal dua pihak yaitu:13

1. Pemberi waralaba/pewaralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba.

2. Penerima waralaba/terwaralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh pemberi waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba.

Waralaba terbagi atas beberapa bentuk, yaitu :14 1. Product franchise

Suatu bentuk waralaba dimana terwaralaba hanya bertindak mendistribusikan produk dari partnernya dengan pembatasan areal.

2. Processing or manufacturing franchise

Jenis waralaba ini memberikan hak pada suatu badan usaha untuk membuat suatu produk dan menjualnya pada masyarakat, dengan menggunakan merek dagang dan merek pewaralaba. Jenis waralaba ini seringkali ditemukan dalam industri makanan dan minuman.

12

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 Tentang Waralaba Pasal 1.

13

Ibid.

14

(20)

3. Bussiness format atau sistem waralaba

Pewaralaba memiliki cara yang unik dalam menyajikan produk dalam satu paket, seperti yang dilakukan oleh McDonald’s dengan membuat variasi produknya dalam bentuk paket.

4. Group trading franchise

Bentuk waralaba yang menunjuk pada pemberian hak mengelola toko-toko grosir maupun pengecer yang dilakukan toko serba ada.

Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut:15 a. Memiliki ciri khas usaha;

b. Terbukti sudah memberikan keuntungan;

c. Memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis;

d. Mudah diajarkan dan diaplikasikan;

e. Adanya dukungan yang berkesinambungan; dan f. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar.

Perjanjian waralaba merupakan kesepakatan tertulis yang dibuat antara pewaralaba dan terwaralaba untuk melindungi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Selain itu, perjanjian waralaba juga diperlukan sebagai salah satu syarat administratif bagi terwaralaba untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) sebagai bukti sebuah perusahaan terwaralaba.

F. Metode Penulisan

Untuk mendapatkan data yang valid dan akurat penelitian harus dilakukan secara sistematis dan teratur, sehingga metode yang dipakai sangatlah menentukan. Metode penelitian yaitu urutan-urutan bagaimana penelitian ini dilakukan.

15

(21)

Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini dapat dijelaskan sebagai berikut:

1. Spesifikasi penelitian

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif terutama dilakukan untuk penelitian norma hukum. Dalam pengertian ilmu hukum sebagai ilmu tentang kaidah yang perumusannya secara otonom tanpa dikaitkan dengan masyarakat.16

Penelitian ini bersifat deskriptif. Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran yang lengkap dan secara jelas tentang permasalahan yang terdapat pada masyarakat dan dapat dikaitkan dengan ketentuan-ketentuan atau peraturan-peraturan hukum yang berlaku. Adapun metode pendekatan penelitian yang dipakai adalah pendekatan yuridis.

2. Data penelitian

Mencapai tujuan untuk melengkapi materi skripsi, maka dicari dan diambil bahan penelitian melalui data sekunder. Adapun data-data sekunder yang dimaksud adalah sebagai berikut:

a. Bahan hukum primer, yaitu berbagai dokumen perundang-undangan yang tertulis yang ada dalam dunia hukum bisnis antara lain, Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1995 tentang Usaha Kecil, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 1999 tentang pengecualian Waralaba, Undang-Undang Republik

16

Edy Ikhsan dan Mahmul Siregar, Metode Penelitian dan Penulisan Hukum Sebagai

(22)

Indonesia Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, serta Peraturan Perundang-Undangan lain dibawah undang-undang.

b. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang memiliki hubungan dengan badan hukum primer dan dapat digunakan untuk menganalisis dan memahami bahan hukum primer yang ada. Semua dokumen yang dapat menjadi sumber informasi mengenai kepailitan, seperti hasil seminar atau makalah-makalah dari pakar hukum, koran, majalah.

c. Bahan hukum tersier, yaitu mencakup kamus bahasa untuk pembenahan tata bahasa Indonesia dan juga sebagai alat bantu pengalih bahasa beberapa istilah asing serta sumber-sumber lain yakni, internet yang memiliki kaitan erat dengan permasalahan yang dibahas.

3. Teknik pengumpulan data

Bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder dikumpulkan dengan melakukan penelitian kepustakaan atau yang lebih dikenal dengan studi kepustakaan. Penelitian kepustakaan dilakukan dengan cara mengumpulkan data yang terdapat dalam buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, majalah, surat kabar, hasil seminar, dan sumber-sumber lain yang terkait dengan sumber masalah yang dibahas dalam skripsi ini.

4. Analisis data

(23)

kebenarannya kemudian dihubungkan dengan teori yang diperoleh dari penelitian kepustakaan sehingga diperoleh jawaba atas permasalahan yang diajukan.

G. Sistematika Penulisan

Pembahasan dan penyajian suatu penelitian haruslah melalui sistematika yang benar agar menghasilkan karya ilmiah yang baik. Oleh karena itu, penulis membagi tulisan ini dalam beberapa bab yang saling berkaitan satu dengan yang lainnya.

Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini mengemukakan tentang latar belakang, perumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penelitian, dan sistematika penulisan. BAB II WARALABA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK SISTEM

BISNIS DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

Bab ini menjelaskan tentang waralaba sebagai bentuk sistem bisnis dan pengaturan waralaba dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007.

(24)

Bab ini menjelaskan tentang syarat dan prosedur kepailitan serta akibat yang timbul ketika pewaralaba mengalami pailit ditinjau dari sisi perjanjian waralaba dan berakhirnya kepailitan.

BAB IV AKIBAT KEPAILITAN PEWARALABA TERHADAP PERJANJIAN WARALABA DALAM INDUSTRI MAKANAN Bab ini menjelaskan tentang karakteristik industri makanan pada umumnya, akibat hukum kepailitan pewaralaba terhadap perjanjian waralaba serta bentuk perlindungan hukum bagi terwaralaba dalam menjaga kelangsungan usaha dalam bidang industri makanan BAB V PENUTUP

(25)

BAB II

WARALABA SEBAGAI SALAH SATU BENTUK SISTEM BISNIS DALAM HUKUM POSITIF DI INDONESIA

A. Waralaba Sebagai Suatu Bentuk Perjanjian

Usaha waralaba/franchise pertama kali dikenal di Amerika Serikat yaitu kurang lebih satu abad yang lalu ketika perusahaan bir memberikan lisensi kepada perusahaan-perusahaan kecil untuk mendistribusikan bir produksi pabrik yang bersangkutan. Di indonesia, sistem bisnis dengan waralaba mulai berkembang sejak tahun 1980-an dan hingga sekarang sudah berkembang dengan pesat. Waralaba asing juga telah banyak yang masuk ke indonesia, baik dalam perdagangan barang dan jasa. Selain itu beberapa pengusaha indonesia sudah mulai mengembangkan usaha waralaba lokal, seperti Q-tela, Es Teler 77, Salon Rudi Hardisuwarno, Steak Kimos Modern.17

Bisnis waralaba sangat diminati oleh para pengusaha karena prosedur yang mudah, tidak berbelit-belit dan sebagai bisnis efisien yang dapat dijalankan serta dikembangkan oleh siapa saja karena pemasaran usaha yang telah dikenal luas dalam masyarakat. Waralaba saat ini lebih didominasi oleh waralaba rumah makan siap saji. Kecenderungan ini dimulai pada tahun 1919 ketika A&W Root Beer membuka restoran cepat sajinya. Pada tahun 1935, Howard Deering Johnson bekerjasama dengan Reginald Sprague untuk memonopoli usaha restoran modern. Gagasan mereka adalah membiarkan rekanan mereka untuk mandiri

17

http://justitia87.blogspot.com/2009/12/perjanjian-franchise.html. (diakses pada 01 maret 2015).

(26)

menggunakan nama yang sama, makanan, persediaan, logo, bahkan membangun desain sebagai pertukaran dengan suatu pembayaran. Dalam perkembangannya, sistem bisnis ini mengalami berbagai penyempurnaan terutama pada tahun l950-an yl950-ang kemudil950-an dikenal menjadi waralaba sebagai format bisnis (business format) atau sering pula disebut sebagai waralaba generasi kedua.18

Pengertian waralaba menurut PP No. 42 Tahun 2007 dalam Pasal 1 angka 1 yaitu :19

“Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau

badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian

waralaba.”

Berdasarkan ketentuan tersebut, pengertian waralaba adalah hak untuk menjual produk atau jasa milik pewaralaba oleh terwaralaba, dimana dalam waralaba terdapat dua subjek hukum yakni, pewaralaba (Franchisor) dan terwaralaba (Franchisee). Pemilik atau penerima waralaba tersebut dapat merupakan badan hukum atau pribadi. Sistem usaha waralaba dikenal para pihak yaitu :20

1. Pewaralaba adalah badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektualatau penemuan atau ciri khas usaha yang dimilikinya.

18

http://zehanwidiastuti.wordpress.com (diakses pada 24 Maret 2015).

19

Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Bab I, Pasal 1.

20

(27)

2. Terwaralaba adalah badan usaha atau perorangan yang diberikan hak untuk memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang dimiliki pewaralaba.

Beberapa bidang usaha yang menggunakan sistem waralaba di Indonesia adalah :21

1. Automotive

Meliputi Franchise Automotive and Carwash (otomotif dan cuci mobil) 2. Computers

Meliputi Computer things and Internet café (komputer dan warung internet/warnet)

3. Education

Course and education Facility (pendidikan, kursus) 4. Entertainment

Entertainment and fun, Meliputi entertainment franchise, family recreation franchise, movie rental franchise, family karaoke franchise

5. Fashion

Meliputi Fashion, apparel, shoes and Jewerly (Mode, pakaian jadi, sepatu dan perhiasan)

6. Fitness and sports

Meliputi Fitness, Sports Equipment (kebugaran dan alat-alat olahraga)

21

(28)

7. Fast food and Bakery

Yang meliputi fast food franchise, pizza franchise, burger, bakery, and cake franchise (waralaba makanan siap saji, waralaba pizza, burger, roti, dan kue) 8. Restaurant and café

Meliputi restorant, café outlet, steak house (restoran/rumah makan, kafe, dan bistik)

9. Medical store

Meliputi medical store franchise and health (apotik dan rumah sakit) 10.Spa, salon and beauty

Meliputi Spa and beauty shop, salon, body care, skin centre franchise 11.Real estate and property

Meliputi property and real estate broker, apartement, real estate dealer franchise

12.Laundry services

Meliputi dry cleaning franchise 13.Tour and travel

Meliputi tour-travel agent, travel and ticketing services, honeymoon and romantic gateway franchise

14.Retail, outlet and minimart

Meliputi consumer goods, retail chain store, outlet, supermarket and mini market franchise

15.Photography

(29)

Berdasarkan Pasal 1313 KUH Perdata, pengertian perjanjian adalah:

“suatu perjanjian adalah suatu perbuatan dengan mana satu orang atau

lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau lebih.”

R. Subekti menyatakan bahwa perikatan merupakan suatu pengertian abstrak, sedangkan perjanjian adalah suatu peristiwa hukum yang konkrit.22 Berdasarkan ketentuan tersebut, setiap perjanjian waralaba bentuknya wajib untuk dibuat secara tertulis oleh para pihak. Eksistensi dari perjanjian waralaba adalah sebuah perjanjian innominaat yang merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh, dan berkembang karena adanya kebebasan berkontrak sebagaimana yang tercantum di dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Meskipun hukum kontrak innominaat diatur di dalam Buku III KUH Perdata, Pasal 1319 KUH Perdata menegaskan bahwa:23

“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus maupun yang

tidak terkenal dengan suatu nama tertentu tunduk pada peraturan-peraturan

umum, yang termuat di dalam bab ini dan bab yang lalu.”

Membahas suatu perjanjian waralaba tidak terlepas dari ketentuan mengenai syarat sah suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yaitu:24

1. Kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya; 2. Kecakapan untuk membuat suatu perikatan; 3. Suatu pokok persoalan tertentu;

22

Kevin Kogin, Aspek Hukum Kontrak Waralaba Pada Kegiatan Usaha Jasa Makanan dan Minuman (Jakarta: PT. Tatanusa 2014), hlm. 34-35.

23

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Pasal 1319.

24

(30)

4. Suatu sebab yang tidak terlarang.

Keempat syarat sah suatu perjanjian tersebut telah terpenuhi, maka perjanjian tersebut menjadi undang-undang bagi mereka yang membuatnya dan tidak dapat ditarik kembali melainkan atas kesepakatan kedua belah pihak.

Perjanjian waralaba adalah suatu perjanjian yang diadakan antara pewaralaba/pemberi waralaba dengan terwaralaba/penerima waralaba dimana pihak pewaralaba memberikan hak kepada pihak penerima waralaba untuk memproduksi atau memasarkan barang (produk) dan/atau jasa (pelayanan) dalam waktu dan tempat tertentu yang disepakati di bawah pengawasan pewaralaba, sementara terwaralaba membayar sejumlah uang tertentu atas hak yang diperolehnya.25 Sehingga meskipun perjanjian waralaba merupakan perjanjian yang timbul, tumbuh dan berkembang di dalam praktik, perjanjian waralaba harus tetap tunduk pada Buku III KUH Perdata. Perjanjian waralaba merupakan perjanjian tertulis yang dibuat antara pewaralaba dan terwaralaba untuk melindungi hak dan kewajiban masing-masing pihak. Selain itu, perjanjian waralaba juga diperlukan sebagai salah satu syarat administratif bagi terwaralaba untuk mendapatkan Surat Tanda Pendaftaran Waralaba (STPW) sebagai bukti sebuah perusahaan terwaralaba (franchisee).26

Pada Lampiran Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/m-dag/per/8/2012 Tentang Penyelenggaraan Waralaba (selanjutnya

25

http://e-journal.kopertis4.or.id (diakses pada 07 Januari 2015).

26

(31)

disingkat Permendag No. 53/2012) disebutkan bahwa hal-hal yang harus dimuat dalam perjanjian waralaba sebagai berikut :27

1. Nama dan alamat para pihak, yaitu nama dan alamat jelas pemilik/penanggungjawab perusahaan yang mengadakan perjanjian yaitu pemberi waralaba dan penerima waralaba.

2. Jenis hak kekayaan interlektual, yaitu jenis hak kekayaan intelektual pemberi waralaba, seperti merek dan logo perusahaan, desain outlet/gerai, sistem manajemen/pemasaran atau racikan bumbu masakan yang diwaralabakan. 3. Kegiatan usaha, yaitu kegiatan usaha yang diperjanjikan seperti perdagangan

eceran/ritel, pendidikan, restoran, apotek atau bengkel.

4. Hak dan kewajiban pemberi waralaba dan penerima waralaba, yaitu hak yang dimiliki baik oleh pemberi waralaba maupun penerima waralaba, seperti: a. Pemberi waralaba berhak menerima fee atau royalty dari penerima

waralaba, dan selanjutnya pemberi waralaba berkewajiban memberikan pembinaan secara berkesinambungan kepada penerima waralaba.

b. Penerima waralaba berhak menggunakan hak kekayaan intelektual atau ciri khas usaha yang dimiliki pemberi waralaba, dan selanjutnya penerima waralaba berkewajiban menjaga kode etik/kerahasiaan HKI atau ciri khas usaha yang diberikan pemberi waralaba.

5. Bantuan, fasilitas, bimbingan operasional, pelatihan dan pemasaran yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba, seperti bantuan

27

(32)

fasilitas berupa penyediaan dan pemeliharaan komputer dan program IT pengelolaan kegiatan usaha.

6. Wilayah usaha, yaitu batasan wilayah yang diberikan pemberi waralaba kepada penerima waralaba untuk mengembangkan bisnis waralaba seperti; wilayah Sumatra, Jawa dan Bali atau di seluruh Indonesia.

7. Jangka waktu perjanjian, yaitu batasan waktu mulai dan berakhir perjanjian terhitung sejak surat perjanjian ditandatangani oleh kedua belah pihak.

8. Tata cara pembayaran imbalan, yaitu tata cara/ketentuan termasuk waktu dan cara perhitungan besarnya imbalan seperti fee atau royalty apabila disepakati dalam perjanjian yang menjadi tanggung jawab penerima waralaba.

9. Penyelesaian sengketa, yaitu penetapan tempat/lokasi penyelesaian sengketa, seperti melalui Pengadilan Negeri tempat/domisili perusahaan atau melalui Pengadilan, Arbitrase dengan mengunakan hukum Indonesia.

10.Tata cara perpanjangan, pengakhiran, dan pemutusan perjanjian seperti pemutusan perjanjian tidak dapat dilakukan secara sepihak, perjanjian berakhir dengan sendirinya apabila jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian telah berakhir. Perjanjian dapat diperpanjang kembali apabila dikehendaki oleh kedua belah pihak dengan ketentuan yang ditetapkan bersama.

(33)

12.Jumlah geraiyang akan dikelola oleh penerima waralaba.28

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42 Tahun 2007 juga menyebutkan bahwa waralaba diselenggarakan harus berdasarkan perjanjian tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia dan dalam hal perjanjian ditulis dalam bahasa asing, perjanjian tersebut harus diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia.29

Berdasarkan pengertian waralaba sebagaimana dikemukakan di atas, ada beberapa unsur dalam suatu perjanjian waralaba, yaitu:30

1. Adanya suatu perjanjian yang disepakati

Perjanjian waralaba dibuat oleh para pihak, yaitu pewaralaba dan terwaralaba, yang keduanya berkualifikasi sebagai subjek hukum, baik sebagai badan hukum maupun hanya sebagai perorangan.

a. Adanya pemberian hak dari pewaralaba kepada terwaralaba unttuk memproduksi dan memasarkan produk dan/atau jasa;

Dalam hal ini terwaralaba berhak menggunakan nama, cap dagang, dan logo milik pewaralaba yang sudah lebih dahulu dikenal dalam dunia perdagangan.

b. Pemberian hak tersebut terbatas pada waktu dan tempat tertentu;

Dalam hal pewaralaba memberi hak kepada terwaralaba untuk menggunakan nama, cap dagang, dan logo dari usahanya kepada

28

Lampiran II Peraturan Menteri Perdagangan Republik Indonesia Nomor 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba.

29

Republik Indonesia Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, Bab I, Pasal 6.

30

(34)

terwaralaba terbatas pada tempat dan waktu yang telah diperjanjikan dalam perjanjian waralaba yang telah mereka buat bersama.

c. Adanya pembayaran sejumlah uang tertentu dari terwaralaba kepada pewaralaba.

Pembayaran-pembayaran ini antara lain: pembayaran awal, pembayaran selama berlangsungnya waralaba, pembayaran atas pengoperan hak.

Biaya-biaya yang dikeluarkan untuk suatu bisnis waralaba di samping harus mempunyai syarat dan ketentuan, tetapi juga harus ditentukan secara jelas siapa yang harus menanggung biaya tersebut. Yaitu apakah pihak pewaralaba atau pihak terwaralaba yang merupakan pihak yang wajib membayar.

Adapun yang merupakan biaya dalam sistem waralaba yang wajib adalah sebagai berikut :31

1. Royalty

Merupakan pembayaran oleh pihak terwaralaba kepada pihak pewaralaba sebagai imbalan dari pemakaian hak waralaba oleh terwaralaba. Walaupun tidak tertutup kemungkinan pembayaran royalti ini pada suatu waktu dalam jumlah tertentu yang sebelumnya tidak diketahuinya. Akan tetapi, sistem yang lebih sering justru pembayaran franchise fee dengan memakai sistem persentase tertentu dari omzet penerima waralaba.

2. Franchise fee

Merupakan bayaran yang harus dilakukan oleh pihak terwaralaba/penerima waralaba kepada pihak pewaralaba/pemberi waralaba, yang

31

(35)

merupakan biaya waralaba, yang biasanya dilakukan dengan jumlah tertentu yang pasti dan dilakukan sekaligus dan hanya sekali saja. Dibayar hanya pada tahap saat perjanjian waralaba akan dimulai atau pada saat penandatanganan akta waralaba.

3. Direct Expenses

Ini merupakan biaya langsung yang harus dikeluarkan sehubungan dengan pembukaan/pengembangan suatu bisnis waralaba. Misalnya terhadap pemondokan pihak yang akan menjadi pelatih dan fee-nya, biaya pelatihan, dan biaya pada saat pembukaan. Dianjurkan agar biaya seperti tersebut di atas harus sudah ditentukan dengan jelas dalam kontrak waralaba itu sendiri.

4. Biaya Sewa

Meskipun kurang lazim, ada beberapa pewaralaba yang ikut juga menyediakan tempat bisnis, maka dalam hal yang demikian pihak terwaralaba harus membayar harga sewa tempat tersebut kepada pihak pewaralaba. Sebaiknya, biaya ini ditetapkan bersama secara tegas dari awal, agar tidak timbul masalah di kemudian hari.

5. Marketing and Advertising Fee

(36)

6. Assignment Fees

Yang dimaksud dengan assignment fees adalah biaya yang harus dibayar oleh pihak terwaralaba kepada pihak pewaralaba jika pihak terwaralaba tersebut mengalihkan bisnisnya kepada pihak lain, termasuk bisnis yang merupakan objeknya waralaba. Oleh pihak waralaba biaya tersebut dapat dimanfaatkan untuk kepentingan persiapan pembuatan perjanjian penyerahan, pelatihan pemegang waralaba yang baru, dan sebagainya.

Peraturan-peraturan yang berlaku pada perjanjian waralaba, sebelum adanya peraturan yang khusus untuk mengatur waralaba, yaitu sebagai berikut:32 1. Peraturan tentang perjanjian khususnya yang dijumpai pada Pasal 1320 Kitab

Undang-Undang Hukum Perdata, yaitu syarat-syarat sahnya suatu perjanjian dan Pasal 1338 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata tentang ketentuan yang dapat membenarkan tentang perjanjian waralaba;

2. Peraturan tentang hak milik intelektual, yaitu hak paten, merek, dan hak cipta; 3. Peraturan hukum tentang perpajakan, yaitu pajak pertambahan nilai dan pajak

penghasilan; serta

4. Peraturan hukum tentang ketenagakerjaan.

Pasal 1381 KUH Perdata menyebutkan tentang cara berakhirnya suatu perikatan yaitu:

“Perikatan-perikatan hapus karena pembayaran; karena penawaran

pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan; karena pembaharuan hutang; karena perjumpaan hutang atau kompensasi; karena

32

(37)

percampuran hutang; karena pembebasan hutangnya; karena musnahnya barang yang terhutang; karena kebatalan atau pembatalan; karena berlakunya syarat batal, yang diatur dalam Bab I buku ini; karena lewatnya waktu.”

Disamping hapusnya perjanjian tersebut, sebab lain berakhirnya perjanjian yaitu:33

1. Jangka waktu yang ditentukan dalam perjanjian tersebut telah berakhir, 2. Adanya persetujuan dari para pihak untuk mengakhiri perjanjian tersebut, 3. Ditentukan oleh undang-undang, misalnya perjanjian akan berakhir dengan

meninggalnya salah satu pihak beserta perjanjian tersebut 4. Adanya putusan hakim

5. Tujuan yang dimaksud dalam perjanjian telah tercapai.

Dalam pembentukan perjanjian waralaba, ada beberapa faktor penting yang diperhatikan, antara lain:34

1. Mitra pasif (silent partners)

Yang dimaksudkan dengan mitra pasif dalam hal ini adalah terwaralaba lainnya dan pihak konsumen. Terwaralaba lain harus dipertimbangkan karena mereka tentu menginginkan perlakuan yang sama, disamping itu juga memperhatikan pihak konsumen, Karena pewaralaba mempunyai kewajiban yang harus dipenuhi pihak ketiga. Dengan demikian, walaupun suatu kesepakatan kerja sama adalah antara dua pihak yang bersepakat, namun dalam isi kesepakatan tersebut paling tidak terdapat dua pihak lain yang terkena pula dampaknya yaitu pihak terwaralaba lainnya dan pihak konsumen maupun masyarakat pada

33

Juajir Sumardi, Op.Cit., hlm. 43.

34

(38)

umumnya. Dalam hal ini, konsumen atau masyarakat pada umumnya mengharapkan adanya produk atau jasa yang konsisten/standar yang diterimanya di tempat lain.

2. Pemeliharaan standar

Sistem waralaba hanya akan berjalan dengan baik jika seluruh terwaralaba memelihara sistem yang telah dibuat oleh pewaralaba.

3. Hubungan jangka panjang

Berbeda dengan dealership maupun distributorship yang ada saat ini kerja sama waralaba di Indonesia pada umumnya berlaku untuk jangka panjang, biasanya antara lima sampai sepuluh tahun. Kerjasama di bidang bisnis waralaba biasanya berlaku lima sampai sepuluh tahun. Apabila jangka waktu itu telah dilampaui, pewaralaba akan meninjau kembali hubungan kerjasama itu dan juga terwaralaba seringkali berkeinginan untuk dapat terus memelihara serta memperbaharui hubungan kerjasama bisnis waralaba tersebut.35

4. Segi komersial

Perjanjian waralaba sebaiknya mencerminkan keadaan sesungguhnya dari sistem waralaba, sehingga dengan demikian terdapat hubungan yang berkaitan dengan operasional sehari-hari.

5. Pedoman operasional (operation manual)

Hal yang tidak disebutkan di dalam perjanjian, biasanya dicantumkan secara terperinci dalam suatu pedoman tentang pengoperasian suatu usaha waralaba.

35

Johannes Ibrahim & Lindawaty Sewu, Hukum Bisnis Dalam Perspektif Manusia

(39)

6. Keadaan mendesak (contingencies)

Tidak mungkin untuk mencakup semua keadaan, tetapi setidaknya perjanjian waralaba dapat mengatasi beberapa keadaan yang mendesak, misalnya:

a. Meninggalnya pihak pewaralaba; b. Pemindahan lokasi;

c. Perubahan bauran produk;

d. Pemindahan sistem waralaba oleh pewaralaba, dan; e. Pemindahan usaha waralaba oleh terwaralaba.

Pengakhiran perjanjian waralaba dapat terjadi karena:36 1. Ditentukan dalam perjanjian oleh para pihak

Pihak dalam perjanjian waralaba menentukan bahwa perjanjian disepakati berlangsung selama tujuh tahun, maka setelah waktu tujuh tahun perjanjian akan berakhir.

2. Undang-undang menentukan batas berlakunya suatu perjanjian

Pewaralaba dan terwaralaba sepakat menjalankan bisnis waralaba dalam bidang makanan selama sepuluh tahun, tiba-tiba terwaralaba meninggal dunia. Undang-undang menentukan batas berlakunya perjanjian agar dilakukan pemenuhan kewajiban oleh ahli waris sebelum jangka waktu berakhirnya perjanjian yang ditetapkan oleh undang-undang.

36

(40)

3. Para pihak atau undang-undang dapat menentukan bahwa dengan terjadinya peristiwa tertentu.

Para pihak atau undang-undang memutuskan dalam keadaan tertentu dan dengan terjadinya peristiwa tertentu, maka perjanjian menjadi hapus dan perjanjian waralaba akan hapus jika salah satu pihak meninggal dunia.

4. Pernyataan menghentikan perjanjian oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak.

Misalnya, pewaralaba menyatakan bahwa perjanjian waralaba dengan terwaralaba dihentikan kerena terwaralaba dianggap tidak memenuhi target yang ditetapkan oleh pewaralaba dalam perjanjian yang telah disepakati bersama. 5. Perjanjian hapus karena putusan hakim

Misalnya, hakim memutuskan hapusnya suatu perjanjian waralaba karena diminta oleh salah satu pihak.

6. Tujuan perjanjian telah tercapai

Misalnya, para pihak sepakat bahwa perjanjian waralaba akan dilangsungkan selama lima belas tahun, setelah waktu tersebut maka dianggap tujuan dari bisnis tercapai sehingga terjadi pengkhiran perjanjian.

7. Dengan persetujuan para pihak

(41)

B. Hak dan Kewajiban Antara Pewaralaba dengan Terwaralaba dalam Perjanjian Waralaba

Kedudukan hukum para pihak dalam perjanjian waralaba yang berlaku di Indonesia adalah berdiri sendiri (independen contracts atau no agency) klausul ini menegaskan bahwa kedudukan dan hubungan hukum antara pewaralaba dengan terwaralaba bukanlah hubungan keagenan, joint venture, atau atasan bawahan. Pihak pewaralaba sebagai pihak yang memberikan bisnis waralaba dengan memiliki sistem/tata cara dalam menjalankan bisnis waralaba, sementara pihak terwaralaba merupakan pihak yang menerima/menjalankan bisnis waralaba tersebut dengan cara yang dikembangkan oleh pewaralaba.37

Keberhasilan usaha waralaba yang ditawarkan pewaralaba kepada terwaralaba, menjadikan terwaralaba langsung menjadi seorang pengusaha dengan memakai (menjalankan) suatu sistem usaha yang diberikan oleh pewaralaba melalui suatu perjanjian. Perjanjian antara pewaralaba dan terwaralaba berisi hak dan kewajiban masing-masing pihak sesuai dengan kesepakatan mereka. Asas kebebasan berkontrak merupakan salah satu dasar yang dipatuhi oleh masing-masing pihak. Akan tetapi karena suatu usaha waralaba adalah suatu sistem pemasaran yang vertikal di mana pewaralaba bersedia menyerahkan semua sistem usaha waralaba kepada terwaralaba, maka perjanjian usaha waralaba mencakup perjanjian lisensi (HAKI).

Perjanjian waralaba menetapkan pewaralaba dalam berbagai bentuk ketentuan-ketentuan persyaratan waralaba yang dimaksudkan untuk menjaga ciri khas usaha, standar pelayanan dan barang/jasa, dan HAKI. Berbagai persyaratan

37

(42)

perjanjian waralaba tersebut dalam prakteknya sering memuat klausul-klausul yang mengatur berbagai bentuk hambatan atau pembatasan terhadap terwaralaba sehingga dapat berpotensi menimbulkan praktek monopoli dan persaingan usaha tidak sehat.38

Ketika suatu perjanjian ditandatangani, dengan begitu para pihak telah sepakat dengan perjanjian tersebut, hal ini dikuatkan dalam Pasal 1338 KUH Perdata, yakni:

“Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang

bagi mereka yang membuatnya. Suatu perjanjian tidak dapat ditarik kembali selain dengan sepakat kedua belah pihak, atau karena alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan

itikad baik.”

Perjanjian waralaba harus mempunyai syarat-syarat sebagai berikut:39 1. Kesepakatan kerja sama waralaba tertuang dalam perjanjian waralaba yang

disahkan secara hukum

2. Kesepakatan kerja sama ini menjelaskan secara rinci semua hak, kewajiban, dan tugas dari pewaralaba dan terwaralaba

3. Masing-masing pihak yang bersepakat sangat dianjurkan, bahkan untuk beberapa negara dijadikan syarat, mendapatkan nasihat dari ahli hukum yang berkompeten untuk memahami isi dari perjanjian tersebut dan dengan waktu yang dianggap cukup untuk memahaminya.

38

Republik Indonesia, Undang-Undang Negara Nomor 5 Tahun 1999 Pedoman Pasal 50b tentang pengecualian Waralaba

39

(43)

Setelah perjanjian ditandatangani oleh para pihak, sejak saat itulah perjanjian waralaba mulai berlaku terutama dalam hal hak dan kewajiban para pihak. Adanya penawaran dalam bentuk paket usaha dari pewaralaba, adanya kerja sama dalam bentuk pengelolaan unit usaha tertentu (outlet) oleh pihak terwaralaba yang akan memanfaatkan paket usaha milik pihak pewaralaba, dan terdapat kontrak tertulis berupa perjanjian baku antara pihak pewaralaba dengan pihak terwaralaba. Dalam perjanjian waralaba telah memuat ketentuan terkait kerja sama ini, dan menjelaskan secara rinci semua hak, kewajiban dan tugas antara pewaralaba dan terwaralaba.40

Secara garis besar dalam perjanjian waralaba memuat beberapa hal sebagai berikut:41

1. Hak yang eksklusif diberikan oleh pewaralaba kepada terwaralaba.

Hak yang diberikan tersebut meliputi antara lain penggunaan metode atau resep yang khusus, penggunaan merek dan atau nama dagang, jangka waktu hak tersebut dan perpanjangannya, serta pemilihan wilayah kegiatan dimana tempat beroperasinya usaha, pelatihan tenaga kerja, bantuan manajemen usaha, pelaksanaan operasional perusahaan, pengawasan daan evaluasi kinerja, pemberian manual pengoperasian, pengontrolan biaya, dan hak yang lain sehubungan dengan pembelian kebutuhan operasional.

2. Kewajiban dari terwaralaba sebagai imbalan atas hak yang diterima dan kegiatan yang dilakukan oleh pewaralaba.

40

Ibid.

41

(44)

Pada saat terwaralaba memulai usaha, maupun selama menjadi anggota dari sistem waralaba. Berupa seluruh mekanisme pembayaran oleh terwaralaba kepada pewaralaba misalnya: royalty, fee terwaralaba, initial assistance fee, dan biaya promosi.

3. Hal yang berkaitan dengan penjualan hak terwaralaba kepada pihak lain. Apabila terwaralaba tidak ingin meneruskan sendiri usaha tersebut dan ingin menjualnya kepada pihak lain, maka suatu tata cara perlu disepakati sebelumnya.

4. Hal yang berkaitan dengan pengakhiran perjanjian kerja sama dari masing-masing pihak.42

Subjek hukum dalam perjanjian waralaba, yaitu pewaralaba dan terwaralaba. Pewaralaba adalah perusahaan yang memberikan lisensi, baik berupa paten, merek perdagangan, merek jasa, maupun lainnya kepada terwaralaba. Sedangkan terwaralaba adalah perusahaan yang menerima lisensi dari pewaralaba. Disamping itu, ada dua pihak lainnya dalam perjanjian waralaba yang terkena dampak dari perjanjian ini adalah terwaralaba lain dalam sistem waralaba (franchising sistem) yang sama dan konsumen atau klien dari terwaralaba maupun masyarakat pada umumnya.

Objek dalam perjanjian waralaba adalah lisensi. Lisensi adalah izin yang diberikan oleh pewaralaba kepada terwaralaba. Ada dua kriteria lisensi sebagaimana dikemukakan oleh Dieter Plaff, yaitu tujuan ekonomis adalah apa yang hendak dicapai oleh lisensi itu sedangkan acuan yuridis adalah instrumen

42

(45)

hukum yang digunakan untuk mencapai tujuan tersebut.43 Berdasarkan kriteria tersebut, maka lisensi dibagi menjadi tiga macam, yaitu adalah sebagai berikut:44 1. Licence exchange contract

Yaitu perjanjian antara para pesaing yang bergerak dalam kegiatan yang sama atau memiliki hubungan yang erat, sehingga disebabkan masalah-masalah teknis, mereka tidak dapat melakukan kegiatan tanpa adanya pelanggaran hak-hak termasuk hak milik perindustrian dari pihak lain. Oleh pelanggaran hak masing-masing untuk mengadakan penuntutan terhadap perbuatan yang merupakan pelanggaran di bidang hak milik perindustrian tersebut. Di sini titik berat lisensi terletak pada pemberian izin ataupun pembayaran royalti.

2. Return contracts

Merupakan kebalikan dari bentuk perjanjian yang pertama yaitu perjanjian yang tampak luarnya saja sebagai perjanjian lisensi, namun sebenarnya bukan perjanjian lisensi dalam arti sebenarnya. Perjanjian tersebut semata-mata untuk tujuan penyelundupan pajak; dengan cara seolah-olah suatu cabang perusahaan di suatu negara tertentu membayar royalti kepada perusahaan induknya di negara lain.

3. Perjanjian lisensi dalam arti sebenarnya, tanpa camouflaging effects.

Kontrak yang dibuat oleh pihak pewaralaba dengan terwaralaba berlaku sebagai undang-undang bagi kedua belah pihak. Sejak penandatanganan kontrak antara kedua belah pihak akan menimbulkan hak dan kewajiban.

43

http://indradefi.wordpress.com (diakses pada 07 Januari 2015)

44

(46)

Kewajiban dari pihak pewaralaba adalah menyerahkan lisensi kepada terwaralaba. Hak dari pewaralaba adalah:45

1. Logo merek dagang (trade mark), nama dagang (trade name), dan nama baik/reputasi (goodwill) yang terkait dengan merek dan atau nama tersebut.

2. Format/pola usaha, yaitu sistem usaha yang terekam dalam bentuk buku pegangan (manual), yang sebagian isinya dalam rahasia usaha

3. Dalam kasus tertentu berupa rumus, resep, desain, dan program khusus 4. Hak cipta atas sebagian dari hal di atas bias dalam bentuk tertulis dan

tertulis dan terlindungi dalam undang-undang hak cipta.

Hak terwaralaba adalah menerima lisensi. Kewajiban terwaralaba adalah membayar royalti kepada pewaralaba dan menjaga kualitas barang dan jasa yang di waralaba.

Hal-hal yang berhak dimiliki terwaralaba yang harus tercantum dalam perjanjian waralaba sehingga perjanjian tersebut bersifat sebagai berikut:46

1. Suatu perjanjian yang dikuatkan oleh hukum (legal agreement)

2. Memberi kemungkinan pewaralaba untuk tetap memiliki hak atas nama dagang atau merek dagang, format/pola usaha, dan hal-hal khusus yang dikembangkannya untuk suksesnya usaha tersebut

3. Memberikan kemungkinan pewaralaba mengendalikan sistem usaha yang dilisensikannya

45

Ibid., hlm. 178.

46

(47)

4. Hak, kewajiban, dan tugas masing-masing pihak dapat diterima oleh terwaralaba.

D. Hambatan dalam Pelaksanaan Perjanjian Waralaba Sebagai Bentuk Sistem Bisnis

Perjanjian waralaba adalah dokumen krusial baik sebagai terwaralaba (penerima waralaba) maupun pewaralaba (pemberi waralaba). Dengan banyaknya jenis bisnis waralaba baru yang ditawarkan, seringkali pencari waralaba bingung, apakah harus memilih bisnis waralaba baru yang menawarkan berbagai fitur menarik dan inovatif, memilih bisnis waralaba yang telah berdiri lebih lama, tampak stabil, dan dalam fase maturity.47

Keunggulan sistem waralaba adalah sebagai berikut: 1. Expansion

Pihak pewaralaba memiliki akses permodalan untuk berbagi biaya dengan terwaralaba dengan resiko yang relatif lebih rendah.

2. Quick start

Pihak terwaralaba memperoleh kesempatan untuk memasuki sebuah bisnis baru dengan cara cepat.

3. Training

Selama menjalankan bisnis waralaba, terwaralaba akan menerima bantuan manajerial secara berkala dalam hal pemilihan lokasi bisnis, desain fasilitas, prosedur operasional, pembelian, pemasaran dari pewaralaba.

47

(48)

Kekurangan sistem waralaba bagi terwaralaba adalah:48 1. Control

Sistem waralaba tidak memberikan kebebasan penuh kepada terwaralaba karena terwaralaba terikat perjanjian harus mengikuti sistem dan metode yang telah dibuat oleh pewaralaba.

2. Price

Membeli bisnis waralaba memerlukan investasi relatif besar, bahkan terwaralaba sering kali tidak punya pilihan untuk mengurangi biaya. Disamping lokasi, terwaralaba harus pula membayar terwaralaba fee, royalty, dan kontribusi promosi kepada pewaralaba serta memodifikasi kontrak dari waktu ke waktu. Walaupun resiko gagal rendah, tetapi untuk dapat melancarkan bisnis ini, perlu kecermatan dan kehati-hatian dalam memilih pewaralaba dan jenis usahanya. 3. Conflict

Adanya resiko pewaralaba melanggar perjanjian yang telah disepakati dengan suatu alasan. Apabila terwaralaba tidak membekali dirinya dengan pengetahuan yang cukup sebelum bergabung dalam bisnis waralaba, maka terwaralaba akan mudah percaya dengan janji-janji pewaralaba tanpa melakukan investigasi kepada terwaralaba lain di bawah naungan pewaralaba yang sama. Dalam kondisi seperti ini ada peluang bagi pewaralaba yang tidak kooperatif untuk menguntungkan satu pihak saja.

48

(49)

Pertimbangan yang sebaiknya dilakukan sebelum perjanjian ditanda-tangani adalah:49

1. Sengketa antara pewaralaba dan terwaralaba sebagian besar disebabkan dari ketidakjelasan perjanjian antara kedua belah pihak.

2. Terwaralaba akan berada pada posisi lemah jika telah mengeluarkan sejumlah uang, seperti membayar sewa dan membeli peralatan sebelum menandatangani perjanjian.

3. Isi perjanjian akan menentukan tingkat hasil bisnis terwaralaba, namun terwaralaba harus fokus pada biaya-biaya yang menjadi kewajiban terwaralaba kepada pewaralaba. Untuk biaya yang ditentukan dalam bentuk persentase, tentukan besarnya di awal perjanjian, hindari kalimat-kalimat “akan

ditentukan kemudian”, dst. Ilustrasi penawaran tidak memiliki kekuatan

hukum dan hanya sebagai alat pemasaran saja.

4. Disamping biaya, pos pendapatan juga harus diperhatikan, misalnya pendapatan lain-lain seperti sewa dan pembagiannya.

Perjanjian waralaba delapan hal yang harus diperhatikan dan harus dicantumkan pada perjanjian, yakni :

1. Jangka waktu perjanjian

Jangka waktu dalam perjanjian harus memuat berapa lama perjanjian berlangsung, cara memperbaharuinya dan persyaratan yang diajukan.

49

(50)

2. Teritorial (territory)

Adalah area (territorial) yang berlaku dalam perjanjian, apakah hanya satu kota atau kota lain bahkan negara lain. Apakah diberikan hak eksklusif untuk suatu area atau terdapat terwaralaba lainnya dalam teritori tersebut.

3. Hak dan kewajiban

Idealnya posisi antara terwaralaba dan pewaralaba adalah seimbang. Namun dalam prakteknya kondisi ini sulit diperoleh. Terwaralaba biasanya berada sedikit dibawah pewaralaba. Hak dan kewajiban masing-masing harus dinyatakan secara tertulis di perjanjian. Jika terdapat asuransi-asuransi yang dibutuhkan harus dinyatakan dengan tegas pihak yang menanggung. Bagian ini perlu dicermati karena mayoritas sengketa bermula dari sini.

4. Hak kekayaan Intelektual

Ini terkait dengan merek yang digunakan dan bagaimana perlakuannya. Jika terdapat goodwill harus dinyatakan bagaimana perlakuannya. Penting juga dinyatakan jika pewaralaba adalah pemegang master waralaba, bagaiman perlakuannya jika hak master waralaba dari pewaralaba utama tersebut berakhir. 5. Biaya-biaya (fee)

(51)

6. Dukungan (support) dari pewaralaba

Perjanjian-perjanjian harus memuat secara tegas dukungan yang dijanjikan oleh pewaralaba. Dukungan-dukungan tersebut memuat diantaranya tidak terbatas pada:

a. Dukungan sebelum memulai bisnis, seperti perijinan, pemilihan lokasi, riset awal, desain took, pencarian peralatan (equipment), rekutmen

b. Dukungan operasional, meliputi teknologi informasi, jaminan pasokan barang/jasa, asuransi, standard operation and procedure (SOP), regular training, riset pasar, administrasi serta laporan-laporan. Tentukan jadwal atau tanggal-tanggal dukungan itu dapatt dipenuhi oleh pewaralaba.

c. Dukungan umum (general support), meliputi bantuan hukum, perpajakan. 7. Batasan-batasan (Restriction)

Mengingat waralaba lebih sebagai duplikasi bisnis, maka dalam operasinya harus berdasarkan SOP (standard operation and procedure) dari pewaralaba. Bagian ini harus memuat secara tegas apa yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Contoh, apakah terwaralaba diperbolehkan menentukan harga berbeda, diperbolehkan memiliki bisnis serupa, larangan menjalankan bisnis sejenis setelah berakhirnya perjanjian, pasokan diperoleh, apakah semuanya dari pewaralaba, atau diperbolehkan dari supplier lain. Apakah terdapat jaminan pasokan dari pewaralaba.

8. Exit strategy

(52)

strategy ini juga sebaiknya menjelaskan apakah terwaralaba diperbolehkan menjual/mengalihkan waralaba yang telah dibeli karena alasan-alasan tertentu seperti kesulitan keuangan.

Hambatan-hambatan yang muncul dalam melakukan perlindungan hukum terhadap terwaralaba, yaitu :50

1. Mengenai Pajak atas royalti (PPn) selama ini menjadi beban terwaralaba, sedangkan royalti yang diterima oleh pewaralaba adalah nilai bersih dari gross sales.

2. Pengenaan royalti umumnya didasarkan pada gross sales, namun demikian pada perjanjian waralaba Indonesia didasarkan pada gross income sedangkan pada perjanjian waralaba asing menggunakan dasar gross sales dan adanya kewajiban pembayaran fee-fee lainnya sebagaimana ditentukan oleh pewaralaba antara lain seperti advertising fee, training fee, dan management service fee.

3. Program pelatihan yang tertuang dalam perjanjian waralaba Indonesia tidak diatur secara tegas bentuk dan waktunya berbeda halnya dengan di sebagian perjanjian waralaba asing.

Berbagai faktor yang menyebabkan seorang terwaralaba menemui kegagalan dalam bisnis waralaba, antara lain:

1. Penyerahan modal yang cukup tinggi

Waralaba pada produk tertentu, terwaralaba harus menyerahkan moda

Referensi

Dokumen terkait

Dalam Pasal 1 angka 6 UUK-PKPU dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan utang dalam hukum kepailitan adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik

(1) Apabila sebagian atau seluruh rekomendasi tidak dapat dilaksanakan dalam jangka waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), Pejabat wajib memberikan alasan yang sah.

Pendidikan seorang anak adalah sebuah tanggung jawab bersama. Setiap anak adalah bibit yang harus diberi stimulus pofitif dari lingkungan agar dapat tumbuh dengan baik.

The results of this study showed that the estimated value which was generated by using the indirect estimation had a smaller value when it was compared with the predicted value

berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku pada pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum,.. kecuali yang telah diatur

Pada pendapat saya, penyata kewangan ini memberi gambaran yang benar dan saksama terhadap kedudukan kewangan Akaun Kumpulan Wang Simpanan Pekerja (Kanan), Majlis Bandaraya Ipoh pada

Dari permasalahan tersebut sehingga timbul pertanyaan penelitian, bagaimana kondisi tingkat pelayanan jalan Mayjend Sungkono pada saat ini (eksisting), dan seberapa besar

a) Untuk mengetahui sejauh mana pengaruh yang signifikan dan positif pada variabel sikap terhadap fashion (attitude toward product) terhadap keputusan membeli (behavior). b)