• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS PRINSIP COMMERCIAL EXIT FROM FINANCIAL DISTRESS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS YURIDIS PRINSIP COMMERCIAL EXIT FROM FINANCIAL DISTRESS"

Copied!
119
0
0

Teks penuh

(1)

NO.48/PDT.SUS.PAILIT/2014/PN.NIAGA.JKT.PST)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara

Oleh:

ELYAS FRANKLIN HASIHOLAN SIMANJUNTAK NIM. 140200312

DEPARTEMEN HUKUM EKONOMI

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)
(3)

Kristus atas kasih dan penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan setiap proses perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Dalam Putusan Pailit PT. Mandala

Airlines (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga Nomor 48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST)”,yang ditujukan untuk melengkapi dan memenuhi tugas dan syarat untuk meraih gelar Sarjana Hukum di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Pada kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya kepada Ibunda, Christy Rondang Gustina Panjaitan yang tanpa pamrih telah membesarkan dan mendidik penulis, serta selalu mengingatkan penulis untuk melaksanakan nilai-nilai yang telah diajarkan oleh mendiang Ayahanda, dr.Mian Libertus Simanjuntak,Sp.PD., sehingga penulis mampu menyelesaikan perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Selama masa perkuliahan sampai penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga pada kesempatan ini penulis juga ingin mengucapkan rasa terima kasih kepada:

1. Bapak Prof. Dr. Runtung Sitepu, SH., M.Hum., selaku Rektor Universitas SumateraUtara;

2. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH., M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara;

(4)

4. Ibu Puspa Melati Hasibuan, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara;

5. Bapak Dr. Jelly Leviza, SH., M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

6. Bapak Prof. Dr. Bismar Nasution, SH., M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara;

7. Ibu Prof.Dr.Sunarmi,S.H.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing I yang telah memberikan dukungan, bimbingan, dan masukan terhadap penulisan skripsi ini;

8. Ibu Tri Murti Lubis, SH., M.H., selaku Sekretaris Departemen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara dan Dosen Pembimbing II yang telah memberikan dukungan, bimbingan, dan masukan terhadap penulisan skripsi ini;

9. Bapak dan Ibu Dosen Hukum Ekonomi Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Bapak dan Ibu Dosen, selaku staf pengajar serta administrasi Fakultas Hukum Universitas SumateraUtara;

10. Saudara-saudara penulis: Kakak Elizabeth Dumora O.

Simanjuntak,S.H.,M.H. dan Lae Christoffel Sigalingging,S.H., Kakak Inggrid Tabitha D. Simanjuntak,S.S., Kakak Priscilla Debora R.

Simanjuntak,S.Psi., keponakan penulis, Levia Pascha Felicia Sigalingging dan seluruh keluarga besar yang selalu memberikan kebahagiaan kepada penulis;

(5)

kalian berikan;

12. Kelompok Kecil “Gavrilla”: Kakak PKK Anggis Tiyana Situngkir, Rigta Yudiyansi Ginting, Nadya Primaasha Brahmana Sembiring, Rodo Venecia Pandiangan dan Farida Panjaitan. Terima kasih juga kepada seluruh teman- teman UKM KMK USU UP FH yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu;

13. Keluarga besar Meriam Debating Club Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara (MDC FH USU). Terima kasih kepada coach periode 2014- 2015: Bang Tri Yanto Yeremia Siagian, Kak Ika Khairunisa, Bang Maslon, Kak Natasya, dan Kak Saidesi. Terima kasih kepada coach periode 2015- 2016: Kak Yola, Kak Esther, Kak Amalia, Kak Putri, Kak Saidibot, Kak Octry, Bang Carlos, Bang Efraim, dan Bang Anggi. Terima kasih kepada coach periode 2016-2017: Bang Irvin Sihombing, Kak Sarai Bangun, Kak Endah, dan Kak Egritha. Terima kasih buat rekan-rekan coach periode 2017-2018: Chessa Stefany Nainggolan, Khairin Ulyani Tarigan, Mulana Bona Manik, dan Franklin Silalahi. Serta kepada seluruh senior coach dan cannoner (anggota) MDC FH USU, semoga MDC semakin berjaya dan terus memperjuangkan nama baik almamater FH-USU;

14. Rekan-rekan penulis selama menjadi delegasi FH USU untuk kompetisi debat nasional: Delegasi Diponegoro Law Fair 2015, Bang Irvin Sihombing, Kak Endah Sundari, dan official Bang Immanuel Carlos. Delegasi UIN Law Fair 2016, Arif Sanjaya, Anterofadil Lase, dan official Kak Sarai Dwi

(6)

penulis menjadi delegasi.

15. Tim Klinis Pidana, Klinis Perdata, dan Klinis PTUN: Nadya Primaasha, Chessa Stefany, Ruth Secylia, Khairin Tarigan, Chyntia Hasibuan, Nanda Gultom, Rigta Ginting, Mulana Bona, dan Kristian Hutasoit.

16. Kepada rekan-rekan Ikatan Mahasiswa Hukum Ekonomi (IMAHMI) Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, rekan-rekan calonSH.com, rekan-rekan Panita Natal FH USU 2017, dan teman-teman Grup B Angkatan 2014 Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

Penulis menyadari bahwa Skripsi ini masih belum sempurna, karena itu setiap kritik dan saran yang membangun akan sangat bermanfaat demi penulisan yang lebih baik di masa mendatang. Semoga Skripsi ini dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya mahasiswa hukum ekonomi dan memberikan kontribusi bagi perkembangan hukum ekonomi di Indonesia.

Medan, 20 April 2018

Penulis

(7)

Halaman HALAMAN JUDUL

HALAMAN PENGESAHAN

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... v

ABSTRAK ... viii

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Perumusan Masalah ... 7

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan ... 7

D. Keaslian Penulisan ... 8

E. Tinjauan Kepustakaan ... 8

F. Metode Penelitian ... 14

G. Sistematika Penulisan ... 15

BAB II TINJAUAN HUKUM KEPAILITAN DI INDONESIA ... 18

A. Pengertian Kepaililtan ... 18

1. Pengertian Pailit ... 18

2. Prinsip-Prinsip dalam Hukum Kepailitan ... 23

3. Tujuan dan Fungsi Hukum Kepailitan ... 36

B. Prosedur Permohonan Pailit ... 39

1. Syarat dan Tata Cara Pengajuan Permohonan Kepailitan.. 39

(8)

3. Akibat Pernyataan Pailit ... 47

C. Kewenangan Pengadilan Niaga dalam Memeriksa dan Mengadili Perkara Kepailitan ... 49

BAB III PRINSIP COMMERCIAL EXIT FROM FINANCIAL DISTRESS DALAM KEPAILITAN PERSEROAN TERBATAS ... 54

A. Financial Distress dan Kebangkrutan Perseroan Terbatas ... 54

1. Pengertian Financial Distress ... 54

2. Kebangkrutan Perseroan Terbatas ... 61

B. Kepailitan Perseroan Terbatas ... 63

1. Kedudukan dan Kewenangan Organ Perseroan Terbatas Dalam Kepailitan ... 63

2. Perbedaan Akibat Hukum Kepailitan Orang dengan Kepailitan Perseroan Terbatas ... 70

C. Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Dalam Hukum Kepailitan di Indonesia ... 73

BAB IV ANALISIS YURIDIS PENERAPAN PRINSIP COMMERCIAL EXIT FROM FINANCIAL DISTRESS DALAM PUTUSAN PAILIT PT.MANDALA AIRLINES (STUDI KASUS PUTUSAN PENGADILAN NIAGA NO.48/PDT.SUS.PAILIT/2014/PN.NIAGA.JKT.PST) ... 82

A. Kasus Posisi PT. Mandala Airlines ... 82

(9)

Putusan Pailit PT.Mandala Airlines ... 94

BAB V PENUTUP ... 101

A. Kesimpulan ... 101

B. Saran ... 104

DAFTAR PUSTAKA ... ix

(10)

No.48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST) Elyas Franklin Hasiholan Simanjuntak*

Prof. Dr. Sunarmi, SH., M.Hum**

Tri Murti Lubis, SH.,MH***

Terminologi kepailitan sering dianggap sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal dan cacat hukum atas subjek hukum, sehingga kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Padahal, di dalam kepailitan terdapat prinsip commercial exit from financial distress yaitu kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, salah satu caranya adalah dengan mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy). Prinsip commercial exit from financial distress merupakan prinsip yang ditemukan dalam kepailitan Perseroan Terbatas. PT.Mandala Airlines telah dinyatakan pailit melalui Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat No.48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST, dalil PT.Mandala Airlines dalam permohonan pailitnya adalah bahwa PT.Mandala Airlines mengalami kesulitan finansial (financial distress) yang berlarut-larut akibat begitu ketatnya persaingan usaha dalam kegiatan usaha angkutan udara niaga di Indonesia.

Yang akan dibahas dalam skripsi ini adalah pengaturan hukum kepailitan di Indonesia, pengaturan prinsip commercial exit from financial distress dalam kepailitan Perseroan Terbatas dan penerapan prinsip commercial exit from financial distress dalam Putusan Pailit PT.Mandala Airlines. Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian kepustakaan yang bersifat normatif yaitu penelitian dengan cara mengumpulkan data-data sekunder, yang merupakan bahan hukum primer, sekunder dan tersier melalui peraturan perundang-undangan, buku-buku, dan media elektronik/internet.

Berdasarkan hasil penelitian, prinsip commercial exit from financial distress tidak dianut oleh ketentuan kepailitan di Indonesia. Prinsip yang dianut dalam UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah kemudahan untuk mempailitkan subjek hukum yang berkaitan dengan debt collective proceeding. Padahal prinsip commercial exit from financial distress digunakan oleh PT.Mandala Airlines dalam mengajukan permohonan pailitnya, dalil utama permohonan pailit PT.Mandala Airlines adalah karena telah mengalami kesulitan finansial (financial distress) yang berlarut-larut akibat ketatnya persaingan usaha di Indonesia. Sehingga perlu dilakukannya perubahan atas Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 yang lebih mengakomodir kepailitan badan hukum khususnya Perseroan Terbatas.

Kata Kunci : Kepailitan, Commercial Exit From Financial Distress, PT.Mandala Airlines.

* Mahasiswa

** Dosen Pembimbing I

*** Dosen Pembimbing II

(11)

A. Latar Belakang

Terminologi kepailitan sering dipahami secara tidak tepat oleh kalangan umum. Kepailitan sering dianggap sebagai vonis yang berbau tindakan kriminal serta merupakan cacat hukum atas subjek hukum, sehingga kepailitan harus dijauhkan serta dihindari sebisa mungkin. Kepailitan secara apriori dianggap sebagai kegagalan yang disebabkan karena kesalahan dari debitor dalam menjalankan usahanya sehingga menyebabkan utang tidak mampu dibayar. Oleh karena itu, kepailitan sering diidentikkan sebagai pengemplangan utang atau penggelapan terhadap hak-hak yang seharusnya dibayarkan kepada kreditor.1

Menurut Levinthal, yang dikutip oleh Prof. Sutan Remy Sjahdeini, hukum kepailitan (bankruptcy law) memiliki tiga tujuan umum. Tujuan pertama, hukum kepailitan mengamankan dan membagi hasil penjualan harta milik Debitur secara adil kepada semua krediturnya. Tujuan kedua, adalah untuk mencegah agar Debitur yang insolven tidak merugikan kepentingan Krediturnya. Dengan kata lain, hukum kepailitan bukan saja memberikan perlindungan kepada Kreditur dari sesama Kreditur yang lain tetapi juga memberikan kepada Kreditur dari Debitur.

Tujuan ketiga dari hukum kepailitan adalah memberikan perlindungan kepada Debitur yang beritikad baik dari para Krediturnya.2

1 M.Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana, 2008), hal. 2.

2 Sutan Remy Sjahdeini, Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran, (Jakarta:Prenadamedia Group, 2016), hal. 4.

(12)

Kepailitan merupakan suatu jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari persoalan utang piutang yang menghimpit seorang debitor, diakibatkan debitor tersebut sudah tidak mempunyai kemampuan lagi untuk membayar utang- utang tersebut kepada para kreditornya. Keadaan tidak mampu membayar lazimnya disebabkan karena kesulitan kondisi keuangan (financial distress) dari usaha debitor yang telah mengalami kemunduran. Sehingga, bila keadaan ketidakmampuan untuk membayar kewajiban yang telah jatuh tempo tersebut disadari oleh debitor, maka langkah untuk mengajukan permohonan penetapan status pailit terhadap dirinya (voluntary petition for self bankruptcy) menjadi suatu langkah yang memungkinkan, atau penetapan status pailit oleh pengadilan terhadap debitor tersebut bila kemudian ditemukan bukti bahwa debitor tersebut memang telah tidak mampu lagi membayar utangnya yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih (involuntary petition for bankruptcy).3

Kepailitan merupakan putusan pengadilan yang mengakibatkan sita umum atas keseluruhan kekayaan debitor pailit, baik yang telah ada maupun yang akan ada di kemudian hari. Pengurusan dan pemberesan kepailitan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas dengan tujuan utama menggunakan hasil penjualan harta kekayaan tersebut untuk membayar seluruh utang debitor pailit tersebut secara proporsional (prorate parte) dan sesuai dengan struktur kreditor. Kepailitan merupakan pelaksanaan lebih lanjut dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorate parte dalam rezim hukum harta kekayaan (vermogensrechts). Prinsip paritas creditorium berarti bahwa semua kekayaan debitor baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak

3Op.Cit., hal. 2.

(13)

bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang-barang di kemudian hari yang akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor. Sedangkan prinsip pari passu prorate parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali apabila antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.4

Dalam konteks Indonesia, hukum kepailitan Indonesia dibuat sebagai pelaksanaan Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata. Apabila Debitor sudah insolven sehingga semua jumlah utang Debitor telah lebih besar daripada nilai semua asetnya, maka penjualan semua asetnya tidak akan mencukupi untuk melunasi semua utangnya kepada semua Kreditornya. Untuk menghindarkan para Kreditor berebutan saling mendahului menyita dan menjual aset Debitor, yaitu dalam rangka para Kreditor tersebut melaksanakan ketentuan mengenai hak perdatanya yang diatur dalam Pasal 1131 dan Pasal 1132 KUH Perdata, hukum perlu mengatur mengenai cara pembagian harta kekayaan Debitor di antara para Kreditornya.5

Dimensi keadilan dari proses kepailitan adalah terletak pada dilindunginya kepentingan dari kedua belah pihak baik para kreditor palit maupun debitor pailit.

Menurut M.Hadi Shubhan, pada prinsipnya kepailitan bukanlah alat penekan bagi debitor untuk memenuhi kepentingan kreditor ansich (pada dirinya sendiri). Pada prinsipnya, terdapat banyak aspek-aspek hukum yang juga memerhatikan kepentingan-kepentingan debitor yang pada akhirnya untuk meminimalisasi

4Ibid.

5 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit.

(14)

kerugian-kerugian terhadap harta kekayaan debitor. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dalam ketentuan masa tunggu (stay), ketentuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), ketentuan rehabilitasi, dan lain sebagainya.6

Perseroan Terbatas adalah pelaku utama dalam lalu lintas perekonomian.

Sebagai pelaku utama, maka perseroan terbatas memiliki peranan yang sangat penting untuk mengembangkan sektor perekonomian. Apabila perseoran terbatas mengalami permasalahan-permasalahan, maka berkaitan dengan peranannya tersebut akan cukup mempengaruhi perekonomian negara. Permasalahan- permasalahan itu antara lain adalah persoalan ketidakmampuan perseroan untuk meneruskan kegiatan usahanya. Ketidakmampuan perseroan dalam meneruskan usahanya akan memiliki implikasi yang luas seperti kemampuan untuk membayar kembali utang-utang perseroan, kemampuan untuk menghasilkan profit yang merupakan “darah” dari kehidupan dan keberlangsungan perseroan, serta kemampuan untuk mempertahankan eksistensi perseroan itu sendiri.7

Jika perseroan tidak dapat mengatasi problematika ketidakmampuan tersebut, maka akan berakibat keseimbangan neraca perusahaan yang pada akhirnya akan terjadi di mana pasiva perusahaan akan melebihi dari aktiva perusahaan. Keadaan ketidakseimbangan neraca perseroan tersebut secara teknis dapat dikatakan bahwa perseroan terbatas telah sampai pada suatu keadaan pailit.8

Secara prinsip bahwa kepailitan bukanlah semata sebuah upaya untuk mempermudah sebuah usaha baik itu milik perorangan maupun korporasi menjadi bangkrut, melainkan kepailitan adalah salah satu upaya untuk mengatasi kebangkrutan sebuah usaha. M.Hadi Shubhan mengutip pendapat Ricardo

6 M.Hadi Shubhan, Op.Cit., hal.59.

7Ibid., hal.60.

8Ibid.

(15)

Simanjuntak bahwa kepailitan khususnya corporate insolvency sebenarnya merupakan exit from financial distress, jadi merupakan suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit yang secara finansial sudah tidak bisa lagi terselesaikan.

Jadi terdapat suatu fakta bahwa telah ada suatu kewajiban yang secara teknis membuat perusahaan tersebut tidak mampu membayar, maka daripada ia berhubungan baik secara emosional maupun secara bisnis dengan setiap pihak- pihaknya, satu-satunya cara adalah ia akan meminta untuk dimohonkan pailit.

Status pemohon pailit akan membuat harta yang tersisa dibagikan dan ia akan keluar kembali kemudian membuat usaha yang baru.9

Prinsip commercial exit from financial distress dari kepailitan memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha.10

Melalui Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor:

48/PDT.SUS.PAILIT/2014/PN.NIAGA.JKT.PST. PT. Mandala Airlines, badan hukum perseroan terbatas yang menjalankan usaha dalam bidang angkutan udara niaga berjadwal telah dinyatakan pailit. Permohonan pailit diajukan sendiri oleh PT. Mandala Airlines melalui Direksinya yaitu Paul Rombeek pada tanggal 9 Desember 2014 diwakili oleh kuasa hukum yang ditunjuk yaitu Jakarta Legal Group. Dalil PT.Mandala Airlines dalam permohonan pailitnya adalah bahwa PT.Mandala Airlines mengalami kesulitan finansial yang berlarut-larut akibat begitu ketatnya persaingan usaha dalam kegiatan usaha angkutan udara niaga di

9Ibid., hal. 63.

10Ibid., hal.305.

(16)

Indonesia. Sebelumnya PT.Mandala Airlines pernah mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dikabulkan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dalam Putusan No. 01/PKPU/2011/PN.NIAGA.JKT.PST jo.

Putusan Mahkamah Agung No. 070 PK/Pdt.Sus/2011, dan PT.Mandala Airlines telah memenuhi seluruh kewajiban kepada para kreditor konkuren sesuai dengan Rencana Perdamaian tanggal 18 Februari 2011 dengan melakukan konversi utang- utang pemohon kepada para kreditor konkuren ketika itu menjadi kepemilikan saham dalam PT.Mandala Airlines. Bahwa meskipun telah kembali melanjutkan kegiatan usahanya, ternyata PT.Mandala Airlines tetap mengalami kesulitan finansial (keuangan) dan tidak mampu untuk membayar utang-utangnya kepada para kreditor yang timbul setelah selesainya proses PKPU yang tercermin dalam laporan keuangan per tanggal 31 Desember 2013 yang telah diaudit. Bahkan PT.Mandala Airlines mengaku tidak pernah memperoleh keuntungan atau mendekati untung pada kuartal operasi manapun yang memberikan dampak yang besar terhadap kemampuan finansial PT.Mandala Airlines.11

Berangkat dari pemaparan diatas, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian untuk mengkaji penerapan prinsip commercial exit from financial distress dalam hukum kepailitan yang ditinjau dari putusan pailit PT.Mandala Airlines yang dituangkan dalam tulisan berbentuk skripsi yang berjudul “Analisis Yuridis Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Dalam Putusan Pailit PT. Mandala Airlines (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga No.48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST)”.

11 Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, Putusan Nomor

48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST

(17)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, maka dalam hal ini penulis dapat menarik beberapa pokok permasalahan yang akan dikaji dan dianalisa, antara lain adalah:

1. Bagaimanakah pengaturan hukum kepailitan di Indonesia?

2. Bagaimanakah pengaturan prinsip commercial exit from financial distress dalam kepailitan perseroan terbatas?

3. Bagaimanakah penerapan prinsip commercial exit from financial distress dalam Putusan Pailit PT.Mandala Airlines?

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah:

1. Untuk mengetahui pengaturan hukum kepailitan di Indonesia.

2. Untuk mengetahui prinsip commercial exit from financial distress dalam kepailitan perseroan terbatas.

3. Untuk mengetahui penerapan prinsip commercial exit from financial distress dalam putusan pailit PT.Mandala Airlines.

Sedangkan manfaat penulisan skripsi ini adalah:

1. Manfaat Teoritis

Secara teoritis bahwa penelitian ini merupakan sumbangsih penulis kepada ilmu pengetahuan khususnya kepada Hukum Ekonomi.

2. Manfaat Praktis

Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangan terutama bagi mahasiswa fakultas hukum serta kepentingan umum dan bangsa dalam pembangunan.

(18)

D. Keaslian Penulisan

Penulisan skripsi ini berjudul “Analisis Yuridis Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Dalam Putusan Pailit PT. Mandala Airlines (Studi Kasus Putusan Pengadilan Niaga No.48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST)”.

Setelah melakukan penelusuran ke Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, judul skripsi ini belum pernah diangkat ataupun ditulis. Dengan demikian keaslian penulisan skripsi ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Penulis menyusun skripsi ini melalui referensi buku-buku, media cetak dan elektronik, dan bantuan dari berbagai pihak.

E. Tinjauan Kepustakaan 1. Kepailitan

Istilah “kepailitan” merupakan kata benda yang berakar dari kata “pailit”.

Sementara itu, kata “pailit” berasal dari kata failit dalam bahasa Belanda. Dari istilah failit muncul istilah faillissement yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “Kepailitan”.12

12Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal. 2.

Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang menyatakan bahwa:

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

(19)

Adapun yang dapat dinyatakan pailit adalah seorang debitor (berutang) yang sudah dinyatakan tidak mampu membayar utang-utangnya lagi. Pailit dapat dinyatakan atas:13

a. Permohonan debitor sendiri.

b. Permohonan satu atau lebih kreditornya. (Menurut Pasal 8 sebelum diputuskan pengadilan wajib memanggil debitornya).

c. Pailit harus dengan putusan pengadilan (Pasal 2 ayat 1).

d. Pailit bisa atas permintaan kejaksaan untuk kepentingan umum (Pasal 2 ayat 2), pengadilan wajib memanggil debitor (Pasal 8).

e. Bila debitornya bank, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia.

f. Bila debitornya perusahaan efek, bursa efek, lembaga kliring dan penjaminan, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, permohonan pailit hanya dapat diajukan oleh badan pengawas pasar modal (Bapepam).

g. Dalam hal debitornya perusahaan asuransi, perusahaan reasuransi, dana pension, atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, permohonan pernyataan pailit hanya dapat diajukan oleh Menteri Keuangan.

Sumber-sumber hukum kepailitan di Indonesia ialah KUH Perdata khususnya Pasal 1131, Pasal 1132, Pasal 1133, dan Pasal 1134; UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang

13 Abdul R.Saliman, Hukum Bisnis untuk Perusahaan Teori dan Contoh Kasus, Cet.ke-4, (Jakarta: Kencana, 2014), hal.120.

(20)

(selanjutnya disingkat UUK-PKPU); dan UU No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, khususnya Pasal 104 dan Pasal 142.14

Dalam istilah perbankan, yang dimaksudkan dengan “menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang Kreditor” adalah dibagi secara pro rata (Inggris: in proportion) menurut perbadingan besarnya piutang masing-masing Kreditor. Pro rata adalah kata dalam bahasa Latin yang berarti secara proporsional. Dengan demikian, harta kekayaan debitor pailit apabila dilikuidasi dalam rangka tindakan-tindakan pemberesan oleh Kurator, maka hasil penjualan harta kekayaan debitor itu akan dibagi kepada semua kreditor menurut perbandingan besar kecilnya piutang masing-masing kreditor. Untuk menghindari para kreditor berebutan saling mendahului untuk menguasai dan menjual harta kekayaan (aset) debitor sehingga timbul ketidakadilan mengenai keseimbangan pembagian harta kekayaan (aset) debitor, maka hukum membuat Undang-Undang Kepailitan.

Pasal 1132 KUH Perdata menentukan:

Segala harta kekayaan Debitor menjadi jaminan bersama-sama bagi semua Kreditor-nya; pendapatan penjualan segala harta kekayaan Debitor dibagi- bagi menurut keseimbangan, yaitu menurut besar kecilnya piutang Kreditor, kecuali apabila di antara para Kreditor ada alasan-alasan yang sah menurut hukum untuk didahulukan.

15

Financial distress yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai

“kesulitan keuangan” menurut Andrade dan Kaplan adalah situasi ketika perusahaan tidak dapat memenuhi kewajiban pembayaran kepada pihak 2. Financial Distress

14Op.Cit., hal. 10.

15Ibid.,hal.5.

(21)

ketiga.16Kesulitan keuangan suatu perusahaan bisa terjadi akibat berbagai macam tipe. Dalam teori keuangan perusahaan yang lazim dikenal pada manajemen keuangan membedakan kesulitan keuangan perusahaan menjadi:17

a. Economic Failure, yang berarti bahwa pendapatan perusahaan tidak dapat menutup biaya total, termasuk biaya modal. Usaha yang mengalami economic failure dapat meneruskan operasinya sepanjang kreditor berkeinginan untuk menyediakan tambahan modal dan pemilik dapat menerima tingkat pengembalian (return) di bawah tingkat bunga pasar.

b. Bussiness Failure. Istilah ini digunakan oleh Dun & Bradstreet yang merupakan penyusun utama failure statistic, untuk mendefinisikan usaha yang menghentikan operasinya dengan akibat kerugian bagi kreditor. Dengan demikian, suatu usaha dapat diklasifikasikan sebagai gagal meskipun tidak melalui kebangkrutan secara normal. Juga suatu usaha dapat menghentikan/ menutup usahanya tetapi tidak dianggap sebagai gagal.

c. Technical insolvency. Sebuah perusahaan dapat dinilai bangkrut apabila tidak memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo. Technical insolvency ini mungkin menunjukkan kekurangan likuiditas yang sifatnya sementara di mana pada suatu waktu perusahaan dapat mengumpulkan uang untuk memenuhi kewajibannya dan tetap hidup.

Di lain pihak, apabila technical insolvency ini merupakan gejala awal economic failure, maka hal ini merupakan tanda ke arah bencana keuangan (financial disaster).

d. Insolvency in bankruptcy. Sebuah perusahaan dikatakan insolvency bankruptcy bilamana nilai buku dari total kewajiban melebihi nilai pasar dari aset perusahaan. Hal ini merupakan suatu keadaan yang lebih serius bila dibandingkan dengan technical insolvency, sebab pada umumnya hal ini merupakan pertanda dari economic failure yang mengarah ke likuidasi suatu usaha.

e. Legal bankruptcy. Kepailitan ini adalah putusan kepailitan yang dijatuhkan oleh pengadilan sesuai dengan undang-undang karena mengalami tahapan-tahapan kesulitan keuangan tersebut di atas.

3. Prinsip Commercial Exit From Financial Distress

16 Arlyana Abubakar, dkk., “Pemilihan Early Warning Indicator Untuk Mengidentifikasi Distress Sektor Korporasi: Upaya Penguatan Crisis Prevention”, Working Paper, http://www.bi.go.id/id/publikasi/wp/Documents/WP%20BI%20No.7-

2015%20Early%20Warning%20Indicator.pdf, diakses pada tanggal 1 Maret 2018.

17 M. Hadi Shubhan, Op.Cit.,hal. 54.

(22)

Prinsip commercial exit from financial distress merupakan prinsip yang ditemukan dalam kepailitan perseroan terbatas. Prinsip ini memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan dan bukan sebaliknya bahwa kepailitan justru digunakan sebagai pranata hukum untuk membangkrutkan suatu usaha. Kemudahan untuk mempailitkan suatu debitor sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip ini sepanjang kemudahan untuk mempailitkan adalah dalam konteks penyelesaian utang karena adanya kesulitan finansial dari usaha debitor.18

Prinsip ini sejalan dengan asas keseimbangan, asas kelangsungan usaha, asas keadilan, dan asas integrasi yang merupakan asas-asas yang menjadi dasar dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.19

Hukum kepailitan bukan mengatur kepailitan debitor yang tidak membayar kewajibannya kepada salah satu kreditornya saja, tetapi debitor itu harus berada dalam keadaan insolven. Seorang debitor berada dalam keadaan Asas-asas tersebut memperlihatkan dimensi keadilan dari proses kepailitan yang melindungi kepentingan dari kedua belah pihak baik para kreditor pailit maupun debitor pailit. Karena pada prinsipnya, terdapat banyak aspek-aspek hukum yang juga memerhatikan kepentingan- kepentingan debitor yang pada akhirnya untuk meminimalisasi kerugian-kerugian terhadap harta kekayaan debitor. Hal ini dapat dibuktikan antara lain dalam ketentuan masa tunggu (stay), ketentuan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU), ketentuan rehabilitasi, dan lain sebagainya.

18Ibid.,hal.64.

19 Lihat Bab I Penjelasan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

(23)

insolven hanyalah apabila debitor tidak mampu secara finansial untuk membayar utang-utangnya kepada sebagian besar para kreditornya. Oleh karena itu yang menjadi pertimbangan Pengadilan Niaga untuk menyatakan seorang debitor pailit, tidak saja oleh karena ketidakmampuan debitor untuk membayar utang-utangnya, tetapi juga termasuk ketidakmauan debitor tersebut untuk melunasi utang-utang tersebut seperti yang telah diperjanjikan.20

Dari Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dapat diketahui bahwa unsur-unsur suatu Perseroan adalah:

4. Perseroan Terbatas (PT)

Menurut UU No.40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas, Perseroan Terbatas yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya.

21

a. Badan hukum;

PT memenuhi unsur-unsur badan hukum yaitu (i) memiliki harta kekayaan sendiri yang terpisah dari ketentuan anggota atau kekayaan pengurus; (ii) memiliki tujuan sendiri yang terpisah dari tujuan para anggota atau pengurus; (iii) memiliki kepentingan sendiri; (iv) memiliki organisasi yang teratur (organ).

b. Persekutuan modal;

20 Sunarmi, Hukum Kepailitan, (Medan: USU Press, 2009), hal. 28.

21 H. Man S. Sastrawidjaja dan Rai Mantili, Perseroan Terbatas Menurut Tiga Undang- Undang, Cet.Ke-2, (Bandung: PT.Alumni, 2010), hal.14-17.

(24)

Dimaksud dengan Persekutuan Modal adalah persekutuan yang mengutamakan terkumpulnya modal sebanyak-banyaknya dengan cara menjual saham.

c. Didirikan berdasarkan perjanjian;

PT didirikan berdasarkan perjanjian menunjukkan bahwa dasar hukum PT adalah Persekutuan Perdata (maatschap). Menurut Pasal 1618 Burgelijk Wetboek (BW) Persekutuan Perdata adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang masing-masing memasukkan inbreng dengan tujuan untuk membagi keuntungan yang diperoleh.

d. Melakukan kegiatan usaha;

PT menjalankan perusahaan yang berarti melakukan perbuatan hukum secara tetap, dengan pihak ketiga (terang-terangan), memiliki kualitas (dalam hal ini kualitas sebagai PT), dengan tujuan utama memiliki laba.

e. Modal dasar terbagi atas saham.

Modal suatu PT sebagai perseroan modal terdiri atas 3 macam yaitu modal dasar, modal yang ditempatkan dan modal yang disetorkan. Adapun yang dibagi atas saham adalah modal dasar yaitu modal yang disebutkan dalam anggaran dasar.

F. Metode Penelitian

Metode penelitian hukum yang digunakan penulis untuk menyelesaikan skripsi adalah sebagai berikut:

1. Tipe Penelitian

Tipe penelitian hukum yang digunakan adalah metode penelitian yuridis normatif. Penulis menggunakan penelitian terhadap peraturan perundang-

(25)

undangan dan putusan pengadilan. Metode ini digunakan untuk mengetahui bagaimana penerapan peraturan perundang-undangan kepailitan dilaksanakan di Indonesia.

2. Sumber dan Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan Data Primer dan Data Sekunder. Data Primer berupa bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat kepada masyarakat berupa Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, Undang-Undang No.40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas dan peraturan perundang- undangan lainnya terkait.

Data sekunder diperoleh melalui studi kepustakaan yaitu dengan mempelajari dan menelaah buku-buku, artikel, serta Peraturan Perundang- Undangan yang ada kaitannya dengan skripsi.

3. Analisis Data

Data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan dianalisis secara kualitatif dan disajikan dengan deskriptif untuk menjawab persoalan yang ada dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Agar terdapat suatu alur pemikiran yang teratur secara sistematis maka penulisan skripsi ini disusun dalam suatu kerangka yang terdiri atas lima bab dengan masing-masing bab memiliki sub bab, sebagai berikut:

Bab I : Pendahuluan

Bab ini merupakan bab awal yang akan mendukung untuk memasuki bab-bab selanjutnya. Bab ini akan memuat dan

(26)

menguraikan hal-hal yang berkenaan dengan latar belakang, perumusan masalah, tujuan dan manfaat penulisan, keaslian penulisan, tinjauan kepustakaan, metode penulisan dan sistematika penulisan.

Bab II : Tinjauan Hukum Kepailitan di Indonesia

Bab ini akan membahas dan menguraikan teori-teori dan peraturan yang berkenaan dengan pengertian pailit, prinsip- prinsip dalam hukum kepailitan, tujuan dan fungsi hukum kepailitan, prosedur permohonan pailit, syarat dan tata cara pengajuan permohonan kepailitan, syarat insolvensi berdasarkan Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004, akibat pernyataan pailit dan kewenangan pengadilan niaga dalam memeriksa dan mengadili perkara kepailitan.

Bab III : Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas

Bab ini akan membahas dan menguraikan teori-teori dan peraturan yang berkenaan dengan pengertian financial distress, kebangkrutan perseroan terbatas, kepailitan perseroan terbatas, kedudukan dan kewenangan organ perseroan terbats, perbedaan akibat hukum kepailitan orang dengan kepailitan perseroan terbatas dan prinsip commercial exit from financial distress dalam hukum kepailitan di Indonesia.

Bab IV : Analisis Yuridis Penerapan Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Dalam Putusan Pailit PT.Mandala

(27)

Airlines (Studi Kasus Putusan Pengadila Niaga No.48/Pdt.Sus.PAILIT/2014/PN.Niaga.JKT.PST)

Bab ini akan membahas dan menguraikan tentang penerapan prinsip commercial exit from financial distress dalam putusan pailit PT.Mandala Airlines, kemudian akan dianalisis sejauh mana ketentuan dalam undang-undang kepailitan dapat dimanfaatkan untuk menerapkan prinsip commercial exit from financial distress dalam putusan pailit perseroan terbatas.

Bab IV : Penutup

Bab ini merupakan bab akhir dimana akan dirumuskan mengenai kesimpulan yang didapat berdasarkan uraian dan pembahasan terhadap pokok permasalahan yang timbul.

Kemudian diakhiri dengan saran.

(28)

A. Pengertian Kepailitan 1. Pengertian Pailit

Kata “pailit” berasal dari kata “failit” dalam bahasa Belanda. Dari istilah

“failit” muncul istilah “faillissement” yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi “kepailitan”. Dari istilah “faillissement” muncul istilah

“faillissementwet” (Undang-Undang Kepailitan Belanda) dan “Faillissement- verordening” (Undang-Undang Kepailitan Hindia-Belanda) yang berarti

“Undang-Undang Kepailitan”. “Faillessement” dan “Kepailitan” merupakan padanan istilah “bankruptcy” atau “insolvency” dalam bahasa Inggris.22

Kata “bankruptcy” berasal dari bahasa Perancis, yaitu “banque route”.

Namun, menurut teori yang paling luas diterima, asal muasal kata “bankruptcy”

yang merupakan padanan kata “faillissement” atau “kepailitan” berasal dari campuran dua kata Latin Kuno, yaitu “bancus” (bench/bangku atau table/meja) dan “ruptus” (broken/patah). Apabila seorang bank atau money changer, yang semula melakukan semua transaksinya di atas sebuah bangku (bench) di tempat tertentu, dan kemudian tidak lagi dapat melanjutkan transaksinya berupa memberikan pinjaman (lending) dan memenuhi kewajiban-kewajibannya (utang- utangnya), maka bangku tersebut dipatahkannya. Pematahan bangku tersebut sebagai simbol yang menunjukkan bahwa dia telah gagal dan tidak mampu lagi untuk bernegosiasi dan melunasi utang-utangnya. Karena itu, di masa Italia pada

22 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal. 2.

(29)

Abad Pertengahan (Medieval Italy), istilah “bankrupt” dipercayai sebagai terjemahan dari “banco rotto” atau “bancarotta” yang dalam bahasa Italia berarti

“broken bank”. Kata “bancarotta” kemudian diserap, antara lain ke dalam bahasa Spanyol yang artinya “bankruptcy”.23

Dalam Black’s Law Dictionary pailit atau “Bankrupt” adalah the state or conditional of a person (individual, partnership, corporation, municipality who is unable to pay its debt as they are, or became due. The terms includes a person against whom an involuntary petition has been filed, or who has filed a voluntary petition, or who has been adjudged a bankrupt. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa pengertian pailit dihubungkan dengan “ketidakmampuan untuk membayar” dari seorang debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo.

Ketidakmampuan untuk membayar tersebut diwujudkan dalam bentuk tidak dibayarnya utang meskipun telah ditagih dan ketidakmampuan tersebut harus disertai dengan proses pengajuan ke pengadilan, baik atas permintaan debitor itu sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih kreditornya. Selanjutnya pengadilan akan memeriksa dan memutuskan tentang ketidakmampuan seorang debitor. Keputusan pailitnya debitor harus berdasarkan keputusan pengadilan untuk memenuhi asas publisitas, sehingga ketidakmampuan seorang debitor itu dapat diketahui oleh umum. Seorang debitor tidak dapat dinyatakan pailit sebelum ada putusan pailit dari pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.24

Pailit masa Hindia-Belanda tidak dimasukkan ke dalam KUH Dagang (WvK) dan diatur dalam peraturan tersendiri ke dalam Faillissements- verordening, sejak 1906 yang dahulu diperuntukkan bagi pedagang saja dan

23Ibid., hal.2-3.

24 Sunarmi, Op.Cit.,hal. 20-21.

(30)

kemudian digunakan untuk golongan mana saja. Masalah pailit seperti peraturan lainnya dirasakan penting keberadaannya. Tahun 1997, ketika krisis ekonomi melanda Indonesia, membawa perubahan yang sangat penting bagi perkembangan peraturan kepailitan di Indonesia. Disadari bahwa peraturan lama dan yang masih berlaku tidak bisa menyesuaikan kebutuhan perubahan zaman. Oleh karena itu, pada 1998, pemerintah mengeluarkan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan, yang merupakan:25

a. Perbaikan terhadap Faillissements-verordening 1906;

b. Adanya penambahan pasal yang mengatur tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU);

c. Mengenal istilah pengadilan niaga, di luar pengadilan umum untuk menyelesaikan sengketa bisnis.

Selanjutnya pada 2004, pemerintah mengeluarkan lagi Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yang merupakan perbaikan terhadap peraturan perundang-undangan sebelumnya. Beberapa pokok materi baru dalam UU No.37 Tahun 2004, antara lain: (i) Agar tidak menimbulkan berbagai penafsiran dalam Undang-Undang ini pengertian utang diberikan batasan secara tegas, demikian juga pengertian jatuh waktu; (ii) Mengenai syarat-syarat dan prosedur permohonan pernyataan pailit dan permohonan penundaan kewajiban pembayaran utang termasuk di dalamnya pemberian kerangka waktu secara pasti bagi pengambilan putusan pernyataan pailit dan/atau penundaan kewajiban pembayaran utang.26

25 Abdul R.Saliman, Op.Cit., hal. 118-119.

26Ibid.

(31)

Mengenai pengertian kepailitan dapat ditemukan dalam Pasal 1 angka 1 UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU):

Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas sebagaimana diatur dalam undang-undang ini.

Kemudian pengertian pailit tercermin dalam Pasal 2 ayat (1) UU Kepailitan dan PKPU, yang menyatakan bahwa:

Debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.

Secara historis, terdapat perubahan redaksi dalam pengertian pailit jika dibandingkan dengan Pasal 1 Faillisement Verordening (FV/Peraturan Kepailitan) yang menentukan “Setiap pihak yang berutang (debitor) yang berada dalam keadaan berhenti membayar utang-utangnya, dengan putusan hakim, baik atas permintaan sendiri maupun atas permintaan seorang atau lebih pihak berutangnya (kreditornya), dinyatakan dalam keadaan pailit”. Dari rumusan Pasal 1 tersebut, diketahui bahwa agar debitor dinyatakan pailit, maka harus dipenuhi syarat-syarat:

(i) Terdapat “keadaan berhenti membayar”, yakni bila seorang debitor sudah tidak mampu atau tidak mau lagi membayar utang-utangnya;

(ii) Harus terdapat lebih dari seorang kreditor, dan salah seorang dari mereka itu piutangnya sudah dapat ditagih.

Perihal “keadaan berhenti membayar” tidak dijumpai rumusannya di dalam Undang-Undang, yurisprudensi, maupun pendapat sarjana. Perubahan

(32)

redaksi dari “berhenti membayar” menjadi “tidak membayar” sejak diatur dalam Undang-Undang No.4 Tahun 1998 terjadi karena pada masa krisis moneter sesungguhnya debitor Indonesia berada dalam keadaan tidak mampu membayar utang karena pada saat itu mereka kekurangan dana segar. Asset masih jauh lebih besar dibandingkan dengan utangnya. Apabila asset dapat dijual tentu debitor Indonesia masih dapat membayar utang. Permasalahannya adalah bahwa ketika asset itu dijual tidak ada yang membeli karena disebabkan perekonomian di Indonesia berada dalam masa krisis sehingga terjadi kesulitan keuangan. Apabila konsep “berhenti membayar” tetap dipertahankan dalam redaksi Pasal 1 FV, maka sulit bagi kreditor untuk mempailitkan perusahaan-perusahaan di Indonesia karena asset masih jauh lebih besar dari utang. Akhirnya konsep “berhenti membayar” ini diubah menjadi “tidak membayar”.27

Kedua penyebab terjadinya pemberhentian pembayaran pada dasarnya sama-sama menimbulkan kerugian bagi kreditor. Di pihak lain, debitor juga dapat mengalami kesulitan untuk melanjutkan usaha selanjutnya, terutama dalam hubungan dengan masalah keuangan. Untuk mengatasi hal tersebut debitor dapat mengambil berbagai tindakan, antara lain melalui perundingan langsung dengan Dari beberapa pengertian diatas, pengertian pailit adalah kondisi dimana berhentinya pembayaran dari debitor atas utang-utangnya yang telah jatuh tempo, dan berhentinya pembayaran tersebut harus disertai dengan suatu tindakan nyata untuk mengajukan, baik yang dilakukan secara sukarela oleh debitor sendiri maupun permintaan pihak ketiga. Keadaan berhenti membayar utang dapat terjadi karena tidak mampu membayar atau tidak mau membayar.

27Op.Cit.., hal. 23.

(33)

kreditor, melalui perdamaian dan alternatif penyelesaian sengketa untuk menjadwalkan kembali pembayaran atau menunda pemenuhan kewajiban pembayaran, atau kepailitan. Cara-cara penyelesaian melalui jalur tersebut diharapkan dapat menjamin keamanan dan kepentingan para pihak yang bersangkutan.28

Prinsip hukum merupakan ratio legis dari norma hukum. Satjipto Raharjo menyatakan bahwa asas hukum merupakan jantungnya peraturan hukum dan merupakan landasan yang paling luas bagi lahirnya suatu peraturan hukum, yang berarti bahwa peraturan-peraturan hukum itu pada akhirnya bisa dikembalikan kepada asas-asas tersebut. Satjipto menyitir pendapat dari Paton, bahwa asas hukum ini tidak akan habis kekuatannya dengan melahirkan suatu peraturan hukum, melainkan akan tetap saja ada dan akan melahirkan peraturan-peraturan selanjutnya. Asas hukum pula yang membuat hukum hidup, tumbuh, dan berkembang.

2. Prinsip-Prinsip dalam Hukum Kepailitan

29

28 Andriani Nurdin, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, (Bandung:PT. Alumni, 2012), hal.131.

29 M. Hadi Shubhan, Op.Cit., hal.25-26.

Penggunaan prinsip hukum sebagai dasar bagi hakim untuk memutus perkara dalam kepailitan memperoleh legalitasnya dalam Undang-Undang Kepailitan. Secara expressis verbis, Undang-Undang Kepailitan menyatakan bahwa sumber hukum tidak tertulis termasuk pula prinsip-prinsip hukum dalam kepailitan dapat dijadikan dasar bagi hakim untuk memutus. Dalam Pasal 8 ayat (6) Undang-Undang Kepailitan menyatakan:

Putusan Pengadilan sebagaimana dimaksud pada ayat (5) wajib memuat pula:

(34)

a. pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan dan/atau sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili; dan

b. pertimbangan hukum dan pendapat yang berbeda dari hakim anggota atau ketua majelis.

Undang-Undang No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam penjelasan umumnya mengemukakan bahwa undang-undang tersebut didasarkan pada beberapa asas. Asas tersebut antara lain adalah:

1. Asas Keseimbangan.

Undang-Undang ini mengatur beberapa ketentuan yang merupakan perwujudan dari asas keseimbangan, yaitu di satu pihak, terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Debitor yang tidak jujur, di lain pihak terdapat ketentuan yang dapat mencegah terjadinya penyalahgunaan pranata dan lembaga kepailitan oleh Kreditor yang tidak beritikad baik.

2. Asas Kelangsungan Usaha.

Dalam undang-undang ini, terdapat ketentuan yang memungkinkan perusahaan Debitor yang prospektif tetap dilangsungkan.

3. Asas Keadilan.

Dalam kepailitan asas keadilan mengandung pengertian, bahwa ketentuan mengenai kepailitan dapat memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berkepentingan. Asas keadilan adalah untuk mencegah terjadinya kesewenang-wenangan pihak penagih yang mengusahakan pembayaran atas tagihan masing-masing terhadap Debitor, dengan tidak memedulikan Kreditor lainnya.

4. Asas Integrasi.

Asas integrasi dalam undang-undang ini mengandung pengertian bahwa sistem hukum formil dan hukum materiilnya merupakan satu kesatuan yang utuh dari sistem hukum perdata dan hukum acara perdata nasional.

Ada beberapa prinsip dalam kepailitan yang harus diperhatikan agar undang-undang dapat memenuhi beberapa kebutuhan utama dunia usaha, baik nasional maupun internasional. Bahkan Undang-Undang Kepailitan suatu negara tidak boleh sampai mengganggu dunia usaha pada khususnya dan perekonomian nasional pada umumnya. Suatu Undang-Undang Kepailitan, termasuk Undang-

(35)

Undang Kepailitan yang berlaku di Indonesia, seyogianya memuat prinsip-prinsip sebagai berikut:30

a. Prinsip Paritas Creditorium:

Prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu prorate parte, dan prinsip structured prorate merupakan prinsip utama penyelesaian utang dari debitor terhadap kreditornya. Prinsip paritas creditorium (kesetaraan kedudukan para kreditor) menentukan bahwa para kreditor mempunyai hak yang sama terhadap semua harta benda debitor. Harta kekayaan debitor menjadi sasaran kreditor apabila debitor tidak dapat membayar utangnya., baik yang berupa barang bergerak ataupun barang tidak bergerak maupun harta yang sekarang telah dipunyai debitor dan barang- barang di kemudian hari akan dimiliki debitor terikat kepada penyelesaian kewajiban debitor.

Filosofi dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa merupakan suatu ketidakadilan jika debitor memiliki harta benda sementara utang debitor terhadap para kreditornya tidak terbayarkan. Hukum memberikan jaminan umum bahwa harta kekayaan debitor demi hukum menjadi jaminan terhadap utang-utangnya meskipun harta debitor tersebut tidak berkaitan langsung dengan utang-utang tersebut. Makna lain dari prinsip paritas creditorium adalah bahwa yang menjadi jaminan umum terhadap utang-utang debitor hanya terbatas pada harta kekayaannya saja bukan aspek lainnya, seperti status pribadi dan hak-hak lainnya di luar harta

30Ibid.,hal. 27-59.

(36)

kekayaan sama sekali tidak terpengaruh terhadap utang piutang debitor tersebut.

Ketidakadilan prinsip paritas creditorium jika dilaksanakan secara letterlijk adalah menyamaratakan kedudukan para kreditor. Seorang kreditor yang memiliki piutang sebesar satu miliar rupiah diperlakukan dalam posisi yang sama dengan kreditor yang memiliki piutang satu juta rupiah. Demikian pula, seorang kreditor yang memegang jaminan kebendaan diperlakukan sama dengan seorang kreditor yang sama sekali tidak memegang jaminan kebendaan. Maka prinsip ini harus digandengkan dengan prinsip pari passu prorata parte dan prinsip structured creditors.

b. Prinsip Pari Passu Prorata Parte:

Prinsip pari passu prorata parte berarti bahwa harta kekayaan tersebut merupakan jaminan bersama untuk para kreditor dan hasilnya harus dibagikan secara proporsional antara mereka, kecuali jika antara para kreditor itu ada yang menurut undang-undang harus didahulukan dalam menerima pembayaran tagihannya.

Pari passu, yaitu secara bersama-sama memperoleh pelunasan tanpa ada yang didahulukan dan prorata parte, yaitu proprosional yang dihitung berdasarkan pada besarnya piutang masing-masing dibandingkan terhadap piutang mereka secara keseluruhan, terhadap harta kekayaan debitor tersebut.

Prinsip ini menekankan pada pembagian harta debitor untuk melunasi utang-utangnya terhadap kreditor secara lebih berkeadilan

(37)

dengan cara sesuai dengan proporsinya (pond-pond gewijs) dan bukan dengan cara sama rata.

Prinsip pari passu prorata parte memberikan keadilan kepada kreditor dengan konsep keadilan proporsional, di mana kreditor yang memiliki piutang yang lebih besar, maka akan mendapatkan porsi pembayaran piutangnya dari debitor lebih besar dari kreditor yang memiliki piutang lebih kecil daripadanya.

c. Prinsip Structured Creditors:

Prinsip structured creditors adalah prinsip yang mengklasifikasikan dan mengelompokan berbagai macam debitor sesuai dengan kelasnya masing-masing. Hal ini dilatarbelakangi ketidakadilan apabila kreditor yang oleh undang-undang diberikan keistemewaan yang berupa hak preferensi dalam pelunasan piutangnya jika kedudukannya disamakan dengan kreditor yang tidak diberikan preferensi oleh undang- undang, maka untuk apa undang-undang melakukan pengaturan terhadap kreditor-kreditor tertentu.

Dalam kepailitan kreditor diklasifikasikan menjadi tiga macam, yaitu kreditor separatis, kreditor preferen dan kreditor konkuren. Dasar hukum perbedaan kedudukan kreditor dalam kepailitan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata) sebagai berikut:31

1. Kreditor separatis, yaitu kreditor pemegang jaminan kebendaan berdasarkan Pasal 1134 ayat (2) KUH Perdata yaitu Gadai dan

31 Nien Rafles Siregar, “Perbedaan Antara Kreditor Separatis dengan Kreditor Konkuren”, Artikel, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl1998/perbedaan-antara-kreditur- separatis-dengan-kreditur-konkuren, diakses pada 14 Maret 2018.

(38)

Hipot ik. Saat ini jaminan-jaminan kebendaan yang diatur di Indonesia adalah gadai, fidusia, hak tanggungan, hipotik kapal dan resi gudang;

2. Kreditor preferen, yaitu kreditor yang mempunyai hak mendahului karena sifat piutangnya oleh undang-undang diberi kedudukan istemewa. Kreditor preferen terdiri dari kreditor preferen khusus (Pasal 1139 KUH Perdata) dan kreditor preferen umum (Pasal 1149 KUH Perdata);

3. Kreditor konkuren, yaitu kreditor yang tidak termasuk dalam kreditor separatis dan kreditor preferen (Pasal 1131 jo.Pasal 1132 KUH Perdata).

Ketiga prinsip di atas sangat penting baik dari segi hukum perikatan dan hukum jaminan maupun hukum kepailitan.

d. Prinsip Utang:

Dalam proses acara kepailitan konsep utang sangat menentukan, oleh karena tanpa adanya utang tidaklah mungkin perkara kepailitan akan bisa diperiksa. Utang dalam kepailitan di Amerika Serikat disebut dengan claim. Robert L.Jordan mengartikan claim sebagai:

(1) Right to payment, whether or not such right is reduced to judgment, liquidated, unliquidated, fixed, contingent, matured, unmatured, disputed, undisputed, legal, equitable, secure or unsecured; or

(2) Right to an equitable remedy for breach of performance if such breach gives rise to a right to payment, wether or not such right to an equitable remedy is reduced to judgment, fixed, contingent, matured, unmatured, disputed, undisputed, secured or unsecured.

(39)

Sutan Remy Sjahdeiny menyatakan bahwa claim menurut Bankruptcy Code America mengharuskan adanya right to payment.

Dengan demikian apabila kewajiban debitor tidak menimbulkan suatu right to payment maka kewajiban debitor tersebut tidak digolongkan suatu claim.

Dalam Pasal 1 angka 6 UUK-PKPU dijabarkan bahwa yang dimaksud dengan utang dalam hukum kepailitan adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh debitor dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada kreditor untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan debitor.

Sebenarnya dalam KUH Perdata maupun rezim hukum keperdataan tidak dikenal utang dalam arti sempit maupun utang dalam arti luas. Utang adalah utang yang tersurat antara lain dalam Pasal 1233 KUH Perdata, utang dalam kaitan dengan perikatan bisa timbul karena perjanjian dan bisa pula timbul karena undang-undang. Utang adalah prestasi yang harus dibayar yang timbul sebagai akibat perikatan. Dari kedua pendapat mengenai utang, maka yang tepat adalah kelompok pendapat yang menyatakan bahwa utang dalam arti luas, karena Undang- Undang Kepailitan merupakan penjabaran khusus dari KUH Perdata,

(40)

maka utang dalam UUK-PKPU adalah prestasi sebagaimana diatur dalam KUH Perdata.32

e. Prinsip Debt Collection:

Prinsip debt collection adalah konsep pembalasan dari kreditor terhadap debitor pailit dengan menagih klaimnya terhadap debitor atau harta debitor. Pada hukum kepailitan prinsip ini dimanifestasikan dalam bentuk antara lain likuidasi asset. Debt collection principle merupakan prinsip yang menekankan bahwa utang dari debitor harus dibayar dengan harta yang dimiliki oleh debitor secara sesegera mungkin untuk menghindari itikad buruk dari debitor dengan cara menyembunyikan dan menyelewengkan segenap harta bendanya yang sebenarnya adalah sebagai jaminan umum bagi kreditornya.

Manifestasi dari prinsip ini adalah ketentuan untuk melakukan pemberesan aset dengan jalan likuidasi yang cepat dan pasti, prinsip pembuktian sederhana, diterapkannya putusan kepailitan secara serta- merta (uitvoerbaar bij voorraad), adanya ketentuan masa tunggu (stay) bagi pemegang jaminan kebendaan, dan curator sebagai pelaksana pengurusan dan pemberesan.

f. Prinsip Debt Pooling:

Prinsip debt pooling merupakan prinsip yang mengatur bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi di antara para kreditornya. Dalam melakukan pendistribusian aset tersebut, kurator akan berpegang pada prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu prorata parte, serta

32Op.Cit.,hal. 88-90.

(41)

pembagian berdasarkan jenis masing-masing kreditor (structured creditors principle). Prinsip ini mencakup pula pengaturan dalam sistem kepailitan terutama berkaitan dengan bagaimana harta kekayaan pailit harus dibagi di antara kreditornya. Penjabaran sistem ini berkaitan dengan kelembagaan yang terlibat dalam proses kepailitan mulai dari lembaga peradilan yang berwenang, hukum acara yang digunakan, serta terdapatnya hakim komisaris dan kurator dalam pelaksanaan kepailitan. Prinsip debt pooling dianut secara ambiguitas (standar ganda) dalam sistem hukum kepailitan Indonesia, pada satu sisi terdapat norma yang mengatur bahwa perkara kepailitan dan hal-hal lain yang berkaitan dengan kepailitan ditangani pengadilan khusus kepailitan, yakni Pengadilan Niaga, namun pada norma yang lain terdapat pengaturan bahwa jika terjadi bantahan dalam pencocokan utang, maka menjadi kompetensi peradilan umum.

g. Prinsip Debt Forgiveness:

Prinsip debt forgiveness mengandung arti bahwa kepailitan tidak identik hanya sebagai pranata penistaan terhadap debitor saja akan tetapi bisa bermakna sebaliknya, yakni, merupakan pranata hukum yang dapat digunakan sebagai alat untuk memperingan beban yang harus ditanggung oleh debitor karena sebagai akibat kesulitan keuangan sehingga tidak mampu melakukan pembayaran terhadap utang-utangnya sesuai dengan agreement semula dan bahkan sampai pada pengampunan atas utang- utangnya sehingga utang-untangnya tersebut menjadi hapus sama sekali.

Implementasi dari prinsip ini dalam norma-norma hukum kepailitan adalah diberikannya moratorium terhadap debitor atau yang

(42)

dikenal dengan nama penundaan kewajiban pembayaran utang untuk jangka waktu yang ditentukan, dikecualikannya beberapa aset debitor dari boedel pailit (asset exemption), discharge of indebtedness (pembebasan debitor atau harta debitor untuk membayar utang pembayaran utang yang benar-benar tidak dipenuhinya), diberikannya status fresh-starting bagi debitor sehingga memungkinkan debitor untuk mulai melakukan usaha baru tanpa dibebani utang-utang lama, rehabilitasi terhadap debitor jika ia telah benar-benar menyelesaikan skim kepailitan, dan perlindungan hukum lain yang wajar terhadap debitor pailit.

Dalam Undang-Undang Kepailitan tidak dimungkinkan skema penghapusan utang terhadap sisa-sisa utang debitor yang tidak terbayar setelah dilakukan pemberesan terhadap seluruh harta pailit. Sisa utang debitor pailit masih mengikuti terus terhadap debitor tersebut. Dalam hal debitor pailit adalah badan hukum seperti perseoran terbatas, maka demi hukum perseroan terbatas yang pailit ini menjadi bubar. Undang-Undang Kepailitan hanya memberikan pranata hukum dalam kerangka prinsip debt forgiveness yang berupa moratorium utang debitor atau yang dikenal dengan nama Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU).

Sedangkan rehabilitasi dalam UU Kepailitan adalah rehabilitasi setelah seluruh utang-utang debitor terselesaikan.33

h. Prinsip Universal dan Prinsip Territorial:

Prinsip universal dalam kepailitan bermakna bahwa putusan pailit dari suatu pengadilan di suatu negara berlaku terhadap semua harta debitor

33Ibid.,hal.156.

(43)

baik yang berada di dalam negeri di tempat putusan pailit dijatuhkan maupun terhadap harta debitor yang berada di luar negeri. Prinsip ini menekankan aspek internasional dari kepailitan atau yang dikenal sebagai cross border insolvency.

Secara umum, sistem hukum yang dianut oleh banyak negara tidak memperkenankan pengadilannya untuk mengeksekusi putusan pengadilan asing. Kecenderungan ini tidak saja berlaku pada negara-negara yang menganut sistem civil law tetapi berlaku juga pada negara-negara yang menganut sistem common law. Negara berdaulat tidak akan mengakui institusi atau lembaga yang lebih tinggi, kecuali negara tersebut secara sukarela menundukan diri.

Hikmahanto Juwana mengatakan bahwa mengingat belum banyak negara yang menganut kemungkinannya putusan pailit pengadilan asing untuk dilakukan di negaranya, maka sebagai alternatif untuk mengatasi hal ini adalah diupayakan pembentukan perjanjian antar negara.

Kecenderungan global menunjukkan bahwa keberlakuan prinsip universal dari suatu putusan pailit tidak dapat dihalangi. Beberapa negara telah membuka kemungkinan seperti Filipina, Malaysia, dan Singapura.

Pada sisi lain, Hikmahanto Juwana menyatakan bahwa United Nations Commission on International Trade Law (UNCITRAL) melakukan terobosan yang memungkinkan sebuah negara mengakui dan melaksanakan putusan pailit yang dikeluarkan oleh pengadilan asing.

Terobosan ini berupa penyiapan sebuah model law yaitu UNCITRAL Model Law on Cross-border Insolvency with guide to Enactment tahun

(44)

1997 dengan tujuan agar negara-negara melengkapi hukum kepailitannya secara modern, terharmonisasi dan adil dalam mengantisipasi kasus-kasus kepailitan lintas batas. Hal ini memberi manfaat bagi para pelaku usaha yang melakukan transaksi bisnis internasional keluar dari suatu kebuntuan.

i. Prinsip Commercial Exit From Financial Distress Dalam Kepailitan Perseroan Terbatas:

Prinsip commercial exit from financial distress merupakan prinsip yang ditemukan dalam kepailitan perseroan terbatas yang artinya adalah kepailitan merupakan strategi jalan keluar yang bersifat komersial untuk keluar dari kesulitan keuangan (persoalan utang piutang yang menghimpit debitor). Prinsip ini memberikan makna bahwa kepailitan adalah merupakan solusi dari masalah penyelesaian utang debitor yang sedang mengalami kebangkrutan. Kemudahan untuk mempailitkan suatu debitor sebenarnya tidak bertentangan dengan prinsip ini sepanjang kemudahan untuk mempailitkan adalah dalam konteks penyelesaian utang karena adanya kesulitan finansial dari usaha debitor.

Secara prinsip kepailitan bukanlah semata sebuah upaya untuk mempermudah sebuah usaha baik itu milik perorangan maupun berbentuk korporasi menjadi bangkrut, melainkan kepailitan adalah salah satu upaya untuk mengatasi kebangkrutan sebuah usaha. Ricardo Simanjuntak menyatakan bahwa kepailitan khususnya corporate insolvency sebenarnya merupakan exit from financial distress, jadi merupakan suatu jalan keluar dari persoalan yang membelit secara finansial sudah tidak bisa lagi terselesaikan. Terdapat suatu fakta bahwa telah ada suatu kewajiban yang

(45)

secara teknis membuat perusahaan tersebut tidak mampu membayar, maka untuk menjamin hubungan baik secara emosional maupun secara bisnis dengan setiap pihak-pihaknya, satu-satunya cara adalah ia akan meminta untuk dimohonkan pailit.

Dalam hal kepailitan yang dilakukan secara sukarela (voluntary bankruptcy) oleh debitor, hak untuk mengajukan kepailitan yang diberikan oleh hukum dapat membantu memberhentikan semua kreditor untuk menagih sekurang-kurangnya sampai dengan seluruh utang telah diketahui atau diidentifikasi menurut hukum. Dengan demikian, kepailitan merupakan proses hukum sehingga orang yang tidak dapat membayar utang-utangnya dapat melanjutkan usahanya kembali mulai dari awal.34

Kepailitan bukan hanya sebagai upaya untuk menyelesaikan persoalan perseroan itu sendiri, melainkan juga mempunyai dimensi lain, seperti ekonomi sosial. Seperti dikatakan oleh Tremain: “The true purpose of modern bankruptcy law is not to punish or deal with some conduct on the part of the debtor, but rather to administer a situation or condition whose economic incidents are of paramount importance”. Maksud dari hukum kepailitan tidak untuk menghukum atau mengatur perilaku dari debitor, tetapi lebih pada pengaturan situasi atau kondisi bahwa peristiwa ekonomi sangat penting.35

Di Indonesia, dalam hukum kepailitan prinsip-prinsip umum kepailitan tersebut ada yang dinormakan dalam hukum positif, ada yang tidak dinormakan dalam hukum positif, serta ada yang dinormakan secara ambiguitas dalam hukum

34 Andriani Nurdin, Op.Cit.,hal. 131.

35Ibid.

(46)

positif. Prinsip-prinsip kepailitan yang dinormakan dalam hukum positif adalah prinsip paritas creditorium, prinsip pari passu prorata parte, prinsip structured creditors, prinsip utang dalam arti luas, prinsip debt collection, prinsip universal dan prinsip teritorial. Prinsip yang tidak dinormakan dalam hukum positif adalah prinsip debt forgiveness, prinsip fresh-starting, prinsip pembatasan jumlah minimal utang dan prinsip commercial exit from financial distress. Sedangkan prinsip yang dianut secara ambiguitas (mendua) adalah prinsip debt pooling.36

Menurut Levinthal, semua hukum kepailitan (bankruptcy law), tanpa memedulikan kapan atau di mana dirancang dan diundangkan, memiliki tiga tujuan umum. Tujuan pertama, hukum kepailitan mengamankan dan membagi hasil penjualan harta miliki Debitor secara adil kepada semua Kreditornya. Tujuan kedua, adalah untuk mencegah agar Debitor yang insolven tidak merugikan kepentingan Kreditornya. Dengan kata lain, hukum kepailitan bukan saja memberikan perlindungan kepada Kreditor dari sesama Kreditor yang lain tetapi juga memberikan perlindungan kepada Kreditor dan Debitor. Tujuan ketiga dari hukum kepailitan adalah memberikan perlindungan kepada Debitor yang beritikad baik dari para Kreditornya.

3. Tujuan dan Fungsi Hukum Kepailitan

37

Prof. Sutan Remy Sjahdeini menuliskan tujuan-tujuan utama dari hukum kepailitan, antara lain:38

a. Memberi kesempatan kepada Debitor untuk berunding dengan para Kreditornya untuk melakukan restrukturisasi utang, baik dengan penjadwalan kembali pelunasan utang Debitor, dengan atau tanpa

36Ibid., hal. 183.

37 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit., hal.4.

38Ibid., hal.5-9.

Referensi

Dokumen terkait

Adapun kedisiplinan shalat siswa di SMPN 1 Pangkajene yaitu dalam Meningkatkan Kedisiplinan shalat pada siswa, dalam menanamkan kedisiplinan pada siswa, guru sebagai

Sebuah filamen lurus arus I dengan panjang tak berhingga yang terletak di sepanjang sumbu z koordinat silindris ditunjukkan pada Gambar 3-2... Oleh karena a  tidak berubah

Terbukti secara empiris Kepuasan Kerja dan Gaya Kepemimpinan secara simultan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap Organizational Citizenship Behavior pada

1) Pengiriman duta dan konsulat ke negara lain yang merupakan negara ASEAN. Mading - masing negara ASEAN saling mengirimkan duta dan konsulat sebagai

Menurut Nasr Hamid, jelas asumsi ulama kuno tersbut dapat memunculkan rentetan asumsi lain seperti, al-Qur‟an yang diturunkan dapat dilupakan oleh Nabi, sejalan

Menempatkan pilihan Keadilan Restoratif dalam kebijakan hukum dan penegakan hukum pada peristiwa pidana tidak boleh dipertentangkan dengan pilihan lama Keadilan Retributif

Hasil wawancara dan observasi menunjukkan rendahnya kreativitas dan prestasi belajar siswa kelas V SD Negeri 3 Pliken materi kegiatan ekonomi Indonesia permasalahan yang ada

Sumber standard dengan beberapa puncak energi tersebut digunakan untuk kalibrasi efisiensi yang dapat dipakai untuk menghitung aktivitas cuplikan lingkungan.. Selain metode