• Tidak ada hasil yang ditemukan

HUBUNGAN KONTROL GLIKEMIK DENGAN KADAR GLUTATION PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "HUBUNGAN KONTROL GLIKEMIK DENGAN KADAR GLUTATION PADA PENDERITA DIABETES MELITUS TIPE 2 SKRIPSI"

Copied!
69
0
0

Teks penuh

(1)

HUBUNGAN KONTROL GLIKEMIK DENGAN KADAR GLUTATION PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE 2

SKRIPSI

Oleh :

NADIA SALSABILA 150100062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(2)

HUBUNGAN KONTROL GLIKEMIK DENGAN KADAR GLUTATION PADA PENDERITA

DIABETES MELITUS TIPE 2

SKRIPSI

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat untuk Memperoleh Gelar Sarjana Kedokteran

Oleh :

NADIA SALSABILA 150100062

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2018

(3)
(4)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan laporan hasil penelitian ini yang berjudul:

“Hubungan Kontrol Glikemik dengan Kadar Glutation pada Penderita Diabetes Melitus Tipe 2”. Skripsi ini dibuat sebagai tugas akhir dan persyaratan untuk mendapatkan gelar Sarjana Kedokteran di Universitas Sumatera Utara.

Dalam penulisan dan penyusunan skripsi ini penulis mendapatkan banyak bantuan, bimbingan dan motivasi dari berbagai pihak. Dan pada kesempatan kali ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp. S (K) beserta staff dan jajarannya, serta seluruh jajaran staff pengajar di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

2. Direktur Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara, Dr. dr. Syah Mirsya Warli, Sp. U (K) beserta seluruh direksi dan staff yang bertugas.

3. Dosen pembimbing penulis, dr. Mutiara Indah Sari, M.Kes, yang selalu sabar dalam membimbing, memberi arahan, masukan dan dukungan dalam pengerjaan skripsi dari awal hingga akhir.

4. Ketua dosen penguji penulis, dr. Dian Dwi Wahyuni, Sp.MK dan anggota dosen penguji penulis dr. Milahayati Daulay, M.Biomed, yang telah banyak memberikan arahan, saran dan nasihat dalam menyempurnakan skripsi ini.

5. Dosen pembimbing akademik penulis, dr. R.A. Dwi Pujiastuti, Sp.S yang telah membimbing penulis selama masa perkuliahan di Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara.

6. Kedua orang tua penulis, Ir. H. Hilal Rasyad, MSc dan Hj. Sumasriawati yang selalu memberikan do’a, dukungan moril dan materil serta motivasi yang paling besar sehingga penulis mampu menyelesaikan penyusunan skripsi ini.

(5)

7. Seluruh pihak terkait yang telah banyak membantu penulis selama pelaksanaan penelitian ini, baik secara langsung maupun tidak langsung yang tidak dapat disebutkan satu per satu.

Penulis menyadari bahwa penulisan laporan hasil penelitian ini masih belum sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan kerendahan hati, penulis menerima kritik dan saran yang membangun demi perbaikan hasil penelitian ini. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat bagi pembaca dan menjadi sumber referensi untuk penelitian selanjutnya.

Medan, 4 Desember 2018 Penulis,

Nadia Salsabila NIM. 150100062

(6)

DAFTAR ISI

Halaman

Halaman Pengesahan ... i

Kata Pengantar ... ii

Daftar Isi ... iv

Daftar Lampiran ... vi

Daftar Tabel ... vii

Daftar Gambar ... viii

Daftar Grafik ... ix

Daftar Singkatan ... x

Abstrak ... xii

Abstract ... xiii

BAB I. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 4

1.3 Tujuan Penelitian ... 5

1.3.1 Tujuan Umum ... 5

1.3.2 Tujuan Khusus ... 5

1.4 Manfaat Penelitian ... 5

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA ... 6

2.1 Diabetes Melitus ... 6

2.1.1 Definisi ... 6

2.1.2 Klasifikasi ... 6

2.1.3 Faktor Resiko ... 8

2.1.4 Gejala Klinis ... 9

2.1.5 Diagnosis ... 10

2.1.6 Tatalaksana ... 11

(7)

2.2 Glutation ... 14

2.2.1 Struktur Glutation ... 14

2.2.2 Biosintesis Glutation ... 16

2.2.3 Peran Glutation sebagai Antioksidan ... 19

2.3 Hubungan Diabetes Melitus dengan Glutation ... 20

2.4 Kerangka Teori ... 24

2.5 Kerangka Konsep ... 25

2.6 Hipotesis ... 25

BAB III. METODE PENELITIAN ... 26

3.1 Rancangan Penelitian ... 26

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 25

3.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 25

3.3.1. Populasi Penelitian ... 25

3.3.2. Sampel Penelitian ... 25

3.4 Metode Pengumpulan Data ... 28

3.4.1. Prosedur Penelitian ... 28

3.5 Definisi Operasional... 30

3.5 Metode Analisis Data ... 31

BAB IV. HASIL DAN PEMBAHASAN ... 33

BAB V. KESIMPULAN DAN SARAN ... 39

5.1 Kesimpulan ... 39

5.2 Saran ... 39

DAFTAR PUSTAKA ... 40

LAMPIRAN ... 42

(8)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

A. Curiculum Vitae ... 42

B. Halaman Pernyataan Orisinalitas ... 44

C. Surat Persetujuan Komisi Etik ... 45

D. Surat Izin Penelitan di RS USU... 46

E. Surat Izin Penelitian di Lab Terpadu ... 47

F. Lembar Penjelasan kepada Calon Responden Penelitian ... 48

G. Lembar Persetujuan Setelah Penjelasan ... 50

H. Hasil Uji Normalitas Data ... 51

I. Hasil Uji Korelasi Data ... 54

(9)

DAFTAR TABEL

Nomor Judul Halaman 2.1 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes

melitus dan prediabetes ... 11 4.1 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin ... 33 4.2 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan usia ... 34 4.3 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan lama menderita 34 4.4 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan kadar gula darah 35 4.5 Korelasi antara KGD Puasa & Glutation ... 36 4.6 Korelasi antara KGD 2 PP & Glutation ... 36 4.7 Korelasi antar HbA1c & Glutation ... 37

(10)

DAFTAR GAMBAR

Nomor Judul Halaman

2.1 Struktur glutation ... 15

2.2 Perbedaan struktur GSH dan GSSG ... 16

2.3 Tahapan sintesis glutation ... 17

2.4 Mekanisme fungsi glutation sebagai antioksidan ... 20

2.5 Skema mekanisme terjadinya komplikasi DM karena stress oksidatif ... 22

2.6 Kerangka teori penelitian ... 24

2.7 Kerangka konsep penelitian ... 25

(11)

DAFTAR GRAFIK

Nomor Judul Halaman

4.1 Hubungan KGD 2 PP dengan Glutation ... 37 4.2 Hubungan HbA1c dengan Glutation ... 38

(12)

DAFTAR SINGKATAN

AGEs : Advanced Glycation End products ATP : Adenosine Triphosphate

CAD : Coronary Artery Disease

DM : Diabetes Melitus

DNA : Deoxyribonucleic Acid DPP-IV : Dipeptidyl Peptidase-IV

FFA : Free Fatty Acid

G6PD : Glucose-6-Phosphate Dehydrogenase GCL : Glutathione Cysteine Ligase

GCLC : Glutamate-Cysteine Ligase Catalytic GDPT : Glukosa Darah Puasa Terganggu GGT : Gamma-Glutamyl Transferase GLP-1 : Glucose Like Peptide-1

GPx : Glutathione Peroxide GRx : Glutathione Reductase

GSH : Glutathione

GSS : Glutathione Synthetase GSSG : Glutathione Disulfide HbA1c : Haemoglobin A1c

KGD : Kadar Gula Darah

KGD2PP : Kadar Gula Darah 2 jam Post-Prandial KGDP : Kadar Gula Darah Puasa

NADPH : Nicotinamide Adenine Dinucleotide Phosphate

(13)

NGSP : National Glycohaemoglobin Standarization Program OHO : Obat Hipertensi Oral

PCOS : Polycystic Ovary Syndrom

PPAR-gamma : Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma RNS : Reactive Nitrogen Species

ROS : Reactive Oxygen Species

SGLT-2 : Sodium Glucose Co-Transporter 2 SOD : Superoxide Dismutase

TGT : Toleransi Glukosa Terganggu TTGO : Tes Toleransi Glukosa Oral

TZD : Tiazolidindion

(14)

ABSTRAK

Latar Belakang: Diabetes melitus merupakan kumpulan gangguan metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula darah. Pada pasien diabetes melitus terjadi berbagai komplikasi yang dapat menyebabkan kematian akibat ketidakseimbangan antioksidan sebagai perlindungan sel.

Tujuan: Mengetahui korelasi kontrol glikemik, yaitu kadar glukosa darah puasa (KGDP), kadar gula darah 2 jam post-prandial (KGD2PP), dan HbA1c dengan kadar glutation pada pasien diabetes melitus tipe 2 (DMT2) di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (RS USU). Metode:

Penelitian ini merupakan studi analitik dengan desain cross-sectional. Sampel adalah pasien DMT2 di RS USU sesuai kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan. Pasien berpuasa minimal 8 jam dan diambil darah intravena untuk pemeriksaan KGDP dan HbA1c. Lalu, pasien kembali lagi 2 jam setelah makan untuk pemeriksaan KGD2PP dari pembuluh darah perifer. Kemudian untuk pemeriksaan kadar glutation menggunakan serum darah pasien yang selanjutnya diuji di laboratorium menggunakan teknik ELISA.Hasil: Didapatkan hasil dengan nilai mean KGDP (220.83 mg/dL), KGD2PP (301,57 mg/dL), HbA1c (8.96%), dan Glutation (7.42 ng/mL). Korelasi antara KGDP dengan kadar glutation menunjukkan p=0.062, >0.05 (r=-0.199). Korelasi antara KGD2PP dengan kadar glutation menunjukkan p=0.044 (r=-0.124). Dan, korelasi antara HbA1c dengan kadar glutation menunjukkan p=0.031 (r=-0.229). Kesimpulan: Terdapat korelasi yang signifikan antara KGD2PP dan HbA1c dengan glutation. Tetapi tidak terdapat korelasi yang signifikan antara KGDP dengan glutation.

Kata Kunci: diabetes melitus, kadar gula darah, HbA1c, glutation.

(15)

ABSTRACT

Background: Diabetes mellitus is a compilation of metabolic disorders characterized by the increased of blood sugar levels. In patients with diabetes mellitus there are various complications that can lead to death due to the imbalance of antioxidants as cell protection. Objective: To determine the correlation between glycemic control, which are fasting plasma glucose (FPG), 2- hour plasma glucose (2-h PG), and HbA1c with glutathione levels in patients with type 2 diabetes mellitus (T2DM) at the University of Sumatera Utara Hospital (RS USU). Method: This study is an analytical study with a cross-sectional design. The sample is T2DM patients at RS USU according to predetermined inclusion and exclusion criteria. Patients fasted for at least 8 hours before intravenous blood was taken for examination of FPG and HbA1c. Then, the patient returns 2 hours post-prandial for 2-h PG examination from peripheral blood vessels. Then glutathione level was examined using the patient's blood serum in the laboratory using ELISA technique. Results: The mean of FPG (220.83 mg / dL), 2-h PG (301.57 mg / dL), HbA1c (8.96%), and Glutathione (7.42 ng / mL) were obtained from this research. Correlation between FPG and glutathione level is p = 0.062,> 0.05 (r = -0.199). The correlation between 2-h PG and glutathione level is p = 0.044 (r = -0.124). And, the correlation between HbA1c and glutathione levels is p = 0.031 (r = -0.229).

Conclusion: There is a significant correlation between 2-h PG and HbA1c with glutathione. But there is no significant correlation between FPG and glutathione.

Keywords: diabetes mellitus, blood sugar levels, HbA1c, glutathione.

(16)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG

Diabetes melitus (DM) adalah suatu gangguan metabolik yang ditandai dengan meningkatnya kadar gula dalam darah (hiperglikemia) yang disebabkan oleh kelainan sekresi insulin oleh sel β pankreas atau ketidakmampuan tubuh mengenali insulin yang telah disekresi. Diabetes Melitus yang terjadi terus menerus dapat merusak jantung, pembuluh darah, mata, ginjal dan saraf. Diabetes Melitus terbagi menjadi 2 tipe utama, yaitu DM tipe 1 dan DM tipe 2 (World Health Organization, 2016).

Prevalensi penderita penyakit DM di seluruh dunia diperkirakan mencapai 425 juta jiwa orang dewasa pada tahun 2017 atau sekitar 8.8% orang dewasa dengan usia 20-79 tahun. Angka penderita DM tersebut akan naik menjadi 451 juta jiwa apabila rentang usia penderita diperpanjang menjadi 18-99 tahun. Jika hal ini terus terjadi, maka pada tahun 2045 diperkirakan penderita DM diseluruh dunia akan mencapai 629 juta jiwa untuk penderita dengan usia 20-79 tahun atau sekitar 693 juta jiwa untuk usia 18-99 tahun. Berdasarkan Atlas Diabetes yang disusun oleh International Diabetes Federeation pada tahun 2017 Indonesia masuk ke dalam kawasan Pasifik Barat yang menempati urutan keempat penderita DM terbanyak di seluruh dunia dengan prevalensi 8.6% untuk penderita DM usia 20-79 tahun (International Diabetes Federation, 2017).

Indonesia sendiri menempati urutan keenam sebagai negara dengan penderita DM terbanyak di dunia setelah China, India, Amerika Serikat, Brazil dan Meksiko dengan jumlah penderita sebanyak 10,3 juta jiwa pada tahun 2017 (International Diabetes Federation, 2017). Sedangkan, berdasarkan Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan RI pada tahun 2013, jumlah penderita DM di Sumatera

(17)

2

Utara sekitar 205 ribu jiwa dan menempati peringkat kedelapan di seluruh Indonesia (Riskesdas, 2013).

Pada penderita DM, pasien umumnya mengalami gejala sering buang air kecil di malam hari, sering merasa lapar dan haus walupun sudah makan dan minum, penurunan berat badan, pandangan kabur, lemas, terdapat luka yang cukup lama untuk sembuh, dan rasa nyeri pada tangan maupun kaki (American Diabetes Association, 2015). Diabetes Melitus dapat menyebabkan komplikasi pada organ lain seperti kerusakan jantung, pembuluh darah, mata, ginjal dan saraf. Selain itu, DM juga meningkatkan resiko penyakit berat lainnya seperti stroke dan jantung koroner yang dapat berujung pada kematian. Angka kematian DM sendiri mencapai 4 juta jiwa pada tahun 2017 atau dengan kata lain terjadi 1 kematian setiap 8 detik di dunia (International Diabetes Federation, 2017).

Penyakit DM dapat didiagnosa melalui uji laboratorium dari darah pasien yang diambil sebagai sampel. Hasil pemeriksaan tersebut dinyatakan positif apabila ditemukan kadar gula darah (KGD) puasa ≥126 mg/dl, atau KGD 2 jam post- prandial (KGD 2PP) ≥200 mg/dl, atau KGD sewaktu ≥200 mg/dl, atau kadar HbA1c ≥6,5% (American Diabetes Association, 2018).

Pada tubuh pasien yang menderita DM, terjadi peningkatan kadar glukosa dalam darah. Hal tersebut menyebabkan terjadinya oksidasi glukosa yang berlebihan. Dalam proses itu akan dihasilkan Reactive Oxygen Species (ROS).

Reactive Oxygen Species adalah radikal bebas yang berupa oksigen dan turunannya yang sangat reaktif. Radikal bebas tersebut dapat menyebabkan kerusakan oksidatif terhadap DNA, molekul protein, lipid membran sel, komponen sel atau jaringan lainnya. Maka dari itu, antioksidan mempunyai peranan penting dalam mengatasi dan memperbaiki kerusakan akibat radikal bebas (Rahimi-Madiseh et al., 2016).

Pada dasarnya, secara alami di seluruh tubuh telah dibentuk scavenger enzyme yang berfungsi untuk membersihkan ROS atau radikal bebas. Mekanisme kerja enzim ini adalah untuk mengoksidasi ROS. Salah satunya adalah glutation tereduksi (GSH) yang berperan dalam regulasi sistem imun. Glutation memiliki peranan penting dalam melindungi tubuh sebagai antioksidan, metabolisme nutrisi dan mengatur aktivitas seluler termasuk ekspresi gen, sintesis DNA dan protein,

(18)

proliferasi dan apoptosis sel, transduksi sinyal, produksi sitokin dan respon imun serta glutationilasi protein. Selain mekanisme alami dalam tubuh, antioksidan juga dapat berupa mikronutrien seperti β-karoten, vitamin C dan vitamin E (α-tokoferol) yang bisa diperoleh dari konsumsi makanan maupun suplemen sehari-hari (Tymoczko et al., 2015).

Kadar GSH dalam tubuh menjadi aspek penting yang harus diperhatikan karena apabila terganggunya sintesis dan metabolisme GSH, maka akan mengakibatkan fungsi GSH terganggu dan mengakibatkan munculnya berbagai penyakit seperti DM, Alzheimer, stroke, serangan jantung dan lain-lain (Yuniastuti, 2016). Pada suatu penelitian dengan pasien DM ditemukan penurunan kadar GSH yang cukup signifikan dibandingkan dengan subjek yang tidak menderita DM (Aouacheri et al., 2015). Penurunan kadar GSH ini diindikasikan oleh karena penurunan kadar enzim- enzim yang membantu mensintesis GSH itu sendiri yaitu seperti subunit katalitik (GCLC), glutathione synthetase (GSS), dan γ-glutamyl transpeptidase (GGT) (Lagman et al., 2015). Pada penelitian lain, ditemukan peningkatan beberapa komponen pelindung antioksidan seperti glutation redukstase (GRx), asam urat dan GGT. Tetapi, hal tersebut tidak efektif karena hasil menunjukkan tetap menurunnya kadar GSH pada eritrosit (Gawlik et al., 2015). Selain itu, telah ditemukan juga penurunan GSH pada pasien coronary artery disease (CAD) dengan KGD puasa tinggi pada penelitian lainnya (Karolczak et al., 2017).

Selain peningkatan KGD, hal lain yang dapat mempengaruhi kadar GSH dalam tubuh seseorang adalah HbA1c, faktor usia dan lama menderita. HbA1c adalah hemoglobin yang dapat mengikan glukosa. HbA1c dapat bertahan di dalam tubuh selama kurang lebih 120 hari seiring dengan masa hidup eritrosit, yang juga akan naik kadarnya jika glukosa dalam darah tinggi. HbA1c digunakan juga sebagai diagnosis DM karena menggambarkan kesan glukosa dalam darah pada 3-4 bulan terakhir. Pada suatu penelitian, ditemukan hubungan antara HbA1c dan GSH.

Dimana GSH pada pasien DM dengan HbA1c yang tinggi mengalami penurunan yang signifikan. Kemudian, kadar GSH di dalam tubuh akan semakin menurun jumlahnya pada usia lanjut sebagai proses penuaan. Hal tersebut menyebakan orang dengan usia lanjut lebih rentan terhadap radikal bebas. Sehingga, banyak penyakit

(19)

4

yang dapat dengan mudah menyerang usia lanjut seperti penyakit jantung, diabetes, stroke dan lain-lain. Pada pasien dengan DM, lama menderita penyakit DM juga dapat menentukan kadar GSH pada pasien tersebut. Semakin lama seseorang telah menderita DM, maka akan semakin menurun juga kadar glutation pada tubuhnya (Aouacheri et al., 2015).

Dari hal yang telah disebutkan di atas, antioksidan terutama GSH diyakini memiliki manfaat yang sangat berguna bagi tubuh. Yaitu antara lain, untuk mencegah dan memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh radikal bebas (Rahimi-Madiseh et al., 2016). Maka dari itu, mengukur kadar GSH pada pasien DM diharapkan dapat membantu memprediksi terjadinya komplikasi pada pasien DM tersebut. Pada penelitian sebelumnya, ditemukan penurunan kadar GSH pada penderita DM seiring dengan meningkatnya KGD dan HbA1c. Begitu juga dengan aktivitas enzim antioksidan seperti G6PDH, GPx dan GRx yang mengalami penurunan. Namun, pada penelitian tersebut ditemukan kadar SOD yang meningkat. Hal ini diduga sebagai reaksi kompensasi untuk mengatasi radikal bebas yang meningkat (Aouacheri et al., 2015).

Berdasarkan uraian di atas, peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara kontrol glikemik (KGD dan HbA1c) dengan kadar glutation pada pasien Diabetes Melitus tipe 2. Kali ini pengambilan sampel penelitian dilakukan di Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (RS USU). Diharapkan dengan penelitian ini dapat melihat apakah pada setiap kenaikan kontrol glikemik diikuti dengan perubahan kadar glutation (GSH) pada pasien Diabetes Melitus tipe 2 di RS USU.

1.2 RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang di atas, maka dirumuskan permasalahan sebagai berikut: Bagaimana hubungan kontrol glikemik (KGD dan HbA1c) dengan kadar glutation pada penderita diabetes melitus?

(20)

1.3 TUJUAN PENELITIAN 1.3.1 TUJUAN UMUM

Mengetahui hubungan kontrol glikemik (KGD dan HbA1c) dengan kadar glutation pada pasien diabetes melitus di RS USU.

1.3.2 TUJUAN KHUSUS

1. Mengetahui kelompok umur penderita DM pada RS USU 2. Mengetahui lama menderita DM pada populasi tersebut.

3. Mengetahui kadar glukosa darah penderita DM pada populasi tersebut.

4. Mengetahui kadar HbA1c penderita DM pada populasi tersebut.

5. Mengetahui kadar glutation penderita DM pada populasi tersebut.

1.4 MANFAAT PENELITIAN

- Memberikan informasi kepada tenaga medis dan rumah sakit untuk digunakan sebagai landasan teori mengenai hubungan kontrol glikemik dan glutation yang mungkin dapat dimasukkan dalam pertimbangan pengobatan pasien DM.

- Menambah wawasan peneliti mengenai gambaran kontrol glikemik dan hubungannya dengan glutation pada pasien DM, serta pentingnya peran glutation pada pasien DM.

- Menambah pengetahuan masyarakat mengenai hubungan kontrol glikemik dengan glutation, serta pentingnya glutation dalam menjaga keseimbangan tubuh .

(21)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DIABETES MELITUS 2.1.1 DEFINISI

Diabetes melitus adalah suatu penyakit kronik dimana terjadi peningkatan kadar gula dalam darah yang disebabkan oleh ketidakmampuan tubuh untuk memproduksi cukup insulin atau ketidakmampuan dalam menggunakan insulin secara efektif. Insulin merupakan suatu hormon esensial yang diproduksi di pankreas. Kerja dari insulin adalah untuk mendistribusikan glukosa dari aliran darah ke sel-sel tubuh yang selanjutnya akan digunakan untuk membentuk energi (International Diabetic Federation, 2017).

2.1.2 KLASIFIKASI

Menurut American Diabetes Association, diabetes terbagi menjadi beberapa jenis, yaitu:

1. Diabetes melitus tipe 1 2. Diabetes melitus tipe 2 3. Diabetes melitus gestasional 4. Diabetes melitus tipe lainnya DIABETES MELITUS TIPE 1

Diabetes tipe 1 disebabkan oleh reaksi autoimun dimana sistem imun tubuh menyerang sel β pankreas yang memproduksi insulin. Sebagai hasilnya, tubuh akan memproduksi sedikit atau tidak sama sekali insulin yang menyebabkan tubuh kehilangan insulin secara absolut. Penyebab dari proses destruktif ini masih belum secara jelas diketahui, namun beberapa pemicu dari lingkungan seperti infeksi virus, racun atau beberapa pengaruh pola makan dianggap memberi pengaruh pada

(22)

DM tipe 1 ini. Diabetes Melitus tipe 1 dapat terjadi pada usia berapapun, namun lebih sering terjadi pada anak-anak dan remaja. Pasien DM tipe 1 sangat tergantung pada insulin karena tubuh mereka tidak dapat memproduksi insulin yang memadai.

Oleh karena itu, pasien DM tipe 1 sangat membutuhkan injeksi insulin untuk mempertahankan kadar gula darah dalam tubuh mereka. Pembagian DM tipe 1 dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu (American Diabetic Association, 2018):

a. Immune-Mediated Diabetes

Immune-Mediated Diabetes yang sebelumnya dikenal juga sebagai

“insulin-dependent diabetes” atau “juvenile-onset diabetes” adalah tipe diabetes yang disebabkan oleh terbentuknya autoimun yang menyerang sel beta pankreas.

b. Diabetes Idiopatik

Penyebab diabetes tipe ini masih belum diketahui secara pasti. Namun, tidak ditemukannya bukti bahwa ada reaksi autoimun terhadap sel beta pankreas seperti pada tipe Immune-Mediated Diabetes.

DIABETES MELITUS TIPE 2

Diabetes melitus tipe 2 yang dulu disebut juga sebagai “noninsulin-dependent diabetes” atau “adult-onset diabetes” merupakan tipe diabetes dengan angka kejadian terbanyak, yaitu mencapai 90-95% dalam kasus diabetes melitus. Ada berbagai penyebab dari diabetes tipe ini, namun etiologi spesifiknya masih belum diketahui secara pasti. Pada pasien DM tipe 2 tidak terdapat kerusakan sel beta pankreas oleh autoimun dan pasien juga tidak memiliki penyebab lain yang diketahui. Kebanyakan dari pasien DM tipe 2 mengalami overweight atau obesitas.

Kelebihan berat badan ini menyebabkan terjadi nya resitensi insulin yang dianggap menjadi penyebab utama terjadinya DM tipe 2 ini (American Diabetic Association, 2018).

DIABETES MELITUS GESTASIONAL

Diabetes melitus gestasional adalah peningkatan KGD yang pertama kali dideteksi pada wanita selama masa kehamilannya. Diabetes Melitus gestasional ini

(23)

8

bisa menghilang setelah masa kehamilan atau bahkan menetap walaupun pasien telah melahirkan. Bayi yang lahir dari ibu yang menderita DM gestasional biasanya berukuran besar atau disebut juga makrosomia (American Diabetic Association, 2018).

DIABETES MELITUS TIPE LAINNYA

Diabetes melitus tipe lainnya terjadi oleh penyebab lain yang tidak termasuk pada golongan penyebab yang telah dijelaskan sebelumnya. Contoh penyakit DM tipe lainnya yaitu, sindrom monogenic diabetes, penyakit eksokrin pankreas, dan drug-or chemical-induced diabetes (American Diabetic Association, 2018).

2.1.3 FAKTOR RESIKO

Menurut CDC pada tahun 2017, faktor resiko penyakit DM bergantung pada masing-masing tipe atau tahapan dari DM itu sendiri, yaitu sebagai berikut:

 Prediabetes

Seseorang akan lebih berkemungkinan masuk ke tahap prediabetes apabila:

- Berat badan berlebih (overweight) - Umur di atas 45 tahun

- Mempunyai orang tua, saudara laki-laki maupun perempuan yang mengidap DM tipe 2

- Aktivitas fisik kurang dari 3 kali dalam seminggu - Pernah mengalami diabetes gestasional

- Ras Afrika-Amerika, Latin Amerika, Indian Amerika atau Native Alaska

 DM tipe 2

Diabetes Melitus tipe 2 memiliki faktor resiko yang sama dengan prediabetes. Apabila seseorang sudah berada dalam tahap prediabetes dan tidak dapat menjaga kestabilan tubuhnya, maka kemungkinan besar akan berlanjut ke tahap DM tipe 2.

 DM tipe 1

(24)

Faktor resiko DM tipe 1 tidak diketahui secara pasti seperti prediabetes dan DM tipe 2, namun beberapa faktor resiko yang diketahui sebagai berikut:

- Memilki riwayat keluarga yang mengidap DM tipe 1

- Usia penderita DM tipe 1 umumnya terjadi pada usia anak-anak hingga dewasa muda

 Diabetes Gestasional

Faktor resiko diabetes gestasional adalah sebagai berikut:

- Perempuan yang sedang hamil dan memiliki berat badan berlebih - Berusia diatas 25 tahun

- Mengalami diabetes gestasional pada kehamilan sebelumnya - Berat janin ketika lahir lebih dari 9 pounds atau 4 kg

- Memiliki riwayat keluarga dengan DM tipe 2

- Menderita penyakit Polycystic Ovary Syndrom (PCOS)

- Ras Afrika-Amerika, Latin Amerika, Indian Amerika atau Native Alaska (Centers for Disease Control and Prevention, 2014).

2.1.4 GEJALA KLINIS

Gejala klinis yang sering ditemukan pada pasien DM bermacam-macam.

Namun, secara umum gejala klinis dari penyakit DM yang sering menjadi keluhan pasien ketika datang untuk mendapatkan pengobatan adalah poliuria, polidipsia dan polifagia. Poliuria adalah meningkatnya frekuensi berkemih pasien terutama pada malam hari. Sehingga, biasanya pasien mengeluhkan siklus tidur yang terganggu akibat sering buang air kecil. Polidipsia adalah rasa haus yang berlebihan.

Sedangkan polifagia adalah rasa lapar berlebihan yang menyebabkan pasien berkeinginan untuk makan terus menerus. Walaupun dengan frekuensi makan yang meningkat, pasien DM pada umumnya akan mengalami penurunan berat badan yang cukup signifikan. Selain itu, gejala lain yang biasa ditemukan pada pasien DM adalah lemah badan, kesemutan pada kaki dan tangan, pandangan kabur, gatal- gatal, dan disfungsi ereksi pada pria serta pruritus vulva pada wanita (PERKENI, 2015).

(25)

10

2.1.5 DIAGNOSIS

Diagnosis DM ditegakkan atas dasar pemeriksaan kadar glukosa darah.

Pemeriksaan glukosa darah yang dianjurkan adalah pemeriksaan glukosa secara enzimatik dengan bahan plasma darah vena. Pemantauan hasil pengobatan dapat dilakukan dengan menggunakan pemeriksaan glukosa darah kapiler dengan glukometer. Diagnosis tidak dapat ditegakkan atas dasar adanya glukosuria (PERKENI, 2015).

Berbagai keluhan dapat ditemukan pada penyandang DM. Kecurigaan adanya DM perlu dipikirkan apabila terdapat keluhan seperti:

• Keluhan klasik DM: poliuria, polidipsia, polifagia dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.

• Keluhan lain: lemah badan, kesemutan, gatal, mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada wanita (PERKENI, 2015).

Diabetes Melitus dapat ditegakkan apabila ditemukan keluhan tersebut dan salah satu dari hasil pemeriksaan darah pasien sebagai berikut:

 Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada asupan kalori minimal 8 jam.

 Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral (TTGO) dengan beban glukosa 75 gram.

 Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan keluhan klasik.

 Pemeriksaan HbA1c ≥6,5% dengan menggunakan metode yang terstandarisasi oleh National Glycohaemoglobin Standarization Program (NGSP) (PERKENI, 2015).

Hasil pemeriksaan yang tidak memenuhi kriteria normal atau kriteria DM digolongkan ke dalam kelompok prediabetes yang meliputi: toleransi glukosa terganggu (TGT) dan glukosa darah puasa terganggu (GDPT).

• Glukosa Darah Puasa Terganggu (GDPT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma puasa antara 100-125 mg/dl dan pemeriksaan TTGO glukosa plasma 2-jam <140 mg/dl;

• Toleransi Glukosa Terganggu (TGT): Hasil pemeriksaan glukosa plasma 2 -jam setelah TTGO antara 140-199 mg/dl dan glukosa plasma puasa <100 mg/dl

(26)

• Bersama-sama didapatkan GDPT dan TGT

• Diagnosis prediabetes dapat juga ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan HbA1c yang menunjukkan angka 5,7-6,4% (PERKENI, 2015).

Tabel 2.1 Kadar tes laboratorium darah untuk diagnosis diabetes dan prediabetes, PERKENI 2015.

HbA1C (%) Glukosa Darah Puasa (mg/dl)

Glukosa Darah 2 Jam Setelah TTGO (mg/dl) Diabetes > 6,5 > 126 mg/dL > 200 mg/dL Prediabetes 5,7-6,4 100-125 140-199

Normal < 5,7 < 100 < 140

2.1.6 TATALAKSANA

A. TATALAKSANA NON-FARMAKOLOGI

Terapi non-farmakologi yang dianjurkan dalam penanganan penyakit DM adalah menjaga asupan konsumsi gula/karbohidrat harian dan melakukan aktivitas fisik atau olahraga ringan-sedang dengan durasi sekitar 30 menit per hari. Aktivitas fisik tersebut dilakukan dengan rutin minimal 3 kali dalam kurun waktu satu minggu (PERKENI, 2015).

B. TATALAKSANA FARMAKOLOGI

Terapi farmakologis diberikan bersama dengan pengaturan makan dan latihan jasmani (gaya hidup sehat). Terapi farmakologis terdiri dari obat oral dan bentuk suntikan (PERKENI, 2015).

1. Obat Antihiperglikemia Oral

Berdasakan cara kerjanya, obat antihiperglikemia oral dibagi menjadi 5 golongan:

(27)

12

a. Pemacu Sekresi Insulin (Insulin Secretagogue)

 Sulfonilurea

Obat golongan ini mempunyai efek utama meningkatkan sekresi insulin oleh sel beta pankreas. Efek samping utama adalah hipoglikemia dan peningkatan berat badan.

 Glinid

Glinid merupakan obat yang cara kerjanya sama dengan sulfonilurea, dengan penekanan pada peningkatan sekresi insulin fase pertama.

Golongan ini terdiri dari 2 macam obat yaitu Repaglinid (derivat asam benzoat) dan Nateglinid (derivat fenilalanin) (PERKENI, 2015).

b. Peningkatan Sensitivitas Terhadap Insulin

 Metformin

Metformin mempunyai efek utama mengurangi produksi glukosa hati (glukoneogenesis), dan memperbaiki ambilan glukosa di jaringan perifer. Efek samping yang mungkin berupa gangguan saluran pencernaan seperti halnya gejala dispepsia.

 Tiazolidindion (TZD)

Tiazolidindion merupakan agonis dari Peroxisome Proliferator Activated Receptor Gamma (PPAR-gamma), suatu reseptor inti yang terdapat antara lain di sel otot, lemak, dan hati. Golongan ini mempunyai efek menurunkan resistensi insulin dengan meningkatkan jumlah protein pengangkut glukosa, sehingga meningkatkan ambilan glukosa di jaringan perifer (PERKENI, 2015).

c. Penghambat Absorbsi Glukosa di Saluran Pencernaan

Penghambat Alfa Glukosidase adalah obat ini bekerja dengan memperlambat absorbsi glukosa dalam usus halus, sehingga mempunyai efek menurunkan kadar glukosa darah sesudah makan (PERKENI, 2015).

d. Penghambat DPP-IV (Dipeptidyl Peptidase-IV)

Obat golongan penghambat DPP-IV menghambat kerja enzim DPP-IV sehingga GLP-1 (Glucose Like Peptide-1) tetap dalam

(28)

konsentrasi yang tinggi dalam bentuk aktif. Aktivitas GLP-1 untuk meningkatkan sekresi insulin dan menekan sekresi glucagon bergantung kadar glukosa darah (glucose dependent). Contoh obat golongan ini adalah Sitagliptin dan Linagliptin (PERKENI, 2015).

e. Penghambat SGLT-2 (Sodium Glucose Co-transporter 2)

Obat golongan penghambat SGLT-2 merupakan obat antidiabetes oral jenis baru yang menghambat penyerapan kembali glukosa di tubuli distal ginjal dengan cara menghambat kinerja transporter glukosa SGLT-2. Obat yang termasuk golongan ini antara lain: Canagliflozin, Empagliflozin, Dapagliflozin, Ipragliflozin (PERKENI, 2015).

2. Obat Antihiperglikemia Suntik

Termasuk antihiperglikemia suntik, yaitu insulin, agonis GLP-1 dan kombinasi insulin dan agonis GLP-1.

a. Insulin

Insulin diperlukan pada keadaan:

- HbA1c > 9% dengan kondisi dekompensasi metabolik - Penurunan berat badan yang cepat

- Hiperglikemia berat yang disertai ketosis - Krisis Hiperglikemia

- Gagal dengan kombinasi OHO dosis optimal

- Stres berat (infeksi sistemik, operasi besar, infark miokard akut, stroke) - Kehamilan dengan DM/Diabetes mellitus gestasional yang tidak

terkendali dengan perencanaan makan - Gangguan fungsi ginjal atau hati yang berat - Kontraindikasi dan atau alergi terhadap OHO - Kondisi perioperatif sesuai dengan indikasi

Jenis dan Lama Kerja Insulin

Berdasarkan lama kerja, insulin terbagi menjadi 5 jenis, yakni:

- Insulin kerja cepat (Rapid-acting insulin) - Insulin kerja pendek (Short-acting insulin)

- Insulin kerja menengah (Intermediateacting insulin)

(29)

14

- Insulin kerja panjang (Long-acting insulin)

- Insulin kerja ultra panjang (Ultra longactinginsulin) b. Agonis GLP-1/Incretin Mimetic

Pengobatan dengan dasar peningkatan GLP-1 merupakan pendekatan baru untuk pengobatan DM. Agonis GLP-1 dapat bekerja pada sel-beta sehingga terjadi peningkatan pelepasan insulin, mempunyai efek menurunkan berat badan, menghambat pelepasan glukagon, dan menghambat nafsu makan (PERKENI, 2015).

3. Terapi Kombinasi

Terapi kombinasi obat antihiperglikemia oral, baik secara terpisah ataupun fixed dose combination, harus menggunakan dua macam obat dengan mekanisme kerja yang berbeda. Pada keadaan tertentu apabila sasaran kadar glukosa darah belum tercapai dengan kombinasi dua macam obat, dapat diberikan kombinasi dua obat antihiperglikemia dengan insulin (PERKENI, 2015).

2.2 GLUTATION

2.2.1 STRUKTUR GLUTATION

Glutation adalah sebuah tripeptida γ-L-glutamyl-L-cysteinyl-glycine, yang ditemukan pada semua jaringan mamalia dan terdapat pada konsentrasi tinggi khususnya pada organ hati. Ikatan peptida menghubungkan glutamat dari gugus γ- karboksil glutamate dan sistein membentuk glutation (GSH) (Gambar 2.1).

(30)

Gambar 2.1 Struktur Glutation (Tymoczko et al., 2015).

Sintesis tersebut dikatalisa oleh enzim γ-glutamyl transpeptidase (GGT) yang mana hanya berada di permukaan eksternal jenis sel tertentu. Sebagai konsekuensinya, GSH tahan terhadap degradasi intraseluler dan hanya dimetabolis ekstraseluler oleh organ yang mengandung GGT. Ikatan antara glutamat dari gugus γ-karboksil dengan gugus amino sistein oleh ikatan peptida diduga menyebabkan stabilitas molekul GSH, karena memungkinkan adanya degradasi molekul melalui asam amino c spesifik (Yuniastuti, 2016).

Ikatan disulfida glutation di dalam sitoplasma akan dihidrolisis di posisi sistein sebagai donor elektronnya, sehingga glutation kekurangan gugus thiolnya.

Selanjutnya, glutation diubah menjadi bentuk teroksidasi, yaitu glutathione disulfida (GSSG), disebut juga L-(-)-glutathione. Setelah teroksidasi, glutation dihidrolisis kembali oleh glutation reduktase (GRx), menggunakan NADPH sebagai donor elektron. Rasio glutation tereduksi (GSH) dengan glutation teroksidasi (GSSG) merupakan indikator sensitif untuk stres oksidasi dalam sel dan sering digunakan sebagai ukuran toksisitas seluler (Lagman et al., 2015).

GSH dengan enzim glutathione peroksidase (GPx) dapat mengkatalisis proses reduksi hidroperoksida lemak menjadi alkohol dan hidrogen peroksida menjadi air.

Pada saat mengkatalisis proses tersebut ikatan disulfida dari GSH akan berikatan membentuk glutathione teroksidasi (GSSG), dan enzim glutathione reduktase (GRx) dapat mendaur ulang GSSG menjadi GSH kembali dengan cara

(31)

16

mengoksidasi NADPH. Ketika sel terpapar oleh stres oksidasi maka akan terjadi penumpukan GSSG dan rasio GSH/GSSG akan menurun (Lagman et al., 2015).

2.2.2. BIOSINTESIS GLUTATION

Glutation terdapat dalam 2 bentuk yaitu glutation tereduksi (GSH) dan glutation teroksidasi (GSSG). Dapat dilihat pada gambar 2.2 bahwa bentuk GSSG adalah gabungan dari dua gugus GSH yang menyatu pada atom sulfur (Pizzorno, 2014).

Perbedaan dari GSH dan GSSG lainnya adalah, GSH mempunyai fungsi sebagai antioksidan sedangkan GSSG hasil dari penggunaan GSH dan tidak mempunyai efek sebagai antioksidan (Lagman et al., 2015).

Gambar 2.2 Perbedaan struktur GSH (atas) dan GSSG (bawah).

Glutation (GSH) disintesis dalam sitosol di hampir semua sel dan kemudian dipompa menuju mitokondria. Pembentukan GSH dapat terjadi dengan 3 cara, yaitu ( Pizzorno, 2014):

1. Sintesis secara de novo melalui dua tahap katalase dengan enzim GCL dan GSS yang membutuhkan ATP.

2. Regenerasi dari GSSG menjadi GSH kembali menggunakan GRx yang membutuhkan NADPH.

3. Daur ulang cysteine dari glutation terkonjugasi menggunakan GGTP (Gamma Glutamil Transpeptidase) yang membutuhkan NAPDH.

(32)

Sintesis GSH secara de novo dari asam amino melibatkan dua ATP yang membutuhkan langkah-langkah enzimatik sebagai berikut:

1. L - glutamat + L - sistein + ATP γ - glutamil → - L - sistein + ADP + Pi 2. γ - glutamil - L - sistein + L - glisin + ATP → GSH + ADP + Pi

Tahap awal sintesis GSH dimulai dari ikatan antara sistein dengan glutamate yang menghasilkan γ-glutamylcysteine. Reaksi ini dikatalisa oleh enzim glutamate cysteine ligase (GCL), juga dikenal sebagai γ-glutamylcysteine synthetase (Yuniastuti, 2016).

Enzim GCL ini memerlukan ATP untuk hidrolisis dengan membentuk suatu ikatan amida antara gugus karboksil dari glutamat dan gugus amino dari sistein.

Langkah berikutnya melibatkan enzim glutation sintetase (GSS), yang bertanggung jawab untuk menambahkan glisin pada dipeptida untuk memproduksi GSH dan juga membutuhkan ATP untuk hidrolisis (Gambar 2.3).

Gambar 2.3. Tahapan Sintesis Glutation (Pizzorno, 2014).

Selain dibentuk dengan proses de novo, proses pembentukan GSH dapat dilakukan oleh GSSG dengan menggunakan enzim Glutation Reduktase (GRx) (gambar 2.3). Mekanisme keluarnya GSH dari sel secara fisiologis penting karena pasokan GSH hepatosit ditemukan pula dalam plasma, yang digunakan sebagai sumber sistein untuk sintesis GSH pada sel lain dengan jalur daur ulang. Proses ini

(33)

18

membutuhkan dua enzim yang umum ditemukan pada permukaan sel. Enzim γ - glutamil transpeptidase (GGTP) berfungsi mentransfer glutamat untuk asam amino lainnya dan melepaskan ikatan sistein-glisin, yang pada gilirannya dapat dipecah oleh dipeptidase untuk menghasilkan sistein dan glisin. Sistein dan glisin serta asam amino γ-glutamil yang pindah ke sel lain oleh transporter asam amino tertentu akan digunakan untuk biosintesis GSH kembali (Pizzorno, 2014).

Meskipun GSH disintesis di setiap sel tubuh, tapi secara kuantitatif organ hati adalah tempat sintesis utama. Sebuah penelitian telah dilakukan untuk mengetahui konsentrasi GSH hati, menunjukkan bahwa GSH disintesis intraseluler dari asam amino prekursor nya oleh adenosine 5’-triphosphate (ATP) - yang membutuhkan enzim γ-glutamylcysteine sintetase (γGCS) dan GSH sintetase. Dalam sel >98%

dalam bentuk tiol–reduksi (GSH), tetapi beberapa juga keberadaanya dalam tiol- teroksidasi (GSSG), thioeter, merkaptida atau bentuk thioester lainnya (GSH konjugat). Glutation intraseluler dipertahankan dalam bentuk pengurangan H oleh NADPH dan membutuhkan enzim glutation reduktase (Yuniastuti, 2016).

Setelah disintesis dalam sitosol, GSH dikirim ke kompartemen intraseluler lainnya, termasuk mitokondria dan retikulum endoplasma, serta ruang ekstraselular (plasma darah dan empedu) untuk dimanfaatkan oleh sel dan jaringan lain. Salah satu contohnya adalah kira-kira setengah dari GSH yang dihasilkan oleh hepatosit tikus diangkut melintasi membran canalicular ke empedu, dengan konsentrasi GSH bilier mencapai 8 - 10 mM. Sisa dari GSH dilepaskan melintasi membran sinusoidal ke plasma darah untuk pengiriman ke jaringan lain. Konsentrasi plasma GSH relatif rendah (sekitar ~0,01 mM), karena katabolisme cepat dari tripeptide dalam sirkulasi.

Konsentrasi GSH dalam sel hati (~10 mM ) merupakan hasil dari keseimbangan dinamis antara sintesis dan efflux nya ke dalam plasma dan empedu (Yuniastuti, 2016).

Bila tidak ada stress oksidasi atau bahan kimia elektrofilik, hampir semua glutation yang dikeluarkan oleh sel hati ke plasma darah dan empedu dalam bentuk tereduksi, yaitu GSH. Di sisi lain, ketika GSSG dengan berat molekul yang relatif tinggi atau hidrofobik glutathione S-konjugasi terbentuk dalam hepatosit, maka akan diekskresikan melintasi membran canalicular ke empedu (Yuniastuti, 2016).

(34)

2.2.3. PERAN GLUTATION SEBAGAI ANTIOKSIDAN

Mekanisme kerja dari GSH didalam proses penangkapan radikal bebas yaitu dalam segi kemampuananya mereduksi hidroksil radikal (⦁OH) yang berasal dari reaksi Fenton.

Fe++ + H2O2 —> Fe+++ + ⦁OH + :OH-GSH + ⦁OH —> ⦁GS + H2O dan glutathione yang teroksidasi bersifat radikal akan saling menetralisir

⦁GS + ⦁GS —> GSSG

atau dapat juga dikatakan dengan rumus yang berbeda, yaitu:

2 GSH + ROOH => GSSG + ROH + H2O

Disamping itu enzym glutation peroxidase (GPx) menetralisir Hidrogen Peroksida (H2O2) dengan cara mengambil hydrogen untuk membentuk 2 H2O dan satu GSSG, sedangkan enzyme glutation reduktase (GRx) akan menjadikan GSSG, dengan menggunakan enzyme NADPH sebagai sumber hydrogen, menjadi GSH kembali.

2 GSH + H2O2 => GSSG + 2 H2O

Dengan kata lain glutathione di sini mencegah hidroksil radikal yang dapat merubah molekul lemak menjadi lemak radikal (⦁L) atau peroksida lemak (LOO⦁) melalui dua sisi yaitu mencegah terbentuknya hydroksil radikal (⦁OH) bereaksi dengan molekul lemak atau mencegah terbentuknya hidroksil radikal dengan merubah Hidrogen Peroksida (H2O2) menjadi molekul air (Gambar 2.4) (Yuniastuti, 2016).

(35)

20

Gambar 2.4 Mekanisme fungsi glutation sebagai antioksidan (Yuniastuti, 2016).

2.3 HUBUNGAN DIABETES MELITUS DENGAN GLUTATION

Pada pasien DM, terjadi kondisi hiperglikemia yaitu peningkatan kadar gula darah melebihi batas normal. Kadar gula darah yang berlebih ini dapat meningkatkan indikator dari lipid peroxidase dan stress oxidative dimana radikal bebas memilki peranan penting dalam patogenesis dari komplikasi-komplikasi DM.

Kondisi hiperglikemia menyebabkan reaksi oksidasi glukosa yang berlebihan dan berujung pada kerusakan jaringan. Pada kondisi komplikasi diabetes yang menyerang bagian mikrovaskular diketahui disebabkan oleh 5 mekanisme utama, yaitu (Rahimi-Madiseh et al., 2016):

1. Peningkatan ekspresi reseptor untuk Advanced Glycation End products (AGEs) dan ligand-ligand yang teraktivasi;

2. Peningkatan pembentukan AGEs di intraseluler;

3. Peningkatan aliran glukosa dan gula dalam bentuk lain melalui polyol pathway;

4. Aktivasi dari isoform protein C kinase;

5. Aktivitas yang berlebihan dari hexosamine pathway.

(36)

Lima mekanisme tersebut teraktivasi oleh produksi Reactive Oxygen Species (ROS) yang berlebihan oleh mitokondria. Di sisi lain, komplikasi diabetes makrovaskular dan kerusakan jantung disebabkan oleh peningkatan oksidasi dari asam lemak, yang dihasilkan oleh jalur-khusus resistensi insulin (Rahimi-Madiseh et al., 2016).

Kebanyakan dari jalur seluler menyebabkan resistensi insulin dan komplikasi diabetes dihubungkan dengan produksi dari radikal bebas dan stres oksidatif. Efek awal dari peningkatan glukosa yaitu dapat meningkatkan terbentuknya ROS dan dapat merugikan tubuh bahkan setelah pengontrolan kadar glukosa. Radikal bebas yang berlebihan dapat merusak membran sel lipid, protein sel dan asam nukleat, yang pada akhirnya dapat menyebabkan kematian sel. Selain itu, meningkatnya seruloplasmin pada kondisi hiperglikemia menyebabkan peningkatan ROS. Stres oksidatif dapat memicu onset DM dengan menurunkan sensitivitas insulin dan merusak sel β pankreas. Reactive Oxygen Species dapat masuk ke dalam membran sel β pankreas dan menghancurkan sel tersebut (Rahimi-Madiseh et al., 2016).

Peningkatan stres oksidatif pada DM juga dapat menyebabkan perkembangan penyakit lain seperti myocardial injury, retinopati, nefropati dan neuropati.

Mekanisme yang memungkinkan stres oksidatif dalam perkembangan komplikasi- komplikasi ini adalah auto oksidasi dari glukosa, menurunnya konsentrasi low molecular weight antioxidants seperti glutation dan vitamin E, dan menurunnya aktivasi dari enzim-enzim pertahanan anti oksidan seperti katalase dan superoxide dismutase (SOD) (Rahimi-Madiseh et al., 2016).

Pada pasien yang menderita DM tipe 2, stres oksidatif diketahui mempengaruhi perburukan DM tipe 2 dan mengarah pada komplikasi (Gambar 2.5). Reactive Oxygen Species (ROS), Reactive Nitrogen Species (RNS) dan stres oksidatif terinduksi karena terjadi peningkatan KGD dan Free Fatty Acid (FFA) yang menyebabkan resistensi insulin dan kerusakan sel β pankreas melalui aktivasi jalur stress-sensitive signaling. Jalur stres oksidatif lainnya juga dapat terjadi dan menyebabkan menigkatnya produksi AGE, sorbitol, sitokin, prostanoids, dan heksosamine. Reactive Oxygen Species dan Reactive Nitrogen Species mempunyai peranan dalam patogenesis diabetes dengan memicu kerusakan makromolekular.

(37)

22

Selain itu, ROS juga berfungsi sebagai molekul pemberi sinyal untuk mengaktivasi stress-sensitive pathway (Banerjee and Vats, 2014).

Gambar 2.5 Skema mekanisme terjadinya komplikasi DM karena stress oksidatif (Banerjee and Vats, 2014).

Dalam menangani kondisi tersebut, tubuh membutuhkan peran antioksidan.

Antioksidan adalah senyawa yang dapat menetralisir ROS yang berupa radikal bebas. Antioksidan mempunyai struktur molekul yang dapat memberikan senyawa elektronnya kepada molekul radikal bebas dan dapat memutus reaksi berantai dari radikal bebas. Tubuh dapat menghasilkan antioksidan berupa enzim yang aktif bila didukung oleh nutrisi pendukung atau mineral yang disebut kofaktor. Tubuh menghasilkan antioksidan seperti superoxide dysmutase, katalase dan glutation (GSH). Antioksidan tersebut secara tidak akan bekerja sebagai penghambat terjadinya berbagai kerusakan jaringan di dalam tubuh (Banerjee and Vats, 2014).

Pada beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya, didapati hasil yang menunjukkan bahwa penurunan kadar GSH terjadi pada pasien DM. Kadar GSH total dan GSH tereduksi ditemukan menurun di eritrosit maupun di plasma pada sampel pasien DM dibandingkan dengan sampel normal tanpa DM. Pemeriksaan kadar GSH juga dilakukan pada monosit yang diisolasi dan menunjukkan hasil yang menurun dibandingkan dengan sampel normal. Penurunan kadar GSH ini berkaitan

(38)

dengan berkurangnya kadar enzim-enzim pembentuk GSH seperti GCLC, GSS dan GGT (Lagman et al., 2015).

Enzim-enzim aktivitas anti oksidan seperti glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), glutation peroksidase (GPx) dan glutation reduktase (GRx) juga ditemukan berkurang secara signifikan kadarnya pada pasien DM tipe 2. Namun, enzim superoksida dismutase (SOD) didapati meningkat secara signifikan kadarnya pada pasien DM tersebut. Kadar HbA1c juga dinilai hubungannya dengan kadar GSH pada pasien DM tipe 2 dengan total sampel 59 orang (laki-laki=34;

perempuan=25). Dari penelitian tersebut didapati hubungan yang signifikan negatif antara kadar HbA1c dengan GSH (Aouacheri et al., 2015). Pada penelitian lainnya, ditemukan kadar GSH yang lebih rendah pada pasien DM dengan HbA1c >7 dibandingkan dengan pasien DM dengan HbA1c <7. Secara statistik, memang ditemukan perbedaan antara kedua kelompok tersebut, namun tidak ditemukan perbedaan yang signifikan. Maka dari itu, pada penelitian tersebut disimpulkan bahwa terdapat korelasi yang negatif antara HbA1c dengan GSH (Kalkan and Suher, 2013).

(39)

24

2.4 KERANGKA TEORI

Gambar 2.6 Kerangka teori penelitian.

Diabetes Melitus Etiologi

Faktor Resiko

Patofisiologi

Manifestasi dan Gejala Klinis

Tipe

Pemeriksaan Diagnostik Kadar Gula Darah,

HbA1c & Glutation Tatalaksana

Epidemiologi

Onset Komplikasi

(40)

2.5 KERANGKA KONSEP

Gambar 2.6 Kerangka konsep penelitian.

2.6 HIPOTESIS

Terdapat hubungan antara kontrol glikemik (KGD & HbA1c) dengan kadar glutation pada penderita DM tipe 2 di RS USU.

Kadar Glutation pada pasien Diabetes Melitus Kadar Gula Darah

Kadar HbA1c

(41)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1. RANCANGAN PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian yang bersifat analitik, yaitu suatu penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai hubungan antara kontrol glikemik dengan kadar glutation pada pasien DM tipe 2 di RS USU.

Rancangan penelitian ini menggunakan metode cross sectional yaitu suatu studi epidemiologi yang mengukur beberapa variabel dalam satu saat sekaligus.

3.2. LOKASI DAN WAKTU PENELITIAN

Penelitian dilakukan dua tempat, yaitu di Laboratorium Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (RS USU) untuk pemeriksaan kontrol glikemik, dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) untuk pemeriksaan kadar glutation. Penelitian ini dilakukan pada bulan April- November 2018.

3.3. POPULASI DAN SAMPEL 3.3.1. POPULASI

Populasi untuk sampel adalah pasien yang menderita DM tipe 2 yang datang ke RS USU untuk mendapatkan pengobatan.

3.3.2. SAMPEL

Pasien yang dijadikan sebagai sampel adalah mereka yang datang ke RS USU yang telah didiagnosis oleh dokter spesialis endokrin menderita DM, mulai dari bulan Juni 2018 sampai dengan terpenuhinya jumlah sampel yang dibutuhkan.

Kelompok sampel tersebut kemudian diseleksi kembali dengan kriteria inklusi dan eksklusi yang telah ditentukan sebelumnya. Adapun kriteria inklusi dan eksklusi untuk kelompok tersebut adalah sebagai berikut:

(42)

A. Kriteria Inklusi 1. Berusia ≥35 tahun

2. Sedang menderita atau didiagnosa dengan DM (pada pemeriksaan ditemukan hasil degan kadar gula darah (KGD) puasa ≥126 mg/dl, atau KGD 2 jam post-prandial ≥200 mg/dl, atau KGD sewaktu ≥200 mg/dl, atau kadar HbA1c ≥6,5%)

3. Mampu berbahasa Indonesia yang baik dan benar

4. Bersedia menjadi sampel penelitian dan telah menandatangani lembar informed consent atau persetujuan setelah penjelasan

5. Bersedia untuk berpuasa minimal 8 jam sebelum pengambilan darah untuk KGD puasa dan kembali lagi 2 jam setelah makan untuk pemeriksaan KGD post-prandial

6. Tidak sedang mengkonsumsi suplemen antioksidan B. Kriteria Eksklusi

1. Tidak koorperatif untuk pengambilan data

2. Sudah sembuh dari DM dengan KGD normal (DM terkontrol) 3. Meminum obat DM sebelum pengambilan darah

Sampel yang telah sesuai dengan kriteria inklusi dan eksklusi, kemudian ditentukan jumlahnya mengggunakan rumus Slovin, yaitu:

𝑛 = 4 𝑝 𝑞 𝑑² Keterangan:

n = jumlah sampel minimal yang diperlukan

p = nilai p dari penelitian sebelumnya, 0,02 (Kalkan and Suher, 2013) q = 1-p

d = limit error

maka perhitungan jumlah sampel adalah sebagai berikut:

𝑛 = 4 𝑝 𝑞

𝑑2 = 4 (0,02)(1 − 0,02)

(0,05)2 = 4 (0,02)(0,98)

0,0025 = 31,36 ≈ 31

(43)

28

Dari hasil perhitungan tersebut didapatkan jumlah sampel minimum yang digunakan dalam penelian ini adalah 31 sampel.

3.4. METODE PENGUMPULAN DATA

Teknik pengambilan data pada penelitian ini adalah Non-Probability Sampling (Non-Random Sample) dengan tipe Purposive Sampling dimana teknik penggumpulan data yang digunakan menggunakan kriteria tertentu yang sudah ditentukan sebelumnya dengan seleksi inklusi dan eksklusi.

Jenis data yang diambil adalah data primer yang didapatkan secara langsung dari hasil pemeriksaan darah sampel yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi sebelumnya.

3.4.1. PROSEDUR PENELITIAN Pemeriksaan Kadar Gula Darah Puasa

1. Pasien yang telah terpilih sesuai kriteria sebagai sampel dan telah mengisi lembar informed consent diambil darahnya dari pembuluh darah vena ± 6,5 cc.

2. Kemudian darah tersebut dimasukkan ke dalam tabung EDTA 3 cc dan tabung kimia 3, 5 cc.

3. Lalu sampel diletakkan di dalamm rak dan dimasukkan ke dalam alat Cobas 6000 Analyzer.

4. Alat secara otomatis akan mengukur kadar glukosa darah dan HbA1c.

Pemeriksaan Kadar Gula Darah 2 Jam Post-Prandial

1. Pilih salah satu jari pasien kemudian dibersihkan dengan alcohol swab.

2. Ambil strip test dari wadahnya, masukan strip test ke mesin Accu Check sesuai penunjuk arah panahnya, maka nomor kode akan muncul sesaat dilayar (nomor kode harus sama dengan nomor pada tabung strip).

3. Setelah pada layar meter muncul tanda darah dan berkedip maka alat siap digunakan.

4. Siapkan jarum lancet dan tusukan ke jari yang akan diambil darahnya.

(44)

5. Setelah keluar darahnya tempelkan sampel darah tersebut pada strip test yang berwarna oranye.

6. Layar akan berkedip tunggu sampai keluar hasil tes gula darah anda setelah 5 detik.

7. Buang strip test dan jarum yang sudah digunakan di tempat sampai yang sudah disediakan.

Pemeriksaan Kadar Glutation

1. Serum darah pasien dipisahkan dari darah yang telah diambil sebelumnya.

2. Biarkan serum menggumpal selama 10-20 menit pada suhu ruangan kemudian disentifugasi dengan kecepatan 2000-3000 RPM selama 20 menit.

3. Siapkan seluruh reagen, larutan standard dan sampel seperti yang diinstruksikan. Letakkan seluruh reagen pada suhu ruangan sebelum digunakan. Pengukuran dilakukan pada suhu ruangan.

4. Tentukan jumlah strip yang dibutuhkan untuk pengukuran. Masukkan strip ke dalam frame untuk digunakan. Strip yang tidak digunakan harus disimpan pada suhu 2-8ºC.

5. Tambahkan 50μl standar pada tempat standar.

6. Tambhakan 40μl sampel pada tempat sampel kemudian tambahkan 10μl anti-GSH antibodi pada tempat sampel, kemudian tambahkan 50μl streptavidin-HRP pada tempat sampel dan standar (tidak pada tempat blank control). Campur dengan baik. Tutup plate dengan penutup.

Inkubasi selama 60 menit pada suhu 37ºC.

7. Lepaskan penutup dan cuci plate 5 kali dengan larutan buffer pencuci/pembilas (wash buffer). Rendam tempat dengan minimal 0.35 ml wash buffer selama 30 detik sampai dengan 1 menit untuk tiap pencucian. Untuk pencucian otomatis, aspirasi semua tempat dan cuci/bilas 5 kali dengan wash buffer, isi dengan penuh tempat dengan

(45)

30

wash buffer. Keringkan plate dengan kertas tisu atau bahan yang dapat menyerap lainnya.

8. Tambahkan 50μl larutan substrat A pada tiap tempat dan kemudian tambahkan 50μl larutan substrat B pada tiap tempat. Tutup dan inkubasi dengan penutup baru selama 10 menit pada suhu 37ºC dalam gelap.

9. Tambahkan 50μl larutan penghenti (stop solution) pada tiap tempat, warna biru akan berubah menjadi warna kuning dengan seketika.

10. Tentukan densitas optic (OD value) pada tiap tempat segera menggunakan microplate reader 450nm dalam waktu 30 menit setelah menambahkan stop solution.

11. Hasil pemeriksaan glutation ini ditampilkan dalam bentuk angka dengan jarak 0.1ng/ml – 40ng/ml dengan nilai sensitivitas alat 0.05ng/ml.

3.5. DEFINISI OPERASIONAL 1. Diabetes Melitus

Definisi : Pasien yang telah didiagnosa oleh dokter spesialis endokrin dengan penyakit Diabetes Melitus berdasarkan pemeriksaan anamnesis dan hasil uji laboratorium.

Alat Ukur : Rekam medik

Hasil Ukur : Pasien yang didiagnosa DM di tentukan dengan pemeriksaan KGD puasa > 126 mg/dL atau > 200 mg/dL untuk KGD 2 jam post-prandial atau HbA1c

>6,5%

Skala Ukur : Ratio 2. Kadar Gula Darah Puasa

Definisi : Tingkat konsentrasi glukosa dalam darah yang diambil dari pembuluh darah pasien yang telah puasa minimal 8 jam.

Alat Ukur : Cobas 6000 Analyzer Series

(46)

Hasil Ukur : Dinyatakan positif DM apabila hasil pemeriksaan >126 mg/dL dan normal apabila < 100 mg/dL.

Skala Ukur : Ratio

C. Kadar Gula Darah 2 jam Post-Prandial

Definisi : Tingkat konsentrasi glukosa dalam darah yang diambil dari pembuluh darah pasien 2 jam setelah makan Alat Ukur : Accu Check

Hasil Ukur : Dinyatakan positif DM apabila hasil pemeriksaan >200 mg/dL dan normal apabila < 140 mg/dL.

Skala Ukur : Ratio D. HbA1c

Definisi : Haemoglobin dalam darah yang berikatan dengan glukosa yang diambil dari intravena pasien dengan DM.

Alat Ukur : Cobas 6000 Analyzer Series Hasil Ukur : HbA1C (%)

Dinyatakan positif DM apabila hasil pemeriksaan

>6,5% dan normal apabila <5,7%

Skala Ukur : Ratio E. Glutation

Definisi : Antioksidan yang terdapat di dalam darah.

Alat Ukur : ELISA (Enzyme-linked immunossorbent assay) Hasil Ukur : ng/mL

Skala Ukur : Ratio

3.6. METODE ANALISIS DATA

Data yang terkumpul dari hasil laboratorium kemudian dilakukan pengolahan data lebih lanjut dengan menggunakkan program Statistic Package for Social Sciences (SPSS) 24.0 dan selanjutnya dilakukan uji distribusi normalitas terlebih dahulu menggunakan uji One-Sample Kolmogorov-Smirnov. Dari uji tersebut

(47)

32

didapatkan hasil persebaran variabel tidak normal. Maka dilakukan uji korelasi dengan menggunakan uji Spearman. Dari hasil tersebut dilihat ada tidaknya korelasi antar variabel dan kekuatan korelasinya.

(48)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini dilakukan di dua tempat, yaitu Rumah Sakit Universitas Sumatera Utara (RS USU) yang berlokasi di Jalan DR. T. Mansyur No. 66 dan Laboratorium Terpadu Fakultas Kedokteran Universitas Sumatera Utara (FK USU) yang berlokasi di Jalan DR. T. Mansyur No. 5. Keduanya terletak di Kelurahan Merdeka, Kecamatan Medan Baru, Kota Medan, Sumatera Utara.

Data penelitian ini diambil dari pasien DM tipe 2 yang datang untuk berobat ke RS USU.

Kemudian, sampel darah dari tiap pasien yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dibawa ke Laboratorium Terpadu FK USU untuk diuji kadar glutationnya. Penelitian ini dilakukan dari bulan Juni-Agustus 2018 dan didapatkan sebanyak 89 (delapan puluh sembilan) pasien DM tipe 2 yang memenuhi kriteria sebagai sampel penelitian. Hasil data yang telah dikumpulkan kemudian dianalisis dengan hasil sebagai berikut:

Tabel 4.1 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan jenis kelamin.

Variabel Jumlah (N) Presentase (%) Jenis Kelamin

Laki-laki Perempuan

52 37

(58.4) (41.6)

Total 89 (100)

Dari tabel 4.1 di atas menunjukkan pengelompokkan sampel berdasarkan jenis kelamin dari tiap sampel. Didapatkan hasil bahwa penderita DM lebih banyak ditemukan pada populasi laki- laki dari pada populasi perempuan, yaitu sebanyak 58.4% atau 52 orang. Pada penelitian sebelumnya mengenai sosio-demografi penderita DM juga didapatkan hasil yang serupa (Aouacheri et al., 2015; Rana et al., 2015; Borah and Goswami, 2017; Karolczak et al., 2017).

Hal tersebut juga didukung oleh data yang didapatkan dari Pusat Data dan Informasi Kementerian Kesehatan Indonesia yang menganalisis data pasien DM di Indonesia. Pada tahun 2013, didapatkan hasil bahwa penderita DM lebih banyak terjadi pada perempuan, tetapi presentase pasien dengan pre-diabetes lebih banyak ditemukan pada laki-laki. Dan diperkirakan pasien dengan pre-diabetes tersebut telah berkembang menjadi pasien dengan DM

(49)

34

pada tahun-tahun berikutnya (Kemenkes RI, 2014). Pada suatu penelitian mengenai prevalensi jenis kelamin pada penderita DM di daerah Afrika, mendapatkan hasil bahwa DM lebih banyak terjadi pada laki-laki. Hal ini diduga karena beberapa faktor resiko yang dapat menyebabkan penyakit DM seperti obesitas sentral dan merokok yang lebih sering ditemukan pada laki-laki (Hilawe et al., 2013).

Tabel 4.2 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan usia.

Variabel Jumlah (N) Persentase (%) Usia (tahun)

35-40 41-45 46-50 51-55 56-60 61-65 66-70 71-75 76-80 81-85

4 2 14 17 21 9 13

4 3 2

(4.5) (2.2) (15.7) (19.1) (23.6) (10.1) (14.6) (4.5) (3.4) (2.2)

Total 89 (100)

Pada tabel 4.2 di atas menunjukkan sebaran usia penderita DM pada sampel. Didapati bahwa sebaran usia terbanyak terdapat pada kelompok usia 56-60 tahun yaitu sebanyak 21 orang. Hasil tersebut selaras dengan data sebelumnya yang mendapatkan hasil penderita DM terbanyak pada kelompok usia 51-60 tahun (Murad et al., 2014). Usia menjadi salah satu faktor resiko dari non-commiunicable disease termasuk DM. Pada pasien DM, proses penuaan mempengaruhi penurunan sensitivitas terhadap insulin dan tidak tercukupinya kemampuan beta sel dalam mengkompensasi tingginya resistensi insulin (Borah and Goswami, 2017).

Tabel 4.3 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan lama menderita.

Variabel Minimal Maksimal Median SD

Lama Menderita 2 minggu 25 tahun 5 tahun 5.76 Pada tabel 4.3 menunjukkan lama menderita DM pada penelitian kali ini. Lama menderita dihitung dari pertama kali pasien didiagnosa menderita DM oleh dokter yang bersangkutan.

Lama menderita tersingkat yaitu selama 2 minggu. Sedangkan lama menderita terlama yaitu

(50)

25 tahun. Dari seluruh data yang dikumpulkan, didapatkan juga hasil bahwa median sampel penelitan ini adalah 5 tahun.

Tabel 4.4 Karakteristik sampel penelitian berdasarkan kadar gula darah.

Variabel Minimal Maksimal Mean Median Mean;SD KGD Puasa (mg/dL) 63.00 542.00 - 195.00 101.31 KGD 2PP (mg/dL) 108.00 565.00 - 291.00 102.90

HbA1c (%) 4.90 14.70 8.96 - 2.28

Glutation (ng/ml) 2.00 21.40 - 7.11 3.50

Kemudian, pada tabel 4.4 ditunjukkan hasil pengukuran kadar gula darah pada sampel penelitian. Nilai tertinggi dari KGD Puasa didapatkan nilai maksimal 542 mg/dL, KGD 2 jam PP 565 mg/dL, HbA1c 14,7% dan Glutation 21,40 ng/ml. Pada penelitian mengenai sosio- demografi penderita DM di India didapati nilai maksimal KGD Puasa 298 mg/dL dan KGD 2 jam PP 466 mg/dL. Penelitian tersebut menunjukkan HbA1c rata-rata pasien DM memiliki kadar HbA1c >7,5% (Borah and Goswami, 2017). Nilai HbA1c sendiri memiliki beberapa faktor yang dapat mempengaruhinya seperti usia, ras/etnis, dan anemia/hemoglobinopati (American Diabetes Association, 2018).

Menurut American Diabetes Association, penggunaan HbA1c sebagai diagnosis DM dikhususkan hanya pada orang dewasa dan masih dalam perdebatan dalam menggunakan HbA1c pada anak dengan batas bawah yang sama. Perbedaan ras juga mempengaruhi HbA1c seperti pada ras Afrika-Amerika memiliki kadar HbA1c lebih tinggi dari pada ras non-Hispanis kulit putih dengan KGDP dan KGD 2PP yang serupa. Selain itu, kadar HbA1c juga dipengaruhi oleh siklus regenerasi HbA1c yang berbeda pada orang dengan Sickle Cell Disease, mengandung pada trimester kedua dan ketiga, riwayat kehilangan darah atau transfuse dan lain- lain (American Diabetes Association, 2018).

Dari seluruh data yang telah dikumpulkan di atas, kemudian dinilai normalitas persebaran data tersebut menggunakan One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test. Didapatkan hasil bahwa persebaran data tidak normal untuk KGDP (p=0.02;<0.05), KGD 2PP (p=0.049;<0.05) dan Glutation (p=0.00;<0.05). Namun, didapatkan hasil sebaran data normal pada HbA1c (p=0.2;>0.05). Maka untuk melihat adanya korelasi antara KGDP dengan Glutation, dilakukan

Referensi

Dokumen terkait

In the latter half of the nineteenth century, the sonnet would continue to develop with the publication of such important sonnet sequences as George Meredith's Modern Love

Berdasarkan karakteristiknya, art fashion dapat di buat dengan cara mengadopsi dari suatu bentuk, seperti pembuatan art fashion yang terinspirasi dari bentuk bouquet

Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Allah S.W.T atas segala rahmat, dan karunia yang dilimpahkannNya, atas izin Allah S.W.T, maka Buku Wisuda Lulusan

1) UU Nomor 22 Tahun 1999 memberi kewenangan daerah seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamanan,

In this research, the aim of the instructional writing materials using movie is to help the eighth grade students of SMP BOPKRI 3 Yogyakarta in expressing their ideas in

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh modernisasi e-Nofa Pajak Pertambahan Nilai terhadap kepatuhan Pengusaha Kena Pajak dalam penerapan

1) Program pengajaran Penjas Adaptif disesuaikan dengan jenis dan karateristik kelainan siswa. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan kepada siswa yang

derajat putih dan kecerahan meningkat seiring dengan proses yang terjadi dari mulai pemadaman dalam bentuk CaO, lalu pembentukan PCC1 (tanpa asam stearat), dan